Anda di halaman 1dari 5

Demokrasi Kampus: Gerbang Awal Solusi dari Masalah di UPI

Tofan Aditya*

“Seumpama bunga
Kami adalah bunga yang
Dirontokkan di bumi kami sendiri”
Bunga dan Tembok, Wiji Thukul

Prolog
Salam demokrasi!
Mari kita buka topik kali ini dengan kondisi pendidikan di Indonesia. Namun, sebelum lebih
jauh, mari kita kerucutkan menjadi pendidikan tinggi. Kita mulai dengan pertanyaan-
pertanyaan retoris: apakah Kawan-kawan keberatan dengan UKT yang Kawan-kawan
dapatkan? Bagi Kawan-kawan yang lolos jalur Seleksi Mandiri, apakah uang pangkal yang
sudah Kawan-kawan dapatkan terlalu mahal? Bagi perempuan, apakah Kawan-kawan merasa
aman dari pelecehan dan kekerasan seksual ketika berada di lingkungan kampus?
Walaupun saya tidak bisa menyamaratakan jawaban Kawan-kawan, tetapi saya akan meramal
jawaban dari Kawan-kawan. Berbicara mengenai UKT, mayoritas Kawan-kawan tentu
menjawab bahwa UKT yang didapat terhitung mahal. Sekadar informasi, UKT menjadi
permasalahan yang tidak pernah selesai. Pada awalnya, prinsip UKT adalah mahasiswa yang
mampu menyubsidi mahasiswa yang tidak mampu (subsidi silang). Berarti, konsep
perhitungannya mesti ditentukan berdasarkan pendapatan dan tanggungan biaya. Namun,
pada praktiknya, nominal UKT terkadang melebihi kemampuan dari pihak yang
membiayainya. Otomatis, penggolongan UKT tidak tepat sasaran!
Ditambah dengan kondisi COVID-19 hari ini. Kondisi ekonomi masyarakat menurun drastis.
Menurut data yang dipublikasikan oleh The SMERU Research Institution, pada September
2019 tingkat kemiskinan di Indonesia berada pada angka 9,2%. Namun, pada akhir tahun
2020 angka kemiskinan diprediksi berada pada kisaran 9,2—12,4%. Hal ini menunjukkan
dampak dari COVID-19 yang menyulitkan para pekerja.
Tak beda jauh dengan UKT, uang pangkal menjadi masalah yang hampir serupa. Uang
pangkal yang berada pada nominal Rp18.920.000—Rp39.060.000 tentu sangat memberatkan.
Hal tersebut diperparah dengan kondisi di tahun ini, karena tenggat pembayaran amat
sebentar. Lebih konyolnya, UKT bagi mahasiswa Seleksi Mandiri ditentukan langsung oleh
kampus tanpa mempertimbangan ekonomi dari mahasiswa. Tentu itu menghilangkan dasar
dari konsep UKT itu sendiri.
Selanjutnya, kekerasan dan pelecehan seksual menjadi isu yang meresahkan. Bisa dilihat dari
ramainya pemberitaan di media: salah satu Dosen Undip melakukan pelecehan seksual, dosen
predator di UIN Malang yang masih berkeliaran, pelecehan seksual di USU yang disimpan
menjadi rahasia jurusan, dan banyak lainnya. Namun, bukan berarti kampus yang tidak ada
pemberitaan artinya tidak ada kasus pelecehan ataupun kekerasan seksual. Bisa jadi, hal
tersebut karena sulitnya korban untuk speak up, melapor, atau meminta pertolongan kepada
orang lain.
Tentu ini menjadi ironi tersendiri. Mahasiswa, selaku mayoritas dari civitas academica
menjadi pihak yang tertindas. Perlu sama-sama kita ketahui pula, mahasiswa merupakan
penyumbang anggaran terbesar bagi kampus. Mahasiswa yang semestinya mendapat hak atas
rasa aman di lingkungan kampusnya sendiri.
Mengapa masalah tersebut tidak terselesaikan? Hal mendasar yang mesti diselesaikan adalah
membuka ruang-ruang demokrasi di kampus. Apa itu demokrasi? Menurut Kamus Besar
Bahasa Indonesia, demokrasi adalah gagasan atau pandangan hidup yang mengutamakan
persamaan hak dan kewajiban serta perlakuan yang sama bagi semua warga negara. Jika
konteksnya kampus, tentu persamaan hak dan kewajiban tersebut berada di tataran civitas
academica.

Sejarah Singkat Terbungkamnya Demokrasi Kampus: NKK/BKK


Awal mula terkungkungnya demokrasi di kampus adalah sejak penetapan Sistem Normalisasi
Kehidupan Kampus (NKK) dan Badan Koordinasi Keorganisasian (BKK) pada seluruh
perguruan tinggi di Indonesia. Kebijakan ini hadir ketika gerakan mahasiswa yang dipimpin
Hariman Siregar (Dewan Mahasiswa Universitas Indonesia) menentang kebijakan ekonomi
dari Presiden Soeharto. Hariman melakukan demonstrasi besar-besaran untuk menolak
kedatangan Perdana Menteri Tanaka dari Jepang. PM tersebut berencana melakukan
penanaman modal asing di Indonesia.
Mahasiswa menuntut agar Soeharto tidak menandatangani kesepakatan. Jika tetap
menandatangani, mahasiswa menuntut Soeharto untuk mundur dari jabatannya. Akan tetapi,
Soeharto tetap menandatangani kesepakatan tersebut. Alhasil, pada 15 Januari 1974 di
Jakarta, terjadi kerusuhan besar yang dilakukan oleh dewan mahasiswa se-Jakarta. Peristiwa
yang disebut sebagai Malari (Malapetaka Lima Belas Januari) menelan banyak korban jiwa.
Setelah peristiwa tersebut, Soeharto menganggap gerakan mahasiswa sangat berbahaya untuk
pembangunan, baik ekonomi nasional maupun dunia industri di Indonesia. Ia berpendapat
bahwa dalam situasi pembangunan ekonomi seperti ini, kegaduhan politik harus segera
ditumpas. Setelah peristiwa Malari, Soeharto—melalui Menteri Pendidikan dan Kebudayaan,
Daoed Joesof—menindaklanjutinya dengan Surat Keputusan Menteri No. 0156/U/1978
tentang Normalisasi Kehidupan Kampus (NKK).
Setahun setelahnya, Daoed Joesof kembali mengeluarkan Surat Keputusan No. 037/U/1979
tentang Pedoman Umum Organisasi dan Keanggotaan Badan Koordinasi Kemahasiswaan
(BKK). Isi dari kebijakan tersebut adalah mengatur bentuk dan susunan organisasi
kemahasiswaan. Tujuannya untuk mengontrol kegiatan mahasiswa, agar terhindar dari
kegiatan politik dan penyatuan keorganisasian mahasiswa dengan kampus melalui rektor dan
dekan. Dampaknya, mahasiswa tidak lagi bebas berpendapat, berkumpul, dan berserikat. Hal
tersebut tentu berdampak negatif terhadap demokrasi yang ada di kampus.

Dampak NKK/BKK Hari Ini


Meskipun sudah tidak diterapkan lagi, peninggalan NKK/BKK masih membekas hingga hari
ini. Segala aktivitas yang berhubungan dengan proses berpendapat, berkumpul, dan berserikat
menjadi dipersulit. Khususnya, hal yang bersangkut paut dengan perjuangan massa dan
pemikiran kritis.
Dalam hal berpendapat, banyak mahasiswa yang takut untuk menyampaikan aspirasinya.
Alasannya jelas: ancaman dari pihak kampus. Dalam beberapa kasus, mahasiswa yang
melakukan aksi acap kali mendapat ancaman dari dosen ataupun pihak rektorat. Ancaman-
ancaman tersebut dapat berupa pengurangan nilai, tidak diluluskan dalam mata kuliah,
dicutikan paksa, bahkan yang paling parah adalah ancaman Drop Out (DO).
Kemudian, dalam hal berkumpul, sering kali terjadi pembubaran diskusi oleh pihak kampus.
Misalnya, pada akhir Januari 2019, Unit Pers Mahasiswa (UPM) melaksanakan diskusi
bertajuk “Indikasi Korupsi Kampus”. Diskusi yang juga mengundang pihak Indonesian
Corruption Watch (ICW) tersebut dibubarkan kampus, dengan alasan tidak memiliki surat
izin kegiatan. Dalam penelusuran lebih jauh, pihak rektorat menuding bahwa tajuk yang
dibawa oleh UPM terlalu menuding kampusnya. Bagaimana bisa, kampus yang notabene-nya
tempat pikiran kritis semestinya hadir, justru dibungkam oleh pimpinan dari kampus itu
sendiri dengan alasan yang dibuat-buat?
Kegiatan berserikat pun terkadang mendapat intervensi dari pihak rektorat. Korbannya adalah
organisasi yang berada dalam ruang lingkup universitas. Banyak dari organisasi yang
di-“anak tiri”-kan oleh kampus, khususnya organisasi-organisasi yang bisa dibilang cukup
kritis untuk mendalami kebijakan dari pihak kampus. Alur birokrasi dapat menjadi sangat
berbelit-belit. Prestasi menjadi salah satu yang dicari oleh pihak kampus. Tentu ini menjadi
sulit apabila organisasi tersebut bergerak di bidang kajian, khususnya organisasi kajian
tentang kemasyarakatan.
Tentu bukan hanya proses berpendapat, berkumpul, dan berserikat saja yang dibatasi,
melainkan juga pengawalan terhadap seluruh kebijakan kampus menjadi sulit Karena kampus
tidak terbuka mengenai data-data yang semestinya disampaikan kepada masyarakat. Hal
tersebut mengakibatkan sulitnya untuk melakukan kajian terhadap kebijakan-kebijakan
kampus.
Semua yang telah kita bahas tadi adalah sedikit dari banyaknya dampak dari merosotnya
ruang-ruang demokrasi hari ini. Dengan ruh NKK/BKK yang masih diterapkan oleh kampus,
mahasiswa dibentuk menuju karakter apatis, skeptis, pragmatis, dan tak acuh terhadap situasi
sosial politik. Mahasiswa yang memiliki kebiasaan berdiskusi, membaca, dan menulis akan
semakin sulit ditemukan. Padahal, untuk menghidupkan kembali demokrasi di kampus, tiga
kebiasaan tersebut mestilah dirawat dan senantiasa dilakukan.
UPI dan Demokrasi yang Belum Tuntas
Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) merupakan salah satu kampus yang berlabel
PTNBH. Dengan label tersebut, UPI memiliki wewenang untuk mengatur baik akademik
maupun non-akademik. Ada lima sektor yang dapat diatur dalam hal non-akademik, salah
satunya adalah keuangan. Artinya, UPI memiliki wewenang untuk mengatur keuangannya
sendiri.
Jika kita ambil simpelnya, UKT yang kita semua dapatkan itu diatur oleh UPI sendiri. Ketika
berbicara UKT yang terlalu mahal, pihak yang memiliki wewenang untuk menentukan dan
mengubah nominal itu adalah UPI sendiri.
Kampus ibarat pasar yang memperdagangkan pendidikannya. Siapa yang menginginkan
pengakuan atas pendidikan (ijazah), mesti membayar dengan harga yang tak murah bagi
sebagian yang menginginkannya. Barangkali, lahir argumen yang menyebutkan:pasar adalah
tempat di mana kesejahteraan berada. Namun, sayangnya, jika melihat data yang telah
dihimpun, hal tersebut tidak terjadi. Dalam riset Isola Menggugat tahun ini, kita dapat melihat
lebih dari 50% Mahasiswa UPI menginginkan penurunan nominal UKT (riset ini belum
ditambah dengan kawan-kawan mahasiswa angkatan 2020).
Jika boleh saya utarakan, riset dari Isola Menggugat belum seluruhnya terkaji. Hal tersebut
karena kurangnya data-data yang dipublikasikan pihak kampus. Misalnya data mengenai
nominal Biaya Kuliah Tunggal (BKT) dan Unit Cost mahasiswa. Padahal data tersebut dapat
memberi tahu kita sebagai mahasiswa, tentang apa saja yang telah kita bayarkan dalam
menempuh perkuliahan satu semester. Belum lagi, data mengenai kuota dari setiap golongan
UKT. Data yang mampu membuktikan prinsip UKT adalah mahasiwa yang mampu
menyubsidi mahasiswa yang tidak mampu.
Selanjutnya, berbicara mengenai pelecehan dan kekerasan seksual, bisa dikatakan UPI belum
menjadi rumah yang nyaman bagi mahasiswa, khususnya mahasiswa perempuan.
Pembungkaman terhadap korban menjadi salah satu yang perlu menjadi sorotan. Kampus,
semestinya, tidak lepas tangan terhadap seluruh korban yang telah menjadi korban dari
pelecehan dan kekerasan seksual. Hal tersebut diperparah dengan tidak jelasnya sanksi bagi
pelaku-pelaku tindak asusila tersebut. Kampus juga semestinya membuat sebuah regulasi dan
pedoman dalam mencegah dan menangani kasus pelecehan dan kekerasan seksual, baik
penanganan untuk korban maupun hukuman bagi pelaku.

Epilog
Berbagai masalah yang hadir, di UPI, solusinya dapat terbuka melalui penerapan demokrasi
di kampus. Dengan dibukanya keran-keran data, juga kebebasan untuk berbicara, berkumpul,
dan berserikat akan memudahkan mahasiswa untuk menentukan langkah selanjutnya dalam
menyelesaikan satu per satu permasalahan di UPI.
Mari sama-sama bergerak dalam mendorong sebuah demokrasi terjadi. Karena dengan
adanya sebuah demokrasi, kebenaran akan mulai tersingkap satu per satu. Setelah kebenaran
tersingkap, keadilan dan kesejahteraan akan menjadi suatu keniscayaan. Demokrasi Kampus:
Gerbang Awal Solusi dari Masalah di UPI.
Salam demokrasi!

Sumber:
Esai Wujudkan Kampus Demokrastis oleh Roy Soedisman.
Hasil Kajian Ekonomi Politik terhadap Kebijakan UKT dan Anggaran UPI 2020 oleh Isola
Menggugat.
Artikel The Impact of COVID-19 Outbreak on Poverty: An Estimation for Indonesia oleh
Suryadi.

*Tofan Aditya, Tim Riset dan Kajian Isola Menggugat, Kepala Departemen Media dan
Propaganda UKSK UPI, dan Jurnalis Literat, bercita-cita menjadi petani.

Instruksi Penugasan :
1. Baca tulisan dengan seksama
2. Berdasarkan tulisan diatas, buatlah sebuah pamflet/infografis (kamu bisa
menggunakan aplikasi desain seperti canva, spark post, dll) yang memuat poin berikut
:
a. Pengertian Demokrasi Pendidikan
b. Urgensi Demokrasi Kampus
c. Dampak Dibungkamnya Demokrasi Kampus
d. UPI Dan Demokrasi Yang Belum Tuntas
3. Upload pamflet buatanmu ke Instagram dengan hashtag
#DemokrasiKampus
#UPIBelumDemokratis
#MokakuUPI2020

Anda mungkin juga menyukai