Anda di halaman 1dari 11

57

BAB IV
PEMBAHASAN

Pada pembahasan kasus ini peneliti akan membandingkan antara teori


dengan laporan kasus asuhan keperawatan pada Ny. W dengan dengan kanker
ovarium post laparatomi yang telah dilakukan pada tanggal 27 sampai 31 Januari
2020 di ruang Ginekologi-Onkologi RSUP Dr. M. Djamil Padang. Penerapan
asuhan keperawatan dengan tahapan proses keperawatan yang meliputi
pengkajian, perumusan diagnosa keperawatan, perencanaan, pelaksanaan dan
evaluasi. Pada bab ini dibahas tentang masalah keperawatan prioritas utama pada
suatu kasus, faktor pendukung, hambatan serta solusinya.
A. Pengkajian
Perawat perlu mengkaji status fisik dan fungsional pasien pada pasien
yang menjalani prosedur laparatomi. Pada unsur fungsional, perawat perlu
mengkaji kemampuan pasien dalam melakukan aktivitas sehari-hari, status
fungsional kardiovaskular, paru, gastrointestinal, dan sistem ginjal, keadaan
kognitif pasien. Perawat juga perlu mengkaji status psikologis dan emosi
pasien terhadap pengobatan.
Hasil pengkajian didapatkan pada Ny. W dengan keluhan perubahan
sensasi rasa, sering mual dan muntah, kurang nafsu makan, badan terasa
lemah dan mudah lelah, membran mukosa kering, hanya menghabiskan
seperempat dari diit yang di berikan oleh rumah sakit, dan badan terasa panas
serta wajah memerah. Menurut Ariani (2015), keluhan mual dan muntah,
penurunan berat badan, penurunan nafsu makan dan perubahan rasa adalah
beberapa dampak dari kemoterapi.
Menurut Wardani (2014) bahwa waktu terjadinya mual dan muntah
sangat beragam yaitu selama pemberian kemoterapi, setengah sampai dua
jam setelah pemberian kemoterapi dan bahkan mual dan muntah dapat terjadi
sehari setelah pemberian kemoterapi. Frekuensi terjadinya mual dan muntah
hilang timbul atau terus menerus. Faktor pemicu rasa mual dan muntah
meliputi aroma masakan dari rumah sakit, makan yang berminyak, makan
yang berlemak, makanan dan minuman yang manis, bau yang menyengat,
58

makanan dengan tekstur yang basah dan makanan yang berbau amis.
Menurut analisis penulis, keluhan pada Ny. W tersebut sesuai dengan
teori yang telah ada karena beberapa obat kemoterapi dapat menyebabkan
mual muntah yang berlangsung singkat atau lama. Mual muntah terjadi
akibat dari efek samping obat kemoterapi sehingga terjadi peningkatan asam
lambung. Mual dan muntah juga dapat dipicu oleh selera, bau, pikiran dan
kecemasan terkait kemoterapi.
Kondisi yang dialami pasien tersebut dapat mengakibatkan terganggunya
asupan nutrisi, sehingga berpotensi untuk menimbulkan penurunan status
nutrisi, cairan dan elektrolit, kelemahan, perasaan tidak berdaya, tidak
mampu melakukan aktifitas rutin, penurunan produktifitas yang selanjutnya
menambah kecemasan dan dapat mengakibatkan depresi pada pasien
(Maryani, 2009). Oleh karena itu, dituntut kompetensi ners dalam pemberian
asuhan keperawatan termasuk pengkajian yang komprehensif untuk
mengatasi masalah pada pasien.

B. Diagnosa Keperawatan
Berdasarkan hasil pengkajian, ada tiga diagnosa keperawatan yang
dirumuskan pada kasus ini yang meliputi: ketidakseimbangan nutrisi kurang
dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan kurang asupan makanan,
hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan agens farmaseutikal,
hipertermi berhubungan dengan peningkatan laju metabolisme. Diagnosa
keperawatan yang ditemukan pada pasien adalah hasil pengkajian secara
head to toe dan menggunakan pengkajian Morrow Assesment of Nausea and
Vomiting (MANE). Diagnosa primer yang ditemukan pada kasus ini adalah
ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh. Ketidakseimbangan
nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh adalah keadaan individu yang
mengalami kekurangan asupan nutrisi untuk memenuhi kebutuhan metabolik
(Wilkinson, 2005).
Pada Ny. W ditegakkan diagnosis ketidakseimbangan nutrisi kurang dari
kebutuhan tubuh berhubungan dengan kurang asupan makanan, data yang
didapat dari Ny. W, data subjektif pasien mengatakan perubahan sensasi rasa,
59

sering mual dan muntah, kurang nafsu makan, makan yang dihabiskan hanya
seperempat dari diit yang di berikan. Data objektif pasien tampak lemas,
makan yang diberikan tidak dihabiskan.
Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh pada Ny. W
terjadi akibat kanker itu sendiri dan atau melalui kemoterapi. Menurut Ariani
(2015) obat-obat kemoterapi dapat menyebabkan efek samping yang
berlawanan dan toksisitas bervariasi dalam keparahannya bergantung pada
respons individual pasien terhadap obat. Mual dan muntah sering kali timbul
sebagai efek samping yang paling merepotkan. Mual dan muntah dapat
terjadi secara akut, terantisipasi, lambat atau terus menerus sedangkan nutrisi
yang adekuat harus terpenuhi agar dapat mempertahankan kekuatan dan
kebutuhan tubuh.
Menurut penelitian Ambarwati & Wardani (2015) mengatakan porsi
makan yang biasa di komsumsi mengalami penurunan setelah menjalani
kemoterapi dan bahkan tidak mau makan sama sekali selama pemberian
kemoterapi serta frekuensi makanan yang menjadi tidak teratur.
Menurut analisa penulis diagnosa ketidakseimbangan nutrisi kurang dari
kebutuhan tubuh berhubungan dengan kurang asupan makanan sesuai dengan
teori yang telah ada. Kurangnya nafsu makan terkait kanker dapat terjadi
karena sinayal rasa lapar berasal dari hipotalamus berkurang dan sinyal
kenyang dihasilkan oleh melacortins diperkuat. Kurangnya nafsu makan juga
dapat memperburuk saat pasien menerima kemoterapi yang berhubungan
dengan mual atau perubahan rasa. Untuk mengatasi mual muntah dapat
dengan memberikan makanan yang disukainya, memberikan makanan yang
tidak memicu terjadinya mual muntah seperti makanan yang segar contonya
buah-buahan (apel, jeruk, pisang, pepaya, pir ), minum air putih dan tidak
menyengat. Adanya asuhan keperawatan dengan intervensi utama aplikasi
terapi relaksasi otot progresif yang dilakukan secara berkesinambungan maka
masalah nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh akibat mual dan muntah akan
teratasi.
Diagnosa yang ditegakkan pada Ny. W adalah hambatan mobilitas fisik
berhubungan dengan agens farmaseutikal, didapat data subjektif pasien
60

mengatakan badannya terasa lemah dan mudah lelah, pasien mengatakan


aktivitas dibantu oleh keluarga. Data objektif pasien tampak lemah,
konjungtiva tampak pucat, hemoglobin 12,1 g/dl (12-16 g/dl).
Menurut Ariani (2015) efek kemoterapi berpengaruh pada kerja sumsum
tulang yang merupakan pabrik pembuat sel darah merah, sehingga jumlah sel
darah merah menurun dan bisa menyebabkan anemia. Anemia adalah
penurunan sel darah merah yang ditandai dengan penurunan Hb
(Hemoglobin). Penurunan sel darah merah dapat menyebabkan lemah,
mudah lelah, tampak pucat.
Menurut penelitian Ambarwati & Wardani (2015) mengatakan bahwa
waktu terjadinya kelelahan yaitu 1 sampai 2 minggu setelah pemberian
kemoterapi. Kelelahan muncul saat berjalan dan melakukan aktivitas rumah
tangga seperti menyapu, mencuci dan memasak.
Menurut penulis tegaknya diagnosa hambatan mobilitas fisik
berhubungan dengan agens farmaseutikal sesuai dengan teori. Kelelahan
dapat disebabkan banyak faktor seperti anemia, gangguan tidur, nyeri dan
efek pengobatan dari kanker. Kelelahan dapat terjadi karena anemia dan
kebutuhan nutrisi yang terjadi kurang akibat penurunan nafsu makan. Efek
kemoterapi menyebabkan adanya pelepasan zat-zat sitoksin seperti TNF
(tumor nekrosis faktor) dan interluekin yang menyebabkan hipotalamus
bereaksi dengan menurunkan rasa lapar mengakibatkan pasien kemoterapi
mengalami penurunan nafsu makan sehingga kebutuhan energi dalam tubuh
tidak tercukupi.
Pada Ny. W muncul diagnosa hipertermi berhubungan dengan
peningkatan laju metabolisme, didapatkan data subjektif pasien mengatakan
badannya menggigil setelah menjalani kemoterapi lalu kemudian terasa
panas, pasien mengatakan wajahnya memerah. Data objektifk wajah pasien
tampak memerah, kulit pasien tampak memerah dan terasa panas, suhu 38 oC
dan hasil pemeriksaan hematologi didapat leukosit 9.650/mm3 (5.000-
10.000/mm3).
Menurut Ariani (2015) Kemoterapi berpengaruh pada kerja sumsum
tulang yang merupakan pabrik pembuat sel darah merah, sehingga jumlah sel
61

darah merah menurun, yang paling sering adalah penurunan sel darah putih
(leukosit), tapi ada juga beberapa obat kemoterapi yang menyebabkan
peningkatkan leukosit.
Menurut analisa penulis tegaknya diagnosa hipertermi berhubungan
dengan peningkatan laju metabolisme sesuai dengan teori karna efek
samping dari obat kemoterapi tersebut bisa menyebabkan penurunan atau
peningkatan leukosit hal ini menyebakan daya tahan tubuh menurun sehingga
sangat mudah untuk terkena infeksi. Bila terjadi infeksi maka terjadi
peningkatan suhu tubuh.
Berdasarkan diagnosa diatas, ada 5 diagnosa keperawatan yang tidak
muncul pada Ny. W yaitu ansietas berhubungan dengan status kesehatan
menurun. Berdasarkan analisa penulis, ansietas adalah perasaan tidak
nyaman atau kekhawatiran yang samar disertai respons otonom (sumber
sering kali tidak spesifik atau tidak diketahui oleh individu) perasaan takut
yang disebabkan oleh antisipasi terhadap bahaya. Hal ini merupakan isyarat
kewaspadaan yang memperingatkan individu akan adanya bahaya dan
memampukan individu untuk tidak menghadapi ancaman. Namun hal ini
tidak dialami oleh pasien. Diagnosa berikutnya yang tidak ditemui pada Ny.
W adalah resiko infeksi berhubungan dengan imunosupresi. Berdasarkan
analisa penulis, resiko infeksi merupakan rentan mengalami invasi dan
multiplikasi organisme patogenik yang dapat mengganggu kesehatan.
Diagnosa berikutnya yang tidak ditemui pada Ny. W disfungsi seksual
berhubungan dengan gangguan struktur tubuh. Berdasarkan analisa penulis,
disfungsi seksual merupakan suatu kondisi ketika individu mengalami suatu
perubahan fungsi seksual selama fase respons seksual berupa hasrat,
terangsang, dan atau orgasme, yang dipandang tidak memuaskan, tidak
bermakna, atau tidak adekuat. Tetapi ini tidak terjadi pada pasien. Diagnosa
berikutnya yang tidak ditemui pada Ny. W yaitu gangguan citra tubuh
berhubungan dengan program pengobatan. Berdasarkan analisa penulis,
akibat dari kemoterapi salah satunya adalah alopesia yaitu kerontokan
rambut. Kerontokan rambut ini bersifat sementara yang terjadi antara hari ke
10 dan 21 setelah kemoterapi. Efek tersebut kemungkinan dapat
62

mempengaruhi penampilan dan citra tubuh pasien. Diagnosa berikutnya yang


tidak ditemui pada Ny. W yaitu kekurangan volume cairan berhubungan
dengan kehilangan cairan aktif. Berdasarkan analisa penulis, kekurangan
volume cairan tidak terjadi pada pasien karena kekurangan volume cairan
ditandai dengan timbulnya diare berat dan mual muntah yang berlebihan dari
efek kemoterapi. Namun hal ini tidak dialami oleh pasien.

C. Intervensi Keperawatan
Perencanaan tindakan keperawatan pada partisipan I didasarkan pada
tujuan rencana maaslah keperawatan yang muncul yaitu ketidakseimbangan
nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan kurang asupan
makanan, hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan agens farmaseutikal,
hipertermi berhubungan dengan peningkatan laju metabolisme.
Berdasarkan pada kasus Ny. W tindakan yang dilakukan selama dua hari
sesuai dengan rencana yang telah peneliti susun. Pada diagnosis
ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
kurang asupan makanan rencana tujuannya untuk memenuhi status nutrisi.
Rencananya adalah manajemen nutrisi, tindakan yang dilakukan mengkaji
apakah ada alergi makanan, monitor intake nutrisi: tujuannya untuk
mengetahui tingkat/status nutrisi pasien agar status nutrisi pasien terpenuhi,
mengkaji kemampuan pasien dalam asupan nutrisi, monitor adanya
penurunan berat badan dengan tujuan untuk mengetahui asupan nutrisi pasien
sudah terpaenuhi atau belum, menganjurkan pasien meningkatkan makanan
yang mengandung protein dan vitamin C, identifikasi perubahan nafsu
makan, monitor untuk mual dan muntah, memberikan informasi mengenai
kebutuhan nutrisi pasien dan ajarkan teknik relaksasi otot progresif
(Wilkinson, 2005).
Pemberian terapi relaksasi otot progresif terbukti bermanfaat untuk
mengurangi masalah mual dan muntah. Terapi relaksasi otot progresif atau
progressif muscle relaxation merupakan suatu prosedur untuk mendapatkan
relaksasi pada otot melalui dua langkah. Langkah pertama dengan
memberikan tegangan pada suatu kelompok otot, dan kedua dengan
63

menghentikan tegangan tersebut kemudian memusatkan perhatian terhadap


bagaimana otot tersebut menjadi relaks, merasakan sensasi relaks secara sisik
dan tegangannya menghilang (Robert, 2007).
Terapi relaksasi otot progresif telah banyak digunakan dan bermanfaat
untuk mengatasi berbagai keluhan yang berhubungan dengan stress seperti
tukak lambung, hipertensi, kecemasan dan insomnia. Respon relaksasi terjadi
melalui penurunan yang bermakna dari kebutuhan zat asam (oksigen) oleh
tubuh. Tubuh menjadi rileks karena ia bekerja ringan. Metabolismenya
berkurang, pertukaran komponen-komponen kehidupan berlangsung dalam
suasana tanpa paksaan (Pasiak, 2008).
Berdasarkan hasil penelitian Rahmawati (2011) yang melibatkan 7l
pasien kanker ovarium menunjukkan bahwa terapi relaksasi otot progresif
dapat mengurangi durasi dan intensitas mual dan muntah pada pasien yang
menjalani kemoterapi. Mual dan muntah masih dirasakan oleh pasien saat
menjalani kemoterapi, tetapi intensitas, frekuensi,dan durasinya lebih rendah
dibandingkan kemoterapi sebelumnya tanpa adanya terapi relaksasi otot
progresif.
Pada Ny. W sangat cocok untuk dilakukan terapi relaksasi otot progresif
untuk mengatasi dan meminimalisir masalah nutrisi kurang dari kebutuhan
tubuh yang akan dilakukan secara berkesinambungan, benar dan tepat.
Pada diagnosa hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan agens
farmaseutikal. Rencananya adalah manajemen energi, tindakan yang dapat
dilakukan monitor tanda-tanda vital pasien, dorong pasien untuk
mengungkapkan perasaanya, observasi nutrisi sebagai sumber energi,
membantu pasien untuk mengidentifikan aktivitas yang mampu dilakukan,
anjurkan pasien menghindari aktivitas selama periode istirahat, anjurkan
keluarga untuk membantu aktivitas pasien, monitor kadar hb, leukosit dan
trombosit.
Pada diagnosa hipertermi berhubungan dengan peningkatan laju
metabolisme. Rencananya adalah a) pengaturan suhu, tindakan yang dapat
dilakukan monitor suhu paling tidak setiap 2 jam sesuai kebutuhan, monitor
tanda-tanda vital, monitor warna kulit dan suhu. b) manajemen cairan ,
64

tindakan yang dapat dilakukan berikan obat atau cairan IV (misalnya:


antipiretik, agen antibakteri dan agen anti menggigil), tingkatkan sirkulasi
udara, jaga intake dan output pasien, tingkatkan intake cairan dan nutrisi
adekuat, monitor hasil laboratorium.

D. Implementasi Keperawatan
Peneliti melakukan semua implementasi berdasarkan tindakan yang telah
direncanakan. Masalah ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan
tubuh berhubungan dengan kurang asupan makanan yang terjadi pada Ny. W
telah dilakukan tindakan a) mengkaji apakah ada alergi makanan, b) monitor
intake nutrisi, c) monitor adanya penurunan berat badan, d) menganjurkan
pasien meningkatkan makanan yang mengandung protein dan vitamin C, e)
mengidentifikasi perubahan nafsu makan, f) monitor untuk mual dan muntah,
g)mengaji mual dan muntak menggunakan pengkajian Morrow Assesment of
Nausea and Vomiting (MANE), h) mengajarkan pasien dan keluarga terapi
relaksasi otot progresif selama 10 – 15 menit dalam waktu 2 kali sehari untuk
mengurangi masalah nutrisi mual dan muntah, dan i) memberikan informasi
kepada pasien tentang kebutuhan nutrisi pasien.
Pada kasus Ny. W, melakukan tindakan memberikan informasi kepada
pasien tentang kebutuhan nutrisi pasien dan menganjurkan pasien untuk
meningkatkan asupan protein dan vitamin C karna banyak anti-oksidan, tidak
mengkomsumsi makanan berkaleng atau kemasan karena pada makanan
berkaleng mengandung zat-zat kimia dan sebelum mengkomsumsi sayur-
sayuran dan buahbuahan dicuci terlebih dahulu untuk menghilangkan
kandungan pestisida pada sayur dan buah tersebut, hal ini tersebut dapat
memicu pertumbuhan dari sel-sel kanker.
Memperbanyak makan sayur dan buah segar. Faktor nutrisi juga dapat
mengatasi masalah kanker serviks. Penelitian mendapatkan hubungan yang
terbalik antara komsumsi sayuran berwarna hijau tua dan kuning (banyak
mengadung beta karoten atau vitamin A, vitamin C dan Vitamin E) dengan
kejadian neoplasia intra epithel juga kanker serviks. Artinya semakin banyak
mengkomsumsi makan sayuran berwarna hijau tua dan kuning, maka akan
65

semakin kecil resiko untuk terkena kanker ovarium.


Menurut penelitian Lestari (2009), banyak mengkomsumsi sayur dan
buah mengandung bahan-bahan anti-oksidan dan berkhiat mencegah kanker
misalnya alpukat, brokoli, kol, wortel, tomat, anggur, jeruk, bawang dan
bayam. Dari beberapa penelitian ternyata defisiensi asam folat ( folic acid),
vitamin C, vitamin E, beta karoten/retinol dihunungkan dengan kanker
ovarium. Vitamin E, vitamin C dan beta karoten mempunyai anti-oksidan
yang kuat. anti-oksidan dapat melindungi DNA/RNA terhadap pengaruh
buruk radikal bebas yang terjadi akibat oksidasi karsinogen bahan kimia.
Vitamin E banyak terdapat dalam minyak nabati (kedelai, jagung, biji-bijian
dan kacangkacangan) dan vitamin C banyak terdapat pada buah dan sayur.
Berdasarkan analisis peneliti, intake asupan nutrisi pada pasien harus di
monitor karena tujuan bertujuan untuk mencegah terjadinya anemia pada
pasien dan membantu meningkatkan selera makan dan intake nutrisi pasien,
sehingga membantu peningkatan kadar haemoglobin untuk mencegah
penurunan keadaan umum pasien.
Untuk masalah hambatan mobilitas fisik tindakan yang dilakukan a)
monitor tanda-tanda vital pasien, b) observasi nutrisi sebagai sumber energi,
c) membantu pasien untuk mengidentifikan aktivitas yang mampu dilakukan,
d) anjurkan pasien menghindari aktivitas selama periode istirahat, e)
anjurkan keluarga untuk membantu aktivitas pasien, f) monitor kadar hb,
leukosit dan trombosit.
Salah satu tindakan untuk masalah hambatan mobilitas fisik adalah
memonitor hasil dari laboratorium seperti haemoglobin, trombosit dan
leukosit. Hasil laboratorium dipantau karena untuk mengetahui adanya tanda
dan gejala anemia seperti adakah penurunan haemoglobin sehingga perlu
ditanyakan bagaimana intake nutrisi pasien.
Pada diagnosis hipertermi tindakan yang dilakukan a) pengaturan suhu,
tindakan yang dapat dilakukan monitor suhu paling tidak setiap 2 jam sesuai
kebutuhan, monitor tanda-tanda vital, monitor warna kulit dan suhu. b)
manajemen cairan , tindakan yang dapat dilakukan berikan obat atau cairan
iv (misalnya: antipiretik, agen antibakteri dan agen anti menggigil),
66

tingkatkan sirkulasi udara, jaga intake dan output pasien, tingkatkan intake
cairan dan nutrisi adekuat, monitor hasil laboratorium.
Salah satu tindakan untuk masalah hipertermi adalah memberikan obat
antipiretik yaitu Ny. W diberikan paracetamol 2 x 500 mg per oral.
Paracetamol tidak diberikan pada orang yang alergi terhadap obat anti-
inflamasi non-streroid (AINS), memderita hepatitis, gangguan hati dan atau
ginjal dan alkoholisme. Pemberian paracetamol juga tidak boleh diberikan
berulang kali pada kepada penderita anemia, gangguan jantung, paru dan
ginjal. Memberikan banyak minum air hangat pada pasien hipetermi dapat
menurunkan demam dan membuat pendrita merasa nyaman namun tidak
menghambat proses melawan penyakit di dalam tubuh.
Berdasarkan analisis peneliti, perawatan demam dapat dilakukan dengan
memonitor suhu sekali 2 jam ini berguna untuk mementau apakah demam
turun atau tidak setelah pemberian antipiretik seperti paracetamol.

E. Evaluasi Keperawatan
Dari tindakan keperawatan yang dilakukan secara berangsur-angsur
maka hasil evaluasi yang didapatkan pada hari pertama menggunakan
Morrow Assesment of Nausea and Vomiting (MANE) didapatkan hasil yakni
respon subjektif klien mengatakan masih mengalami mual dan respon
objektif pasien tampak lemah, TTV : TD 110/70 mmHg, Nadi 78 x/menit,
RR 20 x/menit, Suhu 37,6 oC. Mukosa mulut kering, pasien masih malas
untuk makan. Hasil pengkajian mual : dirasakan 7 kali dengan durasi 2-3
menit dan intensitas 7. Muntah sebanyak 5 kali dan jumlah 1-2 gelas (200cc),
pasien dan keluarga berpartisipasi melakukan gerakan relaksasi otot yang
diajarkan. Sedangkan pada pertemuan terakhir respon subjektif pasien
mengatakan mual sudah berkurang, sudah tidak mengalami muntah, pasien
mengatakan mengerti dengan penjelasan yang diberikan dan telah melakukan
relaksasi otot progesif sebanyak 2 kali per hari. Respon pasien dan keluarga
mampu menjelaskan kembali penjelasan yang disampaikan oleh perawat.
Respon objektif pasien TTV : TD 120/70 mmHg, Nadi 80 x/menit, Suhu 36,5
o
C, RR 20 x/menit. Hasil pengkajian mual dialami 1 kali dengan durasi 1
67

menit dan intensitas 2 dan muntah tidak ada.


Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Rahmawati (2011)
bahwa terapi relaksasi otot progresif dapat mengurangi durasi dan intensitas
mual dan muntah pada pasien yang menjalani kemoterapi. Mual dan muntah
masih dirasakan oleh pasien saat menjalani kemoterapi, tetapi intensitas,
frekuensi,dan durasinya lebih rendah dibandingkan tanpa ada terapi relaksasi
otot progresif.

Anda mungkin juga menyukai