Anda di halaman 1dari 63

USULAN PENELITIAN

PRODUKSI BIOETANOL GENERASI KEDUA DARI TANDAN


KOSONG SAWIT DENGAN PERLAKUAN VARIASI ASAM
SULFAT

Oleh :
NERVI RITA (1607123501) LULU NOORJANNAH (1607123489)

PROGRAM STUDI S1 TEKNIK KIMIA FAKULTAS TEKNIK


UNIVERSITAS RIAU 2020
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas
rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan proposal penelitian dengan
judul “Produksi Bioetanol Generasi Kedua dari Tandan Kosong Sawit dengan
Perlakuan Variasi Asam Sulfat”. Usulan penelitian ini dilakukan dalam rangka
memenuhi salah satu syarat untuk menyelesaikan studi pada Program Studi
Teknik Kimia S1, Universitas Riau.
Penulis menyadari bahwa tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak,
mustahil bagi penulis untuk menyelesaikan laporan usulan penelitian ini. Oleh
karena itu, penulis mengucapkan terimakasih kepada:
1. Kepada kedua orang tua penulis, yang telah mencurahkan segala kasih
sayangnya serta mendidik penulis hingga saat ini dan seterusnya.
2. Kepada Staff Dosen di Jurusan Teknik Kimia Universitas Riau yang telah
bersedia menyalurkan ilmunya kepada penulis selama ini, dan
3. Kepada seluruh teman-teman Jurusan Teknik Kimia Universitas Riau
khususnya angkatan 2016 yang telah mengukir dan mengisi hari-hari
penulis penuh dengan suka dan duka.
Penulis berharap semoga usulan penelitian ini dapat memberikan hal yang
positif bagi pihak akademisi khususnya dan pembaca pada umumnya. Akhir kata,
saran dan kritik yang membangun akan penulis terima dengan tangan terbuka
demi perbaikan di masa yang akan datang.

Pekanbaru, Februari 2020

Penulis
DAFTAR ISI

i
Kata Pengantar......................................................................................................i
DAFTAR ISI.........................................................................................................ii
DAFTAR GAMBAR...........................................................................................iii
DAFTAR TABEL................................................................................................iv

BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ......................................................................................
1
1.2 Perumusan Masalah ..............................................................................
2
1.3 Tujuan Penelitian ..................................................................................
5
1.4 Manfaat Penelitian ................................................................................
5
1.5 Sistematika Penulisan ...........................................................................
5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Biomassa ...............................................................................................
7
2.2 Tandan Kosong Sawit .........................................................................
16
2.3 Bioetanol .............................................................................................
21
BAB III METODOLOGI PERCOBAAN
3.1 Jadwal Penelitian ..............................................................................
25
3.2 Bahan dan Alat yang Digunakan .....................................................
25
3.2.1 Bahan yang Digunakan ...........................................................
25
3.2.2 Alat yang Digunakan ..............................................................
25
3.3 Variabel Penelitian ............................................................................
25
3.3.1 Variabel Tetap .........................................................................
25
3.3.2 Variabel Berubah ....................................................................
26

ii
3.4 Rancangan Percobaan .......................................................................
26
3.5 Prosedur Penelitian ...........................................................................
26
3.5.1 Pretretment Bahan Baku .........................................................
26
3.5.2 Pembuatan Larutan Pemasak ..................................................
26
3.5.3 Pretretment Bahan Baku .........................................................
26
3.5.4 Pembuatan Larutan Pemasak ..................................................
26
3.5.5 Delignifikasi Serat Tandan Kosong Sawit ..............................
26
3.5.6 Hidrolisis Serat Tandan Kosong Sawit ....................................
26 3.5.7 Fermentasi ............................................................................... 26 3.5.8
Pemisahan ............................................................................... 26
3.5.9 Analisis Hasil ..........................................................................
26 DAFTAR
PUSTAKA ........................................................................................... 28

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

2.1 Jenis Potensi Biomassa ................................................................................


9
2.2 Susunan struktur lignoselulosa pada dinding sel tanaman ........................
18
2.3 Struktur lignin............................................................................................
19
2.4 Struktur hemiselulosa ................................................................................
20

iii
2.5 Struktur selulosa ........................................................................................
21
2.6 Tahapan proses produksi bioetanol generasi kedua dari biomasa ............ 23
2.7 Tahapan proses produksi bioetanol generasi ketiga .................................. 24

iv
DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

2.1 Potensi Biomassa dari Residu Primer Sektor Pertanian ..............................


10
2.2 Potensi Biomassa dari Residu Sekunder Sektor Pertanian ..........................
12
2.3 Luas Area Perkebunan Sawit di Indonesia pada Tahun 2018 .....................
14
2.4 Komponen Lignoselulosa Tandan Kosong Sawit ........................................
17

v
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Indonesia di masa mendatang merupakan salah satu negara yang akan
menghadapi krisis energi. Hal ini disebabkan oleh eksploitasi energi fosil
Indonesia tidak diikuti dengan eksplorasi energi baru yang signifikan. Peningkatan
penggunaan energi di masa mendatang juga ikut memperbesar ancaman terjadinya
krisis energi. Untuk mengatasi hal ini, Indonesia membutuhkan alternatif energi
baru dan terbarukan, untuk membantu memenuhi kebutuhan energi manusia.
Guru besar Institut Teknologi Bandung, Priyono Soetikno (2018), dalam
orasinya yang berjudul "Mendorong Pemanfaatan Energi Baru dan Terbarukan di
Indonesia" pada Sabtu di Aula Barat ITB, menyatakan, energi alternatif dibagi
menjadi dua kategori. Yang pertama adalah energi pengganti bahan bakar minyak
bumi seperti, biomassa, biodiesel, etanol dan lain-lain. Yang kedua adalah, energi
terbarukan berupa energi angin, fotovoltaik matahari, panas matahari dan
gasifikasi. Prof. Priyono juga menjelaskan tentang bioenergi dan biofuels, yang
memanfaatkan kelapa sawit sebagai campuran diesel atau bahan bakar lainnya,
sebagai jawaban atas perkembangan energi baru dan terbarukan (Permana, 2019).
Alternatif yang banyak menarik perhatian adalah bioetanol generasi kedua
dari biomassa berlignoselulosa. Selain karena tidak bersaing dengan sumber
makanan, bioetanol generasi kedua dari biomassa berlignoselulosa juga dapat
membantu mengurangi emisi gas rumah kaca, karena sifatnya yang rendah karbon
(Cardona et al., 2018). Biomassa berlignoselulosa dapat diperoleh dari berbagai
limbah pabrik dan pertanian. Salah satu biomassa berlignoselulosa yang melimpah
dan murah adalah tandan kosong sawit. Tandan kosong sawit mengandung 82.4%
holoselulosa dan 17.6% lignin. Dengan mempertimbangkan kandungan
karbohidratnya yang tinggi, tandan kosong sawit dapat menjadi sumber yang
murah untuk bioetanol dan turunan lignoselulosa lainnya (Ishola et al., 2014).
Indonesia merupakan salah satu negara penghasil komoditas sawit terbesar di
dunia. Berdasarkan data dari Dinas Penanaman Modal Pelayanan Terpadu Satu
Pintu (DPM PTSP) Riau, luas perkebunan sawit di Riau sudah mencapai 2,424,545
hektar per 2018, atau sekitar 20% dari total perkebunan nasional. Produk utama
dari industri sawit adalah Crude Palm Oil (CPO). Produksi satu ton CPO dapat
menghasilkan sekitar 1.2-1.4 ton tandan kosong sawit. Menurut data yang
diberikan oleh BUMN, Riau mampu memberikan kontribusi CPO sebesar 3.85 juta
2

ton per tahun 2015, berdasarkan luas perkebunan yang dimiliki oleh Riau.
Berdasarkan formula Badger (2002) yang dikutip oleh Sudiyani (2015), satu ton
bahan yang mengandung 45% selulosa, mampu menghasilkan 151 liter bioetanol.
Selain selulosa, xilosa yang merupakan komponen utama dalam hemiselulosa
tandan kosong sawit juga berpotensi untuk dikonversi menjadi etanol, baik melalui
fermentasi terpisah maupun bersamaan dengan fermentasi glukosa. Sehingga,
potensi bioetanol yang dapat dihasilkan dari tandan kosong sawit di Riau adalah
sekitar 813.89 juta liter per tahun atau 2.23 juta liter per hari (Sudiyani, 2015).

Secara umum, proses produksi bioetanol dari tandan kosong sawit dapat
dilakukan melalui beberapa tahap, yaitu pretreatment lignoselulosa,
hidrolisis/sakarifikasi selulosa menjadi gula sederhana, fermentasi gula menjadi
bioetanol dan pemisahan produk. Struktur kompleks tandan kosong sawit,
memberikan pengaruh cukup penting dalam pemilihan proses pretreatment dan
delignifikasi bahan (Adela et al., 2014). Beberapa teknik pretreatment yang dapat
digunakan untuk memecah biomassa berlignoselulosa menjadi gula sederhana
adalah, dilute acid, fiber explosion dengan amonia, steam explosion, hidrolisis dan
organosolv. Proses pretreatment biomassa berlignoselulosa menjadi langkah yang
paling penting dalam memproduksi bioetanol, total biaya keseluruhan proses
produksi juga bergantung pada proses ini. Asam encer dan/atau asam
berkonsentrasi tinggi dapat digunakan untuk proses hidrolisis selulosa dan
hemiselulosa dalam biomassa berlignoselulosa menjadi gula, dengan perbandingan
terhadap tandan kosong sawit yang digunakan adalah 1:10 (Shet et al., 2018).

Oleh sebab itu, penelitian ini diajukan untuk menentukan pengaruh


konsentrasi asam sulfat (H2SO4) yang digunakan dalam proses hidrolisis selulosa
menjadi gula sederhana, dalam pengembangan bioetanol dari tandan kosong sawit
melalui proses hidrolisis dan fermentasi.
1.2 Perumusan Masalah
Pemanfaatan limbah tandan kosong sawit terbilang masih belum optimal.
Menimbang kandungan selulosa yang cukup tinggi, tandan kosong sawit cukup
berpotensi untuk dijadikan sebagai sumber bahan baku bioetanol. Namun, sampai
saat ini, tandan kosong sawit lebih banyak digunakan sebagai bahan bakar boiler
dan kompos. Nurfahmi et al. (2016), melakukan penelitian tentang pengaruh
3

proses organosolv dan hidrolisis asam terhadap tandan kosong sawit sebagai bahan
baku bioetanol. Penelitian dilakukan dengan memvariasikan konsentrasi pelarut
untuk proses organosolv, konsentrasi asam sulfat pada proses hidrolisis, suhu dan
waktu proses. Hasil proses organosolv yang paling optimal, didapat pada
konsentrasi pelarut 55% (v/v) pada suhu reaksi 120 oC dan waktu 60 menit,
dilanjutkan ke proses hidrolisis asam sulfat. Variasi konsentrasi asam sulfat yang
digunakan adalah 0.5% (v/v), 1% (v/v) dan 2% (v/v), dengan variasi suhu reaksi,
60, 70, 80, 90 dan 100oC, dan variasi waktu reaksi, 15, 30, 45, 60 dan 75 menit.
Total gula yang didapat sebagai hasil hidrolisis yang paling optimum didapat pada
konsentrasi asam sulfat 0.5% (v/v) pada suhu reaksi 100oC dan waktu 45 menit.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa peningkatan konsentrasi asam sulfat dan
waktu reaksi akan menurunkan total gula yang didapat.
Ni'mah, et al. (2015), melakukan penelitian tentang pengaruh variasi suhu
reaksi terhadap pembuatan bioetanol dari limbah serat kelapa sawit melalui proses
pretreatment, hidrolisis asam dan fermentasi menggunakan ragi tapai
(Saccharomyces Cerevisiae). Proses pretreatment dilakukan dengan menggunakan
pelarut asam dengan proses pemanasan pada suhu 100oC selama satu jam. Padatan
hasil pretreatment kemudian dilarutkan dalam larutan asam sulfat 2% (v/v) selama
120 menit untuk proses hidrolisis, dengan variasi suhu reaksi 115, 120 dan 125oC.
Kadar gula total yang didapat setelah proses hidrolisis, pada variasi suhu reaksi
115, 120 dan 125oC secara berturut-turut, adalah 5.89 ; 7.03 ; dan 6.84%. Masing-
masing sampel kemudian dilanjutkan ke proses fermentasi dengan menambahkan
ragi tapai dan NPK sebanyak 0.23 dan 0.06% total gula, dengan waktu fermentasi
3 hari. Kadar etanol yang didapat untuk ketiga sampel adalah 2.226 ; 2.523 ; dan
2.392%. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kondisi optimal untuk proses
hidrolisis limbah serat kelapa sawit menggunakan asam sulfat 2% (v/v) adalah
pada suhu 120oC.
Pratiwi, et al. (2013), melakukan penelitian tentang pengaruh volume asam
yang digunakan pada proses hidrolisis dan waktu fermentasi pada pembuatan
bioetanol dari tandan kosong sawit. Proses pembuatan bioetanol dilakukan melalui
tiga tahap yaitu pretreatment, hidrolisis dan fermentasi. Proses pretreatment
dilakukan dengan merendam tandan kosong sawit dalam NaOH 5% pada suhu
120oC. Hasil pretreatment kemudian dihidrolisis menggunakan larutan asam sulfat
2%, dengan variasi volume, 20, 40, 60, dan 80 ml, dan difermentasi dengan variasi
4

waktu, 2, 4, 6, dan 8 hari. Bioetanol dengan konsentrasi tertinggi (7.12%)


diperoleh dari tandan kosong sawit yang dihidrolisis dengan 20 ml asam sulfat dan
difermentasi selama 6 hari. Dari hasil penelitian ini, dapat dilihat bahwa kadar
bioetanol akan terus meningkat sampai mencapai waktu optimumnya.
Ningsih, et al. (2012), melakukan penelitian tentang pembuatan bioetanol
dari tandan kosong sawit dengan metode hidrolisis asam dan fermentasi. Tandan
kosong sawit di-treatment dengan merendam bahan dalam NaOH 4% pada suhu
121oC selama 60 menit. Setelah di treatment, padatan kemudian dihidrolisis
menggunakan asam sulfat dengan variasi, 2, 3, 4, dan 5%. Larutan yang dihasilkan
kemudian difermentasi menggunakan ragi S. Cerevisiae dengan variasi waktu, 1, 3,
5, dan 7 hari. Kadar etanol tertinggi yang diperoleh adalah 9.698%, pada proses
fermentasi selama 5 hari dan penambahan asam sulfat 2%.
Sartini, et al. (2018), melakukan penelitian tentang pengaruh kadar asam
sulfat pada hidrolisis tandan kosong sawit dan waktu fermentasi terhadap kadar
bioetanol yang dihasilkan. Proses hidrolisis tandan kosong sawit dilakukan
menggunakan larutan asam sulfat dengan variasi konsentrasi, 2, 4, 6, 8, dan 10%,
pada suhu 121oC selama, 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, dan 8 jam. Proses fermentasi hidrosilat
tandan kosong sawit dilakukan dengan variasi waktu, 1, 2, 3, 4, dan 5 hari. Kadar
gula terbaik yang dihasilkan dari tandan kosong sawit setelah hidrolisis adalah
24.62 g/L pada proses hidrolisis 4 jam dan penambahan asam sulfat 2%. Setelah
melewati 4 jam, kadar gula semakin menurun. Bioetanol dengan kadar tertinggi
adalah 4.94% pada proses fermentasi 2 hari. Setelah melewati 2 hari, kadar
bioetanol yang dihasilkan semakin menurun. Dari hasil penelitian ini, dapat
disimpulkan bahwa waktu optimal untuk proses hidrolisis dan fermentasi,
berturutturut adalah 4 jam dan 2 hari. Sedangkan untuk konsentrasi asam sulfat
optimal yang dapat digunakan untuk hidrolisa tandan kosong sawit adalah 2%.
Berdasarkan Nurfahmi, et al. (2016), Ni'mah, et al. (2015), Pratiwi, et al.
(2013), Ningsih, et al. (2012), dan Sartini, et al. (2018), maka pada penelitian ini
akan dilakukan fermentasi tandan kosong sawit menjadi bioetanol, menggunakan
metode separate hydrolysis and fermentation (SHF), dengan variasi konsentrasi
asam sulfat yang akan digunakan untuk proses hidrolisis, adalah 0.5 ; 1.5 ; 2.5 ;
dan 3.5% (v/v). Selama proses fermentasi, pengambilan sampel akan dilakukan
setiap 0, 24, 48, 72, 96 dan 120 jam.
5

1.3 Tujuan Penelitian


Tujuan yang dicapai dari penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Menentukan pengaruh variasi konsentrasi H2SO4 terhadap kadar gula bahan
setelah hidrolisis.
2. Menentukan kondisi waktu optimal fermentasi tandan kosong sawit untuk
menghasilkan bioetanol.
3. Menentukan pengaruh proses pemurnian bioetanol yang diperoleh
menggunakan zeolit alam.

1.4 Manfaat Penelitian


Manfaat yang dicapai dari penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Sebagai sumber literatur penunjang bagi pihak-pihak yang ingin melakukan
penelitian dengan topik yang sama.
2. Memberikan informasi kepada pembaca mengenai potensi tandan kosong
sawit sebagai sumber bahan baku bioetanol.
3. Mengurangi limbah tandan kosong sawit.
4. Sebagai referensi untuk pengembangan bioetanol dari tandan kosong sawit.

1.5 Sistematika Penulisan


Proposal penelitian ini terdiri dari tiga bab yaitu :
1. Bab I : Pendahuluan
Dalam bab ini dibahas tentang deskripsi topik dan latar belakang penelitian,
rumusan masalah, tujuan serta manfaat dilakukannya penelitian pembuatan
bioetanol dari tandan kosong sawit dengan hidrolisis mengunakan asam sulfat.
2. Bab II : Tinjauan Pustaka
Dalam bab ini dibahas tentang uraian yang menjadi landasan teori dalam
melakukan penelitian pembuatan bioetanol dari tandan kosong sawit dengan
hidrolisis mengunakan asam sulfat.

3. Bab III : Metode Penelitian


6

Dalam bab ini dibahas tentang langkah yang dilakukan dalam penelitian
pembuatan bioetanol dari tandan kosong sawit dengan hidrolisis mengunakan asam
sulfat.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Biomassa
Biomassa merupakan bahan-bahan organik yang dapat diperoleh dari
tumbuhan. Biomassa yang berasal dari tumbuhan hijau diperoleh melalui proses
fotosintesis dengan bantuan cahaya matahari (Parinduri, 2016). Tumbuh-tumbuhan
akan menyerap CO2 dari udara, air dan cahaya matahari lalu melalui proses
fotosintesis akan diproduksi karbohidrat yang menjadi cikal bakal biomassa
(McKendry, 2002). Biomassa saat ini tengah mendapat banyak perhatian kerena
memiliki potensi yang besar sebagai salah satu sumber energi dimasa yang akan
datang. Maka dari itu banyak upaya-upaya pengembangan maupun modernisasi
sistem bioenergi dilakukan baik itu di negara-negara industri maupun di
negaranegara berkembang (Berndes et al, 2003).
Biomassa merupakan salah satu sumber daya terbarukan, baik yang diperoleh
melalui proses alam, maupun yang diperoleh sebagai produk dari aktifitas manusia
atau yang disebut limbah biomassa. Biomassa dapat dikonversi menjadi tiga
produk utama yaitu energi listrik atau panas, bahan bakar transportasi dan bahan
bakar kimia. Produk bahan bakar yang dihasilkan juga memiliki fasa yang berbeda
beda, ada yang berfasa gas dan ada yang cair. Potensi energi biomassa yang berasal
dari hutan dan residu pertanian diseluruh dunia, diperkirakan sekitar 30 EJ/tahun,
dengan jumlah kebutuhan energi seluruh dunia mencapai lebih dari 400 EJ/tahun.
Saat ini, biomassa telah berkontribusi sebagai salah satu sumber energi dunia
sebesar 10-14% dari pasokan energi dunia (McKendry, 2002).
Pada dasarnya biomassa dapat dibedakan menjadi tiga kelompok besar, yaitu
biomassa kayu, biomassa bukan kayu dan bahan-bahan sekunder. Namun, menurut
Biomass Energi Europe biomassa terbagi menjadi empat kategori yaitu, biomassa
hutan dan limbah hutan, tanaman energi, limbah pertanian dan limbah organik.
Menurut Biomass Energi Europe terdapat lima jenis potensi sumber energi
biomassa yaitu teoritis, teknis, ekonomis, implementasi dan implemetasi
berkelanjutan (sustainable implementation). Berikut ini pada Gambar 2.1
ditunjukkan ilustrasi dari empat potensi pertama dan dijelaskan sebagai berikut.
Potensi Teoritis adalah jumlah maksimum keseluruhan biomassa darat yang secara

7
8
teoritis tersedia untuk produksi bioenergi dengan batasan biofisika dasar. Potensi
teoritis biasanya dinyatakan dalam Joule energi primer, yaitu energi yang
terkandung dalam bahan mentah biomassa, yang belum diproses. Energi primer
diubah menjadi energi sekunder, seperti listrik, bahan bakar cair, dan bahan bakar
gas. Dalam kasus biomassa dari tanaman dan hutan, potensi teoritis
menggambarkan produktivitas maksimum di bawah pengelolaan optimal teoritis
dengan mempertimbangkan batasan-batasan seperti kondisi tanah, suhu, radiasi
matahari, dan curah hujan. Potensi Teknis adalah bagian dari potensi teoritis yang
tersedia di bawah kondisi tekno-struktural dengan teknologi yang tersedia saat
(misalnya teknik panen,infrastruktur dan aksesibilitas, dan teknik pengolahan).
Potensi teknis juga mempertimbangkan kondisi spasial terkait penggunaan lahan
(misal untuk produksi pangan, pakan, dan serat) termasuk aspek ekologis (yaitu
cadangan alami) dan kandala akibat kemungkinan penggunaan non-teknis. Potensi
teknis biasanya dinyatakan dalan Joule energi primer, tapi terkadang juga
dinyatakan dalam satuan sekunder untuk energi. Potensi Ekonomis adalah bagian
dari potensi teknis yang memenuhi kriteria keuntungan ekonomis dalam kondisi
tertentu. Potensi ekonomi pada umumnya mengacu kepada energi bio sekunder
walaupun kadang-kadang energi bio primer juga dipertimbangkan. Hasil akhir dari
penilaian potensi ekonomis adalah dalam bentuk Supply Curve (Rp./ton).
Kemudian yang terakhir adalah potensi implementasi. Potensi Implementasi adalah
bagian dari potensi ekonomis yang dapat diterapkan pada periode waktu tertentu
dan pada kondisi sosio-politik yang nyata, mencakup hambatan (dan kebijakan
insentif) ekonomi, institutional dan sosial. Potensi implementasi fokus pada
kelayakan atau dampak ekonomi, lingkungan, dan sosial dari kebijakan bioenergi.
Pada Gambar 2.1 akan ditampilkan jenis-jenis potensi biomassa (Biomass Energi
Europe, 2010).
9

Gambar 2.1 Jenis Potensi Biomassa (Biomass Energi Europe, 2010)

Penelitian mengenai biomassa juga mendapat perhatian dari dalam negeri


sendiri. Menurut Papilo (2010) potensi biomassa terbagi menjadi tiga kelompok.
Kelompok pertama yaitu biomassa yang diperoleh dari hasil residu primer sektor
pertanian, diantaranya yaitu jerami padi, batang jagung dan batang ubi kayu.
Kelompok yang dijelaskan, yaitu biomassa yang bersumber dari residu sekunder
sector pertanian, contohnya yaitu sekam padi dan bonggol jagung. Sedangkan pada
kelompok ketiga, biomassa bersumber dari perkebunan sawit, yaitu tandan kosong
sawit, serat, cangkang sawit dan limbah cair (POME). Pada hasil penelitian Papilo
juga diuraikan hasil penilaian potensi energi biomassa yang bersumber dari residu
primer sektor pertanian. Berdasarkan hasil penelitiannya, terdapat tiga wilayah
dengan potansi biomassa residu primer pertanian tertinggi, yaitu Rokan Hilir,
Indragiri Hilir dan Kampar. Hasil uraian tersebut dapat dilihat pada Tabel 2.1
berikut ini.
10

Tabel 2.1 Potensi Biomassa dari Residu Primer Sektor Pertanian


Wilayah Jerami Padi Sawah Jerami Padi Ladang Batang Jagung Batang Ubi Kayu Total Produksi Energi
Produksi Energi Produksi Energi Produksi Energi (Gj/th) (Ton/th) (Gj/th)
(Ton/th) (Gj/th) (Ton/th) (Gj/th) (Ton/th) (Gj/th)
24.626
Bengkalis 632.429 2.624 43.681 469 16.214 170.649
4.837 862.974
Inhil 121.681 2.829.124 1.952 22.620 5.844 160.711 3.167 103.832 3.116.287
Inhu 13.650 505.463 4.155 87.659 841 31.706 7.285 219.071 843.900
Kampar 29.346 910.835 9.656 431.177 3.146 142.991 19.552 597.549 2.082.552
Kuansing 44.275 1.255.925 13 224 389 22.123 4.677 153.155 1.431.427
Pelalawan 37.475 997.481 309 10.621 18.361 566.949 5.388 161.629 1.736.681
Rokan Hilir 157.959 3.512.679 385 12.140 774 34.005 3.383 107.239 3.666.063
Rokan Hulu 19.812 488.308 30.743 852.281 1.267 51.244 5.597 153.281 1.545.114
Siak 27.032 720.660 414 9.737 491 17.025 4.676 159.014 906.436
Dumai 694 112.428 3.620 85.837 225 9.987 6.505 160.310 368.563
Pekanbar 32 744 6 207 1.312 44.523 12.348 217.247 262.720
Meranti 5.419 177.809 0 0 78 6.689 2.065 57.773 242.270
TOTAL 482.001 12.143.883 53.877 1.556.184 33.197 1.104.166 79.480 2.260.750 17.064.985
(Sumber : Papilo, 2015)
11

Potensi biomassa dari residu sekunder pertanian yang berada di provinsi


Riau kemudian diuraikan dalam Tabel 2.2. berdasarkan hasil penelitian yang
dilakukan oleh Papilo (2015) terdapat dua wilayah yang paling potensial, yaitu
Rokan Hilir dan Indragiri Hilir. Berdasarkan penelitian yang dilakukan juga
diperoleh bahwa hasil pertanian padi sawah memiliki potensi biomassa terbesar
dari total potensi biomassa primer dan sekunder. Total potensi biomaasa dapat
dilihat pada Tabel 2.2 berikut ini.
12

Tabel 2.2 Potensi Biomassa dari Residu Sekunder Sektor Pertanian


Wilayah Sekam Padi Sawah Sekam Padi Ladang Bonggol Jagung Total (Gj/th)
Produksi Energi Produksi Energi Produksi Energi
(Ton/th) (Gj/th) (Ton/th) (Gj/th) (Ton/th) (Gj/th)
Bengkalis 24.626 201.687 2.624 21.491 469 1.664 224.842
Inhil 121.681 996.567 1.952 15.987 5.844 20.740 1.033.295
Inhu 13.650 111.794 4.155 34.029 841 2.985 148.808
Kampar 29.346 240.344 9.656 79.083 3.146 11.165 330.592
Kuansing 44.275 362.612 13 106 389 1.381 364.099
Pelalawan 37.475 306.920 309 2.531 18.361 65.163 374.614
Rokan Hilir 157.959 1.293.684 385 3.153 774 2.747 1.299.584
Rokan Hulu 19.812 162.260 30.743 251.785 1.267 4.497 418.542
Siak 27.032 221.392 414 3.391 491 1.743 226.525
Dumai 694 5.684 3.620 29.648 225 799 36.130
Pekanbaru 32 262 6 49 1.312 4.656 4.968
TOTAL 482.001 3.947.588 53.877 441.253 33.197 4.506.657

Meranti 5.419 44.382 0 0 78 44.658


(Sumber : Papilo, 2015)
13

Penelitian mengenai pembuatan bioetanol dari tandan kosong sawit ini


menggunakan biomassa dari limbah industri sawit atau PKS (Pabrik Kelapa
Sawit) yaitu limbah tandan kosong sawit. Provinsi Riau merupakan provinsi di
Indonesia dengan luas area perkebunan sawit terbesar yaitu mencapai 2.323.831
ha (Badan Pusat Statistik, 2018). Pada Tabel 2.3 berikut ini akan ditunjukkan luas
area perkebunan sawit di seluruh provinsi di Indonesia pada tahun 2018.
14

Tabel 2.3 Luas Area Perkebunan Sawit di Indonesia pada Tahun 2018
No. Provinsi Perkebunan Besar Negara Perkebunan Besar Swasta Perkebunan Rakyat Total
(Ha) (Ha) (Ha) (Ha)
1. Aceh 35.140 127.735 287.935 450.810
2. Sumatera Utara 306.135 553.993 616.226 1.476.354
3. Sumatera Barat 8.393 151.014 239.377 398.784
4. Riau 70.003 717.454 1.536.374 2.323.831
5. Jambi 20.014 166.518 586.311 772.843
6. Sumatera Selatan 31.737 468.229 573.874 1.073.840
7. Bengkulu 829 102.604 237.316 340.749
8. Lampung 11.939 65.940 148.017 225.896
9. Bangka Belitung - 154.835 73.617 228.452
10. Kepulauan Riau - 6.594 3.866 10.460
11. DKI Jakarta - - - -
12. Jawa Barat 11.853 3.519 1.211 16.583
13. Jawa Tengah - - - -
14. DI Yogyakarta - - - -
15. Jawa Timur - - - -
16. Banten 9.604 2.511 8.145 20.260
17. Bali - - - -
18. Nusa Tenggara Barat - - - -
19. Nusa Tenggara Barat - - - -
20. Kalimantan Barat 31.256 1.274.844 422.101 1.728.201
21. Kalimantan Tengah - 1.156.900 185.243 1.342.143
22. Kalimantan Selatan 7.385 375.300 148.229 530.914
23. Kalimantan Timur 17.987 579.454 355.984 953.425
15

24. Kalimantan Utara - 99.780 43.822 143.602


25. Sulawesi Utara - - - -
26. Sulawesi Tengah - 71.609 91.269 162.878
27. Sulawesi Selatan 17.313 661 36.642 54.616
28. Sulawesi Tenggara 1.314 61.675 11.596 74.585
29. Gorontalo - 5.091 5.314 10.405
30. Sulawesi Barat - 52.420 108.599 161.019
31. Maluku - 10.264 2.599 12.863
32. Maluku Utara - - - -
33. Papua Barat - 31.327 16.972 48.299
34. Papua 12.717 115.911 71.146 199.774

(Sumber : Badan Pusat Statistik, 2018)


16

2.2 Proses Produksi CPO


Kelapa sawit merupakan salah satu tanaman perkebunan yang menjadi
unggulan dalam sumber penghasil devisa non-migas bagi Indonesia. Pengolahan
kelapa sawit menjadi minyak sawit menghasilkan beberapa limbah padat yang
meliputi tandan kosong sawit, cangkang dan serat mesocarp (Yunindanova et al,
2013). Dalam pengolahannya, tandan kosong sawit menjadi limbah utama dalam
industri minyak sawit. Satu ton tandan buah segar (TBS) dapat menghasilkan
sekitar, 21% CPO, 5% PKO, 23% tandan kosong sawit, 13,5% serat dan 5,5%
cangkang biji (Anwar, 2008).
Secara garis besar, proses pengolahan kelapa sawit menjadi minyak sawit
dilakukan melalui 4 tahap utama. Tahapan tersebut adalah, tahap perebusan buah,
tahap pelumatan buah, tahap pemisahan minyak dari daging buah dan tahap
pemurnian minyak yang telah diperoleh (Fricke, 2009). Tandan buah segar (TBS)
yang dipasok dari perkebunan masuk ke dalam pabrik pengolahan minyak sawit
melewati jembatan timbang. TBS ini kemudian dilakukan pemilihan atau grading
untuk meningkatkan rendemen minyak sawit yang akan diperoleh.
TBS yang telah di-grading kemudian dilanjutkan ke tahap perebusan di
dalam sebuah sterilizer. Proses perebusan ini dilakukan untuk mengurangi kadar
asam lemak bebas dan kadar air dalam buah. Proses perebusan ini juga dilakukan
agar buah mudah lepas dari tandannya pada proses penebahan (treshing). Pada
proses penebahan inilah didapatkan limbah padat tandan kosong sawit. TBS yang
telah direbus dimasukkan ke dalam sebuah tresher untuk memisahkan biji buah
dari tandannya. Dari peninjauan secara langsung ke pabrik pengolahan minyak
sawit, biji buah yang telah dipisahkan dari tandan buah pada tresher, akan
diteruskan ke tahap pelumatan dan pengepresan untuk mendapatkan minyak sawit.
Sedangkan tandan kosog sawit akan langsung diangkut menggunakan conveyor ke
tempat penimbunan sementara.

2.3 Tandan Kosong Sawit


Salah satu jenis padat industri kelapa sawit yaitu tandan kosong kelapa sawit
(TKS). Tempurung kelapa sawit termasuk juga limbah padat hasil pengolahan
kelapa sawit. Limbah mempunyai ciri khas pada komposisinya. Komponen
terbesar 17
dalam limbah padat adalah selulosa, disamping komponen lain meskipun lebih
kecil seperti abu, hemiselulosa, dan lignin. Limbah padat yang dihasilkan oleh
industri pengolahan kelapa sawit terdiri atas tandan kosong kelapa sawit (20-23
%), serat (10-12 %), dan tempurung atau cangkang (7-9 %). Tandan kosong kelapa
sawit dapat dimanfaatkan untuk pembuatan pupuk kompos dengan proses
fermentasi dan dimanfaatkan kembali untuk pemupukan kelapa sawit itu sendiri
(Satria, 2017).
Tandan kosong sawit merupakan limbah yang memiliki banyak potensi,
namun pemanfaatan tandan kosong sawit masih belum optimal (Yoricya, 2016).
Selama ini tandan kosong sawit hanya dibiarkan begitu saja hingga menjadi
kompos. Limbah tandan kosong sawit banyak mengandung selulosa yang dapat
diubah menjadi bioetanol. Kandungan selulosa pada tandan kosong sawit sebesar
40-50% menjadikan kelapa sawit sebagai bahan prioritas pembuatan bioetanol,
terutama bioetanol generasi kedua (Kristina, et al. 2012).
Kebutuhan hara yang besar untuk mendukung pertumbuhan dan
produktivitas tanaman kelapa sawit menjadikan anggaran untuk pemupukan
menjadi besar, selain itu pengolahan perkebunan kelapa sawit dewasa ini
diharuskan memperhatikan kelestarian lingkungan dan trend isu global perusahaan
modern menuju zero waste. Salah satu langkah untuk menuju pengolahan zero
waste adalah pemanfaatan limbah kelapa sawit berupa tandan kosong kelapa sawit
(TKS) sebagai sumber hara dan digunakan sebagai bahan pembenah tanah baik
untuk perkebunan maupun pertanian.
Tandan kosong kelapa sawit (TKS) dapat dimanfaatkan sebagai kompos
yang memiliki kandungan unsur hara yang terbilang lengkap karena mengandung
unsur hara makro dan mikro, namun jumlahnya relatif kecil dan bervariasi
tergantung dari bahan baku, proses pembuatan, bahan tambahan, tingkat
kematangan dan cara penyimpanan. Kualitas kompos tersebut dapat ditingkatkan
dengan penambahan mikroorganisme yang bersifat menguntungkan (Simamora
dan Salundik, 2006).
2.3.1 Komponen Tandan Kosong Sawit
Kandungan utama TKS yaitu lignoselulosa. Lignoselulosa merupakan
karbohidrat kompleks yang berasal dari tanaman dan tersusun dari lignin,
hemiselulosa dan selulosa. Komponen selulosa, hemiselulosa, dan lignin TKS
secara terperinci disajikan pada Tabel 2.4 Karena kandungan holoselulosa TKS
yang tinggi, TKS berpotensi sebagai bahan baku produksi bioetanol. Lignin
merupakan struktur molekul kompleks yang tersusun atas unit-unit fenipropana:
17

unit guaiacyl (G) yang terdiri dari prekusor trans-koniferil alkohol, unit syringyl
(S) terdiri dari prokusor trans-sinapil alkohol dan p-hidroksipenil (H) terdiri dari
transp-koumaril alkohol (Palonen 2004).

Tabel 2.4 Komponen Lignoselulosa Tandan Kosong Sawit


Selulosa Hemiselulosa Lignin
45,92% 22,84% 16,49%
42,24% 22,39% 28,24%
45,95% 22,84% 16,49%
42,30% 28,56% 22,42%
49,76% 28,92% 22,42%
50,14% 24,32% 24,15%
(Sumber : Palonen, 2004)

Kehadiran lignin dalam biomassa lignoselulosa adalah kendala utama


biomassa karena sifat lignin yang melawan selama proses pemisahan. Lignin
bertindak sebagai pelindung bagi permeabilitas sel tanaman dan ketahanan
terhadap serangan mikroba dan dengan demikian mencegah kerusakan sel tanaman
(Grabber et al. 2003). Penghapusan lignin diperlukan untuk meningkatkan
pengolahan biomassa sampai ke titik di mana kedua hemiselulosa dan selulosa
yang dapat mengalami proses solubilisasi (Perez 2002).
Lignin, hemiselulosa dan selulosa membentuk suatu ikatan kimia kompleks
yang menjadi bahan dasar dinding sel tanaman. Susunan struktur lignoselulosa
terdiri dari mikrofibril-mikrofibril selulosa yang membentuk kluster-kluster,
dengan ruang antar mikrofibril terisi dengan hemiselulosa, dan kluster-kluster
tersebut terikat kuat oleh lignin menjadi satu kesatuan. Struktur ikatan
lignoselulosa
18

yang kuat dan kokoh tersebut dikarenakan mikrofibril-mikrofibril selulosa


dikelilingi oleh hemiselulosa yang dihubungkan oleh ikatan kovalen dengan
lignin, seperti pada Gambar 2.2.

Gambar 2.2 Susunan struktur lignoselulosa pada dinding sel tanaman


(Lee et al., 2014)

Lignin adalah zat organik yang terdiri atas sistem aromatik dengan penyusun
molekul utamanya ialah unit-unit fenil propana. Lignin merupakan senyawa yang
keras karena lignin tersusun atas jaringan polimer 3 dimensi fenolik atau
fenilpropanoid bercabang banyak yang berfungsi sebagai perekat serat selulosa
dan hemiselulosa sehingga dinding sel tanaman mengeras sangat kuat. Adanya
lignin sebagai pelindung holoselulosa tidak diinginkan dalam produksi bioetanol.
Hal ini dikarenakan struktur lignin seperti pada Gambar 2.3 sangat kompleks dan
tidak berpola sama sehingga holoselulosa sulit ditembus oleh enzim maupun
mikroorganisme. Oleh karena itu, biomassa lignoselulosa harus diberi perlakuan
awal untuk menghilangkan komponen lignin yang melindungi serat holoselulosa
(Hermiati et al., 2010).
Struktur lignin mengalami perubahan dibawah kondisi suhu yang tinggi dan
asam. Pada reaksi dengan temperatur tinggi mengakibatkan lignin terpecah
menjadi partikel yang lebih kecil dan terlepas dari selulosa (Hermiati et al., 2010).
Pada suasana asam, lignin cenderung melakukan kondensasi, yakni fraksi lignin
yang sudah terlepas dari selulosa dan larut pada larutan pemasak. Dimana
peristiwa ini cenderung menyebabkan bobot molekul lignin bertambah, dan lignin
yang terkondensasi akan mengendap. Disamping terjadinya reaksi kondensasi
19

lignin yang mengendap, proses pemasakan yang berlangsung pada suasana asam
dapat pula menurunkan derajat kerusakan sehingga mengurangi degradasi selulosa
dan hemiselulosa. Suhu, tekanan dan konsentrasi larutan pemasak selama proses
merupakan faktor yang mempengaruhi kecepatan reaksi pelarutan lignin, selulosa
dan hemiselulosa. Selulosa tidak akan rusak saat proses pelarutan lignin jika
konsentrasi larutan pemasak yang digunakan rendah dan suhu yang digunakan
sesuai. Berikut ini struktur lignin ditunjukkan oleh Gambar 2.3.

Gambar 2.3 Struktur lignin (Crestini et al., 2010)

Hemiselulosa merupakan polimer polisakarida heterogen yang larut dalam


alkali. Penyusun utama polimer hemiselulosa adalah unit D-glukosa, D-manosa,
D-galaktosa (heksosan), L-arabiosa (pentosan) dan D-xilosa (Fengel dan
Wegener, 1984). Rantai utama hemiselulosa dapat terdiri atas hanya satu jenis
monomer (homopolimer), seperti xilan, atau terdiri atas dua jenis atau lebih
monomer (heteropolimer), seperti glukomannan. Rantai molekul hemiselulosa pun
lebih pendek daripada selulosa. Struktur hemiselulosa dapat dilihat pada Gambar
2.4. Hemiselulosa memiliki sifat non-kristalin dan tidak bersifat serat, mudah
mengembang, lebih mudah larut dalam pelarut alkali dan lebih mudah dihidrolisis
dengan asam. Hemiselulosa dapat dihidrolisis dengan asam atau enzim. Salah
satu enzim yang dapat menghidrolisis hemiselulosa adalah enzim xilanase. Hasil
hidrolisis hemiselulosa adalah produk monomer D-xilosa dan monosakarida
lainnya.
20

Rantai hemiselulosa lebih pendek dibandingkan rantai selulosa, karena


derajat polimerisasinya yang lebih rendah. Berbeda dengan selulosa, polimer
hemiselulosa berbentuk tidak lurus tetapi tetapi merupakan polimer-polimer
bercabang dan strukturnya tidak terbentuk kristal. Monomer gula penyusun
hemiselulosa terdiri dari monomer gula berkarbon lima (pentose/C-5), gula
berkarbon enam (heksosa/C-6), asam heksuronat dan deoksi heksosa.
Hemiselulosa akan mengalami reaksi oksidasi dan degradasi terlebih dahulu
daripada selulosa, karena rantai molekulnya yang lebih pendek dan bercabang.
Berikut ini struktur hemiselulosa ditunjukkan oleh Gambar 2.4.

Gambar 2.4 Struktur hemiselulosa (Lee et al., 2014)

Selulosa adalah komponen utama dari lignoselulosa. Selulosa merupakan


homopolisakarida dengan monomer glukosa dan derajat polimerisasi yang tinggi
(10.000–14.000 unit). Selulosa terdiri dari monomer D-glukosa atau unit-unit
anhidroglukopiranosa yang terikat pada ikatan β-1,4 glikosidik membentuk rantai
molekul linear. Oleh karena itu, selulosa bisa dinyatakan sebagai polimer glukan
dengan struktur rantai yang seragam yaitu glukosa. Mikrofibril selulosa seperti
pada Gambar 2.5 mengandung sekitar 50-90% bagian kristal dan sisanya bagian
amorf. Ikatan β-1,4 glukosida pada selulosa dapat diputus dengan cara dihidrolisis
oleh asam dan enzim. Hidrolisis selulosa yang sempurna dapat menghasilkan
monomer selulosa yaitu glukosa, dan hidrolisis yang tidak sempurna akan
menghasilkan produk disakarida yaitu selobiosa (Lee et al., 2014). Glukosa
21

tersebut dapat difermentasi dan menghasilkan etanol. Hal itulah yang menjadi
alasan bahwa bahan berlignoselulosa terutama yang mengandung selulosa cukup
tinggi berpotensi menjadi bahan baku bioetanol. Berikut ini struktur selulosa
ditunjukkan oleh Gambar 2.5.

Gambar 2.5 Struktur selulosa (Lee et al., 2014)

2.3 Zeolit Alam


Pada penelitan ini proses adsorpsi dilakukan dengan menggunakan adsorben
padat yaitu zeolit alam. Zeolit alam merupakan mineral yang jumlahnya banyak
tetapi distribusinya tidak merata, seperti klinoptilolit, mordenit, phillipsit, chabazit
dan laumontit. Zeolit alam dapat diperoleh langsung dari alam dengan cara
penambangan (Susilo, 2017). Zeolit juga memiliki kelemahan yaitu mengandung
banyak pengotor seperti Na, K, Ca, Mg dan Fe serta kristalinitas kurang baik.
Keberadaan pengotor-pengotor tersebut dapat mengurangi aktivitas dari zeolit
Untuk memperbaiki karakter zeolit alam sehingga dapat digunakan sebagai
katalis, absorben, atau aplikasi lainnya, biasanya dilakukan aktivasi dan
modifikasi terlebih dahulu.
Zeolit memiliki sekelompok mineral yang terdiri dari beberapa jenis unsur.
Mineral zeolit ini secara umum merupakan senyawa alumino silikat hidrat dengan
logam alkali tanah. Rumus kimia yang dimiliki oleh zeolit adalah sebagair berikut
:

……………………… (1.1)
22

Dengan M = misalnya K, Na, Li, Ag, NH, H, Ca, Ba, dan lain sebagainya.
Pada struktur kimia dari zeolit, ikatan antara Al-Si-O merupakan ikatan yang
membentuk struktur kristal sedangkan logam alkali adalah kation yang mudah
tertukar. Semua atom Al yang terdapat pada zeolit akan membentuk struktur
tetrahedral sehingga atom Al akan bermuatan negatif karena berkoordinasi dengan
4 buah atom oksigen dan selalu dinetralkan oleh kation alkali atau alkali tanah
untuk mencapai senyawa yang stabil. Zeolit dengan ukuran 4-8 mesh biasa
digunakan untuk penyerapan gas, sementara ukuran zeolit sebesar 8-12 mesh biasa
digunakan untuk menyerap cairan. (Laurentius, 2013).
2.3.1 Klasifikasi Zeolit
Berdasarkan asalnya zeolit dapat dibedakan menjadi dua macam yaitu :
1. Zeolit Alam
Sesuai namanya zeolit alam merupakan zeolit yang diperoleh langsung dari
alam. Karena diambil secara terus menerus, maka jumlahnya di alam sudah
berkurang. Umumnya zeolit alam ini banyak digunakan untuk pupuk, penjernihan
air, dan dilakukan aktivasi untuk dapat digunakan sebagai katalis atau adsorben.
Berikut ini karakteristik zeolit alam akan ditunjukkan oleh Tabel 2.5 berikut ini :
Tabel 2.5 Karakteristik Zeolit Alam
Parameter Keterangan
Warna Light green – green to gray
Bau Tidak ada
Bentuk kristal Hexagonal, tetrahedral,octagonal, konkridal dan
ganelimit
Melting point 1368⁰C
Stability temperature 800⁰C-1000⁰C
Specific gravity 2,37
Porous volume 28-34%
Porous diameter 2,9-7
Moisture content Maximum 12%
Operating pH range 6-8
(Sumber : Widhiyanuriyawan, 2013)

2. Zeolit Sintesis
Mineral zeolit yang disintesis memiliki sifat fisis yang jauh lebih baik jika
dibandingkan dengan zeolit alam walaupun bentuknya tidak dapat sama persis
dengan zeolit alam.
23

2.3.2 Sifat-sifat Zeolit


Beberapa sifat utama zeolit yang panting yaitu zeolit memiliki sifat
penyerap yang selektif (molecular sieve), penukar ion dan katalis. Berikut ini
penjelasan lengkap mengenai sifat-sifat pada zeolit :
1. Struktur pori
Ukuran pori zeolit sangat kecil yaitu berkisar antara 0,3-0,9 nm. Distribusi
pori zeolit tersebar merata atau seragam, sehingga material ini mampu menyerap
adsorbat secara selektif atau menolak molekul berdasarkan ukuran molekulnya
yang dikenal dengan istilah zeolit bersifat molecular sieve zeolit.
2. Keasaman
Zeolit merupakan adsorben padat yang bersifat asam. Sifat asam ini
disebabkan oleh situs asam baik dari asam Bronsted maupun asam Lewis.
Keasamaan zeolit dapat ditentukan berdasarkan rasio Si/Al, semakin besar rasio
Si/Al maka zeolit akan semakin bersifat semakin asam.
3. Komposisi Zeolit
Komposisi zeolit sangat mempengaruhi kemampuan dan stabilitas dari
zeolit, baik stabilitas termal maupun kondisi keasaman dalam reaksi katalisis.
Berikut ini komposisi zeolit akan ditunjukkan pada Tabel 2.6.
Tabel 2.6 Komposisi Zeolit Alam
Parameter Satuan Jumlah
Fe2O3 % 1,02
Al2O3 % 10,15
CaO % 2,40
MgO % 0,36
MnO2 % 0,01
Cr2O3 % 0,02
Na2O % 1,62
K2O % 1,68
TiO2 % 0,35
LoI % 8,34
SiO2 % 73,93
(Sumber : Widhiyanuriyawan, 2013)
4. Dehidrasi
Zeolit dalam mengalami dehidrasi (pelepasan molekul H2O) apabila zeolit
dipanaskan. Pada umumnya struktur kerangka zeolit akan menyusut, namun
kerangka dasarnya tidak mengalami perubahan secara nyata.
24

5. Adsorben
Zeolit memang banyak digunakan sebagai adsorben karena zeolit memiliki
struktur yang berongga, sehingga zeolit mampu menyerap sejumlah besar molekul
yang berukuran lebih kecil atau sesuai dengan ukuran rongganya. Selain itu,
kristal zeolit yang telah terhidrasi merupakan adsorben yang selektif dan
mempunyai efektivitas adsorpsi yang tinggi.
Menurut Laurentius (2013), zeolit yang akan digunakan sebagai adsorben
harus melalui tahap aktivasi terlebih dahulu secara kimia dan fisika. Proses
aktivasi secara kimia dilakukan menggunakan asam sulfat dan aktivasi fisika
dilakukan dengan kalsinasi. Setelah zeolit diaktivasi dengan menggunakan asam
sulfat kemudian zeolit dikalsinasi pada suhu sekitar 200⁰C-700⁰C selama 3 jam.
Setelah zeolit alam dikalsinasi, barulah zeolit siap digunakan sebagai adsorban
pada proses purifikasi bioetanol. Perbandingan yang digunakan oleh Laurentius
antara zeolit dan bioetanol adalah sebesar 1 : 10 dengan waktu adsorpsi selama 3
jam. Konsentrasi awal bioetanol sebelum dilakukan proses adsorpsi adalah sebesar
95% dan setelah dilakukan adsorpsi konsentrasi bioetanol menjadi 99,5% dan
sudah dapat diklasifikasikan ke dalam FGE (Fuel Grade Ethanol).

2.4 Proses Pretreatment


Pada proses pembuatan bioetanol dari bahan baku biomassa berbasis
lignoselulosa, maka akan dibutuhkan perlakuan awal atau yang dikenal dengan
istilah pretreatment (proses delignifikasi) sebelum biomassa dihidrolisis dan
difermentasi. Proses delignifikasi dilakukan dengan tujuan untuk memutus rantai
polimer yang panjang, menjadi rantai polimer yang pendek, meningkatkan amorf
(menurunkan derajat kristalinitas) dan memisahkan bagian lignin dari
holoselulosa. Proses pretreatment yang tepat akan meningkatkan efisiensi proses
hidrolisis dengan cara memperluas permukaan kontak substrat dengan enzim.
Akan tetapi pemilihan metode untuk pretreatment akan mempengaruhi proses
selanjutnya. Kondisi yang tidak diinginkan selama proses pretreatment akan
membuat terbentuknya produk parsial hemiselulosa dan lignin serta senyawa
toksik atau inhibitor yang dapat mengurangi kinerja enzim maupun
mikroorganisme.
25

Pretreatment dapat dilakukan secara fisik, kimia, biologis, ataupun


kombinasi dari metode-metode itu. Penggunaan metode pretreatment telah
dilakukan pada biomassa yang berbeda-beda, dan hasilnya bervariasi untuk setiap
metode maupun jenis bahan yang digunakan (Isroi et al., 2011). Setiap metode
pretreatment tersebut memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing
sehingga perlu dipertimbangkan untuk memilih metode pretreatment yang tepat
agar proses konversinya dapat berjalan optimal.
Jenis pretreatment yang sering digunakan pada substrat tandan kosong sawit
ialah pretreatment secara kimia ataupun pretreatment dengan kombinasi bahan
kimia (asam atau basa) dan steam (tipe fisik-kimia). Menurut Remli, et al.,
(2014), metode pretreatment menggunakan larutan basa akan meningkatkan
efektifitas proses hidrolisis enzimatis dengan cara meningkatkan aksesibilitas
enzim pada permukaan selulosa. Penggunaan senyawa basa yang sering
digunakan untuk pretreatment tandan kosong sawit adalah NaOH. Menurut
Sutikno, et.al., (2010), penggunaan NaOH pada limbah agroindustri dapat
mendegradasi lignin lebih dari 99% setelah perendaman dalam larutan NaOH pada
suhu ruang selama 48 jam atau pada suhu 121⁰C selama 15 menit atau lebih.
NaOH bekerja dengan menyerang dan merusak struktur lignin, bagian kristalin
dan amorf, memisahkan sebagian lignin dan hemiselulosa serta menyebabkan
penggembungan struktur selulosa. Konsentrasi basa yang semakin tinggi, maka
gugus-gugus –OH akan lebih mudah dimasuki air, sehingga antar ruang molekul-
molekul selulosa akan mengandung air (Achmadi, 1990). Hal ini menunjukkan
bahwa pretreatment secara basa lebih efektif digunakan untuk proses biokonversi
tandan kosong sawit.
2.5 Proses Hidrolisis
Proses hidrolisis pada biokonversi tandan kosong sawit berfungsi untuk
memecah rantai panjang polimer karbohidrat yaitu holoselulosa (hemiselulosa dan
selulosa) menjadi monomer-monomer gula reduksi. Hidrolisis sempurna selulosa
menghasilkan glukosa, sedangkan hemiselulosa menghasilkan beberapa monomer
gula pentosa (C5) dan heksosa (C6) (Septiyani, 2011). Hal ini berdasarkan
perbedaan dari senyawa-senyawa penyusun selulosa dan hemiselulosa (Mergner
et al., 2013).
26

Proses hidrolisis dalam produksi bioetanol dapat dilakukan secara kimia


(menggunakan senyawa asam) dan enzimatis. Prinsip kedua metode hidrolisis
tersebut sama–sama memecah holoselulosa menjadi gula sederhana tetapi secara
mekanisme reaksinya berbeda-beda. Mekanisme hidrolisis asam bersifat
memecah ikatan selulosa secara acak, sehingga dapat menghasilkan produk selain
glukosa, yaitu furfural, 5-hydroxymethylfurfural (HMF), asam levulinik
(levulinic acid), asam asetat (acetic acid), furan, fenolik dan beberapa senyawa
lain yang tidak diharapkan. Kelemahan lain dari penggunaan asam ialah dapat
menimbulkan degradasi gula selama reaksi hidrolisis sehingga rendemen glukosa
dan etanol menurun (Howard et al., 2003), dan terhambatnya proses fermentasi
oleh senyawa inhibitor tersebut serta senyawa asam dapat menimbulkan korosif
pada lingkungan (Taherzadeh dan Karimi, 2007).
Hidrolisis secara enzimatik yaitu proses hidrolisis menggunakan jamur
penghasil enzim atau menggunakan enzim murni yang bekerja lebih spesifik
dengan memecah ikatan β-glikosidik pada substrat tertentu sehingga tidak
terbentuk produk atau senyawa yang tidak diharapkan. Oleh karena itu, proses
hidrolisis secara enzimatik dinilai lebih menguntungkan dan aman dibandingkan
dengan penggunaan asam. Proses hidrolisis secara enzimatis ini memerlukan
kondisi yang khusus, biasanya kondisi optimum proses hidrolisis terdapat pada pH
5,0 dan suhu 45-55⁰C (Tengborg, 2001). Proses ini tidak menimbulkan korosi
maupun pembentukan senyawa inhibitor tetapi kelemahannya adalah reaksi proses
yang sedikit lebih lambat dan mahalnya harga enzim murni yang digunakan.
2.6 Proses Fermentasi
Fermentasi merupakan tahap paling kritis dalam produksi ethanol. Semua
sumber bahan baku, yaitu sumber gula, pati, dan serat atau selulosa, setelah
menjadi gula, proses sama yaitu fermentasi. Fermentasi merupakan proses
biokimia dimana mikroba yang berperanan dalam fermentasi akan menghasilkan
enzim yang mampu mengonversi subtrat menjadi ethanol. Fementasi adalah
proses pemecahan gulagula sederhana (glukosa atau fruktosa) menjadi etanol dan
CO2 dengan melibatkan enzim yang dihasilkan pada ragi agar dapat bekerja pada
suhu optimum. Fermentasi adalah suatu kegiatan penguraian bahan-bahan
karbohidrat yang tidak menimbulkan bau busuk dan menghasilkan gas
27

karbondioksida. Suatu fermentasi yang busuk merupakan fermentasi yang


mengalami kontaminasi.
Fermentasi pembentukan alkohol dari gula dilakukan oleh mikroba.
Mikroba yang biasa digunakan adalah Saccharomyces cerevisiae. Pada proses
fermentasi akan terjadi perombakkan karbohidrat menjadi glukosa dan fruktosa,
serta senyawa lainnya. Enzim invertase yang dihasilkan oleh Saccharomyces
cerevisiae akan mengubah glukosa menjadi alkohol. Semakin besar ragi dan
semakin lama proses fermentasi, maka semakin banyak glukosa yang dirombak
menjadi alkohol dan senyawa lainnya. Alkohol yang dihasilkan dari proses
fermentasi biasanya masih mengandung gas-gas antara lain CO2 yang timbul dari
pengubahan glukosa menjadi ethanol.Fermentasi bioethanol dapat didefinisikan
sebagai proses penguraian gula menjadi bioethanol dan karbondioksida yang
disebabkan enzim yang dihasilkan oleh massa sel mikroba. Pada proses fermentasi
setiap sampel yang sudah dinetralisasi kemudian ditaruh di botol plastik dengan
volume masingmasing tiap botol 500 ml ditambahkan dengan ragi.

2.6 Proses Adsorpsi


Proses terakhir yang dilakukan pada penelitian ini adalah proses adsorpsi.
Adsorpsi dilakukan dengan tujuan untuk meningkatkan konsentrasi bioetanol yang
dihasilkan atau untuk pemekatan bioetanol yang diperoleh. Proses adsorpsi yang
dilakukan merupakan proses pemekatan bioetanol (dehidrasi) melalui proses
pemisahan bahan-bahan lain dari bioetanol yang diperoleh (Susilo, 2017).
Pemurnian bioetanol ini terjadi dengan prinsip peenyerapan permukaan
(Novitasari, 2012). Air yang terdapat pada produk akan dipisahkan dengan cara
ditarik oleh permukaan adsorben padat dan diikat oleh gaya-gaya yang bekerja
pada permukaan adsorben tersebut. Pada penelitian ini adsorben yang digunakan
adalah zeolit. Permukaan zeolit yang luas akan mampu menjerap air yang masih
terdapat dalam bioetanol sehingga bioetanol yang diperoleh akan memiliki
kemurnian yang lebih tinggi dibanding sebelum dilakukan proses pemurnian.
Terdapat dua jenis proses adsorpsi yang terjadi, yaitu adsorpsi secara fisika
dan adsorpsi secara kimia. Pada adsorpsi fisika, adsorpsi disebabkan oleh gaya
Vanderwaals yang ada pada permukaan adsorben. Sementara adsorpsi kimia
terjadi karena adanya reaksi antara adsorbat dan adsorben. Molekul adsorbat
28

melekat pada adsorben, akibatnya terjadi ikatan kimiawi, yang biasanya terjadi
adalah ikatan kovalen (Alberty, 1983).

Kecepatan proses adsorpsi dipengaruhi beberapa factor berikut ini yaitu :


1. Konsentrasi
Proses adsorpsi sangat sesuai diaplikasikan untuk memisahkan suatu
komponen dengan konsentrasi yang rendah dari suatu campuran yang
mengandung bahan lain dengan konsentrasi yang lebih tinggi.
2. Luas Permukaan
Proses adsorpsi bergantung pada banyaknya jumlah tumbukan yang terjadi
antara partikel adsorbat dan adsorban yang digunakan. Tumbukan efektif antara
partikel akan meningkat dengan meningkatnya luas permukaan internal.
3. Suhu
Proses adsorpsi akan terjadi lebih cepat pada suhu yang lebih tinggi. Akan
tetapi, suhu adsorpsi zat cair tidak sebesar pada adsorpsi gas.
4. Ukuran partikel
Sebelum memilih adsorban yang digunakan, maka ukuran partikel adsorbat
dan ukuran pori adsorban harus diketahui terlebih dahulu, supaya proses adsorpsi
dapat terjadi. Apabila ukuran partikel adsorbat lebih besar dari pada ukuran pori
adsorban, maka proses adsopsi akan sulit terjadi, sebaliknya apabila ukuran
partikel adsorbat semakin kecil, maka proses adsorpsi akan terjadi semakin cepat.
5. pH
pH juga memiliki pengaruh terhadap berlangsungnya proses adsorpsi. pH
optimum dapat dilihat berdasarkan melalui uji laboratorium.
6. Waktu Kontak
Waktu untuk mencapai keadaan setimbang pada proses serapan ion logam
oleh adsorben berkisar antara beberapa menit hingga beberapa jam.

6.5 Bioetanol
Sumber karbon dalam gula yang diperoleh dari biomasa untuk dikonversi
menjadi bioetanol banyak mengalami perkembangan, mulai dari sumber bioetanol
generasi satu yaitu dari sumber gula-gula sederhana yang langsung bisa
29

difermentasi menjadi bioetanol seperi tepung ubi kayu, nira batang dari sorgum
manis, molase (tetes tebu), nira aren, nira kelapa atau dari tanaman palma lain
ataupun bahan yang bergula atau berpati lainnya seperti sagu (Prastowo et al.,
2014), pati-patian seperti umbi kimpul juga dapat dimanfaatkan sebagai bahan
baku produksi bioetanol (Sukaryo et al., 2013), kemudian generasi II dari
lignoselulosa, seperti jerami, sekam, tandan kosong kelapa sawit, bagas tebu,
kayu-kayuan, rumput (Prastowo et al., 2014) dan tongkol jagung dengan
kandungan selulosa yang cukup tinggi sehingga dapat digunakan sebagai sumber
pembuatan bioetanol serta generasi III yang mengacu kepada pembuatan biofuel
dari hasil panen budidaya algae (Prastowo, et al., 2014).
Sumber bioetanol dari generasi I dan III masih banyak menimbulkan
pertentangan khususnya yang berkaitan dengan sumber bahan pangan akan saling
bersaing, misal dari sumber pati, tepung, dan alga sebagai sumber protein sel
tunggal (PST), dibandingkan dengan sumber bioetanol dari generasi II yang
tergolong limbah lignoselulosa. Menurut Anindyawati (2009), limbah industri dan
pertanian dapat digunakan sebagai bahan produksi bioetanol seperti limbah pabrik
gula, tandan kelapa sawit, kayu dan batang pisang (gedebog). Limbah tersebut
terdapat kandungan lignoselulosa yang berlimpah dan belum digunakan maksimal
serta dapat menjadi pertimbangan karena tidak bersaing dengan pangan.
Komponen bahan lignoselulosa sangat kompleks, maka penanganan untuk
produksi bioetanol harus melalui beberapa tahapan.
Keberadaan selulosa banyak sekali di bumi termasuk di Indonesia. Selulosa
ini masih terikat kuat dengan polimer lain yaitu hemiselulosa dan lignin, ketiga
polimer ini yang membentuk struktur dari biomasa.Pembuatan bioetanol dari
generasi II ini harus melalui beberapa tahap yang penting karena substrat yang
akan difermentasi adalah gula-gula sederhana untuk bisa dikonversi menjadi
bioetanol. Sedangkan untuk mendapatkan gula-gula sederhana dari biomasa
berlignoselulosa ini harus melalui beberapa proses agar didapatkan selulosa dari
dalam lignin dan hemiselulosa.
Berdasarkan bahan bakunya, ada tiga generasi biomassa bioetanol yaitu
bioetanol generasi pertama, kedua, dan ketiga. Bioetanol generasi pertama adalah
bioetanol yang diproduksi dari bahan baku yang mengandung pati seperti ubi
30

kayu, ubi jalar, nira tebu, jagung, gula beet, sorgum, kentang, gandum dan
sebagainya. Proses pengolahannya dengan bahan berpati digiling lalu dihidrolisis
menggunakan asam atau enzim α-amilase untuk mengubah pati menjadi dextrin
(proses liquifikasi) kemudian dextrin diubah lagi oleh gluko-amylase menjadi
monomer glukosa (proses sakarifikasi) yang dapat difermentasi menjadi etanol.
Namun, bioetanol generasi tersebut masih banyak dimanfaatkan sebagai bahan
pangan dan pakan dibandingkan untuk energi terbarukan sehingga dikembangkan
bahan berbasis non pangan (generasi kedua) untuk produksi bioetanol.
Bioetanol generasi kedua adalah bioetanol yang diproduksi dari limbah
biomassa yang mengandung lignoselulosa. Bahan berlignoselulosa adalah bahan
yang mengandung selulosa dan hemiselulosa (holoselulosa) tinggi yang terdapat
dalam limbah padat agroindustri seperti bagas tebu, jerami padi, batang sawit,
tongkol dan batang jagung, kulit cokelat, dan tandan kosong kelapa sawit (tandan
kosong sawit). Proses pembuatan bioetanol berbasis lignoselulosa terdiri dari tiga
tahapan utama, yaitu perlakuan awal untuk menghilangkan lignin, hidrolisis dan
fermentasi. Produksi dari generasi kedua ini juga memiliki kendala yaitu tingginya
kandungan lignin, memerlukan teknologi mahal dan tidak ekonomis dalam
produksi skala besar (Brennan et al., 2010). Oleh karena itu, beberapa tahun ini
dikembangkan biomassa (generasi ketiga) yang tidak bertentangan dengan
produksi pangan, pakan ternak dan produknya lainnya yang berasal dari tanaman
(Christi, 2007). Berikut ini Tahapan proses produksi bioetanol generasi kedua dari
biomasa lignoselulosa ditunjukkan oleh Gambar 2.6.
31

Gambar 2.6 Tahapan proses produksi bioetanol generasi kedua dari


biomasa lignoselulosa (Walker, 2011)

Bioetanol generasi ketiga merupakan bioetanol yang menggunakan bahan


baku dari kelompok algae yaitu mikroalga dan makroalga (rumput laut) (Dragon
et al., 2010). Kelompok algae yang dapat dijadikan biomassa bioetanol adalah
mikroalga (Anabena, Botryococcusi, Chlamydomonas, Dunaliella, Chlorella,
Euglena, Porphyridium, Prymnesium, Scenedesmus, Spirogyra sp, Spirulina,
Synechoccus, Tertaselmis), dan makroalga (rumput laut). Produksi bieotanol dari
algae dengan memanfaatkan lemak dan holoselulosanya. Kelompok algae dipilih
karena terbukti dapat tumbuh dan tahan pada berbagai lingkungan, persediaannya
cukup dan aman, sedikit mengandung lignin atau tidak ada lignin sama sekali,
pertumbuhannya cepat, dan berperan dalam pengurangan efek rumah kaca. Selain
itu, algae mampu tumbuh pada air limbah dan mengkonversi CO2 menjadi
biomassa yang berguna serta mampu menghasilkan biofuel tanpa mengganggu
persediaan pangan, biodiversiti mikroorganisme, dan tanaman pertanian
(Chaudhary et al., 2014). Salah satu limbah rumput laut yang dapat dimanfaatkan
dalam produksi bioetanol adalah Eucheuma cottonii dalam bentuk bubur. Namun,
bioetanol generasi ketiga ini membutuhkan metode khusus agar biomassa tersebut
dapat digunakan dalam kondisi kering. Oleh karena itu, saat ini masih banyak
mengembangkan metode yang tepat untuk produksi bioetanol berbasis
lignoselulosa. Berikut ini tahapan proses produksi bioetanol generasi ketiga
ditunjukkan oleh Gambar 2.7.
32

Gambar 2.7 Tahapan proses produksi bioetanol generasi ketiga


(Goh et al., 2010).

Bioetanol memiliki beberapa kelebihan dibandingkan bahan bakar minyak.


Bioetanol yang dikombinasikan dengan BBM terbukti dapat mengurangi emisi
karbon monoksida dan asap lainnya dari kendaraan. Semakin sedikitnya sumber
energi fosil yang ada di bumi dan semakin tingginya pencemaran lingkungan
menjadi faktor utama dibutuhkannya energi alternatif yang lebih ramah
lingkungan. Selain itu, etanol juga bisa terurai sehingga dapat mengurangi emisi
gas buang berbahaya.
BAB III METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Jadwal Penelitian


Penelitian ini akan dilaksanakan di Laboratorium Teknologi Bioproses dan
Laboratorium Uji Analisis Jurusan Teknik Kimia Fakultas Teknik Universitas
Riau pada bulan Maret sampai Juli 2020.

3.2 Bahan dan Alat yang Digunakan


3.2.1 Bahan yang Digunakan
Pada penelitian ini bahan utama yang digunakan yaitu tandan kosong sawit
akan diperoleh dari PTPN V Sei Pagar, Kabupaten Kampar, Riau. Bahan-bahan
lain yang digunakan yaitu, H2O2 3%, H2SO4 dengan konsentrasi 0,5%, 1,5%, 2,5%
dan 3,5%. Lalu digunakan juga NaOH 99%, bakteri S. Cerevisiae yang berasal
dari ragi instan, KH2PO4, MgSO4.7H2O, dan (NH4)2SO4. Juga dibutuhkan zeolit
sebagai adsorben dalam proses purifikasi bietanol.
3.2.2 Alat yang Digunakan
Alat-alat yang digunakan pada penelitian ini yaitu erlenmeyer, autoclave,
inkubator, water bath, rotary evaporator, oven, hot plate, magnetic bar, gelas
ukur, kondensor, tabung reaksi, termometer, pH meter, neraca analitik, kapas,
ayakan 40 mesh, 60 mesh, 80 mesh, serta vortex mixer. Alat uji dan analisis adalah
spektrofotometer UV-VIS, dan gas chromatography.

3.3 Variabel Penelitian


3.3.1 Variabel Tetap
Pada penelitian ini digunakan variabel tetap yaitu :
1. Volume fermentasi : 2 liter
2. Suhu fermentasi : 28⁰C
3. pH fermentasi : 4,5
4. Waktu inokulasi : 24 jam
5. Kecepatan Pengadukan : 250 rpm

30
6. Volume inokulum : 10% v/v
31

7. Konsentrasi S.Cereviseae : 6 gram/liter

3.3.1 Variabel Berubah


Pada penelitian ini digunakan variabel tetap yaitu :
1. Konsentrasi H2SO4 : 0,5%; 1,5%; 2,5%; 3,5% (v/v)
2. Waktu Fermentasi : 24, 48, 72,96 dan 120 jam
3.4 Rancangan Percobaan
Penelitian ini akan dilakukan dalam empat tahapan. Tahap pertama yaitu
persiapan awal bahan baku. Tandan kosong sawit akan dipotong dan dicacah
hingga menjadi seperti serbuk yang siap untuk dihidrolisis. Tahap kedua yaitu
hidrolisis selulosa menjadi larutan gula menggunakan H2SO4. Kemudian tahap
ketiga yaitu proses perubahan larutan gula menjadi bioetanol melalui proses
fermentasi. Tahap keempat adalah tahap uji dan analisis hasil berupa kadar gula
sisa dan kadar bioetanol.

3.5 Prosedur Penelitian


Pada penelitian ini proses pembuatan bioetanol dilakukan dengan metode
hidrolisis dan fermentasi. Dua variabel ditinjau selama proses produksi bioetanol
ini untuk mengetahui pengaruhnya terhadap bioetanol yang dihasilkan. Variabel
tersebut yaitu konsentrasi H2SO4 yang digunakan dan lamanya waktu fermentasi.
Berikut ini tahapan penelitian akan ditunjukkan pada Gambar 3.1.
32

Ekstrak Abu TKS


Abu TKS (20-40 mesh): Pretreatment
Akuades 1-5 mm
1:4
Serbuk TKS

Delignifikasi TKS
(TKS : Ekstrak Abu)
1. Prehidrolisa
(1:10). 100 0C, 60 menit
2. Cooking
(1:5) 100 0C, 30 menit

Serbuk TKS

Pemurnian serbuk TKS


Serbuk TKS : H2O2 3%
1:10
(90oC, 60 Menit)

Serbuk TKS
Inokulasi Saccharoyces
Hidrolisis
Cerevisiae
Serbuk TKS : H2SO4 0,5%;
(30 0C, 230 rpm, 24 jam)
1,5%; 2,5% dan 3,5%
1:10
(100 0C, 60 menit)

Larutan Gula
Awal

Fermentasi oleh:Saccharomyces
Cerevisiae
Waktu: 24, 48, 72, 96, dan 120 jam
Konsentrasi S: 6 g/l
(30 0C, 250 rpm)

Bioetanol
Gula Sisa

Uji dan Analisis

Gambar 3.1 Tahapan penelitian


33

3.5.1 Pretreatment Bahan Baku


Pada penelitian ini digunakan bahan baku utama yaitu tandan kosong sawit
sebanyak 400 gram untuk setiap variasi konsentrasi H2SO4 yang akan digunakan.
Sebelum tandan kosong sawit tersebut dimasak, terlebih dahulu dicacah agar
diperoleh ukuran yang lebih kecil. Kemudian tandan kosong sawit dikeringkan di
bawah sinar matahari sampai kadar air yang tersisa ± 10%. Selanjutnya tandan
kosong sawit dihaluskan dan diayak untuk memperoleh serbuk tandan kosong
sawit dengan ukuran 40 mesh.

3.5.2 Pembuatan Larutan Pemasak


Larutan pemasak yang akan digunakan dibuat dengan mencampurkan
aquades dengan abu tandan kosong sawit. Sebelum digunakan, abu tandan kosong
sawit disaring terlebih dahulu dengan menggunakan ayakan 60 mesh. Abu hasil
saringan kemudian ditambahkan air dengan rasio abu dan air sebesar 1:4. Larutan
tersebut kemudian diaduk selama 15 menit dan didiamkan selama 48 jam hingga
semua abu terendapkan. Filtrat abu tandan kosong sawit kemudian dipisahkan dari
campurannya dengan penyaringan. Filtrast ekstrak abu tandan kosong sawit
tersebut kemudian digunakan sebagai larutan pemasak.

3.5.3 Delignifikasi Tandan Kosong Sawit


Proses delignifikasi yang akan dilakukan terdiri dari dua tahap, yaitu tahap
prehidrolisa dan cooking. Tahap prehidrolisa bertujuan untuk mempercepat proses
penghilangan pentosan (hemiselulosa) yang ada pada bahan baku pada waktu
pemasakan. Tahap prehidrolisa ini dilakukan dengan menggunakan larutan ekstrak
abu tandan kosong sawit, dengan suhu yang digunakan yaitu 100⁰C. Rasio bahan
baku dan volume larutan yang digunakan adalah sebanyak 1:10, dengan waktu
proses selama 1 jam. Setelah proses prehidrolisa dilakukan, filtrat yang diperoleh
kemudian dibuang dan residu dicuci dengan air panas dan diperas, kemudian pulp
tandan kosong sawit dimasak kembali (cooking).
Tahapan cooking bertujuan untuk memurnikan selulosa-a yang terdapat dalam
pulp tandan kosong sawit. Cooking dilakukan dengan penambahan larutan ekstrak
abu tandan kosong sawit dengan rasio 1:5. Suhu dan waktu pemasakan yang
digunakan adalah 100 oC dan 30 menit. Pulp hasil pemasakan disaring dan dicuci
34

dengan air panas untuk menghilangkan lindi hitam dan dikeringkan hingga
beratnya konstan.

3.5.4 Proses Delignifikasi II Serbuk Tandan Kosong Sawit


Setelah tandan kosong sawit melalui proses delignifikasi, selanjutnya
dilakukan proses delignifikasi II dengan menggunakan larutan H2O2 3% dengan
rasio serbuk dan H2O2 adalah sebesar 1:10. Kemudian ditambahkan NaOH 0,1 N
sampai pH 9. Selanjutnya serbuk tandan kosong sawit dipanaskan pada suhu 90⁰C
selama 60 menit. Setelah proses delignifikasi II dilakukan, serbuk tandan kosong
sawit lalu didinginkan, disaring dan dicuci sampai pH menjadi netral dan
dikeringkan dalam oven dengan suhu 105⁰C hingga diperoleh berat serbuk
konstan.

3.5.5 Hidrolisis Serbuk Tandan Kosong Sawit


Serbuk tandan kosong sawit yang diperoleh sebagai hasil proses
delignifikasi II kemudian dikecilkan ukurannya hingga 80 mesh dan dihidrolisis
dengan menggunakan asam sulfat (H2SO4) 0,5%; 1,5%; 2,5% dan 3,5%. Rasio
yang digunakan antara serbuk tandan kosong sawit dan H 2SO4 adalah sebesar 1:10
dengan suhu pemanasan sebesar 100⁰C selama 60 menit. Setelah proses hidrolisis
dilakukan, maka akan diperoleh ampas dan larutan. Larutan tersebut adalah
larutan yang mengandung gula hasil konversi dari tandan kosong sawit. Larutan
gula tersebut kemudian dinetralkan dengan menggunakan NaOH 1 M hingga pH
larutan menjadi 4,5. Filtrat yang diperoleh kemudian akan dianalisis kadar gula
dalam larutan dan selanjutnya dilakukan proses fermentasi.

3.5.6 Pembuatan Inokulum


Tujuan pembuatan inokulum adalah untuk memperpendek masa fase lag
yaitu dengan cara mengadaptasikan sel kedalam media fermentasi berupa larutan
gula hasil hidrolisis. Saccharomyces cerevisiae dari ragi kemasan diinokulasi
kedalam medium (larutan gula, 1 g/l KH 2PO4, 0,05 g/l MgSO4. 7H2O, dan 2 g/l
(NH4)2SO4) di dalam erlenmeyer. Medium inokulasi kemudian disterilisasi
menggunakan autoclave pada suhu 121⁰C selama 15 menit. Setelah proses
sterilisasi dilakukan, medium inokulasi didinginkan hingga mencapai suhu ruang,
lalu dimasukkan
35

Saccharomyces cerevisiae sebanyak 6 gram/L. Setelah dilakukan penambahan


Saccharomyces cerevisiae, selanjutnya dilakukan inokulasi selama 24 jam pada
suhu 30⁰C.

3.5.7 Fermentasi
Pada penelitian ini, proses fermentasi yang dilakukan adalah fermentasi cair.
Larutan gula yang diperoleh sebagai hasil proses hidrolisis, kemudian di
fermentasi dengan bantuan mikroorganisme Saccharomyces cerevisiae dengan
volume fermentasi sebanyak 2 liter. Larutan gula yang telah disiapkan kemudian
dimasukkan ke dalam fermenor sesuai variasi yang telah dipilih. Lalu
ditambahkan nutrisi (1 g/l KH2PO4, 0,05 g/l MgSO4. 7H2O, dan 2 g/l (NH4)2SO4 ),
kemudian ditutup rapat untuk kemudian disterilisasi menggunakan autoclave pada
suhu 121⁰C selama 15 menit. Setelah dilakukan sterilisasi, kemudian dilakukan
proses fermentasi. Kecepatan pengadukan yang digunakan adalah 250 rpm dan
suhu operasi dijaga tetap 30⁰C. Pengambilan sampel dilakukan sesuai variasi
waktu yang ditetapkan yaitu setiap 24 jam, 48 jam 72 jam 96 jam dan 120 jam.
Setelah waktu proses tercapai, sampel dianalisis kadar gula sisa dan kadar
bioetanol yang dihasilkan. Rangkaian alat fermentasi ditunjukkan oleh Gambar
3.2 berikut ini.

Gambar 3.2 Rangkaian Alat Fermentasi


36

3.5.8 Pemisahan
Hasil dari proses fermentasi yang telah diperoleh kemudian diambil
sebanyak 120 ml untuk dianalisis kadar gula sisa menggunakan spektrofotometri
UV-VIS dan 100 ml campuran bioetanol yang berada dalam substrat hasil
fermentasi dipisahkan dari mikroorganisme Saccharomyces cerevisiae, nutrisi dan
gula sisa dengan cara menguapkan campuran bioetanol dan air pada suhu 77-80⁰C
dengan menggunakan rotary evaporator, kemudian bioetanol yang terdapat
didalam campuran dan air dianalisis menggunakan alkoholmeter. Rangkaian alat
vacuum rotary evaporator ditunjukkan pada Gambar 3.3 berikut ini.

Gambar 3.3 Rangkaian Alat Vacuum Rotary Evaporator

3.5.9 Analisis Hasil


Setelah proses produksi bioetanol selesai dilakukan, maka selanjutnya
dilakukan analisis hasil. Parameter yang dianalisis yaitu konsentrasi bioethanol
dan konsentrasi gula substrat. Konsentrasi gula substrat berupa kadar gula awal
37

dan kadar gula akhir dianalisis dengan metode antron menggunakan


spektofotometer UV-VIS. Untuk pengukuran kadar bioetanol akan dianalisis
dengan menggunakan alkoholmeter dan Refraktometer.
31

LAMPIRAN A PEMBUATAN REAGEN

1. Pembuatan Larutan NaOH


a. Penentuan Konsentrasi Awal Padatan NaOH 99%
Persamaan yang digunakan :

……………………................ (1)
Keterangan :
M : Molaritas
Mr : Massa molekul relative (g/mol)
ρ : Berat jenis (g/cm3)
Dengan menggunakan persamaan (1), maka diperoleh konsentrasi awal
NaOH adalah sebagai berikut :

b. Pembuatan Larutan NaOH 1 M dari Padatan


Persamaan yang digunakan :
𝑉1 . 𝑀1 = 𝑉2 . 𝑀2 …………………………… (2)
Keterangan :
V1 : Volume larutan sebelum dilakukan pengenceran
M1 : Molaritas larutan sebelum dilakukan pengenceran
V2 : Volume larutan setelah dilakukan pengenceran
M2 : Molaritas larutan sebelum dilakukan pengenceran
Untuk pengenceran NaOH hingga diperoleh 1 M digunakan labu ukur 500
ml. Maka untuk memperoleh jumlah kebutuhan padatan :
32

Setelah, dihitung diperoleh volume awal NaOH adalah 9,48452 ml. Setelah
diperoleh volume awal, maka harus dihitung kebutuhan padatan NaOH.
Persamaan yang digunakan adalah sebagai berikut :

………………………………
(3)
Keterangan :
M : Molaritas
n : mol
V : Volume larutan (liter)
Sehingga diperoleh jumlah mol :

Kemudian dihitung jumlah padatan dengan menggunakan persamaan


berikut ini :

……………………...……
(4) Maka, diperoleh kebutuhan padatan NaOH :

Jadi, dibutuhkan padatan NaOH sebanyak 20 gram.


c. Pembuatan Larutan NaOH 0,1 N dari Padatan
Persamaan perhitungan normalitas adalah berikut ini :
………………………………… (5)
Keterangan :
N: Normalitas M :
Molaritas e :
ekivalen
Maka, dapat dihitung molaritas NaOH 0,1 N dengan persamaan (5).
Untuk pengenceran NaOH hingga diperoleh 0,1 M
digunakan labu ukur 500 ml. Maka untuk memperoleh
jumlah kebutuhan padatan :
33

Setelah, dihitung diperoleh volume awal NaOH adalah 0,95 ml. Setelah
diperoleh volume awal, maka harus dihitung kebutuhan padatan NaOH.
Persamaan yang digunakan adalah sebagai berikut :

Sehingga diperoleh jumlah mol :

Kemudian dihitung jumlah padatan dengan menggunakan persamaan


berikut ini :
……………………...
……(4) Maka, diperoleh kebutuhan padatan NaOH :

Jadi, dibutuhkan padatan NaOH sebanyak 2,003265 gram.


2. Pembuatan Larutan H2SO4 a. Penentuan Konsentrasi Awal H2SO4
98%
Dengan menggunakan persamaan (1), maka diperoleh konsentrasi awal
H2SO4 adalah sebagai berikut :

b. Pembuatan larutan H2SO4 0,5%


Dengan menggunakan persamaan (1), maka diperoleh konsentrasi H2SO4
0,5% adalah sebagai berikut :
34

Untuk pengenceran H2SO4 hingga diperoleh 0,0934 M digunakan labu ukur


500 ml. Maka, untuk memperoleh jumlah kebutuhan H2SO4 pekat adalah
sebagai berikut :

Maka, dibutuhkan H2SO4 pekat sebanyak 2,552 ml untuk membuat larutan


H2SO4 0,5%.
c. Pembuatan larutan H2SO4 1,5%
Dengan menggunakan persamaan (1), maka diperoleh konsentrasi H2SO4
1,5% adalah sebagai berikut :

Untuk pengenceran H2SO4 hingga diperoleh 0,2801 M digunakan labu ukur


500 ml. Maka, untuk memperoleh jumlah kebutuhan H2SO4 pekat adalah
sebagai berikut :

Maka, dibutuhkan H2SO4 pekat sebanyak 7,653 ml untuk membuat larutan


H2SO4 1,5%.
d. Pembuatan larutan H2SO4 2,5%
Dengan menggunakan persamaan (1), maka diperoleh konsentrasi H2SO4
2,5% adalah sebagai berikut :

a
Untuk pengenceran H2SO4 hingga diperoleh 0,467 M digunakan labu ukur
500 ml. Maka, untuk memperoleh jumlah kebutuhan H2SO4 pekat adalah
sebagai berikut :
35

Maka, dibutuhkan H2SO4 pekat sebanyak 12,7596 ml untuk membuat


larutan H2SO4 2,5%.
e. Pembuatan larutan H2SO4 3,5%
Dengan menggunakan persamaan (1), maka diperoleh konsentrasi H2SO4
3,5% adalah sebagai berikut :

Untuk pengenceran H2SO4 hingga diperoleh 0,6536 M digunakan labu ukur


500 ml. Maka, untuk memperoleh jumlah kebutuhan H2SO4 pekat adalah
sebagai berikut :

Maka, dibutuhkan H2SO4 pekat sebanyak 17,858 ml untuk membuat larutan


H2SO4 3,5%.
31

LAMPIRAN B PROSES INOKULASI

Pembuatan inokulum bertujuan untuk memperpendek masa fase lag yaitu


dengan cara mengadaptasikan sel kedalam media fermentasi berupa larutan gula
hasil hidrolisis. Berikut ini diagram alir proses pembuatan inokulum ditunjukkan
oleh Gambar B.1 :

Gambar B.1 Diagram Alir Proses Inokulasi


LAMPIRAN C PROSES FERMENTASI
31

Pada penelitian ini, proses fermentasi yang dilakukan adalah fermentasi cair.
Larutan gula yang diperoleh sebagai hasil proses hidrolisis, kemudian di
fermentasi dengan bantuan mikroorganisme Saccharomyces cerevisiae. Berikut
ini diagram alir proses pembuatan inokulum ditunjukkan oleh Gambar C.1 :

Gambar C.1 Diagram Alir Proses Fermentasi


LAMPIRAN D TABEL DATA
31

1. Proses Delignifikasi Tandan Kosong Sawit


Proses delignifikasi yang akan dilakukan terdiri dari dua tahap, yaitu tahap
prehidrolisa dan cooking. Pulp hasil pemasakan disaring dan dicuci dengan air
panas untuk menghilangkan lindi hitam dan dikeringkan hingga beratnya konstan.
Berikut ini data pengeringan pulp ditunjukkan oleh Tabel D.1 :
Tabel D.1 Data Pengukuran Berat Sampel
Tahap pengeringan Waktu Pengambilan Berat Sampel
Sampel
1 30 menit
2 30 menit
3 30 menit
4 30 menit
5 30 menit
2. Proses Delignifikasi II Serbuk Tandan Kosong Sawit
Setelah tandan kosong sawit melalui proses delignifikasi, selanjutnya
dilakukan proses delignifikasi II. Setelah proses delignifikasi II dilakukan, serbuk
tandan kosong sawit lalu didinginkan, disaring dan dicuci sampai pH menjadi
netral dan dikeringkan dalam oven dengan suhu 105⁰C hingga diperoleh berat
serbuk konstan. Berikut ini data pengeringan serbuk tandan kosong sawit
ditunjukkan oleh Tabel D.2 :
32

Tabel D.2 Data Pengukuran Berat Sampel


Tahap pengeringan Waktu Pengambilan Berat Sampel
Sampel
1 30 menit
2 30 menit
3 30 menit
4 30 menit
5 30 menit
3. Hidrolisis Serbuk Tandan Kosong Sawit
Serbuk tandan kosong sawit yang diperoleh sebagai hasil proses
delignifikasi II kemudian dikecilkan ukurannya hingga 80 mesh dan dihidrolisis
dengan menggunakan asam sulfat (H2SO4) 0,5%; 1,5%; 2,5% dan 3,5%. Berikut
ini tabel hasil yang diperoleh dari tahap hidrolisis ditunjukkan oleh Tabel D.3 :

Tabel D.3 Data Pengukuran Volume Filtrat dan Kadar Gula yang Diperoleh
No. Variasi Konsentrasi Volume Filtrat (ml) Kadar Gula
H2SO4
1. 0,5%
2. 1,5%
3. 2,5%
4. 3,5%
4. Fermentasi
Pada penelitian ini, proses fermentasi yang dilakukan adalah fermentasi cair.
Larutan gula yang diperoleh sebagai hasil proses hidrolisis, kemudian di
fermentasi dengan bantuan mikroorganisme Saccharomyces cerevisiae dengan
volume fermentasi sebanyak 2 liter. Berikut ini tabel hasil kadar gula sisa yang
diperoleh dari tahap fermentasi ditunjukkan oleh Tabel D.4 :

33
Tabel D.4 Data Pengukuran Kadar Gula Sisa
Variasi Kadar Gula Sisa Tiap Waktu Pengambilan Sampel
Konsentrasi 24 jam 48 jam 72 jam 96 jam
H2SO4
0,5%
1,5%
2,5%
3,5%

Setelah dilakukan pengukuran kadar gula sisa, selanjutnya diukur kadar


bioetanol yang dihasilkan. Berikut ini kadar bioetanol yang dihasilkan ditunjukkan
oleh Tabel D.5 :

Tabel D.5 Data Pengukuran Kadar Bioetanol


Variasi Kadar Bioetanol Tiap Waktu Pengambilan Sampel
Konsentrasi 24 jam 48 jam 72 jam 96 jam
H2SO4
0,5%
1,5%
2,5%
3,5%

DAFTAR PUSTAKA
Adela, N.B., Nasrin, A.B., Loh, S.K., dan Choo, Y.M., 2014, "Bioetanol
Production by Fermentation of Oil Palm Empty Fruit Bunches Pretreated
with Combined Chemicals", Journal of Applied Enviromental and
Biological Science, TextRoad Publication, 4(10): 234-242.
Alberty, R.A. dan Daniel, F., 1983, “Kimia Fisika”, Erlangga, Jakarta.
Anindyawati, T., 2009, “Prospek Enzim dan Limbah Lignoselulosa untuk
Produksi Bioetanol”. BS, Vol. 44, No. 1, Juni 2009 : 49- 56.
Anwar, K., 2008, “Optimasi Suhu dan Konsentrasi Sodium Bisulfit (NaHSO3)
pada Proses Pembuatan Sodium Lignosulfonat Berbasis Tandan Kosong
Kelapa
Sawit (TKKS)”, Skripsi, Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian
Bogor, Bogor.
Badan Pusat Statistik, 2018, “Statistik Kelapa Sawit Indonesia 2018”, Jakarta.
Berndes Goran, Monique Hoogwijk dan Richard van den Broek, 2002, “The
Contribution of Biomass in the Future Global Energi Supply”, Deptartment
of Science, Technology and Society, Utrecht University, The Netherland.
Biomass Energi Europe. 2010. Methods & Data Sources for Biomass
Resource Assessments for Energi. BEE: Freiburg-Germany.
Brennan, L., dan P. Owende, 2010, “Biofuels From Microalgae-A Review of
Technologies For Production, Processing, And Extractions Of Biofuels And
Co-Products”, Renewable and Sustainable Energi Reviews. 14:557577.
Cardona, E., Llano, B., Penuela, M., Pena, J., dan Rios, L.A., 2018, "Liquid-
hotwater Pretreatment of Palm-oil Residues for Ethanol Production: An
Economic Approach to the Selection of the Processing Conditions", Energi,
Elsevier Ltd., 160 : (441-451).
Chaudhary, L., P. Pradhan., N. Soni., P. Singh., dan A. Tiwari, 2014, “Algae as A
Feedstock For Bioetanol Production: New Entrance In Biofuel World”, Int.
Journal Chemistry Technology Res. 6, 1381–1389.
Christi, Y, 2007, “Biodiesel From Microalgae”, Biotechnology Advances.
Crestini, C., M. Crucianelli., M. Orlandi., R. Saladino, 2010, “Oxidative
Strategies
In Lignin Chemistry: A New Environmental Friendly Approach For The

34
35

Functionalisation Of Lignin And Lignocellulosic Fibers”, Catalysis Today.


156: 8–22.
Dragon, G., B. Fernandes., A.A. Vicente., dan J.A. Teixeira, 2010, “Third
Generation Biofuels From Microalgae”, In Current Research, Technology
and Education Topicsin Applied Microbiology and Microbial
Biotechnology, ed.A.Mendez-Vilas (Madrid:Formatex),1355–1366.
Fengel, D., and G. Wegener, 1984, “Wood: Chemistry, ultrastructure, reactions”,
Walter de Gruyter & Co. Berlin.
Fricke, T.B., 2009, “Buku Panduan Pabrik Kelapa Sawit Skala Kecil untuk
Produksi Bahan Baku Bahan Bakar Nabati (BBN)”, Development
Alternatives Inc., USAID Indonesia.
Grabber, J.H., 2005, “How do lignin composition, structure, and cross-linking
affect degradability? A review of cell wall model studies”, Crop Science,
45:820– 831.
Goh C.S., dan K.T. Lee, 2010, “A Visionary And Conceptual Macroalgae Based
Third-Generation Bioetanol (TGB) Biorefinery in Sabah, Malaysia as An
Underlay For Renewable And Sustainable Development”, Renewable and
Sustainable Energi Reviews, 14 (2) : 842–848.
Ishola, M.M., Isroi, dan Taherzadeh, M.J., 2014, "Effect of Fungal and
Phosphoric Acid Pretreatment on Ethanol Production from Oil Palm Empty
Fruit Bunches (OPEFB)", Article in Press, Bioresource Technology,
Elsevier Ltd.
Kristina, E.R. Sari, Novia, 2012, “Alkaline pretreatment dan proses simultan
sakarifikasi – fermentasi untuk produksi etanol dari tandan kosong kelapa
sawit”, Jurnal Teknik Kimia, 18(3): 34-43.
Laurentius Suratno, Ery Susiany Retnoningtyas, 2013, “Preparasi dan
Karakterisasi Zeolit Alam Malang Sebagai Adsorben pada Adsorpsi Air
dalam Pemurnian Bioetanol Membentuk Fuel Grade Etanol”, Universitas
Katolik Widya Mandala, Surabaya.
Lee, H. V., S. B. A. Hamid., dan S. K. Zain, 2014, “Conversion of Lignocellulosic
Biomass to Nanocellulose: Structure and Chemical Process”, The Scientific
World Journal 2014.
36

McKendry Peter, 2001, “Energi Production from Biomass (part 1) : Overview of


Biomass”, Applied Environmental Research Centre Ltd, Tey Grove, Elm
Lane, Feering, Colchester CO5 9ES, UK.
Ni'mah, L., Ardiyanto, A., dan Zainuddin, M., 2015, "Pembuatan Bioetanol dari
Limbah Serat Kelapa Sawit melalui Proses Pretreatment, Hidrolisis Asam
dan Fermentasi menggunakan Ragi Tapai", Prodi Teknik Kimia Fakultas
Teknik Unlam Banjarmasin.
Ningsih, Y.A., Lubis, K.R., dan Moeksin, R., 2012, "Pembuatan Bioetanol dari
Tandan Kosong Kelapa Sawit (TKKS) dengan Metode Hidrolisis Asam dan
Fermentasi", Jurnal Teknik Kimia No. 1 (18), Jurusan Teknik Kimia
Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya.
Novitasari, D. dan D. Kusumaningrum, 2012, “Pemurnian Bioetanol
Menggunakan
Proses Adsorpsi dan Distilasi dengan Adsorben Zeolit”, Jurnal Teknologi
Kimia dan Industri, Vol. 1 No. 1, Universitas Diponegoro, Semarang.
Nurfahmi, Hwai Chyuan Ong, Badrul Mohammed Jan, Chong Wen Tong, Hadi
Fauzi dan Wei-Hsin Chen, 2016, "Effects of Organosolv Pretreatment and
Acid Hydrolysis on Palm Empty Fruit Bunch (PEFB) as Bioetanol
Feedstock", Biomass and Bioenergi, Elsevier Ltd., 95: 78-83.
Palonen, H., 2004, “Role of Lignin in The Enzymatic Hydrolysis of
Lignicellulose”, Vuorimiehenti(FR): VTT Technical Research Center.
Papilo P., Kunaifi, H. Erliza dan Nurmaiti, 2015, “Penilaian Potensi Biomassa
Sebagai Alternatif Energi Kelistrikan”, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Parinduri L., 2016, “Analisa Pemanfaatan Biomasssa Pabrik Kelapa Sawit untuk
Sumber Pembangkit Listrik”, Jurnal of Electrical Technology¸ Sumatera
Utara.
Perez J. J Munoz-Dorado. T de la Rubia dan J. Martinez, 2002, “Biodegradation
and Biological Treatments of Cellulose, Hemicellulose and Lignin: An
Overview”, Int. Microbiol. 5: 53-63.
Permana, A., 2019, "Prof. Priyono Soetikno: Indonesia Mempunyai Potensi
Energi
Baru dan Terbarukan yang Melimpah",
https://www.itb.ac.id/news/read/56825/ home/prof-priyono-soetikno-
37

indonesia-mempunyai-potensi-energi-baru-dan-terbarukan-yang-melimpah,
diakses pada Jum'at, 21 Februari 2020.
Prastowo, B dan N. Richana, 2014, “Biofuel generasi-1, generasi-2”, Jakarta,
IAARD Press.
Pratiwi, R.A., Amelia, R., dan Moeksin, R., 2013, "Pengaruh Volume Asam
(Proses Hidrolisis) dan Waktu Fermentasi pada Pembuatan Bioetanol dari
Tandan Kosong Kelapa Sawit", Jurnal Teknik Kimia No. 1 (19), Jurusan
Teknik Kimia Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya.
Sartini, Fitriani, R., dan Rosliana, 2018, "Pengaruh Kadar Asam Sulfat pada
Hidrolisis Tandan Kosong Kelapa Sawit (TKS) dan Waktu Fermentasi
terhadap Kadar Bioetanol yang Dihasilkan", Jurnal Biologi Lingkungan,
Industri, Kesehatan No. 2 (4), Fakultas Biologi Universitas Medan Area.
Satria Dennis, A. Rohanah dan S. B. Daulay, 2017, “Pembuatan Pupuk Kompos
Dari Tandan Kosong Kelapa Sawit Dengan Menggunakan Berbagai Jenis
Dekomposer Dan Limbah Cair Pabrik Kelapa Sawit Sebagai Aktivator”,
Jurnal Rekayasa Pangan dan pertanian. USU.
Shet, V.B., Nisa Sanil, Manasa Vhat, Manasa Naik, dan Leah Natasha
Mascarenhas, 2018, "Acid Hydrolysis Optimization of Cocoa Pod Shell
using Response Surface Methodology Approach toward Ethanol
Production", Agriculture and Natural Resources, 52: 581-587.
Simamora, S. dan Salundik, 2006, “Meningkatkan Kualiatas Kompos”,
Agromedia Pustaka, Jakarta.
Sudiyani, Y., 2015, "Info Maksi: Potensi Tinggi Bioetanol Generasi Kedua",
https://www.infosawit.com/news/1759/info-maksi---potensi-tinggi--
bioetanol-generasi-kedua, diakses pada Jum'at, 21 Februari 2020.
Sukaryo, BJ dan Hargono. (2013.)Pembuatan bioetanol dari pati umbi kimpul
(Xanthasoma Sagittifolium). Momentum. Vol. 9, No. 2, Oktober 2013, Hal.
41-
45.
Susilo Bambang, Sumardi Hadi Sumarlan dan Dela Feminda Nurirenia, 2017,
“Pemurnian Bioetanol Menggunakan Proses Distilasi dan Adsorpsi dengan
Penambahan Asam Sulfat (H2SO4) pada Aktifasi Zeolit Alam sebagai
38

Adsorben”, Jurusan Keteknikan Pertanian Tropis dan Biosistem, Vol. 5 No.


1, Universitas Brawijaya, Malang.
Walker, G.M. 2011. Fuel alcohol : Current Production And Future Challenges.
Journal of the Institute of Brewing, 117 (1) : 3–22.
Widhiyanuriyawan Denny dan Nurkholis Hamidi, 2013, “Variasi Temperatur
Pemanasan Zeolit Alam-NaOH untuk Pemurnian Biogas”, Jurnal Energi dan
Manufaktur Vol.6, No.1, Universitas Brawijaya, Malang.
Yoricya Gedish, Shinta Aisyah Putri Dalimunthe, Renita Manurung dan Nimpan
Bangun. 2016. Hidrolisis Hasil Delignifikasi Tandan Kosong Kelapa Sawit
Dalam Sistem Cairan Ionik Choline Chloride. Jurnal Teknik Kimia.
Universitas Sumatera Utara.
Yunindanova, M.B., Herdhata, A., dan Dwi, A., 2013, “Pengaruh Tingkat
Kematangan Kompos Tandan Kosong Sawit dan Mulsa Limbah Padat
Kelapa
Sawit terhadap Produksi Tanamn Tomat”, Jurnal Ilmu Tanah dan
Agroklimatologi 10 (2), Fakultas Pertanian, Universitas Sebelas Maret,
Surakarta.
39

Anda mungkin juga menyukai