Anda di halaman 1dari 3

Social Judgment dalam Media Sosial

(Aku posting maka aku ada)


Oleh : Wiranti Gusman

Media sosial telah masuk ke setiap lini kehidupan manusia. Kelahiran, kehidupan,
sampai kematian bisa menjadi sumber perbincangan di media sosial melalui chatting,
posting maupun stories. Ketiga sumber tersebut seolah-olah menjadi jiwa bagi media
sosial itu sendiri. Dalam hubungan timbal baliknya, media sosial juga dapat menjadi
sumber pengaruh terhadap diri manusia. Sebagian besar manusia, terutama pengguna
media sosial, perilaku dan gaya hidupnya dipengaruhi penilaian sosial yang
didapatnya melalui media sosial. Penilaian sosial yang berbeda-beda membuat cara
hidup dan kehidupan manusia juga berbeda-beda.
Muzafer Sherif dan Carl Hovland dalam teori penilaian sosial yang dicetuskannya
pada 1961 menyatakan, “Dalam interaksi dengan orang lain, kita harus bergantung
pada sebuah dasar atau acuan internal. Dengan kata lain, acuan kita berada di kepala
kita dan didasarkan pada pengalaman sebelumnya.”1 Dengan demikian penilaian
sosial tidak sertamerta kita dapatkan dari pengamatan di media sosial tetapi juga
berpatokan pada yang disebut Sherif kerangka rujukan (reference point). Bisa kita
sederhanakan menjadi “kemampuan berpikir” atau “persepsi”.
Kemampuan berfikir seseorang menentukan bagaimana ia menerima sesuatu
yang dilihat, didengar, dan dialaminya. Hal itu juga membuat berbeda-bedanya sudut
pandang dan penafsiran seseorang terhadap konten atau isu yang ada di media sosial.
Seperti saat seseorang menilai orang lain dari story yang di bagikannya di Whatsapp
ataupun di Instagram, ia akan menilai buruk dan baik seseorang itu berdasarkan
persepsinya.
Inilah yang disebut Sherif sebagai konsep ego-involvement. Ego-involvement
mengacu pada tingkatan seberapa penting sebuah “tawaran” terhadap kehidupan
seseorang.2 Misalnya, seorang pendaki yang mencap dirinya pecinta gunung, senja
dan kopi, ia akan mem-posting foto-fotonya sedang di gunung minum kopi dengan
caption yang barangkali menyangkut keindahan alam, kopi, dan senja. Orang lain
yang melihat posting-annya akan memiliki penilaian yang berbeda-beda. Ada yang
1
Stephen W. Littlejohn dan Karen A. Foss, Teori Komunikasi, Edisi 9, terj. Mohammad Yusuf Hamdan, (Jakarta:
Salemba Humanika, 2009), hlm. 105-106.
2
Abadi Aulia, “Social Judgment Theory (Teori Pertimbangan Sosial)”,
http://abadiaulia.blogspot.com/2013/01/social-judgment-theory-teori.html?m=1,.
biasa-biasa saja karena memang ia tidak peduli dengan lelaki tersebut. Ada yang
menyukainya dan menyebutnya keren karena ia juga pendaki melankolis yang suka
kopi dan senja. Tetapi ada juga yang justru mencacinya, ia beranggapan bahwa
posting-an dengan caption itu memualkan perutnya karena hal semacam itu cukup
hiperbola untuk hidup yang tidak selalu manis ini.
Sesuai teori Sherif, penilaian yang berbeda-beda itu digolongkan menjadi tiga
respon, yaitu pendapat yang diterima (latitude of acceptance), pendapat yang ditolak
(latitude of rejection), dan pendapat yang tidak diterima dan tidak ditolak (latitude of
no comment). Perbedaan itu pada dasarnya menyebabkan dua hal yaitu kontras dan
asimilasi. “Contrast is a perceptual distortion that leads to polarization of ideas.
Assimilation is the rubberband effect that draws an idea toward the hearer’s anchor,
so that it seems that he and the speaker share the same opinion.”3 Kontras dapat
memicu terjadinya penolakan terhadap apa yang di share orang lain di media sosial
sedangkan asimilasi dapat membuat seseorang menerima apa yang di share oleh
orang lain.
Penerimaan mungkin tidak akan terlalu menjadi masalah di media sosial. Di sisi
lain, penolakan justru berpotensi memunculkan beberapa masalah, seperti ujaran
kebencian, adanya haters serta muncul dan tersebarnya hoaks di media sosial. Semua
masalah yang berawal dari dunia yang kita sebut maya itu justru terbawa dalam realita
kehidupan kita. Banyak kita lihat, beberapa orang tidak saling menyapa lagi satu sama
lain sejak ia merasa tersinggung oleh status seseorang. Ada juga keluarga yang sudah
tidak saling berjumpa lagi semenjak perbedaan pendapat di grup Whatsapp
keluarganya mengenai pemilihan presiden. Bahkan tak jarang juga kita jumpai
seseorang yang jadi gagal move on dan tambah menderita saat melihat posting-an
mantan kekasihnya yang tambah cantik ataupun ganteng bersama kekasihnya yang
baru. Maya dan realita hanya dibatasi kata “dan” pada sekarang ini, benar-benar dekat
dan seringkali disatukan.
Penyatuan ini selaras dengan munculnya pengguna media sosial (netizen) yang
lansung menilai hidup orang lain dari apa yang diunggah oleh orang tersebut. Asumsi-
asumsi netizen ini membuat pengunggah juga ingin mengunggah apa yang disukai
oleh netizen. Mereka memaksakan dirinya agar hidup seperti yang orang lain
inginkan. Bahkan apa yang mereka unggah benar-benar bertolak belakang dengan
kenyataan hidupnya. Misalnya, orang-orang yang tidak pandai bermain gitar tidak
3
Em Griffin, A First Look at Communication Theory, Sixth Edition, (New York: McGraw-Hill, 2006), hlm. 210.
akan segan-segan untuk berfoto dengan gaya seolah-olah ia sedang bermain gitar agar
terlihat keren. Seperti yang juga diungkapkan Fatris MF dalam buku “Lara Tawa
Nusantara”, bahwa ketika mantan pacarnya berlibur ke Bali, ia mengunggah foto-foto
bergaya janggal, salah satunya berjemur di pantai sembari menggunkan alat selam,
meskipun setahu Fatris ia tidak pandai berenang apalagi menyelam dan bahkan ia
makhluk yang paling takut dengan ombak. Selain itu, ada juga orang-orang yang
justru memilih tidak mengunggah apa-apa karena ia takut apa yang ia unggah tidak
disukai oleh orang lain, padahal dalam hatinya ia ingin mengunggah dan membagikan
hal tersebut hingga akhirnya ia menggunggah sesuatu hanya menggunakan menu
“close friend” (terdapat dalam Instagram) ataupun di Whatsapp, membagikan story-
nya dengan menu “hanya dilihat oleh…” Tentu benar kata Tuan Tiga Belas dalam
lagunya “Apa arti kata merdeka?”

Anda mungkin juga menyukai