Anda di halaman 1dari 32

1

BAB III
PEMBAHASAN

A. Pertanggungjawaban Pidana Oknum Notaris Pelaku Tindak Pidana


Penipuan Berdasarkan Putusan Pengadilan Negeri Palembang Nomor
1829/PID.B/2014/PN.PLG

Tanggung jawab dalam aspek bahasa memiliki arti keadaan wajib menanggung

segala sesuatunya (apabila terjadi apakah dapat dituntut, dipersalahkan, diperkarakan,

dsb.).131 Bertanggung jawab dimaksudkan sebagai kata searti untuk penyebab.

”Bertanggung jawab atas” menunjukkan suatu hubungan kausalitas. Subyek yang

bertanggung jawab dianggap sebagai penyebab salah satu akibat yang telah

berlangsung atau sebagai penyebab kemungkinan terjadinya suatu akibat.132

Pertanggungjawaban pidana yang dapat dikenakan terhadap oknum Notaris

pelaku tindak pidana penipuan harus dilihat dari kesalahan yang dilakukan pelaku

tersebut sehingga ia dipandang telah melakukan perbuatan yang dianggap melakukan

penyuapan tersebut. Kesalahan berpengaruh besar terhadap pertanggungjawaban

pidana karena pertanggungjawaban pidana berdasarkan kesalahan. Untuk adanya

kesalahan yang berakibat pada dipidananya terdakwa maka terdakwa haruslah “…

seseorang yang perbuatan pidananya dapat diminta pertanggungjawaban pidana

apabila telah memenuhi syarat-syarat, sebagai berikut” : 133

131 Anton M. Moeliono (Peny), 1991, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta : Balai Pustaka,
Departemen Pendidikan dan Kebudayan, hlm. 899.
132 A.G.W. Van Melsen, 1992, Ilmu Pengetahuan dan Tanggung Jawab Kita, Jakarta :
Gramedia Pustaka Utama, hlm. 68.
133 Moeljatno, 1993, Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta : Rineka Cipta, hlm. 20.

68
2

1. Adanya perbuatan bersifat melawan hukum;

2. Kemampuan bertanggungjawab;

3. Kesalahan;

4. Tidak ada alasan pemaaf

Apabila unsur-unsur telah terpenuhi, maka orang yang bersangkutan bisa

dinyatakan bersalah atau mempunyai pertanggunganjawaban pidana, sehingga bisa

dipidana, sebagaimana peneliti uraikan bentuk pertanggungjawaban pidana Notaris

pelaku tindak pidana penipuan berdasarkan Putusan Pengadilan Negeri Palembang

Nomor 1829/PID.B/2014/PN.PLG di bawah ini :

1. Kasus Posisi

Berawal dari Saksi Rd Dewi Gumay binti Rukib yang akan membuka kantor

cabang asuransi Zurich di Kota Palembang dan Saksi Rd Dewi Gumay binti Rukib

telah mencari tempat yang cocok untuk dijadikan kantornya, lalu Saksi I mendatangi

kantor terdakwa yang terletak di Jalan Ampibi Kecamatan Kemuning Palembang

yang merupakan tempat tinggal sekaligus kantor terdakwa bekerja sebagai Notaris.

Mendengar permohonan Saksi Rd Dewi Gumay binti Rukib yang minta dicarikan

tempat sewa ruko tersebut, terdakwa menawarkan diri untuk mencarikannya dan

Saksi Rd Dewi Gumay binti Rukib diajak terdakwa melakukan survey ke lapangan.

Namun, tempat yang ditawarkan tidak diminati oleh Saksi Rd Dewi Gumay binti

Rukib. Terdakwa kemudian menawarkan ruko milik Saksi Robby Hartono yang

terletak di Jalan Mayor Salim Batubara Palembang melalui Saksi Ana Juliana binti

Oemar Sulaiman dan disepakati harga sewanya per tahun sebesar Rp. 120.000.000,-
3

(seratus dua puluh juta rupiah), dan Saksi Rd Dewi Gumay binti Rukib sepakat

menyewa ruko tersebut selama dua tahun.

Untuk meyakinkan Saksi Rd Dewi Gumay binti Rukib, terdakwa

memperkenalkan temannya yang bernama Dolly sebagai orang yang akan mendesain

interior kantor yang akan ditempatinya tersebut. Atas kesepakatan sewa ruko dan

adanya teman terdakwa yang akan mendesain kantor yang akan ditempatinya

tersebut, kemudian Saksi Rd Dewi Gumay binti Rukib pulang ke Jakarta. Saat Saksi

Rd Dewi Gumay binti Rukib berada di Jakarta, terdakwa meminta Saksi Rd Dewi

Gumay binti Rukib untuk mengirimkan uang kepada terdakwa dalam rangka sewa

ruko dimaksud, keperluan biaya mendesain interior ruko dan lain-lain. Atas perkataan

terdakwa tersebut, Saksi Rd Dewi Gumay binti Rukib percaya dengan terdakwa, dan

atas kepercayaan Saksi Rd Dewi Gumay binti Rukib kepada terdakwa, Saksi Rd

Dewi Gumay binti Rukib lalu mentransfer uang kepada terdakwa yang dimintannya

sebagai berikut :

a. Transfer uang kepada terdakwa pada rekening Bank BCA No. Rek.

0212260001 atas nama Mkw tanggal 19 Desember 2012 sebesar Rp.

44.000.000,-;

b. Transfer uang kepada terdakwa pada pada Bank Mandiri No. Rek.

1130003035239 atas nama Mkw, pada tanggal 25 November 2012, 29

November 2012, 16 Januari 2013, 17 Januari 2013, 19 Januari 2013, 27

Januari 2013, 18 Februari 2013, 11 Maret 2013, 13 Maret 2013, 20 Maret


4

2013, 11 April 2013, dan 24 April 2013, dengan total sebesar Rp.

195.500.000,-;

c. Transfer uang kepada terdakwa pada rekening Bank BCA No. Rek.

0212511828 atas nama Sugeng Haryono, pada tanggal 16 April 2013 dan

2 Mei 2013, dengan total sebesar Rp. 34.000.000,-;

d. Transfer uang kepada terdakwa pada rekening Bank BCA No. Rek.

8570025156 atas nama Dolly Ghazali, pada tanggal 15 Maret 2013,

sebesar Rp. 2.000.000,-

e. Transfer uang kepada terdakwa pada rekening Bank BCA No. Rek.

1120006117852 atas nama Hendra, pada tanggal 25 Maret 2013, sebesar

Rp. 4.350.000,-;

f. Transfer uang kepada terdakwa pada rekening Bank BCA No. Rek.

11300076950 atas nama Devy Adlimedianti, pada tanggal 25 Maret 2013,

sebesar Rp. 250.000,-.

Bahwa uang yang telah Saksi Rd Dewi Gumay binti Rukib transfer ke rekening

terdakwa maupun atas permintaan terdakwa telah mentransfer kepada saksi Sugeng

Haryono, Dolly Ghazali, Hendra, dan Devy Adlimedianti semuanya berjumlah Rp.

294.600.000,- (dua ratus sembilan puluh empat juta enam ratus ribu rupiah)

(a+b+c+d+e+f) yang akan dipergunakan untuk sewa ruko dimaksud, keperluan biaya

mendesain interior ruko dan lain-lain hanyalah akal-akalan terdakwa saja karena sewa

ruko milik Saksi Robby Hartono yang terletak di Jalan Mayor Salim Batubara
5

Palembang tidak jadi dilaksanakan karena uangnya telah terdakwa pergunakan untuk

kepentingan dirinya sendiri.

2. Dakwaan Jaksa Penuntut Umum

Terdakwa dihadapkan ke persidangan didakwa oleh Jaksa Penuntut Umum

dengan Surat Dakwaan Nomor Registrasi Perkara : PDM-867/N.6.10/ Epp.2/12/2014

tanggal 18 November 2014, yang mana perbuatan terdakwa didakwa dalam dakwaan

Kesatu sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam ketentuan Pasal 372 KUHP,

sebagaimana berbunyi :

“Barang siapa dengan sengaja dan melawan hukum memiliki barang sesuatu


yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang lain, tetapi yang ada
dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan diancam karena penggelapan,
dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling
banyak sembilan ratus rupiah.”

Sedangkan dalam dakwaan Kedua, perbuatan terdakwa sebagaimana diatur dan

diancam pidana dalam ketentuan Pasal 378 KUHP, sebagaimana berbunyi :

“Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang
lain dengan melawan hukum, dengan memakai nama palsu atau martabat
palsu, dengan tipu muslihat ataupun dengan rangkaian kebohongan
menggerakan orang lain untuk menyerahkan sesuatu benda kepadanya, atau
supaya memberi hutang maupun menghapuskan piutang, diancam karena
penipuan dengan pidana penjara paling larna 4 (empat) tahun.”

3. Tuntutan Jaksa Penuntut Umum

Jaksa Penuntut Umum memohon kepada Majelis Hakim supaya memberikan

putusan kepada terdakwa, sebagai berikut :


6

a. Menyatakan terdakwa Mkw telah terbukti secara sah dan meyakinkan

bersalah melakukan tindak pidana Penggelapan sebagaimana diatur dan

diancam pidana dalam Pasal 372 KUHP dalam Dakwaan Kesatu;

b. Menjatuhkan pidana penjara oleh karena itu terhadap terdakwa Mkw

selama 2 (dua) tahun, dikurangi selama terdakwa berada dalam masa

Tahanan Sementara, dengan perintah agar terdakwa ditahan di Rumah

Tahanan Negara (RUTAN);

4. Pertimbangan Hakim

Majelis Hakim dengan berdasarkan fakta-fakta hukum yang diperoleh dari alat

bukti dan barang bukti yang diajukan memilih langsung Dakwaan Kedua yang lebih

tepat dikenakan oleh terdakwa sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam

ketentuan Pasal 378 KUHP, yang unsur-unsurnya adalah sebagai berikut :

a. Barangsiapa;

b. Dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri secara melawan

hukum;

c. Menggerakkan orang lain untuk/supaya :

1) menyerahkan barang sesuatu kepadanya (kepada pelaku), atau

2) memberi hutang kepadanya (kepada pelaku), maupun

3) menghapuskan piutang kepadanya (kepada pelaku);

d. Dengan menggunakan cara :

1) memakai nama palsu atau martabat palsu,

2) tipu muslihat, ataupun


7

3) rangkaian kebohongan.

Terhadap unsur-unsur di atas, Majelis Hakim mempertimbangkan sebagai

berikut :

a. Unsur Barang Siapa (Setiap Orang)

Unsur “barang siapa (setiap orang)” yang dimaksud oleh undang-undang

adalah subyek hukum tanpa terkecuali, dan dalam hubungannya dengan perkara

ini yang dianggap sebagai subyek tindak pidana adalah manusia/orang (Natuur

Lijke Persoonen) sebagai subyek hukum pendukung hak dan kewajiban yang

mampu mempertanggung jawabkan setiap perbuatan yang dilakukannya.

Bahwa di persidangan telah dihadapkan terdakwa Mkw yang identitas

lengkapnya telah diakui dan telah dicocokkan dengan identitas terdakwa dalam

Berkas Surat Dakwaan di persidangan dimana terdakwa adalah orang yang

sehat akal pikirannya yang bisa mempertanggung jawabkan perbuatannya. Di

samping itu berdasarkan pengamatan Majelis Hakim selama persidangan

ternyata terdakwa dapat berkomunikasi dengan baik dan menjawab semua

pertanyaan-pertanyaan yang diajukan kepadanya sehingga dianggap sebagai

subjek hukum yang memiliki sehat jasmani dan rohani.

Berdasarkan pertimbangan di atas, maka unsur “barang siapa (setiap

orang)” telah terpenuhi secara sah menurut hukum.

b. Unsur “Dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri secara

melawan hukum”
8

Bahwa berdasarkan fakta-fakta yang terungkap di persidangan baik yang

diperoleh dari keterangan saksi-saksi yang disumpah maupun dari keterangan

terdakwa sendiri yang pada pokoknya menerangkan bahwa benar terdakwa

menawarkan ruko milik Saksi Robby Hartono yang terletak di Jalan Mayor

Salim Batubara Palembang melalui saksi Ana Juliana binti Oemar Sulaiman

untuk dijadikan kantor cabang asuransi Zurich di Kota Palembang, dan

disepakati oleh Saksi Rd Dewi Gumay binti Rukib untuk menyewa ruko

tersebut selama dua tahun dengan harga sewa per tahun sebesar Rp.

120.000.000,-.

Saat Saksi Rd Dewi Gumay binti Rukib berada di Jakarta, terdakwa

meminta Saksi Rd Dewi Gumay binti Rukib untuk mengirimkan uang kepada

terdakwa dalam rangka sewa ruko dimaksud, keperluan biaya mendesain

interior ruko dan lain-lain. Atas permintaan terdakwa tersebut Saksi Rd Dewi

Gumay binti Rukib lalu mentransfer uang kepada terdakwa ke nomor rekening

atas nama terdakwa dan beberapa nomor rekening lain tidak atas nama

terdakwa atas permintaan terdakwa sebanyak 17 kali sejak tanggal 9 Desember

2012 hingga tanggal 25 Maret 2013, yang semuanya berjumlah Rp.

294.600.000,-.

Sejumlah uang yang telah ditransfer Saksi Rd Dewi Gumay binti Rukib

kepada terdakwa ternyata tidak pernah terealisasi dalam rangka menyewa ruko

selama dua tahun ditambah pengerjaan desain interior ruko, yang mana ternyata

uang tersebut digunakan terdakwa untuk kepentingan dirinya sendiri. Oleh


9

karena itu, perbuatan terdakwa telah mengakibatkan Saksi Rd Dewi Gumay

binti Rukib menderita kerugian sebesar Rp. 294.600.000,- (dua ratus sembilan

puluh empat juta enam ratus ribu rupiah).

Berdasarkan fakta tersebut diatas, maka unsur “dengan maskud untuk

menguntungkan diri sendiri secara melawan hukum” telah terbukti secara sah

dan meyakinkan menurut hukum.

c. Unsur “menggerakkan orang lain untuk/supaya menyerahkan

barang sesuatu kepadanya (kepada pelaku) dengan menggunakan

cara rangkaian kebohongan”

Berdasarkan fakta-fakta yang terungkap di persidangan baik yang

diperoleh dari keteranga saksi-saksi yang disumpah maupun dari keterangan

terdakwa sendiri yang pada pokoknya menerangkan bahwa benar terdakwa

menawarkan ruko milik Saksi Robby Hartono yang terletak di Jalan Mayor

Salim Batubara Palembang melalui Saksi Ana Juliana binti Oemar Sulaiman

untuk dijadikan kantor cabang asuransi Zurich di Kota Palembang, dan

disepakati oleh Saksi Rd Dewi Gumay binti Rukib untuk menyewa ruko

tersebut selama dua tahun dengan harga sewa per tahun sebesar Rp.

120.000.000,-.

Saat Saksi Rd Dewi Gumay binti Rukib berada di Jakarta, terdakwa

meminta Saksi Rd Dewi Gumay binti Rukib untuk mengirimkan uang kepada

terdakwa dalam rangka sewa ruko dimaksud, keperluan biaya mendesain

interior ruko dan lain-lain. Untuk meyakinkan Saksi Rd Dewi Gumay binti
10

Rukib, terdakwa memperkenalkan temannya yang bernama Saksi Dolly Ghazali

sebagai orang yang akan mendesain interior kantor yang akan ditempatinya

tersebut. Saksi Rd Dewi Gumay binti Rukib pun kemudian percaya, dan atas

permintaan terdakwa, Saksi Rd Dewi Gumay binti Rukib lalu mentransfer uang

kepada terdakwa ke nomor rekening atas nama terdakwa dan beberapa nomor

rekening lain tidak atas nama terdakwa atas permintaan terdakwa sebanyak 17

kali sejak tanggal 9 Desember 2012 hingga tanggal 25 Maret 2013, yang

semuanya berjumlah Rp. 294.600.000,-.

Sejumlah uang yang telah ditransfer Saksi Rd Dewi Gumay binti Rukib

kepada terdakwa ternyata tidak pernah terealisasi dalam rangka menyewa ruko

selama dua tahun ditambah pengerjaan desain interior ruko, yang mana ternyata

uang tersebut digunakan terdakwa untuk kepentingan dirinya sendiri.

Adapun rangkaian perkataan bohong terdakwa adalah terdakwa

mengatakan bahwa uang yang dibutuhkan terdakwa yang ditransfer ke nomor

rekening atas nama terdakwa dan nomor-nomor rekening lain atas nama bukan

terdakwa akan digunakan untuk biaya sewa ruko milik Saksi Robby Hartono,

keperluan biaya desain interior ruko, dan lain-lain, yang ternyata hanya

digunakan terdakwa untuk kepentingan pribadi. Saksi Robby Hartono tidak

pernah mendapatkan laporan tindak lanjut dan menerima uang sewa ruko

miliknya dari terdakwa; Saksi Dolly Ghazali tidak pernah mendapatkan laporan

tindak lanjut dan menerima uang jasa desain interior ruko dimaksud dari

terdakwa; Saksi Sugeng Haryono, Saksi Hendra, dan Saksi Devy Adlimedianti,
11

menyatakan bahwa semua uang yang ditransfer Saksi Rd Dewi Gumay binti

Rukib ke rekening mereka merupakan uang keperluan pribadi terdakwa dan

tidak tahu menahu mengenai perjanjian sewa ruko antara Saksi Rd Dewi

Gumay binti Rukib dan terdakwa.

Bahwa berdasarkan fakta tersebut diatas, maka unsur “menggerakkan

orang lain untuk/supaya menyerahkan barang sesuatu kepadanya (kepada

pelaku) dengan menggunakan cara rangkaian kebohongan”, telah terbukti

secara sah dann meyakinkan menurut hukum.

5. Amar Putusan

Putusan Pengadilan Negeri Palembang Nomor 1829/PID.B/2014/PN.PLG atas

nama terdakwa Mkw, pada tanggal 22 April 2015, amarnya berbunyi sebagai

berikut :

a. Menyatakan terdakwa Mkw telah terbukti secara sah dan meyakinkan

bersalah melakukan Tindak Pidana Penipuan sebagaimana diatur dan

diancam dalam Dakwaan Kedua Pasal 378 KUHP;

b. Menjatuhkan pidana oleh karena itu terhadap terdakwa Mkw selama 2

(dua) Tahun penjara;

6. Analisis

Berdasarkan uraian kasus di atas, maka dapat diperoleh bentuk-bentuk

pertanggungjawaban pidana tindak pidana penipuan oleh oknum Notaris, yang mana

telah memenuhi unsur-unsur pertanggungjawaban pidana terhadap perbuatan pidana

yang diatur oleh dalam Pasal 378 KUHP, sebagaimana berbunyi :


12

“Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang
lain dengan melawan hukum, dengan memakai nama palsu atau martabat
palsu, dengan tipu muslihat ataupun dengan rangkaian kebohongan
menggerakan orang lain untuk menyerahkan sesuatu benda kepadanya, atau
supaya memberi hutang maupun menghapuskan piutang, diancam karena
penipuan dengan pidana penjara paling larna 4 (empat) tahun.”

Berdasarkan ketentuan yang diuraikan di atas, artinya terdapat ancaman sanksi

pidana sebagai suatu hukuman bagi pelaku yang telah memenuhi unsur-unsur tindak

pidana, sebagai perwujudan dari pertanggungjawaban pidana.

Menurut Moelyatno, istilah “hukuman” atau straf merupakan istilah

konvensional. Istilah yang benar/inkonvensional untuk menggantikan straf  adalah 

“pidana”. Hal ini sesuai dengan istilah strafrecht yang selama ini digunakan   sebagai

terjemahan dari “hukum pidana”. Dengan demikian, maka istilah “pidana”

merupakan istilah yang lebih khusus yang dipakai dalam hukum pidana.134

Kekhususan lain dari istilah pidana termasuk dalam hal bentuk atau jenis

snksi/hukumannya, dimana sifat nestapa atau penderitaan lebih menonjol bila

dibandingkan dengan bentuk hukuman yang dimiliki oleh aspek hukum lain. Bahkan, 

para  ahli hukum pidana ada yang mengatakan, bahwa hukum pidana merupakan

hukum sanksi istimewa. Dikatakan pula bahwa hukum pidana merupakan sistem

sanksi yang negatif, yaitu suatu nestapa yang sifatnya mencelakakan/menderitakan

yang sudah tentu membuat si terpidana menjadi tidak enak. Pidana tidak hanya tidak

mengenakkan dirasakan pada waktu dijalani, tetapi sesudah itu orang yang dikenai

134 Moeljatno, 2008, Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta : Rineka hlm. 55.
13

masih merasakan akibatnya yang berupa”cap” atau “label” atau “stigma” dari

masyarakat.135

Sanksi pidana merupakan penjatuhan hukuman yang diberikan kepada

seseorang yang dinyatakan bersalah dalam melakukan perbuatan pidana. Jenis-jenis

pidana ini sangat bervariasi, seperti pidana mati, pidana seumur hidup, pidana

penjara, pidana kurungan dan pidana denda yang merupakan pidana pokok, dan

pidana pencabutan hak-hak tertentu, perampasan baran-barang tertentu, dan

pengumuman putusan hakim yang kesemuanya merupakan pidana tambahan.  Tujuan

dari sanksi pidana menurut Bemmelen adalah untuk mempertahankan ketertiban

masyarakat, dan mempunyai tujuan kombinasi untuk menakutkan, memperbaiki dan

untuk kejahatan tertentu membinasakan.136

Sebagaimana telah terurai, pemidanaan secara sederhana dapat diartikan dengan

penghukuman. Penghukuman yang dimaksud berkaitan dengan penjatuhan pidana

dan alasan-alasan pembenar (justification) dijatuhkannya pidana terhadap seseorang

yang dengan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap (incracht van

gewijsde) dinyatakan secara sah dan meyakinkan terbukti melakukan tindak pidana.

Tentunya, hak penjatuhan pidana dan alasan pembenar penjatuhan pidana serta

pelaksanaannya tersebut berada penuh di tangan negara dalam realitasnya sebagai

roh.137 Hal ini sesuai dengan apa yang dikatakan oleh Barda Nawawi Arief, bahwa

135 Soedarto, 1986, Hukum dan Hukum Pidana, Bandung : Alumni, hlm. 29.
136 Bemmelen, dikutip dalam : Mahrus Ali,  2008, Kejahatan Korporasi Kajian Relevansi
Sanksi Tindakan Bagi Penanggulangan Kejahatan Korporasi, Arti Bumi Intaran, Yogyakarta : Sinar
Grafika, hlm. 137.
137 Wirjono Prodjodikoro, 2008, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, Bandung : PT. Refika
Aditama, hlm. 23.
14

tujuan dari kebijakan pemidanaan yaitu menetapkan suatu pidana tidak terlepas dari

tujuan politik kriminal. Dalam arti keseluruhannya yaitu perlindungan masyarakat

untuk mencapai kesejahteraan.138

Secara eksplisit bentuk-bentuk sanksi pidana tercantum dalam Pasal 10 KUHP.

Bentuk-bentuk sanksi pidana ini dibedakan antara pidana pokok dan pidana

tambahan. Dibawah ini adalah bentuk-bentuk pidana baik yang termasuk pidana

pokok maupun pidana tambahan yaitu :

a. Pidana Pokok :

1. Pidana mati

2. Pidana Penjara

3. Pidana Kurungan

4. Pidana Tutupan

5. Pidana Denda

b. Pidana Tambahan :

1. Pencabutan Hak-Hak Tertentu

2. Perampasan Barang Tertentu

3. Pengumuman Putusan Hakim

Berdasarkan kasus tindak pidana penipuan oleh oknum Notaris seperti yang

telah diuraikan sebelumnya, didapat bentuk-bentuk pertanggungjawaban pidana

138 Barda Nawawi Arief, 2007, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana
dalam Penanggulangan Kejahatan, Jakarta : Kencana Prenada Media Group, hlm. 21.
15

terhadap terdakwa, yaitu berupa pidana penjara dan pidana denda sesuai dengan

Pasal 378 KUHP yaitu pidana penjara paling 4 (empat) tahun.

Terhadap terdakwa yang merupakan pejabat umum Notaris,

pertanggungjawaban pidana bagi terdakwa merupakan pertanggungjawaban pidana

terdakwa menurut KUHP dengan kedudukannya sebagai subyek hukum di luar

kedudukannya sebagai Notaris, karena tindak pidana yang dilakukan terdakwa di luar

ruang lingkup tugas dan kewenangannya sebagai seorang Notaris dalam membuat

akta otentik.

Menurut Habib Adjie, batasan pemidanaan Notaris dapat dilakukan apabila :139

a. Ada tindakan hukum dari Notaris terhadap aspek lahir, formal dan materil

akta yang disengaja, penuh kesadaran dan keinsyafan serta direncanakan,

bahwa akta yang dibuat di hadapan Notaris atau oleh Notaris bersama-

sama (sepakat) para penghadap untuk dijadikan dasar untuk melakukan

suatu tindak pidana;

b. Ada tindakan hukum dari Notaris dalam membuat akta di hadapan atau

oleh Notaris yang jika diukur berdasarkan Undang-Undang Nomor 2

Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun

2004 tentang Jabatan Notaris tidak sesuai menurut instansi yang

berwenang; dan

139 Habib Adjie, 2009, Sekilas Dunia Notaris dan PPAT, Jakarta : Bina Aksara, hlm. 30.
16

c. Tindakan Notaris tersebut juga tidak sesuai menurut instansi yang

berwenang untuk menilai tindakan Notaris, dalam hal ini Majelis

Pengawas Notaris.

Sebagai kesimpulan, pertanggungjawaban pidana oknum Notaris pelaku tindak

pidana penipuan berdasarkan Putusan Pengadilan Negeri Palembang Nomor

1829/PID.B/2014/PN.PLG diatur menurut ketentuan Pasal 378 KUHP dengan

ancaman pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun. Ketentuan pidana ini murni

merupakan tindak pidana yang dilakukan terdakwa sebagai subyek hukum di luar

kedudukannya sebagai seorang Notaris dan tidak berkaitan sama sekali dengan

kewenangan jabatannya membuat akta otentik.

B. Akibat Hukum Vonis Tindak Pidana Penipuan oleh Oknum Notaris yang
telah Berkekuatan Hukum tetap terhadap Pelaksanaan Jabatan Notaris
dan Kode Etik Notaris

1. Kekuatan Hukum Putusan Pengadilan Negeri Palembang Nomor


1829/PID.B/2014/PN.PLG

Bersumber pada asas praduga tak bersalah (presumption of innocence) yang

berarti bahwa setiap orang yang disangka, dituntut dan didakwa atau dihadapkan di

depan pengadilan wajib dianggap tidak bersalah sebelum adanya keputusan

pengadilan yang telah menyatakan kesalahannya dan telah memperoleh kekuatan

hukum yang pasti. Maka jelas dan sewajarnyalah bahwa terdakwa karena

kedudukannya wajib mendapat hak-haknya.140

140 M. Hanafi Asmawie, 1992, Ganti Rugi dan Rehabilitasi Menurut KUHAP, Jakarta :
Pradnya Pratama, hlm. 136.
17

Hak paling utama yang dimiliki seorang terdakwa adalah melakukan upaya

hukum sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 1 angka 12 Kitab Undang-Undang

Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang berbunyi :

“Upaya hukum adalah hak terdakwa atau penuntut umum untuk tidak menerima
putusan pengadilan yang berupa perlawanan atau banding atau kasasi atau hak
terpidana untuk mengajukan permohonan peninjauan kembali dalam hal serta
menurut cara yang diatur dalam undang-undang “.

Dari perumusan pasal di atas, maka makna dan hakikat upaya hukum itu

sebenarnya tak lain daripada cara-cara melakukan Perlawanan, cara-cara melakukan

Banding, cara-cara melakukan Kasasi dan cara-cara melakukan Peninjauan Kembali

terhadap putusan Pengadilan/Mahkamah. Jadi, dengan kata lain terdakwa memiliki

hak untuk melakukan Perlawanan, melakukan upaya hukum biasa yaitu Banding dan

Kasasi, dan melakukan upaya hukum luar biasa yaitu Peninjauan Kembali, terhadap

putusan Pengadilan/Mahkamah. Alasan terdakwa melakukan upaya hukum yaitu

berkaitan dengan hadirnya suatu putusan yang tidak memuaskan terdakwa, termasuk

Jaksa Penuntut Umum.141

Berikut ini adalah berbagai hak terdakwa dalam menempuh upaya hukum :142

a. Perlawanan

Upaya hukum perlawanan dalam hal ini yang diajukan terdakwa,

sebagaimana konteks Pasal 156 KUHAP, adalah berawal dari sikap terdakwa

yang menginginkan agar pemeriksaan persidangan tidak dilanjutkan dengan

141 Ibid., hlm. 138.


142 Adami Chazawi, 2011, Lembaga Penijauan Kembali Perkara Pidana : Penegakan hukum
dalam Penyimpangan Praktik & Peradilan Sesat, Jakarta : Sinar Grafika, hlm. 5-10.
18

mengemukakan alasan-alasannya dan pengungkapan sikap terdakwa tersebut

terjadi pada permulaan sidang tepatnya setelah surat dakwaan dibacakan oleh

penuntut umum. Alasan pengajuan perlawanan oleh terdakwa antara lain bahwa

pengadilan tidak berwenang mengadili perkaranya atau dakwaan tidak dapat

diterima atau surat dakwaan harus dibatalkan.

b. Banding

Upaya hukum Banding adalah upaya hukum yang tersedia bagi pihak

yang berperkara apabila tidak puas terhadap putusan pengadilan tingkat

pertama (Pengadilan Negeri) yang diajukan kepada pengadilan tingkat banding

(Pengadilan Tinggi). Tujuan banding ada dua macam yaitu, menguji putusan

pengadilan tentang ketepatannya dan untuk memeriksa baru untuk keseluruhan

perkara itu.

Untuk mengajukan permohonan upaya hukum Banding tentunya harus

berdasarkan alasan-alasan yang jelas. Berdasarkan ketentuan Pasal 67 KUHAP

juncto Pasal 233 ayat (1) KUHAP secara ringkas memberi pemahaman bahwa

yang menjadi alasan atau dasar pengajuan permohonan upaya hukum Banding

yakni oleh kurang tepatnya penerapan hukum sehingga perlu dilakukan

pemeriksaan ulangan terhadap fakta-fakta kecuali terhadap putusan bebas atau

lepas dari segala tuntutan hukum.

c. Kasasi

Upaya hukum kasasi adalah upaya hukum atas ketidakpuasan terhadap

putusan tingkat pertama (Pengadilan Negeri) atau ketidakpuasan terhadap


19

pengadilan tingkat banding (Pengadilan Tinggi). Pada upaya hukum Banding

ada dua kemungkinan ketidakpuasan para pihak terhadap putusan pengadilan.

Syarat formil Kasasi disebutkan dalam ketentuan Pasal 245 ayat (1)

KUHAP dan Pasal 248 ayat (1) KUHAP, yaitu sebagai berikut :

1) Bisa diajukan terhadap putusan yang diberikan pada tingkat terakhir

oleh pengadilan selain Mahkamah Agung yang belum mempunyai

kekuatan hukum yang tetap.

2) Putusan yang berisi amar tidak berupa pembebasan terdakwa.

3) Dapat diajukan pihak terdakwa atau pihak penuntut umum.

4) Mengajukan permintaan kasasi dalam waktu empat belas hari sejak

menerima pemberitahuan putusan pengadilan tingkat banding.

5) Harus membuat dan menyerahkan memori kasasi dalam waktu 14

hari sejak menyatakan mengajukan kasasi ke kantor kepaniteraan

pengadilan tingkat pertama yang memutus.

Disamping itu, ada tiga syarat materiil mengajukan Kasasi sebagaimana

ketentuan Pasal 253 ayat (1) KUHAP, yaitu :

1) Adanya suatu peraturan hukum yang tidak diterapkan atau

diterapkan tidak sebagaimana mestinya.

2) Adanya cara mengadili yang tidak dilaksanakan dalam ketentuan

undang-undang.

3) Adanya keadaan pengadilan yang telah melampaui batas

wewenangnya.
20

d. Peninjauan Kembali

Pada dasarnya Peninjauan Kembali dengan Kasasi tidak berbeda dalam

hal pengajuannya, sama-sama diajukan kepada Mahkamah Agung melalui

Pengadilan Negeri yang memutusnya. Bedanya adalah bahwa Peninjauan

Kembali diajukan terhadap putusan yang telah yang berkekuatan hukum tetap

dan tidak dibatasi dengan waktu. Pengajuan Peninjauan kembali ke Mahkamah

Agung tidak menangguhkan pelaksanaan pidana yang dijatuhkan pada

terpidana yang mengajukan permintaan. Ketentuan ini dapatlah dimengerti,

mengingat bahwa setiap putusan yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap

telah memiliki kekuatan eksekutorial. Namun demikian, mengingat

kemungkinan putusan Peninjauan Kembali dapat membatalkan putusan

mempidana semula yang diajukan Peninjauan Kembali, maka dengan masksud

menghindari penderitaan pemohon yang berkepanjangan, sudah sewajarnya

proses pemeriksaan dan putusan perkara peninjauan kembali dipercepat.

Terlebih lagi apabila alasan materiil Peninjauan Kembali tampak kebenarannya

secara terang.

Berkaitan dengan putusan yang mempunyai kekuatan hukum tetap (inkracht

van gewijsde) dalam perkara pidana, Penjelasan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang

Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi berbunyi :


21

“Yang dimaksud dengan “putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan


hukum tetap” adalah :
1.       putusan pengadilan tingkat pertama yang tidak diajukan banding atau
Kasasi dalam waktu yang ditentukan oleh Undang-Undang tentang
Hukum Acara Pidana;
2.       putusan pengadilan tingkat banding yang tidak diajukan Kasasi dalam
waktu yang ditentukan oleh Undang-Undang tentang Hukum Acara
Pidana; atau
3.      putusan Kasasi.”
 
Jadi, suatu putusan mempunyai kekuatan hukum tetap adalah :143

a.     Putusan pengadilan tingkat pertama yang tidak diajukan banding

setelah waktu tujuh hari sesudah putusan dijatuhkan atau setelah putusan

diberitahukan kepada terdakwa yang tidak hadir, sebagaimana diatur

dalam Pasal 233 ayat (2) juncto Pasal 234 ayat (1) KUHAP, kecuali untuk

putusan bebas (vrijspraak), putusan lepas dari segala tuntutan hukum

(onslag van rechts vervolging), dan putusan pemeriksaan acara cepat

karena putusan-putusan tersebut tidak dapat diajukan banding,

sebagaimana ketentuan Pasal 67 KUHAP.

b.     Putusan pengadilan tingkat banding yang tidak diajukan kasasi dalam

waktu empat belas hari sesudah putusan pengadilan yang dimintakan

kasasi itu diberitahukan kepada terdakwa, sebagaimana ketentuan Pasal

245 ayat (1) juncto Pasal 246 ayat (1) KUHAP.

Terhadap putusan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap kemudian

diajukan Peninjauan Kembali, M. Yahya Harahap berpendapat, selama putusan


143 M. Yahya Harahap, 2008, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP :
Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi dan Peninjauan Kembali, Yogyakarta : Social
Agency Putera, hlm. 615.
22

belum mempunyai kekuatan hukum tetap, upaya Peninjauan Kembali tidak dapat

dipergunakan. Terhadap putusan yang demikian hanya dapat ditempuh upaya hukum

biasa berupa banding atau kasasi. Upaya hukum peninjauan kembali baru terbuka

setelah upaya hukum biasa (berupa banding dan kasasi) telah tertutup. Upaya hukum

Peninjauan kembali tidak boleh melangkahi upaya hukum banding dan kasasi.

Artinya, putusan yang diajukan Peninjauan Kembali haruslah putusan yang telah

mempunyai kekuatan hukum tetap. Permintaan untuk dilakukan Peninjauan Kembali

justru karena putusan telah mempunyai kekuatan hukum tetap dan sudah tidak dapat

lagi dilakukan banding atau kasasi. Bahkan, permintaan Peninjauan Kembali atas

suatu putusan yang mempunyai kekuatan hukum tetap, tidak menangguhkan maupun

menghentikan pelaksanaan dari putusan tersebut. hal ini sebagaimana pula ketentuan

Pasal 268 ayat (1) KUHAP.144

Sebagaimana diketahui bahwa Putusan Pengadilan Negeri Palembang Nomor

1829/PID.B/2014/PN.PLG atas nama terdakwa Mkw, amar putusannya menyatakan

terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan Tindak

Pidana Penipuan sebagaimana diatur dan diancam dalam ketentuan Pasal 378 KUHP,

dan terdahap terdakwa dijatuhi pidana penjara selama dua tahun.

Terhadap vonis atau amar putusan dalam Putusan Pengadilan Negeri

Palembang Nomor 1829/PID.B/2014/PN.PLG di atas, Jaksa Penuntut Umum dan

terpidana menyatakan upaya hukum Banding di hadapan Panitera Pengadilan Negeri

144 Ibid.
23

Palembang masing–masing pada tanggal 28 April 2015 dan 29 April 2015

sebagaimana dalam akta permintaan banding Nomor 16/AKTA.PID./2015/PN.PLG.

Pengadilan Tinggi Palembang berdasarkan Putusan Pengadilan Tinggi

Palembang Nomor 56/PID/2015/PT.PLG, dalam pertimbangannya menyatakan

sependapat dengan pertimbangan Hakim Tingkat Pertama dalam putusannya bahwa

terpidana terbukti dengan sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana

sebagaimana yang didakwakan oleh Jaksa Penuntut Umum kepada terdakwa.

Akhirnya, pada tanggal 25 Juni 2015, Pengadilan Tinggi Palembang dalam amar

putusannya menyatakan menguatkan putusan Pengadilan Negeri Palembang Nomor

1829/Pid.B/2014/PN.Plg tertanggal 22 April 2015.

Atas Putusan Pengadilan Tinggi Palembang Nomor 56/PID/2015/PT.PLG,

terpidana mengajukan upaya hukum Kasasi ke Mahkamah Agung, yang mana

kemudian Mahkamah Agung berdasarkan Putusan Mahkamah Agung Nomor 1422

K/PID/2015 tanggal 31 Desember 2015, amar putusannya menyatakan menolak

permohonan Kasasi dari Pemohon Kasasi yaitu terpidana Mkw.

Atas Putusan Mahkamah Agung Nomor 1422 K/PID/2015, terpidana

mengajukan upaya hukum Peninjauan Kembali ke Mahkamah Agung, yang mana

kemudian Mahkamah Agung berdasarkan Putusan Mahkamah Agung Nomor 108

PK/PID/2016, dalam salah satu pertimbangannya menyatakan bahwa tidak terdapat

kekhilafan/kekeliruan yang nyata dalam putusan Pengadilan Negeri Palembang

Nomor 1829/Pid.B/2015/PN.Plg tanggal 22 April 2016 juncto putusan Pengadilan

Tinggi Palembang Nomor 56/Pid/2015/PT.PLG tanggal 25 Juni 2015 juncto putusan


24

Mahkamah Agung Nomor 1422 K/PID/2015 tanggal 31 Desember 2015, karena

Judex Facti maupun Judex Juris telah mempertimbangkan keterangan saksi,

keterangan terdakwa dan bukti surat dengan benar, dimana dari bukti-bukti yang

diajukan dalam persidangan tersebut, perbuatan yang dilakukan terpidana telah

memenuhi seluruh unsur dalam Pasal 378 KUHP.

Putusan Mahkamah Agung Nomor 108 PK/PID/2016, tanggal 16 Februari

2017, amar putusannya menyatakan menolak permohonan Peninjauan Kembali dari

Pemohon Peninjauan Kembali/terpidana Mkw, dan menetapkan bahwa putusan yang

dimohonkan Peninjauan Kembali tersebut tetap berlaku.

Berdasarkan uraian mengenai upaya hukum Banding yang diajukan Jaksa

Penuntut Umum dan terdakwa serta upaya hukum Kasasi dan Peninjauan Kembali

yang diajukan terdakwa di atas, maka atas Putusan Mahkamah Agung Nomor 108

PK/PID/2016 yang menyatakan menolak permohonan Peninjauan Kembali dari

Pemohon Peninjauan Kembali/terpidana Mkw, maka Putusan Pengadilan Negeri

Palembang Nomor 1829/PID.B/2014/PN.PLG telah berkekuatan hukum tetap.

Artinya, terdakwa/terpidana dalam salah satu amar putusannya tetap dijatuhi pidana

penjara selama dua tahun.

2. Akibat Hukum Putusan Pengadilan Negeri Palembang Nomor


1829/PID.B/2014/PN.PLG yang telah Berkekuatan Hukum Tetap terhadap
Jabatan Terdakwa Sebagai Notaris

a. Terhadap Pelaksanaan Jabatan Notaris


25

Menurut ketentuan dalam Pasal 17 huruf i Undang-Undang Nomor 2 Tahun

2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan

Notaris menyatakan bahwa Notaris dilarang melakukan pekerjaan lain yang

bertentangan dengan norma agama, kesusilaan, atau kepatutan yang dapat

mempengaruhi kehormatan dan martabat jabatan Notaris. Selanjutnya ketentuan Pasal

13 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan atas Undang-Undang

Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris menegaskan bahwa :

“Notaris akan diberhentikan dengan tidak hormat oleh Menteri, apabila dijatuhi
pidana penjara berdasarkan pada putusan pengadilan yang telah memperoleh
kekuatan hukum dengan pidana penjara 5 tahun atau lebih.”
Berdasarkan bunyi pasal yang disebutkan di atas, maka Notaris yang bisa

dimintai pertanggungjawaban pidana adalah Notaris yang kepadanya dapat

dibuktikan secara sah dan meyakinkan di depan pengadilan bersalah melakukan

perbuatan yang memenuhi unsur pelanggaran tindak pidana dan diputus oleh majelis

hakim pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih.

Terdakwa Mkw sebelumnya dalam Dakwaan Kedua dinyatakan oleh Jaksa

Penuntut Umum, melakukan tindak pidana dan diancam pidana sebagaimana diatur

dalam ketentuan Pasal 378 KUHP, yaitu diancam karena penipuan dengan pidana

penjara paling larna empat tahun, dengan tuntutan oleh Jaksa Penuntut Umum bagi

terdakwa dijatuhi pidana penjara selama dua tahun. Kemudian, Putusan Pengadilan

Negeri Palembang Nomor 1829/PID.B/2014/PN.PLG dalam amar putusannya

menjatuhkan pidana penjara yang sesuai dengan tuntutan Jaksa Penuntut Umum yaitu

pidana penjara selama dua tahun. Artinya, dikaitkan kembali dengan ketentuan Pasal
26

13 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan atas Undang-Undang

Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, maka terdakwa Mkw dapat kembali

melaksanakan jabatan Notarisnya, dan terbebas dari ancaman pemberhentian dengan

tidak hormat oleh Menteri, karena terdakwa berdasarkan apabila dijatuhi pidana

penjara berdasarkan Putusan Pengadilan Negeri Palembang Nomor

1829/PID.B/2014/PN.PLG yang telah berkekuatan hukum tetap hanya dijatuhi pidana

penjara selama dua tahun, dan bukan pidana penjara lima tahun atau lebih.

b. Terhadap Kode Etik Notaris

Menurut pendapat Paul F. Camanisch, profesi ialah suatu masyarakat moral

(moral community) yang memiliki tujuan yang baik dan luhur secara bersama.

Kelompok profesi memiliki kekuasaan tersendiri dan tanggung jawab khusus.

Kelompok profesi memiliki standar dalam menjalakan profesinya yang disebut Kode

Etik Profesi.145 Kode etik secara faktual merupakan norma-norma atau pedoman yang

mendasari kelompok profesi untuk berpegang teguh kepada Kode Etik Profesi yang

telah disepakati bersama. Notaris, dalam menjalankan fungsi jabatannya memiliki

tanggung jawab moral serta etika kepada profesinya. Keharusan Notaris berpegang

teguh dengan Kode Etik Notaris diamanatkan dalam Pasal 83 ayat (1) Undang-

Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30

Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris yang menegaskan bahwa organisasi Notaris

menetapkan dan menegakkan Kode Etik Notaris.

145 Paul f. Camanish, dikutip dalam : E. Sumaryono, 1995, Etika Profesi Hukum : Norma-
norma Bagi Penegak Hukum, Yogyakarta : Kanisius, hlm. 147.
27

Pengertian Kode Etik Notaris menurut ketentuan Pasal 1 angka 2 Kode Etik

Notaris yaitu :

“Kode Etik Notaris dan untuk selanjutnya akan disebut Kode Etik adalah
seluruh kaidah moral yang ditentukan oleh Perkumpulan lkatan Notaris
Indonesia yang selanjutnya akan disebut "Perkumpulan" berdasarkan keputusan
Kongres Perkumpulan dan/atau yang ditentukan oleh dan diatur dalam
peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang hal itu dan yang berlaku
bagi serta wajib ditaati oleh setiap dan semua anggota Perkumpulan dan semua
orang yang menjalankan tugas jabatan sebagai Notaris, termasuk didalamnya
para Pejabat Sementara Notaris, Notaris Pengganti pada saat menjalankan
jabatan.”

Berkaitan dengan tindak pidana penipuan oleh oknum Notaris, yang mana

perbuatan tersebut dilakukan di luar kewenangannya sebagai Notaris dalam membuat

akta otentik, maka dikaitkan pula dengan ketentuan dalam Kode Etik Notaris, maka

oknum Notaris telah melanggar kewajiban Notaris sebagaimana ketentuan Pasal 3

angka 1 dan angka 2 Kode Etik Notaris, yang selengkapnya berbunyi :

“ Notaris dan orang lain yang memangku dan menjalankan jabatan Notaris
wajib memiliki moral, akhlak serta kepribadian yang baik, dan menghormati
dan menjunjung tinggi harkat dan martabat jabatan Notaris.”

Berdasarkan ketentuan di atas, oknum Notaris yang melakukan tindak pidana

penipuan telah menciderai kewajiban Notaris untuk memiliki moral, akhlak serta

kepribadian yang baik, dan atas perbuatannya tentulah tidak menghormati dan

menjunjung tinggi harkat dan martabat jabatannya sebagai seorang Notaris.

Ketentuan Pasal 6 Kode Etik Notaris kemudian menentukan sanksi yang

dikenakan terhadap anggota yang melakukan pelanggaran Kode Etik dapat berupa :
28

1) Teguran;

2) Peringatan;

3) Pemberhentian sementara dari keanggotaan Perkumpulan;

4) Pemberhentian dengan hormat dari keanggotaan Perkumpulan; dan

5) Pemberhentian dengan tidak hormat dari keanggotaan Perkumpulan.

Berkaitan dengan ketentuan di atas, perlu diuraikan sanksi kode etik yang tepat

bagi oknum Notaris pelaku tindak pidana penipuan.

1) Sanksi Teguran dan Peringatan

Sanksi teguran dan peringatan merupakan peringatan atau teguran awal.

Sanksi ini berbentuk tertulis dan merupakan peringatan atau teguran awal agar

seseorang tidak melakukan atau takut untuk melakukan pelanggaran kembali.

Dalam pengenaan sanksi peringatan tertulis ini Notaris dapat melakukan

pembelaan diri. Sanksi teguran tertulis tidak tepat untuk dimasukkan dalam

sanksi tapi hanya merupakan tahapan awal untuk menjatuhkan sanksi paksaan

nyata yang untuk selanjutnya jika terbukti dapat dijatuhi sanksi yang lain.146

2) Sanksi Pemberhentian Sementara dari Keanggotaan Perkumpulan

Sanksi Pemberhentian Sementara atau skorsing merupakan masa

menunggu pelaksanaan sanksi dari Menteri. Mengenai Pemberhentian

Sementara ini telah tertuang di dalam Pasal 77 huruf (c) dan (d) Undang-

Undang Nomor 2 tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor

146 Habib Hadjie, 2008, Hukum Notaris Indonesia Tafsir Tematik Terhadap UU No.30 Tahun
2004 tentang Jabatan Notaris, Bandung : Refika Aditama, hlm. 77.
29

30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, dan hal ini dilakukan agar Notaris

untuk tidak melaksanakan jabatannya sementara waktu. Pemberhentian

sementara ini akan menimbulkan hilangnya kewenangan notaris untuk

sementara waktu dan Notaris yang bersangkutan tidak dapat membuat akta

apapun dalam waktu tertentu yaitu antara 3 (tiga) hingga 6 (enam) bulan.

Sanksi ini dapat berakhir dalam bentuk pemulihan kepada Notaris untuk

menjalankan tugas jabatannya kembali atau ditindaklanjuti dengan sanksi

pemberhentian dengan hormat atau pemberhentian tidak hormat.

3) Sanksi Pemberhentian Dengan Hormat dari Keanggotaan Perkumpulan

Mengenai Pemberhentian Dengan Hormat dari Keanggotaan

Perkumpulan diatur dalam Pasal 8 Undang-Undang Nomor 02 Tahun 2014

tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan

Notaris. Berdasarkan Pasal tersebut Pemberhentian Dengan Hormat terjadi

karena :

a) Meninggal dunia;

b) telah berumur 65 (enam puluh lima) tahun,;

c) Permintaan Sendiri; dan

d) Tidak mampu secara rohani atau jasmani dalam melaksanakan

tugas Jabatan Notaris selama lebih dari 3 tahun.

4) Sanksi Pemberhentian Dengan Tidak Hormat dari Keanggotaan

Perkumpulan
30

Pemberhentian Dengan Tidak Hormat dari Keanggotaan Perkumpulan

merupakan pemberhentian Notaris dari jabatannya sehingga seseorang tidak

dapat menjadi Notaris kembali. Majelis Pengawas Wilayah hanya dapat

memberikan usulan kepada Menteri untuk menjatuhkan Pemberhentian Dengan

Tidak Hormat kepada Notaris, sehingga, Notaris hanya dapat diberhentikan

dengan tidak hormat oleh Menteri. Pemberhentian Dengan Tidak Hormat diatur

di dalam ketentuan Pasal 12 hingga Pasal 13 Undang-Undang Nomor 2 tahun

2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang

Jabatan Notaris. Dalam Pasal tersebut notaris dapat diberhentikan dengan tidak

hormat apabila :

a) Dinyatakan pailit berdasarkan putusan pengadilan yang telah

memperoleh kekuatan hukum tetap;

b) Berada di bawah penampuan secara terus-menerus lebih dari 3

(tiga) tahun;

c) Melakukan perbuatan yang merendahkan kehoratan dan martabat

jabatan notaris; atau

d) Melakukan pelanggaran berat terhadap kewajiban dan larangan

jabatan.

Notaris juga dapat diberhentikan langsung oleh Menteri apabila telah

dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh

kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan

pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih.


31

Berdasarkan jenis-jenis sanksi Kode Etik Notaris di atas, maka sebagai analisis,

terhadap terpidana Mkw tidak dapat lagi dikenakan sanksi teguran dan peringatan

karena sudah menjauhi awal dugaan adanya tindak pidana, terlebih terpidana telah

dijatuhi sanksi pidana penjara oleh pengadilan. Terpidana Mkw tidak dapat dikenakan

sanksi Pemberhentian Dengan Hormat dari Keanggotaan Perkumpulan karena

terpidana tidak meninggal dunia; tidak telah berumur 65 (enam puluh lima) tahun;

tidak atas permintaan sendiri; dan masih mampu secara rohani atau jasmani

melaksanakan tugas Jabatan Notaris selama lebih dari 3 (tiga) tahun. Terpidana Mkw

tidak dapat dikenakan Sanksi Pemberhentian Dengan Tidak Hormat dari

Keanggotaan Perkumpulan, walaupun perbuatan terdakwa jelas melanggar ketentuan

Pasal 3 angka 1 dan angka 2 Kode Etik Notaris yang menyatakan bahwa Notaris

wajib memiliki moral, akhlak serta kepribadian yang baik, dan menghormati dan

menjunjung tinggi harkat dan martabat jabatan Notaris. Hal ini dikarenakan terdakwa

tidak melakukan tindak pidana yang ancaman pidananya 5 (lima) tahun atau lebih.

Oleh karena itu, sanksi kode etik yang tepat bagi terpidana Mkw adalah sanksi

Pemberhentian Sementara dari Keanggotaan Perkumpulan, karena ancaman pidana

tindak pidana yang dilakukan terpidana hanya diancam pidana selama paling lama 4

(empat) tahun, yang kemudian vonis berkekuatan hukum tetap bagi terpidana hanya

dijatuhi pidana selama 2 (dua) tahun. Kepada terpidana setelah menjalani hukuman

pidana penjaranya akan dikenakan Pemberhentian Sementara dari Keanggotaan

Perkumpulan, dalam arti kepadanya kehilangan kewenangannya sebagai Notaris


32

untuk sementara waktu dalam waktu tertentu yaitu antara 3 (tiga) hingga 6 (enam)

bulan, untuk kemudian dapat kembali melaksanakan kewenangannya.

Sebagai kesimpulan, akibat hukum Putusan Pengadilan Negeri Palembang

Nomor 1829/PID.B/2014/PN.PLG yang telah Berkekuatan Hukum Tetap terhadap

pelaksanaan jabatan terdakwa Mkw Sebagai Notaris, terdakwa masih dapat

melaksanakan kewenangannya sebagai Notaris setelah menjalani pidana penjara

selama 2 (dua) tahun atas tindak pidana penipuan yang dilakukannya karena pidana

penjara bagi terdakwa hanya selama 2 (dua) tahun, lebih ringan dari ancaman tindak

pidana paling lama selama 4 (empat) tahun sebagaimana ketentuan Pasal 378 KUHP.

Atas ketentuan ini pula terdakwa terhindar dari sanksi Kode Etik Pemberhentian

Tidak Hormat dari Keanggotaan Perkumpulan dan hanya dapat dikenakan Sanksi

Pemberhentian Sementara dari Keanggotaan Perkumpulan.

Anda mungkin juga menyukai