Anda di halaman 1dari 18

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Kadar bilirubin serum oramg normal umunya kurang lebih 0,8 mg % (17
mmol/l), akan tetapi kira-kira 5% orang normal memiliki kadar yang lebih
tinggi (1-3 mg/dl). Bila penyebabnya bukan karena hemolisis atau penyakit
hati kronik maka kondisi ini biasanya disebabkan oleh kelainan familial
metabolisme bilirubin, yang paling sering adalah sindrom gilbert. Sindrom
lainnya juga sering ditemukan, prognasisnya baik diagnosis yang akurat
terutama pada penyakit hari kronik sangat penting untuk penatalaksanaan
pasien. Adanya riwayat keluarga, lamanya penyakit serta tidak ditemukan
adanya pertanda penyakit hati dan splenomegali, serum transaminase normal
dan bila perlu dilakukan biopsi hati. (Aru W. Sudoyo)

Hiperbilirubinemia merupakan salah satu fenomena klinis yang paling sering


ditemukan pada bayi baru lahir. Sekitar 25-50% bayi baru lahir menderita ikterus
pada minggu pertama.hiperbilirubinemia adalah peningkatan kadar plasma
bilirubin, standar deviasi atau lebih dari kadar yang diharapkan berdasarkan umur
bayi atau lebih dari 90 persen. Dalam perhitungan bilirubin terdiri dari bilirubin
direk dan bilirubin indirek. Peningkatan bilirubin indirek terjadi akibat produksi
bilirubin yang berlebihan, gangguan pengambilan bilirubin oleh hati, atau
kelainan konjugasi bilirubin. Setiap bayi dengan ikterus harus mendapatkan
perhatian, terutama ikterus ditemukan dalam 24 jam pertama kehidupan bayi atau
bila kadar bilirubin indirek meningkat 5 mg/ dL dalam 24 jam dan bilirubin direk
< 1 mg/ dL merupakn keadaan yang menunjukan kemungkinan adanya ikterus
patologis.

Hiperbilirubinemia dianggap patologis apabila waktu muncul, lama atau kadar


bilirubin serum yang ditentukan berbeda secara bermakna dari ikterus fisiologis.
Gejala paling mudah diidentifikasi adalah ikterus yang didefinisikan sebagai kulit

1
dan selaput lendir menjadi kuning. Ikterus terjadi apabila terdapat akumulasi
bilirubin dalam darah.

B. Rumusan Masalah
1. Pengertian hiperbilirubinemia?
2. Bagaimana metabolisme bilirubin?
3. Bagaimana patofisiologi hiperbilirubinemia?
4. Bagaimana etiologi hiperbilirubinemia?
5. Bagaimana epidemiologi hiperbilirubinemia?
6. Bagaimana manifestasi klinis hiperbilirubinemia?
7. Bagaimana pemeriksaan fisik hiperbilirubinemia?
8. Bagaimana pemeriksaan labolatorium hiperbilirubinemia?
9. Bagaimana diagnosa keperawatan hiperbilirubinemia?
10. Bagaimana intervensi keperawatan hiperbilirubinemia?
C. Tuuan pembahasan
1. Tujuan khusus
Untuk mengetahui asuhan keperawatan pada pasien dengan kasus
hiperbilirubinemia
2. Tujuan umum
a) Untuk mengetahui pengertian hiperbilirubinemia
b) Untuk mengetahui metabolisme hiperbilirubinemia
c) Untuk mengetahui patofisiologi dari penyakit
hiperbilirubinemia
d) Untuk mengetahui etiologi dari penyakit hiperbilirubinemia
e) Untuk mengetahui epidemiologi dari penyakit
hiperbilirubinemia
f) Untuk mengetahui manifestasi klinis hiperbilirubinemia
g) Untuk mengetahui pemeriksaan fisik dari penyakit
hiperbilirubinemia

2
h) Untuk mengetahui pemeriksaan labolatorium
hiperbilirubinemia
i) Untuk mengetahui diagnosa keperawatan hiperbilirubinemia
j) Untuk mengetahui intervensi keperawatan hiperbilirubinemia

3
BAB II

PEMBAHASAN

1. Pengertian

Hiperbilirubinemia adalah istilah yang dipakai untuk ikterus


neonatorum setelah ada hasil labolatorium yang menunjukan peningkatan
kadar serum bilirubin. Hiperbilirubinemia fisiologis yang memerluka
terapi sinar, tetap tergolong non patologis sehingga disebut ‘Excessive
Physiological Jaundice’. Digolongkan sebagai hiperbilirubinemia
patologis (‘Non Physiologis Jaundice’) apabila kadar serum bilirubin
terhadap usia neonatus > 95% menurut normagram bhutani.

Hiperbilirubinemia adalah salah satu masalah paling umum yang


dihadapi dalam jangka bayi yang baru lahir. Secara historis, manajemen
berasal dari studi toksisitas bilirubin pada dengan penyakit hemolitik.
Rekomendasi yang lebih baru mendukung penggunaan terapi yang kurang
intensif dalam jangka bayi yang sehat dengan sakit kuning. (Ely Susan,
2011)

Hiperbilirubinemia merupakan suatu kondisi bayi baru lahir


dengan kadar bilirubin serum total lebih dari 10 mg% pada minggu
pertama yang ditandai dengan ikterus, yang dikenal dengan ikterus
neonatorum patologis. Hiperbilirubinemia yang merupakan suatu keadaan
meningkatnya kadar bilirubin di dalam jaringan ekstravaskular, sehingga
konjungtiva, kulit, dan mukosa akan berwarna kuning. Keadaan tersebut
juga bisa berpotensi besar terjadi ikterut, yaitu kerusakan otak akibat
perlengketan bilirubin indirek pada otak. Bayi yang mengalami
hiperbilirubinemia memiliki ciri sebagai berikut : adanya ikterus terjadi
pada 24 jam pertama, peningkatan kosentrasi bilirubin serum 10 mg%
pada neonatus yang kurang bulan, ikterus disertai dengan proses hemolisis
kemudian ikterus yang disertai dengan keadaan berat badan lahir kurang

4
dari 2000 gram, masa gestasi kurang dari 36 minggu, asfiksia, hipoksia,
sindrom gangguan pernafasan, dan lain-lain.

2. Metabolisme Bilirubin
Bilirubin merupakan produk yang bersifat toksik dan harus
dikeluarkan oleh tubuh. Sebagian besar bilirubin tersebut berasal dari
degradasi hemoglobin darah dan sebagian lagi dari proses eritropoesis
yang tidak efektif. Pembentukan bilirubin tadi dimulai dengan proses
oksidasi yang menghasilkan biliverdin serta beberapa zat lain. Beliverdin
inilah yang mengalami reduksi dan menjadi bilirubin bebas atau bilirubin
indirek. Zat ini sulit larut dalam air tetapi larut dalam lemak, karenanya
mempunyai sifat lipofilik yang sulit diekskresi dan mudah melalui
membran biologik seperti plasenta dan sawar darah otak. Bilirubin bebas
tersebut kemudian bersenyawa dengan albumin dan dibawa ke hepar.
Dalam hepar terjadi mekanisme ambilan, sehingga bilirubin terikat oleh
reseptor membran sel hepar dan masuk ke dalam hepar. Segera setelah ada
dalam sel hepar terjadi persenyawaan ligandin dan glutation hepar lain
yang membawanya ke retkulum endoplasma hepar, tempat terjadinya
konjungasi. Proses ini timbul berkat adanya enzim glukoronil transferase
yang kemudian menghasilkan bentuk bilirubin direk. Jenis bilirubin ini
dapat larut dalam air dan pada kadar tertentu dapat diekskresi melalui
ginjal. Sebagian besar bilirubin yang berkonjugasi ini diekskresi melalui
duktus hepatikus ke dalam saluran pencernaan dan selanjutnya menjadi
urubilinogen dan keluar dengan tinja sebagai sterkobilin. Dalam usus,
sebagian di absorsi kembali oleh mukosa usus dan terbentukalah proses
absorsi entero hepatik.
3. Patosifisiologi
a. Saat eritrosit hancur di akhir siklus neonatus, hemoglobin pecah
menjadi fragmen globin (protein) dan heme (besi)
b. Fragmen heme membentuk bilirubin tidak terkonjugasi (indirek), yang
berkaitan dengan albumin untuk dibawa ke sel hati agar berkonjugasi
dengan glukuronid, membentuk bilirubin direk.

5
c. Karena bilirubin terkonjugasi dapat larut dalam lemak dan tidak dapat
diekskresikan di dalam urin atau empedu, bilirubin ini dapat keluar
menuju jaringan ekstravaskular, terutama jaringan lemak dan otak,
mengakibatkan hiperbilirubinemia.
d. Hiperbilirubinemia dapat berkembang ketika :
- Faktor tertentu menggangu konjugasi dan merebut sisi yang
mengikat albumin, termasuk obat (seperti aspirin, penenang dan
sulfonamide) dan gangguan ( seperti hipotermia, anoreksia,
hipoglikemia, dan hipoalbuminemia)
- Penurunan fungsi hati yang menyebabkan penurunan konjugasi
bilirubin
- Peningkatan produksi atau inkompatibilitas Rh atau ABO
- Obstruksi bilier atau hepatitis mengakibatkan sumbatan pada aliran
empedu yang normal.

Bilirubin adalah produk penguraian heme. Sebagian besar (85-


90%) terjadi dari penguraian hemoglobin dan sebagian kecil (10-15%)
dari senyawa lain seperti mioglobin. Sel retikuloendotel menyerap
kompleks haptoglobin dengan hemoglobin yang telah dibebaskan dari
sel darah merah. Sel-sel ini kemudian mengeluarkan besi dari heme
sebagai cadangan untuk sintesis berikutnya dan memutuskan cincin
heme untuk mengahasilkan tertapirol bilirubin, yang disekresikan
dalam bentuk yang tidak larut dalam air (bilirubin tak terkonjugasi,
indirek). Karena ketidaklarutan ini, bilirubin dari albumin dan
menyebabkan larutnya air dengan mingikat bilirubin keasam
glukoronat (bilirubin terkonjugasi, direk).

Dalam bentuk glukoronida terkonjugasi, bilirubin yang larut


tersebut masuk ke sistem empedu untuk diekskresikan. Saat masuk ke
dalam usus, bilirubin diuraikan oleh bakteri kolon menjadi
urobilinogen. Urobilinogen dapat diubah menjadi sterkobilin dan
diekskresikan sebagai feses. Sebagian urobilinogen direabsorsi dari

6
usus melalui jalur enterhepatik, dan darah porta membawanya kembali
ke hati. Urobilinogen daur ulang ini umumnya diekskresikan ke dalam
empedu untuk kembali dialirkan ke usus, tetapi sebagian dibawa ke
sirkulasi sistemik ke ginjal, tempat zat ini diekskresikan sebagai
senyawa larut air bersama urin.

Hiperbilirubinemia dapat disebabkan oleh pembentukan bilirubin


yang melebihi kemampuan hati normal untuk ekskresikannya atau
disebabkan oleh kegagalan hati (karena rusak) untuk mengekskesikan
bilirubin yang dihasilkan dalam jumlah normal. Tanpa adanya
kerusakan hati, obstruksi saluran ekskresi hati juga akan menyebabkan
hiperbilirubinemia. Pada semua keadaan ini, bilirubin tertimbun di
dalam darah dan jika konsentrasinya mencapai nilai tertentu (sekitar 2-
2,5 mg/dL), senyawa ini akan berdifusi ke dalam jaringan yang
kemudian menjadi kuning.

4. Etiologi
Penyebab dari hiperbilirubinemia terdapat beberapa faktor. Secara garis
besar, penyebab dari hiperbilirubinemia adalah:
a. Produksi bilirubin yang berlebihan
Hal ini melebihi kemampuan bayi untuk mengeluarkannya,
misalnya pada emolisis yang meningkat padainkompatibilitas Rh,
ABO, golongan darah lain, defisiensi G6PD, piruvat kinase,
perdarahan tertutup dan sepsis.
b. Gangguan dalam proses uptake dan konjugasi hepar
Gangguan ini dapat disebabkan oleh imaturasi hepar, kurangnya
susbstrat untuk konjugasi bilirubin, gangguan fungsi hepar, akibat
asidosis, hipoksia dan infeksi atau tidak terdapatnya enzim glukorinil
transferase (sindrom criggler najjar). Penyebab lain adalah defisiensi
protein Y dalam hepar yang berperanan penting dalam uptake bilirubin
ke sel hepar
c. Gangguan transportasi

7
Bilirubin dalam darah terikat pada albumin kemudian diangkut ke
hepar. Ikatan bilirubin dengan albumin ini dapat dipengaruhi oleh obat
misalnya salisilat, sulfarazole. Defisiensi albumin menyebabkanlebih
banyak terdapatnya bilirubin indirek yang bebas dalam darah yang
mudah melekat ke sel otak
d. Gangguan dalam eksresi
Gangguan ini daoat terjadi akibat obstruksi dalam hepar atau di
luar hepar. Kelainan di luar hepar biasanya diakibatkan oleh kelainan
bawaan. Obstruksi dalam hepar biasanya akibat infeksi atau kerusakan
hepar oleh penyebab lain
5. Epidemiologi
Hiperbilirubinemia noenatal sangat umum karena hampir setiap bayi
baru lahir mengalami tingkat serum bilirubintak terkonjugasi lebih dari
30 mmol/ L (1,8 mg/dL) selama minggu pertama kehidupan. Angka
kejadian sulit untuk membandingkan karena banyak peneliti berbeda
yang tidak menggunakan definisi yang sama untuk hiperbilirubinemia
neonatal signifikan atau penyakit kuning. Selain itu, identifikasi bayi
yang akan diuji tergantung pada pengakuan visual dari penyakit
kuning oleh penyedia layanan kesehatan, yang sangat bervariasi dan
tergantung baik pada perhatian pengamat dan pada karakteristik bayi
seperti ras dan usia kehamilan.
Dalam sebuah studi tahun 2003 di Amerika Serikat, 4,3% dari 47.801
bayi memiliki total serum bilirubin. Dalam rentang dimana fototerapi
direkomendasikan leh tahun 1994 American Academy of Pediatrics
(AAP) pedoman, dan 2,9 % memiliki nilai dalam rentang di mana
tahun 1994 AAP pedoman menyarankan fototerapi
mempertimbangkan.
Risiko pengembangan penyakit kuning neonatal signifikan lebih tinggi
pada bayi laki-laki. Ini tidak muncul terkait dengan tingkat produksi
bilirubin, yang mirip dengan yang ada di bayi perempuan. Risiko

8
penyakit kuning nernatal signifikan bebanding terbalik dengan usia
kehamilan.
6. Manifestasi klinis
a. Ikterus terjadi 24 jam
b. Peningkatan kosentrasi bilirubin 5 mg% atau lebih setiap 24 jam
c. Kosentrasi bilirubin serum sewaktu 10 mg% pada neonatus kurang
bulan dan 12,5 mg% pada neonatus cukup bulan
d. Ikterus yang disertai proses hemolisis (inkompabilitas darah, defisiensi
enzim G6PD (glukosa 6 phosphat dehydrogenase)
e. Ikterus yang disertai keadaan berikut:
1. Berat lahir kurang dari 2000 gram
2. Masa gestasi kurang dari 36 minggu
3. Infeksi
4. Gangguan pernafasan
7. Pemeriksaan fisik
Secara klinis, ikterus pada neonatus dapat dilihat segera stelah lahir
atau setelah beberapa hari. Amati ikterus pada siang hari dengan lampu
sinar yang cukup. Ikterus akan terlihat lebih jelas dengan sinar lampu
dan bisa tidak terlihat dengan penerangan yang kurang, terutama pada
neonatus yang berkulit gelap. Penilaian ikterus akan lebih sulit lagi
apabila penderita sedang mendapatkan terapi sinar.
Salah satu car pemeriksaan derajat kuning pada neonatus secara klinis,
mudah dan sederhana adalah dengan penilaian. Caranya dengan jari
telunjuk ditekankan pada tempat-tempat yang tulangnya menonjol
seperti tulang hidung, dada, lutut, dan lain-lain. Tempat yang ditekan
akan tampak pucat dan kuning. Waktu timbulnya ikterus mempunyai
arti penting pula dalam diagnosis dan penatalaksanaan penderita
karena saat timbulnya ikterus mempunyai kaitan erat dengan
kemungkinan penyebab ikterus tersebut.
8. Pemeriksaan laboratorium

9
Pemeriksaan serum bilirubin (bilirubin total dan direk) harus di
lakukan pada neonatus yang mengalami ikterus. Terutama pada
bayi yang tampak sakit atau bayi-bayi yang tergolong risiko tinggi
terserang hiperbilurubinemia berat. Namun pada bayi yang
mengalami ikterus berat, lakukan terapi sinar sesegera mungkin,
jangan menunda terapi sinar dengan menunggu hasil pemeriksaan
kadar serum bilirubin.
Transcutaneous bilirubin (TcB)’ dapat digunakan untuk
menentukan kadar serum bilirubin total, tanpa harus mengambil
sampel darah. Namun alat ini hanya valid untuk kadar bilirubin
total <15mg/dL (<257 πmol/L), dan tidak ‘reliable’ pada kasus
ikterus yang sedang mendapat terapi sinar.
Pemeriksaan tambahan yang sering di lakukan untuk evaluasi
menentukan penyebab ikterus antara lain :
a. Golongan darah dan ‘coombs test’
b. Darah lengkap dan hapusan darah
c. Hitung retikulosit, scrining G-6-PD
d. Bilirubin direk

Pemeriksaan serum bilirubin total harus diulang setiap 4-24 jam


tergantung usia bayi dan tingginya kadar bilirubin. Kadar serum albumin
juga perlu diukur untuk menentukan pilihan terapi sinar ataukah tranfusi
tukar.

9. Diagnosa keperawatan
a. Gangguan integritas kulit berhubungan dengan peningkatan kadar
bilirubin indirek dalam darah, ikterus pada sclera leher dan badan
b. Resiko tinggi kekurangan volume cairan akibat efek samping
fototerapi berhubungan dengan pemaparan sinar dengan intensitas
tinggi
c. Resiko terjadi gangguan suhu akibat efek samping fototerapi
berhubungan dengan prosedur invasif, profil darah abnormal

10
d. Kurang pengetahuan keluarga mengenai kondisi, prognosis dan
kebutuhan tindakan berhubungan dengan kurangnya paparan informasi

10. Intervensi keperawatan

N Diagnosa Tujuan dan Kriteria Intervensi Rasional


O Keperawatan Hasil Keperawatan
1. Gangguan Setelah dilakukan a. Monitor warna a. Warna kulit
integritas kulit tindakan keperawatan dan keadaan kekuningan
berhubungan selama proses kulit setiap 4 – sampai jingga
dengan keperawatan diharapkan 8 jam yang semakin
peningkatan kadar integritas kulit kembali b. Monitor pekat
bilirubin indirek baik/ normal keadaan menandakan
dalam darah, a. Kadar bilirubin bilirubin direk kosentrasi
ikterus pada sclera dalam batas dan indirek bilirubin
leher dan badan normal (0,2 – 1,0 (kolaborasi indirek dalam
mg/dl) dengan dokter darah tinggi
b. Kulit tidak dan analis) b. Kadar bilirubin
berwarna kuning/ c. Ubah posisi indirek
warna kuning miring atau merupakan
mulai berkurang tengkurap. indikator berat
c. Tidak timbul Perubahan ringan
lecet akibat posisi setiap 2 joundice yang
penekanan kulit jam diderita
yang terlalu lama berbarengan c. Menghindari
dengan adanya
perubahan penekanan
posisi lakukan pada kulit

11
massage dan yang terlalu
monitor lama sehingga
keadaan mencegah
d. Jaga terjadinya
kebersihan dekubitus atau
kulit dan iritasi pada
kelembapan kulit bayi
kulit/ d. Kulit yang
memandikan bersih dan
dan pemijatan lembab
bayi membantu rasa
nyaman dan
tenghindar dari
kulit bayi
mengelupas
atau bersisik
2. Resiko tinggi Setelah diberikan asuhan a. Pantau a. Bayi dapat
kekurangan keperawatan cairan tubuh masukan dan tidur lebih
volume cairan neonatus adekuat cairan, lama dalam
akibat efek a. Tugor kulit baik timbang berat hubungannya
samping fototerapi b. Membran mukosa bayi 2 kali dengan
berhubungan lembab sehari fototerapi,
dengan pemaparan c. Intake dan output b. Perhatikan meningkatkan
sinar dengan cairan seimbang tanda-tanda resiko
intensitas tinggi d. Nadi, respirasi dehidrasi (mis: dehidrasi bila
dalam batas penurunan jadwal
normal ( N: 120- urin, fontanel pemberian
160 x/menit, RR : tertekan, kulit makan yang
35 x/menit, suhu hangat atau sering tidak di
(36,5 – 37,5 oC) kering dengan pertahankan.
turgor buruk, b. Peningkatan

12
mata cekung) kehilangan air
c. Perhatikan melalui feses
warna dan dan evaporasi
frekuensi dapt
defekasi dan menyebabkan
urine dehidrasi.
d. Tingkatkan c. Defeksi encer,
masukan sering dan
cairan per oral kehijauan serta
sedikit 25%. urine
Beri air kehijauan
diantara menandakan
menyusui atau keefektifan
memberi susu fototerapi
botol dengan
e. Pantau turgor pemecahan
kulit dan ekskresi
f. Berikan cairan bilirubin.
per parental Feces yang
sesuai indikasi encer
meningkatkatk
an risiko
kekurangan
volume cairan
akibat
pengeluaran
cairan
berlebih.
d. Meningkatkan
input cairan
sebagai

13
kompensasi
pengeluaran
feces yang
encer sehingga
mengurangi
risiko bayi
kekurangan
cairan.
e.  Turgor kult
yang buruk,
tidak elastis
merupakan
indikator
adanya
kekurangan
volume cairan
dalam tubuh
bayi.
f. Mungkin perlu
untuk
memperbaiki
atau mencegah
dehidrasi
berat.
3. Resiko terjadi Setelah diberikan asuhan a. Pantau kulit a. Fluktuasi pada
gangguan suhu keperawatan diharapkan neonatus dan suhu tubuh
akibat efek tidak terjadi gangguan suhu inti setiap dapat terjadi
samping fototerapi suhu tubuh. 2 jam atau sebagai respon
berhubungan a. Suhu tubuh dalam lebih sering terhadap
dengan prosedur rentang normal sampai stabil pemajanan
invasif, profil (36,5 0C – 37 0C ) ( mis : suhu sinar, radiasi

14
darah abnormal b.  Nadi dan aksila). Atur dan konveksi.
respirasi dalam suhu incubator b. Peningkatan
batas normal ( N : dengan tepat. suhu tubuh
120-160 x/menit, dapat terjadi
b. Monitor  nadi,
RR : 35 x/menit ) karena
dan respirasi
c. Membran mukosa dehidrasi
lembab c. Monitor intake akibat paparan
dan output
sinar dengan
d. Pertahankan intensitas
suhu tubuh
tinggi sehingga
36,5 0C – 37
0
C, jika akan
demam mempengaruhi
lakukan
nadi dan
kompres/
axilia respirasi,
sehingga
e. Cek tanda-
peningkatan
tanda vital
setiap 2-4 jam nadi dan
sesuai yang respirasi
dibutuhkan
merupakan
f. Kolaborasi aspek penting
pemberian
yang harus di
antipiretik jika
demam. waspadai.
c. Intake yang
cukup dan
output yang
seimbang
dengan intake
cairan dapat
membantu
mempertahank
an suhu tubuh

15
dalam batas
normal.
d. Suhu dalam
batas normal
mencegah
terjadinya
cold/ heat
stress.

e. Untuk
mengetahui
keadaan umum
bayi sehingga
memungkinka
n pengambilan
tindakan yang
cepat ketika
terjadi suatu
keabnormalan
dalam tanda-
tanda vital.
f. Antipiretik
cepat
membantu
menurunkan
demam bayi.

16
BAB III

PENUTUP

a. Kesimpulan
Hiperbilirubinemia adalah istilah yang dipakai untuk ikterus
neonatorum setelah ada hasil labolatorium yang menunjukkan peningkatan
kadar serum bilirubin. Hiperbilirubinemia fisiologis memerlukan terapi
sinar, tetap tergolongkan sebagai non patologis sehingga disebut
‘Excessive Physiological Jaundice’. Digolongkan sebagai
hiperbilirubinemia patologis (‘Non Physiological Jaundice’) apabila kadar
serum bilirubin terhadap usia neonatus >95% menurut normagram
bhutani.
Bilirubin adalah produk penguraian heme. Sebagian besar (85-
90%) terjadi dari penguraian hemoglobin dan sebagian kecil (10-15%) dari
senyawa lain seperti mioglobin. Sel retikuluoendotel menyerap kompleks
haptoglobin dengan hemoglobin yang telah dibebaskan dari sel darah
merah. Sel-sel kemudian mengeluarkan besi dari heme sebagai cadangan
untuk sintesis berikutnya dan memutuskan cincin heme untuk
menghasilkan tertapirol bilirubin, yang disekresikan dalam bentuk yang
tidak larut dalam air (bilirubin tak terkonjugasi, indirek). Karena
ketidaklarutan ini, bilirubin dalam plasma terikat ke albumin untuk
diangkut dalam medium air. Sewaktu zat ini beredar dalam tubuh
melewati lobulus hati, hepatosit melepas bilirubin dari albumin dan
menyebabkan larutnya air dengan mengikat bilirubin keasam glukoronat
(bilirubin terkonjugasi, direk).

17
Penyebab dari hiperbilirubinemia terdapat beberapa faktor. Secara
garis besar , penyebab hiperbilirubinemia adalah : produksi bilirubin yang
berlebihan, gangguan dalam proses uptake dan konjugasi hepar, gangguan
transportasi, dan gangguan dalam ekskresi

b. Saran

Kritik dan saran yang membangun dari pembaca sangat diharapkan demi
kesempurnaan penulisan makalah di kemudian hari.

Lampiran

18

Anda mungkin juga menyukai