Anda di halaman 1dari 43

BAB I

PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang

Masa balita termasuk dalam periode emas untuk pertumbuhan dan


perkembangan si kecil, dimana pada masa ini kebutuhan zat gizi pada anak sangat
tinggi yang diperlukan untuk proses tumbuh kembangnya. Sehingga kesalahan
praktik pemberian makan pada balita di masa ini berdampak negatif terhadap
pertumbuhan dan perkembangan balita. Pemberian nutrisi yang kurang atau buruk di
seribu hari pertama kehidupannya dapat berdampak pada konsekuensi
yang ireversibel, yaitu kondisi dimana ia mengalami pertumbuhan terhambat
atau stunting.  Stunting merupakan salah satu permasalahan gizi yang dihadapi di
dunia, khususnya di negara-negara miskin dan berkembang (UNICEF, 2013).
Stunting menjadi permasalahan karena berhubungan dengan meningkatnya risiko
terjadinya kesakitan dan kematian, perkembangan otak suboptimal sehingga
perkembangan motorik terlambat dan terhambatnya pertumbuhan mental hal ini yang
menyebabkan stunting mejadi prediktor buruknya kualitas sumber daya manusia yang
selanjutnya akan berpengaruh pada pengembangan potensi bangsa. (Harau Mitra,
2015)

Berdasarkan World Health Organization (WHO), prevalensi balita stunting di


tahun 2017 sebesar 22,2% atau sekitar 150,8 juta balita di dunia mengalami stunting
yang menduduki posisi pertama pada Negara India 31.2 % (WHO, 2018). Menurut
United Nations Children’s Fund (UNICEF), Dari 83,6 juta balita stunting di Asia,
proporsi terbanyak berasal dari Asia Selatan (58,7%) dan proporsi paling sedikit di
Asia Tengah (0,9%) prevalensi stunting di Indonesia lebih tinggi dibandingkan
negara-negara lain di Asia Tenggara, seperti Myanmar (35%), Vietnam (23%), dan
Thailand (16%) [ CITATION UNI172 \l 1033 ] . Berdasarkan Kementrian Kesehatan, Data
prevalensi balita stunting yang dikumpulkan World Health Organization (WHO),
Indonesia termasuk ke dalam negara ketiga 36.4 % dengan prevalensi tertinggi di
wilayah Asia Tenggara/South-East Asia Regional (SEAR).
Menurut data Kementrian Kesehatan (Kemenkes), Rata-rata prevalensi balita
stunting di Indonesia tahun 2019 menurun dibandingkan 3 tahun terakhir. Stunting
2017 29.6% 2018 30.8% dan 2019 adalah 29.6 % [ CITATION Kem181 \l 1033 ] .
Indonesia terdiri dari 34 provinsi, salah satunya Provinsi Gorontalo berdasarkan data
yang di dapatkan dari Dinas Kesehatan Provinsi Gorontalo 2019, jumlah balita
stunting sebanyak 10.058 ribu di dapatkan dari balita sangat pendek berjumlah 3.618
dan yang pendek berjumlah 6.440, dan menjadi penyumbang stunting terbanyak ada
pada Kabupaten Gorontalo, kedua Kabupaten Bualemo, ketiga Kabupaten Pohuwato,
ke empat Kabupaten Gorontalo Utara, kelima Kabupaten Bone Bolango dan urutan
ke enam terakhir Kota Gorontalo.
Banyak faktor yang menyebabkan tingginya kejadian stunting pada balita.
Penyebab langsung adalah kurangnya asupan makanan dan adanya penyakit infeksi.
Faktor lainnya adalah pengetahuan ibu yang kurang, praktik pemberian makan yang
salah, sanitasi dan hygiene yang buruk dan rendahnya pelayanan kesehatan. Selain itu
masyarakat belum menyadari anak pendek merupakan suatu masalah, karena anak
pendek di masyarakat terlihat sebagai anak-anak dengan aktivitas yang normal, tidak
seperti anak kurus yang harus segera ditanggulangi. Demikian pula halnya gizi ibu
waktu hamil, masyarakat belum menyadari pentingnya gizi selama kehamilan
berkontribusi terhadap keadaan gizi bayi yang akan dilahirkannya kelak (Harau
Mitra, 2015).
Sebagaimana telah dijeaskan salah satu faktor langsung tingginya angka stunting
yaitu kurangnya asupan makanan. Asupan zat gizi yang optimal menunjang tumbuh –
kembang balita baik secara fisik, psikis maupun motorik atau dengan kata lain,
asupan zat gizi yang optimal pada saat ini merupakan gambaran pertumbuhan dan
perkembangan yang optimal pula di hari depan. Asupan sendiri sangat ditentukan
oleh praktik pemberian makan yang baik pada balita, meskipun bahan makanan
tersedia dalam jumlah yang cukup dan seorang ibu memiliki pengetahuan gizi yang
tinggi namun pada praktik pemberian makan kurang baik maka tidak akan
mendukung secara penuh terhadap pengawasan asupan gizi anak. (khaerunisa intan,
2019)

Penelitian Hendrayati tahun (2015), menjelaskan Praktek pemberian makan


adalah cara yang dilakukan keluarga dalam praktek pemberian makan contoh
meliputi frekuensi pemberian makanan utama, komposisi makanan dalam sekali
makan, namun pada penelitiannya didapatkan hasil dimana ibu atau pengasuh dalam
praktik pemberian makan 59,5% dengan anak berusia 12 hingga 60 bulan dilakukan
pemberian makan yang tidak konsisten Demikian juga dengan frekuensi makan yang
rendah dan tidak memperhatikan komposisi makanan sekali makan.

Berdasarkan hasil penelitian Trisnawati dkk (2016), menunjukkan asupan energy


pada balita sebagian besar kurang. Terdapat banyak balita dengan kategori asupan
kurang dikarenakan balita makan secara tidak teratur. Berdasarkan hasil observasi
dimana balita merupakan masa sulit dalam pemberian makan anak, karena anak
sudah mulai aktif dan pemantauan orang tua juga sudah mulai berkurang. Keadaan
gizi balita dipengaruhi oleh praktik makan keluarga karena balita masih tergantung
dalam memenuhi asupan makan. Semntara itu, kualitas makanan dan gizi sangat
tergantung praktik pemberian makan yang diterapkan pengasuh. Peran orang tua
sangat menentukan statu gizi balita, pada umumnya orang tua memberikan makanan
yang kurang teratur dn terkadang memaksakan suatu makanan kepada anak. Selain
itu tidak ada usaha dari orang tua agar anak mau makan dan lebih membiarkan anak
jajan sembarangan (Kahfi, 2015)

Berdasarkan masalah di atas, maka penulis tertarik melakukan Studi Literatur


mengenai “Hubungan Paraktik Pemberian Makan Dengan Kejadian Stunting Pada
Balita”.

1.2. Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang dan identifikasi masalah di atas, maka dapat
dikemukakan rumusan masalah yakni “Apakah Ada Hubungan Praktik Pemberian
Makan Dengan Kejadian Stunting Pada Balita?”
1.3. Tujuan
Tujuan dari Literature review ini untuk menganalisis dan mensinstesis bukti-
bukti/literature tentang hubungan Praktik pemberian makan dengan kejadian stunting
pada balita
1.4 Manfaat
Menambah wawasan dan pengetahuan, bahan informasi tentang sejauh mana
hubungan prktik pemberian makan dengan kejadian stunting pada balita.
BAB II
KAJIAN TEORITIS

2.1 Kajian Teori


2.1.1 Konsep Praktik Pemberian Makan
Cara yang dilakukan keluarga contoh dalam praktek pemberian makan contoh
meliputi pemberian ASI dan kolostrum, frekuensi pemberian makanan utama,
pemberian makanan selingan, komposisi makanan dalam sekali makan, penentuan
waktu makan, penggunaan alat makan, usaha ibu dalam memberikan makanan pada
anak, pemilihan jenis makanan, pengenalan makanan baru, penyiapan dan penyajian
makanan, pantangan makan dan kesulitan anak makan.( Leliyana Nursanti, 2013)
A. Faktor-faktor yang mempengaruhi dalam Praktik Pemberian Makan
Faktor-faktor yang mempengaruhi dalam praktik pemberian makan pada balita
yaitu meliputi:

1. Faktor ekonomi
Faktor ekonomi cukup dominan dalam mempengaruhi konsumsi makanan.
Meningkatnya pendapatan dalam keluarga akan meningkatkan peluang untuk
membeli makanan dengan kualitas dan kuantitas yang lebih baik
(Sulistyoningsih, 2011).
2. Faktor sosial budaya
Pantangan dalam mengkonsumsi jenis makanan tertentu dapat dipengaruhi
oleh faktor budaya atau kepercayaan. Pantangan yang didasari oleh
kepercayaan pada umumnya mengandung perlambang atau nasihat yang
dianggap baik ataupun tidak baik yang lambat laun menjadi kebiasaan.
Budaya mempengaruhi seseorang dalam menentukan apa yang akan dimakan,
bagaimana pengolahan, persiapan, dan penyajiannya serta untuk siapa dan
dalam kondisi bagaimana pangan tersebut dikonsumsi (Sulistyoningsih,
2011).
3. Pendidikan
Pendidikan adalah suatu kegiatan atau proses pembelajaran untuk
mengembangkan atau meningkatkan kemampuan tertentu sehingga sasaran
pendidikan itu dapat berdiri sendiri. Tingkat pendidikan turut pula
menentukan mudah tidaknya seseorang menyerap pengetahuan yang mereka
peroleh. Tingkat pendidikan dapat mempengaruhi pengetahuan dan perilaku
seseorang, hal ini dikarenakan tingkat pendidikan yang terlalu rendah akan
sulit memahami pesan atau informasi yang disampaikam. Pendidikan bagi
seorang ibu sangat penting dan tepat terutama dalam merawat balita
(Ernawati, 2014).
4. Lingkungan
Faktor lingkungan cukup besar pengaruhnya terhadap pembentukan perilaku
makan. Kebiasaan makan pada keluarga sangat berpengaruh besar terhadap
pola makan seseorang, kesukaan seseorang terhadap makanan terbentuk dari
kebiasaan makan yang terdapat dalam keluarga (Ernawati, 2014).
5. Usia ibu
Usia ibu berpengaruh dalam proses belajar menyesuaikan diri, seiring dengan
bertambahnya umur seseorang maka semakin banyak pengalaman yang akan
didapat dari lingkungan dalam membentuk perilakunya. Semakin bertambah
umur, ibu akan mempunyai pengalaman yang lebih banyak dari
lingkungannya dalam pola asuh balita khususnya dalam perilaku pemberian
makan bagi balitanya (Ernawati, 2014).
B. Karakteristik orang tua dalam pemberian makanan balita
Musher-Eizman dan Holub (2007) menjelaskan bahwa pemberian makanan pada
balita dapat dilihat dari beberapa aspek yaitu:
1. Tekanan untuk makan (Pressure to eat)
Tekanan untuk makan sebagai tindakan mendorong balita untuk makan.
Orang tua sering sekali melakukan tindakan tekanan pada balita dalam
aktivitas makan untuk usaha meningkatkan berat badan balita. Bentuk lain
dari tekanan yang seringkali dilakukan orangtua adalah dengan membentak,
berkata kasar, memaksa balita untuk makan makanan yang disediakan.
Tekanan yang dilakukan orangtua agar balita mau makan atau menghabiskan
makanannya akan menggangu psikologis balita. Balita akan merasa bahwa
aktivitas makan merupakan aktivitas yang tidak menyenangkan sehingga
balita akan kehilangan nafsu makan yang akan berdampak pada
pertumbuhannya.
2. Pembatasan untuk berat badan (Restriction for weight)
Pembatasan makanan merupakan kontrol terlalu tinggi terhadap apa dan
berapa banyak makanan yang balita makan. Orang tua sering kali berusaha
membatasi konsumsi makanan tertentu pada balitanya dengan cara yang tidak
tepat. Orang tua berusaha membatasi makanan cepat saji bagi balita. Orang
tua memiliki tujuan baik dengan melakukan tindakan tersebut, namun
tindakan pembatasan terhadap konsumsi makanan tertentu akan semakin
meningkatkan minat balita terhadap makanan tersebut.
3. Makanan sebagai hadiah atau reward
Hadiah atau reward merupakan hal yang disuka balita, namun hadiah atau
reward juga bisa menimbulkan dampak buruk bagi perilaku makan pada
balita. Bentuk hadiah atau reward yang tepat yang dapat dilakukan pada
balita dengan memberikan pujian, pelukan, ciuman pada balita jika balita
menunjukkan perilaku baik, misalnya jika balita mengkonsumsi makanan
sehat. Orang tua yang selalu menunjukkan kasih sayangnya dengan
memberikan pujian, ketika balita mengkonsumsi makanan sehat akan
membuat balita berada dalam kondisi yang nyaman dan berimbas pada
perkembangan perilaku makan yang baik pada balita.
4. Regulasi emosi
Regulasi emosi lebih menekankan pada bagaimana dan mengapa emosi itu
sendiri mampu mengatur seperti memusatkan perhatian saat pemberian makan
dan memusatkan balita ketika sedang diberikan makan.
5. Pembatasan untuk kesehatan (Restriction for health)
Pembatasan makanan merupakan kontrol terlalu tinggi terhadap apa dan
berapa banyak makanan yang balita makan. Orang tua sering kali berusaha
membatasi konsumsi makanan tertentu pada balitanya dengan cara yang tidak
tepat. Orang tua berusaha membatasi makanan cepat saji bagi balita. Orang
tua memiliki tujuan baik dengan melakukan tindakan tersebut, namun
tindakan pembatasan terhadap konsumsi makanan tertentu akan semakin
meningkatkan minat balita terhadap makanan tersebut.
6. Kontrol (Control)
Kontrol makanan merupakan tindakan yang dilakukan orangtua terhadap
makanan yang dikonsumsi oleh balita. Adapun bentuk kontrol yang dapat
dilakukan meliputi tekanan pada balita untuk makan (pressure) dan
pembatasan untuk makan (retriction). Tekanan untuk makan sebagai tindakan
mendorong balita untuk makan. Orang tua sering melakukan tindakan tekanan
pada balita dalam aktivitas
makan untuk usaha meningkatkan berat badan balita. Bentuk tekanan yang
dilakukan orang tua dapat berupa pemberian hadiah atau reward pada balita.
7. Edukasi makanan (Teaching nutristion)
Edukasi makanan sehat dapat dilakukan saat aktivitas pemberian makan pada
balita. Orang tua dapat menyampaikan manfaat makan sayur ketika
memberikan suapan sayur pada balita atau ketika balita menolak untuk makan
sayur. Ibu merupakan pendidik keluarga, pengajaran tentang zat gizi dan
makanan sehat pada balita diberikan oleh ibu karena ibu memiliki
pengetahuan yang lebih baik terkait kandungan gizi makanan dibandingkan
oleh ayah.
8. Mendorong keseimbangan (Encourage balance)
Tekanan untuk makan sebagai tindakan mendorong balita untuk makan.
Orang tua sering sekali melakukan tindakan tekanan pada balita berupa
dorongan dalam aktivitas makan untuk usaha meningkatkan berat badan
balita.
9. Lingkungan sehat (Healthy environment)
Faktor lingkungan cukup besar pengaruhnya terhadap pembentukan perilaku
makan. Kebiasaan makan pada keluarga sangat berpengaruh besar terhadap
pola makan seseorang, kesukaan seseorang terhadap makanan terbentuk dari
kebiasaan makan yang terdapat dalam keluarga. Balita usia 3-5 tahun
mempunyai ciri khas yaitu sedang dalam proses tumbuh kembang, ia banyak
melakukan kegiatan jasmani, dan mulai aktif berinteraksi dengan lingkungan
sosial maupun alam sekitarnya sehingga lupa untuk makan.
10. Keterlibatan balita (Involvement)
Balita dapat dilibatkan dalam prosespenyiapan dan pemilihan makan.
Penyiapan dan pemilihan makanan merupakan tanggung jawab ibu, namun
secara perlahan balita harus mampu memilih dan menentukan makanan sehat
bagi dirinya. Perkembangan kognitif dan motorik pada usia balita yang belum
matang mengakibatkan balita belum mampu mempersiapkan dan memilih
makanansecara mandiri. namun orang tua perlu melibatkan balita dalam
proses tersebut.
11. Pemantauan (Monitoring)
Pemantauan pola makan balita penting bagi pertumbuhan, balita seringkali
makan apa saja yang mereka sukai, oleh karena itu penting orang tua untuk
memantau nutrisi balita. Ketika pola makan balita teratur maka gizi balita
tercukupi dan terhindar dari masalah kesehatan.
12. Model peran (Modeling)
Model peran (Modeling) merupakan suatu perilaku pemberian contoh
sehingga orang yang melihat akan mengikuti perilaku tersebut. Modeling
dapat memberikan efek protektif terhadap kesehatan balita. Lingkungan
keluarga merupakan tempat balita pertama kali belajar mengenai segala
sesuatu melalu model peran. Model peran ditunjukkan orang tua dan orang
lain yang memiliki kedekatan dengan balita akan mempengaruhi kebiasaan
makan pada balita.

C. Aturan Praktik pemberian makanan balita


Untuk melihat sesuai atau tidaknya pemberian makan pada balita dapat dilihat
pada aturan pemberian makan (feeding rules) menurut Rekomendasi Ikatan
Dokter Anak Indonesia (2015):
1. Jadwal
Ada jadwal makanan utama dan makanan selingan (snack) yang teratur, yaitu
tiga kali makanan utama dan dua kali makanan kecil diantaranya. Susu dapat
diberikan dua – tiga kali sehari. Waktu makan tidak boleh lebih dari 30 menit.
Hanya boleh mengonsumsi air putih diantara waktu makan.
2. Lingkungan
Lingkungan yang menyenangkan (tidak boleh ada paksaan untuk makan).
Tidak ada distraksi (mainan, televisi, perangkat permainan elektonik) saat
makan. Jangan memberikan makanan sebagai hadiah.
3. Prosedur
Dorong balita untuk makan sendiri. Bila balita menunjukan tanda tidak mau
makan (mengatupkan mulut, memalingkan kepala, menangis), tawarkan
kembali makanan secara netral, yaitu tanpa membujuk ataupun memaksa. Bila
setelah 10 – 15 menit balita tetap tidak mau makan, akhiri proses makan.

2.1.2 Konsep Status Gizi


A. Definisi Status Gizi
Status gizi adalah keadaan tubuh manusia sebagai akibat konsumsi
makanan dan penggunaan zat-zat gizi. Status gizi merupaka indicator yang
menggabarkan kondisi kesehatan dipengaruhi oleh asupan serta
pemanfaatan zat gizi dalam tubuh. Asupan energi yang masuk ke dalam
tubuh diperoleh dari makanan yang dikonsumsi sedangkan pengeluaran
energi digunakan untuk metabolisme basal dan aktivitas fisik.
Keseimbangan antara pemasukan energi dan pengeluarannya akan
menciptakan status gizi normal. Apabila keadaan gizi tersebut tidak terjadi
maka dapat menimbulkan masalah gizi baik masalah gizi kurang dan
masalah gizi lebih (Mardalena, 2017)
B. Penilaian Status Gizi
( Mardalena, 2017), Dalam ilmu gizi, ada 2 metode penilaian status gizi
yang kita kenal, yaitu
1. Penilaian status gizi secara langsung
a) Antropometri
Antropometri berarti adalah ukuran tubuh manusia.
Pengukuran menggunakan metode ini dilakukan karena manusia
mengalami pertumbuhan dan perkembanga. Pertumbuhan mencakup
perubahan besar, jumlah, ukuran, dan fungsi sel, jaringan, organ
tingkat individu yang diukur dengan ukuran panjang, berat, umur
tulang dan keseimbangan metabolik. Sedangkan perkembangan
adalah bertambahnya kemampuan dalam struktur dan fungsi tubuh
yang lebih konpleks dalam pola yang teratur dan dapat diramalkan.
Pertumbuhan dan perkembangan dipengaruhi olhe factor internal
(genetic) dan factor eksternal/lingkungan.
Metode atropometri dilihat untuk melihat ketidakseimbangan
asupan protein dan energy (karbohidrat dan lemak). Metode ini
memiliki keunggulan, dimana alat mudah, dapat dilakukan berulang-
ulang dan objektif, siapa saja bias dilatih mengukur, relatife murah,
hasilnya mudah disimpulkan, secara ilmiah ilmiah diakui
kebenarannya, sederhana, aman, akurat, dan dapat menggabarkan
riwayat gizi masa lalu, bias untuk skrining, dan mengevaluasi status
gizi. Antropometri sebagai indikator status gizi dapat dilakukan
dengan mengukur beberapa parameter antara lain : umur, berat
badan, tinggi badan, lingkar lengan atas, lingkar kepala, lingkar
dada, jaringan lunak
Parameter sebagai ukuran tunggal sebernya belum bias
digunakan untuk menilai status gizi, maka harus kombinasikan.
Kombinasi beberapa parameter itu disebut indeks Antropometri yang
terdiri dari :
a. Berat badan menurut umur (BB/U)
b. Tinggi badan menurut umur (TB/U)
c. Berat badan menurut tinggi badan (BB/TB)
d. Lingkar lengan atas menurut umur (LLA/U)
e. Indeks masa tubuh (IMT)
Berdasarkan kementrian kesehatan Republik Indonesia 2010, kategori
status balita sebagai berikut :
Gambar 2.1 Penilaian status gizi anak berdasarkan standar antropometri
Sumber : Kemenkes RI 2010

b) Pemeriksaan Klinis
Pemeriksaan klinis meliputi pemeriksaan secara keseluruhan
termasuk riwayat kesehatan. Pemeriksaan klinis yang mencakup bagian
tubuh yaitu kulit, gigi, gusi, bibir, lidah, mata dan alat kelamin.
c) Biokimia
Pengukuran biokimia adalah pemeriksaan specimen yang di uji
secara labolatoris yang dilakukan pada berbagai jaringan tubuh berupa
darah, urin, tinja, dan jaringan tubuh.
d) Biofisik
Merupakan penetuuan status gizi berdasarkan kemampuan fungsi
dari jaringan dan perubahan struktur jaringan.
2. Penilaian Status Gizi Secara Tidak Langsung
a) Survei konsumsi makanan
Survei konsumsi makanan dimaksudkan untuk mengetahui
kkebiasaan makan atau gambaran tingkat kkecukupan bahan
makanan dan zat gizi pada tingkat kelompok, rumah tangga dan
perorangan serta faktor-faktor yang mempengaruhinya.
b) Statistika vital
Untuk mengetahui gambaran keadaan gizi di suatu wilayah,
kita bias membacanya dengan cara menganalisis statistika kesehatan.
Dengan menggunakan statistika kesehatan kita dapat melihat
indicator tidak langsung pengukuran status gizi masyarakat.
b) Pengukuran faktor ekologi
Faktor ekologi yang berhubungan dengan malnutrisi ada enam
kelompok, yaitu keadaan infeksi, konsumsi makanan, perubahan
budaya, social ekonomi, produksi pangan, serta kesehatan dan
pendidikan.
2.1.3 Konsep stunting
A. Definisi Stuting
Menurut Kementrian Kesehatan Republic Indonesia 2015 (KEMENKES RI),
Tumbuh pendek pada masa anak-anak (Chilhood stunting) merupakan akibat
kekuranga gizi atau kegagalan pertumbuhan di masa lalu dan digunakan sebagai
indikator jangka panjang untuk gizi kurang pada anak. Chilhood stunting
berhubungan dengan gangguan perkembangan neurokognitif dan risiko
menderita penyakit tidak menular di masa depan (KEMENKES RI, 2015).
Stunting merupakan masalah gizi kronis yang disebabakan oleh asupan gizi yang
kuranf dalam waktu yang lama akibat pemberian makanan yang tidak sesuai
dengan kebutuhan gizi. Stunting terjadi mulai dalam kandungan dan baru
Nampak pada saat anak umur dua tahun. Menurut Millennium Challenge
Account 2013 (MCA), Meningkatnya angka kematian dan anak terjadi karena
kekurangan gizi pada usia dini yang dapat menyebabkan penderita mudah sakit
dan memiliki postur tubuh tidak maksimal saat dewasa (MCA, 2013). Stunting
merupakan bentuk dari proses pertumbuhn anak yang terhambat, yang termasuk
salah satu masalah gizi yang perlu mendapat perhatian (Priyono, Sulistiani, dan
Ratnawati, 2015)
B. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Stunting
(Yuliana dan Nul Hakim, 2019) Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi
stunting yaitu :
1. Asupan zat gizi kurang
Masalah gizi yang dapat terjadi pada balita adalah tidak seimbangnya
antara jumlah asupan makan atau zat gizi yang diperoleh dari makanan
dengan kebutuhan gizi yang dianjurkan pada balita misalnya kekurangan
energi protein (KEP)
2. Penyakit infeksi
Infeksi dapat menyebabkan anak tidak merasa lapar dan tidak mau
makan. Penyakit ini juga menghabiskan sejumlah protein dan kalori yang
seharusnya dipakai untuk pertumbuhan.Diare dan muntah dapat
menghalangi penyerapan makanan. Penyakit-penyakit umum yang
memperburuk keadaan gizi adalah diare, infeksi saluran pernafasan atas,
tuberculosis, campak, batuk rejan, malaria kronis, dan cacingan Antara
kecukupan gizi dan penyakit infeksi terdapat hubungan sebab akibat yang
timbal balik dan sangat erat.
Gizi buruk menyebabkan mudahnya terjadi infeksi karena daya tahan
tubuh yang menurun. Sebaliknya pula infeksi yang sering diderita akan
menyebabkan meningkatnya kebutuhan gizi sedangkan nafsu makan
biasanya menurun jika terjadi penyakit infeksi, sehingga dapat
menyebabkan anak yang tadi gizinya baik akan menderita gangguan gizi.
Sehingga disini terlihat interaksi antara konsumsi makanan yang kurang dan
infeksi merupakan dua hal yang saling mempengaruhi.
Infeksi bisa menjadi gangguan gizi melalui beberapa cara yaitu
mempengaruhi nafsu makan, kehilangan makanan karena diare dan muntah
mempengaruhi metabolisme makanan. Penyakit infeksi yang sering terjadi
pada anak-anak adalah diare dan ISPA. Diare dapat menyebabkan anak
tidak mempunyai nafsu makan sehingga terjadi kekurangan jumlah makanan
dan minuman yang masuk ke dalam tubuhnya yang dapat menyebabkan gizi
kurang.
2.2 Kerangka Berfikir
2.3.1. Kerangka Teori

Menurut Kemenkes 2014,


praktik Pemberian Makan adalah
gambaran asupan gizi mencakup
macam :

1. Jenis Makanan
2. Jadwal Makan
3. Frekwensi Makan.
StatusGizi

Menurut Ermawati 2014, faktor-


faktor yang mempengaruhi
terbentuknya praktik makan : Stunting

1. Ekonomi
2. Sosial budaya
3. Pendidikan
4. Usia Ibu
5. Lingkungan

Gambar 2.2 Kerangka Teori


Sumber : Kemenkes (2014), Mardalena, (2017 ), Kemenks RI ( 2010), Ermawati
(2014)

Keterangan :

: variable independen yang diteliti

: tidak diteliti

:variable dependen yang diteliti


2.3.2. Kerangka Konsep

1. Jenis Makanan
2. Jadwal Makan Stunting
3. Frekwensi Makan.

: variable independen

: varibel dependen

: yang berhubungan

Gambar 2.3 Kerangka Konsep


BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Jenis penelitian
Jenis penelitian ini adalah Jenis Penelitian Literatur Riview, yaitu serangkaian
penelitian yang berkenaan dengan metode pengumpulan data pustaka, atau
penelitian yang obyek penelitiannya digali melalui beragam informasi
kepustakaan (buku, ensiklopedi, jurnal ilmiah, koran, majalah, dan dokumen).
Penelitian kajian literatur (literature review, literature research) merupakan
penelitian yang mengkaji atau meninjau secara kritis pengetahuan, gagasan, atau
temuan yang terdapat di dalam tubuh literatur berorientasi akademik (academic-
oriented literature), serta merumuskan kontribusi teoritis dan metodologisnya
untuk topik tertentu. Fokus penelitian ini adalah menemukan berbagai teori,
hukum, dalil, prinsip, atau gagasan yang digunakan untuk menganalisis dan
memecahkan pertanyaan penelitian yang dirumuskan. Adapun sifat dari
penelitian ini adalah analisis deskriptif, yakni penguraian secara teratur data yang
telah diperoleh, kemudian diberikan pemahaman dan penjelasan agar dapat
dipahami dengan baik oleh pembaca. (Fanni,2016)

3.2 Tekhnik pengumpulan data (Strategi Pencarian Literature review)


3.2.1 Pemilihan topic yang akan direview (Framework yang digunakan
(PICO(S/T)/SPIDER))
Table 3.1 Tabel PICO(S/T
I C O T
P (Interventio (comparasio (Outcome)
(Patient/ClinicalProbl (Time
n) n)
em) )
- Masalah klinik Tidak ada Tidak ada Hasil Tidak
dari jurnal ini penelitian
ada
adalah untuk menunjukk
mengetahui an ada
Hubungan hubungan
Praktik yang
Pemberian signifikan
Makan antara
Dengan Praktik
Kejadian pemberian
Stunting Pada makan
Balita dengan
- Populasinya kejadian
adalah balita stunting
stunting

3.2.2 Kata Kunci


Kata kunci yang digunakan untuk pencarian pada Google Scholer :
Praktik Pemberian Makan dan Balita Stunting, pada Pubmed :
practice feeding and stunting, dan Science Direct : the practice of
feeding and stunting toddlers
3.2.3 Database atau search engine
Database atau search engine yang digunakan database PubMed,
Science Direct, dan google scholar.
3.2.4 Menganalisis dan mensintesis literature
Tabel 3.2 Tabel Sintesa Grit
Peneliti (Tahun) & Tujuan Desain Responden Pengumpula Hasil
N Judul Penelitian n Data Penelitian
o

1. Hendrayati (2015), Menganali Cross- Ibu yang Data tentang Faktor-


Analysis of sis faktor- Sectional memiliki praktik faktor
Determinant faktor balita 12- pemberian penentu
Factors in Stunting penentu 60 bulan makan dalam
Children Aged 12 dalam disertakan kejadian
to 60 Months kejadian konsistensi stunting
stunting dalam pada anak
pada anak pemberian usia 12
berusia 12 makan, hingga 60
tahun frekuensi bulan
hingga 60 makan dan adalah
bulan sarapan, asupan
yang energi (p
semuanya <0,001)
dilakukan dan nutrisi
dengan makro
kuesioner lainnya
juga. seperti
asupan karbohidrat
energi, (p <0,001),
asupan protein (p
makronutrien <0,001)
yang serta lemak
termasuk (p <0,008).
protein, Selagi
lemak dan asupan zat
karbohidrat gizi mikro
serta vitamin yang
seperti berkontribu
vitamin C si terhadap
dan kejadian
vitamin A. stunting
Asupan adalah
mineral asupan
adalah seng vitamin A
(Zn). Energi (p <0,036)
keseluruhan dan seng
dan (p <0,050).
Asupan Selain
nutrisi yang asupan,
dikonsumsi praktik
diukur pemberian
dengan food makan
recall 3 x 24 seperti
jam. konsistensi
(p <0,001),
frekuensi
(p <0,001)
dan
kebiasaan
sarapan (p
<0,001)
juga
menentuka
n faktor
dalam
kejadian
stunting.
Pengetahua
n ibu
tentang
untuk gizi,
pemberian
ASI
eksklusif
dan
makanan
pendampin
g tidak
menentuka
n faktor
dalam
kejadian
stunting
tetapi
adalah
yang
protektif.
2. Desiansi dkk, Menganali Kasus Sampel Metode Terdapat
(2016) Hubungan sis Control dalam pengukuran hubungan
Antara Praktik Hubungan penelitian secara antara
Pemberian Makan, Antara ini respropektif praktik
perawatan Praktik sebanyak pemberian
kesehatan, dan Pemberian 60 orang makan
kebersihan anak Makan, yang terdiri (OR=2,037
dengan kejadian perawatan dari 30 ; 95% CI;
stuting anak usia 1- kesehatan, orang dari 1,318-
2 tahun di wilayah dan kelompok 3,149) dan
kerja puskesmas kebersihan kontrol dan praktik
oebobo kota kupang anak 30 orang kebersihan
dengan dari terhadap
kejadian kelompok kejadian
stuting kasus. stunting
anak usia Responden (OR=1,447
1-2 tahun dalam ; 95% CI
di wilayah penelitian 1,007-
kerja ini adalah 2,079),
puskesmas ibu dari sedangkan
oebobo anak yang praktik
kota berusia 1-2 perawatan
kupang tahun kesehatanti
dengan dak
status gizi memiliki
menurut hubungan
TB/U karena
masuk tingkat
dalam signifikan
kategori (p)
stunting α
dan (0,05)
kategori
normal.
3. Viramitha Kusnandi Mengetahu Cross- Ibu dan Pengambilan Lima
Rusmil dkk (2019), i hubungan sectional anak usia data melalui puluh
Hubungan Perilaku perilaku 12-23 wawancara sembilan
Ibu dalam Praktik ibu dalam bulan menggunaka subjek
Pemberian Makan praktik n kuesioner, (27,2%)
pada Anak Usia 12- pemberian dilakukan dari 217
23 Bulan dengan makan juga total subjek
Kejadian Stunting dengan pengukuran termasuk
di Wilayah Kerja kejadian panjang kelompok
Puskesmas stunting. badan anak stunting.
Jatinangor menggunaka Angka
n kemaknaan
infantometer pemberian
SECA tipe makan
210. Kriteria cukup dan
perilaku ibu pemberian
dalam makan
praktik secara
pemberian responsif
makan dengan
didapatkan kejadian
dari stunting
kuesioner sebesar
yang disusun 0,003 dan
berdasarkan 0,012.
panduan Ketepatan
World waktu dan
Health pemberian
Organization makan
(WHO) secara
dalam infant aman
and young dengan
child feeding kejadian
dan stunting
rekomendasi memiliki
pemberian nilai
makan pada p>0,05.
anak dari Perilaku
Ikatan ibu dalam
Dokter Anak praktik
Indonesia pemberian
(IDAI). makan
Kuesioner secara
terdiri dari keseluruha
karakteristik n
responden menunjukk
dan an nilai
pertanyaan p<0,05
mengenai
perilaku ibu
dalam
praktik
pemberian
makan.
4. Sabuj Kanti Mistry Mengetahu Cross- Balita Studi ini
Dkk,(2019) i konseling Sectional dibawah Data mengungka
Maternal Nutrition gizi ibu usia 5 dikumpulkan pkan
Counselling Is apa efektif tahun sebagai bahwa
Associated dalam bagian dari prevalensi
With Reduced mengurang survei cross- stunting
Stunting i stunting sectional secara
Prevalence And anak nasional, signifikan
Improved Feeding bersamaan yang lebih
Practices In Early dengan mengikuti rendah di
Childhood: A Post- peningkata cluster dua daerah di
Program n praktik tahap yang diberi
Comparison pemberian prosedur intervensi
Study makan pengambilan dibandingk
yang sampel acak an dengan
optimal dan daerah
pada anak dilakukan perbanding
di bawah antara an (29% vs
usia 5 Oktober 37%, P
tahun. 2015 dan <0,001).
Januari 2016. Selanjutnya
Penelitian ini ,
menganalisis terlihat
informasi bahwa
dari 3009 risiko
pasangan stunting
ibu-anak dari adalah 25%
dua wilayah lebih
survei yang rendah di
dipilih: i) daerah
daerah di intervensi
mana EHC dibandingk
paket an dengan
disampaikan perbanding
(perbandinga an (aOR:
n; n = 1452), 0,75, 95%
ii) area CI: 0,60-
dengan paket 0,94; P =
konseling 0,012).
EHC plus Praktek
gizi pemberian
(intervensi; n makan
= 1557) anak
dikirimkan. didaerah
Tes Chi- yang
square diberikan
dilakukan intervensi
untuk kurang
membanding stunting
kan praktik dibandingk
pemberian an dengan
makan anak daerah
dan stunting pembandin
prevalensi g
antara (pemberian
intervensi ASI
dan eksklusif:
perbandingan 72,7 vs
. Tingkat 59,4%, P =
kekuatan 0,008;
asosiasi memberi
stunting dan makan 4+
Intervensi kelompok
diperkirakan makanan:
menggunaka 42,9 vs
n model 34,1%, P
regresi <0,001;
logistik efek memiliki
campuran. diet
minimum
yang dapat
diterima:
31,2 vs
25,3%, P =
0,017;
makanan
beberapa
bubuk
mikro-
nutrisi:
16,2 vs
7,4%, P
<0,001).
5. Kissa B. M. Kulwa Tujuan dari Cross Anak Penelitian praktik
Dkk 2015, Feeding penelitian Sectional berusia 6- dilakukan di pemberian
practices and ini adalah 23 bulan enam desa makan
nutrient content of untuk yang dipilih yang tidak
complementary menilai secara acak memadai,
meals in rural praktik di Distrik kualitas
central pemberian Mpwapwa, makanan
Tanzania: makan, Tanzania yang
implications for kandungan selama rendah gizi,
dietary adequacy nutrisi dari musim pasca dan tinggi
and nutritional makanan panen. prevalensi
status pendampin Informasi pengerdilan
g, dan tentang
implikasin praktik
ya terhadap pemberian
kecukupan makan,
makanan konsumsi
dan status makanan,
gizi. dan
pengukuran
antropometri
ke semua
anak, Asupan
makanan
dinilai
dengan recall
makanan 24
jam interaktif

Penelitian yang dilakukan oleh Hendrayati (2015), dengan judul Analysis


of Determinant Factors in Stunting Children Aged 12 to 60 Months untuk
mengetahui menganalisis faktor-faktor penentu dalam kejadian stunting pada
anak berusia 12 tahun hingga 60 bulan didapatkan hasil penelitian ini
menunjukkan bahwa faktor penentu pengerdilan pada anak usia 12 hingga 60
bulan adalah asupan energi dan lainnya nutrisi makro seperti karbohidrat,
protein dan lemak. Selagi asupan nutrisi mikro yang mempengaruhi stunting
adalah vitamin A dan seng. Selain itu, praktik pemberian makan seperti
konsistensi dan frekuensi pemberian makanan dan kebiasaan sarapan juga
merupakan faktor penentu dalam kejadian tersebut pengerdilan. Pengetahuan
gizi ibu tentang eksklusif menyusui dan pemberian makanan pendamping ASI
pada periode menyusui, meskipun bukan merupakan faktor penentu, tetapi itu
adalah faktor protektif di Indonesiakejadian stunting pada anak usia 12 hingga
60 bulan.

Penelitian Desiansi dkk (2016) dengan Hubungan Antara Praktik


Pemberian Makan, perawatan kesehatan, dan kebersihan anak dengan kejadian
stuting anak usia 1-2 tahun di wilayah kerja puskesmas oebobo kota kupang
dengan tujuan Menganalisis Hubungan Antara Praktik Pemberian Makan,
perawatan kesehatan, dan kebersihan anak dengan kejadian stuting anak usia 1-
2 tahun di wilayah kerja puskesmas oebobo kota kupang di dapatkan hasil
hubungan antara praktik pemberian makan (OR=2,037; 95% CI; 1,318-3,149)
dan praktik kebersihan terhadap kejadian stunting (OR=1,447; 95% CI 1,007-
2,079), sedangkan praktik perawatan kesehatantidak memiliki hubungan
karena tingkat signifikan (p) (0,05).

Peneltian yang dilakukan Viramitha Kusnandi Rusmil dkk (2019),


Hubungan Perilaku Ibu dalam Praktik Pemberian Makan pada Anak Usia 12-
23 Bulan dengan Kejadian Stunting di Wilayah Kerja Puskesmas Jatinangor
Penelitian. Di dapatkan hasil Lima puluh sembilan subjek (27,2%) dari 217
total subjek termasuk kelompok stunting. Angka kemaknaan pemberian makan
cukup dan pemberian makan secara responsif dengan kejadian stunting sebesar
0,003 dan 0,012. Ketepatan waktu dan pemberian makan secara aman dengan
kejadian stunting memiliki nilai p>0,05. Perilaku ibu dalam praktik pemberian
makan secara keseluruhan menunjukkan nilai p<0,05.

Sabuj Kanti Mistry Dkk (2019), Maternal Nutrition Counselling Is


Associated With Reduced Stunting Prevalence And Improved Feeding
Practices In Early Childhood: A Post-Program Comparison Study. Studi ini
mengungkapkan bahwa prevalensi stunting secara signifikan lebih rendah di
daerah di yang diberi intervensi dibandingkan dengan daerah perbandingan
(29% vs 37%, P <0,001). Selanjutnya, terlihat bahwa risiko stunting adalah
25% lebih rendah di daerah intervensi dibandingkan dengan perbandingan
(aOR: 0,75, 95% CI: 0,60-0,94; P = 0,012). Praktek pemberian makan anak
didaerah yang diberikan intervensi kurang stunting dibandingkan dengan
daerah pembanding (pemberian ASI eksklusif: 72,7 vs 59,4%, P = 0,008;
memberi makan 4+ kelompok makanan: 42,9 vs 34,1%, P <0,001; memiliki
diet minimum yang dapat diterima: 31,2 vs 25,3%, P = 0,017; makanan
beberapa bubuk mikro-nutrisi: 16,2 vs 7,4%, P <0,001). Penelitian Kissa B. M.
Kulwa Dkk 2015, Feeding practices and nutrient content of complementary
meals in rural central Tanzania: implications for dietary adequacy and
nutritional status di dapatkan hasil praktik pemberian makan yang tidak
memadai, kualitas makanan yang rendah gizi, dan tinggi prevalensi
pengerdilan

3.2.5 Inklusi dan eksklusi


a. Inklusi
1. Penelitian ini harus berkaitan dengan praktik pemberian makan
dengan kejadian stuting pada balita
2. Teks lengkap
3. Bahasa Indonesia dan bahasa Inggris
4. Penelitian yang diterbitkan dari tahun 2015-2020.
b. Ekslusi
Studi literatur di keluarkan apabila tidak sesuai dengan tujuan penelitian.
3.2.6 Penentuan batasan Jumlah Jurnal yang di review
1. Ketentuan Jumlah literatur
Berdasarkan kriteria inklusi didapatkan jurnal/artikel sebanyak
5.jurnal/artikel yang akan di review.
2. Alur pencarian literature
Gambar 3.1 Alur pencarian Literatur
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Deskripsi Hasil Literatur Riview


Literatur ini ditinjau berdasarkan pencarian databese kesehatan yang relavan
termasuk Pubmed, science direct, kemudian google scholer. ditelusuri dengan
menggunakan kata kunci berikut : praktik pemberian makan dan balita stunting.
Penelitian ini mencakup tahun 2015-2020. Pencarian literatur dilakukan pada bulan
Juni 2020. Seleksi dan analisis melalui pencarian literatur dengan kata kunci praktik
pemberian makan dan stunting balita menghasilkan 1.460 dari google scholer, science
direct 100, dan pubmed 300. Kemudian disaring berdasarkan kelengkapan text
diterbitkan dari 2015-2020 menghasilkan google scholer 5, pubmed 2, dan science
direct 2. Kemudian disaring berdasarkan kriteria inklusi di dapatkan 5 jurnal.
4.2 Pembahasan Hasil Literatur Riview
4.1 Table Hasil Literatur Riview
Peneliti & Tujuan Desain Responden Hasil
judul penelitian
Hendrayati menganalisis Cross- Ibu yang Faktor-faktor
(2015), faktor-faktor Sectional memiliki penentu dalam
Analysis of penentu dalam balita 12-60 kejadian
Determinant kejadian bulan stunting pada
Factors in stunting pada anak usia 12
Stunting anak berusia hingga 60 bulan
Children Aged 12 tahun adalah asupan
12 to 60 hingga 60 energi (p
Months bulan <0,001)
dan nutrisi
makro lainnya
seperti
karbohidrat (p
<0,001), protein
(p <0,001) serta
lemak (p
<0,008). Selagi
asupan zat gizi
mikro yang
berkontribusi
terhadap
kejadian
stunting adalah
asupan vitamin
A (p <0,036)
dan seng
(p <0,050).
Selain asupan,
praktik
pemberian
makan seperti
konsistensi (p
<0,001),
frekuensi (p
<0,001) dan
kebiasaan
sarapan (p
<0,001) juga
menentukan
faktor dalam
kejadian
stunting.
Pengetahuan ibu
tentang
untuk gizi,
pemberian ASI
eksklusif dan
makanan
pendamping
tidak
menentukan
faktor dalam
kejadian
stunting tetapi
adalah yang
protektif.
Desiansi dkk, Menganalisis Kasus Ibu yang Terdapat
(2016) Hubungan control memiliki hubungan antara
Hubungan Antara Praktik balita 1-2 praktik
Antara Praktik Pemberian tahun pemberian
Pemberian Makan, makan
Makan, perawatan (OR=2,037;
perawatan kesehatan, dan 95% CI; 1,318-
kesehatan, dan kebersihan 3,149) dan
kebersihan anak anak dengan praktik
dengan kejadian kejadian kebersihan
stuting anak stuting anak terhadap
usia 1-2 tahun usia 1-2 tahun kejadian
di wilayah kerja di wilayah stunting
puskesmas kerja (OR=1,447;
oebobo kota puskesmas 95% CI 1,007-
kupang oebobo kota 2,079),
kupang sedangkan
praktik
perawatan
kesehatantidak
memiliki
hubungan
karena tingkat
signifikan (p)
α
(0,05)
Viramitha Mengetahui Cross- ibu dan anak Lima puluh
Kusnandi hubungan sectional usia 12-23 sembilan subjek
Rusmil dkk perilaku ibu bulan (27,2%) dari 217
(2019), dalam praktik total subjek
Hubungan pemberian termasuk
Perilaku Ibu makan dengan kelompok
dalam Praktik kejadian stunting. Angka
Pemberian stunting. kemaknaan
Makan pada pemberian
Anak Usia 12- makan cukup
23 Bulan dan pemberian
dengan makan secara
Kejadian responsif dengan
Stunting di kejadian
Wilayah Kerja stunting sebesar
Puskesmas 0,003 dan 0,012.
Jatinangor Ketepatan waktu
dan pemberian
makan secara
aman dengan
kejadian
stunting
memiliki nilai
p>0,05. Perilaku
ibu dalam
praktik
pemberian
makan secara
keseluruhan
menunjukkan
nilai p<0,05.
Sabuj Kanti Mengetahui cross- Balita Studi ini
Mistry Dkk, konseling gizi sectional dibawah usia mengungkapkan
(2019) ibu apa efektif 5 tahun bahwa
Maternal dalam prevalensi
Nutrition mengurangi stunting secara
Counselling Is stunting anak signifikan lebih
Associated bersamaan rendah di daerah
With Reduced dengan di yang diberi
Stunting peningkatan intervensi
Prevalence And praktik dibandingkan
Improved pemberian dengan daerah
Feeding makan yang perbandingan
Practices In optimal pada (29% vs 37%, P
Early anak di bawah <0,001).
Childhood: A usia 5 tahun. Selanjutnya,
Post-Program terlihat bahwa
Comparison risiko stunting
Study adalah 25%
lebih rendah di
daerah
intervensi
dibandingkan
dengan
perbandingan
(aOR: 0,75, 95%
CI: 0,60-0,94; P
= 0,012).
Praktek
pemberian
makan anak
didaerah yang
diberikan
intervensi
kurang stunting
dibandingkan
dengan daerah
pembanding
(pemberian ASI
eksklusif: 72,7
vs 59,4%, P =
0,008;
memberi makan
4+ kelompok
makanan: 42,9
vs 34,1%, P
<0,001;
memiliki diet
minimum yang
dapat diterima:
31,2 vs 25,3%, P
= 0,017;
makanan
beberapa bubuk
mikro-nutrisi:
16,2 vs 7,4%, P
<0,001).
Kissa B. M. Tujuan dari Cross Anak berusia praktik
Kulwa Dkk penelitian ini Sectional 6-23 bulan pemberian
2015, Feeding adalah untuk makan yang
practices and menilai praktik tidak memadai,
nutrient content pemberian kualitas
of makan, makanan yang
complementary kandungan rendah gizi, dan
meals in rural nutrisi dari tinggi
central makanan prevalensi
Tanzania: pendamping, pengerdilan
implications for dan
dietary implikasinya
adequacy terhadap
and nutritional kecukupan
status makanan dan
status gizi.
Status gizi balita dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor, penyebab langsung yang
berhubungan dengan status gizi adalah riwayat penyakit infeksi dan pemenuhan
asupan zat gizi, kedua faktor yang saling mempengaruhi tersebut terkait dengan
berbagai penyebab tidak langsung antara lain praktik pemberian makan (Abdul
Hairudin, 2018). Pada masing-masing artikel/jurnal membahas tentang praktik
pemberian makan yang dilakukan oleh pengasuh atau ibu dan rata-rata hasil
menunjukkan praktik pemberian makan yang salah atau tidak benar menjadi
penyebab stunting.

Hendrayati (2015), dalam penelitiannya mendapatkan bahwa Faktor-faktor


penentu dalam kejadian stunting pada anak usia 12 hingga 60 bulan adalah asupan
energi (p <0,001) dan nutrisi makro lainnya seperti karbohidrat (p <0,001), protein (p
<0,001) serta lemak (p <0,008). Selagi asupan zat gizi mikro yang berkontribusi
terhadap kejadian stunting adalah asupan vitamin A (p <0,036) dan seng (p <0,050).
Selain asupan, praktik pemberian makan seperti konsistensi (p <0,001), frekuensi (p
<0,001) dan kebiasaan sarapan (p <0,001) juga menentukan faktor dalam kejadian
stunting. Pengetahuan ibu tentang untuk gizi, pemberian ASI eksklusif dan makanan
pendamping tidak menentukan faktor dalam kejadian stunting tetapi adalah yang
protektif. Menjelaskan bahwa nak-anak itu mengalami gangguan pertumbuhan pada
dasarnya karena kurangnya asupan makanan dan penderitaan penyakit infeksi
berulang. Pada anak usia 12 hingga 60 bulan, ada meningkatnya kebutuhan energi
dan nutrisi sebagai respons terhadap metabolisme meningkat karena proses
pertumbuhan . Sebagian besar penelitian mengungkapkan bahwa anak-anak yang
terhambat mengkonsumsi makanan di bawah rekomendasi nutrisi. Kondisi ini karena
kemiskinan, besar jumlah anggota keluarga, atau tinggal di daerah pedesaan dan
pinggiran kota. Kondisi ini membuat gangguan pertumbuhan sulit diatasi, yang mana
akhirnya menyebabkan stunting . kemudian daerah pedesaan dengan jarak jauh ke
sumber makanan sehingga menyebabkan aksesibilitas makanan yang rendah di
tingkat rumah tangga.

Desiansi dkk (2016), Terdapat hubungan antara praktik pemberian makan


(OR=2,037; 95% CI; 1,318-3,149) dan praktik kebersihan terhadap kejadian stunting
(OR=1,447; 95% CI 1,007-2,079), sedangkan praktik perawatan kesehatan tidak
memiliki hubungan karena tingkat signifikan (p) (0,05) penjelasan Makanan
memegang peranan penting dalam tubuh kembang anak, dimana kebutuhan makan
anak berbeda dengan orang dewasa. Makanan bagi anak sangat dibutuhkan dalam
proses tumbuh kembangnya (golden age periods). Pada penelitian ini diketahui
bahwa praktik pemberian makan memiliki hubungan yang signifikan terhadap
kejadian stunting.
Viramitha Kusnandi Rusmil dkk (2019), Lima puluh sembilan subjek (27,2%)
dari 217 total subjek termasuk kelompok stunting. Angka kemaknaan pemberian
makan cukup dan pemberian makan secara responsif dengan kejadian stunting
sebesar 0,003 dan 0,012. Ketepatan waktu dan pemberian makan secara aman dengan
kejadian stunting memiliki nilai p>0,05. Perilaku ibu dalam praktik pemberian makan
secara keseluruhan menunjukkan nilai p<0,05. Kecukupan dalam pemberian makan
dan pemberian makan secara responsif memiliki hubungan dengan kejadian stunting.
Walaupun pemberian makan tepat waktu dan keamanan pemberian makan tidak
memiliki hubungan dengan kejadian stunting secara statistik, praktik pemberian
makan secara keseluruhan memiliki hubungan dengan kejadian stunting.
Sabuj Kanti Mistry Dkk (2019), Studi ini mengungkapkan bahwa prevalensi
stunting secara signifikan lebih rendah di daerah di yang diberi intervensi
dibandingkan dengan daerah perbandingan (29% vs 37%, P <0,001). Selanjutnya,
terlihat bahwa risiko stunting adalah 25% lebih rendah di daerah intervensi
dibandingkan dengan perbandingan (aOR: 0,75, 95% CI: 0,60-0,94; P = 0,012).
Praktek pemberian makan anak didaerah yang diberikan intervensi kurang stunting
dibandingkan dengan daerah pembanding (pemberian ASI eksklusif: 72,7 vs 59,4%,
P = 0,008; memberi makan 4+ kelompok makanan: 42,9 vs 34,1%, P <0,001;
memiliki diet minimum yang dapat diterima: 31,2 vs 25,3%, P = 0,017; makanan
beberapa bubuk mikro-nutrisi: 16,2 vs 7,4%, P <0,001). Jurnal ini menjelaskan bahwa
ada beberapa desa yang sudah diberi konseling tentang praktik pemberian makan
pada anak dan dibandingan antara ibu yang sudah diberikan konseling kepada ibu
tentang praktik pemberian makan anak mungkin efektif dalam mengurangi prevalensi
pengerdilan pada anak balita.
Penelitian Kissa B. M. Kulwa Dkk 2015, Feeding practices and nutrient content
of complementary meals in rural central Tanzania: implications for dietary adequacy
and nutritional status, kandungan energi, protein dan lemak dalam bubur berkisar
antara 40,67-63,92 kkal, 0,54–1,74% dan 0,30-2,12%, masing-masing. Kandungan
besi, seng dan kalsium (mg / 100 g) dalam bubur adalah 0,11-2,81, 0,10-3,23, dan
25,43-125,55, masing-masing. Ukuran porsi rata-rata kecil (bubur: 150-350 g;
kacang-kacangan dan daging: 39-90 g). Sangat sedikit anak (6,67%) mengkonsumsi
makanan sumber hewani. Frekuensi makan rendah, kandungan gizi rendah, ukuran
porsi kecil dan terbatas Varietas mengurangi kontribusi makanan untuk kebutuhan
gizi harian. praktik pemberian makan yang tidak memadai, kualitas makanan yang
rendah gizi, dan tinggi prevalensi pengerdilan

4.2 Pembahasan
Asupan nutrisi pada anak memegang peranan penting dalam optimalisasi tumbuh
kembang pada anak. Keadekuatan asupan nutrisi pada anak dapat dinilai dengan
keadaan status gizi yang ditandai dengan anak kurus, normal, dan gemuk. Asupan
nutrisi yang kurang akan menyebabkan kondisi kesehatan anak menjadi kurang baik,
gangguan pertumbuhan dan perkembangan, serta dapat menyebabkan kematian.
Balita yang kekurangan nutrisi mudah terkena infeksi dan berpengaruh pada nafsu
makan, jika pemberian makan tidak terpenuhi maka tumbuh kembang anak akan
terganggu masalah yang terjadi berupa Stunting (Zulia Putri Perdani,2016)
Stunting didefinisikan sebagai ukuran tinggi badan yang rendah berdasarkan
umur. Penentuan stunting dilakukan dengan membandingkan tinggi badan dengan
umur berdasarkan table Z-score standar pertumbuhan anak menurut WHO. Seorang
anak dikatakan stunting jika nilai Z-score TB/U atau PB/U kurang dari -2 SD. (Sri
Melfa Damanik dkk, 2019) Stunting bukan hanya menjadi permasalahan gizi pada
balita secara nasional, melainkan menjadi permasalahan global. Hal ini dibuktikan
dengan jumlah anak mengalami stunting di Negara berkembang yaitu 165 juta anak
dan sekita 80% Negara berkembang menyumbangkan untuk kasus stunting (MCA-
Indonesia, 2013). Masalah gizi khususnya stunting disebabkan asupan nutrisi yang
kurang memadai, dan penyakit yang menyebabkan langsung masalah gizi anak.
Keadaan tersebut terjadi karena praktik pemberian makan yang tidak tepat, penyakit
infeksi yang berulang (UNICEF Indonesia, 2012).

Hal ini sejalan dengan penelitian Zulia Putri Perdani dkk 2019, bahwa mayoritas
orang tua kurang optimal dalam pemberian makan untuk anaknya, orang tua yang
optimal dalam pemberian makan pada anak mempunyai hubungan dengan status gizi
dengan P-value = 0,000. Orang tua yang memberikan praktik makan yang optimal
seperti mengontrol anak, berperan dalam pemberian makan, melibatkan anak dalam
pemilihan dan penyediaan makanan serta memberikan edukasi makanan kepada
anaknya. Orang tua yang memberikan praktik makan yang optimal mempunyai
peluang sebanyak 8 kali untuk memiliki anak dengan status gizi normal dibandingkan
dengan orang tua yang kurang optimal dalam pemberian makan. Hal ini dilator
belakangi oleh tingkat pengetahuan, pendidikan, dan tingkat ekonomi yang baik.
Dalam penelitian ini sebagian besar responden berpendidikan rendah dan berada
ditingkat ekonomi yang rendah. Semakin tinggi tingkat pendidikan orang tua maka
semakin tinggi pula pengetahuan dan pengalamannya dalam merawat anaknya
khusunya dalam praktik pemberian makannya.
Hal ini diperkuat oleh Suhardjo dalam Zainul (2015) bila ibu rumah tangga
memiliki pengetahuan gizi yang baik maka ibu akan mampu untuk memilih makanan
yang bergizi untuk di konsumsi. Orang tua yang mengontrol asupan makanan pada
anak seperti memperbolehkan anak berhenti makan jika sudah kenyang, menyuruh
makan dengan berkata halus, merayu anak jika anak makan dengan jumlah sedikit,
memberikan pujian dan pelukan jika anak menghabiskan makanan serta melarang
anak makan selingan jika mendekati waktu makan. Sejalan dengan teori yang ada
faktor risiko stunting pendidikan atau pengetahuan orang tua pendidikan ibu
mempengatruhi status gizi anak, dimana semakin tinggi pendidikan ibu maka akan
semakin baik pula status gizi anak. Tingkat pendidikan juga berkaitan dengan
pengetahuan gizi yang dimiliki, dimana semakin tinggi pendidikan ibu maka akan
semakin baik pula pemahanan dalam memilih bahan makanan.(Wahida Yuliana dan
Bawon Nul Hakim, 2019)
Pada 5 jurnal yang didapatkan ketika peneliti melakukan Studi Literatur, di
dapatkan adanya hubungan praktik pemberian makan dengan kejadian stunting pada
balita. Pada jurnal yang pertama Hendrayati (2015), dengan judul Analysis of
Determinant Factors in Stunting Children Aged 12 to 60 Months didapatkan batasan
karakteristik asupan energi (p <0,001) nutrisi makro lainnya seperti karbohidrat (p
<0,001), protein (p <0,001) serta lemak (p <0,008). dan asupan zat gizi mikro asupan
vitamin A (p <0,036) dan seng (p <0,050) berkontribusi terhadap kejadian stunting.
Hal ini sejalan dengan penelitan (Grober, 2013). Zat gizi makro merupakan zat gizi
yang menyediakan energi bagi tubuh dan diperlukan dalam pertumbuhan, termasuk
didalamnya adalah karbohidrat, protein dan lemak. Sedangkan zat gizi mikro
merupakan zat gizi yang diperlukan untuk menjalankan fungsi tubuh lainnya,
misalnya dalam membantu proses metabolisme zat gizi dan pertumbuhan berbagai
sel, zat gizi mikro yang diduga dapat menjadi faktor determinan pada kejadian
stunting akibat gangguan pertumbuhan adalah Vitamin A, Vitamin C, Zat besi, Zinc
dan Kalsium. Kemudian frekwensi makan yang kurang tepat berubungan dengan
praktik pemberian makan dengan kejadian stunting, hal ini sejalan dengan penelitian
di Nigeria tahun 2016 menunjukkan bahwa balita yang tidak mendapatkan makanan
sesuai dengan frekuensi minimal pemberian makan maka memiliki peluang
mengalami stunting yang lebih besar (20,1%) dibandingkan yang mendapatkan
makanan dengan frekuensi minimal pemberian makan.
Jurnal yang kedua Desiansi dkk, (2016) dengan batasan karakteristik praktik
kebersihan berhungan dengan stunting, sejalan dengan penelitian Chamilia Desyanti
dan Triska Susila Nindya 2017, Sebagian besar pengasuh pada kelompok stunting
memiliki praktik higiene yang buruk (75,8%), sedangkan pada kelompok tidak
stunting memiliki praktik higiene yang baik (60,6%) memiliki hubungan yang
signifikan dengan kejadian stunting. Balita yang mengonsumsi makanan sebagai hasil
dari praktik higiene yang buruk dapat meningkatkan risiko anak tersebut terkena
penyakit infeksi. Penyakit infeksi ini biasa ditandai dengan gangguan nafsu makan
dan muntah-muntah sehingga asupan balita tersebut tidak memenuhi kebutuhannya.
Kondisi seperti ini yang nantinya akan berimplikasi buruk terhadap pertumbuhan
anak. Praktik higiene dan sanitasi lingkungan sangat berkaitan dengan penyakit diare
terutama di negara-negara berkembang, sehingga menimbulkan malnutrisi dan
dampak seperti gizi kurang, stunting, hingga kejadian gizi buruk.
Jurnal ketiga Viramitha Kusnandi Rusmil dkk (2019), dengan batasan
karakteristik pemberian MPASI berhubungan dengan stunting,hal ini didukung
dengan penelitian Noverian Yoshua Prihutama dkk 2018, menunjukkan adanya
hubungan bermakna (p<0,005) antara pemberian MP-ASI dini (p=0,0000) dengan
kejadian stunting. Makanan pendamping ASI (MPASI) adalah makanan yang
diberikan kepada anak bersamaan dengan ASI, MPASI sendiri bersifat untuk
melengkapi ASI, bukan untuk menggantikan ASI dan ASI tetap harus diberikan
sampai usia 2 tahun diikuti pemberian MP-ASI pada usia 6 bulan. Usia pemberian
MP-ASI berpengaruh terhadap kejadian stunting, karena anak hanya membutuhkan
ASI saja hingga usia 6 bulan, namun >6 bulan ASI saja tidak cukup untuk membantu
tumbuh kembang yang optimal.
Jurnal ke empat Sabuj Kanti Mistry Dkk (2019), batasan karakteristik konseling
gizi pada ibu dengan kejadian stunting. Hal ini sejalan dengan penelitian yang
dilakukan oleh Ismanto dkk, 2014 tentang “Hubungan pengetahuan orang tua tentang
gizi dengan stunting pada anak usia 4-5 tahun di Tk Malaekat Pelindung Manado”.
Hasil penelitian menunjukan bahwa dari 30 anak, 24 diantaranya memiliki TB/U
normal (96%) disertai pengetahuan orang tua tentang gizi yang baik, 1 anak memiliki
TB/U tetapi pengetahuan orang tua tentang gizi yang tidak baik (4%), serta 5 anak
dengan stunting memiliki orang tua dengan pengetahuan tentang gizi yang tidak baik
(100%). Jurnal ke lima Kissa B. M. Kulw dkk 2015, batasan karakteristik kandungan
gizi rendah pada makanan berhubungan dengan makanan stunting. hal ini sejalan
dengan penelitian Ulul Azmy dan Luki Mundiastuti 2018, Sebagian besar balita
stunting memiliki tingkat konsumsi energi, lemak, protein, karbohidrat, seng, dan zat
besi pada kategori kurang. Sedangkan pada balita non-stunting sebagian besar
memiliki tingkat konsumsi zat gizi yang cukup. Terdapat hubungan status gizi dengan
asupan energi (p = 0,015; OR = 4,048), protein (p = 0,012; OR = 1,6), lemak (p =
0,002; OR = 1,7), karbohidrat (p = 0,014; OR = 1,7), seng (p = 0,026; OR = 1,7)
Balita non-stunting memiliki tingkat konsumsi zat gizi yang lebih baik dibandingkan
dengan balita stunting. Terdapat hubungan antara asupan energi, protein, lemak,
karbohidrat, dan seng dengan status gizi (TB/U).

Dari beberapa jurnal yang di review di atas menunjukkan bahwa ibu yang tidak
memiliki tingkat pendidikan atau pengetahuan yang rendah berdampak pada praktik
pemberian makan jadi tidak tepat yang berpengaruh pada asupan gizi pada anak,
asupan gizi anak yang bermasalah akan menganggu tumbuh kembang anak. Oleh
karena itu, perlu dilakukan kegiatan edukasi tentang promosi kesehatan atau
konseling gizi agar ibu atau pengasuh dapat melaksanakan/ mempraktikkan apa yang
diketahui, tidak hanya sekedar tau tapi dapat mempraktikan apa yang telah
dieduasikan.

4.3 Keterbatasan Penelitian Studi Literatur


Keterbatasan dalam studi literatur ini kurangnya jurnal/artikel nasional
ataupun internasional yang membahas secara spesifik hubungan praktik
pemberian makan dengan kejadian stunting pada balita kemudian ada beberapa
jurnal yang tidak bisa diaskes.

BAB V
PENUTUP

5.1 Kesimpulan
Ternyata praktik pemberian makan berhubungan dengan kejadian stunting pada
balita, berdasarkan dari 5 jurnal yang di review masih banyak orang tua atau
pengasuh pengetahuannya masih minim mengenai asupan gizi yang diperlukan oleh
anak serta frekwensi makan kurang tepat memiliki peluang mengalami stunting
dalam praktik pemberian makan. Asupan gizi sangat diperlukan oleh tubuh kembang
anak dimana zat makro dan mikro diperlukan untuk pertumbuhan dan proses
metabolisme zat gizi kemudian frekwensi makan yang diperlukan oleh balita karena
usia balita kebutuhan zat gizi pada anak sangat tinggi yang diperlukan untuk proses
tumbuh kembangnya. Sehingga kesalahan praktik pemberian makan pada balita di
masa ini berdampak negatif terhadap pertumbuhan dan perkembangan balita.

5.2 Implikasi/Saran
Perlu dilakukan kegiatan edukasi tentang promosi kesehatan mengenai praktik
pemberian makan yang baik dari segi jenis makanan, jumlah yang dibutuhkan,
dan frekwensi makan sesuai usia anak dan konseling gizi mengenai gizi yang
diperlukan oleh anak sesuai dengan umur anak agar ibu atau pengasuh dapat
melaksanakan/ mempraktikkan apa yang diketahui, tidak hanya sekedar tau tapi
dapat mempraktikan apa yang telah dieduasikan.

Anda mungkin juga menyukai