Anda di halaman 1dari 56

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Peledakan (Blasting)


2.1.1 Definisi
Peledakan merupakan bagian penting dari siklus pertambangan,
hampir semua bentuk pertambangan batu dipecahkan oleh pengeboran dan
peledakan. Teknologi peledakan adalah proses patahan material dengan
menggunakan sejumlah perhitungan dari ledakan sehingga volume material
pecah dapat ditentukan.
Tingkat fragmentasi batuan hasil peledakan merupakan suatu petunjuk
yang sangat penting untuk menilai keberhasilan suatu peledakan dimana
ukuran material yang seragam lebih disukai dari pada material yang lebih
banyak berukuran halus ataupun berukuran bongkah.

2.1.2 Konsep Dasar Peledakan

Bahan peledak merupakan sarana yang efektif sebagai alat


pembongkar batuan dalam industri pertambangan. Oleh karena itu perlu
dimanfaatkan sebagai barang yang berguna, disamping juga merupakan
barang yang berbahaya. Untuk itu dalam pelaksanaan pekerjaan peledakan
harus hati-hati sesuai dengan peraturan dan teknik-teknik yang diterapkan,
sehingga pemanfaatannya lebih efisien dan aman.

Kegiatan peledakan pada massa batuan mempunyai tujuan, yaitu:

1. Membongkar atau melepaskan batuan (bahan galian) dari batuan


induknya.
2. Memecah dan memindahkan batuan.
3. Membuat rekahan.

5
6

Teknik peledakan yang dipakai tergantung dari tujan peledakan dan


pekerjaan atau proses lanjutan setelah peledakan. Untuk mencapai pekerjaan
peledakan yang optimum sesuai dengan rencana, perlu diperhatikan faktor-
faktor sebagai berikut:

1. Karakteristik batuan yang diledakkan.


2. Karakteristik bahan peledak yang digunakan.
3. Teknik atau metode peledakan yang diterapkan

Suatu proses peledakan biasanya dilakukan dengan cara membuat


lubang tembak yang diisi dengan sejumlah bahan peledak. Dengan
penerapan metode peledakan, geometri peledakan, geometri peledakan dan
jumlah bahan peledak yang sesuai untuk mendapatkan hasil yang
diinginkan.

2.1.3 Pertimbangan Dalam Membuat Rancangan Peledakan

Hal-hal yang perlu dipertimbangkan dalam membuat rancangan


peledakan adalah:

1. Kepekaan Lokasi, kondisi di sekitar lokasi peledakan dalam hal perkiraan


getaran dan tingkat getaran yang diperbolehkan pada struktur terdekat.
2. Fragmentasi yang diinginkan.
3. Perpindahan tumpukan material hasil ledakan.
Arah perpindahan tergantung pada jalur daya tahan paling kecil
yang dapat ditelusuri energi bahan peledak, dimana rancangan peledakan
yang tepat (stemming yang baik, distribusi energi yang tepat, toe yang
kecil, dll), urutan delay dapat mengendalikan arah dan tingkat
perpindahan material hasil ledakan.
4. Pengendalian Dinding.
Interval delay yang terlalu singkat antara lubang dalam satu baris
dan antar baris dapat menyebabkan overbreak yang berlebihan.
7

5. Geologi
Batuan berlapis-lapis dengan kohesi terbatas dapat bergeser
sehingga menyebabkan patahnya bahan peledak. Sedangkan batuan besar
yang banyak retakannya dapat mengalirkan gas bahan peledak ke semua
arah sehingga meningkatkan potensi terjadinya cutoff.
Batuan yang lunak memerlukan waktu yang lebih lama untuk
melakukan perpindahan sehingga diperlukan waktu yang lebih lama
antara baris-baris untuk mengendalikan pecah yang berlebihan.
6. Kondisi Air
Batuan jenuh (lubang peledakan yang terisi air) dapat meneruskan
tekanan air dari titik peledakan ke daerah-daerah disekitarnya. Tekanan
ini dapat menyebabkan decounting isi bahan peledak atau meningkatkan
densitasnya sampai ke titik yang tidak memungkinkan peledakan
(deadpressed).
7. Bahan peledak yang digunakan
Produk bahan peledak dengan densitas yang lebih besar (>1.25
g/cc) yang menggunakan udara tersikulasi untuk mengatur kepekaan,
mudah terkena dead pressing dari peledakan lubang peledakan yang
berdekatan.
8. Sederhana
Rsncangan yang rumit akan memerlukan waktu tambahan untuk
menghubungkan dan mengevaluasi rangkaian (dengan memeriksa
penyambungan pada konfigurasi delay).

2.1.4 Persiapan Peledakan

Persiapan peledakan adalah semua kegiatan, baik teknis maupun


tindakan pengamanan yang ditujukan untuk dapat melaksanakan peledakan
dengan aman dan berhasil. Persiapan peledakan dapat dibagi atas beberapa
bagian atau tahapan kerja diantaranya:
8

1). Pengamanan lapangan kerja selama pelaksanaan persiapan peledakan,


ini dimaksudkan untuk mencegah hal-hal yang tidak diinginkan atau
terjadinya kerusakan pada alat-alat tambang maupun keamanan pekerja
tambang.
2). Persiapan alat bantu peledakan, antar lain: detonator, kabel pembantu,
kabel utama, blasting ohm meter, dan blasting machine.
3). Pembuatan primer, yang berfungsi untuk menghentakkan (shock) isian
utama atau blasting agent, sedangkan primer itu sendiri dihentakkan
dengan detonator.
4). Pengisisan Lubang Ledak.
5). Syarat pengisian lubak ledak adalah periksa lebih dahulu keadaan
lubang. Pemeriksaan ini dapat dilakukan dengan pantulan sinar dan
sepotong cermin atau stick yang cukup panjang:
a. Waktu pengisian ke dalam lubang ledak harus hati-hati sehingga
detonator rusak.
b. Hindari pemakaian detonator yang terlalu pendek, namun kalau
terpaksa sambungan-sambungan harus diisolasi dengan baik.
c. Jangan memadatkan primer.
d. Diameter primer harus lebih kecil dari diameter lubang ledak. Bila
waktu memasukkan primer agak susah turunnya ke dalam lubang
maka dapat dibantu atau didorong dengan stick secara perlahan-
lahan.
e. Setelah primer telah sampai benar-benar didasar lubang maka bahan
peledak dapat dimasukkan. Bila memakai bahan peledak ANFO
maka dilarang memadatkannya sehingga berat bertambah.
f. Pengisian bahan peledak paling banyak 2/3 dari lubang ledak.
6). Stemming
Syarat pengisian stemming adalah sebagai berikut:
a. Bahan stemming adalah dari cutting pemboran.
b. Stemming harus dibuat cukup padat untuk itu perlu dipadatkan (di-
tamping) dengan menggunakan stick.
9

c. Stemming diusahakan bisa memperkecil suara peledakan dan


mengurangi getaran hasil peledakan.
7). Perangkaian Peledakan (Tie-Up)
Perangkaian dengan menggunakan:
a. Detonator Biasa.
b. Detonator Listrik.
c. Detonator Non-Elektrik (Nonel).
d. Detonator Elektronik

2.2 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kegiatan Peledakan


Faktor-faktor yang mempengaruhi kegiatan peledakan dapat
dikelompokkan dalam dua kategori, yaitu peubah yang tidak dapat
dikendalikan (uncotrollable variable) dan peubah yang dapat dikendalikan

2.2.1 Faktor yang Tidak Dapat Dikendalikan


Dalam kegiatan pemboran dan peledakan, karakteristik massa batuan
yang perlu diperhatikan yaitu kekerasan/kekuatan batuan, elastisitas dan
platisitas batuan, abrasivitas batuan dan kecepatan perambatan gelombang
pada batuan.
1. Lapisan Tanah Penutup (Overburden)
Lapisan Tanah Penutup (Overburden) adalah semua lapisan
tanah/batuan yang berada di atas dan langsung menutupi lapisan bahan
galian berharga sehingga perlu disingkirkan terlebih dahulu sebelum
dapat menggali bahan galian berharga tersebut. Lapisan tanah penutup
yang dapat ditemui umumnya dikelompokkan menjadi beberapa sifat
yaitu (Peurifoy, R. L., 1970, “Construction, Planing, Equpment and
Methods”, Second Edition, Mc Graw-Hill, Kogakusha Ltd, Texas):
1) Material yang Sangat Mudah Digali (Sangat Lunak)
 Material yang mengandung sedikit air, misalnya pasir, tanah
biasa, kerikil, campuran pasir dengan tanah biasa.
10

 Material yang banyak mengandung air, misalnya pasir


lempungan, lempung pasiran, lumpur dan pasir yang banyak
mengandung air.
2) Material yang Lebih Keras (lunak)
Misalnya tanah biasa yang bercampur kerikil pasir yang
bercampur dengan kerikil pasir yang kasar.
3) Material yang setengah Keras (Sedang)
Misalnya batubara, shale (clay yang sudah mulai kompak),
batuan kerikil yang mengalami sementasi dan pengompakan,
batuan beku yang sudah mulai lapuk, dan batuan-batuan beku yang
mengalami banyak rekahan-rekahan.
4) Material yang Keras
Misalnya sandstone, limestone, slate, vulcanic tuff, batuan
beku yang mulai lapuk, mineral-mineral penyusun batuan yang
telah mengalami sementasi dan pengompakan.
5) Material Sangat Keras
Misalnya batuan-batuan beku dan batuan-batuan metamorf,
contohnya granit, andesit, slate, kwarsit dan sebagainya.
6) Batuan yang Masif
Yaitu batuan-batuan yang sangat keras dan kompak seperti
batuan beku berbutir halus.

Berdasarkan sifat-sifat tersebut, metode pengupasan tanah penutup


dapat dikelompokkan sebagai berikut:
1) Material yang sangat lunak dapat dilakukan dengan menggunakan
excavator, backhoe, dragline, power shovel dan lain-lain, tidak perlu
dilakukan peledakan.
2) Material yang setengah keras, umumnya dibongkar terlebih dahulu
dengan menggunakan alat-alat berat.
11

3) Material yang Keras, pembongkarannya dilakukan dengan penggaruan,


atau peledakan. Material yang sangat keras-masif tidak dapat digali
dengan alat gali sehingga harus dilakukan peledakan.

Semakin tinggi tingkat kekerasan batuan, maka akan semakin sukar


batuan tersebut untuk dihancurkan (Tabel 2.1), demikian juga dengan
batuan yang memiliki kerapatan tinggi. Sehingga semakin berat massa suatu
batuan, bahan peledak dibutuhkan untuk membongkar batuan tersebut akan
lebih banyak.

Tabel 2.1
Moh’s Hardness dan Compressive Strength

Hardness Moh’s Mpa


(MN/m3)

Extremely >7 >200

Hard 6–7 120 – 200

Medium Hard 4,5 – 6 60 - 120

Quite soft 3 – 4,5 30 – 60

Soft 2–3 10 – 30

Extremely 1–2 < 10


Sumber : Silaban, 2011 : 23

2. Elastisitas batuan adalah sifat yang dimiliki batuan untuk kembali ke


bentuk atau keadaan semula setelah gaya yang diberikan kepada batuan
tersebut dihilangkan. Secara umum batuan memiliki sifat elastis fragile
yaitu batuan dapat dihancurkan apabila mengalami regangan yang
melewati batas elastisitasnya. Sedangkan plastisitas batuan merupakan
12

perilaku batuan yang mengizinkan deformasi permanen setelah regangan


dikembalikan ke kondisi awal, dimana batuan tersebut belum hancur.
3. Abrasifitas batuan merupakan suatu parameter batuan yang mempengaruhi
keausan (umur) dari mata bor yang digunakan untuk melakukan pemboran
pada batuan tersebut.
4. Kecepatan perambatan gelombang pada setiapbatuan berbeda. Secara
teoritis semakin tinggi kecepatan rambat gelombang pada suatu batuan,
maka diperlukan bahan peledak yang memiliki energi yang tinggi pula
agar dapat menghancurkan batuan tersebut.

2.2.2 Faktor yang Dapat Dikendalikan


Faktor yang dapat dikendalikan adalah faktor-faktor yang dapat
dikendalikan oleh kemampuan manusia dalam merancang suatu peledakan
untuk memperoleh hasil peledakan yang diharapkan. Faktor-faktor tersebut
dapat diklasifikasikan ke dalam 3 kelompok, yaitu:
1. Pola dan Geometri Pemboran
a) Pola Pemboran
Dalam penambangan suatu bahan galian yang keras dan
kompak, pemberaiannya dilakukan dengan cara pemboran dan
peledakan. Keberhasilan salah satunya terletak pada ketersediaan
bidang bebas (free face) yang mencukupi.
Minimal dua bidang bebas (free face) yang harus ada pada
peledakan. Peledakan dengan hanya ada satu bidang bebas (free face),
disebut crater blasting, akan menghasilkan kawah dengan fragmentasi
ke atas dan tidak terkontrol.
Dengan mempertimbangkan hal tersebut, dibuat 2 bidang bebas,
yaitu dinding bidang bebas, dan puncak jenjang (top bench). Pola
pemboran lubang tembak ini kan berpengaruh terhadap hasil
peledakan terutama fragmentasi yang dihasilkan. Dengan pemilihan
pola pemboran yang tepat akan menghasilkan daerah pengaruh energi
peledakan yang optimal.
13

Ada tiga pola pemboran lubang tembak yang umum digunakan,


yaitu:
1. Square Pattern (Bujur Sangkar).
2. Rectangular Pattern (Pola Persegi Panjang.
3. Staggered Pattern (Pola Zig-zag).

Berikut ini penjelasan Pola Pemboran:

1) Square Pattern (Bujur Sangkar) adalah pola pemboran dimana


panjang burden sama dengan spasi. Lubang tembak pada baris
berikutnya berada tepat sejajar di belakang lubang tembak pada
baris didepannya. Pola ini lebih mudah dibuat dan rapi.

Gambar 2.1. Pola Pengeboran Square Pattern (bujur sangkar)


( Sumber : http//www. Pola Pengeboran Square Pattern.com )

2) Rectangular Pattern (Pola Persegi Panjang) adalah pola pemboran


dimana panjang spasi lebih besar dari panjang burden.Lubang
tembak pada baris berikutnya juga tepat berada sejajar di belakang
lubang tembak pada baris didepannya. Pola ini menghasilkan
daerah yang tidak hancur akan menjadi lebih besar.
14

Gambar 2.2. Pola Pengeboran Rectangular Pattern (Pola Persegi


Panjang)
( Sumber : http//www. Pola Pengeboran Rectangular Pattern.com )

3) Staggered Pattern (Pola Zig-zag) adalah pola pemboran dimana


lubang tembak pada baris berikutnya berada di tengah-tengah spasi
baris di didepannya. Pola ini dapat diterapkan dengan burden sama
dengan spasi atau burden lebih kecil dari spasi. Pola ini umum
digunakan di lapangan karena mampu menghasilkan distribusi
energi peledakan yang lebih baik, menghasilkan fragmentasi
peledakan yang lebih kecil dengan seragam, dan menghasilkan
daerah yang tidak hancur lebih sedikit dari pola yang lain.

Gambar 2.3. Pola Pengeboran Staggered Pattern (Zig-zag)


(Sumber : http//www.Pola Pengeboran Staggered Pattern.com)

Pola pemboran sejajar lebih mudah dalam melakukan


pemboran dan untuk pengaturan lebih lanjut. Tetapi perolehan
fragmentasi batuannya kurang seragam, sedangkan pola pemboran
15

selang-seling lebih sulit penanganannya di lapangan namun


fragmentasi batuannya lebih baik dan seragam.

Menurut hasil penelitian di lapangan pada jenis batuan


kompak, menunjukan bahwa hasil produkstivitas dan fragmentasi
peledakan dengan menggunakan pola pemboran selang-seling lebih
baik dari pada pola pemboran sejajar, hal ini disebabkan energi
yang dihasilkan pada pemboran selang-seling lebih optimal dalam
mendistibusikan energi peledakan yang bekerja dalam batuan.

Gambar 2.4. Paralel Pattern dan Staggerd Pattern


( Sumber : http//www. Paralel Pattern dan Staggerd Pattern.com )

b) Geometri Pemboran
Dalam geometri pemboran mencakup beberapa hal yaitu diameter
lubang ledak, kedalaman lubang ledak dan arah lubang ledak,
1) Diameter Lubang Ledak
Diameter lubang ledak merupakan parameter yang penting
dalam merancang suatu peledakan karena akan mempengaruhi
geometri peledakan. Pemilihan ukuran lubang ledak secara tepat
pada suatu rancangan peledakan akan memberikan dua bagian
penilaian. Bagian pertama yaitu mempertimbangkan efek dari
ukuran lubang ledak terhadap fragmentasi, suara ledakan, batu
16

terbang dan getaran tanah, sedangkan bagian kedua adalah faktor


ekonominya.
Bila diameter lubang ledak terlalu kecil, maka faktor energi
yang dihasilkan akan berkurang sehingga tidak cukup besar untuk
membongkar batuan yang akan diledakkan, sedangkan bila
diameter lubang ledak terlalu besar akan mengakibatkan besarnya
fragmentasi batuan dan akan menimbulkan efek peladakan yang
maksimal terhadap lingkungan. Faktor-faktor yang membatasi
diameter lubang ledak adalah:
 Isian bahan peledak utama harus dikurangi atau lebih kecil dari
perhitungan teknis karena pertimbangan vibrasi bumi dan
ekonomi.

Gambar 2.5. Pengaruh Diameter Lubang Ledak Terhadap


Burden
( Sumber : http//www.Pengaruh Diameter Lubang Ledak.com )

Penentuan diameter lubang ledak yang ideal tergantung pada


faktor-faktor, yaitu:

 Volume massa batuan yang akan dibongkar (volume produksi).


 Tinggi jenjang dan konfigurasi isian Bahan Peledak.
 Tingkat fregamentasi yang diinginkan.
 Mesin bor yang tersedia.
17

 Kapasitas alat muat yang akan menangani material hasil


peledakan.

Diameter lubang ledak yang kecil (kurang dari 5 inci)


memiliki kekurangan :

 Karena burden dan spasinya rapat maka jumlah lubang ledak


lebih banyak (untuk pengisian dan penyambungan diperlukan
lebih banyak waktu dan pekerja).
 Hanya untuk tambang/kuari dengan volume produksi kecil.
 Biaya pemboran dan peledakan relatif tinggi.
Diameter lubang ledak besar (5 inci atau lebih) memiliki
kelebihan:
 Diameter isian lebih besar sehingga kecepatan detonasi lebih
tinggi.
 Produktivitas pemboran lebih tinggi.
 Sistem pengisian secara mekanik.
 Biaya pemboran dan peledakan menjadi relative lebih rendah.
 Produktivitas alat muat dapat meningkat karena area kerja
produktif.

2) Kedalaman Lubang Ledak


Kedalaman lubang ledak disesuaikan dengan tinggi jenjang.
Pada prinsipnya kedalaman lubang ledak harus besar daripada
tinggi jenjang. Kelebihan kedalaman lubang ledak (subdrilling)
dimaksudkan untuk memperoleh lantai jenjang yang rata.
3) Arah Lubang Ledak
Arah lubang ledak dapat tegak atau miring. Arah penjajaran
lubang bor pada jenjang harus sejajar untuk menjamin keseragaman
burden dan spasi dalam geometri peledakan. Lubang ledak yang
dibuat tegak, maka bagian lantai jenjang akan menerima
gelombang tekan yang besar. Gelombang tekan sebagian akan
18

dipantulkan pada bagian bebas dan sebagian lagi akan diteruskan


pada bagian bawah lantai jenjang.

Gambar 2.6. Pemboran dengan Lubang Ledak Tegak dan


Lubang Ledak Miring
( Sumber : http//www. Pemboran dengan Lubang Ledak Tegak dan
Lubang Ledak Miring.com )

Keuntungan dan kerugian dari penggunaan kedua sistem


tersebut adalah sebagai berikut :

1. Sistem Lubang Ledak Miring.


a. Keuntungan dari lubang ledak miring adalah:
 Fragmentasi dari tumpukan hasil peledakan yang
dihasilkan lebih baik, karena ukuran burden sepanjang
lubang yang dihasilkan relatif seragam.
 Dinding jenjang dan lantai jenjang yang dihasilkan relatif
lebih rata.
 Mengurangi terjadinya pecah berlebihan pada batas baris
lubang ledak bagian belakang (back break).
19

 Powder factor lebih rendah, ketika gelombang kejut yang


dipantulkan untuk menghancurkan batuan pada lantai
jenjang lebih efisien.
 Produktivitas alat muat tinggi karena tumpukan hasil
peledakan (muckpile) lebih rendah dan seragam.
b. Kerugian dari lubang ledak miring adalah sebagai berikut:
 Kesulitan dalam penampatan sudut kemiringan yang sama
antar lubang ledak serta dibutuhkan lebih banyak
ketelitian dalam pembuatan lubang ledak, sehingga
membutuhkan pengawasan yang ketat.
 Mengalami kesulitan dalam pengisian bahan peledak.
2. Sistem Lubang Ledak Tegak.
a. Keuntungan lubang ledak tegak adalah sebagai berikut:
 Pemboran dapat dilakukan dengan lebih baik dan lebih
akurat.
 Kelurusan lubang bor yang seragam dapat terkontrol,
karena merupakan faktor yang penting dalam mengurangi
biaya pemboran dan peledakan.Perbedaan jarak burden
dan spacing sesuai desain pada bagian bawah lubang dapat
terkontrol (tidak mengalami perubahan).
b. Kerugian lubang ledak tegak adalah sebgai berikut:
 Kemungkinan timbulnya tonjolan pada lantai jenjang (toe)
besar.
 Pada bagian atas jenjang kurang bagus karena ada back
break.
 Fragmentasi kurang dan pada bagian lantai dasar daya
ledak tidak bisa sepenuhnya tersalurkan.
 Kemungkinan terdapat boulder pada bagian atas.

2. Pola dan Geometri Peledakan


20

a) Pola Peledakan
Secara umum pola peledakan menunjukkan urutan atau
sekuensial ledakan dari sejumlah lubgang ledak. Pola peledakan pada
tambang terbuka dan bukaan di bawah tanah berbeda. Banyak faktor
yang menentukan perbedaan tersebut yaitu faktor yang mempengaruhi
pola pengeboran. Adanya urutan peledaakan berarti terdapat jeda
waktu ledakan diantara lubang-lubang ledak yang disebut dengan
waktu tunda atau delay time.
Beberapa keuntungan yang diperoleh dengan menerapkan waktu
tunda pada sistem peledakan antara lain adalah:
1. Mengurangi getaran.
2. Mengurangi overbreak dan batu terbang (fly rock).
3. Mengurangi getran akibat airblast dan suara (noise).
4. Dapat mengarahkan lemparan fragmentasi batuan.
5. Dapat memperbaiki ukuran fragmentasi batuan hasil peledakan.

Apabila pola peledakan tidak tepat atau seluruh lubang


diledakkan sekaligus, maka akan terjadi sebaliknya yang merugikan,
yaitu peledakan yang mengganggu lingkungan dan hasilnya tidak
efektif dan tidak tidak efisien. Mengingat area peledakan pad tambang
terbuka atau quarry cukup luas, maka peranan pola peledakan menjadi
penting jangan sampai urutan peledakannya tidak logis. Urutan
peledakan yang tidak logis bisa disebabkan oleh:

1. Penentuan waktu tunda yang terlalu dekat.


2. Penentuan urutan ledakannya yang salah.
3. Dimensi geometri peledakan tidak tepat.
4. Bahan peledaknya kurang atau tidak sesuai dengan perhitungan.

Terdapat beberapa kemungkinan sebagai acuan dasar penentuan


pola peledakan pada tambang terbuka, yaitu sebagai berikut:
21

1. Peledakan serentak atau instantaneous atau simultaneous.


2. Peledakan tunda antar baris.
3. Peledakan tunda antar beberapa lubang.
4. Peledakan antar lubang.

Orientasi retakan cukup besar pengaruhnya terhadap penentuan


pola pemboran clan peledakan yang pelaksanaanya diatur melalui
perbandingan spasi (S) dan burden (B). Beberapa contoh
kemungkinan perbedaan kondisi di lapangan dan pola peledakanya
sebagai berikut:

1). Bila orientasi antar retakan hampir tegak lurus, sebaiknya S = 1,41
B seperti pada gambar 2.7.

Gambar 2.7. Peledakan pojok dengan pola staggered dan sistem inisiasi

echelon serta orientasi antar retakan 900

( Sumber : http//www.Peledakan pojok dengan pola staggered.com)

2). Bila orientasi antar rekahan mendekati 600 sebaiknya S = 1.15 B


dan menerapkan interval waktu long-delay dan pola peledakannya
terlihat seperti pada gambar 2.8.
22

Gambar 2.8. Peledakan pojok dengan pola staggered dan sistem inisiasi
echelon serta orientasi antar retakan 600
( Sumber : http//www.Peledakan pojok dengan pola staggered.com )

3). Bila peledakan dilakukan serentak antar baris, maka ratio dan
burden (S/B dirancang seperti pada gambar 2.9. dan 2,10, dengan
pola bujursangkar (square pattern).

Gambar 2.9. Peledakan Pojok Dengan Pola Bujursangkar dan


sistem inisiasi echelon
( Sumber : http//www.Peledakan Pojok Dengan Pola Bujursangkar.com )
23

Gambar 2.10. Peledakan Pojok Antar Baris Dengan Pola Staggered


( Sumber : http//www.Peledakan Pojok Antar Baris Dengan Pola
Staggered.com)

4). Bila peledakan dilakukan pada bidang bebas yang memanjang,


maka sistem inisiasi dan S/B dapat diatur seperti pada gambar 2.11.
dan 2.12.

Gambar 2.11. Peledakan pada bidang Bebas memanjang dengan pola V-Cut
Bujursangkar dan Waktu Tunda Close Interval (Chevron)
( Sumber : http//www. Peledakan pada bidang Bebas memanjang dengan pola V-
Cut Bujursangkar.com )
24

Gambar 2.12. Peledakan Pada bidang Bebas memanjang dengan Pola V-Cut
Persegi panjang dan Waktu Tunda Bebas
( Sumber : http//www.Peledakan Pada bidang Bebas memanjang dengan Pola V-
Cut Persegi panjang,com )

Berdasarkan arah runtuhan batuan, pola peledakan


diklasifikasikan sebagai berikut :
a. Box Cut
Pola peledakan ini diterapkan untuk lokasi peledakan yang
hanya mempunyai satu bidang bebas (free face) yakni permukaan
yang bersentuhan langsung dengan udara kearah vertikal.

Ga mbar
2.13. Box Cut
( Sumber : http//www.pola peledakan box cut.com )
25

b. Semi Box Cut


26

Gambar 2.14. Semi Box Cut


( Sumber : http//www.pola peledakan semi box cut.com)

c. Corner Cut (Echelon Cut)


Pola peledakan ini diterapkan untuk lokasi peledakan yang
memiliki tiga bidang bebas ( free face), arah lemparan hasil
peledakan dengan menggunakan pola peledakan ini adalah kearah
pojok (corner).

Gambar 2.15. Corner Cut


( Sumber : http//www.pola peledakan corner cut.com )

d. “V” cut
27

Pola peledakan ini diterapkan untuk lokasi peledakan yang


memiliki dua bidang bebas ( free face), arah lemparan hasil
peledakan dengan menggunakan pola ini adalah ke arah tengah
(center ) dengan pola peledakan menyerupai huruf Vyaitu pola
peledakan yang arah runtuhan batuannya kedepan dan membentuk
huruf V.

Gambar 2.16. V Cut


( Sumber : http//www.pola peledakan v.com )

Berdasarkan urutan waktu peledakan, maka pola peledakan


diklasifikasikan sebagai berikut :
1. Pola peledakan serentak, yaitu suatu pola yang menerapkan
peledakan secara serentak untuk semua lubang tembak.
2. Pola peledakan beruntun, yaitu suatu pola yang menerapkan
peledakan dengan waktu tunda antara baris yang satu dengan baris
lainnya

b) Geometri Peledakan
Richard L. Ash membuat suatu pedoman perhitungan geometri
peledakan jenjang berdasarkan pengalaman empiric yang diperoleh di
28

berbagai tempat dengan jenis pekerjaan dan batuan yang berbeda-


beda, sehingga R.L Ash berhasil mengajukan rumusan-rumusan
empiric yang dapat digunakan sebagai pedoman dalam rancangan
suatu peledakan batuan.
Pada penelitian ini diuraikan perhitungan geometri berdasarkan
rumus Richard L. Ash. Rancangan geometri peledakan ini akan
mempengaruhi fragmentasi hasil peledakan. Rancangan geometri
peledakan didasarkan pada density batuan, diameter blast hole yang
digunakan serta struktur geologi massa batuan yang akan diledakkan.
Dalam pelaksanaanya nanti perhitungan dengan cara R. L. Ash
ternyata harus selalu dicoba dilapangan untuk memperoleh gambaran
dan perubahan ke arah geometri yang mendekati kondisi
sesungguhnya. Percobaan di lapangan dilakukan dengan cara triad
and error sampai diperoleh geometri peledakan yang optimal.
29

Gambar 2.17. Geometri Peledakan


(Sumber: Koesnaryo S, 2001)

Dari gambar 2.17 dapat dijelaskan bagian-bagian dari geometri


peledakan dengan menggunakan sistem jenjang. Dimana:
B : Burden L : Tinggi Jenjang
J : Subdrilling PC : Powder Column
T : Stemming B’ : Burden Semu
S : Spacing H : Depth Hole

a. Burden (B)
Burden adalah jarak tegak lurus antara lubang ledak dengan
bidang bebas yang panjangnya tergantung pada karakteristik
batuan. Menentukan ukuran burden merupakan langkah awal agar
fragmentasi batuan hasil peledakan, vibrasi, airblast dapat
memuaskan.
Tabel 2.2.
Hubungan Burden dan Ketinggian Jenjang (Stiffnes Ratio)

Stifness Fragmentasi Airblast Flyrock Ground Keterangan


Ratio Vibration

1 Buruk Besar Besar Besar Banyak muncul


Backbreak dibagian
toe sebaiknya
dirancang ulang.

2 Sedang Sedang Sedang Sedang Bila memungkinkan,


dirancang ulang

3 Baik Kurang Kurang Kurang Kontrol dan


Frgamentasi baik.

4 Sangat Sedikit Sedikit Sedekit Tidak menambah


Memuaskan keuntungan dengan
SR diatas 4
30

Sumber : Konya, 19880 dalam Duna, 2010 : III-9

Burden diturunkan berdasarkan diameter lubang ledak atau


diameter mata bor atau diameter dodol bahan peledak. Untuk
menentukan burden, R.L Ash mendasarkan pada acuan yang dibuat
secara empiric, yaitu adanya batuan standar dan bahan peledak
standar. Batuan standar memiliki bobot isi 160lb/cuft (2,56 ton/m 3)
dan bahan peledak standar memiliki berat jenis 1,2 dan kecepatan
detonasi (Ve) 12000 fps (3.657,60 m/s).
Apabila batuan yang akan diledakkan sama dengan batuan
standar dan bahan peledak yang dipakai adalah bahan peledak
standar, maka harga Kb standar itu harus juga dikoreksi
menggunakan faktor penyesuaian (adjustment factor).

Tabel 2.3
Burden Standar (Kbstd) menurut R.L Ash

Rock Group
Hard
Type of explosive Soft Medium
(>2,5t/m3
(<2t/m3) (2-2,5t/m3)
)
Low density (0,5-0,9 g/cc)
and low strength 30 25 20

Medium density (1,0-1,2


g/cc) and medium strength 35 30 25

High Density (1,3-1,6


g/cc) and high strength 40 35 30

( sumber : http//www. Burden Standar (Kbstd) menuru R.L Ash.com )


31

Jika:

De = diameter lubang ledak

B = burden

Kb = burden ratio

Kb× De
B = ft
12

Atau,

Kb× De
B = m
39,3

Faktor Penyesuaian (Adjustment Factor):

 Batuan yang akan diledakkan (Af1).


 Batuan peledak yang dipakai (Af2)

Maka :
Kb Terkoreksi = 30 × Af1 × Af2

Keterangan :

Af1 = Adjustment Factor untuk batuan yang diledakkan

Af2 = Adjustment Factor untuk bahan peledak yang dipakai

Dengan :
32

1
Dsdt
Af1 = ( D ) 3

Dan

1
SG. Ve 2
Af2 = (
SGstd . Ve std 2 ) 3

Keterangan:

Ve = VOD Bahan Peledak yang Dipakai

SG = Berat Jenis Peledak yang dipakai

D = Bobot isi batuan yang diledakkan

Dstd = Bobot Isi Batuan Standar (160 lb/cuft, 2,5 ton/m3)

SGstd = Berat jenis Bahan Peledak Standar (1,2)

Vestd = VOD Bahan Peledak Standar (12000 fps 36,37 m/s)

Kbstd = 30

Jadi,

Kbterkoreksi × De
B = 39,3
meter
33

Gambar 2.18. Burden kecil,besar dan baik


(sumber: burden dalam www.google.com/search)

b. Spacing (s)
Spacing adalah jarak diantara lubang ledak dalam satu garis
yang sejajar dengan bidang bebas. Jarak spacing yang terlalu besar
akan menghasilkan fragmentasi yang tidak baik dan dinding akhir
yang ditinggalkan relatif tidak rata, sebabnya bila spacing terlalu
kecil dari jarak burden maka akan mengakibatkan tekanan sekitar
stemming yang lebih dan mengakibatkan gas hasil ledakan
dihamburkan ke atmosfer diikuti suara bising (noise).

S = Ks × B

Keterangan:

S = spacing (m)

Ks = spacing ratio (1.00 – 2.00)

B = burden (m)

Spacing yang kecil dari ketentuan akan menyebabkan ukuran


batuan hasil peledakan terlalu hancur. Untuk spacing yang terlalu
besar dari ketentuan akan menyebabkan banyak terjadi bongkahan
34

(boulder) dan tonjolan (toe) di antara lubang ledak setelah peledakan.


Berdasarkan cara urutan peledakannya, pedoman spacing adalah
sebagai berikut:

Tabel 2.4
Persamaan untuk Menentukan Jarak Spacing

Tipe Detonator H/B < 4 H/B > 4

Serentak S = (H + 2B) /3 S = 2B

Delay / Tunda S = (H + 7B) / 8 S = 1,4B

Sumber :Konya, 1990 dalam Duna, 2010 : III-10

Keterangan:
S = Spacing(Ft)
H = Tinggi Jenjang (H)
B = Buden (ft)

c. Stemming (T)
Stemming adalah lubang ledak bagian atas yang tidak diisi
bahan peledak, tetapi biasanya diisi oleh abu hasil pemboran atau
material berukuran kerikil dan dipadatkan di atas bahan peledak.
Panjang stemming juga dapat mempengaruhi fragmentasi batuan
hasil peledakan, di mana stemming yang terlalu panjang dapat
mengakibatkan terbentuknya bongkah apabila energi ledakan tidak
mampu untuk menghancurkan batuan di sekitar stemming tersebut,
dan stemming yang terlalu pendek bisa mengakibatkan terjadinya
batuan terbang dan pecahnya batuan menjadi lebih kecil. Kriteria
stemming yang baik yaitu:
 Dapat menyeimbangkan tekanan di daerah stemming.
 Dapat mengurangi gas hasil proses kimia bahan peledak.
35

 Dapat mengontrol kemungkinan terjadinya airblast dan flyrock.

Secara teoritis bahan stemming batuan dari batu krikil atau


batuan hasil crushing dengan ukuran kecil jauh lebih baik dari pada
cutting pemboran karena, keterikatannya yang baik,
keterkungkungan bahan peledak lebih optimal sehingga tidak ada
loos energi ke permukaan (stemming injection) yang dapat
menyebabkan distribusi energi bahan peledak lebih merata. Inilah
dasar pemilihan batu split sebagai material stemming karena
keterikatan yang baik dan berat jenisnya yang lebih besar
dibandingkan cutting pemboran diharapkan dapat meningkatkan
target recovery hasil peledakan overburden dan menggurangi
derajat fragmentasi houlder.

Untuk menghitung panjang stemming perlu ditentukan dulu


stemming ratio (Kt), yaitu perbandingan panjang stemming dengan
burden. Biasanya Kt standar yang diapakai 0,70 dan ini cukup
untuk mengontrol airblast, flyrock dan stress balance. Apabila Kt <
1 maka akan terjadi creating atau backbreak, terutama pada system
collar priming. Untuk menghitung stemming dipakai persamaan :

T = Kt . B

Keterangan:

T = stemming (m)

Kt = stemming ratio (0,7 – 1,00)

B = burden (m)

d. Kedalaman Lubang Ledak (H)


Kedalaman lubang ledak biasanya disesuaikan dengan tingkat
produksi (kapasitas alat muat) dan pertimbangan geoteknik.
36

Kedalaman lubang ledak berdasarkan pada hole depth ratio (Kh)


yang harganya antara 1,50 – 4,00. Hal ini serupa dengan stiffness
ratio. Hubungan kedalaman lubang ledak dengan burden adalah
sebagai berikut:

H= Kh . B

Keterangan:

H = Kedalaman lubang ledak (m)

Kh = hole depth ratio (1,50 – 4,00)

B = burden (m)

e. Subdrilling (J)
Subdrilling adalah lubang ledak yang dibor sampai melebihi
batas lantai jenjang bagian bawah supaya batuan dapat meledak
secara fullpace dan untuk menghindari kemungkinan adanya
tonjolan-tonjolan (toe) pada lantai jenjang bagian bawah tambahan
kedalaman dari lubang tembak di bawah rencana lantai jenjang.
Pemboran lubang ledak tembak sampai batas bawah dari lantai
bertujuan agar seluruh permukaan jenjang bisa terbongkar secara full
face setelah dilakukan peledakan, jadi untuk menghindari agar pada
lantai jenjang tidak terbentuk tonjolan-tonjolan (toe). Tonjolan yang
terjadi akan menyulitkan peledakan berikutnya dan pada waktu
pemuatan dan pengangkutan. Rumus yang dipaki untuk mencari
subdrilling adalah

J = Kj . B

Keterangan:

J = subdrilling (m)
37

Kj = subdrilling ratio (0,2 - 0,4)

B = burden (m)

f. Loading Density (de)


Loading density adalah jumlah isian bahan peledak per meter
panjang kolom isian. Adapun rumus perhitungannya yaitu:

De = 0,508 × De2 × (SG)

Keterangan :

de = loading density (kg/m)

De = diameter lubang ledak (inchi)

SG = berat jenis bahan peledak

g. Powder Factor (PF)


Powder factor adalah perbandingan antara jumlah bahan
peledak dengan batuan yang diledakkan.

Tabel 2.5
Powder Factor Peledakan untuk beberapa jenis Batuan
38

No Jenis Batuan Powder


Factor
(kg/m3)

1 Fast soft clay, morainic clay, slate 0,35 – 0,50


clay, heavy loam, coarse grit

2 Marl, brown coal, gypsum, tuff, 0,35 – 0,55


pumice stone, antrhacite, soft
limestone, diatomite

3 Clayey sandstone, conglomerate, hard 0,45 – 0,60


clay shale, marly limestone, anhydrite,
micaceous shale

4 Granite, gneisses, synites, limetsone, 0,60 – 0,70


sandstone, siderite, magnesite,
dolomite, marbie

5 Coarse-grained granite, serpentine, 0,70 – 0,75


audisite and basalt, weathered gneiss,
trachyte

6 Hard gneiss, diabase, porphiryte, 0,85


thracyte, granite-gneiss, diorite,
quartz

7 Andesite, balast, hornfels, hard 0,90


diabase, diorite, gabbro, gabbro
diabase
39

Sumber : Bandhari, 1997 dalam Rudianto, 2008 : 35

Adapun rumus perhitungannya yaitu:

PC × de
PF =
(B × S × L)

Keterangan:

PC = panjang kolom isian bahan peledak (m)

De = loading density (m)

B = burden (m)

S = spacing (m)

L = tinggi jenjang (m)

h. Stiffnes Ratio
Penentuan diameter lubang dan tinggi jenjang
mempertimbangkan 2 aspek, yaitu:
 Aspek ukuran lubang ledak terhadap fragmentasi, airblast,
flyrock dan getaran tanah.
 Biaya Pengeboran

Tinggi jenjang (H) dan burden (B) sangat erat hubungannya


untuk keberhasilan peledakan dan ratio H/B (yang dinamakan
Stiffness Ratio) yang bervariasi memberikan respon berbeda
terhadap fragmentasi, airblast, flyrock dan getaran tanah yang
hasilnya seperti terlihat pada Tabel 2.4. Sementara diameter lubang
40

ledak ditentukan secara sederhana dengan menerapkan “Aturan


Lima (Rute of Five)”, yaitu ketinggian jenjang (dalam feet) “lima”
kali diameter lubang ledaknya (dalam inchi).

Tabel 2.6.
Hubungan Burden dan Ketinggian Jenjang (Stiffnes Ratio)

Stifness Fragmentasi Airblast Flyrock Ground Keterangan


Ratio Vibration

1 Buruk Besar Besar Besar Banyak muncul


Backbreak dibagian
toe sebaiknya
dirancang ulang.

2 Sedang Sedang Sedang Sedang Bila memungkinkan,


dirancang ulang

3 Baik Kurang Kurang Kurang Kontrol dan


Frgamentasi baik.

4 Sangat Sedikit Sedikit Sedekit Tidak menambah


Memuaskan keuntungan dengan
SR diatas 4

Sumber : Konya, 19880 dalam Duna, 2010 : III-9

i. Waktu Tunda (Delay Time)


Waktu tunda merupakan penundaan waktu peledakan antara
baris depan dengan baris dibelakangnya atau antar lubang ledak
dengan menggunakan delay detonator. Pemakaian waktu tunda
yang optimum pada suatu rancangan peledakan tergantung pada
beberapa faktor, yaitu :
 Sifat massa batuan (rock mass properties)
 Geometri peledakan
 Sistem penyalaan
 Karateristik bahan peledak
 Efek peledakan yang diijinkan
41

 Hasil peledakan yang diinginkan


Keuntungan melakukan peledakan dengan waktu tunda ialah:
 Fragmentasi batuan hasil peledakan akan lebih seragam dan
baik.
 Mengurangi timbulnya getaran tanah, fly rock dan airblast.
 Menyediakan bidang bebas baru untuk peledakan berikutnya.
 Arah lemparan dapat diatur.
 Batuan hasil peledakan (muckpile) tidak menumpuk terlalu
tinggi.

Tujuan penyalaan dengan waktu tunda adalah untuk mengurangi


jumlah muatan yang meledak dalam waktu bersamaan dan
memberikan tenggang waktu pada material yang dekat dengan bidang
bebas untuk dapat meledak secara sempurna, serta untuk menyediakan
ruang atau bidang bebas baru bagi baris lubang ledak berikutnya.

Gambar 2.19. Pengaruh Waktu Tunda


( Sumber : Silaban, 2011 : 39 )
42

3. Ground Vibration
a) Pengertian Ground Vibration
Getaran tanah (ground vibration) adalah gerakan bumi yang
terjadi akibat perambatan gelombang seismik di bawah tanah.
Kegiatan peledakan selalu menghasilkan gelombang seismik. Tujuan
Peledakan umunya untuk memecahkan batuan. Kegiatan ini
membutuhkan sejumlah energi yang cukup sehingga melebihi atau
melampaui kekuatan batuan atau melampui batas elastis batuan.
Apabila hal tersebut terjadi maka batuan akan menjadi pecah. Proses
pemecahan batuan akan terus berlangsung sampai energi yang
dihasilkan bahan peledak makin lama makin berkurang dan menjadi
lebih kecil dari kekuatan batuan. Sehingga proses pemecahan batuan
terhenti dan energi yang tersisa akan menjalar melalui batuan, karena
masih dalam batas elastisitasnya. Hal ini akan menghasilkan
gelombang sismik.
Menurut Blasting Guideline Manual (Rosenthal & Marlock,
1987) yang dikeluarkan oleh US Office of Surface Mining
Reciamation & Enforcement (OSMRE), dinyatakan bahwa setiap
kegiatan peledakan menghasilkan getaran dengan 3 (tiga) kriteria,
yaitu : Peak Particel Velocity (PPV), Peak Particle Acceleration
(PPA) dan Peak Particle Displecement (PPD). Dari beberapa
penelitian: Peak Particle Velocity (PPV) merupakan kriteria yang
paling berpengaruh dalam Analisis tingkat getaran.
Beberapa peneletian yang menggunakan PPV sebagai kriteria
yang paling berpengaruh antara lain:
1. USBM (Duvall & Fogeison, 1962)
Persamaan yang digunakan adalah sebagai berikut:
−β
R
PPV = K (
√ Qmax ) ..................................... (2.1)
43

2. Ambraseys-Hendron (1968)
Persamaan yang digunakan adalah sebagai berikut :
−β
R
PPV = K ( Qmax 1/3 ) ..................................... (2.2)

3. Langefors_kihistrom (1978)
Persamaan yang digunakan sebagai berikut :
−β
R 3/ 4
PPV = (
Q max 1/ 2 ) ..................................... (2.3)

Keterangan :

K dan β merupakan site constant


Qmax merupakan maksimum charge per delay
R merupakan jarak antar blast face ke titik pengukuran

Terdapat banyak faktor yang mempengaruhi tingkat getaran


tanah hasil kegiatan peledakan.

Tabel 2.7.
Faktor-faktor yang mempengaruhi Tingkat Getaran Tanah

Pengaruh terhadap tingkat


Variabel yang dapat
No getaran tanah
dikontrol operator
. Tidak
tambang Signifikan Sedang
Signifikan
1 Berat isian per delay ×    
2 Delay Interval ×    
3 Burden dan Spasi   ×  
4 Stemming (jumlah)     ×
5 Stemming (tipe)     ×
6 Panjang Isian dan diameter     ×
7 Sudut Lubang Bor     ×
8 Arah inisiasi   ×  
9 Berat isian per peledakan     ×
10 Kedalaman Isian     ×
11 Bare vs Covered     ×
44

Primacord
12 Kecocokan Isian   ×  
Pengaruh terhadap tingkat
Variabel yang tak dapat
No getaran tanah
dikontrol operator
. Tidak
tambang Signifikan Sedang
Signifikan
Keadaan umum daerah
1 permukaan     ×
Tipe dan kedalaman
2 Overburden ×    
3 Kondisi angin dan hujan     ×

Sumber : Hustrulid, 1999 : 270

b) Scaled Distance
1. Analisis Scaled Distance
Cara yang praktis dan efektif untuk mnegontrol getaran
adalah dengan menggunakan scaled distance. Sehingga
memungkinkan pelaksanaan lapangan menentukan jumlah bahan
peledak yang diperlukan atau jarak aman untuk muatan bahan
peledak yang jumlahnya telah ditentukan. Harga SD yang besar
akan lebih aman, karena semakin jauh jaraknya akan lebih aman
dibandingkan dengan jarak yang lebih dekat. Batas scaled distance
dapat dirumuskan sebagai berikut :

D
Scaled Distance (SD) =
√W
........................... (2.4)

Dimana :
D = jarak maksimum terhadap lokasi pengamatan (m)
W = muatan bahan peledak maksimum per periode tunda, (kg)

2. Persamaan Peak Particle Velocity (PPV)


45

Peak Particle Velocity (PPV) merupakan kecepatan


maksimum yang digunakan untuk menghitung besarnya getaran
pada suatu lokasi yang tergantung pada jarak lokasi tersebut dari
pusat peledakan dan dari jumlah bahan peledak yang dipakai per
periode (delay). Berdasarkan penelitian yang dilakukan dalam
usaha menentukan besarnya kecepatan partikel puncak (PPV) yang
dihasilkan dalam sebuah peledakan, maka dapat ditentukan seperti
pada persamaan 2.5.

−n
D
PPV = k ( )
√W
.................................................. (2.5.)

Dimana:
PPV = Ground Vibration as Peak Particle Velocity (mm/s)
D = Jarak muatan maksimum terhadap lokasi pengamatan (m)
W = Muatan bahan peledak maksimum per periode tunda (Kg)
K, n = Konstanta yang harganya tergantung dan kondisi lokasi dan
kondisi peledakan

3. Standar Vibrasi
Standar Vibrasi adalah besar/kuat getaran yang diijinkan
akibat dan kegiatan peledakan dimana tidak melewati batas aman.
Adapun acuan kriteria baku tingkat getaran peledakan terhadap
bagunan berdasarkan Standar Nasional Indonesia (SNI) dapat
dilihat pada Tabel 2.8.

Tabel 2.8
Baku Tingkat Getaran Peledakan terhadap Bagunan (SNI)

Kela PVS Frekuensi PPV


Jenis Bangunan
s (mm/s) (Hz) (mm/s)
1 Bagunan kuno yang dilindungi 2 0–5 2
46

undang-undang benda cagar 5 – 20 3


budaya (Undang-undang No. 6
tahun 1992) 20 – 100 5
Bagunan dengan pondasi, 0–5 3
pasangan bata dan adukan 5 – 20 5
2 semen saja, termasuk bagunan 3
dengan pondasi dari kayu dan
lantainya diberi adukan semen 20 – 100 7
3 Bagunan dengan pondasi, 0–5 5
pasangan bata dan adukan 5 – 20 7
5
semen diikat dengan slope
beton 20 – 100 12
Bagunan dengan pondasi, 0–5 7
pasangan bata dan adukan 5 – 20 12
4 7 – 20
semen, slope beton, kolom dan
rangka diikat dengan ring baik 20 – 100 20
Bagunan dengan pondasi, 0–5 12
pasangan bata dan adukan 5 – 20 24
5 12 – 40
semen, slope beton, kolom dan
dan diikat dengan rangka baja 20 – 100 40

Sumber : Anonim, 2010 : 3-4

2.3 Mekanisme Pecahnya Batuan


Proses pecahnya batuan akibat energi ledakan dapat dibagi dalam tiga
tingkat yaitu proses pemecahan tingkat satu, proses pemecahan tingkat dua,
dan proses pemecahan tingkat tiga:
1. Proses Pemecahan Tahap 1

Pada saat bahan peledak meledak, tekanan tinggi yang ditimbulkan


akan menghancurkan batuan di daerah sekitar lubang tembak. Terjadi
Gelombang Kejut (shock wave) yang merambat dengan kecepatan 2000-
5000 m/detik dan akan mengakibatkan tegangan tangensial yang
menimbulkan rekahan radial yang menjalar dari daerah lubang tembak
Rekahan radial pertama terjadi dalam waktu 1-2 ms.

2. Proses Pemecahan Tahap II.


47

Tekanan akibat gelombang kejut yang meningalkan lubang tembak


pada proses pemecahan tahap 1 adalah positif. Apabila gelombang kejut
mencapai bidang bebas, gelombang tersebut akan dipantulkan.
Bersamaan dengan itu tekanannya akan turun dengan cepat dan
kemudian akan berubah menjadi energi serta menimbulkan gelombang
tarik yang akan merambat kembali di dalam batuan. Oleh kerena
ketahanan batuan terhadap kuat tarik lebih kecil daripada kuat tekan,
maka akan terjadi rekahan-rekahan karena tegangan tarik cukup kuat
sehingga menyebabkan terjadinya seabbing atau spalling pada bidang
bebas.

Dalam proses pemecahan tahap I dan II fungsi dari 11 energi yang


ditimbulkan oleh gelombang kejut adalah membuat sejumlah pecahan-
pecahan kecil pada batuan. Secara teoritis jumlah 12 energi gelombang
kejut hanya berkisar antara 5-15 % dari 12 energi total bahan peledak.
Jadi gelombang kejut tidak secara langsung memecahkan batuan, tetapi
mempersiapkan kondisi batuan untuk proses pemecahan tahap akhir.

3. Proses Pemecahan Tahap III


Proses ini merupakan tahap terakhir dari pemecahan batuan.
Dengan pengaruh tekanan yang sangat tinggi dan gas-gas hasil
peledakan, rekahan radial utama (tahap II) akan diperlebar/diperbesar
secara cepat oleh efek kombinasi dan tegangan tarik yang disebabkan
kompresi radial. Apabila massa didepan lubang tembak gagal
mempertahankan posisinya dan bergerak ke depan, maka tegangan tekan
tinggi yang berada dalam batuan akan dilepaskan seperti spiral kawat
yang ditekan kemudian dilepaskan. Akibat pelepasan tegangan tekan ini
akan menimbulkan tegangan tarik yang besar di dalam massa batuan.
Tegangan tarik inilah yang melengkapi proses pemecahan batuan yang
sudah dimulai pada tahap II.
Rekahan yang terjadi dalam proses pemecahan tahap II merupakan
bidang-bidang lemah yang membantu fragmentasi utama pada proses
48

peledakan. Umumnya batuan akan pecah secara alamiah mengikuti


bidang-bidang yang lemah, seperti kekar dan bidang perlapisan. Secara
singkat, proses pecahnya batuaan saat peledakan pada dasarnya
mengalami beberapa tahap. yaitu dimulai dengan membesarnya lubang
ledak yang disebabkan oleh tekanan ledakan dari bahan peledak. Pada
tahap selanjutnya, energi ledakan akan menuju bidang bebas terdekat
sambil melakukan tekanan terhadap batuan di sekitarnya.
Pada tahap terakhir, energi ledakan tersebut dipantulkan kembali
oleh bidang bebas dan menekan permukaan batuan dengan tekanan yang
melebihi kuat tarik dari batuan tersebut sehingga batuan menjadi pecah.
49

Gambar 2.20. Tahapan-tahapan Pecahnya Batuan


( Sumber : http//www. tahapan tahapan pecahnya batuan.com )

2.4 Bahan Peledak (Explosive)


2.4.1 Defenisi
Bahan peledak (explosive) adalah bahan atau zat yang berbentuk cair,
padat, gas atau campurannya yang apabila dikenai suatu aksi berupa panas,
benturan, gesekan akan berubah secara kimiawi menjadi zat-zat yang lebih
stabil yang sebagian besar atau seluruhnya berbentuk gas dan perubahan
tersebut berlangsung dalam waktu yang amat singkat, disertai efek panas
dan tekanan yang tinggi.
Panas dari gas yang dihasilkan reaksi peledakan tersebut sekitar
4000℃. Adapun tekanannya, menurut Langerfors dan kihlstrom (1978), bisa
mencapai lebih dari 100.000 atm setara dengan 101.500 kg/cm² atau 9.850
Mpa dengan energi per satuan waktu yang ditimbulkan sekitar 25.000 MW
atau 5.950.000 kcal/detik.
Perlu dipahami bahwa energi yang sedemikian besar itu bukan
merefleksikan jumlah energi yang memang tersimpan di dalam bahan
peledak begitu besar, namun kondisi ini terjadi akibat reaksi peledakan yang
50

sangat cepat, yaitu berkisar antara 2500-7500 meter per detik (m/detik).
Oleh sebab itu kekuatan energi tersebut hanya terjadi beberapa detik saja
yang lambat laun berkurang seiring dengan perkembangan keruntuhan
batuan.

2.4.2 Reaksi Peledakan


Secara umum peledakan akan terjadi jika terdapat tiga komponen,
yaitu oxidier, bahan bakar dan pemicu (penyalaan). Ketiga komponen ini
saling berhubungan satu sama lain. Oxidizer berfungsi sebagai agen yang
mentransfer oksigen bagi keberlangsungan reaksi pembakaran pada bahan
bakar. Bahan peledak yang terdiri dari oxidizer dan bahan bakar tidak akan
meledak jika tidak adanya pemicu atau penyalaan (initiation).
Reaksi peledakan berupa reaksi eksotermis, yaitu reaksi yang
menghasilkan panas. Panas merupakan awal terjadinya proses dekomposisi
bahan kimia pembentuk bahan peledak yang menimbulkan pembakaran,
dilanjutkan dengan deflragrasi dan terkahir detonasi.Proses dekomposisi
bahan peledak diuraikan sebagai berikut:
a) Pembakaran adalah reaksi permukaan yang eksotermis dan dijaga
keberlangsungannya oleh panas yang dihasilkan dari reaksi itu sendiri
dan produknya berupa pelepasan gas-gas. Reaksi pembakaran
memerlukan unsur oksigen (O2) baik yang terdapat di alam bebas
maupun dari ikatan molekuler bahan atau material yang terbakar. Contoh
reaksi minyak disel (diesel oil) yang terbakar sebagai berikut:
CH3(CH2)10CH3 + 18½ O2 12 CO2 + 13 H2O
b) Deflagrasi adalah proses kimia eksotermis di mana transmisi dari reaksi
dekomposisi didasarkan pada konduktivitas termal (panas). Deflagrasi
merupakan fenomena reaksi permukaan yang reaksinya meningkat
menjadi ledakan dan menimbulkan gelombang kejut (shock wave)
dengan kecepatan rambat rendah, yaitu antara 300 – 1000 m/s atau lebih
rendah dari kecepatan suara (subsonic). Contohnya pada reaksi peledakan
low explosive (black powder) sebagai berikut:
51

 Potassium nitrat + charcoal + sulfur


20NaNO3 + 30C + 10S 6Na2CO3 + Na2SO4 + 3Na2S +14CO2 +
10CO + 10N2
 Sodium nitrat + charcoal + sulfur
20KNO3 + 30C + 10S 6K2CO3 + K2SO4 + 3K2S +14CO2 +10CO
+ 10N2
c) Ledakan adalah ekspansi seketika yang cepat dari gas menjadi bervolume
lebih besar dari sebelumnya diiringi suara keras dan efek mekanis yang
merusak. Dari definisi tersebut dapat tersirat bahwa ledakan tidak
melibatkan reaksi kimia, tapi kemunculannya disebabkan oleh transfer
energi ke gerakan massa yang menimbulkan efek mekanis merusak
disertai panas dan bunyi yang keras. Contoh ledakan antara lain balon
karet ditiup terus akhirnya meledak, tangki BBM terkena panas terus
menerus bisa meledak, dan lain-lain.
d) Detonasi adalah proses kimia-fisika yang mempunyai kecepatan reaksi
sangat tinggi, sehingga menghasilkan gas dan temperatur sangat besar
yang semuanya membangun ekspansi gaya yang sangat besar pula.
Kecepatan reaksi yang sangat tinggi tersebut menyebarkan tekanan panas
ke seluruh zona peledakan dalam bentuk gelombang tekan kejut (shock
compression wave) dan proses ini berlangsung terus menerus untuk
membebaskan energi hingga berakhir dengan ekspansi hasil reaksinya.
Kecepatan rambat reaksi pada proses detonasi ini berkisar antara 3000 –
7500 m/s.

2.4.3 Sifat Bahan Peledak


Sifat bahan peledak mempengaruhi hasil peledakan, diantaranya yaitu:
1. Kekuatan (Strength)
Kekuatan suatu bahan peledak berkaitan dengan kandungan energi
yang dimiliki oleh bahan peledak tersebut dan merupakan ukuran
kemampuan bahan peledak tersebut untuk melakukan kerja, biasanya
dinyatakan dalam %.
52

2. Kecepatan detonasi
Kecepatan detonasi (velocity of detonation = VOD) merupakan
kecepatan gelombang detonasi yang menerobos sepanjang kolom isian
bahan peledak, dinyatakan dalam meter/detik. kecapatannya tergantung
dari : jenis bahan peledak (ukuran butir, bobot isi), diameter dinamit ,
diameter lubang ledak, derajat pengurungan (degree of confinement),
penyalaan awal (initiating).
3. Kepekaan (sensivity)
Kepekaan (Sensivity) adalah ukuran besarnya impuls yang
diperlukan oleh bahan peledak untuk mulai bereaksi dan menyebarkan
reaksi peledakan keseluruh isian. Kepekaan ini tergantung pada :
komposisi kimia, ukuran butir, bobot isi, pengaruh kandungan air, dan
temperatur.
4. Bobot isi bahan peledak (density)
Bobot Isi Bahan Peledak (density) adalah perbandingan antara berat
dan volume bahan peledak, dinyatakan dalam gr/cm3. Bobot isi ini
biasanya dinyatakan dalam specific gravity (SG). stick count (SC) atau
loading density (d).
5. Tekanan detonasi (Detonation Pressure)
Tekanan Detonasi (Detonation Pressure) merupakan penyebaran
tekanan gelombang ledakan dalam kolom isian bahan peledak,
dinyatakan dalam kilobar (kb).
6. Ketahanan Terhadap Air (Water Resistance)
Ketahanan terhadap air (Water Resistance) merupakan kemampuan
bahan peledak itu sendiri dalam menahan air dalam waktu tertentu tanpa
merusak, merubah atau mengurangi kepekaannya, dinyatakan dalam jam.
7. Sifat Gas Beracun (Fumes)
Bahan peledak yang meledak menghasilkan dua kemungkinan jenis
gas yaitu smoke dan fumes. Smoke tidak berbahaya karena hanya terdiri
dari uap atau asap yang berwarna putih. Sedangkan fumes berwarna
kuning dan berbahaya karena sifatnya beracun, yaitu terdiri dari Karbon
53

Monoksida (CO) dan Oksida Nitrogen (NOx). Fumes dapat terjadi jika
bahan peledak yang diledakkan tidak memiliki keseimbangan oksigen,
dapat juga jika bahan peledak itu rusak atau sudah kadaluarsa selama
penyimpanan dan oleh sebab lain.
8. Mudah terbakar (Flammability)
Kemudahan bahan peledak terhadap initasi dari bunga api atau
nyala api. Beberapa kandungan bahan peledak dapat diledakkan dengan
api. Flammability merupakan pertimbangan yang sangat penting untuk
penyimpanan, transportasi, dan pemakaiannya.
9. Tahan beku (Resistance to Freezing)
Pada negara-negara yang terjadi musim dingin dengan temperatur
di bawah 0o C, dibutuhkan bahan peledak yang tahan beku. Dinamit
menjadi lebih keras pada temperatur rendah dan akan merugikan dalam
pengisian lubang tembak.

2.4.4 Jenis Bahan Peledak


Pembagian jenis bahan peledak menurut R.L.Ash adalah:
1. Bahan peledak kuat (high explosive) bersifat menghancurkan dengan
kecepatan detonasi 5.000-24.000 fps, kekuatan 50.000 – 40.000 psi.
Untuk jenis bahan peledak contohnya produk DANFO.
2. Bahan peledak lemah (low explosive) bersifat mendorong atau
mengangkat dengan kecepatan detonasi < 5000 fps, kekuatan <50.000
psi. Sedangkan pembagian bahan peledak menurut keputusan Menteri
Pertambangan dan Energi No. 555.K/26M.PE/1995, yaitu:
a. Bahan peledak peka detonator, adalah bahan peledak yang dapat
meledak dengan detonator no.8.
b. Bahan peledak peka primer, adalah bahan peledak yang hanya dapat
meledak dengan menggunakan primer atau booster dengan detonator
no.8.
c. Bahan peledak ramuan, adalah bahan baku yang apabila dicampur
5dengan bahan tertentu akan menjadi bahan peledak peka primer.
54

2.5 Metode Peledakan Elektronik


2.5.1 Sejarah
Komponen elektronik diperkenalkan di dunia inisiasi listrik di akhir
1960-an . Meningkatkan ukuran masing-masing ditembak berubah menjadi
strategis untuk pasar penggagas, untuk detonator listrik untuk dapat bersaing
dengan yang baru diperkenalkan detonator non - listrik. Perkembangan
elektronik membuat penciptaan mesin peledakan berurutan mungkin. Mesin
peledakan sekuensial memberikan semburan waktunya elektronik
adjustable energi untuk sejumlah kawat timah, secara dramatis
meningkatkan jumlah maksimum detonator listrik Decepticons dapat
terhubung dan karenanya meningkatkan jumlah kombinasi potensial.
Pada tahun 1990, miniaturisasi peningkatan komponen elektronik
melahirkan ide baru, menggunakan jam elektronik memulai untuk
menggantikan pyrotechnical ( powder ) delay elemen yang menciptakan
ketidaktelitian untuk detonator listrik. Dari tahun 1990 hingga tahun 2000,
gerakan penelitian dan pengembangan besar-besaran dilakukan oleh
sejumlah besar pelaku untuk mengembangkan detonator elektronik pra -
diprogram atau diprogram.
Detonator elektronik Programmable merupakan langkah maju dalam
logika, menawarkan fleksibilitas yang luar biasa dalam pilihan waktu
inisiasi . Fleksibilitas ini bersama-sama dengan akurasi dikontrol secara
elektronik membuka pintu untuk penundaan singkat urutan inisiasi
kompleks yang telah sejak menunjukkan manfaat yang signifikan
(pengurangan gangguan, meningkatkan produktivitas) kepada para
pemangku kepentingan pertambangan Perangkat lunak simulasi numerik
telah dikembangkan untuk membantu insinyur pertambangan untuk
berurusan dengan sejumlah besar kemungkinan dalam desain tembakan
mereka.
Meskipun harga pasar yang lebih tinggi, detonator elektronik terus
menyebar di pasar selama 2000-an. Sebuah merger dan akuisisi tahap yang
kuat telah menghasilkan hilangnya sebagian besar produsen. Saat ini, hanya
55

5 atau 6 produsen tetap aktif di pasar ini. Setiap merek dapat diprogram
hanya dengan dirancang khusus mesin peledakan sendiri . Terutama karena
protokol komunikasi yang berbeda, tak satu pun dari mesin ini dapat
digunakan untuk memulai beberapa merek detonator. Akibatnya, tak satu
pun dari merek ini dapat dicampur dalam satu tembakan. Pertama mesin
peledakan nirkabel muncul di pasar pada tahun 2000, yang memungkinkan
inisiasi tembakan lebih besar dari jarak aman. Inisiasi Wireless telah
menjadi standar sejak di pasar. Detonator elektronik masih didasarkan pada
kabel listrik untuk melakukan sumber energi sinyal inisiasi.
ORICA Mining Services, penemu detonator elektronik nirkabel
diresmikan pada awal tahun 2011, berpura-pura sekarang untuk mengakhiri
dengan kelemahan operasional ini (potensi kebocoran, celana pendek, cut-
off , sensitivitas elektromagnetik ) dan akibatnya meningkatkan keselamatan
dan profitabilitas tambang. Perusahaan ORICA membuat detonator dengan
merk I-kon TM Digital Energy system. I-kon TM Digital Energy system atau
yang lebih dikenal dengan sebuan elektronik detonator merupakan detonator
generasi terbaru yang dibuat dan dirancang sedemikian khusus sebagai
penyempurnaan dari detonator generasi sebelumya untuk lebih
memaksimalkan proses kinerja peledakan

2.5.2 Komponen Dasar Rangkaian


Tiga komponen dasar rangkaian peledakan:
1. Detonator listrik (electric detonator).
2. Kawat rangkaian (circuit wiring), terdiri dari:
 Leg wire.
 Connecting wire.
 Firing line.
 Buswire
3. Sumber tenaga (power source): Blasting machine dan AC-power line.
56

Kawat rangkaian (circuit wiring), terdiri dari:


a. Legwire : Dua kawat yang menjadi satu dengan detonator listrik, yang
salah satu ujungnya dihubungkan dengan bridge wire yang terdapat
dalam detonator. Isolasi legwire pada ujung yang lain terkupas dan
kedua kawat diikatkan satu terhadap yang lain atau dilindungi plastik
shunt. Panjangnya bervariasi tergantung kebutuhan.
b. Connecting wire: Kawat yang mempunyai isolasi, dipakai untuk meng-
hubungkan “legwire” dengan “firing line”. Connecting wire terdiri
dari kawat tunggal (solid wire) tembaga dengan isolasi yang tahan
terhadap air yaitu 20 AWG atau yang lebih besar.
c. Firing line: Kawat yang dipergunakan untuk menghubungkan sumber
tenaga listrik dengan rangkaian detonator yaitu 14 AWG atau yang
lebih besar.
d. Buswire: Kawat perpanjangan dari firing line dimana masing-masing
detonator (paralel circuit) atau masing-masing detonator dalam seri
(paralel series circuit) dihubungkan. Buswire memiliki ukuran (gauge)
yang sama dengan semua firing line.
57

Gambar 2.21. Komponen Electronic Detonator


( Sumber : http//www.Komponen Electronic Detonator.com )
Jenis detonator elektronik yaitu antara lain :
1. Instantaneous detonator.
2. Delay detonator

Kelas Detonator
a. Milli-second detonator
Milli-second Di dalamnya terdapat milli second delay element,
berfungsi untuk menunda detonasi sesuai dengan waktu yang telah
ditentukan. Waktu tunda (delay interval) antara setiap inter-val seri
tidak boleh melibihi 100 ms (0.1 detik).
b. Half-second detonator
Half yaitu Di dalamnya terdapat half second delay element.
Waktu tunda (delay interval) adalah 500 ms (0.5 detik).

Karena detonator ini bersifat khusus tentunya ada beberapa alat yang
digunakan untuk menunjang kinerja dan pemakaian detonator ini,
diantaranya ada perangkat lunak dan perangkat kerasnya, seperti: logger,
Blaster dan hotplus-i
58

2.5.3 Kelebihan dan Kekurangan


Elektronik detonator ini memiliki kelebihan diantaranya :
 Waktu delay detonator : 0-15000 ms dengan beda 1 ms.
 Akurasi : +/- 0.1% dari waktu delay terprogram.
 Memiliki detonator ID khusus.
 Dapat membuat komunikasi dua arah.
 Dapat mencegah terjadinya overlap waktu delay.
 Aman terhadap over voltage, arus liar dan arus statis.
 Memiliki konektor.
 Kemampuan peledakan dari jarak jauh: CEBS (Central Blasting System)
untuk aplikasi Underground dan SURBS (Surface Remote Blasting
System) untuk aplikasi Open Cut.
 Software SHOTPlus-I & SHOTPlus-I UG terpadu untuk desain
peledakan dan memprogram detonator secara otomatis.
 Kemampuan pemrograman yang penuh, yang memudahkan pengurangan
inventarisasi dan pemenuhan terhadap peraturan yang disederhanakan.
 Pilihan premium wire untuk aplikasi yang tinggi permintaannya (i
-kon™RX).

Adapun kekurangan dari Elektronik detonator ini yaitu nilai costnya


terlalu tinggi dikarenakan harga dari kawat rangkaian (circuit wiring) lebih
mahal dibandingkan dengan nonel

2.6 Fragmentasi Batuan


Fragmentasi adalah istilah umum untuk menunjukkan ukuran setiap
bongkah batuan hasil peledakan. Ukuran fragmentasi tergantung pada
proses selanjutnya. Untuk tujuan tertentu ukuran fragmentasi yang besar
atau boulder diperlukan, misalnya disusun sebagai penghalang (barrier) di
tepi jalan tambang.
59

Namun kebanyakan diinginkan ukuran fragmentasi yang kecil karena


penanganan selanjutnya akan lebih mudah. Ukuran fragmentasi terbesar
biasanya dibatasi oleh dimensi mangkok alat gali (excavator atau shovel)
yang akan memuatnya ke dalam truck dan oleh ukuran gap bukaan crusher

2.6.1 Split Dekstop Trial 2.0


Program Split Desktop merupakan program yang berfungsi untuk
menganalisa ukuran fragmen batuan. Split Desktop adalah program
penganalisaan gambar yang dikembangkan oleh Universitas Arizona,
Amerika Serikat. Pada penelitian ini program Split Desktop digunakan
untuk membantu menganalisis gambar fragmen material hasil peledakan,
hasilnya berupa grafik presentase lolos material dan ukuran fragmen rata-
rata yang dihasilkan dalam suatu peledakan.

Kelebihan program Split Desktop adalah sebagai berikut :

1. Dapat membaca file gambar dengan format : TIFF, JPEG atau Windows
BMP.
2. Mengambil gambar dari video (video capture) dengan Scion
Framegrabber.
3. Digital Video Capture dengan IEEE 1394 (fireware).
4. Kelebihan prosesing gambar standar (Scaling, filtering, dan sebagainya).
5. Peralatan edit gambar (image editing tools).
6. Digitasi automatik partikel batuan.
7. Identifikasi automatik partikel halus.
8. Menggunakan ukuran ayakan yang bisa disesuaikan (standar ISO, US,
UK).
9. Hasil berupa grafik distribusi ukuran butir yang bisa disesuaikan.
10. Basis pelaporan dalam HTML dan Text.
11. Menggunakan perhitungan algoritma untuk menggabung dua gambar
yang berbeda skala.
60

12. Kalkulasi automatik parameter dengan pendekatan metode distribusi


Rossin-Ramler atau Schumann.

Split Desktop merupakan program pemprosesan gambar (image


analysis) untuk menentukan distribusi ukuran dari fragmen batuan pada
proses penghancuran batuan yang terjadi pada proses penambangan.
Program Split Desktop dijalankan oleh engineer tambang atau teknisi di
lokasi tambang dengan mengambil input data berupa foto digital
fragmentasi. Sistem Split Desktop terdiri dari software, computer, keyboard
dan monitor. Terdapat mekanisme untuk mengunduh gambar dari kamera
digital ke dalam komputer. (Duna, 2010).

Anda mungkin juga menyukai