Anda di halaman 1dari 2

Mahalnya Bicara

(Nama, tempat, dan waktu dalam cerita ini disamarkan demi prinsip kerahasiaan pasien)

Saya sedih melihat seorang pasien hari ini. Awalnya saya sedikit terkejut mendengar bahwa ia
merupakan penderita stroke. Tidak ada lumpuh sebelah, lidah perot, atau synergic pattern khas yang
ditunjukkan pasien stroke kebanyakan. Ia terlihat sehat dengan langkah yang tegap, bahkan sempat
menyalami kami dan tersenyum. Manifestasi stroke memang macam-macam, tergantung bagian
otak mana yang terkena. Paling banyak mengenai bagian yang mengatur motorik anggota gerak,
sehingga lumpuh menjadi tanda utama. Namun bisa juga di area lain, sehingga gejalanya akan
berbeda. Kasus semacam ini cukup jarang.

Pasien kalau bicara tidak nyambung. Jika ia bercerita, sangat susah untuk memahaminya karena
kata-kata yang ia gunakan kacau dan tidak berhubungan. Tidak ada SPOK-nya, diksinya juga aneh.
Kadang pasien tiba-tiba akan kesal dan menangis sendiri.

Saya mecoba untuk melihat lebih detail, mencoba melihat jauh ke dalam. Saya bertanya pada pasien
sebuah pertanyaan sederhana, “Apa yang Anda rasakan saat ini?”. Saya melihat pasien berpikir
sebentar. Raut wajah, gerak tangan, dan pandangannya jelas. Saya tahu beliau paham apa yang saya
tanyakan. Ia kemudian sedikit mengambil ancang-ancang. Mulutnya akan berbicara. Saya tahu
jawabannya sudah ada di sana, dalam pikirannya. Namun ketika diucapkan, yang keluar justru kata-
kata yang sama sekali tidak nyambung. Pasien terdiam sebentar, memejamkan mataya, menghela
napas, tampak kesal dengan dirinya sendiri.

Orang awam yang melihat pasien ini tentu akan mengira ia sudah gila. Ini yang membuat saya sedih.
Orang sering salah paham dengan pasien dengan kondisi patologis semacam ini. Isolasi atau
pengabaian yang mereka lakukan, yang seringnya oleh keluarga terdekat, justru akan semakin
memperberat kondisinya. Hal ini cukup sering terjadi.

Padahal, sebenarnya pasien ini mengalami stroke pada area Broca. Area broca pada otak mengatur
kemampuan berbicara. Inilah mengapa kemampuan bicara pasien menjadi terganggu. Ia mengerti
apa yang kita bicarakan, ia masih bisa berpikir, hanya gagal saat mengatakan apa yang dipikirkannya.
Tidak heran, pasien dengan kondisi demikian sering tiba-tiba merasa kesal dan menangis. Tentu
sangat frustasi ketika kita tidak bisa mengatakan apa yang kita pikirkan secara jelas dan benar. Dan
lebih menyedihkan lagi ketika orang-orang di sekitar malah menganggap kita sudah gila.

Saya menyadari banyak hal dari kasus beliau, bahwa ternyata berbicara amat penting bagi hidup
seseorang. Dan kadang harganya amat mahal. Saya selalu diajarkan untuk berbicara atas nama hati
nurani, sesuai dengan apa yang saya rasakan. Saya diajarkan untuk berbicara apa adanya. Kasus ini
mengajarkan saya untuk memandang nikmat berbicara secara lebih bijaksana. Bahwa hal itu
termasuk suatu berkat yang harus digunakan dengan amat hati-hati, dan dengan rasa syukur, karena
hal itu dapat diambil kapan saja.

Namun begitu, pasien ini juga mengajarkan satu hal baru dan membuka perspektif lain dalam
pandangan saya terhadap berbicara, bahwa amat penting pula untuk berbicara agar mengerti dan
dimengerti orang lain. Satu hal unik yang saya temukan adalah meskipun pasien ini jika bercerita
menggunakan bahasa yang kacau, istrinya memahami apa yang ia maksud. Ketika sang istri
menjelaskan maksud cerita tersebut kepada kami, saya melihat raut wajah sang pasien menjadi
tersenyum. Istrinya memahami apa yang ia maksud. Ia, walaupun menggunakan bahasa planet,
berhasil membuat istrinya paham. Ada sesuatu diluar hubungan verbal yang membuat mereka saling
paham. Apakah itu cinta? Siapa tahu.

Otak adalah organ yang mengerikan bagi saya. Mengerikan untuk dipelajari, karena sungguh amit-
amit susahnya. Ia juga mengerikan untuk sebab yang lain. Otak adalah organ yang sangat misterius,
juga egois. Ia kuat, sangat vital, namun di saat yang sama ia sangat-sangat rapuh. Ia seperti mesin
yang amat rumit, dengan komponen-komponen yang tidak biasa dan aneh. Kita mutlak
membutuhkan otak. Tidak ada otak berarti mati. Beberapa anak memang lahir tanpa otak dan
bertahan, tapi mereka hidup dengan status vegetasi, jadi pada dasarnya ia juga mati. Karena hidup
yang sebenarnya tentu adalah hidup yang bisa merasa, sadar, mandiri, dan bebas.

Mengerikan melihat fakta bahwa ada bagian otak yang mengendalikan suatu bagian dari tubuh kita.
Ada, bisa terlihat, dan kapan saja bisa rusak. Saya masih belum sepenuhnya percaya dengan konsep
otak sebagai mesin pengendali, sebuah CPU, motherboard. Saya orang yang spiritualis, dan percaya
bahwa ada sesuatu diluar benda material, diluar organ badani, yang mengendalikan kesadaran dan
kemampuan kita, entah orang menyebutnya jiwa, ruh, alam rohani, atau apapun itu. Tapi fakta
klinis membuktikkan bahwa otak benar-benar mengendalikan semua fungsi dasar manusia, bahkan
termasuk kesadaran. Bagian otak yang mengendalikan hal-hal abstrak seperti kreativitas, emosi,
perasaan, yang pada akhirnya akan menentukan karakter dan sifat manusia, benar-benar ada.
Dengan kata lain, otak, pada dasarnya adalah Ruh kita.

Anda mungkin juga menyukai