Anda di halaman 1dari 23

METODE PENELITIAN HUKUM

PERJANJIAN FIDUSIA YANG TIDAK DIDAFTARKAN

Oleh :
Febrian Elisa Ratag

NIM : 17051083
Program Studi : Ilmu Hukum
Peminatan : Hukum Perdata

UNIVERSITAS KATOLIK DE LA SALLE MANADO


FAKULTAS HUKUM
2020
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 33 Perekonomian Nasional Dan

kesejahteraan sosial, bagi kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat indonesia,

yang telah ditetapkan sebagai dasar negara, bahwa sebagai negara hukum maka

negara harus menjamin kesejahteraan dan kemakmuran rakyatnya sebagaimana

yang telah di atur dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 33 Perekonomian

Nasional Dan Kesejahteraan Sosial untuk masyarakat indonesia.

Terlebih khusus bagi masyarakat yang melakukan suatu perbuatan hukum

seperti perjanjian, ada yang di bawah tangan, ada yang berlandaskan kepercayaan,

ada juga yang menggunakan jaminan kebendaan khusus. Yang sangat

dipengaruhi dan erat kaitannya dengan lembaga keuangan 1 Sebagaimana yang kita

ketahui, sebagaimana yang kita ketahui bahwa, masyarakat kita sendiri tidak lepas

dari kebutuhan akan modal untuk mengembangkan suatu usaha dan untuk

memenuhi kebutuhan sehari-hari sehingga lembaga keuangan mengambil peran

penting dalam menggerakan perekonomian masyarakat indonesia. Lembaga

keuangan terdiri dari lembaga keuangan bank, lembaga keuangan bukan bank dan

lembaga pembiayaan.2 Hukum jaminan hadir dan tergolong dalam bidang hukum

D.Y Witanto, Hukum Jaminan Fidusia Dalam Perjanjian Pembebanan Pembiayaan


Konsumen (Aspek perikatan, Pendaftaran, dan Eksekusi), ( CV. Mandar Maju : Bandung
, 2015), hlm. 9.
2
Ibid, hlm: 13-14.
ekonomi (The Economic Law) 3 mempunyai fungsi sebagai penunjang kegiatan

perekonomian dan kegiatan pembangunan pada umumnya, untuk memberikan

perlindungan hukum dan kepastian hukum. Jenis lembaga pengikatan jaminan

kebendaan di indonesia sampai saat ini adalah Gadai, Hipotek, Hak tangunggan

dan Fidusia, Lembaga Gadai di atur dalam 1150-1160 KUH Perdata, Hipotek

sebagai benda tidak bergerak (Kapal Laut) di atur dalam UU No. 17 Tahun 2008

Tentang pelayaran.

Lembaga Hak tangunggan di atur dalam UU No. 4 Tahun 1996 Tentang Hak

tangunggan dan Lembaga Fidusia yang di atur dalam UU No. 42 Tahun 1999

Tentang Jaminan Fidusia. 4 Di dalam KUH Perdata sendiri tidak ditemukan

pengaturan mengenai Lembaga Fidusia. Pengaturan mengenai jaminan dalam

KUH perdata hanya memuat mengenai Gadai dan Hipotik sebagai Konsekuensi

adanya jenis pembagian benda bergerak dan tidak bergerak. 5 Gadai mengatur

jaminan yang objeknya adalah benda bergerak dan hipotek mengatur jaminan

dengan objek benda tidak bergerak.

Fidusia, menurut asal katanya berasal dari kata fides yang berarti kepercayaan.

Sesuai dengan arti kata ini, Maka hubungan antara pemberi fidusia (debitor) dan

penerima fidusia (kreditor) merupakan hubungan hukum yang di dasarkan atas

dasar kepercayaan. Pemberi fidusia percaya bahwa penerima fidusia mau

mengembalikkan hak milik hak milik barang yang telah di serahkan setelah di

3
Sri soedewi maschoen sofwan , Hukum jaminan di indonesia,pokok-pokok hukum
jaminan dan jaminan perorangan, :Liberti, 1980, Hal. 33
Herowati Poesoko, Parate executie objek hak tangunggan, Laksbang, yogyakarta, 2008
Hal.3
Moch, Isnaeni, Hipotik Pesawat udara di indonesia, CV, Dharma Muda, Surabaya,
1996, Hal.35
lunasi hutangnya. Sebaliknya penerima fidusia percaya bahwa pemberi fidusia

tidak akan menyalahgunakan barang jaminan yang berada dalam kekuasaannya. 6

Sebagaimana yang kita ketahui bahwa, masyarkat tidak sedikit melakukan

pinjaman dan mempergunakan jaminan benda bergerak dalam kenyataan sekarang

ini, hal inilah yang kita sebut jaminan fidusia namun, ada beberapa masalah yang

terjadi berkaitan dengan fidusia yaitu salah satunya adalah tidak didaftarkan suatu

jaminan fidusia, mengingat Pasal 11 ayat (1) Undang-Undang Nomor 42 Tahun

1999 tentang Jaminan Fidusia menyatakan bahwa objek fidusia “wajib”

didaftarkan, hal ini bertejuan agar dapat memperoleh perlindungan bagi kreditur

ataupun debitur.

kedudukan daripada kreditur tersebut tidak lagi menjadi kreditur yang

preferen. Begitu juga dengan eksekusi fidusia yang seharusnya dilakukan sesuai

dengan ketentuan yang ada dalam undang-undang fidusia namun karena tidak

didaftarkan jaminan fidusia tersebut apakah dia mendapat perlindungan dalam

melakukan eksekusi objek fidusia karena, perjanjian itu sendiri sah ataukah tidak

menurut hukum (legal).

1.2 Rumusan Masalah

a. Bagaimana keabsahan jaminan kebendaan Fidusia yang tidak didaftarkan

b. Bagaimana pelaksanaan eksekusi terhadap jaminan fidusia yang tidak

didaftarkan

1.3 Tujuan Penelitian

Gunawan Widjaja dan ahmad yani. Jaminan fidusia. Rajagrafindo Persada, Jakarta,
2000, hal.119
a. Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis keabsahan perjanjian

fidusia yang tidak didaftarkan, untuk menjelaskan pelaksanaan eksekusi

terhadap jaminan fidusia yang tidak didaftarkan.

1.4 Manfaat Penelitian

a. Untuk memahami mengenai keabsahan jaminan kebendaan Fidusia yang

tidak didaftarkan dan bagaimana pelaksanaan eksekusi jaminan fidusia

yang tidak didaftarkan yang di mana sering terjadi di masyarakat kita saat

ini,yang tidak lepas dari kebutuhan akan modal untuk ber usaha,

1.5 Metode Penelitian

Data-data yang dipergunakan dalam penyusunan karya tulis ini berasal

dari berbagai literatur kepustakaan yang berkaitan dengan permasalahan yang

dibahas. Beberapa jenis referensi utama yang digunakan adalah buku

pelajaran, jurnal imiah edisi cetak maupun edisi online,dan artikel ilmiah

yangbersumber dari internet.

1.6 Pernyataan Keaslian

Dalam melakukan penelitian ini, penulis telah memeriksa setiap judul yang

berada dilingkungan Universitas Katolik De La Salle Manado dan penulis

menyatakan bahwa judul yang diangkat oleh penulis belum pernah diteliti. Untuk

itu penulis menyatakan bahwa karya ilmiah “Pertanggung Jawaban Tindak Pidana

Kepada Para Pelaku Persekusi Dalam Perspektif Hukum Pidana” adalah hasil

karya sendiri dari penulis dan bisa dipertanggung jawabkan keasliannya.


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Fidusia merupakan istilah yang sudah lama dikenal dalam bahasa Indonesia.

Begitu pula istilah ini digunakan dalam Undang-undang Nomor 42 Tahun 1999

tentang Jaminan Fidusia. Dalam terminologi Belanda istilah ini sering disebut

secara lengkap yaitu Fiduciare Eigendom Overdracht (F.E.O.) yaitu penyerahan

hak milik secara kepercayaan. Sedangkan dalam istilah bahasa Inggris disebut

Fiduciary Transfer of Ownership.

Pengertian fidusia adalah pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas dasar

kepercayaan dengan ketentuan bahwa benda yang hak kepemilikannya dialihkan

tetap dalam penguasaan pemilik benda. Sebelum berlakunya Undang-undang

Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia terdapat berbagai pengaturan

mengenai fidusia diantaranya adalah Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1985

tentang Rumah Susun telah memberikan kedudukan fidusia sebagai lembaga

jaminan yang diakui undang-undang.

Perjanjian fidusia adalah perjanjian hutang piutang kreditor kepada debitor

yang melibatkan penjaminan. Jaminan tersebut kedudukannya masih dalam

penguasaan pemilik jaminan.

Tetapi untuk menjamin kepastian hukum bagi kreditor maka dibuat akta yang

dibuat oleh notaris dan didaftarkan ke Kantor Pendaftaran Fidusia. Nanti kreditor

akan memperoleh sertifikat jaminan fidusia berirah-irah “Demi Keadilan

Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Dengan demikian, memiliki kekuatan

hak eksekutorial langsung apabila debitor melakukan pelanggaran perjanjian


fidusia kepada kreditor (parate eksekusi), sesuai UU No. 42 Tahun 1999 Tentang

Jaminan Fidusia.

Jaminan fidusia yang tidak dibuatkan sertifikat jaminan fidusia menimbulkan

akibat hukum yang komplek dan beresiko. Kreditor bisa melakukan hak

eksekusinya karena dianggap sepihak dan dapat menimbulkan kesewenang-

wenangan dari kreditor. Bisa juga karena mengingat pembiayaan atas barang

objek fidusia biasanya tidak full sesuai dengan nilai barang. Atau, debitur sudah

melaksanakan kewajiban sebagian dari perjanjian yang dilakukan, sehingga dapat

dikatakan bahwa diatas barang tersebut berdiri hak sebagian milik debitor dan

sebagian milik kreditor. Apalagi jika eksekusi tersebut tidak melalui badan penilai

harga yang resmi atau badan pelelangan umum. Tindakan tersebut dapat

dikategorikan sebagai Perbuatan Melawan Hukum (PMH) sesuai diatur dalam

Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan dapat digugat ganti

kerugian.

Dalam konsepsi hukum pidana, eksekusi objek fidusia di bawah tangan

masuk dalam tindak pidana Pasal 368 KUHPidana jika kreditor melakukan

pemaksaan dan ancaman perampasan. Pasal ini menyebutkan:

Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang

lain secara melawan hukum, memaksa seorang dengan kekerasan atau ancaman

kekerasan untuk memberikan barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian

adalah kepunyaan orang itu atau orang lain, atau supaya membuat hutang maupun

menghapuskan piutang, diancam karena pemerasan dengan pidana penjara paling

lama sembilan bulan. Ketentuan pasal 365 ayat kedua, ketiga, dan keempat

berlaku bagi kejahatan ini.


Situasi ini dapat terjadi jika kreditor dalam eksekusi melakukan pemaksaan

dan mengambil barang secara sepihak, padahal diketahui dalam barang tersebut

sebagian atau seluruhnya milik orang lain. Walaupun juga diketahui bahwa

sebagian dari barang tersebut adalah milik kreditor yang mau mengeksekusi tetapi

tidak didaftarkan dalam di kantor fidusia. Bahkan pengenaan pasal-pasal lain

dapat terjadi mengingat bahwa dimana-mana eksekusi merupakan bukan hal yang

mudah, untuk itu butuh jaminan hukum dan dukungan aparat hukum secara legal.

Inilah urgensi perlindungan hukum yang seimbang antara kreditor dan debitor.

Bahkan apabila debitor mengalihkan benda objek fidusia yang dilakukan

dibawah tangan kepada pihak lain tidak dapat dijerat dengan UU No. 42 Tahun

1999 Tentang jaminan fidusia, karena tidak syah atau legalnya perjanjian jaminan

fidusia yang dibuat. Mungkin saja debitor yang mengalihkan barang objek

jaminan fidusia di laporkan atas tuduhan penggelapan sesuai Pasal 372

KUHPidana menandaskan: “Barang siapa dengan sengaja dan melawan hukum

memiliki barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang

lain, tetapi yang ada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan diancam karena

penggelapan, dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda

paling banyak sembilan ratus rupiah”.

Oleh kreditor, tetapi ini juga bisa jadi blunder karena bisa saling melaporkan

karena sebagian dari barang tersebut menjadi milik berdua baik kreditor dan

debitor, dibutuhkan keputusan perdata oleh pengadilan negeri setempat untuk

mendudukan porsi masing-masing pemilik barang tersebut untuk kedua belah

pihak. Jika hal ini ditempuh maka akan terjadi proses hukum yang panjang,

melelahkan dan menghabiskan biaya yang tidak sedikit. Akibatnya, margin yang
hendak dicapai perusahaan tidak terealisir bahkan mungkin merugi, termasuk rugi

waktu dan pemikiran. Lembaga pembiayaan yang tidak mendaftarkan jaminan

fidusia sebenarnya rugi sendiri karena tidak punya hak eksekutorial yang legal.

Poblem bisnis yang membutuhkan kecepatan dan customer service yang prima

selalu tidak sejalan dengan logika hukum yang ada. Mungkin karena kekosongan

hukum atau hukum yang tidak selalu secepat perkembangan zaman. Bayangkan,

jaminan fidusia harus dibuat di hadapan notaris sementara lembaga pembiayaan

melakukan perjanjian dan transaksi fidusia di lapangan dalam waktu yang relatif

cepat.

Saat ini banyak lembaga pembiayaan melakukan eksekusi pada objek barang

yang dibebani jaminan fidusia yang tidak didaftarkan. Bisa bernama remedial, rof

coll, atau remove. Selama ini perusahaan pembiayaan merasa tindakan mereka

aman dan lancar saja. Menurut penulis, hal ini terjadi karena masih lemahnya

daya tawar nasabah terhadap kreditor sebagai pemilik dana. Ditambah lagi

pengetahuan hukum masyarakat yang masih rendah. Kelemahan ini termanfaatkan

oleh pelaku bisnis industri keuangan, khususnya sektor lembaga pembiayaan dan

bank yang menjalankan praktek jaminan fidusia dengan akta di bawah

tangan.Penulis juga mengkhawatirkan adanya dugaan pengemplangan pendapatan

negara non pajak sesuai UU No. 20 Tahun 1997 Tentang Pendapatan Negara Non

Pajak, karena jutaan pembiayaan (konsumsi, manufaktur dan industri) dengan

jaminan fidusia tidak didaftarkan dan mempunyai potensi besar merugikan

keuangan pendapatan negara.7

7
Sumber: Achmad Imam Ghozali, SH And Partner (law firm).
BAB III

METODE PENELITIAN

Suatu penelitian dalam pemetaan keilmuan dimulai dari proses bertanya akan

sesuatu. Proses mencapai sesuatu terdapat langkah-langkah yang konkrit dan

nyata untuk mencari kebenaran dibalik sesuatu. Kebenaran yang dimaksud penulis

adalah penemuan suatu alur berpikir untuk mencapai suatu kesimpulan dalam

penelitian. “Penelitian merupakan suatu kegiatan ilmiah yang berkaitan dengan

analisa dan konstruksi, yang dilakukan secara metodologis, sistematis, dan

konsisten.”

Menurut Morris L. Cohen, Legal Research is the process of finding the law

that governs activities in human society. Melalui penelitian, Lawyers menemukan

sumber-sumber yang diperlukan untuk memprediksi apa yang akan dilakukan oleh

pengadilan dan dengan demikian mereka dapat mengambil tindakan-tindakan

tertentu.

Begitupun dengan ilmu hukum yang mencakup dan membicarakan segala hal

yang berhubungan dengan hukum. Demikian luasnya masalah yang dicakup oleh

ilmu ini, sehingga sempat memancing pendapat orang untuk mengatakan bahwa

batas-batasnya tidak bisa ditentukan (Curzon, 1979: v). Dalam Bahasa inggris

disebut jurisprudence.

Penelitian dalam penulisan skripsi ini menggunakan metodologi penelitian

yang berbasis pada disiplin ilmu hukum. Pelaksanaan suatu penelitian

memerlukan suatu metode penelitian yang dapat menunjang pelaksanaan

penelitian.
Penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah, yang didasarkan pada

metode, sistematika dan pemikiran tertentu, yang bertujuan untuk mempelajari

satu atau beberapa gejala hukum tertentu, dengan jalan menganalisanya. Kecuali

itu, maka juga diadakan pemeriksaan yang mendalam terhadap fakta hukum

tersebut, untuk kemudian, mengusahakan suatu pemecahan atas permasalahan-

permasalahan yang timbul di dalam gejala yang bersangkutan.

A. Jenis Penelitian

Penelitian yang digunakan dalam penulisan ini adalah penelitian hukum

normatif yang mengacu pada norma-norma (law in the book) dan penggunaan

data sekunder (bahan hukum) sebagai data utama. Selama hukum dipandang

sebagai norma yang positif (ius constitutum) atau yang dicita-citakan (ius

constituendum) maka penelitian hukum layak dikategorikan sebagai penelitian

normatif. Adapun penelitian hukum yang digunakan penulis yaitu, Penelitian

terhadap asas-asas hukum. Penelitian terhadap asas-asas hukum merupakan cara

seorang peneliti melakukan penelitian dengan menarik asas-asas hukum

(“rechtsbeginselen”), maka sepatutnya dilakukan terhadap hukum positif tertulis

maupun tidak tertulis. Asas-asas hukum tersebut harus ada pada pengambilan

keputusan secara konkrit yang terdapat di dalam kenyataan hukum positif tertulis.

B. Sumber Data

Penelitian ini menggunakan data sekunder dimana, “Data sekunder dalam

penelitian ini berfungsi sebagai data utama dalam penelitian ini. Data sekunder

adalah data yang diperoleh melalui bahan kepustakaan.”


Secara kualitatif, penulis menggunakan data hukum sekunder yang dibagi menjadi

tiga bahan hukum yaitu, bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan

hukum tersier.

Data sekunder terdiri dari:

1. Bahan hukum primer

Bahan hukum primer adalah, “Semua aturan hukum yang dibentuk dan atau

dibuat secara resmi oleh suatu lembaga negara, dana atau badan-badan

pemerintahan, yang demi tegaknya akan diupayakan berdasarkan daya paksa yang

dilakukan secara resmi pula oleh aparat negara.”

Adapun bahan hukum primer yang digunakan penulis adalah Undang-Undang

Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Kitab Undang-Undang Hukum

Pidana.

2. Bahan hukum sekunder

Bahan hukum sekunder adalah, “Semua publikasi tentang hukum yang

merupakan dokumen yang tidak resmi. Publikasi tersebut terdiri atas; buku-buku

teks tentang permasalahan hukum baik skripsi, tesis, dana tau disertasi hukum

berupa jurnal hukum dan lain-lain.” “Bahan hukum sekunder yang terutama

adalah buku teks berisi mengenai prinsip-prinsip dasar ilmu hukum dan

pandangan-pandangan klasik para sarjana yang mempunyai kualifikasi tinggi.”

Penulis menggunakan buku-buku, jurnal-jurnal, maupun artikel ilmiah khususnya

di bidang hukum perdata dalam mengkaji permasalahan yang dibahas.

Adapun beberapa buku yang digunakan penulis yaitu Dasar-Dasar Hukum

Perjanjian indonesia, Prinsip-Prinsip Hukum perjanjian fidusia, dan pengantar

hukum perdata tertulis (BW).


3. Bahan hukum tersier

Bahan hukum tersier adalah, Bahan-bahan hukum yang termuat dalam

kamus-kamus hukum, berbagai terbitan yang memuat indeks hukum, dan

semacamnya. Namun, banyak pula menyebutkan bahwa bahan hukum tersier

adalah bukan bahan hukum dalam arti yang sebenarnya dikarenakan muatan yang

dimaksud dalam bahan hukum tidak berhakekat, seperti kamus hukum,

ensiklopedi, bibliografi atau daftar pustaka, katalog-katalog terbitan,buku-buku

sitasi, buku-buku yang memuat indeks-indeks. Penulis menggunakan Kamus

Besar Bahasa Indonesia versi internet dengan ejaan yang telah disempurnakan.

C. Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini

menggunakan studi kepustakaan yang diperoleh dari peraturan perundang-

undangan, buku-buku, dokumen resmi, publikasi, dan hasil penelitian. Penelitian

hukum normatif menggunakan analisis penalaran deduktif. Penalaran deduktif

merupakan proses penalaran dalam menarik premis-premis yang bersifat umum ke

premis-premis yang bersifat khusus dan kemudian menghasilkan kesimpulan.

Penulis juga melakukan analisis dengan pendekatan kualitatif terhadap data

hukum sekunder.

D. Metode Analisis Data

Penellitian hukum normatif menggunakan analisis kualitatif yaitu analisis

dengan menggunakan ukuran kualitatif. Selanjutnya data (bahan hukum)

dianalisis dan di interpretasikan berdasarkan bentuk interpretasi yaitu bentuk


penafsiran komperatif atau perbandingan dengan deduktif, peneliti ini juga

mengkaji data berdasarkan teori, konsep, doktrin, asas, dan norma.

Proses penalaran yang dalam menarik kesimpulan menggunakan metode deduktif,

pengkajian diperoleh dari materi-materi atau bahan hukum yang bersifat umum

untuk menunjang masalah yang diteliti kemudian disimpulkan dan dimasukan

secara khusus8.

8
Zainuddin, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2016).
Soetandyo Wignjosoebroto, Hukum Konsep Dan Metode, (Malang: Setara Press, 2013).
BAB IV

PEMBAHASAN

Pelaksanaan Eksekusi Terhadap Jaminan Fidusia Yang Tidak Didaftarkan

Pembahasan mengenai bagaimana keabsahan perjanjian jaminan fidusia

yang dilakukan dibawah tangan atau dengan kata lain yang tidak didaftarkan di

kantor pendaftaran fidusia sebagaimana di atas, maka tentu akan berdampak

terhadap bagaimana sita dapat dilakukan terhadap suatu jaminan yang tidak

didaftarkan tersebut, mengingat kreditur tak lagi mempunyai hak mendahului dan

juga terhadap objek jaminan tersebut dapat atau tidaknya dilakukan sita terhadap

objek jaminan tersebut sangat bergantung dari kedua belah pihak bagaimana

mereka mempertahankan haknya satu sama lain, namun perlu di ingat hal penting

juga adalah kreditur tetap mempunyai hak mendapat pelunasan piutangnya dan

debitur juga tetap dapat mempertahankan objek tersebut dengan dalih tidak

didaftarkannya objek tersebut dengan fidusia.

Jaminan fidusia yang tidak terdaftar tersebut, apabila debitur wanprestasi

maka dilakukan eksekusi oleh pihak PD. BPR Cabang Gunungsari melalui

eksekusi dibawah tangan9. Sebelum lanjut dalam pembahasan eksekusi maka hal

yang perlu kita ketahui terlebih dahulu dalam perjanjian jaminan fidusia, status

objek fidusia bukanlah sebagai milik kreditur itu sendiri namun hanya sebagai

suatu alat atau proses peralihan hak. Hal tersebut dapat kita ketahui dari pendapat

Mariam Darus Badrulzaman proses penyerahan hak milik dalam fidusia terjadi

9
Hasil Wawancara dengan Suhardi Ansor, Bagian Kredit, (PD. BPR Cabang Gunung Sari,
Lombok Barat, Tanggal 20 November 2017.
10
melalui tahapan sebagai berikut : 1. Fase Pertama : perjanjian Obligatoir, yakni

tahap ketika debitur meminjam uang dan menyerahkan jaminannya kepada

kreditur; 2. Fase Kedua : yakni pada tahapan ini terjadi perjanjian kebendaan

dimana kedua belah pihak melakukan penyerahan consitutum possessorium; 3.

Fase Ketiga : Terjadinya pinjam pakai dimana kreditur setelah menerima hak

milik dari pemberi fidusia, memberikan pinjam pakai terhadap hak milik tersebut

kepada pemberi idusia. Apabila terdapat ketentuan mengenai objek jaminan

fidusia sebagai milik daripada kreditur tentu ini batal demi hukum sesuai Pasal 33

Undang-Undang Jaminan Fidusia. Maka dari itu eksekusi ada apabila terjadi

wanprestasi oleh debitur. Kategori wanprestasi menurut PD. BPR Cabang

Gunungsari yakni mengacu pada Pasal 1328 KUHPerdata yang bunyinya sebagai

berikut :

“Si berhutang adalah lalai apabila dengan surat perintah atau dengan
sebuah akta sejenis itu telah dinyatakan lalai atau demi perikatannya sendiri ialah
jika ini menetapkan, bahwa si berhutang harus dianggap lalai dengan lewatnya
waktu yang ditentukan.”

Dalam setiap bank biasanya tidak pernah lupa mencantumkan masa waktu

suatu perjanjian, dan makna daripada pasal tersebut adalah lewatnya waktu

daripada klausul perjanjian yakni perjanjian kreditnya, dimana debitur telah lalai

dari kewajiban membayar hutangnya, dalam kepatutan, ketika “debitur tidak

mampu membayar secara normal hal yang patut dilakukan adalah melakukan

somasi terlebih dahulu sampai memang debitur itu sendiri dinyatakan atau

10
Mariam Darus Badrulzaman, bab-bab tentang creditverband, gadai dan fidusia, ( Citra
Aditya : Bandung , 1991), hlm : 98-99.
menyatakan dirinya tidak mampu atau berhenti untuk membayar” 11. Menurut PD.

BPR Cabang Gunungsari dari hasil wawancara wanprestasi yang sering terjadi

memang selalu berupa tunggakan dari pembayaran selama waktu yang telah

ditentukan namun untuk masalah ini pihak kreditur menilai apakah debitur masih

mampu membayar atau sudah tidak lagi. 12 Setelah membuat surat teguran dan

tidak mendapat tanggapan dari nasabah debitur, maka tindakan selajutnnya yaitu

dengan melakukan pembinaan dan penagihan secara intensif dan rutin serta

memberikan saran dan solusi atas kesulitan yang dialami debitur, dan diharapkan

debitur yang bersangkutan dapat memenuhi kewajiban atau membayar tunggakan

angsuran.

Apabila debitur masih tetap tidak dapat memenuhi kewajibannya, maka

baru dilakukan tindakan berikutnya yang berupa pemberian surat peringatan

Pemberian surat peringatan dilakukan secara bertahap dan sebanyak tiga kali,

sampai pada tahap ini debitur masih saja tidak memenuhi kewajibannya maka

bank akan melakukan tindakan eksekusi atau pengambilan jaminan atau agunan

dari kekuasaan debitur.

Penanganan kredit bermasalah dapat dilakukan melalui negosiasi dan

eksekusi namun eksekusi merupakan jalan terakhir untuk dilakukan, karena

negosiasi mengedepankan penyelesaian secara keluarga dan tidak saling

memberatkan salah satu pihak, karena apabila dilakukan eksekusi terhadap objek

fidusia tersebut dimana debitur telah melakukan kewajibannya selama sekian lama

11
Herman Adriansyah, KUH-Perdata-(Burgerlijk Wetboek Voor Indonesie - Revisi data,
diakses dari https://www.scribd.com/doc/17453092/KUH-Perdata-Burgerlijk-WetboekVoor-
Indonesie-Revisi, pada 20 September 2017
12
7D.Y Witanto, Op.Cit. hlm. 204. 8Hasil Wawancara dengan Suhardi Ansor, Loc.Cit.
waktu dari perjanjian yang kemudian tersisa hanyalah beberapa angsuran

kemudian dilakukan ekseskusi tentu ini hal yang memberatkan bagi debitur itu

sendiri. Jika sampai pada tahap negosiasi hal ini masih belum bisa terselesaikan

maka hal selanjutnya adalah eksekusi daripada objek jaminan.13

13
Edwin Timothy, Eksekusi Objek Jaminan Fidusia Dalam Perjanjian Kredit, (Tesis,
Universitas Diponogoro Semarang, Semarang, 2008) hlm. 63.
BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. kesimpulan

Perjanjian fidusia adalah perjanjian hutang piutang kreditor kepada debitor

yang dalam hal ini Perusahaan Pembiayaan kepada konsumen yang mengikutkan

adanya jaminan. Dan Jaminan tersebut kedudukannya masih dalam penguasaan

perusahaan Pembiayaan.

Pada umumnya perusahaan atau lembaga pembiayaan didalam melaksanakan

penjualan atas barang bergerak tersebut kepada konsumen dengan menggunakan

perjanjian yang mengikutkan adanya jaminan fidusia bagi objek benda jaminan

fidusia berupa Bukti Pemilik Kendaraan Bermotor (BPKB), akan tetapi ternyata

dalam prakteknya banyak dari perjanjian yang dibuat oleh perusahaan tersebut

tidak dibuat dalam Akta Notariil (Akta Notaris) dan tidak didaftarkan di Kantor

Pendaftaran Fidusia untuk mendapat sertifikat Akta yang memuat irah-irah

“Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.” walaupun secara

tertulis lembaga pembiayaan tersebut dalam melakukan perjanjian pembiayaan

mencantumkan kata-kata dijaminkan secara fidusia berdasarkan ketentuan

Pasal 14 ayat (3) UU No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia (UUJF),
jaminan fidusia baru lahir pada tanggal yang sama dengan tanggal dicatatnya
jaminan Fidusia dalam Buku Daftar Fidusia.
Pasal 15 ayat (1) UU No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia :
“Dalam Sertifikat Jaminan Fidusia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1)
dicantumkan kata-kata "DEMI KEADlLAN BERDASARKAN KETUHANAN
YANG MAHA ESA".

Pasal 15 ayat (2) UU No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia :


“Sertifikat Jaminan Fidusia sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) mempunyai
kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap.”

Pasal 15 ayat (3) UU No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia :


“Apabila debitor cidera janji, Penerima Fidusia mempunyai hak menjual Benda
yang menjadi objek Jaminan Fidusia atas kekuasaannya sendiri.”

Melihat ketentuan diatas sebenarnya jika kreditur dalam hal ini Perusahaan

Pembiayaan tersebut membuat Perjanjian ke dalam Akta Notariil (Akta Notaris)

dan didaftarkan di Kantor Pendaftaran Fidusia maka akan memperoleh sertifikat

jaminan fidusia yang memuat irah-irah “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan

Yang Maha Esa.” Yang Dengan sertifikat jaminan fidusia itulah kreditur/penerima

fidusia secara serta merta mempunyai hak eksekusi langsung (parate executie)

tanpa memerlukan putusan Pengadilan karena Kekuatan hukum sertifikat tersebut

sama dengan putusan pengadilan yang sudah mempunyai kekuatan hukum yang

tetap.

Setelah mengetahui dasar dan ketentuan tersebut diatas , akibat hukum dari

perjanjian Fidusia yang dibuat tanpa menggunakan bentuk Akta Notariil dan tidak

didaftarkan, maka Perjanjian dengan jaminan Fidusia tersebut hanyalah berupa

Akta dibawah tangan yang tidak mempunyai kekuatan eksekutorial untuk

mengeksekusi langsung barang yang ada dalam penguasaan konsumen.


Permasalahan yang muncul adalah ketika konsumen tidak membayar

angsuran dalam beberapa waktu tertentu atau tidak melunasinya maka Pihak

Perusahaan Pembiayaan tidak dapat secara serta merta mengeksekusi secara

langsung. Proses eksekusi harus dilakukan dengan cara mengajukan gugatan

perdata ke Pengadilan Negeri melalui proses hukum acara perdata hingga putusan

pengadilan berkekuatan hukum tetap. Dan hal itu memerlukan waktu yang lama.

Padahal Faktanya Ada dari beberapa diantara konsumen memang benar-benar

melakukan pembayaran sampai dengan lunas namun ada juga konsumen yang

tidak bisa melunasinya.

Pada Prakteknya dalam mengatasi permasalahan yang timbul seperti

tersebut diatas , perusahaan pembiayaan biasanya menggunakan jasa Debt

Collector (DC)/Tukang Tagih untuk mengambil baik secara paksa maupun secara

baik-baik kendaraan dari tangan konsumen yang tidak melunasi kewajibannya

membayar hutang/ cicilan angsuran tersebut. dan kebanyakan di lapangan para

Debt Collector mengawasi tiap-tiap kendaraan yang melintas pada ruas-ruas jalan

tertentu dengan membawa sebuah buku yang berisi nomor Kendaraan (Plat

Nomor) tertentu, ketika kendaraan yang dimaksud melintas langsung dikejar dan

diberhentikan paksa, dan pengguna kendaraan itu juga biasanya dipaksa untuk

menandatangani berita acara penyerahan kendaraannya kepada Debt Collector

tersebut. Dan menghimbau kepada pemakai kendaraan itu untuk menyelesaikan di

kantor Pembiayaan yang bersangkutan. Sebagian dari masyarakat yang kurang

memahami perbuatan melawan hukum tersebut biasanya timbul rasa takut dan

dengan terpaksa menyerahkan kendaraan tersebut dan menandatangani berkas

yang disodorkan kepadanya.


Lebih jauhnya berdasarkan peraturan yang berlaku maka, Perbuatan para

Debt Collector yang mengatasnamakan perusahaan pembiayaan terkait dalam

mengeksekusi benda jaminan fidusia yang tidak didaftarkan tersebut adalah

merupakan tindak pidana. Baik perusahaan Pembiayaan maupun Debt

Collector yang digunakan jasanya tidak berhak mengeksekusi barang tersebut

secara langsung tanpa adanya putusan Pengadila yang sudah mempunyai

kekuatan hukum tetap. Perbuatan tersebut melanggar Pasal 368 KUHPidana

tersebut berbunyi :

“Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang
lain secara melawan hukum, memaksa seorang dengan kekerasan atau
ancaman kekerasan untuk memberikan barang sesuatu, yang seluruhnya atau
sebagian adalah kepunyaan orang itu atau orang lain, atau supaya membuat
hutang maupun menghapuskan piutang, diancam karena pemerasan, dengan
pidana penjara paling lama sembilan tahun.”

B. Saran

Setiap perjanjian jaminan fidusia seharusnya didaftarkan meskipun hal

tersebut berpengaruh terhadap biaya dan jumlah kredit yang diterima oleh debitur,

dengan tidak didaftarkannya objek jaminan tersebut maka hal ini akan merugikan

pihak kreditur itu sendiri, apabila terjadi hal-hal yang tidak diinginkan seperti

pengalihan objek jaminan tersebut maka debitur tidak dapat dituntut karena

tindakannya dan perjanjian itu sendiri batal demi hukum atau dianggap tidak

pernah ada.
DAFTAR PUSTAKA

Salim H.S., Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW), (Sinar Grafika : Jakarta,

2001)

........, Perancangan Kontrak & Memorandum Of Understanding (MoU), (Jakarta

: Sinar Grafika, 2008)

........, Perkembangan Hukum Jaminan di Indonesia, (PT. RajaGrafindoPersada :

Jakarta , 2004)

Subekti, Hukum Perjanjian, (Internusa : Jakarta, 1992)

........, Pokok-Pokok Hukum Perdata, (PT. Intermasas : Jakarta , 2010),

Subekti dan R. Tjitrosudibio, Kamus Hukum, (Pradnya Paramita : Jakarta, 1980)

Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata di Indonesia, (Liberty :

Yogyakarta, 1998)

........, Hukum Acara Perdata Indonesia, (Yogyakarta: Liberty, 1981), hal.110

Suharnoko, Hukum Perjanjian: Teori Dan Analisa Kasus, (Kencana : Jakarta,

2005)

Anda mungkin juga menyukai