Anda di halaman 1dari 24

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Kondisi  keselamatan dan kesehatan kerja (K3) perusahaan
di Indonesia secara umum diperkirakan termasuk rendah. Pada tahun
2005 Indonesia menempati posisi yang buruk jauh di
bawah Singapura, Malaysia, Filipina dan Thailand. Kondisi  tersebut
mencerminkan kesiapan daya saing perusahaan Indonesia di dunia
internasional masih sangat rendah. Indonesia akan sulit menghadapi pasar
global karena mengalami ketidakefisienan pemanfaatan tenaga kerja
(produktivitas kerja yang rendah). Padahal kemajuan perusahaan sangat
ditentukan peranan mutu tenaga kerjanya. Karena itu disamping perhatian
perusahaan, pemerintah juga perlu memfasilitasi dengan peraturan atau
aturan perlindungan Keselamatan dan Kesehatan Kerja. Nuansanya harus
bersifat manusiawi atau bermartabat.
Keselamatan kerja telah menjadi perhatian di kalangan pemerintah
dan bisnis sejak lama.  Faktor keselamatan kerja menjadi penting karena
sangat terkait dengan kinerja karyawan dan pada gilirannya pada kinerja
perusahaan. Semakin tersedianya fasilitas keselamatan kerja semakin
sedikit kemungkinan terjadinya kecelakaan kerja. Merubah sikap adalah
sesuatu yang sangat sulit, bahkan mungkin hal yang sia-sia. Orang tidak
akan bisa merubah adat orang lain, kecuali orang-orang di dalamnya yang
merubah diri mereka sendiri. Tetapi meningkatkan kesadaran, dan masalah
kesehatan di masyarakat, akan meningkatkan kebutuhan masyarakat akan
pelayanan kesehatan. Tentu pelayanan yang paling efektif & efisien
menjadi tuntutan sekaligus tantangan besar yang harus di cari problem
solving-nya.
Evidence Based Practice (EBP) merupakan upaya untuk
mengambil keputusan klinis berdasarkan sumber yang paling relevan dan
valid. Oleh karena itu EBP merupakan jalan untuk mentransformasikan
hasil penelitian ke dalam praktek sehingga perawat dapat meningkatkan
“quality of care” terhadap pasien. Selain itu implementasi EBP juga akan
menurunkan biaya perawatan yang memberi dampak positif tidak hanya
bagi pasien, perawat, tapi juga bagi institusi pelayanan kesehatan.
Sayangnya penggunaan bukti-bukti riset sebagai dasar dalam pengambilan
keputusan klinis seperti seorang bayi yang masih berada dalam tahap
pertumbuhan.
Penggunaan evidence base dalam praktek akan menjadi dasar
scientific dalam pengambilan keputusan klinis sehingga intervensi yang
diberikan dapat dipertanggungjawabkan. Sayangnya pendekatan evidence
base di Indonesia belum berkembang termasuk penggunaan hasil riset ke
dalam praktek. Tidak dapat dipungkiri bahwa riset di Indonesia hanya
untuk kebutuhan penyelesaian studi sehingga hanya menjadi tumpukan
kertas semata.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Tugas dan Fungsi Perawat dalam K3 (Kesehatan dan
Keselamatan Kerja) ?
2. Apa definisi evidence based practice (EBP)?
3. Bagaimana tingkatan dan hierarki dalam penerapan EBP?
4. Apa hubungan antara evidence based practice (EBP) dengan decision
making?
5. Bagaimana model implementasi evidence based practice (EBP)?
6. Bagaimana cara pengkajian dan alat dalam evidence based
practice (EBP)?
7. Bagaimana langkah-langkah dalam evidence based practice (EBP)?
8. Bagaimana pelaksanaan evidence based practice (EBP) pada
keperawatan?
9. Apa saja hambatan pelaksanaan evidence based practice (EBP) pada
keperawatan?
C. Tujuan
1. Mengatahui Tugas dan Fungsi Perawat dalam K3 (Kesehatan dan
Keselamatan Kerja).
2. Menjelaskan dan menelaah situasi tentang evidence based
practice (EBP) di tatanan klinis keperawatan.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Kesehatan dan Keselamatan Kerja


1. Pengertian K3 (Kesehatan dan Keselamatan Kerja)
K3 atau Kesehatan dan Keselamatan Kerja adalah suatu sistem
program yang dibuat bagi pekerja maupun pengusaha sebagai upaya
pencegahan (preventif) timbulnya kecelakaan kerja dan penyakit
akibat hubungan kerja dalam lingkungan kerja dengan cara mengenali
hal-hal yang berpotensi menimbulkan kecelakaan kerja dan penyakit
akibat hubungan kerja, dan tindakan antisipatif bila terjadi hal
demikian. Menurut Sumakmur (1988) kesehatan kerja adalah
spesialisasi dalam ilmu kesehatan/ kedokteran beserta prakteknya
yang bertujuan, agar pekerja/ masyarakat pekerja beserta memperoleh
derajat kesehatan yang setinggi-tingginya, baik fisik, atau mental,
maupun sosial, dengan usaha-usaha preventif dan kuratif, terhadap
penyakit-penyakit/ gangguan-gangguan kesehatan yang diakibatkan
faktor-faktor pekerjaan dan lingkungan kerja, serta terhadap penyakit-
penyakit umum.
Keselamatan dan kesehatan kerja difilosofikan sebagai suatu
pemikiran dan upaya untuk menjamin keutuhan dan kesempurnaan
baik jasmani maupun rohani tenaga kerja pada khususnya dan
manusia pada umumnya, hasil karya dan budayanya menuju
masyarakat makmur dan sejahtera. Sedangkan pengertian secara
keilmuan adalah suatu ilmu pengetahuan dan penerapannya dalam
usaha mencegah kemungkinan terjadinya kecelakaan dan penyakit
akibat kerja. Keselamatan dan kesehatan kerja (K3) tidak dapat
dipisahkan dengan proses produksi baik jasa maupun industri.
Perkembangan pembangunan setelah Indonesia merdeka
menimbulkan konsekwensi meningkatkan intensitas kerja yang
mengakibatkan pula meningkatnya resiko kecelakaan di lingkungan
kerja.
Hal tersebut juga mengakibatkan meningkatnya tuntutan yang
lebih tinggi dalam mencegah terjadinya kecelakaan yang beraneka
ragam bentuk maupun jenis kecelakaannya. Sejalan dengan itu,
perkembangan pembangunan yang dilaksanakan tersebut maka
disusunlah UU No.14 tahun 1969 tentang pokok-pokok mengenai
tenaga kerja yang selanjutnya mengalami perubahan menjadi
UU No.12 tahun 2003 tentang ketenaga kerjaan. Dalam pasal 86 UU
No.13 tahun 2003, dinyatakan bahwa setiap pekerja atau buruh
mempunyai hak untuk memperoleh perlindungan atas keselamatan
dan kesehatan kerja, moral dan kesusilaan dan perlakuan yang sesuai
dengan harkat dan martabat serta nilai-nilai agama. Untuk
mengantisipasi permasalahan tersebut, maka dikeluarkanlah peraturan
perundangan-undangan di bidang keselamatan dan kesehatan kerja
sebagai pengganti peraturan sebelumnya yaitu Veiligheids Reglement,
STBl No.406 tahun 1910 yang dinilai sudah tidak memadai
menghadapi kemajuan dan perkembangan yang ada.
Peraturan tersebut adalah Undang-undang No.1 tahun 1970 tentang
keselamatan kerja yang ruang lingkupnya meliputi segala lingkungan
kerja, baik di darat, didalam tanah, permukaan air, di dalam air
maupun udara, yang berada di dalam wilayah kekuasaan hukum
Republik Indonesia. Undang-undang tersebut juga mengatur syarat-
syarat keselamatan kerja dimulai dari perencanaan, pembuatan,
pengangkutan, peredaran, perdagangan, pemasangan, pemakaian,
penggunaan, pemeliharaan dan penyimpanan bahan, barang produk
tekhnis dan aparat produksi yang mengandung dan dapat
menimbulkan bahaya kecelakaan.
Keselamatan kerja sama dengan Hygiene Perusahaan. Kesehatan
kerja memiliki sifat sebagai berikut :
a. Sasarannya adalah manusia
b. Bersifat medis.

Sedangkan keselamatan kerja memiliki sifat sebagai berikut :


a. Sasarannya adalah lingkungan kerja
b. Bersifat teknik.
Pengistilahan Keselamatan dan Kesehatan kerja (atau sebaliknya)
bermacam macam; ada yang menyebutnya Higiene Perusahaan dan
Kesehatan Kerja (Hyperkes) dan ada yang hanya disingkat K3, dan
dalam istilah asing dikenal Occupational Safety and Health.
2. Tujuan K3
Tujuan umum dari K3 adalah menciptakan tenaga kerja yang sehat
dan produktif. Tujuan hyperkes dapat dirinci sebagai berikut
(Rachman, 1990) :
a. Agar tenaga kerja dan setiap orang berada di tempat kerja selalu
dalam keadaan sehat dan selamat.
b. Agar sumber-sumber produksi dapat berjalan secara lancar tanpa
adanya hambatan.
3. Ruang Lingkup K3
Ruang lingkup hyperkes dapat dijelaskan sebagai berikut (Rachman,
1990) :
a. Kesehatan dan keselamatan kerja diterapkan di semua tempat
kerja yang di dalamnya melibatkan aspek manusia sebagai tenaga
kerja, bahaya akibat kerja dan usaha yang dikerjakan.
1) Aspek perlindungan dalam hyperkes meliputi :
2) Tenaga kerja dari semua jenis dan jenjang keahlian
3) Peralatan dan bahan yang dipergunakan
4) Faktor-faktor lingkungan fisik, biologi, kimiawi, maupun
sosial.
5) Proses produksi
6) Karakteristik dan sifat pekerjaan
7) Teknologi dan metodologi kerja
b. Penerapan Hyperkes dilaksanakan secara holistik sejak
perencanaan hingga perolehan hasil dari kegiatan industri barang
maupun jasa.
c. Semua pihak yang terlibat dalam proses industri/ perusahaan ikut
bertanggung jawab atas keberhasilan usaha hyperkes.
4. Konsep Perawat sebagai Tenaga Kesehatan
Tenaga Kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan diri
dalam bidang kesehatan serta memiliki pengetahuan dan atau
ketermpilan melalui pendidikan di bidang kesehatan yang untuk jenis
tertentu memerlukan kewenangan untuk melakukan upaya kesehatan,
baik berupa pendidikan gelar-D3, S1, S2 dan S3-; pendidikan non
gelar; sampai dengan pelatihan khusus kejuruan khusus seperti Juru
Imunisasi, Malaria, dsb., dan keahlian. Hal inilah yang membedakan
jenis tenaga ini dengan tenaga lainnya. Hanya mereka yang
mempunyai pendidikan atau keahlian khusus-lah yang boleh
melakukan pekerjaan tertentu yang berhubungan dengan jiwa dan fisik
manusia, serta lingkungannya. Dalam hal ini,perawat memegang
peranan yang cukup besar dalam upaya pelaksanaan dan peningkatan
K3. Sedangkan dalam pelaksanaannya, perawat tidak dapat bekerja
secara individual. Perawat perlu untuk berkolaborasi dengan pihak-
pihak lintas profesi maupun lintas sektor.
5. Peran perawat dalam meningkatkan K3 (Kesehatan dan
Keselamatan Kerja)
Fungsi seorang perawat hiperkes sangat tergantung kepada
kebijaksanaan perusahaan dalam hal luasnya ruang lingkup usaha
kesehatan, susunan dan jumlah tenaga kesehatan yang dipekerjakan
dalam perusahaan. Perawat merupakan satu-satunya tenaga kesehatan
yang full time di perusahaan, maka fungsinya adalah :
a. Membantu dokter perusahaan dalam menyusun rencana kerja
hiperkes di perusahaan
b. Melaksanakan program kerja yang telah digariskan, termasuk
administrasi kesehatan kerja.
c. Memelihara dan mempertinggi mutu pelayanan perawatan dan
pengobatan.
d. Memelihara alat-alat perawatan, obat-obatan dan fasilitas
kesehatan perusahaan.
e. Membantu dokter dalam pemeriksaan kesehatan sesuai cara-cara
yang telah disetujui.
f. Ikut membantu menentukan kasus-kasus penderita, serta berusaha
menindaklanjuti sesuai wewenang yang diberikan kepadanya.
g. Ikut menilai keadaan kesehatan tenaga kerja dihubungkan dengan
faktor pekerjaan dan melaporkan kepada dokter perusahaan.
h. Membantu usaha perbaikan kesehatan lingkungan dan perusahaan
sesuai kemampuan yang ada.
i. Ikut mengambil peranan dalam usaha-usaha kemasyarakatan :
UKS.
j. Membantu, merencanakan dan atau melaksanakan sendiri
kunjungan rumah sebagai salah satu dari segi kegiatannya.
k. Menyelenggarakan pendidikan hiperkes kepada tenaga kerja yang
dilayani.
l. Turut ambil bagian dalam usaha keselamatan kerja.
m. Mengumpulkan data-data dan membuat laporan untuk statistic dan
evaluasi.
n. Turut membantu dalam usaha penyelidikan kesehatan tenaga kerja.
o. Memelihara hubungan yang harmonis dalam perusahaan
p. Memberikan penyuluhan dalam bidang kesehatan
q. Bila lebih dari satu paramedis hiperkes dalam satu perusahaan,
maka pimpinan paramedis hiperkes harus mengkoordinasi dan
mengawasi pelaksanaan semua usaha perawatan hiperkes.
Menurut Jane A. Le R.N dalam bukunya The New Nurse in Industry,
beberapa fungsi specific dari perawat hiperkes adalah :
a. Persetujuan dan kerjasama dari pimpinan perusahaan/ industry
dalam membuat program dan pengolahan pelayanan hiperkes yang
mana bertujuan memberikan pemeliharaan / perawatan kesehatan
yang sebaik mungkin kepada tenaga kerja
b. Memberikan/ menyediakan primary nursing care untuk penyakit
-penyakit atau korban kecelakaan baik akibat kerja maupun yang
bukan akibat kerja bedasarkan petunjuk- petunjuk kesehatan yang
ada.
c. Mengawasi pengangkutan si sakit korban kecelakaan ke rumah
sakit , klinik atau ke kantor dokter untuk mendapatkan perawatan /
pengobatan lebih lanjut
d. Melakukan referral kesehatan dan pencanaan kelanjutan perawatan
dan follow up dengan rumah sakit atau klinik spesialis yang ada
e. Mengembangkan dan memelihara system record dan report
kesehatan dan keselamatan yang sesuai dengan prosedur yang ada
di perusahaan
f. Mengembangkan dan memperbarui policy dan prosedur servis
perawatan
g. Membantu program physical examination (pemeriksaan fisik)
dapatkan data-data keterangan-keterangan mengenai kesehatan
dan pekerjaan. Lakukan referral yang tepat dan berikan suatu
rekomendasi mengenai hasil yang positif.
h. Memberi nasehat pada tenaga kerja yang mendapat kesukaran dan
jadilaj perantara untuk membantu menyelesaikan persoalan baik
emosional maupun personal.
i. Mengajar karyawan praktek kesehatan keselamatan kerja yang
baik,dan memberikan motivasi untuk memperbaiki praktek-
praktek kesehatan.
j. Mengenai kebutuhan kesehatan yang diperlukan karyawan dengan
obyektif dan menetapkan program Health Promotion, Maintenance
and Restoration
k. Kerjasama dengan tim hiperkes atau kesehatan kerja dalam
mencari jalan bagaimana untuk peningkatan pengawasan terhadap
lingkungan kerja dan pengawasan kesehatan yang terus menerus
terhadap karyawan yang terpapar dengan bahan-bahan yang dapat
membahayakan kesehatannya.
l. Tetap waspada dan mengikuti standar-standar kesehatan dan
keselamatan kerja yang ada dalam menjalankan praktek-praktek
perawatan dan pengobatan dalam bidang hiperkes ini.
m. Secara periodic untuk meninjau kembali program-program
perawatan dan aktifitas perawatan lainnya demi untuk kelayakan
dan memenuhi kebutuhan serta efisiensi.
n. Ikut serta dalam organisasi perawat (professional perawat) seperti
ikatan paramedic hiperkes, dan sebagainya.
o. Merupakan tanggung jawab pribadi yang tidak boleh dilupakan
dan penting adalah mengikuti kemajuan dan perkembangan
professional (continues education).
Menurut American Association of Occupational Health Nurses, ruang
lingkup pekerjaan perawat hiperkes adalah :
a. Health promotion / Protection
Meningkatkan derajat kesehatan, kesadaran dan pengetahuan
tenaga kerja akan paparan zat toksik di lingkungan kerja.
Merubah faktor life style dan perilaku yang berhubungan dengan
resiko bahaya kesehatan.
b. Worker Health / Hazard Assessment and Surveillance
Mengidentifikasi masalah kesehatan tenaga kerja dan menilai
jenis pekerjaannya .
c. Workplace Surveillance and Hazard Detection
Mengidentifikasi potensi bahaya yang mengancam kesehatan dan
keselamatan tenaga kerja. Bekerjasama dengan tenaga profesional
lain dalam penilaian dan pengawasan terhadap bahaya.
d. Primary Care
Merupakan pelayanan kesehatan langsung terhadap penyakit dan
kecelakaan pada tenaga kerja, termasuk diagnosis keperawatan,
pengobatan, rujukan dan perawatan emergensi.
e. Counseling
Membantu tenaga kerja dalam memahami permasalahan
kesehatannya dan membantu untuk mengatasi dan keluar dari
situasi krisis
f. Management and Administration
Acap kali sebagai manejer pelayanan kesehatan dengan tanggung-
jawab pada progran perencanaan dan pengembangan, program
pembiayaan dan manajemen
g. Research
Mengenali pelayanan yang berhubungan dengan masalah
kesehatan, mengenali faktor – faktor yang berperanan untuk
mengadakan perbaikan.
h. Legal-Ethical Monitoring
Paramedis hiperkes harus sepenuhnya memahami ruang lingkup
pelayanan kesehatan pada tenaga kerja sesuai perundang-
undangan, mampu menjaga kerahasiaan dokumen kesehatan
tenaga kerja.
i. Community Organization
Mengembangkan jaringan untuk meningkatkan pelayanan kepada
tenaga kerja. Perawat hiperkes yang bertanggung-jawab dalam
memberikan perawatan tenaga kerja haruslah mendapatkan
petunjuk-petunjuk dari dokter perusahaan atau dokter yang
ditunjuk oleh perusahaan. Dasar-dasar pengetahuan prinsip
perawatan dan prosedur untuk merawat orang sakit dan korban
kecelakaan adalah merupakan pegangan yang utama dalam proses
perawatan yang berdasarkan nursing assessment, nursing
diagnosis, nursing intervention dan nursing evaluation adalah
mempertinggi efisiensi pemeliharaan dan pemberian perawatan
selanjutnya.
Perawat hiperkes mempunyai kesempatan yang besar untuk
menerapkan praktek-praktek standar perawatan secara leluasa.
Seorang perawat hiperkes, melalui program pemeliharaan dan
peningkatan kesehatan hendaknya selalu membantu karyawan /
tenaga kerja untuk mencapai tingkat kesehatan yang optimal.
6. Fungsi dan Tugas Perawat dalam Usaha K3 (Kesehatan dan
Keselamatan Kerja)
Fungsi dan tugas perawat dalam usaha K3 di Industri
adalah sebagai berikut (Effendy, Nasrul, 1998) :
a. Fungsi
1) Mengkaji masalah kesehatan
2) Menyusun rencana asuhan keperawatan pekerja
3) Melaksanakan pelayanan kesehatan dan keperawatan
terhadap pekerja
4) Penilaian
b. Tugas
1) Pengawasan terhadap lingkungan pekerja
2) Memelihara fasilitas kesehatan perusahaan
3) Membantu dokter dalam pemeriksaan kesehatan pekerja
4) Membantu dalam penilaian keadaan kesehatan pekerja
5) Merencanakan dan melaksanakan kunjungan rumah dan
perawatan di rumah kepada pekerja dan keluarga pekerja
yang mempunyai masalah
6) Ikut menyelenggarakan pendidikan K3 terhadap pekerja
7) Turut ambil bagian dalam usaha keselamatan kerja
8) Pendidikan kesehatan mengenai keluarga berencana
terhadap pekerja dan keluarga pekerja.
9) Membantu usaha penyelidikan kesehatan pekerja
10) Mengkordinasi dan mengawasi pelaksanaan K3
7. Kebijakan Penerapan Kesehatan dan Keselamatan Kerja di
Era Global
a. Dalam bidang pengorganisasian
Di Indonesia K3 ditangani oleh 2 departemen; departemen
Kesehatan dan departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi.
Pada Depnakertrans ditangani oleh Dirjen (direktorat jendral)
Pembinaan dan Pengawasan Ketenagakerjaan, dimana ada 4
Direktur :
1) Direktur Pengawasan Ketenagakerjaan
2) Direktur Pengawasan Norma Kerja Perempuan dan Anak
3) Direktur Pengawasan Keselamatan Kerja, yang terdiri dari
Kasubdit:
a) Kasubdit mekanik, pesawat uap dan bejana tekan.
b) Kasubdit konstruksi bangunan, instalasi listrik dan
penangkal petir
c) Kasubdit Bina kelembagaan dan keahlian keselamatan
ketenagakerjaan
4) Direktur Pengawasan Kesehatan Kerja, yang terdiri dari
kasubdit:
a) Kasubdit Kesehatan tenaga kerja
b) Kasubdit Pengendalian Lingkungan Kerja
c) Kasubdit Bina kelembagaan dan keahlian kesehatan
kerja.
Pada Departemen Kesehatan sendiri ditangani oleh Pusat
Kesehatan Kerja Depkes. Dalam upaya pokok Puskesmas
terdapat Upaya Kesehatan Kerja (UKK) yang kiprahnya
lebih pada sasaran sektor Informal (Petani, Nelayan,
Pengrajin, dll.
b. Dalam bidang regulasi
Regulasi yang telah dikeluarkan oleh Pemerintah sudah
banyak, diantaranya :
1) UU No 1 tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja
2) UU No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
3) KepMenKes No 1405/Menkes/SK/XI/2002 tentang
Persyaratan Kesehatan Lingkungan Kerja Perkantoran dan
Industri.
4) Peraturan Menaker No Per 01/MEN/1981 tentang
Kewajiban Melapor Penyakit Akibat Kerja.
5) Peraturan Menaker No Per 01/MEN/1976 tentang
Kewajiban Latihan Hiperkes Bagi Dokter Perusahaan.
6) Peraturan Menaker No Per 01/MEN/1979 tentang
Kewajiban Latihan Hygiene Perusahaan K3 Bagi Tenaga
Paramedis Perusahaan.
7) Keputusan Menaker No Kep 79/MEN/2003 tentang
Pedoman Diagnosis dan Penilaian Cacat Karena
Kecelakaan dan Penyakit Akibat Kerja.
c. Dalam bidang pendidikan
Pemerintah telah membentuk dan menyelenggarakan
pendidikan untuk menghasilkan tenaga Ahli K3 pada berbagai
jenjang Pendidikan, misalnya :
1) Diploma 3 Hiperkes di Universitas Sebelas Maret
2) Strata 1 pada Fakultas Kesehatan Masyarakat khususnya
peminatan K3 di Unair, Undip, dll dan jurusan K3 FKM
UI.
3) Starta 2 pada Program Pasca Sarjana khusus Program
Studi K3, misalnya di UGM, UNDIP, UI, Unair.
Pada beberapa Diploma kesehatan semacam Kesehatan
Lingkungan dan Keperawatan juga ada beberapa SKS dan
Sub pokok bahasan dalam sebuah mata kuliah yang
khusus mempelajari K3.
B. Evidence Based Practice (EBP)
1. Definisi Evidence Based Practice (EBP)
Menurut (Goode & Piedalue, 1999) praktik klinis berdasarkan
bukti melibatkan temuan pengetahuan dari penelitian, review atau
tinjauan kritis. EBP didefinisikan sebagai intervensi dalam perawatan
kesehatan yang berdasarkan pada fakta terbaik yang didapatkan. EBP
merupakan proses yang panjang, adanya fakta dan produk hasil yang
membutuhkan evaluasi berdasarkan hasil penerapan pada praktek
lapangan.
EBP merupakan suatu pendekatan pemecahan masalah untuk
pengambilan keputusan dalam organisasi pelayanan kesehatan yang
terintegrasi di dalamnya adalah ilmu pengetahuan atau teori yang ada
dengan pengalaman dan bukti-bukti nyata yang baik (pasien dan
praktisi). EBP dapat dipengaruh oleh faktor internal dan eksternal
serta memaksa untuk berpikir kritis dalam penerapan pelayanan secara
bijaksana terhadap pelayanan pasien individu, kelompok atau sistem
(Newhouse, Dearholt, Poe, Pough, & White, 2005).
Clinical Based Evidence atau Evidence Based Practice (EBP)
adalah tindakan yang teliti dan bertanggung jawab dengan
menggunakan bukti (berbasis bukti) yang berhubungan dengan
keahlian klinis dan nilai-nilai pasien untuk menuntun pengambilan
keputusan dalam proses perawatan (Titler, 2008). EBP merupakan
salah satu perkembangan yang penting pada dekade ini untuk
membantu sebuah profesi, termasuk kedokteran, keperawatan, sosial,
psikologi, public health, konseling dan profesi kesehatan dan sosial.
EBP menyebabkan terjadinya perubahan besar pada literatur,
merupakan proses yang panjang dan merupakan aplikasi berdasarkan
fakta terbaik untuk pengembangan dan peningkatan pada praktek
lapangan. Pencetus dalam penggunaan fakta menjadi pedoman
pelaksanaan praktek dalam memutuskan untuk mengintegrasikan
keahlian klinikal individu dengan fakta yang terbaik berdasarkan
penelitian sistematik. Beberapa ahli telah mendefinisikan EBP dalam
keperawatan sebagai.
a. Penggabungan bukti yang diperoleh dari hasil penelitian dan
praktek klinis ditambah dengan pilihan dari pasien ke dalam
keputusan klinis (Mulhall, 1998).
b. Penggunaan teori dan informasi yang diperoleh berdasarkan hasil
penelitian secara teliti, jelas dan bijaksana dalam pembuatan
keputusan tentang pemberian asuhan keperawatan pada individu
atau sekelompok pasien dan dengan mempertimbangkan
kebutuhan dan pilihan dari pasien tersebut (Ingersoll G., 2000).
2. Tingkatan dan Hierarki dalam Penerapan EBP
Tingkatan evidence disebut juga dengan hierarchy evidence yang
digunakan untuk mengukur kekuatan suatu evidence dari rentang bukti
terbaik sampai dengan bukti yang paling rendah.
Tingkatan evidence ini digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam
EBP. Hierarki untuk tingkatan evidence yang ditetapkan oleh Badan
Kesehatan Penelitian dan Kualitas (AHRQ), sering digunakan dalam
keperawatan (Titler, 2010). Adapun level of evidence tersebut adalah
sebagai berikut.
Hierarki dalam penelitian ilmiah terdapat hierarki dari tingkat
kepercayaannya yang paling rendah hingga yang paling tingi. Di
bawah ini mulai dari yang paling rendah hingga yang paling tinggi.
a. Laporan fenomena atau kejadian-kejadian yang kita temui sehari-
hari.
b. Studi kasus.
c. Studi lapangan atau laporan deskriptif.
d. Studi percobaan tanpa penggunaan teknik pengambilan sampel
secara acak (random).
e. Studi percobaan yang menggunakan setidaknya ada satu
kelompok pembanding, dan menggunakan sampel secara acak.
f. Systemic reviews untuk kelompok bijak bestari atau meta-analisa
yaitu pengkajian berbagai penelitian yang ada dengan tingkat
kepercayaan yang tinggi.
3. Evidence Based Practice dengan Decision Making
Pengambilan keputusan untuk melakukan perubahan berdasarkan
bukti-bukti nyata atau EBP di pengaruhi oleh tiga faktor yaitu, hasil
penelitian atau riset termasuk teori-teori pendukung, pengalaman yang
bersifat klinis, serta feedback atau sumber-sumber dari pengalaman
yang dialami oleh pasien.
4. Model Implementasi Evidence Based Practice
a. Model Settler
Merupakan seperangkat perlengkapan/media penelitian untuk
meningkatkan penerapan evidence based 5 langkah dalam Model
Settler:
Fase 1. Persiapan
Fase 2. Validasi
Fase 3. Perbandingan evaluasi dan pengambilan keputusan
Fase 4. Translasi dan aplikasi
Fase 5. EvaluasiModel IOWA
b. Model IOWA Model of Evidence Based Practice to Promote
Quality Care
Model EBP IOWA dikembangkan oleh Marita G. Titler, PhD,
RN, FAAN, Model IOWA diawali dari pemicu/masalah.
Pemicu/masalah ini sebagai fokus ataupun fokus masalah. Jika
masalah mengenai prioritas dari suatu organisasi, tim segera
dibentuk. Tim terdiri dari stakeholders, klinisian, staf perawat,
dan tenaga kesehatan lain yang dirasakan penting untuk dilibatkan
dalam EBP. Langkah selanjutnya adalah menyintesis EBP.
Perubahan terjadi dan dilakukan jika terdapat cukup bukti yang
mendukung untuk terjadinya perubahan . kemudian dilakukan
evaluasi dan diikuti dengan diseminasi (Jones & Bartlett, 2004).
c. Model Konseptual Rosswurm & Larrabee
Model ini disebut juga dengan model evidence based practice
change yang terdiri dari 6 langkah yaitu.
Tahap 1. Mengkaji kebutuhan untuk perubahan praktis.
Tahap 2. Tentukan evidence terbaik.
Tahap 3. Kritikal analisis evidence.
Tahap 4. Desain perubahan dalam praktek.
Tahap 5. Implementasi dan evaluasi perubahan.
Tahap 6. Integrasikan dan maintenance perubahan dalam praktek.
Model ini menjelaskan bahwa penerapan evidence based
nursing ke lahan paktek harus memperhatikan latar belakang teori
yang ada, kevalidan dan kereliabilitasan metode yang digunakan,
serta penggunaan nomenklatur yang standar.
5. Pengkajian dan Alat dalam EBP
Terdapat beberapa kemampuan dasar yang harus dimiliki tenaga
kesehatan profesional untuk dapat menerapkan praktek klinis berbasis
bukti, yaitu.
a. Mengidentifikasi gap/kesenjangan antara teori dan praktek
b. Memformulasikan pertanyaan klinis yang relevan,
c. Melakukan pencarian literator yang efisien,
d. Mengaplikasikan peran dari bukti, termasuk tingkatan/hierarki
dari bukti tersebut untuk menentukan tingkat validitasnya
e. Mengaplikasikan temuan literator pada masalah pasien, dan
f. Mengerti dan memahami keterkaitan antara nilai dan budaya
pasien dapat mempengaruhi keseimbangan antara potensial
keuntungan dan kerugian dari pilihan manajemen/terapi (Jette et
al., 2003).
6. Langkah-langkah dalam EBP
a. Langkah 1 (Kembangkan Semangat Penelitian)
Sebelum memulai dalam tahapan yang sebenarnya di dalam EBP, harus
ditumbuhkan semangat dalam penelitian sehingga klinikan akan lebih
nyaman dan tertarik mengenai pertanyaan-pertanyaan berkaitan
dengan perawatan pasien
b. Langkah 2 (Ajukan Pertanyaan Klinis dalam Format PICOT)
Pertanyaan klinis dalam format PICOT untuk
menghasilkan evidence yang lebih baik dan relevan.
1) Populasi pasien (P),
2) Intervensi (I),
3) Perbandingan intervensi atau kelompok (C),
4) Hasil / Outcome (O), dan
5) Waktu / Time (T).
Format PICOT menyediakan kerangka kerja yang efisien untuk mencari
database elektronik, yang dirancang untuk mengambil hanya artikel-
artikel yang relevan dengan pertanyaan klinis. Menggunakan skenario
kasus pada waktu respons cepat sebagai contoh, cara untuk
membingkai pertanyaan tentang apakah penggunaan waktu tersebut
akan menghasilkan hasil yang positif akan menjadi: “Di rumah sakit
perawatan akut (populasi pasien), bagaimana memiliki time respon
cepat (intervensi) dibandingkan dengan tidak memiliki time respon
cepat (perbandingan) mempengaruhi jumlah serangan jantung (hasil)
selama periode tiga bulan (waktu)?”
c. Langkah 3 (Cari Bukti Terbaik)
Mencari bukti untuk menginformasikan praktek klinis adalah
sangat efisien ketika pertanyaan diminta dalam format PICOT. Jika
perawat dalam skenario respons cepat itu hanya mengetik “Apa
dampak dari memiliki time respon cepat?” ke dalam kolom pencarian
dari database, hasilnya akan menjadi ratusan abstrak, sebagian besar
dari mereka tidak relevan. Menggunakan format PICOT membantu
untuk mengidentifikasi kata kunci atau frase yang ketika masuk
berturut-turut dan kemudian digabungkan, memperlancar lokasi
artikel yang relevan dalam database penelitian besar seperti MEDLINE
atau CINAHL. Untuk pertanyaan PICOT pada time respons cepat, frase
kunci pertama untuk dimasukkan ke dalam database akan perawatan
akut, subjek umum yang kemungkinan besar akan mengakibatkan
ribuan kutipan dan abstrak.
Istilah kedua akan dicari akan rapid respon time, diikuti oleh
serangan jantung dan istilah yang tersisa dalam pertanyaan PICOT.
Langkah terakhir dari pencarian adalah untuk menggabungkan hasil
pencarian untuk setiap istilah. Metode ini mempersempit hasil untuk
artikel yang berkaitan dengan pertanyaan klinis, sering mengakibatkan
kurang dari 20. Hal ini juga membantu untuk menetapkan batas akhir
pencarian, seperti “subyek manusia” atau “English,” untuk
menghilangkan studi hewan atau artikel di luar negeri bahasa.
d. Langkah 4 (Kritis Menilai Bukti)
Setelah artikel yang dipilih untuk review, mereka harus cepat
dinilai untuk menentukan yang paling relevan, valid, terpercaya, dan
berlaku untuk pertanyaan klinis. Studi-studi ini adalah “studi kiper.”
Salah satu alasan perawat khawatir bahwa mereka tidak punya waktu
untuk menerapkan EBP adalah bahwa banyak telah diajarkan proses
mengkritisi melelahkan, termasuk penggunaan berbagai pertanyaan
yang dirancang untuk mengungkapkan setiap elemen dari sebuah
penelitian. Penilaian kritis yang cepat menggunakan tiga pertanyaan
penting untuk mengevaluasi sebuah studi.
1) Apakah hasil penelitian valid?
Ini pertanyaan validitas studi berpusat pada apakah metode
penelitian yang cukup ketat untuk membuat temuan sedekat
mungkin dengan kebenaran. Sebagai contoh, apakah para peneliti
secara acak menetapkan mata pelajaran untuk pengobatan atau
kelompok kontrol dan memastikan bahwa mereka merupakan
kunci karakteristik sebelum perawatan? Apakah instrumen yang
valid dan reliabel digunakan untuk mengukur hasil kunci?
2) Apakah hasilnya bisa dikonfirmasi?
Untuk studi intervensi, pertanyaan ini keandalan studi membahas
apakah intervensi bekerja, dampaknya pada hasil, dan
kemungkinan memperoleh hasil yang sama dalam pengaturan
praktek dokter sendiri. Untuk studi kualitatif, ini meliputi penilaian
apakah pendekatan penelitian sesuai dengan tujuan penelitian,
bersama dengan mengevaluasi aspek-aspek lain dari penelitian ini
seperti apakah hasilnya bisa dikonfirmasi.
3) Akankah hasil membantu saya merawat pasien saya?
Ini pertanyaan penelitian penerapan mencakup pertimbangan
klinis seperti apakah subyek dalam penelitian ini mirip dengan
pasien sendiri, apakah manfaat lebih besar daripada risiko,
kelayakan dan efektivitas biaya, dan nilai-nilai dan preferensi
pasien. Setelah menilai studi masing-masing, langkah berikutnya
adalah untuk menyintesis studi untuk menentukan apakah
mereka datang ke kesimpulan yang sama, sehingga mendukung
keputusan EBP atau perubahan.
e. Langkah 5 (Mengintegrasikan Bukti Dengan Keahlian Klinis dan
Preferensi Pasien dan Nilai-nilai)
Bukti penelitian saja tidak cukup untuk membenarkan
perubahan dalam praktek. Keahlian klinis, berdasarkan penilaian
pasien, data laboratorium, dan data dari program manajemen hasil,
serta preferensi dan nilai-nilai pasien adalah komponen penting dari
EBP. Tidak ada formula ajaib untuk bagaimana untuk menimbang
masing-masing elemen; pelaksanaan EBP sangat dipengaruhi oleh
variabel kelembagaan dan klinis. Misalnya, ada tubuh yang kuat dari
bukti yang menunjukkan penurunan kejadian depresi pada pasien luka
bakar jika mereka menerima delapan sesi terapi kognitif-perilaku
sebelum dikeluarkan dari rumah sakit. Anda ingin pasien Anda memiliki
terapi ini dan begitu mereka. Tapi keterbatasan anggaran di rumah
sakit Anda mencegah mempekerjakan terapis untuk menawarkan
pengobatan. Defisit sumber daya ini menghambat pelaksanaan EBP.
f. Langkah 6 (Evaluasi hasil Keputusan Praktek atau Perubahan
Berdasarkan Bukti)
Setelah menerapkan EBP, penting untuk memantau dan
mengevaluasi setiap perubahan hasil sehingga efek positif dapat
didukung dan yang negatif diperbaiki. Hanya karena intervensi efektif
dalam uji ketat dikendalikan tidak berarti ia akan bekerja dengan cara
yang sama dalam pengaturan klinis. Pemantauan efek perubahan EBP
pada kualitas perawatan kesehatan dan hasil dapat membantu dokter
melihat kekurangan dalam pelaksanaan dan mengidentifikasi lebih
tepat pasien mana yang paling mungkin untuk mendapatkan
keuntungan. Ketika hasil berbeda dari yang dilaporkan dalam literatur
penelitian, pemantauan dapat membantu menentukan.
g. Langkah 7 (Menyebarluaskan Hasil EBP)
Perawat dapat mencapai hasil yang indah bagi pasien mereka
melalui EBP, tetapi mereka sering gagal untuk berbagi pengalaman
dengan rekan-rekan dan organisasi perawatan kesehatan mereka
sendiri atau lainnya. Hal ini menyebabkan perlu duplikasi usaha, dan
melanggengkan pendekatan klinis yang tidak berdasarkan bukti-bukti.
Di antara cara untuk menyebarkan inisiatif sukses adalah putaran EBP
di institusi Anda, presentasi di konferensi lokal, regional, dan nasional,
dan laporan dalam jurnal peer-review, news letter profesional, dan
publikasi untuk khalayak umum.
7. Pelaksanaan EBP pada Keperawatan
a. Mengakui status atau arah praktek dan yakin bahwa pemberian
perawatan berdasarkan fakta terbaik akan meningkatkan hasil
perawatan klien.
b. Implementasi hanya akan sukses bila perawat menggunakan dan
mendukung “pemberian perawatan berdasarkan fakta”.
c. Evaluasi penampilan klinik senantiasa dilakukan perawat dalam
penggunaan EBP.
d. Praktek berdasarkan fakta berperan penting dalam perawatan
kesehatan.
e. Praktek berdasarkan hasil temuan riset akan meningkatkan
kualitas praktek, penggunaan biaya yang efektif pada pelayanan
kesehatan.
f. Penggunaan EBP meningkatkan profesionalisme dan diikuti
dengan evaluasi yang berkelanjutan.
g. Perawat membutuhkan peran dari fakta untuk meningkatkan
intuisi, observasi pada klien dan bagaimana respons terhadap
intervensi yang diberikan. Dalam tindakan diharapkan perawat
memperhatikan etnik, sex, usia, kultur dan status kesehatan.
8. Hambatan Pelaksanaan EBP pada Keperawatan
a. Berkaitan dengan penggunaan waktu.
b. Akses terhadap jurnal dan artikel.
c. Keterampilan untuk mencari.
d. Keterampilan dalam melakukan kritik riset.
e. Kurang paham atau kurang mengerti.
BAB III
PENUTUP

Anda mungkin juga menyukai