Humanisme Melayang, Wiranti Gusman

Anda mungkin juga menyukai

Anda di halaman 1dari 2

Humanisme Melayang

Sebuah Esai dari : Wiranti Gusman

Wujud Humanisme di Indonesia sudah berada di awang-awang. Ia melayang


dibawah langit Liberalisme, namun ia tidak mencapainya. Ia sedang terbang bebas
semau otak-otak yang mengepalainya.

Saat membicarakan tentang negara-negara yang memiliki demokrasi, maka


Indonesia akan selalu disebut sebagai negara yang paling demokratis setelah
Amerika Serikat. Jika sedang berdiskusi mengenai budaya, Indonesia juga akan
dikenal sebagai negara multikultural. Apalagi tentang toleransinya, Indonesia benar-
benar lekat dengaan simboyan Bhinneka Tunggal Ika-nya.

Semua gelar-gelar dan simboyan luar biasa itu justru sedang hebat-hebatnya
bermulut dua. Dari mulut para birokrat kita akan tetap mendengar “Indonesia
adalah negara yang demokratis, terbukti dengan sudah diadakannya pesta
demokrasi tahun ini...” katanya dalam pidatonya saat ia sudah terpilih menjadi
birokrat di Indonesia ini. Padahal suara rakyat masih dikhianati dengan drama yang
berkedok kecurangan di panggung Mahkamah Konstitusi.

Dari mulut orang-orang yang memilih golput akan terdengar kata-kata


“Demokrasi di Indonesia ini tidak dapat diharapkan lagi, ia mati. Pemenang pesta
demokrasi justru menjadi jurang kekalahan di pihak lain”. Namun disisi lain, mereka
justru merawat kesalahan-kesalahan itu dengan membiarkannya berjalan. Lalu siapa
yang bermulut benar sebenarnya? Bukankah gelar dan simboyan itu hanya menjadi
pledoi pembodohan yang berlansung dengan nyamannya?

Upaya pembodohan di Indonesia ini dilakukan dengan cara pintar, kepintaran


dan mempintarkan seseorang. Begitu kenyataannya di sekolah-sekolah. Guru PPKN
ataupun guru seni budaya sering menyampaikan dalam pembelajarannya bahwa
Indonesia nan kaya ini memiliki budaya yang sangat banyak dan beragam sekali.
Siswa-siswi di sekolah sering kali mendapat tugas menghafal nama-nama upacara
adat, makanan tradisional, tari tradisional, pakaian tradisional, maupun rumah
tradisional masing-masing provinsi di Indonesia. Misalnya “Rumah Gadang di
Sumatera Barat, Pempek Berasal dari Sumatra Selatan, Upacara Ngaben dari Bali,
Tari Jaipong dari Jawa Barat, dan pakaian tradisional Melayu dari Riau”.
Nah, Lalu apa sajakah yang dapat kita sebut “dari” Indonesia? Apakah budaya
buang sampah sembarangan? Atau budaya cemooh? Budaya korupsi? Ataukah
budaya penindasan bagi minoritas?

Pada dasarnya semua hal yang terdapat dalam pertanyaan itu sudah menjadi
budaya kita, orang Indonesia. Karena hal itu yang kita wariskan dan alami dari
generasi ke generasi setiap tahunnya serta dapat kita temukan dalam kehidupan
kita sehari-hari.

Sehari-hari mungkin kita dapat melihat beberapa orang mahasiswa yang


memilih gondrong berlalu lalang dengan Vespanya, ataupun kita melihat muda-mudi
nongkrong dalam sebuah kedai kopi misalnya. Itu adalah budaya mereka.

Siapapun tidak dapat menyalahkan bahwa itu adalah budaya yang salah atau
bahkan bukan budaya Indonesia. Karena mereka pun tidak mempermasalahkan
ketika orang padang dengan bangga menyebutkan “Tari piring adalah milik Sumatera
Barat” padahal dalam penerapan Bhinneka Tunggal Ika Tari piring itu juga budaya
Indonesia.

Jadi, tentang Negara Demokratis yang bermulut dua, negara multikultural


yang primordialis dan semboyan Bhinneka Tunggal Ika yang kehilangan substansi
toleransi adalah wujud nyata dari melayangnya Humanisme di Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai