Anda di halaman 1dari 49

BAGIAN ANESTESIOLOGI LAPORAN KASUS

FAKULTAS KEDOKTERAN JANUARI 2020


UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR

MANAJEMEN ANESTESI PADA PASIEN SEPSIS

Disusun Oleh :
Nurul Hidayah Hamzah, S.Ked.
10542 0564 14

Pembimbing :
dr. Dian Wirdiyana, M.Kes, Sp.An

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK

BAGIAN ANESTESIOLOGI FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR

2019
LEMBAR PENGESAHAN

Yang bertandatangan di bawah ini menyatakan bahwa:

Nama : Nurul Hidayah Hamzah, S.Ked.


Stambuk : 10542 0564 14
JudulLaporankasus : Manajemen Anestesi pada Pasien Sepsis
Telah menyelesaikan tugas dalam rangka kepaniteraan klinik pada bagian
Ilmu Anestesiologi Fakultas kedokteran Universitas Muhammadiyah Makassar.

Makassar, Januari 2020


Pembimbing

dr. Dian Wirdiyana, M.Kes, Sp.An

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur atas kehadirat Allah SWT karena segala limpahan rahmat dan
hidayah-Nya serta segala kemudahan yang diberikan dalam setiap kesulitan
hamba-Nya sehingga penulis bisa menyelesaikan Laporan Kasus dengan judul
Manajemen Anestesi pada Pasien Sepsis Tugas ini ditulis sebagai salah satu
syarat dalam menyelesaikan Kepaniteraan Klinik di Bagian Anestesiologi.
Berbagai hambatan dialami dalam penyusunan tugas Laporan Kasus ini,
namun berkat bantuan saran, kritikan, dan motivasi dari pembimbing serta teman-
teman sehingga tugas ini dapat terselesaikan.
Penulis sampaikan terima kasih banyak kepada, dr. Dian Wirdiyana,
M.Kes, Sp.An, selaku pembimbing yang telah banyak meluangkan waktu dengan
tekun dan sabar dalam membimbing, memberikan arahan dan koreksi selama
proses penyusunan tugas ini hingga selesai.
Penulis menyadari bahwa Laporan Kasus ini masih jauh dari yang
diharapkan oleh karena itu dengan kerendahan hati penulis akan senang menerima
kritik dan saran demi perbaikan dan kesempurnaan tugas ini. Semoga Laporan
Kasus ini dapat bermanfaat bagi pembaca umumnya dan penulis secara khusus.

Makassar, Januari 2020

Nurul Hidayah Hamzah, S.Ked

2
DAFTAR ISI

Halaman Judul.............................................................................................
LEMBAR PENGESAHAN.........................................................................i
KATA PENGANTAR..................................................................................ii
DAFTAR ISI.................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN.............................................................................1
BAB II LAPORAN KASUS........................................................................
BAB III TINJAUAN PUSTAKA................................................................
BAB IV PEMBAHASAN............................................................................
BAB V PENUTUP........................................................................................
DAFTAR PUSTAKA...................................................................................

3
BAB I

PENDAHULUAN

Kata sepsis berasal dari bahasa Yunani yang berarti dekomposisi atau

pembusukkan. Sepsis didefinisikan sebagai respons tubuh terhadap penyakit

infeksi ditandai dengan disfungsi organ yang mengancam nyawa dan merupakan

masalah kesehatan di dunia saat ini. Sepsis dimasukkan kedalam kategori penyakit

darurat karena ada gangguan dalam pemasukkan oksigen dan nutrisi ke jaringan

sehingga dibutuhkan penanganan kegawat daruratan segera. Hal tersebut yang

menjadikan sepsis sebagai penyebab tersering perawatan pasien di unit perawatan

intensif (ICU). Di Amerika insidensi sepsis berkisar 66-132 per 100000 populasi.

Sepsis berat hampir 25 % dirawat di ICU , umumnya diakibatkan usia lanjut,

imunocompomisse, dan penyakit berat yang mendasarinya. Sepsis merupakan

penyebab kematian kedua di ICU pada non-coronary disease1.

Sepsis dapat mengenai berbagai kelompok umur. Pada dewasa, sepsis

umumnya terdapat pada orang yang mengalami immunocompromised, yang

disebabkan karena adanya penyakit kronik maupun infeksi lainnya. Mortalitas

sepsis di negara yang sudah berkembang menurun hingga 9%, namun tingkat

mortalitas pada negara yang sedang berkembang, seperti Indonesia, masih tinggi

yaitu 50-70% dan apabila berlanjut pada syok sepsis dan disfungsi organ multiple,

angka mortalitasnya dapat mencapai 80%2.

Langkah utama yang penting dalam penanganan sepsis adalah identifikasi

dini. Seringkali istilah systemic inflammatory response syndrome (SIRS) diartikan

sama dengan sepsis pada keadaan klinis. Padahal apabila diartikan, SIRS dapat

4
timbul sebagai hasil dari non-infeksi, sedangkan sepsis digunakan untuk inflamasi

sistemik yang muncul dari infeksi3.

Sepsis dimasukkan kedalam kategori penyakit darurat yang sama seperti

serangan jantung atau stroke karena ada gangguan dalam pemasukkan oksigen

dan nutrisi ke jaringan sehingga dibutuhkan penanganan kegawatdaruratan segera.

Hal tersebut yang menjadikan sepsis sebagai penyebab tersering perawatan pasien

di unit perawatan intensif (ICU).Diagnosis dini, pemberian antibiotik awal, dan

resusitasi cairan yang cukup merupakan kunci dalam menurunkan morbiditas dan

mortalitas sepsis. Epidemiologi sepsis hampir diderita oleh 18 juta orang di

seluruh dunia setiap tahunnya dengan insiden diperkirakan sekitar 50-95 kasus

diantara 100.000 populasi dengan peningkatan sebesar 9% tiap tahunnya.

Penelitian epidemiologisepsis di Amerika Serikat menyatakan insiden sepsis

sebesar 3/1.000 populasi yang meningkat lebih dari 100 kali lipat berdasarkan

umur (0,2/1.000 pada anak-anak, sampai 26,2/1.000 pada kelompok umur > 85

tahun)4.

5
BAB II

LAPORAN KASUS

A. PREOPERATIF/PREANESTESI
I. Identitas pasien
Nama : Tn. T
Jenis Kelamin : Laki laki
Usia :54 tahun
Berat Badan : 59 kg
Agama : Islam
Alamat : Sinjai Selatan
Diagnosis Pre Operatif : Ileus Obstruktif ec. Susp tumor colon sigmoid
II. Anamnesis
Keluhan utama : Tidak BAB disertai nyeri perut
a) Riwayat penyakit sekarang :
Pasien masuk rumah sakit dengan keluhan tidak BAB sejak 3
hari yang lalu, flatus (-), selain itu juga mengeluh nyeri perut yang
dirasakan sejak 2 hari yang lalu,nyeri perut hilang timbul, saat timbul
terasa sangat nyeri. Lokasi nyeri terasa pada seluruh perut.Mual (+),
muntah (+) frekuensi banyak, isi makanan, darah (-), perut terasa
menegang. Pasien kadang ditanya tidak menjawab dan bicara tidak
jelas. BAK biasa. Riwayat penyakit dahulu:
1) Riwayat asma (-)
2) Riwayat hipertensi (-)
3) Riwayat penyakit jantung (-)
4) Riwayat penyakit diabetes melitus (-)
5) Riwayat alergi makanan (-) dan obat (-)
b) Riwayat operasi (-)

6
III. Pemeriksaan fisik
GCS : E4V5M6
Vital Sign : Tekanan darah : 100/70 mmHg
Nadi : 110 x/menit
Suhu : 38,4 C
Pernafasan : 26 x/menit

a) B1 (Breath) :
Airway : bebas, gurgling/snoring/crowing: (-/-/-), potrusi mandibular
(-), buka mulut 5 cm, jarak mentohyoid 6 cm, jarak hyothyoid 6,5 cm,
leher pendek (-), gerak leher bebas, tonsil (T 1-T1), faring hiperemis (-),
frekuensi pernapasan: 26 kali/menit, suara pernapasan: vesikular
(+/+), suara pernapasan tambahanronchi(-/-),wheezing(-/-),skor
Mallampati : 2, massa (-), gigi ompong (-), gigi palsu (-).
b) B2 (Blood) :
Akral hangat pada ekstremitas atas (-/-) dan ekstremitas bawah
(-/-),tekanan darah: 100/70 mmHg, denyut nadi : 110 kali/menit,
reguler, kuat angkat, bunyi jantung S1/S2 murni regular.
c) B3 (Brain) :
Kesadaran: E4M6V3, Pupil: isokor Ø 2,5 mm/2,5mm,defisit neurologi
(-).
d) B4 (Bladder) :
Buang air kecil spontan dengan frekuensi 2 kali sehari berwarna
kekuningan.
e) B5 (Bowel) :
Abdomen: tampak distensi, stria gravidarum (-), peristaltik (+) kesan
menurun, massa (-), jejas (-), nyeri tekan (+).
f) B6 Back & Bone :
Skoliosis (-), lordosis (-), kifosis (-), edema ekstremitas atas (-/-),
edema ekstremitas bawah (-/-).
IV. Pemeriksaan penunjang
a) Laboratorium
Pemeriksaan Hasil Lab Nilai Normal

7
Hematologi (17 Desember 2019)
Hemoglobin 14,4 13,2-17,3 g/dL
Leukosit 13.630 3.600-11.000 /L
Hematokrit 43,2 40-52%
Eritrosit 5,56 4,4-5,9 x106/
Trombosit 229 150-440 103/L
MCV 77,7 84-97µm3
MCH 25,9 28-34pg
HEMOSTASIS
PT 15,5 10,4-14,4 detik
APTT 32,6 26,4-37,6 detik
KIMIA
SGOT 76 0-37 U/L
SGPT 63 0-42 U/L
Ureum 2,69 3,5-5,0 g/dl
Kreatinin 133 10-50 mg/dl
Glukosa sewaktu 1,87 0,6-1,2 mg/dl
Albumin 2,2 3,5-5,0 g/dl
ELEKTROLIT
Na 152,2 136-145 mmol/L
K 3,76 3,5-5,1 mmol/L
Cl 113,6 98-106 mmol/L

V. Diagnosis
Ileus Obstruktif ec. Suspek Tumor Colon Sigmoid disertai sepsis

VI. Penatalaksaan

Rencana operasi : Laparotomy Eksplorasi + kolestomi


Di Ruangan :
KIE (+), surat persetujuan tindakan operasi (+), surat persetujuan
tindakan anestesi (+),
 Puasa : 6 jam preoperasi
 IVFD RL : Dextrose 5% 1000:1000cc/24 jam
 Inj. Ceftriaxone 1gr/12/iv
 Inj. Levofloxacin 500mg/24jam/iv
 Inj. Omeprazole 40mg/12j/iv
 Dorong ke OK 30 menit sebelum Operasi

8
VII. Kesimpulan
Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik, maka:
Diagnosis Preoperatif : Ileus Obstruktif ec. Suspek Tumor Colon
Sigmoid disertai sepsis
Status Operatif : PS ASA III, skor Mallampati 2
Jenis Operasi : Laparotomy Eksplorasi + kolestomi
Jenis Anastesi : General Anestesi

B. PREINDUKSI

Pemeriksaan fisik preoperatif


1. B1 (Breath) :
Airway : bebas, gurgling/snoring/crowing: (-/-/-), potrusi mandibular
(-), buka mulut 5 cm, jarak mentohyoid 6 cm, jarak hyothyoid 6,5 cm,
leher pendek (-), gerak leher bebas, tonsil (T 1-T1), faring hiperemis (-),
frekuensi pernapasan : 26 kali/menit, suara pernapasan :
vesikular(+/+), suara pernapasan tambahan
ronchi(-/-),wheezing(-/-),skor Mallampati : 2, massa (-), gigi ompong
(-), gigi palsu (-).
2. B2 (Blood) Akral hangat pada ekstremitas atas (-/-) dan ekstremitas
bawah (-/-), tekanan darah : 100/70 mmHg, denyut nadi : 110
kali/menit, reguler, kuat angkat, bunyi jantung S1/S2 murni regular.
3. B3 (Brain) Kesadaran : E4M6V3, Pupil : isokor dextra/sinistra,
defisit neurologi (-), suhu: 38,4C.
4. B4 (Bladder) :
Buang air kecil spontan dengan frekuensi 2 kali sehari berwarna
kekuningan.
5. B5 (Bowel) :
Abdomen: tampak distensi, stria gravidarum (-), peristaltik (+) kesan
menurun, massa (-), jejas (-), nyeri tekan (+).
6. B6 Back & Bone :
Skoliosis (-), lordosis (-), kifosis (-), edema ekstremitas atas (-/-),
edema ekstremitas bawah (-/-).

9
Persiapan pasien preoperatif :
IVFD RL : Dextrose 5% 1000:1000cc/24j
Persiapan dikamar operasi :
Hal-hal yang perlu dipersiapkan di kamar operasi antara lain adalah :
 Meja operasi dengan asesoris yang diperlukan.
 Mesin anestesi dengan sistem aliran gasnya.
 Alat-alat resusitasi (STATICS).
 Obat-obat anastesia yang diperlukan.
 Obat-obat resusitasi, misalnya ; adrenalin, atropine, aminofilin, natrium
bikarbonat dan lain-lainnya.
 Tiang infus, plaster dan lain-lainnya.
 Alat pantau tekanan darah, suhu tubuh, dan EKG.
 Alat-alat pantau yang lain sesuai dengan indikasi, misalnya; “Pulse
Oxymeter” dan “Capnograf”.
 Kartu catatan medik anestesia
 Selimut penghangat khusus untuk bayi dan orang tua.

Tabel komponen STATICS


Stetoscope untuk mendengarkan suara paru dan jantung.
S Scope Laringo-Scope: pilih bilah atau daun (blade) yang sesuai
dengan usia pasien. Lampu harus cukup terang.
Pipa trakea, pilih sesuai ukuran pasien, pada kasus ini
T Tubes
digunakan laryngeal mask airway ukuran 2 ½.
Pipa mulut-faring (Guedel, orotracheal airway) atau pipa
hidung-faring (nasi-tracheal airway). Pipa ini menahan
A Airways
lidah saat pasien tidak sadar untuk mengelakkan sumbatan
jalan napas.
Plaster untuk fiksasi pipa supaya tidak terdorong atau
T Tapes
tercabut.
I Introducer Mandarin atau stilet dari kawat dibungkus plastic (kabel)
yang mudah dibengkokkan untuk pemandu supaya pipa

10
trakea mudah dimasukkan. Pada pasien ini tidak digunakan
introducel atau stilet.
C Connector Penyambung antara pipa dan peralatan anastesia.
S Suction Penyedot lendir, ludah dan lain-lainnya.

C. INTRAOPERATIF
1. Diagnosis pra bedah
Ileus Obstruktif ec. Susp tumor colon sigmoid disertai sepsis
2. Diagnosis pasca bedah
Peritonitis ec. Perforasi Ileus
3. Penatalaksanaan anestesi
a. Jenis anestesi : General Anestesi
b. Lama anestesi : 16.00 – 16.20 (20 menit)
c. Lama operasi : 16.20– 17.00(40menit)
d. Anestesiologi : dr. Dian Wirdiyana, Sp.An, M.Kes
e. Ahli Bedah : dr. Samuel, Sp.B, KBD
f. Posisi : Supine
g. Infus : 1 line dengan connecta di tangan kiri
h. Teknik anastesi : General Endo Tracheal Anesthesia (GETA)
1) Mesin siap pakai
2) Cuci tangan
3) Memakai sarung tangan steril
4) Periksa balon pipa/ cuff ETT
5) Pasang macintosh blade yang sesuai
7) Beri oksigen 100% dengan masker/ ambu bag 4 liter/ menit
8) Masukkan obat-obat sedasi dan relaksan
9) Lakukan bagging sesuai irama pernafasan
10) Buka mulut dengan teknik cross finger dengan tangan kanan
11)Masukkan laringoskop dengan tangan kiri sampai terlihat
epiglotis, dorongblade sampai pangkal epiglotis

11
12)Berikan anestesi daerah laring dengan xylocain spray 10%
13)Masukkan ETT yang sebelumnya sudah diberi jelly dengan
tangan kanan
14)Sambungkan dengan bag/ sirkuit anestesi, berikan oksigen
dengan nafaskontrol 8-10 kali/ menit dengan tidal volume 8-10
ml/kgBB
15)Kunci cuff ETT dengan udara ± 4-8 cc, sampai kebocoran tidak
terdengar
16)Cek suara nafas/ auskultasi pada seluruh lapangan paru kiri
kanan
17) Pasang OPA/NPA sesuai ukuran
18) Lakukan fiksasi ETT dengan plester
19) Lakukan pengisapan lendir bila terdapat banyak lendir
20) Bereskan dan rapikan kembali peralatan
21) Lepaskan sarung tangan, cuci tangan2
i. Premedikasi :Midazolam 5 mg
Fentanyl 4 ml
j. Induksi : Propofol 10 mg/mL
k. Relaksan : Tramus 25 mg/2,5 ml
l. Emergency : Ephedrine HCl 50 mg/mL
Lidocain HCl 2 ml
m. Medikasi tambahan :Dexketoprofen 25 mg /8 j/IV
n. Maintanance : O2 8 lpm via simple mask
o. Respirasi : Pernapasan spontan
p. Posisi : Supinasi
q. Cairan durante operasi : RL500 ml

D. POST OPERATIF

Pemantauan di Recovery Room (RR) :


 Tekanan darah, nadi, pernapasan, aktivitas motorik.
 Memasang O2 6L/menit nasal kanul.
12
 IVFD RL 20 tpm
 Bila tekanan darah sistolik< 90 mmHg, memberikan injeksi ephedrin 10
mg/iv
 Bila denyut jantung< 60 kali/menit, memberikan atropin sulfat 0,5 mg
 Rawat ICU
 RL : Dextrose 5% 1000:1000cc /24jam
 Inj. Meropenem 1gr/8jam/iv
 Inj. Metronidazole 500mg/8 jam/iv
 Inj. Omeprazole 40mg/12jam/intravena
 Inj. Metamizole 1gr/8jam/iv

13
BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

A. DEFINISI

Sepsis merupakan penyakit yang mengancan nyawa ditandai disfungsi

organ yang disebabkan karena respon tubuh terhadap infeksi. Ini merupakan

definisi baru dari sepsis yang menekankan keutamaan respon host nonhomeostatis

terhadap infeksi, potensi mematikan jauh lebih besar dari proses infeksi yang

berlangsung dan membutuhkan penanganan segera1.

Istilah sepsis berasal dari bahasa Yunani “sepo” yang artinya membusuk dan

pertama kali dituliskan dalam suatu puisi yang dibuat oleh Homer (abad 18 SM).

Kemudian pada tahun 1914 Hugo Schottmuller secara formal mendefinisikan

“septicaemia” sebagai penyakit yang disebabkan oleh invasi mikroba ke dalam aliran

darah. Walaupun dengan adanya penjelasan tersebut, istilah seperti “septicaemia:,

sepsis, toksemia dan bakteremia sering digunakan saling tumpang tindih. 2 Oleh

karena itu dibutuhkan suatu standar untuk istilah tersebut dan pada tahun 1991,

American College of Chest Physicians (ACCP) dan Society of Critical Care Medicine

(SCCM) mengeluarkan suatu konsensus mengenai Systemic Inflammatory Response

Syndrome (SIRS), sepsis, dan sepsis berat. Sindrom ini merupakan suatu kelanjutan

dari inflamasi yang memburuk dimulai dari SIRS menjadi sepsis, sepsis berat dan

septik syok.5 Dan pada bulan Oktober tahun 1994 European Society of Intensive Care

14
Medicine mengeluarkan suatu konsensus yang dinamakan sepsis- related organ

failure assessment (SOFA) score untuk menggambarkan secara kuantitatif dan

seobjektif mungkin tingkat dari disfungsi organ. Hal penting dari aplikasi dari

skor SOFA ini adalah: Meningkatkan pengertian mengenai perjalanan alamiah

disfungsi organ dan hubungan antara kegagalan berbagai organ. Mengevaluasi

efek terapi baru pada perkembangan disfungsi organ.

Istilah Sepsis menurut konsensus terbaru adalah keadaan disfungsi organ

yang mengancam jiwa yang disebabkan karena disregulasi respon tubuh terhadap

infeksi. Penggunaan kriteria SIRS untuk mengidentifikasi sepsis dianggap sudah

tidak membantu lagi. Kriteria SIRS seperti perubahan dari kadar sel darah putih,

temperatur, dan laju nadi menggambarkan adanya inflamasi (respon tubuh

terhadap infeksi atau hal lainnya). Kriteria SIRS tidak menggambarkan adanya

respon disregulasi yang mengancam jiwa. Keadaan SIRS sendiri dapat ditemukan

pada pasien yang dirawat inap tanpa ditemukan adanya infeksi5.

B. ETIOLOGI
Penyebab bakteri umum sepsis adalah basil gram negatif (misalnya, E. coli,

P. aeruginosa, E. corrodens, dan Haemophilus influenzae pada neonatus). Bakteri

lain juga menyebabkan sepsis adalah S. aureus, Streptococcus spesies, spesies

Enterococcus dan Neisseria; Namun, ada sejumlah besar genera bakteri yang telah

diketahui menyebabkan sepsis. Spesies Candida adalah beberapa dari jamur yang

paling sering menyebabkan sepsis. Secara umum, seseorang dengan sepsis dapat

menular, sehingga tindakan pencegahan seperti mencuci tangan, sarung tangan

15
steril, masker, dan cakupan pakaian harus dipertimbangkan tergantung pada

sumber infeksi pasien.

Infeksi yang berhubungan dengan sepsis meliputi:

 Pneumonia

 Appendisitis

 Peritonitis

 Infeksi kandung kemih, uretra atau ginjal (infeksi saluran kemih)

 Infeksi kantong empedu (kolesistitis) atau saluran empedu (kolangitis)

 Infeksi kulit, seperti selulitis

 Infeksi pasca-bedah

Infeksi pada otak dan sistem saraf, seperti meningitis atau ensefalitis

C. PATOFISIOLOGI

Sepsis sekarang dipahami sebagai keadaan yang melibatkan aktivasi awal dari

respon pro-inflamasi dan anti- inflamasi tubuh. Bersamaan dengan kondisi ini,

abnormalitas sirkular seperti penurunan volume intravaskular, vasodilatasi pembuluh

darah perifer, depresi miokardial, dan peningkatan metabolisme akan menyebabkan

ketidakseimbangan antara penghantaran oksigen sistemik dengan kebutuhan oksigen

yang akan menyebabkan hipoksia jaringan sistemik atau syok. Presentasi pasien

dengan syok dapat berupa penurunan kesadaran, takikardia, penurunan kesadaran,

anuria. Syok merupakan manifestasi awal dari keadaan patologis yang mendasari.

Tingkat kewaspadaan dan pemeriksaan klinis yang cermat dibutuhkan untuk

mengidentifikasi tanda awal syok dan memulai penanganan awal.

16
Patofisiologi keadaan ini dimulai dari adanya reaksi terhadap infeksi. Hal ini

akan memicu respon neurohumoral dengan adanya respon proinflamasi dan

antiinflamasi, dimulai dengan aktivasi selular monosit, makrofag dan neutrofil

yang berinteraksi dengan sel endotelial. Respon tubuh selanjutnya meliputi

mobilisasi dari isi plasma sebagai hasil dari aktivasi selular dan disrupsi

endotelial. Isi Plasma ini meliputi sitokin-sitokin seperti tumor nekrosis faktor,

interleukin, caspase, protease, leukotrien, kinin, reactive oxygen species, nitrit

oksida, asam arakidonat, platelet activating factor, dan eikosanoid.9 Sitokin

proinflamasi seperti tumor nekrosis faktor α, interleukin-1β, dan interleukin-6

akan mengaktifkan rantai koagulasi dan menghambat fibrinolisis. Sedangkan

Protein C yang teraktivasi (APC), adalah modulator penting dari rantai koagulasi

dan inflamasi, akan meningkatkan proses fibrinolisis dan menghambat proses

trombosis dan inflamasi.

Aktivasi komplemen dan rantai koagulasi akan turut memperkuat proses

tersebut. Endotelium vaskular merupakan tempat interaksi yang paling dominan

terjadi dan sebagai hasilnya akan terjadi cedera mikrovaskular, trombosis, dan

kebocoran kapiler. Semua hal ini akan menyebabkan terjadinya iskemia jaringan.

Gangguan endotelial ini memegang peranan dalam terjadinya disfungsi organ dan

hipoksia jaringan global.

Bakteri gram positif maupun gram negatif dapat menimbulkan sepsis.

Pada bakteri gram negatif yang berperan adalah lipopolisakarida (LPS). Suatu

protein di dalam plasma, dikenal dengan LBP (Lipopolysacharide binding

protein) yang disintesis oleh hepatosit, diketahui berperan penting dalam


17
metabolisme LPS. LPS masuk ke dalam sirkulasi, sebagian akan diikat oleh faktor

inhibitor dalam serum seperti lipoprotein, kilomikron sehingga LPS akan

dimetabolisme. Sebagian LPS akan berikatan dengan LBP sehingga mempercepat

ikatan dengan CD14. Kompleks CD14-LPS menyebabkan transduksi sinyal

intraseluler melalui nuklear factor kappaB (NFkB), tyrosin kinase(TK), protein

kinase C (PKC), suatu faktor transkripsi yang menyebabkan diproduksinya RNA

sitokin oleh sel. Kompleks LPS-CD14 terlarut juga akan menyebabkan aktivasi

intrasel melalui toll like receptor-2 (TLR2)6.

Pada bakteri gram positif, komponen dinding sel bakteri berupa

Lipoteichoic acid (LTA) dan peptidoglikan (PG) merupakan induktor sitokin.

Bakteri gram positif menyebabkan sepsis melalui 2 mekanisme: eksotoksin

sebagai superantigen dan komponen dinding sel yang menstimulasi imun.

Superantigen berikatan dengan molekul MHC kelas II dari antigen presenting

cells dan Vβ-chains dari reseptor sel T, kemudian akan mengaktivasi sel T dalam

jumlah besar untuk memproduksi sitokin proinflamasi yang berlebih6.

D. GEJALA KLINIS

Perjalanan sepsis akibat bakteri diawali oleh proses infeksi yang ditandai

dengan bakteremia selanjutnya berkembang menjadi systemic inflammatory

response syndrome (SIRS) dilanjutkan sepsis, sepsis berat, syok sepsis dan

berakhir pada multiple organ dysfunction syndrome (MODS).7

Sepsis dimulai dengan tanda klinis respons inflamasi sistemik (yaitu

demam, takikardia, takipnea, leukositosis) dan berkembang menjadi hipotensi

18
pada kondisi vasodilatasi perifer (renjatan septik hiperdinamik atau “hangat”,

dengan muka kemerahan dan hangat yang menyeluruh serta peningkatan curah

jantung) atau vasokonstriksi perifer (renjatan septik hipodinamik atau “dingin”

dengan anggota gerak yang biru atau putih dingin). Pada pasien dengan

manifestasi klinis ini dan gambaran pemeriksaan fisik yang konsisten dengan

infeksi, diagnosis mudah ditegakkan dan terapi dapat dimulai secara dini.

Pada bayi dan orang tua, manifestasi awalnya kemungkinan adalah

kurangnya beberapa gambaran yang lebih menonjol, yaitu pasien ini mungkin

lebih sering ditemukan dengan manifestasi hipotermia dibandingkan dengan

hipertermia, leukopenia dibandingkan leukositosis, dan pasien tidak dapat

ditentukan skala takikardia yang dialaminya (seperti pada pasien tua yang

mendapatkan beta blocker atau antagonis kalsium) atau pasien ini kemungkinan

menderita takikardia yang berkaitan dengan penyebab yang lain (seperti pada bayi

yang gelisah). Pada pasien dengan usia yang ekstrim, setiap keluhan sistemik

yang nonspesifik dapat mengarahkan adanya sepsis, dan memberikan

pertimbangan sekurangkurangnya infeksi, seperti foto toraks dan urinalisis.

19
Pasien yang semula tidak memenuhi kriteria sepsis mungkin berlanjut

menjadi gambaran sepsis yang terlihat jelas sepenuhnya selama perjalanan tinggal

di unit gawat darurat, dengan permulaan hanya ditemukan perubahan samar-samar

pada pemeriksaan. Perubahan status mental seringkali merupakan tanda klinis

pertama disfungsi organ, karena perubahan status mental dapat dinilai tanpa

pemeriksaan laboratorium, tetapi mudah terlewatkan pada pasien tua, sangat

muda, dan pasien dengan kemungkinan penyebab perubahan tingkat kesadaran,

seperti intoksikasi. Penurunan produksi urine(≤0,5ml/kgBB/jam) merupakan

tanda klinis yang lain yang mungkin terlihat sebelum hasil pemeriksaan

laboratorium didapatkan dan seharusnya digunakan sebagai tambahan

pertimbangan klinis.

E. DIAGNOSIS

Pada tahun 2016, SCCM dan ESCIM mengeluarkan konsensus internasional

yang ketiga yang bertujuan untuk mengidentifikasi pasien dengan waktu

perawatan di ICU dan risiko kematian yang meningkat. Konsensus ini

menggunakan skor SOFA (Sequential Organ Failure Assesment) dengan

peningkatan angka sebesar 2, dan menambahkan kriteria baru seperti adanya

peningkatan kadar laktat walaupun telah diberikan cairan resusitasi dan

penggunaan vasopressor pada keadaan hipotensi.

Istilah Sepsis menurut konsensus terbaru adalah keadaan disfungsi organ

yang mengancam jiwa yang disebabkan karena disregulasi respon tubuh terhadap

infeksi. Penggunaan kriteria SIRS untuk mengidentifikasi sepsis dianggap sudah

tidak membantu lagi. Kriteria SIRS seperti perubahan dari kadar sel darah putih,
20
temperatur, dan laju nadi menggambarkan adanya inflamasi (respon tubuh

terhadap infeksi atau hal lainnya).

Kriteria SIRS tidak menggambarkan adanya respon disregulasi yang

mengancam jiwa. Keadaan SIRS sendiri dapat ditemukan pada pasien yang

dirawat inap tanpa ditemukan adanya infeksi. Disfungsi organ didiagnosis apabila

peningkatan skor SOFA≥ 2. Dan istilah sepsis berat sudah tidak digunakan

kembali. Implikasi dari definisi baru ini adalah pengenalan dari respon tubuh yang

berlebihan dalam patogenesis dari sepsis dan syok septik, peningkatan skor SOFA

≥ 2 untuk identifikasi keadaan sepsis dan penggunaan quick SOFA (qSOFA)

untuk mengidentifikasi pasien sepsis di luar ICU.

21
Tabel. Skor SOFA (Sequential Organ Failure Assesment)

Tabel . Skor qSOFA (Quick Sequential Organ Failure Assessment)

Walaupun penggunaan qSOFA kurang lengkap dibandingkan penggunaan skor

SOFA di ICU, qSOFA tidak membutuhkan pemeriksaan laboratorium dan dapat

22
dilakukan secara cepat dan berulang.Penggunaan qSOFA diharapkan dapat

membantu klinisi dalam mengenali kondisi disfungsi organ dan dapat segera

memulai atau mengeskalasi terapi.

Laboratorium

Hasil laboratorium sering ditemukan asidosis metabolik, trombositopenia,

pemanjangan waktu prothrombin dan tromboplastin parsial, penurunan kadar,

serta perubahan morfologi dan jumlah neutrofil.

Tabel. Data laboratorium yang merupakan indikator pada sepsis

23
Disfungsi organ didiagnosis apabila peningkatan skor SOFA ≥ 2. Dan istilah

sepsis berat sudah tidak digunakan kembali. Implikasi dari definisi baru ini adalah

pengenalan dari respon tubuh yang berlebihan dalam patogenesis dari sepsis dan

syok septik, peningkatan skor SOFA ≥ 2 untuk identifikasi keadaan sepsis dan

penggunaan quick SOFA (qSOFA) untuk mengidentifikasi pasien sepsis di luar

ICU. Walaupun penggunaan qSOFA kurang lengkap dibandingkan penggunaan

skor SOFA di ICU, qSOFA tidak membutuhkan pemeriksaan laboratorium dan

dapat dilakukan secara cepat dan berulang. Penggunaan qSOFA diharapkan dapat

membantu klinisi dalam mengenali kondisi disfungsi organ dan dapat segera

memulai atau mengeskalasi terapi. Dan septik syok didefinisikan sebagai keadaan

sepsis dimana abnormalitas sirkulasi dan selular/ metabolik yang terjadi dapat

menyebabkan kematian secara signifikan. Kriteria klinis untuk mengidentifikasi

septik syok adalah adanya sepsis dengan hipotensi persisten yang membutuhkan

vasopressor untuk menjaga mean arterial pressure (MAP) ≥ 65 mmHg, dengan

kadar laktat ≥ 2 mmol/L walaupun telah diberikan resusitasi cairan yang adekuat.

Walaupun penggunaan qSOFA kurang lengkap dibandingkan penggunaan

skor SOFA di ICU, qSOFA tidak membutuhkan pemeriksaan laboratorium dan

dapat dilakukan secara cepat dan berulang. Penggunaan qSOFA diharapkan dapat

membantu klinisi dalam mengenali kondisi disfungsi organ dan dapat segera

memulai atau mengeskalasi terapi.

F. PENATALAKSANAANSEPSIS SESUAI SSC 2018

Tahun 2018, sepsis bundle direvisi menjadi bundle-1 dimana semua

rekomendasi pada bundle-3 dan bundle-6 digabungkan dan harus dilaksanakan


24
pada 1 jam pertama sejak time zero yaitu waktu pasien masuk triase pada instalasi

gawat darurat ataupun masuk ke bagian lain sebagai rujukan dari rumah sakit lain

dengan data-data yang menunjukkan ke arah sepsis. Sepsis bundle-1 dirangkum

pada tabel.

Hour-1 Surviving Sepsis Campaign Bundle of Care

Hitung kadar laktat

Pada pasien sepsis dan syok sepsis akan terjadi gangguan hemodinamik

yang membuat perfusi jaringan wajib dipantau seadekuat mungkin. Pemantauan

perfusi jaringan menjadi langkah yang esensial untuk mencegah kegagalan

sirkulasi akut yang dapat berujung pada kerusakan organ-organ vital, seperti

jantung, ginjal dan otak.Evaluasi terhadap perfusi jaringan dapat dilakukan secara

klinis ataupun dengan menggunakan biomarker. Dalam penggunaan biomarker,

kadar laktat menjadi parameter objektif untuk menilai adekuitas oksigenasi ke

jaringan.

Pembentukan laktat terjadi pada hampir seluruh jairngan, yaitu otot lurik,

otak, sel darah merah dan ginjal. Pada kondisi normal, pembentukan laktat juga

terjadi dalam derajat ringan dengan proses pembersihannya yang juga seimbang

25
yaitu 320 mmol/L/hari. Sehingga kadar laktat darah pada kondisi normal

dipertahankan dalam kadar <1 mmol/L.Sedangkan pada kondisi hipoksia, rantai

pembentukan energi bergeser ke anaerobik yang dapat meningkatkan kadar laktat

dalam darah sehingga dipakai sebagai parameter derajat hipoksia

jaringan pada kasus syok. Pasien sepsis mengalami kondisi bakteremia yang

berarti mengalami infeksi dari sumber manapun yang mungkin, seperti seluruh

rongga tubuh pasien, adanya luka terbuka ataupun hal lainnya. Pengambilan

sampel kuman untuk dilakukan kultur agar dapat diketahui jenis Jika laktat awal

meningkat (> 2 mmol / L), itu harus diukur kembali dalam 2-4 jam untuk

memandu resusitasi untuk menormalkan laktat pada pasien dengan kadar laktat

tinggi sebagai penanda hipoperfusi jaringan.

Pengambilan sampel kultur bakteri

Pathogen penyebab harus dilakukan pada pasien sepsis tanpa melakukan

penundaan substansial terhadap pemberian antibiotik. Dalam pedoman tatalaksana

Surviving Sepsis Campaign pada tahun 2016, panel merekomendasikan waktu

paling lama 45 menit untuk mengambil seluruh sampel infeksius dari pasien yang

diduga kuat menjadi sumber infeksi.

Berdasarkan SSC 2016 sangat direkomendasikan pengambilan seluruh

sampel tubuh pasien sepsis yang berdasarkan riwayat penyakit dan gejala yang

timbul besar dugaan menjadi sumber infeksi. Pemeriksaan kultur mikrobiologis

rutin yang baik idealnya terdiri atas dua set sampel kultur darah yang aerobik dan

anaerobik. Pengambilan darah sebisa mungkin dilakukan pada satu waktu.

Pengambilan sampel setelah dilakukannya pemberian antibiotik tidak akan

26
berguna karena sterilisasi kultur dapat terjadi dalam hitungan menit hingga jam

setelah antibiotik diberikan.

Pemberian antibiotik

Terapi empiris spektrum luas dengan satu atau lebih antimikroba intravena

untuk mencakup semua kemungkinan patogen harus segera dimulai untuk pasien

dengan sepsis atau syok septik. Terapi antimikroba empiris harus dipersempit

setelah identifikasi dan sensitivitas patogen ditetapkan, atau dihentikan jika

keputusan dibuat bahwa pasien tidak memiliki infeksi. Hubungan antara

pemberian antibiotik awal untuk dugaan infeksi dan penatalayanan antibiotik tetap

merupakan aspek penting dari manajemen sepsis berkualitas tinggi. Jika infeksi

kemudian terbukti tidak ada, maka antimikroba harus dihentikan. Predileksi

infeksi dengan melihat profil kuman dan sediaan antibiotic Pemilihan antibiotik

empiris merupakan hal yang paling penting dalam manajemen efektif infeksi yang

dapat membahayakan nyawa. Pertimbangan yang harus dipikirkan adalah sebagai

berikut :

1. Patogen yang prevalen di masyarakat, rumah sakit atau di kamar bangsal

2. Pola resistensi dari kuman-kuman yang ada di lingkungan tersebut

3. Ada atau tidaknya kondisi yang menyebabkan penurunan imunitas seperti

splenektomi, HIV, defek kongenital immunoglobulin dan masalah produksi

komplemen, limfosit dll.

27
5. Umur dan penyakit komorbid pada pasien yang tergolong kronis dan gejala-

gejala kegagalan organ target yang muncul. Dalam pemilihan antibiotik definitif,

setelah hasil kultur kuman dan sensitifitas keluar maka harus diganti ke antibiotik

yang jauh lebih sensitif. Tetapi bila hasil kultur negative dan antibiotik empiris

menunjukkan perbaikan maka bisa dilanjutkan dengan antibiotic tersebut.

28
Tabel . Antibiotik berdasarkan sumber infeksi (Sepsis Bundle: Antibiotic
Selection Clinical Pathway from the Nebraska Medical Centre)

29
Pemberian Cairan IV

Resusitasi cairan awal sangat penting untuk stabilisasi hipoperfusi jaringan

sepsis atau syok septic. Mengingat keadaan darurat medis ini, resusitasi cairan

awal harus dimulai segera setelah mengenali pasien dengan sepsis dan / atau

hipotensi dan peningkatan laktat, dan selesai dalam 3 jam dari awal

diagnosis.Pedoman merekomendasikan harus terdiri dari

minimal 30mL / kg intravena cairan kristaloid.

Meskipun sedikit literatur dan data untuk mendukung volume ini, studi

intervensi baru-baru ini menggambarkan ini sebagai praktik biasa pada tahap awal

resusitasi, dan didukung bukti observasional. Tidak adanya manfaat yang jelas

setelah pemberian koloid dibandingkan dengan larutan kristaloid pada

subkelompok gabungan sepsis, bersamaan dengan biaya albumin, mendukung

rekomendasi yang kuat untuk penggunaan larutan kristaloid dalam resusitasi awal

pasien dengan sepsis dan septik. syok. Karena beberapa bukti menunjukkan

bahwa keseimbangan cairan positif terus menerus selama tinggal di ICU

berbahaya, pemberian cairan di luar resusitasi awal memerlukan penilaian yang

cermat dari kemungkinan bahwa pasien tetap responsif cairan.

Pemberian Vasopressor

Restorasi mendesak tekanan perfusi yang memadai ke organ vital adalah

bagian penting dari resusitasi. Jika tekanan darah tidak pulih setelah cairan awal

resusitasi, maka vasopressor harus dimulai dalam jam pertama untuk mencapai

30
tekanan arteri rata-rata (MAP) dari ≥ 65 mm Hg.13 Rekomendasi penerapan

vasopressor pada SSC 2016 adalah sebagai berikut:

Obat – obatan vasoaktif

1. Kami merekomendasikan norepinefrin sebagai vasopresor lini pertama (strong

recommendation, moderate quality of evidence).

2. Kami menyarankan penambahan vasopressin (sampai dengan 0,03 U/min)

(weak recommendation, moderate quality of evidence) atau epinefrin (weak

recommendation, low quality of evidence) dengan norepinefrin untuk

meningkatkan MAP (mean arterial pressure) sesuai target, atau menambahkan

vasopressin (sampai dengan 0.03 U/min) (weak recommendation, moderate

quality of evidence) untuk menurunkan dosis norepinefrin.

3. Kami menyarankan untuk menggunakan dopamine sebagai vasopresor

alternatif pada norepinefrin hanya pada pasien tertentu (misalnya pasien dengan

takiaritmia resiko rendah dan bradikardi absolut atau relatif) (weak

recommendation, low quality of evidence).

4. Kami merekomendasikan untuk menggunakan dopamine dosis rendah untuk

melindungi ginjal (strong recommendation, high quality of evidence).

5. Kami menyarankan untuk menggunakan dobutamin pada pasien yang

menunjukkan hipoperfusi persisten meskipun sudah diberikan cairan yang adekuat

dan menggunakan vasopresor (weak recommendation, low quality of evidence).

Jika diinisiasi, dosis harus dititrasi hingga titik akhir yang menggambarkan

perfusi, dan agen dikurangi atau dihentikan bila terjadi perburukan hipotensi atau

aritmia.

31
6. Kami menyarankan semua pasien yang membutuhkan vasopresor

memiliki kateter arteri yang sudah terpasang segera bila tersedia (weak

recommendation, very low quality of evidence).

Pada SIRS dan sepsis, bila terjadi syok ini karena toksin atau mediator

penyebab vasodilatasi.Pengobatan berupa resusitasi cairan segera dan setelah

kondisi cairan terkoreksi, dapat diberikan pressor untuk mencapai Mid Arterial

Pressure (MAP) optimal.Sering terjadi pressor dimulai sebelum prabeban adekuat

tercapai. Perfusi jaringan dan oksigenasi sel tidak akan optimal kecuali bila ada

perbaikan prabeban. Dilakukan juga pengobatan kausal dari sepsis.

Early Goal Directed Therapy (EGDT) merupakan penatalaksanaan pasien

dengan sepsis berat dan syok septik, yang bertujuan memperbaiki penghantaran

oksigen ke jaringan, dalam jangka waktu tertentu.Intervensi untuk meningkatkan

curah jantung meliputi resusitasi cairan untuk meningkatkan preload, pemberian

inotropik untuk memperbaiki kontraktilitas jantung, serta pemberian vasopresor

(atau vasodilator) untuk optimalisasi afterload.Konten oksigen arterial dapat

ditingkatkan dengan transfusi Packed Red Cell (PRC) dan meningkatkan

SaO2 dengan terapi oksigen.

32
 Terapi Cairan
Secara sederhana, tujuan dari terapi cairan dibagi atas resusitasi
untuk mengganti kehilangan cairan akut dan rumatan untuk mengganti
kebutuhan harian. Untuk mempertahankan keseimbangan cairan maka
input cairan harus sama untuk mengganti cairan yang hilang. Cairan
itu termasuk air dan elektrolit. Tujuan terapi cairan bukan untuk
kesempurnaan keseimbangan cairan, tetapi penyelamatan jiwa dengan
menurunkan angka mortalitas.1,2
Umumnya terapi cairan yang dapat diberikan berupa cairan
kristaloid dan koloid atau kombinasi keduanya.Cairan kristaloid adalah
cairan yang mengandung air, elektrolit dan atau gula dengan berbagai
campuran.Cairan ini bisa isotonik, hipotonik, dan hipertonik terhadap
cairan plasma. Sedangkan cairan koloid yaitu cairan yang berat
molekul nya tinggi.1,2,6
Cairan kristaloid
a. Cairan Hipotonik
Cairan ini didistribusikan ke ekstraseluler dan intraseluluer.Oleh
karena itu penggunaannya ditujukan kepada kehilangan cairan
intraseluler seperti pada dehidrasi kronik dan pada kelainan
keseimbangan elektrolit terutama pada keadaan hipernatremi yang
disebabkan oleh kehilangan cairan pada diabetes insipidus.Cairan ini
tidak dapat digunakan sebagai cairan resusitasi pada
kegawatan.Contohnya dextrosa 5%.
b. Cairan Isotonik
Cairan isotonik terdiri dari cairan garam faali (NaCl 0,9%), ringer
laktat dan plasmalyte. Ketiga jenis cairan ini efektif untuk
meningkatkan isi intravaskuler yang adekuat dan diperlukan jumlah
cairan ini 4x lebih besar dari kehilangannya.Cairan ini cukup efektif
sebagai cairan resusitasi dan waktu yang diperlukanpun relatif lebih
pendek dibanding dengan cairan koloid.
c. Cairan Hipertonik

33
Cairan ini mengandung natrium yang merupakan ion ekstraseluler
utama. Oleh karena itu pemberian natrium hipertonik akan menarik
cairan intraseluler ke dalam ekstra seluler. Peristiwa ini dikenal
dengan infus internal. Disamping itu cairan natrium hipertonik
mempunyai efek inotropik positif antara lain mevasodilatasi pembuluh
darah paru dan sistemik. Cairan ini bermanfaat untuk luka bakar
karena dapat mengurangi edema pada luka bakar, edema perifer dan
mengurangi jumlah cairan yang dibutuhkan, contohnya NaCl 3%.1,2,6

Beberapa contoh cairan kristaloid:1,2,6


a. Ringer Laktat (RL)
Larutan yang mengandung konsentrasi Natrium 130 mEq/L,
Kalium 4 mEq/l, Klorida 109 mEq/l, Kalsium 3 mEq/l dan Laktat 28
mEq/L. Laktat pada larutan ini dimetabolisme di dalam hati dan
sebagian kecil metabolisme juga terjadi dalam ginjal. Metabolisme ini
akan terganggu pada penyakit yang menyebabkan gangguan fungsi
hati. Laktat dimetabolisme menjadi piruvat kemudian dikonversi
menjadi CO2 dan H2O (80% dikatalisis oleh enzim piruvat
dehidrogenase) atau glukosa (20% dikatalisis oleh piruvat
karboksilase).Kedua proses ini akan membentuk HCO3. Sejauh ini
Ringer Laktat masih merupakan terapi pilihan karena komposisi
elektrolitnya lebih mendekati komposisi elektrolit plasma.Cairan ini
digunakan untuk mengatasi kehilangan cairan ekstra seluler yang
akut.Cairan ini diberikan pada dehidrasi berat karena diare murni dan
demam berdarah dengue.Pada keadaan syok, dehidrasi atau DSS
pemberiannya bisa diguyur.
b. Ringer Asetat
Cairan ini mengandung Natrium 130 mEq/l, Klorida 109 mEq/l,
Kalium 4 mEq/l, Kalsium 3 mEq/l dan Asetat 28 mEq/l. Cairan ini
lebih cepat mengoreksi keadaan asidosis metabolik dibandingkan
Ringer Laktat, karena asetat dimetabolisir di dalam otot, sedangkan

34
laktat di dalam hati. Laju metabolisme asetat 250 – 400 mEq/jam,
sedangkan laktat 100 mEq/jam. Asetat akan dimetabolisme menjadi
bikarbonat dengan cara asetat bergabung dengan ko-enzim A untuk
membentuk asetil ko-A., reaksi ini dikatalisis oleh asetil ko-A sintetase
dan mengkonsumsi ion hidrogen dalam prosesnya. Cairan ini bisa
mengganti pemakaian Ringer Laktat.
c. Glukosa 5%, 10% dan 20%
Larutan yang berisi Dextrosa 50 gr/liter , 100 gr/liter , 200 gr/liter.9
Glukosa 5% digunakan pada keadaan gagal jantung sedangkan
Glukosa 10% dan 20% digunakan pada keadaan hipoglikemi , gagal
ginjal akut dengan anuria dan gagal ginjal akut dengan oliguria .
d. NaCl 0,9%
Cairan fisiologis ini terdiri dari 154 mEq/L Natrium dan 154
mEq/L Klorida, yang digunakan sebagai cairan pengganti dan
dianjurkan sebagai awal untuk penatalaksanaan hipovolemia yang
disertai dengan hiponatremia, hipokloremia atau alkalosis metabolik.
Cairan ini digunakan pada demam berdarah dengue dan renjatan
kardiogenik juga pada sindrom yang berkaitan dengan kehilangan
natrium seperti asidosis diabetikum, insufisiensi adrenokortikal dan
luka bakar. Pada anak dan bayi sakit penggunaan NaCl biasanya
dikombinasikan dengan cairan lain, seperti NaCl 0,9% dengan Glukosa
5 %.
Cairan Koloid
Jenis-jenis cairan koloid adalah:
a. Albumin
Terdiri dari 2 jenis yaitu:
1. Albumin endogen.
Albumin endogen merupakan protein utama yang dihasilkan
dihasilkan di hati dengan berat molekul antara 66.000 sampai dengan
69.000, terdiri dari 584 asam amino.Albumin merupakan protein
serum utama dan berperan 80% terhadap tekanan onkotik plasma.

35
Penurunan kadar Albumin 50 % akan menurunkan tekanan onkotik
plasmanya 1/3nya.
2. Albumin eksogen.
Albumin eksogen ada 2 jenis yaitu human serum albumin, albumin
eksogen yang diproduksi berasal dari serum manusia dan albumin
eksogen yang dimurnikan (Purified protein fraction) dibuat dari plasma
manusia yang dimurnikan.
Albumin ini tersedia dengan kadar 5% atau 25% dalam garam
fisiologis. Albumin 25% bila diberikan intravaskuler akan
meningkatkan isi intravaskuler mendekati 5x jumlah yang
diberikan.Hal ini disebabkan karena peningkatan tekanan onkotik
plasma.Peningkatan ini menyebabkan translokasi cairan intersisial ke
intravaskuler sepanjang jumlah cairan intersisial
mencukupi.Komplikasi albumin adalah hipokalsemia yang dapat
menyebabkan depresi fungsi miokardium, reaksi alegi terutama pada
jenis yang dibuat dari fraksi protein yang dimurnikan.Hal ini karena
faktor aktivator prekalkrein yang cukup tinggi dan disamping itu
harganya pun lebih mahal dibanding dengan kristaloid.8 Larutan ini
digunakan pada sindroma nefrotik dan dengue syok sindrom.
3. HES (Hidroxy Ethyl Starch)
Senyawa kimia sintetis yang menyerupai glikogen.Cairan ini
mengandung partikel dengan berat molekul beragam dan merupakan
campuran yang sangat heterogen.Tersedia dalam bentuk larutan 6%
dalam garam fisiologis. Tekanan onkotiknya adalah 30 mmHg dan
osmolaritasnya 310 mosm/l. HES dibentuk dari hidroksilasi
aminopektin, salah satu cabang polimer glukosa.8Pada penelitian klinis
dilaporkan bahwa HES merupakan volume ekspander yang cukup
efektif. Efek intarvaskulernya dapat berlangsung 3-24 jam.Pengikatan
cairan intravasuler melebihi jumlah cairan yang diberikan oleh karena
tekanan onkotiknya yang lebih tinggi.Komplikasi yang dijumpai

36
adalah adanya gangguan mekanisme pembekuan darah.Hal ini terjadi
bila dosisnya melebihi 20 ml/ kgBB/ hari.
4. Dextran
Campuran dari polimer glukosa dengan berbagai macam ukuran
dan berat molekul.Dihasilkan oleh bakteri Leucomostoc mesenteriodes
yang dikembang biakkan di media sucrose.Berat molekul bervariasi
dari beberapa ribu sampai jutaan Dalton.Ada 2 jenis dextran yaitu
dextran 40 dan 70.dextran 70 mempunyai berat molekul 70.000
(25.000-125.000). Sediaannya terdapat dalam konsentrasi 6% dalam
garam fisiologis.Dextran ini lebih lambat dieksresikan dibandingkan
dextran 40.Oleh karena itu dextran 70 lebih efektif sebagai volume
ekspander dan merupakan pilihan terbaik dibadingkan dengan dextran
40.Dextran 40 mempunyai berat molekul 40.000 tersedia dalam
konsentrasi 10% dalam garam fisiologis atau glukosa 5%.Molekul
kecil ini difiltrasi cepat oleh ginjal dan dapat memberikan efek diuretik
ringan.Sebagian kecil dapat menembus membran kapiler dan masuk ke
ruang intersisial dan sebagian lagi melalui sistim limfatik kembali ke
intravaskuler.
Pemberian dextran untuk resusitasi cairan pada syok dan
kegawatan menghasilkan perubahan hemodinamik berupa peningkatan
transpor oksigen.Cairan ini digunakan pada penyakit sindroma nefrotik
dan dengue syok sindrom. Komplikasi antara lain payah ginjal akut,
reaksi anafilaktik dan gangguan pembekuan darah.
5. Gelatin
Cairan ini banyak digunakan sebagai cairan resusitasi terutama
pada orang dewasa dan pada bencana alam. Terdapat 2 bentuk sediaan
yaitu:
- Modified Fluid Gelatin (MFG)
- Urea Bridged Gelatin (UBG)

37
Kedua cairan ini punya berat molekul 35.000.Kedua jenis gelatin
ini punya efek volume expander yang baik pada
kegawatan.Komplikasi yang sering terjadi adalah reaksi anafilaksis.
Pemilihan cairan sebaiknya berdasarkan atas status hidrasi pasien,
konsentrasi elektrolit dan kelainan metabolik yang ada.Terapi awal
pasien hipotensif adalah cairan resusitasi dengan memakai 2 liter
larutan isotonis Ringer Laktat.2,6
Terapi cairan merupakan terapi yang paling penting untuk syok
hipovolemik dan distributif. Pemberian cairan secara IV akan
memperbaiki volume darah yang bersirkulasi, menurunkan viskositas
darah, dan meningkatkan alirah darah vena sehingga memperbaiki
curah jantung. Larutan parenteral pada syok hipovolemik diklasifikasi
berupa cairan kristaloid, koloid, dan darah.Cairan kristaloid cukup baik
untuk terapi syok hipovolemik. Keuntungan cairan kristaloid antara
lain mudah tersedia, murah, mudah dipakai, tidak menyebabkan reaksi
alergi, dan sedikit efek samping. Kelebihan cairan kristaloid pada
pemberian dapat berlanjut dengan edema seluruh tubuh sehingga
pemakaian berlebih perlu dicegah.2,6
Pada syok obstruktif manajemen bertujuan untuk menghilangkan
sumbatan. Pemberian cairan kristaloid isotonik dilakukan untuk
mempertahankan volume intravaskular, namun terapi definitifnya
adalah pembedahan untuk mengatasi obstruksi yang terjadi.1,2
Pada syok kardiogenik, terapi cairan yang terlalu cepat akan
berakibat fatal karena akan meningkatkan beban kerja jantung yang
selanjutnya akan membahayakan sirkulasi. Pada syok distributif,
volume darah yang bersirkulasi tidak adekuat disebabkan oleh
vasodilatasi perifer sehingga terapi cairan tetap diperlukan. Apabila
hipotensi tetap terjadi walaupun telah dilakukan terapi cairan yang
cukup maka dibutuhkan pemberian vasopressor.1,2
Terapi resusitasi cairan dinyatakan berhasil dengan menilai
perbaikan outcome hemodinamik klinis seperti:1,2

38
1. MAP (mean arterial pressure) ≥65 mmHg
2. CVP (central venous pressure) 8-12 mmHg
3. Urine Output ≥ 0,5 mL/kgBB/jam
4. Central venous (vena cava superior) atau mixed venous oxygen
saturation ≥ 70%

G. PROGNOSIS

Tingkat mortalitas pada peritonitis umum adalah bervariasi dari di bawah

10% - 40% pada perforasi kolon8. Faktor yang mempengaruhi tingkat mortalitias

yang tinggi adalah etiologi penyebab peritonitis dan durasi penyakitnya, adanya

kegagalan organ sebelum penanganan, usia pasien, dan keadaan umum pasien.

Tingkat mortalitas di bawah 10% ditemukan pada pasien dengan perforasi ulkus

atau appendisitis, pasien usia muda, kontaminasi bakteri yang minim, dan

diagnosis-penanganan dini. Skor indeks fisiologis yang buruk (APACHE II atau

Mannheim Peritonitis Index), riwayat penyakit jantung, dan tingkat serum

albumin preoperatif yang rendah merupakan pasien resiko tinggi yang

membutuhkan penanganan intensif (ICU) untuk menurunkan angka mortalitas

yang tinggi.

H. KOMPLIKASI

1. MODS (Disfungsi Organ Multipel)

Penyebab kerusakan multipel organ disebabkan karena adanya gangguan

perfusi jaringan yang mengalami hipoksia sehingga terjadi nekrosis dan gangguan

39
fungsi ginjal dimana pembuluh darah memiliki andil yang cukup besar dalam

patogenesis ini.

2. KID (Koagulasi Intravaskular Diseminata)

Patogenesis sepsis menyebabkan koagulasi intravaskuler diseminata

disebabkan oleh faktor komplemen yang berperan penting seperti yang sudah

dijelaskan pada pathogenesis sepsis diatas.

3. ARDS

Kerusakan endotel pada sirkulasi paru menyebabkan gangguan pada aliran

darah kapiler dan perubahan permebilitas kapiler, yang dapat mengakibatkan

edema interstitial dan alveolar. Neutrofil yang terperangkap dalam mirosirkulasi

paru menyebabkan kerusakan pada membran kapiler alveoli. Edema pulmonal

akan mengakibatkan suatu hipoxia arteri sehingga akhirnya akan menyebabkan

Acute Respiratory Distress Syndrome.

4. Gagal ginjal akut

Pada hipoksia/iskemi di ginjal terjadi kerusakan epitel tubulus

ginjal.vaskular dan sel endotel ginjal sehingga memicu terjadinya proses inflamasi

yang menyebabkan gangguan fungsi organ ginjal.

5. Syok septik

Sepsis dengan hipotensi dan gangguan perfusi menetap walaupun telah

dilakukan terapi cairan yang adekuat ka rena maldistribusi aliran darah karena

40
adanya vasodilatasi perifer sehingga volume darah yang bersirkulasi secara efektif

tidak memadai untuk perfusi jaringan sehingga terjadi hipovelemia relatif.

Sepsis didefinisikan sebagai suatu keadaan infeksi bersama dengan

manifestasi sistemik dari infeksi.Sepsis berat didefinisikan sebagai sepsis

ditambah dengan disfungsi organ akibat sepsis atau hipoperfusi

jaringan.Perjalanan sepsis akibat bakteri diawali oleh proses infeksi yang ditandai

dengan bakteremia selanjutnya berkembang menjadi systemic inflammatory

41
BAB IV

PEMBAHASAN

Pasien masuk rumah sakit dengan keluhan tidak BAB sejak 3 hari yang

lalu, flatus (-), selain itu juga mengeluh nyeri perut yang dirasakan sejak 2 hari

yang lalu,nyeri perut hilang timbul, saat timbul terasa sangat nyeri. Lokasi nyeri

terasa pada seluruh perut.Mual (+), muntah (+) frekuensi banyak, isi makanan,

darah (-), perut terasa menegang. Pasien kadang ditanya tidak menjawab dan

bicara tidak jelas. BAK biasa. Vital Sign, Tekanan darah 100/70 mmHg, Nadi 110

x/menit Suhu 38,4 ‘C, Pernafasan 26 x/menit, Kesadaran: E4M6V3, peristaltic

kesan menurun. Diagnosis pra bedah pasien adalah Ileus Obstruktif ec. Susp

tumor colon sigmoid disertai sepsis, lalu dilakukan tindakan operasi yaitu

Laparotomi eksplorasi, selanjutnya adapun diagnosis pasca bedah pasien ini

adalah Peritonitis ec. Perforasi Ileus.

Definisi Sepsis menurut konsensus terbaru adalah keadaan disfungsi organ

yang mengancam jiwa yang disebabkan karena disregulasi respon tubuh terhadap

infeksi. Ditinjau dari segi definisi, pasien ini didiagnosis sepsis dengan adanya

focus infeksi yang jelas , yaitu bersumber dari ileus obstrukstif yang dialami oleh

pasien yang selanjutnya mengakibatkan terjadi perforasi ileus dan

mengakibtakan peritonitis dimana hal ini menyebabkan terjadinya disfuingsi

organ yang mengancam jiwa dan tubuh tidak mampu lagi meregulasi infeksi.

42
Penyebab bakteri umum sepsis adalah basil gram negatif (misalnya, E. coli,

P. aeruginosa, E. corrodens, dan Haemophilus influenzae pada neonatus). Bakteri

lain juga menyebabkan sepsis adalah S. aureus, Streptococcus spesies, spesies

Enterococcus dan Neisseria; Namun, ada sejumlah besar genera bakteri yang telah

diketahui menyebabkan sepsis. Spesies Candida adalah beberapa dari jamur yang

paling sering menyebabkan sepsis. Secara umum, seseorang dengan sepsis dapat

menular, sehingga tindakan pencegahan seperti mencuci tangan, sarung tangan

steril, masker, dan cakupan pakaian harus dipertimbangkan tergantung pada

sumber infeksi pasien.

Infeksi yang berhubungan dengan sepsis meliputi:

 Pneumonia

 Appendisitis

 Peritonitis

 Infeksi kandung kemih, uretra atau ginjal (infeksi saluran kemih)

 Infeksi kantong empedu (kolesistitis) atau saluran empedu (kolangitis)

 Infeksi kulit, seperti selulitis

 Infeksi pasca-bedah

sesuai dengan kepustakaan, salah satu etiologi sepsis yang dialami oleh pasien

adalah adanya keterkaitan peritonitis yang dialami oleh pasien yang

menyebabkan terjadinya sepsis.

Sepsis dimulai dengan tanda klinis respons inflamasi sistemik (yaitu

demam, takikardia, takipnea, leukositosis) dan berkembang menjadi hipotensi

pada kondisi vasodilatasi perifer (renjatan septik hiperdinamik atau “hangat”,


43
dengan muka kemerahan dan hangat yang menyeluruh serta peningkatan curah

jantung) atau vasokonstriksi perifer (renjatan septik hipodinamik atau “dingin”

dengan anggota gerak yang biru atau putih dingin). Pada pasien dengan

manifestasi klinis ini dan gambaran pemeriksaan fisik yang konsisten dengan

infeksi, diagnosis mudah ditegakkan dan terapi dapat dimulai secara dini.

Pasien yang semula tidak memenuhi kriteria sepsis mungkin berlanjut

menjadi gambaran sepsis yang terlihat jelas sepenuhnya selama perjalanan tinggal

di unit gawat darurat, dengan permulaan hanya ditemukan perubahan samar-samar

pada pemeriksaan. Perubahan status mental seringkali merupakan tanda klinis

pertama disfungsi organ, karena perubahan status mental dapat dinilai tanpa

pemeriksaan laboratorium, tetapi mudah terlewatkan pada pasien tua, sangat

muda, dan pasien dengan kemungkinan penyebab perubahan tingkat kesadaran,

seperti intoksikasi. Penurunan produksi urine(≤0,5ml/kgBB/jam) merupakan

tanda klinis yang lain yang mungkin terlihat sebelum hasil pemeriksaan

laboratorium didapatkan dan seharusnya digunakan sebagai tambahan

pertimbangan klinis.

Sesuai dengan kepustakaan tersebut manifestasi klinis diagnosis sepsis

yang dialami pada pasien ini hipotensi, takikardi, hipertermi, takipnea disertai

dengan perubahan status mental. Selain itu juga kemungkinan terdapat

penurunan jumlah urin, karena dari hasil anamnesis diperoleh pasien BAK hanya

2x sehari.

44
Kriteria SIRS tidak menggambarkan adanya respon disregulasi yang mengancam

jiwa. Keadaan SIRS sendiri dapat ditemukan pada pasien yang dirawat inap tanpa

ditemukan adanya infeksi. Disfungsi organ didiagnosis apabila peningkatan skor

SOFA≥ 2. Dan istilah sepsis berat sudah tidak digunakan kembali. Implikasi dari

definisi baru ini adalah pengenalan dari respon tubuh yang berlebihan dalam

patogenesis dari sepsis dan syok septik, peningkatan skor SOFA ≥ 2 untuk

identifikasi keadaan sepsis dan penggunaan quick SOFA (qSOFA) untuk

mengidentifikasi pasien sepsis di luar ICU.

Sesuai dengan kepustakaan tersebut, pasien ini sudah dapat didiagnosis

Sepsis menggunakan qSOFA score, dengan adanya takipnea

(pernapasan26x/menit) diperoleh poin 1, Sistol 100mmHg 1 poin , dan

adanya perubahan status mental 1 poin.

Sepsis dimasukkan kedalam kategori penyakit darurat yang sama


seperti serangan jantung atau stroke karena ada gangguan dalam
pemasukkan oksigen dan nutrisi ke jaringan sehingga dibutuhkan
penanganan kegawatdaruratan segera. Hal tersebut yang menjadikan
sepsis sebagai penyebab tersering perawatan pasien di unit perawatan
intensif (ICU). Penatalaksanaan sepsis sesuai ssc 2018 adalah, hitung
kadar laktat, pemgambilan sampel kultur bakteri, pemberian antibiotic
spectrum luas, pemberian cairan intravena, dan pemberian vasopresor.

45
Sesuai dengan kepustakaan tersebut, pada pasien ini diberikan
antibiotic berupa Inj. Meropenem 1gr/8jam/iv dan Inj. Metronidazole
500mg/8 jam/i serta cairan intravena berupa RL : Dextrose 5%
1000:1000cc /24jam. Dan selanjutnya di rawat di ICU.

46
BAB V

PENUTUP

Sepsis merupakan penyakit yang mengancam nyawa ditandai disfungsi


organ yang disebabkan karena respon tubuh terhadap infeksi. Sepsis merupakan
isu kesehatan yang lebih sering, dengan angka kematian yang lebih tinggi. Pasien
dengan sindrom sepsis sering membutuhkan tindakan pembedahan untuk
penanganan kontrol sumber infeksi. Dokter anestesi memiliki peranan yang
penting dalam mengkoordinasi dan resusitasi dan strategi terapeutik untuk
mengoptimalkan angka harapan hidup pasien. Pemberian segera terapi
antimikroba efektif secara intravena sangatlah penting. Resusitasi preoperatif,
bertujuan untuk mengoptimalkan perfusi organ mayor, berdasarkan jenis
penggunaan cairan, vasopressor, dan inotropik. Manajemen intraoperatif
membutuhkan tindakan induksi anestesi yang hati-hati, menggunakan dosis
efektif yang paling rendah diantara agen. Anestesi menetap merupakan tantangan ,
membutuhkan pencapaian status volume yang optimal, mencegah injury paru
selama ventilasi mekanik, dan montoring analisa gas darah arteri, indeks
hematologi dan renal, dan derajat elektrolit.

47
DAFTAR PUSTAKA

1. Halstead RMa. Definition , Epidemiology and Pathophysiology. The Open

Inflammation Journal. 2011.

2. Fink La. International Sepsis Definition Conference. Crit Care Med. 2003.

3. Delilinger LaR. Surviving sepsis campaign : International guidelines for

management of severe sepsis and septic syok. Intensive Care Med. 2012.

4. PAPDI, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, edisi IV, Departemen Ilmu Penyakit

Dalam FKUI, 2006

5. Singer M, Deutschman CS, Seymour CW, Hari MS, Annane D, Bauer M, et

al. The third international concensus definitions for sepsis and septic shock

(sepsis- 3). JAMA. 2016: 315 (8): 801-10.

6. Eissa D C. Anaesthetic management of patient with severe sepsis. CME. 2010.

7. Nelwan. Patofisiologi dan deteksi dini sepsis dalam : Pertemuan Ilmiah

Tahunan Ilmu Penyakit Dalam. 2003;: p. 15-18.

48

Anda mungkin juga menyukai