Anda di halaman 1dari 5

Dingin.

Ku raih jaket yang menggantung di paku yang tertancap pada dinding. Hujan deras menghantami
barisan rapi genting. Embusan angin menusuk tulang daging. Purnama menghilang saat sebelumnya
tersenyum di langit kering.

Aku masih terduduk dalam diam, di dekat jendela ruang tamu, di temani asap yang mengepul dari
embus napasku. Lampu tamu kuredupkan.

“Dik, lagi ngapain.” Sayup-sayup suara tengah melintas. Aku tercekat. Sesosok manusia telah
berdiri di belakangku.

“Sudah larut malam, lekas tidur,” katanya lagi. Aku bangkit. Mematuhi perintah orang itu yang
ternyata adalah kakakku. Tak baik memang merenung sendirian apalagi saat malam ditemani jutaan
rintik hujan berjatuhan. Langkahku menuju kamar. Tapi dalam pikiranku seperti masih ada yang
mengganjal dan ingin ku sampaikan kepada seorang. Hanya ada kakakku di ruang tamu. Ayah dan ibuku
sudah tidur. Tak ku lanjutkan sepasang kaki ini menuju kamar, tetapi menemui kakakku.

“Kak ?,”sapaku.

“Ya ?.”

“Belum tidur ?”

“Belum,Kakak masih harus menyelesaikan skripsi kuliah dulu. Kenapa kamu belum tidur ?,”
tanyanya. Aku menggeleng.

“Aku belum mengantuk. Kak boleh aku bertanya sesuatu ?”

“Apa, Ris ?”
“Dulu saat Kakak meraih juara satu lomba pentas drama wayang orang itu, emang ramuan apa
yang Kakak pakai?,” tanyaku heran. Kakakku malah tertawa.

“Dulu Kakak memang suka dengan cerita pewayangan. Di saat Kakak SMA waktu itu sedang
diadakan lomba pentas drama tingkat kabupaten, dan Kakak mengikuti lomba itu sama teman-teman.
Apalagi waktu itu adalah bulan Agustus. Kakak selaku orang Jawa ingin sekali bisa memperkenalkan
wayang kepada masyarakat luas. Apalagi saat bulan kemerdekaan waktu itu tentunya sebagai orang
Indonesia harus bisa memamerkan adat kebudayaannya kepada massa. Jadi bukan karena ramuan,
kamu ini.”

Aku berpikir sejenak. Memang, Kakakku suka sekali dengan yang namanya wayang. Dia juga pandai
memerankan dirinya sebagai tokoh pewayangan seperti Rama, Puntadewa, Arjuna, seperti tokoh tokoh
yang ada di dunia Alengka dan Astina itu.

“O ya Kak.Ini kan akhir bulan September, sekolahku akan mengadakan acara lomba di bulan
Oktober nanti, apalagi Oktober adalah bulan bahasa. Nah, acaranya nanti menghadirkan tokoh-tokoh
atau bisa dikatakan orang yang ahli dalam kebudayaan.”

“Budayawan maksudmu ?,” tegasnya.

“Ya, itu. Aku bingung. Aku kan tidak terlalu suka masalah tentang budaya,” aku mendengus.

“Kenapa tidak suka? Kamu kan orang Indonesia. Banyak sekali kebudayaannya. Di Jawa Tengah dan
Yogyakarta beraneka budaya keseniannya hampir terkenal di seluruh Indonesia. Contohnya wayang,
wayang pun banyak jenisnya seperti wayang kulit,wayang orang, wayang golek. Lihat saat kakak
menjuarai lomba pentas drama yang kamu tanyakan tadi. Kakak mendapat juara karena kakak berusaha
dalam menghayati untuk memerankan sebagai wayang orang. Apabila kamu cinta budaya kita kita
berarti telah melestarikan budaya Indonesia di ambang kemusnahan,” jelas kakak panjang lebar.

“Maksud Kakak kemusnahan yang bagaimana ?” tanyaku.


“Nanti kamu tahu sendiri. Sekarang kamu tidur.”

Di kamar, aku masih bertanya-tanya arti kemusnahan yang seperti apa Kakakku bilang. Langit
tuntas menghabiskan jutaan liter isinya yang meluap-luap . Aku lelap. Bersama sinar gelap.

****

Di sekolah aku mendapati temanku Rio dan Febri. Mereka menanyakan padaku tentang lomba
yang akan digelar nanti. Namun kujawab, “Belum ada ide”. Sepulang sekolah aku melihat temanku,
Hendra. Dia adalah temanku yang paling nakal, ceroboh, dan suka bertingkah yang membuat orang lain
berujung marah. Pada awalnya dia adalah anak yang supel, namun nampaknya setelah kecanduan film-
film barat yang diputar, dia seperti kerasukan. Kerasukan sifat semaunya sendiri dan ikut ke arah negatif
dari budaya negara lain. Aku ditemuinya di jalan, dia tidak sekolah hari ini. Lagaknya seperti preman
kesasar. Yang membuat diriku ingin muntah ketika melihatnya. Dandanannya seperti orang orang bule
yang kacau balau. Rambutnya disemir. Mirip orang sinting jika aku ingin menyebutnya. Tapi , aku tak
ingin terjerembab seperti itu. Buat apa ? Aku langsung pergi meninggalkannya tanpa basa basi.

Sekitar tiga puluh tujuh meter menuju rumah, aku melihat sosok gadis tubuhnya gemolek sekian
rupa. Ku sapa dia. Temanku juga.

“Hai Rin?” sapaku kepada Rini.

“Hai Aris. Baru pulang ? Eh lihat nih, tas baru dan kalung emas ku. Tadi aku baru dibelikan dari
Singapura sama Pamanku loh,” sombongnya.

Besar kepala. Percaya dirinya tingkat akut, saat apa apa yang di dapatkannya itu menarik untuk
dipamerkan. Tapi menurutku, boro boro.

“Iya nih, baru pulang. Kamu nggak sekolah ya ?”


“Oh tidaaak, karena aku sebenarnya sudah tak sabar menunggu oleh oleh Pamanku dari Kuala
Lumpur ini. Lihat nih, mahal,” katanya narsis. Miris. Dalam hati sebanarnya aku tak acuh.

“Ohh, aku pulang dulu ya,”kataku. Jika kelamaan di situ, aku ingin sekali muntah.

Sesampai di rumah, aku pasang muka cemberut. Kak Arif, nama Kakakku menemuiku duduk di
kursi tamu.

“Kenapa Ris, ditekuk tekuk begitu mukamu?” tanyanya heran.

“Teman temanku Kak.”

“Kenapa teman temanmu ?”

“Si Hendra, Kakak tahu sendiri kan, dia anaknya itu seperti apa. Aku cermati, gara gara film
kebarat-baratan itu yang membuatnya jadi malah agak aneh. Lihat sifatnya. Senonoh. Lalu tadi si
Rini,dengan sombongnya dia memamerkan tas dan kalungnya yang dibelikan pamannya dari Kuala
Lumpur. Memang hanya di Malaysia saja yang ada, bukannya di Indonesia juga ada kan ?”

Kak Arif menepuk pundakku, lalu berkata,

“Itu yang tadi malam Kakak maksud. Indonesia yang banyak sekali kebudayaannya kini berada di
ambang kemusnahan, sebagai maksud dan contohnya ya yang kamu ceritakan tadi. Hendra
berpenampilan seperti orang luar negeri atau kebarat-baratan. Seperti itu kah penampilan orang
Indonesia yang sebenarnya ? Kemudian Rini, dia tertarik dengan barang barang buatan luar negeri pula.
Padahal Indonesia juga punya, bukan ? Asalkan kamu tahu produk asli Indonesia justru mutunya lebih
bagus. Apabila banyak orang Indonesia yang lupa akan kebudayaannya, malah memilih untuk ditiru dan
memakai barang luar negeri, akan seperti apa Indonesia nanti ? Itulah budaya Indonesia jika Kakak nilai
memang sudah di ambang kepunahan.”
“Indonesia akan terpuruk dong Kak ? Oh ya, kemarin aku lihat Dita. Di rumahnya dia memakai
gaun ala Eropa. Ya, maklum dia orang kaya punya banyak ini itu dari luar negeri. Toh pakaiannya itu loh.”

“Nah, itu juga sebagai salah satu dampak budaya Indonesia yang budayanya akan hilang.
Indonesia memiliki pakaian batik, kenapa dia tidak memilih batik saja, yang merupakan asli Indonesia
dan termasuk budaya yang ada di dalamnya. Kakak sarankan padamu, cintailah budaya asli Indonesia.
Kamu suka pakaian batik kan Ris?” tanya kakak.

“Ya, aku juga punya banyak,” jawabku.

“Begini, saat lomba disekolahmu di adakan, kamu festivalkan saja busana batik. Terutama batik
yang ada di Jawa Tengah. Itu bisa menjadikan batik tidak punah di ambang kemusnahan. Karena dengan
di pamerkannya batik dalam tempat terbuka, orang-orang yang suka dengan budaya dalam negeri akan
lebih menggemarinya. Dan budaya Indonesia, salah satunya batik, akan menjadi terkenal dalam dunia
lokal maupun internasional. Percayalah sama kakak, Ris. Kakak mengandalkanmu sebagai inspirator
budaya Indonesia, terutama pada batik. Jika kakakmu ini sebagai penggemar wayang dalam budaya seni
Indonesia dari Jawa, kakak berharap kamu sebagai adik juga memiliki kegemaran dengan budaya
Indonesia pula minimal dari Jawa. Karena kamu suka batik, jadikanlah batik sebagai budaya asli
Indonesia agar dunia bisa mengenalinya bukan malah dari luar negeri yang harus kita tiru,” jelas kakak.

“Iya aku setuju. Terima kasih saranmu, Kak.” Aku merasa senang.

Dalam hatiku, mengharapkan agar Indonesia masih menyimpan banyak budaya, dan aku, sebagai
anak Indonesia akan berusaha dalam melestarikan kebudayaan asli negaraku sendiri, supaya bisa
dikenal di seluruh penjuru waktu mendatang.

****

Anda mungkin juga menyukai