PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
1. Faktor ekonomi
Faktor ekonomi cukup dominan dalam mempengaruhi konsumsi makanan.
Meningkatnya pendapatan dalam keluarga akan meningkatkan peluang untuk
membeli makanan dengan kualitas dan kuantitas yang lebih baik
(Sulistyoningsih, 2011).
2. Faktor sosial budaya
Pantangan dalam mengkonsumsi jenis makanan tertentu dapat dipengaruhi
oleh faktor budaya atau kepercayaan. Pantangan yang didasari oleh
kepercayaan pada umumnya mengandung perlambang atau nasihat yang
dianggap baik ataupun tidak baik yang lambat laun menjadi kebiasaan.
Budaya mempengaruhi seseorang dalam menentukan apa yang akan dimakan,
bagaimana pengolahan, persiapan, dan penyajiannya serta untuk siapa dan
dalam kondisi bagaimana pangan tersebut dikonsumsi (Sulistyoningsih,
2011).
3. Pendidikan
Pendidikan adalah suatu kegiatan atau proses pembelajaran untuk
mengembangkan atau meningkatkan kemampuan tertentu sehingga sasaran
pendidikan itu dapat berdiri sendiri. Tingkat pendidikan turut pula
menentukan mudah tidaknya seseorang menyerap pengetahuan yang mereka
peroleh. Tingkat pendidikan dapat mempengaruhi pengetahuan dan perilaku
seseorang, hal ini dikarenakan tingkat pendidikan yang terlalu rendah akan
sulit memahami pesan atau informasi yang disampaikam. Pendidikan bagi
seorang ibu sangat penting dan tepat terutama dalam merawat balita
(Ernawati, 2014).
4. Lingkungan
Faktor lingkungan cukup besar pengaruhnya terhadap pembentukan perilaku
makan. Kebiasaan makan pada keluarga sangat berpengaruh besar terhadap
pola makan seseorang, kesukaan seseorang terhadap makanan terbentuk dari
kebiasaan makan yang terdapat dalam keluarga (Ernawati, 2014).
5. Usia ibu
Usia ibu berpengaruh dalam proses belajar menyesuaikan diri, seiring dengan
bertambahnya umur seseorang maka semakin banyak pengalaman yang akan
didapat dari lingkungan dalam membentuk perilakunya. Semakin bertambah
umur, ibu akan mempunyai pengalaman yang lebih banyak dari
lingkungannya dalam pola asuh balita khususnya dalam perilaku pemberian
makan bagi balitanya (Ernawati, 2014).
B. Karakteristik orang tua dalam pemberian makanan balita
Musher-Eizman dan Holub (2007) menjelaskan bahwa pemberian makanan pada
balita dapat dilihat dari beberapa aspek yaitu:
1. Tekanan untuk makan (Pressure to eat)
Tekanan untuk makan sebagai tindakan mendorong balita untuk makan.
Orang tua sering sekali melakukan tindakan tekanan pada balita dalam
aktivitas makan untuk usaha meningkatkan berat badan balita. Bentuk lain
dari tekanan yang seringkali dilakukan orangtua adalah dengan membentak,
berkata kasar, memaksa balita untuk makan makanan yang disediakan.
Tekanan yang dilakukan orangtua agar balita mau makan atau menghabiskan
makanannya akan menggangu psikologis balita. Balita akan merasa bahwa
aktivitas makan merupakan aktivitas yang tidak menyenangkan sehingga
balita akan kehilangan nafsu makan yang akan berdampak pada
pertumbuhannya.
2. Pembatasan untuk berat badan (Restriction for weight)
Pembatasan makanan merupakan kontrol terlalu tinggi terhadap apa dan
berapa banyak makanan yang balita makan. Orang tua sering kali berusaha
membatasi konsumsi makanan tertentu pada balitanya dengan cara yang tidak
tepat. Orang tua berusaha membatasi makanan cepat saji bagi balita. Orang
tua memiliki tujuan baik dengan melakukan tindakan tersebut, namun
tindakan pembatasan terhadap konsumsi makanan tertentu akan semakin
meningkatkan minat balita terhadap makanan tersebut.
3. Makanan sebagai hadiah atau reward
Hadiah atau reward merupakan hal yang disuka balita, namun hadiah atau
reward juga bisa menimbulkan dampak buruk bagi perilaku makan pada
balita. Bentuk hadiah atau reward yang tepat yang dapat dilakukan pada
balita dengan memberikan pujian, pelukan, ciuman pada balita jika balita
menunjukkan perilaku baik, misalnya jika balita mengkonsumsi makanan
sehat. Orang tua yang selalu menunjukkan kasih sayangnya dengan
memberikan pujian, ketika balita mengkonsumsi makanan sehat akan
membuat balita berada dalam kondisi yang nyaman dan berimbas pada
perkembangan perilaku makan yang baik pada balita.
4. Regulasi emosi
Regulasi emosi lebih menekankan pada bagaimana dan mengapa emosi itu
sendiri mampu mengatur seperti memusatkan perhatian saat pemberian makan
dan memusatkan balita ketika sedang diberikan makan.
5. Pembatasan untuk kesehatan (Restriction for health)
Pembatasan makanan merupakan kontrol terlalu tinggi terhadap apa dan
berapa banyak makanan yang balita makan. Orang tua sering kali berusaha
membatasi konsumsi makanan tertentu pada balitanya dengan cara yang tidak
tepat. Orang tua berusaha membatasi makanan cepat saji bagi balita. Orang
tua memiliki tujuan baik dengan melakukan tindakan tersebut, namun
tindakan pembatasan terhadap konsumsi makanan tertentu akan semakin
meningkatkan minat balita terhadap makanan tersebut.
6. Kontrol (Control)
Kontrol makanan merupakan tindakan yang dilakukan orangtua terhadap
makanan yang dikonsumsi oleh balita. Adapun bentuk kontrol yang dapat
dilakukan meliputi tekanan pada balita untuk makan (pressure) dan
pembatasan untuk makan (retriction). Tekanan untuk makan sebagai tindakan
mendorong balita untuk makan. Orang tua sering melakukan tindakan tekanan
pada balita dalam aktivitas
makan untuk usaha meningkatkan berat badan balita. Bentuk tekanan yang
dilakukan orang tua dapat berupa pemberian hadiah atau reward pada balita.
7. Edukasi makanan (Teaching nutristion)
Edukasi makanan sehat dapat dilakukan saat aktivitas pemberian makan pada
balita. Orang tua dapat menyampaikan manfaat makan sayur ketika
memberikan suapan sayur pada balita atau ketika balita menolak untuk makan
sayur. Ibu merupakan pendidik keluarga, pengajaran tentang zat gizi dan
makanan sehat pada balita diberikan oleh ibu karena ibu memiliki
pengetahuan yang lebih baik terkait kandungan gizi makanan dibandingkan
oleh ayah.
8. Mendorong keseimbangan (Encourage balance)
Tekanan untuk makan sebagai tindakan mendorong balita untuk makan.
Orang tua sering sekali melakukan tindakan tekanan pada balita berupa
dorongan dalam aktivitas makan untuk usaha meningkatkan berat badan
balita.
9. Lingkungan sehat (Healthy environment)
Faktor lingkungan cukup besar pengaruhnya terhadap pembentukan perilaku
makan. Kebiasaan makan pada keluarga sangat berpengaruh besar terhadap
pola makan seseorang, kesukaan seseorang terhadap makanan terbentuk dari
kebiasaan makan yang terdapat dalam keluarga. Balita usia 3-5 tahun
mempunyai ciri khas yaitu sedang dalam proses tumbuh kembang, ia banyak
melakukan kegiatan jasmani, dan mulai aktif berinteraksi dengan lingkungan
sosial maupun alam sekitarnya sehingga lupa untuk makan.
10. Keterlibatan balita (Involvement)
Balita dapat dilibatkan dalam prosespenyiapan dan pemilihan makan.
Penyiapan dan pemilihan makanan merupakan tanggung jawab ibu, namun
secara perlahan balita harus mampu memilih dan menentukan makanan sehat
bagi dirinya. Perkembangan kognitif dan motorik pada usia balita yang belum
matang mengakibatkan balita belum mampu mempersiapkan dan memilih
makanansecara mandiri. namun orang tua perlu melibatkan balita dalam
proses tersebut.
11. Pemantauan (Monitoring)
Pemantauan pola makan balita penting bagi pertumbuhan, balita seringkali
makan apa saja yang mereka sukai, oleh karena itu penting orang tua untuk
memantau nutrisi balita. Ketika pola makan balita teratur maka gizi balita
tercukupi dan terhindar dari masalah kesehatan.
12. Model peran (Modeling)
Model peran (Modeling) merupakan suatu perilaku pemberian contoh
sehingga orang yang melihat akan mengikuti perilaku tersebut. Modeling
dapat memberikan efek protektif terhadap kesehatan balita. Lingkungan
keluarga merupakan tempat balita pertama kali belajar mengenai segala
sesuatu melalu model peran. Model peran ditunjukkan orang tua dan orang
lain yang memiliki kedekatan dengan balita akan mempengaruhi kebiasaan
makan pada balita.
b) Pemeriksaan Klinis
Pemeriksaan klinis meliputi pemeriksaan secara keseluruhan
termasuk riwayat kesehatan. Pemeriksaan klinis yang mencakup bagian
tubuh yaitu kulit, gigi, gusi, bibir, lidah, mata dan alat kelamin.
c) Biokimia
Pengukuran biokimia adalah pemeriksaan specimen yang di uji
secara labolatoris yang dilakukan pada berbagai jaringan tubuh berupa
darah, urin, tinja, dan jaringan tubuh.
d) Biofisik
Merupakan penetuuan status gizi berdasarkan kemampuan fungsi
dari jaringan dan perubahan struktur jaringan.
2. Penilaian Status Gizi Secara Tidak Langsung
a) Survei konsumsi makanan
Survei konsumsi makanan dimaksudkan untuk mengetahui
kkebiasaan makan atau gambaran tingkat kkecukupan bahan
makanan dan zat gizi pada tingkat kelompok, rumah tangga dan
perorangan serta faktor-faktor yang mempengaruhinya.
b) Statistika vital
Untuk mengetahui gambaran keadaan gizi di suatu wilayah,
kita bias membacanya dengan cara menganalisis statistika kesehatan.
Dengan menggunakan statistika kesehatan kita dapat melihat
indicator tidak langsung pengukuran status gizi masyarakat.
b) Pengukuran faktor ekologi
Faktor ekologi yang berhubungan dengan malnutrisi ada enam
kelompok, yaitu keadaan infeksi, konsumsi makanan, perubahan
budaya, social ekonomi, produksi pangan, serta kesehatan dan
pendidikan.
2.1.3 Konsep stunting
A. Definisi Stuting
Menurut Kementrian Kesehatan Republic Indonesia 2015 (KEMENKES RI),
Tumbuh pendek pada masa anak-anak (Chilhood stunting) merupakan akibat
kekuranga gizi atau kegagalan pertumbuhan di masa lalu dan digunakan sebagai
indikator jangka panjang untuk gizi kurang pada anak. Chilhood stunting
berhubungan dengan gangguan perkembangan neurokognitif dan risiko
menderita penyakit tidak menular di masa depan (KEMENKES RI, 2015).
Stunting merupakan masalah gizi kronis yang disebabakan oleh asupan gizi yang
kuranf dalam waktu yang lama akibat pemberian makanan yang tidak sesuai
dengan kebutuhan gizi. Stunting terjadi mulai dalam kandungan dan baru
Nampak pada saat anak umur dua tahun. Menurut Millennium Challenge
Account 2013 (MCA), Meningkatnya angka kematian dan anak terjadi karena
kekurangan gizi pada usia dini yang dapat menyebabkan penderita mudah sakit
dan memiliki postur tubuh tidak maksimal saat dewasa (MCA, 2013). Stunting
merupakan bentuk dari proses pertumbuhn anak yang terhambat, yang termasuk
salah satu masalah gizi yang perlu mendapat perhatian (Priyono, Sulistiani, dan
Ratnawati, 2015)
B. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Stunting
(Yuliana dan Nul Hakim, 2019) Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi
stunting yaitu :
1. Asupan zat gizi kurang
Masalah gizi yang dapat terjadi pada balita adalah tidak seimbangnya
antara jumlah asupan makan atau zat gizi yang diperoleh dari makanan
dengan kebutuhan gizi yang dianjurkan pada balita misalnya kekurangan
energi protein (KEP)
2. Penyakit infeksi
Infeksi dapat menyebabkan anak tidak merasa lapar dan tidak mau
makan. Penyakit ini juga menghabiskan sejumlah protein dan kalori yang
seharusnya dipakai untuk pertumbuhan.Diare dan muntah dapat
menghalangi penyerapan makanan. Penyakit-penyakit umum yang
memperburuk keadaan gizi adalah diare, infeksi saluran pernafasan atas,
tuberculosis, campak, batuk rejan, malaria kronis, dan cacingan Antara
kecukupan gizi dan penyakit infeksi terdapat hubungan sebab akibat yang
timbal balik dan sangat erat.
Gizi buruk menyebabkan mudahnya terjadi infeksi karena daya tahan
tubuh yang menurun. Sebaliknya pula infeksi yang sering diderita akan
menyebabkan meningkatnya kebutuhan gizi sedangkan nafsu makan
biasanya menurun jika terjadi penyakit infeksi, sehingga dapat
menyebabkan anak yang tadi gizinya baik akan menderita gangguan gizi.
Sehingga disini terlihat interaksi antara konsumsi makanan yang kurang dan
infeksi merupakan dua hal yang saling mempengaruhi.
Infeksi bisa menjadi gangguan gizi melalui beberapa cara yaitu
mempengaruhi nafsu makan, kehilangan makanan karena diare dan muntah
mempengaruhi metabolisme makanan. Penyakit infeksi yang sering terjadi
pada anak-anak adalah diare dan ISPA. Diare dapat menyebabkan anak
tidak mempunyai nafsu makan sehingga terjadi kekurangan jumlah makanan
dan minuman yang masuk ke dalam tubuhnya yang dapat menyebabkan gizi
kurang.
2.2 Kerangka Berfikir
2.3.1. Kerangka Teori
1. Jenis Makanan
2. Jadwal Makan
3. Frekwensi Makan.
StatusGizi
1. Ekonomi
2. Sosial budaya
3. Pendidikan
4. Usia Ibu
5. Lingkungan
Keterangan :
: tidak diteliti
1. Jenis Makanan
2. Jadwal Makan Stunting
3. Frekwensi Makan.
: variable independen
: varibel dependen
: yang berhubungan
4.2 Pembahasan
Asupan nutrisi pada anak memegang peranan penting dalam optimalisasi tumbuh
kembang pada anak. Keadekuatan asupan nutrisi pada anak dapat dinilai dengan
keadaan status gizi yang ditandai dengan anak kurus, normal, dan gemuk. Asupan
nutrisi yang kurang akan menyebabkan kondisi kesehatan anak menjadi kurang baik,
gangguan pertumbuhan dan perkembangan, serta dapat menyebabkan kematian.
Balita yang kekurangan nutrisi mudah terkena infeksi dan berpengaruh pada nafsu
makan, jika pemberian makan tidak terpenuhi maka tumbuh kembang anak akan
terganggu masalah yang terjadi berupa Stunting (Zulia Putri Perdani,2016)
Stunting didefinisikan sebagai ukuran tinggi badan yang rendah berdasarkan
umur. Penentuan stunting dilakukan dengan membandingkan tinggi badan dengan
umur berdasarkan table Z-score standar pertumbuhan anak menurut WHO. Seorang
anak dikatakan stunting jika nilai Z-score TB/U atau PB/U kurang dari -2 SD. (Sri
Melfa Damanik dkk, 2019) Stunting bukan hanya menjadi permasalahan gizi pada
balita secara nasional, melainkan menjadi permasalahan global. Hal ini dibuktikan
dengan jumlah anak mengalami stunting di Negara berkembang yaitu 165 juta anak
dan sekita 80% Negara berkembang menyumbangkan untuk kasus stunting (MCA-
Indonesia, 2013). Masalah gizi khususnya stunting disebabkan asupan nutrisi yang
kurang memadai, dan penyakit yang menyebabkan langsung masalah gizi anak.
Keadaan tersebut terjadi karena praktik pemberian makan yang tidak tepat, penyakit
infeksi yang berulang (UNICEF Indonesia, 2012).
Hal ini sejalan dengan penelitian Zulia Putri Perdani dkk 2019, bahwa mayoritas
orang tua kurang optimal dalam pemberian makan untuk anaknya, orang tua yang
optimal dalam pemberian makan pada anak mempunyai hubungan dengan status gizi
dengan P-value = 0,000. Orang tua yang memberikan praktik makan yang optimal
seperti mengontrol anak, berperan dalam pemberian makan, melibatkan anak dalam
pemilihan dan penyediaan makanan serta memberikan edukasi makanan kepada
anaknya. Orang tua yang memberikan praktik makan yang optimal mempunyai
peluang sebanyak 8 kali untuk memiliki anak dengan status gizi normal dibandingkan
dengan orang tua yang kurang optimal dalam pemberian makan. Hal ini dilator
belakangi oleh tingkat pengetahuan, pendidikan, dan tingkat ekonomi yang baik.
Dalam penelitian ini sebagian besar responden berpendidikan rendah dan berada
ditingkat ekonomi yang rendah. Semakin tinggi tingkat pendidikan orang tua maka
semakin tinggi pula pengetahuan dan pengalamannya dalam merawat anaknya
khusunya dalam praktik pemberian makannya.
Hal ini diperkuat oleh Suhardjo dalam Zainul (2015) bila ibu rumah tangga
memiliki pengetahuan gizi yang baik maka ibu akan mampu untuk memilih makanan
yang bergizi untuk di konsumsi. Orang tua yang mengontrol asupan makanan pada
anak seperti memperbolehkan anak berhenti makan jika sudah kenyang, menyuruh
makan dengan berkata halus, merayu anak jika anak makan dengan jumlah sedikit,
memberikan pujian dan pelukan jika anak menghabiskan makanan serta melarang
anak makan selingan jika mendekati waktu makan. Sejalan dengan teori yang ada
faktor risiko stunting pendidikan atau pengetahuan orang tua pendidikan ibu
mempengatruhi status gizi anak, dimana semakin tinggi pendidikan ibu maka akan
semakin baik pula status gizi anak. Tingkat pendidikan juga berkaitan dengan
pengetahuan gizi yang dimiliki, dimana semakin tinggi pendidikan ibu maka akan
semakin baik pula pemahanan dalam memilih bahan makanan.(Wahida Yuliana dan
Bawon Nul Hakim, 2019)
Pada 5 jurnal yang didapatkan ketika peneliti melakukan Studi Literatur, di
dapatkan adanya hubungan praktik pemberian makan dengan kejadian stunting pada
balita. Pada jurnal yang pertama Hendrayati (2015), dengan judul Analysis of
Determinant Factors in Stunting Children Aged 12 to 60 Months didapatkan batasan
karakteristik asupan energi (p <0,001) nutrisi makro lainnya seperti karbohidrat (p
<0,001), protein (p <0,001) serta lemak (p <0,008). dan asupan zat gizi mikro asupan
vitamin A (p <0,036) dan seng (p <0,050) berkontribusi terhadap kejadian stunting.
Hal ini sejalan dengan penelitan (Grober, 2013). Zat gizi makro merupakan zat gizi
yang menyediakan energi bagi tubuh dan diperlukan dalam pertumbuhan, termasuk
didalamnya adalah karbohidrat, protein dan lemak. Sedangkan zat gizi mikro
merupakan zat gizi yang diperlukan untuk menjalankan fungsi tubuh lainnya,
misalnya dalam membantu proses metabolisme zat gizi dan pertumbuhan berbagai
sel, zat gizi mikro yang diduga dapat menjadi faktor determinan pada kejadian
stunting akibat gangguan pertumbuhan adalah Vitamin A, Vitamin C, Zat besi, Zinc
dan Kalsium. Kemudian frekwensi makan yang kurang tepat berubungan dengan
praktik pemberian makan dengan kejadian stunting, hal ini sejalan dengan penelitian
di Nigeria tahun 2016 menunjukkan bahwa balita yang tidak mendapatkan makanan
sesuai dengan frekuensi minimal pemberian makan maka memiliki peluang
mengalami stunting yang lebih besar (20,1%) dibandingkan yang mendapatkan
makanan dengan frekuensi minimal pemberian makan.
Jurnal yang kedua Desiansi dkk, (2016) dengan batasan karakteristik praktik
kebersihan berhungan dengan stunting, sejalan dengan penelitian Chamilia Desyanti
dan Triska Susila Nindya 2017, Sebagian besar pengasuh pada kelompok stunting
memiliki praktik higiene yang buruk (75,8%), sedangkan pada kelompok tidak
stunting memiliki praktik higiene yang baik (60,6%) memiliki hubungan yang
signifikan dengan kejadian stunting. Balita yang mengonsumsi makanan sebagai hasil
dari praktik higiene yang buruk dapat meningkatkan risiko anak tersebut terkena
penyakit infeksi. Penyakit infeksi ini biasa ditandai dengan gangguan nafsu makan
dan muntah-muntah sehingga asupan balita tersebut tidak memenuhi kebutuhannya.
Kondisi seperti ini yang nantinya akan berimplikasi buruk terhadap pertumbuhan
anak. Praktik higiene dan sanitasi lingkungan sangat berkaitan dengan penyakit diare
terutama di negara-negara berkembang, sehingga menimbulkan malnutrisi dan
dampak seperti gizi kurang, stunting, hingga kejadian gizi buruk.
Jurnal ketiga Viramitha Kusnandi Rusmil dkk (2019), dengan batasan
karakteristik pemberian MPASI berhubungan dengan stunting,hal ini didukung
dengan penelitian Noverian Yoshua Prihutama dkk 2018, menunjukkan adanya
hubungan bermakna (p<0,005) antara pemberian MP-ASI dini (p=0,0000) dengan
kejadian stunting. Makanan pendamping ASI (MPASI) adalah makanan yang
diberikan kepada anak bersamaan dengan ASI, MPASI sendiri bersifat untuk
melengkapi ASI, bukan untuk menggantikan ASI dan ASI tetap harus diberikan
sampai usia 2 tahun diikuti pemberian MP-ASI pada usia 6 bulan. Usia pemberian
MP-ASI berpengaruh terhadap kejadian stunting, karena anak hanya membutuhkan
ASI saja hingga usia 6 bulan, namun >6 bulan ASI saja tidak cukup untuk membantu
tumbuh kembang yang optimal.
Jurnal ke empat Sabuj Kanti Mistry Dkk (2019), batasan karakteristik konseling
gizi pada ibu dengan kejadian stunting. Hal ini sejalan dengan penelitian yang
dilakukan oleh Ismanto dkk, 2014 tentang “Hubungan pengetahuan orang tua tentang
gizi dengan stunting pada anak usia 4-5 tahun di Tk Malaekat Pelindung Manado”.
Hasil penelitian menunjukan bahwa dari 30 anak, 24 diantaranya memiliki TB/U
normal (96%) disertai pengetahuan orang tua tentang gizi yang baik, 1 anak memiliki
TB/U tetapi pengetahuan orang tua tentang gizi yang tidak baik (4%), serta 5 anak
dengan stunting memiliki orang tua dengan pengetahuan tentang gizi yang tidak baik
(100%). Jurnal ke lima Kissa B. M. Kulw dkk 2015, batasan karakteristik kandungan
gizi rendah pada makanan berhubungan dengan makanan stunting. hal ini sejalan
dengan penelitian Ulul Azmy dan Luki Mundiastuti 2018, Sebagian besar balita
stunting memiliki tingkat konsumsi energi, lemak, protein, karbohidrat, seng, dan zat
besi pada kategori kurang. Sedangkan pada balita non-stunting sebagian besar
memiliki tingkat konsumsi zat gizi yang cukup. Terdapat hubungan status gizi dengan
asupan energi (p = 0,015; OR = 4,048), protein (p = 0,012; OR = 1,6), lemak (p =
0,002; OR = 1,7), karbohidrat (p = 0,014; OR = 1,7), seng (p = 0,026; OR = 1,7)
Balita non-stunting memiliki tingkat konsumsi zat gizi yang lebih baik dibandingkan
dengan balita stunting. Terdapat hubungan antara asupan energi, protein, lemak,
karbohidrat, dan seng dengan status gizi (TB/U).
Dari beberapa jurnal yang di review di atas menunjukkan bahwa ibu yang tidak
memiliki tingkat pendidikan atau pengetahuan yang rendah berdampak pada praktik
pemberian makan jadi tidak tepat yang berpengaruh pada asupan gizi pada anak,
asupan gizi anak yang bermasalah akan menganggu tumbuh kembang anak. Oleh
karena itu, perlu dilakukan kegiatan edukasi tentang promosi kesehatan atau
konseling gizi agar ibu atau pengasuh dapat melaksanakan/ mempraktikkan apa yang
diketahui, tidak hanya sekedar tau tapi dapat mempraktikan apa yang telah
dieduasikan.
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Ternyata praktik pemberian makan berhubungan dengan kejadian stunting pada
balita, berdasarkan dari 5 jurnal yang di review masih banyak orang tua atau
pengasuh pengetahuannya masih minim mengenai asupan gizi yang diperlukan oleh
anak serta frekwensi makan kurang tepat memiliki peluang mengalami stunting
dalam praktik pemberian makan. Asupan gizi sangat diperlukan oleh tubuh kembang
anak dimana zat makro dan mikro diperlukan untuk pertumbuhan dan proses
metabolisme zat gizi kemudian frekwensi makan yang diperlukan oleh balita karena
usia balita kebutuhan zat gizi pada anak sangat tinggi yang diperlukan untuk proses
tumbuh kembangnya. Sehingga kesalahan praktik pemberian makan pada balita di
masa ini berdampak negatif terhadap pertumbuhan dan perkembangan balita.
5.2 Implikasi/Saran
Perlu dilakukan kegiatan edukasi tentang promosi kesehatan mengenai praktik
pemberian makan yang baik dari segi jenis makanan, jumlah yang dibutuhkan,
dan frekwensi makan sesuai usia anak dan konseling gizi mengenai gizi yang
diperlukan oleh anak sesuai dengan umur anak agar ibu atau pengasuh dapat
melaksanakan/ mempraktikkan apa yang diketahui, tidak hanya sekedar tau tapi
dapat mempraktikan apa yang telah dieduasikan.