Oleh : R. B. Gratio
T
erpaksa bekerja sambil bersekolah dalam usia yang masih sangat belia bukanlah hal
yang mudah untuk dilakukan. Ino (13) , Rizki (14), Abi (9) , Ian (14) , dan Herdi (8)
merupakan contoh anak-anak yang bernasib malang. Mereka harus bekerja menjual
tissue di lingkungan Universitas Indonesia hampir seharian penuh. Kegiatan menjual tissue ini
mereka lakukan atas dasar inisiatif pribadi untuk membantu orangtua mereka. “Lumayan
penghasilannya bisa membiayai hidup keluarga,” Tutur Ian ketika diwawancarai.
Kelima bocah penjual tissue (biasa dipanggil Bo-Tis oleh beberapa mahasiswa) tersebut
adalah lima siswa yang bersekolah di Sekolah Master, Depok. Biaya sekolah di tempat ini
sebenarnya gratis, akan tetapi kondisi para siswa sekolah tersebut yang tergolong miskin
membuat banyak dari mereka terpaksa bekerja. Rizki berkata bahwa banyak dari teman mereka
juga ada yang bekerja sebagai pedagang asongan, pengamen, dan ada juga yang menjadi anak
jalanan.
Ino dan Ian adalah kakak-beradik dari 6 bersaudara. Sedangkan Rizki, Abi, dan Herdi
adalah kakak beradik dari 10 bersaudara. Mereka tinggal bersama orangtua mereka di daerah
Kampung Lio, dekat stasiun Depok Baru. Orangtua mereka kebanyakan membuka warung kecil-
kecilan yang menjual makanan ringan. Melihat ada tetangga mereka yang berprofesi sebagai
agen (distributor) tissue dan kondisi keluarga yang hidup pas-pasan, kelima anak ini berinisiatif
untuk berjualan tissue.
Kegiatan berdagang tissue ini mereka lakukan setelah pulang sekolah. Kira-kira setelah
sholat, para bocah penjual tissue ini berangkat menuju area kampus Universitas Indonesia,
Depok untuk berjualan. Mereka berkeliling dari satu fakultas ke fakultas lain untuk menawarkan
barang dagangan mereka kepada orang-orang yang sedang ada di kampus. Tidak jarang bahkan
mereka kadang-kadang harus diusir oleh satpam. Kira-kira mereka selesai berjualan pukul 8
malam. Dalam satu hari, paling banyak 20-30 bungkus tissue bisa terjual oleh setiap orang dari
mereka. Satu bungkus tissue yang mereka jual berharga Rp 5.000,00 sehingga setiap bocah
penjual tissue bisa mendapat uang maksimal Rp 150.000,00 dalam satu hari. Ino mengatakan
bahwa dalam satu hari setidaknya target minimal mereka adalah setiap orang bisa menjual 5-10
tissue. “Jika belum terjual, ya belum pulang,” lanjut Ino saat ditanya. Selama satu minggu,
mereka berjualan dari hari Senin sampai Sabtu.
Hasil penjualan tissue juga sudah anak-anak ini bagi secara proporsional. Untuk agen
40%, orangtua 30%, tabung pribadi 20%, dan jajan 10%. Jadi jika mereka mendapat Rp.
150.000,00 dalam satu hari, Rp 60.000,00 akan diberi kepada tetangga mereka yang berprofesi
agen penjual tissue, Rp 50.000,00 untuk orangtua, Rp 30.000,00 untuk ditabung, dan Rp
10.000,00 untuk ongkos mereka berjualan esok hari. Sayangnya beberapa kondisi seperti tercecer
dan tersitanya tissue oleh petugas keamanan kadang-kadang membuat mereka harus
“menomboki” barang dagangan mereka.
Ian, sebagai seorang bocah penjual tissue tertua, mengatakan bahwa ia dan teman-
temannya telah mengalami berbagai macam suka-duka berjualan tissue sejak memulainya pada
tahun 2009 di area kampus Universitas Indonesia, Depok. Tidak jarang mereka harus diusir
satpam fakultas dan kadang-kadang dimarahi. Dalam beberapa waktu, mereka juga pernah
diangkut oleh mobil petugas keamanan UI yang sedang berpatroli. Situasi paling menyedihkan
menurut mereka adalah ketika barang dagangan mereka harus disita oleh petugas keamanan.
Akan tetapi, tidak jarang juga ada petugas keamanan yang berbaik hati dalam menasihati dan
mengarahkan mereka. Para bocah penjual tissue ini juga sangat bersyukur karena masih ada
beberapa mahasiswa yang membela mereka ketika bermasalah dengan petugas, sekalipun para
mahasiswa ini terbatas dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia (FISIP-
UI) saja dan belum ada di fakultas lain.
Provos Alam Batari, salah seorang anggota Unit Pelaksana Teknis Pengamanan
Lingkungan Kampus Universitas Indonesia (UPT-PLK UI), menjelaskan sudah menjadi prosedur
seorang pedagang asongan tidak boleh memasuki wilayah kampus UI, termasuk para bocah
penjual tissue ini. Proses pengamanan inilah yang menurut POB-PLK UI (semacam pedoman
standar / SOP) disebut sebagai “filterisasi”. Provos Alam Batari sendiri sebenarnya sudah
melakukan berbagai cara untuk membina anak-anak teresebut. Ia mengajak mereka sholat,
berbincang, dan kadang membiarkan mereka untuk membuat minum ketika ditahan oleh petugas
di kantor UPT-PLK UI. Provos Alam Batari menjelaskan bahwa sanksi yang selalu diberikan
ketika anak-anak itu melanggar adalah dengan menyuruh mereka menandatangani surat
perjanjian. “Maklumlah mereka masih anak-anak, kita yang harus mengerti kemampuan
bertanggungjawab mereka,” ujarnya. Provos Alam Batari juga menambahkan “Beberapa kali
orangtua anak-anak tersebut sempat dipanggil, tetapi tidak pernah datang,”. Dalam beberapa
waktu liburan, jumlah bocah penjual tissue ini juga bertambah. Kebanyakan dari mereka adalah
teman-teman satu kampung dan satu sekolah dari kelima bocah penjual tissue tersebut. Situasi ini
semakin membuat UPT-PLK UI semakin kewalahan.
Perlu diketahui lebih lanjut bahwa kisah hidup para bocah penjual tissue merupakan
contoh kecil saja dari realitas pekerja anak dalam sektor informal yang ada di masyarat Indonesia
saat ini. Banyak sekali anak-anak di daerah Jabodetabek yang terpaksa untuk bekerja di jalanan
sebagai pengamen, pedagang, ataupun menjadi tukang sampah sebagaimana yang ada di wilayah
Bantargebang, Bekasi. Karl Marx pernah mengkritik bahwa pertumbuhan capital di Eropa Barat
dan Amerika Serikat (AS) abad-18-19 mengalir dari darah anak-anak. Ia berpendapat bahwa
kapitalisme dan industrialisasi masa itu didanai oleh children’s blood atau capitalized blood of
children. Marx dalam Kapital Jilid I (1876) lebih lanjut menjelaskan, “Sejauh mesin tidak
memerlukan tenaga otot, ia menjadi sebuah alat untuk mempekerjakan para pekerja dengan
tenaga otot yang ringan, atau yang perkembangan fisiknya belum lengkap, tetapi anggota
tubuhnya semakin lebih lentur. Oleh karena itu kerja perempuan dan anak-anak merupakan
akibat pertama dari penggunaan secara kapitalis! Pengganti perkasa untuk kerja dan kaum
pekerja itu langsung diubah menjadi suatu cara untuk meningkatkan jumlah pekerja-upahan
dengan mendaftarkan, di bawah kekuasaan langsung kapital, setiap anggota keluarga pekerja,
tanpa membedakan usia maupun jenis kelamin. Kerja paksa untuk si kapitalis merampas tempat,
tidak hanya bermainnya anak-anak, melainkan kerja bebas di rumah di dalam batas-batas
kebiasaan untuk keperluan keluarga itu sendiri.”
Saya merasa sedih setiap hari melihat anak-anak itu berjualan tissue.
Ketika saya makan, saya merasa bahwa merekapun juga lapar tetapi
tidak mampu untuk membeli sesuap nasi. Saya kira mereka punya hak
untuk hidup dengan layak, Saya sangat berharap agar para bocah
penjual tissue ini diperlakukan lebih baik, dibina menjadi insan yang
lebih membahagiakan, dan eksploitasi pekerja-anak harus dihapuskan.