Anda di halaman 1dari 20

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan rahmat
dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan kasus yang berjudul
“Demam Tifoid”.
Penulisan laporan kasus ini adalah salah satu syarat menyelesaikan Program
Internship Dokter Indonesia.
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada dr.Ibrahim
Muhammad selaku dokter pendamping yang telah meluangkan waktu dan memberi masukan
dalam penyusunan laporan kasus ini sehingga penulis dapat menyelesaikannya.
Penulis menyadari bahwa penulisan laporan kasus ini masih jauh dari kesempurnaan.
Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran dari pembaca demi perbaikan dalam
penulisan laporan kasus selanjutnya. Semoga laporan kasus ini bermanfaat. Akhir kata
penulis mengucapkan terima kasih.

Lubuklinggau , 25 juli 2020

Penulis

1
DAFTAR ISI

Halaman Judul.............................................................................................
Kata Pengantar............................................................................................. 1
Daftar Isi....................................................................................................... 2
Bab 1 Pendahuluan...................................................................................... 3
Bab 2 Tinjauan Pustaka............................................................................... 4
2.1. Definisi.................................................................................................... 4
2.2. Epidemiologi........................................................................................... 4
2.3. Etiologi dan Faktor Resiko...................................................................... 5
2.4. Patogenesis.............................................................................................. 5
2.5. Manifestasi Klinis.................................................................................... 6
2.6. Pemeriksaan Penunjang........................................................................... 7
2.7. Penatalaksanaan....................................................................................... 9
2.8.Komplikasi............................................................................................... 11
2.9. Pencegahan.............................................................................................. 12
Bab 3 Status Pasien...................................................................................... 14
Bab 4 Follow up Harian di Ruangan.......................................................... 17
Bab 5 Kesimpulan........................................................................................ 19
Daftar Pustaka.............................................................................................. 20

2
BAB 1
PENDAHULUAN

Demam tifoid merupakan infeksi akut yang disebabkan oleh bakteri Salmonella enterica
reservoar typhi, umumnya disebut Salmonella typhi (S.typhi). Jumlah kasus demam tifoid di
seluruh dunia diperkirakan terdapat 21 juta kasus dengan 128.000 sampai 161.000 kematian
setiap tahun, kasus terbanyak terdapat di Asia Selatan dan Asia Tenggara (WHO, 2018). Di
Indonesia sendiri demam tifoid merupakan salah satu penyakit endemik yang termasuk dalam
penyakit menular yang tercantum dalam Undang- undang No 6 tahun 1962 tentang wabah.
Demam tifoid merupakan 10 besar penyakit terbanyak pada pasien rawat inap rumah sakit di
Indonesia. Pada tahun 2014 terdapat 17.606 kasus, pada tahun 2015 terdapat 13.397 kasus,
sedangkan pada tahun 2016 terdapat sebanyak 244.071 kasus mengalahkan pneumonia,
leptospirosis, flu singapura dan penyakit lainnya.1
Pada dasarnya demam tifoid merupakan penyakit infeksi akut yang mengenai saluran
pencernaan dengan gejala seperti demam lebih dari tujuh hari, gangguan pada saluran cerna,
dan beberapa kasus yang tergolong berat menyebabkan adanya gangguan kesadaran.2
Demam tifoid disebabkan oleh infeksi bakteri yang bernama bakteri Salmonella typhi.
Bakteri ini merupakan genus Salmonella yang dapat masuk ke dalam tubuh manusia melalui
makanan yang tercemar. Penyebarannya terjadi melalui fecal-oral. Kuman berasal dari tinja
atau urin penderita atau bahkan carrier (pembawa penyakit yang tidak sakit) yang masuk ke
dalam tubuh manusia melalui air dan makanan. Mekanisme makanan dan minuman yang
terkontaminasi bakteri sangat bervariasi. Pernah dilaporkan di beberapa Negara bahwa
penularan terjadi karena masyarakat mengkonsumsi kerang-kerangan yang airnya tercemar
kuman. Kontaminasi juga dapat terjadi pada sayuran mentah dan buah-buahan yang
pohonnya dipupuk menggunakan kotoran manusia. Vektor berupa serangga (Lalat) juga
berperan dalam penularan penyakit (WHO, 2018).
Demam tifoid dapat dicegah dengan menjaga kebersihan air dan makanan serta mencuci
tangan sebelum makan. Selain itu dilakukan vaksinasi pada turis dan orang-orang sehat di
daerah endemic. Untuk tatalaksana atau pengobatan, penggunaan antibiotika merupakan
terapi utama pada demam tifoid karena padadasarnya infeksi dari S. typhi berhubungan
dengan keadaan bakteriemia. Pengobatan demam tifoid dengan menggunakan antibiotika

3
yang empiris dan tepat sangatlah penting, karena dapat mencegah terjadinya komplikasi dan
mengurangi angka kematian.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 DEFINISI
Penyakit demam tifoid merupakan infeksi akut pada usus halus yang disebabkan oleh bakteri
Salmonella enterica reservoar typhi, umumnya disebut Salmonella typhi (S.typhi) dengan
gejala demam lebih dari satu minggu, mengakibatkan gangguan pencernaan dan dapat
menurunkan tingkat kesadaran. Demam tifoid adalah suatu penyakit infeksi sistemik yang
bersifat akut. Gejala klinis dari demam tifoid yaitu demam berkepanjangan, bakterimia, serta
invasi bakteri sekaligus multiplikasi ke dalam sel-sel fagosit mononuklear dari hati, limpa,
kelenjar limfe, usus dan payer’s patch.4
Kelompok penyakit menular ini merupakan penyakit yang mudah menular dan dapat
menyerang banyak orang sehingga dapat menimbulkan wabah. Faktor- faktor yang
mempengaruhi adalah daya tahan tubuh, higienitas, umur, dan jenis kelamin. Infeksi demam
tifoid ditandai dengan bakterimia, perubahan pada sistem retikuloendotelial yang bersifat
difus, pembentukan mikroabses, dan ulserasi plaque peyeri di distal ileum.

2.2 EPIDEMIOLOGI
Demam tifoid adalah infeksi enterik yang disebabkan oleh bakteri Salmonella enterica
serovar Typhi (S. Typhi) dan Paratyphi A, B, dan C (S. Paratyphi A, B, dan C), masing-
masing, secara kolektif disebut sebagai Salmonella tifoid, dan penyebab demam enterik.
Manusia adalah satu-satunya reservoir untuk Salmonella Typhi dengan penularan penyakit
yang terjadi melalui rute fecal-oral, biasanya melalui konsumsi makanan atau air yang
terkontaminasi oleh kotoran manusia. Diperkirakan 17 juta kasus penyakit demam tifoid
terjadi secara global pada tahun 2015 terutama di Asia Selatan, Asia Tenggara, dan Afrika
sub-Sahara, dengan beban dan insiden terbesar yang terjadi di Asia Selatan. Tanpa diobati,
demam tifoid mungkin fatal dengan 178.000 kematian diperkirakan di seluruh dunia pada
tahun 2015.5
Insiden demam tifoid bervariasi berdasarkan usia. Di negara-negara endemik, insiden
tertinggi terjadi pada anak-anak yang lebih muda. Sebuah studi dari tahun 2004

4
menggunakan data dari penelitian yang diterbitkan untuk mengekstrapolasikan tingkat
kejadian berdasarkan kelompok usia dan melaporkan insiden tertinggi pada anak-anak di
bawah usia 5 tahun dalam pengaturan insiden tinggi. Perkiraan model dari 2015 Global
Burden of Disease study (GBD 2015) menunjukkan tifus tingkat insiden demam menurun
seiring pertambahan usia. Selanjutnya, hasil dari studi DOMI yang dilakukan di lima negara
endemik menunjukkan heterogenitas substansial pada insiden demam tifoid di seluruh
kelompok usia. Heterogenitas di seluruh kelompok usia diamati di semua situs studi DOMI
dan situs dari Program Pengamatan Demam Tifoid di Afrika.5

2.3 ETIOLOGIDAN FAKTOR RESIKO


Penyakit tifoid disebakan oleh Salmonella typhi yaitu bakteri enterik gram negatif berbentuk
basil dan bersifat patogen pada manusia. Penyakit ini mudah berpindah dari satu orang ke
orang lain yang kurang menjaga kebersihan diri dan lingkungannya yaitu penularan secara
langsung jika bakteri ini terdapat pada feses, urine atau muntahan penderita dapat menularkan
kepada orang lain dan secara tidak langsung melalui makanan atau minuman.
Salmonella typhi berperan dalam proses inflamasi lokal pada jaringan tempat bakteri
berkembang biak dan merangsang sintesis dan pelepasan zat pirogen dan leukosit pada
jaringan yang meradang sehingga terjadi demam. Jumlah bakteri yang banyak dalam darah
(bakteremia) menyebabkan demam makin tinggi.
Penyakit typoid ini mempunyai hubungan erat dengan lingkungan terutama pada
lingkungan yang penyediaan air minumnya tidak memenuhi syarat kesehatan dan sanitasi
yang buruk pada lingkungan. Faktor-faktor yang mempengaruhi penyakit typoid tersebar
yaitu polusi udara, sanitasi umum, kualitas air temperatur, kepadatan penduduk, kemiskinan
dan lain-lain. beberapa penelitian di seluruh dunia menemukan bahwa laki-laki lebih sering
terkena demam tifoid, karena laki-laki lebih sering bekerja dan makan di luar rumah yang
tidak terjamin kebersihannya. Tetapi berdasarkan dari daya tahan tubuh, wanita lebih
berpeluang untuk terkena dampak yang lebih berat atau mendapat komplikasi dari demam
tifoid. Salah satu teori yang menunjukkan hal tersebut adalah ketika Salmonella typhi masuk
ke dalam sel-sel hati, maka hormon estrogen pada wanita akan bekerja lebih berat.

2.4 PATOGENESIS
Salmonella typhi merupakan bakteri yang dapat hidup di dalam tubuh manusia. Manusia yang
terinfeksi bakteri Salmonella typhi dapat mengekskresikannya melalui sekret saluran nafas,

5
urin dan tinja dalam jangka waktu yang bervariasi. Patogenesis demam tifoid melibatkan 4
proses mulai dari penempelan bakteri ke lumen usus, bakteri bermultiplikasi di makrofag
Peyer’s patch, bertahan hidup di aliran darah dan menghasilkan enterotoksin yang
menyebabkan keluarnya elektrolit dan air ke lumen intestinal.
Bakteri Salmonella typhi bersama makanan atau minuman masuk ke dalam tubuh
melalui mulut. Pada saat melewati lambung dengan suasana asam banyak bakteri yang
mati.Bakteri yang masih hidup akan mencapai usus halus, melekat pada sel mukosa
kemudian menginvasi dan menembus dinding usus tepatnya di ileum dan jejunum. Sel M, sel
epitel yang melapisi Peyer’s patch merupakan tempat bertahan hidup dan multiplikasi
Salmonella typhi. Bakteri mencapai folikel limfe usus halus menimbulkan tukak pada mukosa
usus. Tukak dapat mengakibatkan perdarahan dan perforasi usus.Kemudian mengikuti aliran
ke kelenjar limfe mesenterika bahkan ada yang melewati sirkulasi sistemik sampai ke
jaringan Reticulo Endothelial System (RES) di organ hati dan limpa. Setelah periode
inkubasi, Salmonella Typhi keluar dari habitatnya melalui duktus torasikus masuk ke
sirkulasi sistemik mencapai hati, limpa, sumsum tulang, kandung empedu dan Peyer’s patch
dari ileum terminal. Ekskresi bakteri di empedu dapat menginvasi ulang dinding usus atau
dikeluarkan melalui feses. Endotoksin merangsang makrofag di hati, limpa, kelenjar limfoid
intestinal dan mesenterika untuk melepaskan produknya yang secara lokal menyebabkan
nekrosis intestinal ataupun sel hati dan secara sistemik menyebabkan gejala klinis pada
demam tifoid.
Penularan Salmonella typhi sebagian besar jalur fekal oral, yaitu melalui makanan
atau minuman yang tercemar oleh bakteri yang berasal dari penderita atau pembawa kuman,
biasanya keluar bersama dengan feses. Dapat juga terjadi transmisi transplasental dari
seorang ibu hamil yang berada pada keadaan bakterimia kepada bayinya.7

2.5 MANIFESTASI KLINIS


Penyakit Typhoid Fever (TF) atau masyarakat awam mengenalnya dengan tifus ialah
penyakit demam karena adanya bacteremia oleh S. typhi disertai inflamasi yang dapat
merusak usus dan organ-organ hati. Gejala penyakit ini berkembang selama satu sampai dua
minggu setelah seorang pasien terinfeksi oleh bakteri tersebut. Gejala umum yang terjadi
pada penyakit tifoid adalah Demam naik secara bertangga pada minggu pertama lalu demam
menetap (kontinyu) atau remiten pada minggu kedua. Demam terutama sore/malam hari,
sakit kepala, nyeri otot, anoreksia, mual, muntah, obstipasi atau diare.

6
Demam merupakan keluhan dan gejala klinis terpenting yang timbul pada semua
penderita demam tifoid. Demam dapat muncul secara tiba-tiba, dalam 1-2 hari menjadi parah
dengan gejala yang menyerupai septisemia oleh karena Streptococcus atau Pneumococcus
daripada S. typhi. Sakit kepala hebat yang menyertai demam tinggi dapat menyerupai gejala
meningitis,di sisi lain S. Typhi juga dapat menembus sawar darah otak dan menyebabkan
meningitis.
Manifestasi gejala mental kadang mendominasi gambaran klinis, yaitu konfusi,
stupor, psikotik atau koma. Nyeri perut kadang tak dapat dibedakan dengan apendisitis. Pada
tahap lanjut dapat muncul gambaran peritonitis akibat perforasi usus.8

2.6 PEMERIKSAAN PENUNJANG


A. Darah Tepi
- Leukopenia/normal/leukositosis
- Anemia Ringan
- normal/trombositopenia (pada demam tifoid berat).
- Peningkayan LED
- Peningkatan SGOT/SGPT

B. Kultur
 Kultur darah biasanya positif hanya dalam setengah kasus.
 Kultur tinja biasanya tidak positif selama fase akut penyakit.
 Kultur sumsum tulang meningkatkan hasil diagnostik hingga sekitar 80% dari kasus.
Yang paling banyak digunakan adalah kultur darah dan tinja.Kumpulkan spesimen
darah dan tinja untuk setiap pasien untuk diuji.Untuk kultur darah, penting untuk
menginokulasi media pada saat pengambilan darah. Untuk spesimen lain, disarankan untuk
membuat waktu transportasi ke laboratorium sesingkat mungkin. Lebih penting untuk
memproses spesimen dengan cepat daripada membuatnya tetap dingin. Setelah diinokulasi,
botol kultur darah tidak boleh dingin. Mereka harus diinkubasi pada suhu 37 ° C atau, di
negara tropis, dibiarkan pada suhu kamar, sebelum diproses di laboratorium.
1. Darah
Volume kultur darah adalah salah satu faktor terpenting dalam isolasi S. typhi dari
pasien tifoid: 10-15 ml harus diambil dari anak sekolah dan orang dewasa untuk mencapai
tingkat isolasi yang optimal; Diperlukan 2-4 ml dari balita dan anak-anak prasekolah (13, 17).
Darah harus diambil dengan menggunakan teknik tusukan vena steril dan harus segera
7
diinokulasi ke dalam botol kultur darah dengan jarum suntik yang telah digunakan untuk
pengumpulan.
Untuk membantu interpretasi hasil negatif, volume darah yang dikumpulkan harus dicatat
dengan cermat. Botol biakan darah kemudian harus diangkut ke laboratorium utama pada
suhu sekitar (15 ° C hingga 40 ° C) seperti ditunjukkan di atas. Kultur darah tidak boleh
disimpan atau diangkut pada suhu rendah. Jika suhu sekitar di bawah 15 ° C disarankan untuk
mengangkut kultur darah dalam inkubator. Botol biakan darah harus diangkut ke
laboratorium rujukan pada suhu sekitar.
2. Serum
Untuk tujuan serologis, 1 hingga 3 ml darah harus diinokulasi ke dalam tabung
tanpa antikoagulan. Sampel kedua, jika mungkin, harus dikumpulkan pada tahap pemulihan,
setidaknya 5 hari kemudian. Setelah pembekuan terjadi, serum harus dipisahkan dan
disimpan dalam alikuot 200 ml pada + 4 ° C. Pengujian dapat dilakukan segera atau
penyimpanan dapat dilanjutkan selama seminggu tanpa mempengaruhi titer antibodi. Serum
harus dibekukan pada -20 ° C jika penyimpanan jangka panjang diperlukan.
3. Tinja
Kotoran dapat dikumpulkan dari pasien yang sakit akut dan mereka sangat berguna
untuk diagnosis pembawa tifoid. Isolasi S. typhi dari tinja menunjukkan adanya demam
tifoid. Namun, kondisi klinis pasien harus dipertimbangkan. Spesimen tinja harus
dikumpulkan dalam wadah plastik lebar-mulut yang steril. Kemungkinan mendapatkan hasil
positif meningkat dengan jumlah tinja yang dikumpulkan. Spesimen sebaiknya diproses
dalam waktu dua jam setelah pengumpulan. Jika ada penundaan, spesimen harus disimpan
dalam lemari es pada suhu 4 ° C atau dalam kotak pendingin dengan paket freezer, dan harus
diangkut ke laboratorium dalam kotak pendingin. Kultur tinja dapat meningkatkan hasil
kultur positif hingga 5% pada demam tifoid akut. Jika sampel tinja tidak dapat diperoleh,
apusan rektum yang diinokulasi ke dalam media transportasi Carry Blair dapat digunakan
tetapi ini kurang berhasil.
Diagnosa
 Diagnosis definitif demam tifoid tergantung pada isolasi organisme S. typhi dari darah
atau sumsum tulang atau tinja.
 Tes Widal klasik yang mengukur titer antibodi aglutinating terhadap S. typhi dalam serum
hanya memiliki sensitivitas dan spesifisitas sedang. Ini bisa menjadi negatif hingga 30% dari

8
kasus demam tifoid yang terbukti secara budaya dan dapat menjadi positif palsu dalam
banyak keadaan.9

C. Serologis
- Tes Widal
Uji serologis ini bertujuan untuk mendeteksi antibodi terhadap antigen O dan H dari
Salmonella, tidak dapat diandalkan tetapi masih digunakan di beberapa daerah karena
biayanya yang rendah.
- Uji Tubex
Uji tubex dapat menjadi pemeriksaan ideal, dapat digunakan untuk pemeriksaan secara rutin
karena cepat, mudah dan sederhana, terutama di negara berkembang. Uji tubex merupakan uji
aglutinasi kompetitif semi kuantitatif kolometrik yang. pada intinya mendeteksi adanya
antibodi anti-S typhi O9 pada serum pasien, dengan cara menghambat ikatan antara IgM anti-
O9 yang terkonjugasi pada partikel latex yang berwarna dengan lipopolisakarida. S.typhiyang
terkonjugasi pada partikel magnetik latex. Jika hasil uji tubex positif maka menunjukkan
terdapat infeksi Salmonella serogroup D walaupun tidak secara spesifik menunjukkan pada
S. typhi., sedangkan jika hasil uji tubex negatif kemungkinan menunjukkan terdapat infeksi
oleh S.paratyphiatau penyakit lain. 10
Interpretasi Hasil:
≤ 2       : Negatif (tidak menunjukkan indikasi demam tifoid)
3          : Border line skor (tidak meyakinkan, analisis perlu diulang)
4          : Positif lemah (indikasi demam tifoid)
6-10     : Positif kuat (indikasi kuat demam tifoid)
- Uji Typhidot
Deteksi IgM dan IgG pada protein membrane luar S.thphi. Hasil akan positif pada 2-3 hari
setelah infeksi.
- Uji IgM dipstick
a)Deteksi khusus IgM spesifik S. thypi pada specimen serum/darah
b)Akurat apabila pemeriksaan dilakukan setelah 1 minggu timbul gejala.

Terapi pada demam tifoid adalah untuk mencapai keadaan bebas demam dan gejala,
mencegah komplikasi, dan menghindari kematian. Eradikasi total bakteri untuk mencegah

9
kekambuhan dan keadaan karier merupakan hal yang penting untuk dilakukan. Trilogi
penatalaksanaan demam tifoid yang dimaksud, yaitu :
1. Istirahat dan perawatan.

Tirah baring dengan perawatan sepenunhnya di tempat seperti makan, minum, mandi, buang
air kecil, dan buang air besar akan membantu dan mempercepat masa penyembuhan. Dalam
perawatan, perlu dijaga kebersihan tempat tidur, pakaian, dan perlengkapan yang dipakai.
Posisi pasien perlu diawasi untuk mencegah dekubitus dan penumonia.

2. Diet dan terapi penunjang cukup penting karena makanan yang kurang akan menurunkan
keadaan umum dan gizi penderita akan semakin turun dan proses peyembuhan akan menjadi
lama. Ada pendapat bahwa usus harus diistirahatkan dan untuk menghindari komplikasi
perdarahan saluran cerna atau perforasi usus maka diberikan bubur saring. Namun beberapa
peneliti menunjukkan bahwa pemberian makan padat dini yaitu nasi dengan lauk pauk rendah
selulosa (menghindari sementara sayuran yang berserat) dapat diberikan dengan aman pada
pasien demam tifoid.

3. Pemberian antimikroba yang sering digunakan adalah Kloramfenikol, Tiamfenikol,


Kotrimoksazol, Ampisilin dan Amoksisilin, Sefalosporin Generasi Ketiga, Golongan
fluorokuinolon, dan Kortikosteroid. Antibiotik golongan fluoroquinolone (ciprofloxacin,
ofloxacin, dan pefloxacin) merupakan terapi yang efektif untuk demam tifoid yang
disebabkan isolat tidak resisten terhadap fluoroquinolone dengan angka kesembuhan klinis
sebesar 98%, waktu penurunan demam 4 hari, dan angka kekambuhan dan fecal karier
kurang dari 2%. Fluoroquinolone memiliki penetrasi ke jaringan yang sangat baik, dapat
membunuh S. typhi intraseluler di dalam monosit/makrofag, serta mencapai kadar yang tinggi
dalam kandung empedu dibandingkan antibiotik lain.

Secara umum pengobatan demam tifoid dibagi menjadi 3, yaitu: (1) S. typhi yang
sensitif digunakan florokuinolon (ofloksasin atau siprofloksasin) dan sebagai alternatif
digunakan kloramfenikol, trimetoprim-sulfametoksasol (TMP-SMK), ampisilin dan
amoksisilin; (2) S. typhi yang resisten terhadap beberapa obat digunakan fluorokuinolon
(sefiksim), dan sebagai alternatif digunakan aztromisin; (3) S. typhi resisten terhadap
kuinolon digunakan azitromisin atau sefriakson, dan sebagai alternatif digunakan sefiksim
(WHO 2011).9

10
Table 1. Terapi Antibiotik pada Demam Thypoid berdasarkan WHO 2011

2.8 KOMPLIKASI
Komplikasi yang dapat terjadi, antara lain adalah :11
1) Intestinal

- Perdarahan intestinal
Pada plague peyeri usus yang terinfeksi dapat terbentuk tukak/ luka berbentuk
lonjong dan memanjang terhadap sumbu usus. Bila luka menembus lumen usus dan
mengenai pembuluh darah, maka terjadi perdarahan. Selanjutnya bila tukak menembus
dinding usus maka perforasi dapat terjadi. Selain karena faktor luka, perdarahan juga dapat
terjadi karena gangguan koagulasi darah atau gabungan kedua faktor.
- Perforasi usus
Hal ini biasanya timbul pada minggu ketiga, namun dapat pula terjadi pada minggu
pertama dengan keluhan nyeri perut yang hebat terutama di daerah kuadran kanan bawah
yang kemudian menyebar ke seluruh perut dan disertai dengan tanda-tanda ileus. Bising usus
melemah dan terkadang pekak hati tidak ditemukan karena ada udara bebas di abdomen.
Tanda perforasi lainnya adalah nadi cepat, tekanan darah turun, dan bahkan dapat terjadinya
syok.
- Peritonitis dapat menyertai perforasi atau tanpa perforasi dengan gejala abdomen akut yaitu
nyeri perut yang hebat, dinding abdomen tegang dan nyeri pada tekanan.

2) Ekstra-intestinal

11
Hal ini dapat terjadi karena lokalisasi peradangan akibat sepsis (bakteremia) yaitu meningitis,
kolesistitis, ensefelopati dan lain-lain. Dehidrasi dan asidosis dapat timbul akibat masukan
makanan yang kurang
Komplikasi hematologi berupa trombositopenia, peningkatan prothrombin time,
peningkatan partial thromboplastine time, peningkatan fibrin degradation products sampai
koagulasi intravaskular diseminata (KID) dapat ditemukan pada kebanyakan pasien demam
tifoid.11

2.9 PENCEGAHAN
Secara umum, untuk memperkecil kemungkinan tercemar S. typhi, maka setiap individu
harus memperhatikan kualitas makanan dan minuman yang mereka konsumsi. S. typhi akan
mati dalam air yang dipanaskan setinggi 57oC dalam beberapa menit atau dengan prose
iodinasi/ klorinasi. Vaksinasi atau imunisasi memberikan pendidikan kesehatan dan
pemeriksaan kesehatan secara berkala terhadap penyaji makanan baik pada industri makanan
maupun restoran dapat berpengaruh terhadap penurunan angka kejadian demam tifoid.12
Pencegahan primer dapat dilakukan dengan cara imunisasi dengan vaksin yang dibuat
dari strain Salmonella typhi yang dilemahkan, mengkonsumsi makanan sehat, memberikan
pendidikan kesehatan untuk menerapkan perilaku hidup bersih dan sehat dengan budaya cuci
tangan yang benar dan memakai sabun, meningkatkan higiene makanan dan minuman, dan
perbaikan sanitasi lingkungan. Di Indonesia terdapat tiga jenis vaksin tifoid, yaitu:
1. Vaksin oral Ty 21 a Vivotif Berna

2. Vaksin parenteral sel utuh

3. Vaksin polisakarida Typhin Vi Aventis Pasteur Merrieux.


Pencegahan sekunder dilakukan dengan mendiagnosa penyakit secara dini dan
mengadakan pengobatan yang cepat dan tepat.
Pencegahan tersier adalah upaya yang dilakukan untuk mengurangi keparahan akibat
komplikasi. Apabila telah sembuh sebaiknya tetap menerapkan pola hidup sehat dan pada
penderita carier perlu dilakukan pemeriksaan laboratorium pasca penyembuhan.
Pencegahan demam tifoid melalui gerakan nasional sangat diperlukan karena akan
berdampak cukup besar terhadap penurunan kesakitan dan kematian akibat demam tifoid.
Tindakan preventif dan kontrol penularan kasus luar biasa (KLB) demam tifoid mencakup
banyak aspek, mulai dari segi kuman S. typhi sebagai agen penyakit dan faktor pejamu (host)
serta faktor lingkungan.10
12
Secara garis besar, terdapat tiga strategi pokok untuk memutuskan transmisi tifoid,
yaitu: 11
1. Identifikasi dan eradikasi S. typhi baik pada kasus demam tifoid maupun kasus karier
tifoid. Pelaksanaanya dapat dilakukan secara aktif dengan mendatangi sasaran dan pasif
dengan menunggu bila ada penerimaan pegawai di suatu instansi. Sasaran aktif lebih
diutamakan pada populasi tertentu seperti pengelola sarana makanan/ minuman. Sasaran
lainnya adalah yang terkait dengan pelayanan masyarakat, yaitu petugas kesehatan, petugas
kebersihan, dan lainnya.
2. Pencegahan transmisi langsung dari pasien yang terinfeksi S. typhi akut maupun karier.
Kegiatan ini dilakukan di rumah sakit, klinik, maupun di rumah dan lingkungan sekitar orang
yang telah diketahui pengidap kuman S. typhi.
3. Proteksi pada orang yang berisiko terinfeksi dapat dilakukan dengan cara vaksinasi tifoid
di daerah endemik maupun hiperendemik

13
BAB III
STATUS ORANG SAKIT
Identitas Pasien
Nama : An. El Real Putri
No RM : 190.10.79.2
Jenis Kelamin : Perempuan
Tanggal Lahir : 1 Februari 2015
Usia : 5 tahun 5 bulan
Tanggal Masuk : 23 juli 2020

Anamnesis
Keluhan Utama : Demam
Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien datang ke IGD bersama orangtuanya dengan keluhan demam sejak 5 hari SMRS.
Demam naik turun, pasien sudah mengkonsumsi obat penurun panas, namun dirasakan tidak
membaik. Menurut ibu pasien demam akan meningkat pada sore dan malam hari.Menggigil
disangkal. Mual (-), Riwayat muntah (-) . Nyeri sendi(-), nyeri kepala (-) Bapil (-). BAK dan
BAB dalam batas normal. Ibu pasien mengatakan tidak ada riwayat perjalanan keluar kota.
Ibu pasien mengatakan nafsu makan dan minum menurun.
Riwayat Penyakit Terdahulu : Tidak ada
Riwayat Penggunaan Obat : paracetamol

Pemeriksaan Fisik
Keadaan umum : Sedang
Kesadaran : Kompos Mentis
Tanda Vital
Nadi : 98 x/menit, Reguler, t/v : Cukup
Tekanan darah : -
Frekuensi Nafas : 22 x/menit, Reguler
Temperatur : 38,2 °C
Berat badan : 15Kg

14
STATUS GENERALISATA
Kepala
Mata : Reflek cahaya (+/+), pupil isokor, konjungtiva palpebra inferior
pucat (-/-), sklera ikterik (-/-)
Telinga : Discharge (-), liang telinga normal
Hidung : Discharge (-) , Septum deviasi (-)
Tenggorokan : Pembesaran tonsil (-), tonsil hiperemis (-)
Mulut : Bibir kering (-) , Sianosis (-) Lidah: baslag (+)
Leher : Pembesaran kelenjar getah bening (-), pembesaran tiroid(-), TVJ : R
+ 2 cmH20

Toraks
Pulmo
Inspeksi : dada ki/ka simetris
Palpasi : Stem fremitus kanan = kiri
Perkusi : sonor (ka/ki)
Auskultasi : Suara pernafasan : vesikuler (+/+)
Suara Tambahan : - / -
Jantung
Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak
Palpasi : Ictus cordis teraba 1cm ICS V/VI LMCS
Perkusi : Atas : ICS II LMCS; Kanan : ICS IV LPSD; Kiri : ICS V 1cm medial
LMCS
Auskultasi : Bunyi jantung S1, S2 (+) N, murmur (-)

Abdomen
Inspeksi : Simetris
Palpasi : Soepel, hepar dan lien tidak teraba. Nyeri tekan epigastrium (-)
Perkusi : Timpani
Auskultasi : Peristaltik (+)

15
Genitalia : Perempuan

Ekstremitas
Pulse : 98 x/menit, Reguler
Superior : akral hangat, sianosis (-) , edema (-/-)
Inferior : akral hangat, sianosis (-), edema (-/-)

Diagnosa Kerja : Demam Thypoid


Terapi :
- Tirah baring
- IVFD DS 1/2fls gtt 15x/m
-Ganti RL 1 kolf/8 jam
- Paracetamol infus 4X20cc
- Inj. Ceftriaxone 1X1gr Drip

Rencana :
- Cek Laboratorium (Darah lengkap, KGD, Widal)

Hasil Laboratorium
Tgl : 23/07/2020
Jenis Pemeriksaan Hasil Rujukan
Hematologi
Hemoglobin (HGB) 13,4 g/dL 11,5-13,5
Eritrosit (RBC) 4,6 juta/ Μl 3,9 – 5,3
Leukosit (WBC) 5600 / μL 5.000 – 14.500
Hematokrit 37 % 34 – 40
Trombosit (PLT) 46.000/μL 150.000-450.000
Metabolisme Karbohidrat
Glukosa Darah (sewaktu) 77 mg/dL 74-139 mg/dl
Imuno-Seriologi
Widal Slide
Typhi H 1/160 negatif
Paratphi A-H 1/80 negatif
Typhi O 1/320 negatif
Paratyphi A-O 1/160 negatif
16
BAB IV
FOLLOW UP
HARIAN DI RUANGAN

23 juli 2020
S Demam (-)
O Sensorium :Compos mentis
BB: 15Kg
HR : 98x/i
Temp : 37C
RR : 22 x/i
Pemeriksaan fisik :
Kepala : Hidung: epistaksis
Leher : dalam batas normal
Thoraks :
Suara pernafasan :vesicular (+/+)
Suara tambahan :-
Abdomen :Soepel, normoperistaltik, hepar/lien/renal: tidak teraba nyeri tekan
epigastrium (-)
Ekstremitas :oedem (-/-)
A Demam typoid + DBD II
P - Tirah baring
- IVFD Ringer Laktat 1kolf/8 jam
- Inj. Ceftriaxon 1g /24 jam/IV
-Inj. Omeprazole 15mg/24jam
-Paracetamol infus 20cc/6 jam IV
-PSDII syr 1cth /6jam PO

24 juli 2020
S Demam (-)
O Sensorium :Compos mentis
BB: 15Kg
HR : 100x/i

17
Temp : 37 C
RR : 20 x/i
Pemeriksaan fisik :
Kepala : dalam batas normal
Leher : dalam batas normal
Thoraks :
Suara pernafasan : vesicular (+/+)
Suara tambahan :-
Abdomen :Soepel, normoperistaltik, hepar/lien/renal: tidak teraba nyeri tekan
epigastrium (-)
Ekstremitas :oedem (-/-)

A Demam typoid + DBD II


P - Tirah baring
- Observasi keluhan
- Kaji TTV
- Monitoring suhu tubuh
- Anjurkan kompres hangat
- Kolaborasi pemberian terapi obat

BAB V
KESIMPULAN

18
An.ERP, Perempuan, 5 Tahun 5 Bulan, datang ke IGD bersama orangtuanya dengan keluhan
demam yang sejak 5 hari SMRS. Demam naik turun, demam akan meningkat pada sore dan
malam hari. Mual (-), Riwayat muntah (-) .BAK dan BAB dalam batas normal. Pada
pemeriksaan fisik suhu diukur 38,2 C. Dari pemeriksaan Widal test pasien dinilai memiliki
indikasi terinfeksi S.thpy namun pada hasil darah lengkap nilai trombosit menurun. Akhirnya
pasien didiagnosa dengan Demam Tifoid dan DBD II, pasien dirawat dan diberikan
tatalaksana berupa:Tirah baring, IVFD Ringer Laktat 1 kolf/8jam, Inj. Ceftriaxon 1g /24
jam/IV, Inj. Omeprazole 15mg/24jam, Paracetamol infus 20cc/6 jam IV, PSDII syr 1cth
/6jam PO. Setelah hari rawatan ke 2 kondisi pasien membaik, dan masih dalam perawatan
lanjutan.

DAFTAR PUSTAKA

19
1. Afifah , N.R, Pawenang ,E.T. 2019. Kejadian Demam Tifoid pada Usia 15-44 Tahun
.Semarang : HIGEIA JOURNAL OF PUBLIC HEALTH RESEARCH AND
DEVELOPMENT.
2. Akhsin, Z. Parasitologi. 1. Yogyakarta: Nuha Medika. 2010.
3. Sidabutar, S., Satari, H.I. Pilihan terapi empiris demam tifoid pada anak: Kloramfenikol
atau Ceftriaxone?.Sari Pediatri :2010; 11(6) : 205-210
4. Soedarmo, et al. Buku Ajar Infeksi dan Pediatri Tropis. Badan Penerbit IDAI: Jakarta
2008.
5. Ardiaria.M.2019.EPIDEMIOLOGI,MANIFESTASI KLINIS, DAN
PENATALAKSANAAN DEMAM TIFOID. JNH (Journal of Nutrition and Health).
6. Sherwood L. Energy Balance and Temperature Regulation. Dalam: Sherwood L, Editor
Human Physiology. From Cells To Systems. Edisi Keempat. Australia: Brooks/Cole;
2001. 613-4.
7. Dougan, G., & Baker, S. Salmonella Entericaserovar Typhi And The Pathogenesis Of
Typhoid Fever. Annual Review Of Microbiology. 2014; 68(1): 317–336.
8. Cita, Yatnita Parama. Bakteri Salmonella Typhi dan Demam Tifoid. Jurnal Kesehatan
Masyarakat. 2011, Vol. 6, No.L.
9. Guidelines for the management of Typhoid Fever. 2011.
Sumber :https://apps.who.int/medicinedocs/documents/s20994en/s20994en.pdf
10. Sudoyo Aru W; Bambang Setiyohadi; Idrus Alwi; Marcellus Simadibrata K. dan Siti SetiatiL:
2009. Dalam: Aru W.Sudoyo, Buku Ajar, Ilmu Penyakit Dalam. Edisi Kelima.Jilid
III.InternaPublishing. Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam, Diponogoro 71 Jakarta Pusat.p.
2797-805
11. Widodo, J., 2006, Demam Tifoid, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Pusat Penerbitan
Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKIU, Jakarta
12. Soedarmo, S.P., Garna, H., Hadi Negoro, S.R., 2002, Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak :
Infeksi dan Penyakit Tropis, Edisi I, Hal 367-375, FKUI, Jakarta
1.

20

Anda mungkin juga menyukai