Anda di halaman 1dari 3

Pemberdayaan IMP, Rahasia Sukses Program KB Masa Depan Oleh Mardiya

Posted: Desember 5, 2010 in Artikel


0
Sebuah kenyataan pahit yang harus kita terima bahwa seiring dengan pemberlakuan otonomi daerah,
Program Keluarga Berencana (KB) Nasional yang sebelumnya begitu populer di masyarakat, telah
menjadi redup bahkan cenderung mati suri. Konon menurut analisis para pakar dan pemerhati program
KB, penyebabnya paling tidak mencakup dua hal. Pertama, komitmen yang lemah pada sebagian besar
Kepala Daerah (Bupati/Walikota) terhadap program KB. Terbukti dari 440 kabupaten/kota se-Indonesia,
hanya 31 kabupaten/kota yang membentuk Dinas BKKBN secara utuh. Akibat dari kondisi itu, selain
menjatuhkan “mental” personil eks BKKBN Kabupaten/Kota, anggaran yang diterima untuk
mempertahankan/mengembangkan pelaksanaan program KB menjadi tersendat. Disatu sisi pemerintah
pusat sudah mengurangi porsi untuk kabupaten/kota, sementara Pemkab /Pemkot hanya mengucurkan
sedikit sekali anggaran untuk program KB. Sekedar sebagai bentuk “pengakuan” bahwa program KB
masih ada di wilayahnya, tanpa mempertimbangkan efek lebih jauh akibat melemahnya program KB di
daerah.
Kedua, dengan alasan pemberdayaan potensi, peningkatan karir atau menempatkan PNS sesuai latar
belakang pendidikan dan lain-lain, tidak sedikit Penyuluh Keluarga Berencana (PKB) potensial yang
dipindah/dialihtugaskan ke dinas/instansi/SKPD lain tanpa ada penggantian tenaga penyuluh yang layak
dengan kemampuan sebanding dengan sebelumnya. Akibat pergeseran tugas/alih fungsi PKB ditambah
yang pensiun atau meninggal, petugas lapangan yang memiliki tugas pokok menyosialisasikan program
KB tersebut berkurang hingga 35%, dari sekitar 36 ribu pada tahun 2003 menjadi hanya 17 ribuan pada
saat ini.
Dampak langsung yang dapat dilihat dari kedua faktor penyebab tersebut, selain intensitas pembinaan
program KB di lapangan oleh PKB menjadi jauh menurun, kreativitas untuk mengembangkan program
KB agar semakin dinamis dan diterima masyarakatpun seakan terhenti. Sementara kreativitas dan
inovasi kegiatan serta cara-cara KIE Konseling yang efektif dan mengena di awal tahun 1980 – 1990 an
menjadi semacam “ikon” BKKBN yang banyak ditiru oleh instansi lain karena terbukti efektif untuk
menggugah kepedulian dan peran serta masyarakat terhadap program KB. Akibatnya sekarang ini sudah
cukup terasa. Selain seperti kehilangan roh, program KB tidak lagi banyak bergema di masyarakat atau
nyaris tak terdengar. Sehingga bila kondisi ini tetap dibiarkan tanpa ada upaya penanganan serius dari
pemerintah kabupaten atau kota mulai saat ini, Program KB Nasional lambat laun akan “ambruk” dan
menjadi bahan cemoohan lebih dari 40 negara di dunia yang pernah belajar KB di Indonesia melalui
paket International Trainning Programme (ITP).
Bukan hanya itu, akibat yang lebih besar dan membahayakan telah menunggu, yakni ancaman ledakan
bayi (baby boom) kedua. Menurut Kepala BKKBN Pusat, Dr. Sugiri Syarief, MPA, ancaman ini tidak
mengada-ada. Karena sinyalemen ke arah sana mulai terasa, bila pertambahan penduduk per tahun
periode 2000 hingga 2005 diprediksi hanya sekitar 3 juta, sekarang ini telah meningkat menjadi 4,3 juta
jiwa per tahun dengan karakteristik TFR yang cenderung naik. Yang lebih menyedihkan lagi, dalam lima
tahun terakhir, kesertaan masyarakat dalam ber-KB hanya meningkat rata-rata 0,5%. Dalam kondisi yang
demikian, bila program KB tidak segera digalakkan dan digiatkan kembali, di tahun 2015 jumlah
penduduk Indonesia telah menjadi 255,5 juta jiwa.
Akibat lebih jauh, penduduk miskinpun dipastikan bertambah. Bila kita cermati, jumlah pendiduk miskin
sekarang ini telah mencapai lebih dari 60 juta jiwa. Bisa dibayangkan pertambahannya bila pertumbuhan
penduduk negeri ini bila makin tak terkendali. Bukan tidak mungkin sebagian besar dari penduduk dan
keluarga di Indonesia akan jatuh miskin. Sementara kemiskinan selalu identik dengan ketertinggalan,
keterpurukan dan kebodohan. Suatu kondisi yang sedapat mungkin harus kita hindari disaat era
globalisasi telah bergulir ke segenap sendi-sendi kehidupan individu, keluarga, masyarakat dan bangsa.
Persoalannya, dengan cara apa program KB di masyarakat dapat digalakkan, bila komitmen politis
pemerintah daerah terhadap program KB telah terlanjur melemah, sementara tenaga penyuluh terus
menyusut dari tahun ke tahun? Menurut hemat penulis, selain merubah visi misi maupun strategi
program yang sudah dilakukan, ada dua langkah mendasar yang sangat urgen untuk segera dilaksanakan
oleh pemerintah khususnya oleh institusi BKKBN di tingkat kabupaten (walau dengan nomenklatur yang
berbeda), propinsi maupun pusat, yakni mengoptimalkan tugas pokok dan fungsi PKB melalui pola
pembinaan, pelatihan, dan renumerasi untuk membangun kembali “semangat” menyuluh yang sempat
drop serta dengan lebih memberdayakan kader Institusi Masyarakat Pedesaan (IMP).
Mengapa IMP? Ada tiga alasan logis yang dapat dikemukakan: Pertama, kader IMP yang terdiri dari
Koordinator PPKBD, PPKBD, Sub PPKBD dan Kelompok KB-KS selama ini diakui memiliki peran yang
sangat besar dalam mendukung suksesnya Program KB Nasional. Selain jumlah personilnya begitu
banyak (untuk seluruh Indonesia mencapai tidak kurang dari 1,23 juta kader IMP), keberadaannya telah
mencakup seluruh desa, dusun hingga tingkat RT yang ada di 33 provinsi, 440 kabupaten/kota dan 5.278
kecamatan. Ini dapat dijadikan motor penggerak program KB yang cukup efektif karena setiap kader IMP
telah memiliki wilayah binaan masing-masing secara berjenjang seperti Koordinator PPKBD memiliki
wilayah binaan satu desa, PPKBD satu dusun, Sub PPKBD dan Kelompok KB-KS satu RT. Jadi tidak ada
satu wilayah pun di Indonesia yang tidak terjangkau oleh pembinaan kader IMP.
Kedua, kader IMP adalah pekerja sosial yang tangguh. Keberadaannnya pun juga sudah diakui oleh
pemerintah dan masyarakat seiring dengan terbitnya SK Kepala Desa atau Camat tentang keberadaan
institusi ini di semua wilayah. Bukti bahwa mereka merupakan pekerja sosial yang tangguh, mereka
tetap bekerja dengan tekun dan penuh keikhlasan walaupun tidak digaji. Karena mereka sadar, menjadi
kader IMP tidak dapat dijadikan media atau jalan pintas untuk mencari uang/materi, tetapi lebih
cenderung ke arah mencari “amal” untuk kebaikan masyarakat dan kehidupan pribadinya kelak di
zaman yang lebih abadi (akhirat).
Ketiga, kader IMP telah memiliki format peran terhadap program KB yang begitu jelas dan benar-benar
diresapi oleh setiap kader IMP. Format peran tersebut dikemas dalam bentuk “Enam Peran Bakti
Institusi”. Enam peran bakti institusi ini telah menjadi semacam motor penggerak secara jiwani bagi
kader IMP untuk mengaktualisasikan jiwa sosial dan empatinya terhadap kesejahteraan keluarga dan
masyarakat yang diyakini dapat dicapai melalui program KB. Keenam peran bakti yang dimaksud adalah:
(1) Pengorganisasian, (2) Pertemuan, (3) KIE dan Konseling, (4) Pencatatan Pendataan, (5) Pelayanan
Kegiatan, dan (6) Kemandirian. Melalui pintu enam peran bakti tersebut, kader IMP mengabdikan diri
kepada masyarakat dan keluarga sasaran yang dilandasi oleh jiwa kepedulian dan rasa tanggungjawab.
Dengan demikian, seseorang yang telah menyatakan diri menjadi kader IMP dan benar-benar konsisten
terhadap komitmennya (baik tanpa atau dikuatkan dengan Surat Keputusan Kepala Desa/Camat),
mereka adalah kader-kader masyarakat yang tangguh dan tidak takut terhadap tantangan dan
hambatan yang ditemui, seberapapun beratnya, walaupun secara pribadi telah menguras waktu, tenaga,
biaya dan pemikirannya.
Ini jelas menjadi modal utama sekaligus potensi luar biasa yang dapat dimanfaatkan oleh jajaran eks
BKKBN Kabupaten/Kota khususnya, untuk tetap dapat mempertahankan dan mengembangkan program
KB di lini lapangan meskipun kewenangannya telah jauh menyusut dibandingkan era sebelum otonomi
daerah diberlakukan. Untuk mengoptimalkan peran mereka kuncinya hanya ada dua, yakni PKB harus
sering-sering mengunjungi mereka dan melakukan pembinaan serta jangan sekali-kali
menyakiti/menyinggung perasaan mereka. Alasan sederhana yang dapat kita kemukakan adalah bahwa
kader IMP itu ibarat mesin sepeda motor. Manakala mesin itu dirawat dengan baik dan tidak diutak-utik
hingga beberapa bagiannya menjadi rusak, mesin tersebut akan tetap hidup, berjalan dan memberi
manfaat yang optimal kepada pemiliknya. Itu artinya, kader IMP tetap dapat dijadikan ujung tombak
penggerak/pengelola program dibasis masyarakat manakala para pembinanya yang dalam hal ini adalah
penyuluh KB tahun bagaimana cara ‘memperlakukan” kader IMP agar tetap optimal memainkan
perannya. Jadi kader IMP adalah potensi yang sangat luar biasa untuk pengembangan program KB di
masa depan yang tidak dimiliki oleh Dinas/Instansi /SKPD manapun di tingkat kabupaten/kota.
Memang, pemberian reward bagi kader IMP dalam bentuk uang operasional, honor, atau piagam
penghargaan atas jasa dan perannya, perlu dipikirkan dan direalisasikan dalam era mendatang. Tetapi
itu tidak terlalu tergesa-gesa dan dapat dilakukan secara bertahap. Apalagi reward tersebut dapat
disiasati dengan mengembalikan segala sesuatunya kepada masyarakat dan keluarga sasaran, yang telah
banyak dibantu dan dilayani melalui program dan kegiatan yang bermanfaat. Tinggal bagaimana pihak
penyuluh KB mampu mengadvokasi para tokoh masyarakat, tokoh agama maupun organisasi
kemasyarakatan di tingkat lini lapangan (termasuk PKK) untuk meyakinkan sekali lagi bahwa program KB
untuk kebaikan mereka yang berarti pula menjadi kebutuhan keluarga dan masyarakat. Advokasi juga
perlu diarahkan pada para tokoh formal, mulai dari Camat, Kepala Desa, Kepala Dusun, Ketua RW hingga
ketua RT, agar mereka memiliki pandangan yang positif terhadap KB dan bersedia membantu kader IMP
sesuai dengan kewenangan mereka. Misalnya, seorang kepala desa menganggarkan operasional kader
lewat APBDes, seorang Kepala Dusun, Ketua RW dan RT mengusulkan pada warganya untuk
menyisihkan sebagian dari kas dusun, kas RW atau kas RT untuk kepentingan operasional kader IMP di
wilayahnya, dan sebagainya.
Sekarang ini upaya mengoptimalkan peran kader IMP dalam rangka menggiatkan/menggerakkan
kembali program KB dapat dilakukan dengan menumbuhkembangkan forum komunikasi kader IMP baik
di tingkat kabupaten maupun kecamatan. Dengan adanya forum komunikasi ini dan dikuatkan dengan
SK Bupati/Camat, kader IMP dapat lebih leluasa bergerak, saling berkomunikasi, berimprovisasi maupun
berkreasi untuk menciptakan kegiatan-kegiatan yang memiliki kontribusi positif program KB, termasuk
kegiatan yang punya “nilai jual” misalnya menyelenggarakan seminar, loka karya, orientasi,
pendidikan/pelatihan dan sejenisnya dengan menggandeng pihak-pihak lain yang memiliki kompetensi.
Melalui kegiatan ini, forum dapat menggali dana lewat kontribusi peserta dan donatur yang tidak
mengikat.
Memang jalan menuju kondisi ideal masih cukup panjang, apalagi di era yang serba sulit sekarang ini.
Tetapi pemberdayaan kader IMP di masa sekarang dan yang akan datang meupakan tuntutan yang tidak
bisa ditawar-tawar, bila kita tetap menginginkan program KB di negara kita kembali bergairah serta
memberi manfaat lebih pada masyarakat dan keluarga sasaran. Sekarang tinggal bagaimana, para
pengambil kebijakan program KB di tingkat pusat, provinsi dan kabupaten/kota bersikap dan berkreasi
untuk mengemas sistem atau model pemberdayaan yang efektif yang mampu mengaktualisasikan
segenap potensi dan kemampuan masyarakat untuk dapat lebih memberdayakan kader IMP, karena
telah disadari bersama bahwa kader IMP nyata-nyata menjadi penentu keberhasilan pengelolaan
program KB di lapangan.

Anda mungkin juga menyukai