Anda di halaman 1dari 20

BAB II.

TINJAUAN PUSTAKA

Taksonomi Sapi Potong

Banyak sekali jenis bangsa sapi potong di Indonesia baik sapi lokal

maupun sapi impor. Saat ini selain sapi lokal juga terdapat hasil silangan antara

sapi lokal dengan sapi impor. Kebanyakan sapi silanagan tersebut adalah hasil

dari perkawinan secara inseminasi buatan. Sapi yang digunakan sebagai pejantan

biasanya diambil dari Bos Taurus dengan induk sapi peranakan Ongole (PO) atau

Brahman. Sapi yang berwarna putih biasanya disebut dengan sapi lokal, sapi putih

atau sapi jawa. Sapi ini biasanya adalah sapi PO atau sapi Brahman.

Klasifikasi Sapi

Phylum : Chordata

Clas : Mamalia

Ordo : Artiodactyla

Sub Ordo : Ruminansia

Family : Bovidae

Genus : Bos

Species : Bos taurus , Bos sondaicus ,dan Bos indicus

Perkembangan dari jenis-jenis primitif itulah yang sampai sekarang

menghasilkan tiga kelompok nenek moyang sapi hasil penjinakan yang kita kenal

yaitu Bos sondaicus atau Bos banteng. Dimana sampai sekarang masih ditemukan

liar di daerah margasatwa yang dilindungi di Pulau Jawa, seperti Pangandaran dan

Ujung Kulon dan merupakan sumber asli Indonesia (Sostroamidjojo, 1981).

1
Bos indicus atau Sapi Zebu sampai sekarang mengalami perkembangan di India.

Jenis sapi yang terkenal di Indonesia adalah sapi Brahman dan sapi Ongole. Bos

indicus merupakan sapi berpunuk, sapi-sapi dari Bos indicus menurunkan bangsa-

bangsa sapi di daerah tropis (Sastroamidjojo, 1992). Bos taurus atau sapi Eropa

sampai sekarang mengalami perkembangan di Eropa. Bos taurus merupakan

bangsa sapi yang menjadi nenek moyang dari sapi potong maupun sapi perah

(Murtidjo, 1992).

Table 1. Karakteristik reproduksi sapi potong.

Umur pubertas (bulan) polyestrous


Siklus estrus (hari) 15 (10-24)
Lama estrus (jam) 21 (14-29)
Tipe ovulasi 18 (12-30)
Waktu ovulasi (jam) 30 (18-48)
Jumlah telur yang diovulasikan 1
Corpus luteum bertahan (hari) 16
Lama hidup ovum (jam) 20-24
Lama bunting (hari) 280 (278-293)
Umur beranak pertama (bulan) 30 (24-36)
Masa involusi estrus (hari) 45 (32-50)
Estrus sesudah beranak (hari) 30 (10-110)
Jarak beranak (bulan) 13 (12-14)

Bangsa Sapi Potong

Sapi Ongole

Bangsa sapi ongole berasal dari india dan termasuk golongan zebu.

Diternakan mulai tahun 1906 secara murni di pulau Sumba sehingga terkenal

dengan sebutan Sumba Ongole (SO). Sapi ini memiliki warna keputih-putihan,

dengan kepala, leher, dan lutut, berwarna gelap terutama pada yang jantan.

Tanduk pendek, mula-mula mengarah keluar, kemudian kebelakan. Bentuk tubuh

besar, gelambir longgar menggelantung, punuk berukuran sedang hingga besar,

2
tepat diatas pundaknya. Hasil grading up sapi jawa dengan SO disekitar tahun

1930 disebut sebagai sapi Peranakan Ongole (PO) (Hardjosubroto, 1994).

Sapi PO masuk ke Indonesia pada tahun 1914, merupakan hasil

persilanagn sapi ongole dan local. Sapi ini banyak dipelihara di pedesaan dan

sudah tersebar dibeberapa wilayah Indonesia dengan jumlah lebih dari jumlah

populasi sapi di Indonesia (Tilman, 1961).

Sapi PO bertubuh besar serta berwarna putih pada gumba, leher, dan

sebagian kepala. Pada sapi jantan mempunyai warna bulu kelabu kehitam-

hitaman, punuk besar, tanduk pendek, profil dahi cembung, dan mempunya

gelambir. Sapi PO tergolong kedalam sapi dengan pertumbuhan sedang dan

mampu menghasilkan daging yang cukup baik dengan presentase karkas

mencapai 45% (Tilman, 1981).

Sapi Simmental

Sapi Simmental berasal dari lembah simme di Swiss. Sapi ini berwarna

merah, bervariasi mulai dari yang gelap sampai hamper kuning, dengan totol-totol

serta mukanya berwarna putih. Sapi ini terkenal karena menyusui anaknya dengan

baik serta pertumbuhan yang cepat, badannya panjang dan padat. Termasuk

berukuran berat, baik pada kelahiran, penyapihan maupun saat mencapai dewasa

(Ngadiyono, 2007).

Saat ini banyak dilakukan persilangan antara induk dapi lokal dengan sapi-

sapi Eropa dengan salah satunya menghasilkan sapi Simpo. Sapi Simpo menurut

Triyono (2003) merupakan hasil persilangan antara sapi Simmental dengan sapi

Pernakan Ongole. Biasanya sapi-sapi tersebut adalah hasil dari perkawinan secara

3
Inseminasi Buatan. Ciri-ciri eksterior sapi Simpo ini dapat menyerupai sapi PO,

dapat menyerupai sapi Simmental atau perpaduan antara ciri-ciri keduanya.

Sapi Limousin

Bangsa sapi Limousin berasal dari sebuah propinsi di Perancis yang

banyak bukit berbatu. Warnanya mulai dari kuning sampai merah keemasan.

Tanduknya berwarna cerah. Fertilitasnya cukup tinggi, mudah melahirkan,

mampu menyusui dan mengasuh anak dengan baik serta pertumbuhannya cepat

(Ngadiyono, 2007).

Sapi Limpo merupakan hasil silangan antara sapi limousine dengan sapi

Peranakan Ongole. Ciri-ciri sapi menyerupai sapi PO, Limousin ataupun

perpaduan dari kedua ciri sapi PO dan Limousin. Sapi Limpo tidak berpunuk,

tidak bergelambir, warna bulu cokelat tua atau kehitaman dan cokelat muda

(Aryogi et al, 2005).

Sapi Brangus

Sapi Brangus merupakan hasil persilangan antara Brahman dan Aberdeen

Angus. Sapi ini juga tidak bertanduk, bergelambir, bertelinga kecil, berponok

tetapi kecil (Sugeng, 2006). Sifat-sifat yang disukai meliputi konfirmasinya yang

bagus, pertumbuhan cepat, tahan panas, tahan caplak serta kemampuannya

mengasuh pedet (Ngadiyono, 2007).

Pemeriksaan Kondisi Tubuh Ternak

Skor kondisi tubuh (SKT) suatu menilai kondisi badan sapi adalah

dengan mengetahui skor kondisi tubuh (SKT) atau body condition score (BCS).

SKT adalah nilai kondisi tubuh sapi yang menunjukan tingkat kekurusan sampai

kegemukan yang dapat menggambarkan tinggi rendahnya tumpukan jaringan

4
lemak pada bagian tubuh tertentu sebagai bentuk cadangan energi yang akan

dibongkar sewaktu-waktu apabila dibutuhkan.

SKT akan mempengaruhi pretasi atau kinerja reproduksi ternak dan

pulihnya siklus birahi atau siklus estrus setelah sapi beranak (Adiarto, 2012). Pada

prinsipnya, kondisi tubuh ternak sapi hanya dibedakan atas tiga ketegori, yaitu

kurus, sedang, dan gemuk. Pendugaan kondisi tubuh ternak sapi dapat dilakukan

dengan dua cara, yaitu pengamatan tulang rusuk dan perabaan tulang belakang.

1. Pengamatan Tulang Rusuk

Pengamatan tulang rusuk merupakan cara yang paling mudah dan sederhana

dalam menduga kondisi tubuh ternak sapi, yakni berdasarkan pada pengamatan

banyaknya tulang rusuk yang tampak membayang di balik kulit ternak sapi yang

diamati. Semakin tidak tampak tulang rusuk yang membayang di balik kulit,

kondisi tubuh sapi dinilai semakin baik. Dengan cara ini, kondisi tubuh sapi

dibagi menjadi 3 kelas sebagai berikut.

a. Kurus

Tubuh sapi dianggap kurus apabila sebagian besar tulang rusuk (lebih dari

6 buah) tampak membayang di balik kulit.

b. Sedang

Tubuh sapi dianggap berkondisi sedang apabila hanya sebagian dari tulang

rusuk (kurang dari 6 buah, biasanya 4-5 buah) tampak membayang di balik

kulit.

c. Gemuk

5
Tubuh sapi dianggap gemuk apabila seluruh tulang rusuk tidak tampak

membayang di balik kulit karena tertutup oleh daging dan lemak.

Perlu diketahui bahwa tulang rusuk ternak sapi berjumlah 13 buah. Rusuk yang

paling mudah tampak terlihat/membayang adalah rusuk ke-6. Hal ini karena

tulang rusuk ini paling panjang dan paling melengkung. Sementara tulang rusuk

ke -1, ke-2, dan ke-3 sangat sulit terlihat karena terhalang oleh tulang siku

(humerus).

2. Cara perabaan tulang belakang

Pendugaan kondisi tubuh ternak sapi dengan cara perabaan tulang belakang

adalah berdasarkan perabaan dan penekanan daerah pinggang, yakni di bagian

tulang belakang setelah rusuk terakhir dan diperkuat dengan penampakan tonjolan

tulang belakang tersebut. Cara yang dapat dilakukan adalah dengan menekan ibu

jari pada bagian transverssus processus horizontal (untuk merasakan keruncingan

ujungnya), sementara keempat jari lainnya menekan bagian daging has/mata rusuk

untuk merasakan ketebalan lemak dibawah kulitnya. Semakin tebal perlemakan

dan semakin tidak teraba ujung transverssus processus, kondisi tubuh ternak sapi

dibagi menjadi 5 kelas sebagai berikut.

a. Sangat kurus = Skor 1,0

Tubuh sapi dianggap sangat kurus apabila tulang punggung sapi tampak

menonjol dan transverssus processus yang teraba terasa sangat runcing serta

tidak terdapat perlemakan dibawah kulit. Selain itu, terdapat ruang yang cukup

dalam pada daerah pangkal ekor. Tulang rusuk dan tulang belakang (vertebrae)

6
tampak meruncing dan mudah diraba. Selain itu, tidak terdapat timbunan lemak

pada daerah pinggul, pantat, dan ikatan sendi (sacral ligament)

b. Kurus = Skor 2,0

Tubuh sapi dianggap kurus apabila transverssus processus hanya dapat

teraba oleh ibu jari, tetapi terasa adanya sedikit perlemakan. Pada sekitar

pangkal ekor terdapat ruang yang dangkal dan sedikit lapisan lemak pada

daerah pantat. Permukaan tulang rusuk dan tulang belakang (vertebrae) dapat

dirasakan apabila dilakukan penekanan. Daerah pinggul dan tuber coxae

tampak cekung (legok).

c. Sedang = Skor 3,0

Tubuh sapi dianggap sedang apabila transverssus processus hanya dapat

teraba dengan cara ibu jari yang ditekankan. Sekitar pangkal ekor tidak terdapat

cekungan ruang dan lapisan lemak dapat diraba dengan mudah pada bagian

sekitar pangkal ekor, tuber coxae, pinggul, dan tulang belakang (vertebrae).

Sementara daerah pinggul agak sedikit cekung.

d. Gemuk = Skor 4,0

Tubuh sapi dianggap gemuk apabila transverssus processus tidak teraba

walaupun ibu jari ditekan karena perlemakan agak tebal. Pangkal ekor tertutup

tebal oleh lapisan lemak. Tulang rusuk, tuber coxae, pinggul, dan tulang

belakang tidak tampak jelas karena tertutup merata oleh lapisan lemak di

bawah kulit.

e. Sangat gemuk = Skor 5,0

Tubuh sapi dianggap sangat gemuk apabila transverssus processus tidak

dapat teraba dan perlemakannya sangat tebal. Pangkal ekor tertutup tebal oleh

7
lapisan lemak. Tulang rusuk, tuber coxae, pinggul, dan tulang belakang tidak

tampak jelas karena tertutup merata oleh lapisan lemak di bawah kulit.

Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Skt

faktor yang mempengaruhi SKT antara lain pakan, umur, breed dan

aktivitas. Sapi yang memiliki umur tua biasanya kondisi tubuhnya kurang jika

dibandingkan dengan sapi yang lebih muda. Pakan dan aktivitas sapi menentukan

banyak lemak subkutan yang tersimpan. Semakin bagus kualitas pakan dan

aktivitas yang sedikit akan meningkatkan nilai SKT. Deposisi lemak pada sapi

bervariasi menurut jenis sapi. Deposisi lemak subcutan pada sapi Brahman lebih

sedikit dan lemak internal yang lebih banyak jika dibandingkan dengan sapi

British dan tipe Continental. Sapi dengan pertulangan yang kecil umumnya

mendapat penilaian yang lebih jika dibandingakan dengan breed sapi besar

(Enchinian dan Lardy, 2000)

8
Tabel 2. Skor kondisi tubuh (SKT) pada sapi potong.

Bagian Tubuh
Kelas
Pangkal Ekor Punggung Rusuk
Skor 1,0 = Ruangnya dalam, Tulang Terasa tajam
Sangat tidak terdapat transverssus membayang dan
kurus lapisan lemak di horizontal dan tidak tertutup
(emasiasi) bagian kulit, dan spinossus sangat lemak.
kulit terasa kasar. runcing.
Skor 2,0 = Kurus Ruangnya Tulang Rusuk, tampak,
dangkal, tulang transverssus membayang,
pinggul runcing, horizontal sedikit tetapi tidak terlalu
adasedikit lapisan teraba dan tidak tajam.
lemak di bawah begitu runcing.
kulit, dan kulit
agak halus.
Skor 3,0 = Sedang Terdapat lapisan Bila ditekan Seperti halnya
lemak, kulit tulang punggung, bagian
terasa halus, transverssus ini akan teraba
tulang pelvis horizontal bisa bila ditekan.
dapat dirasakan teraba.
bila ditekan, dan
sedikit terlihat
cekungan.
Skor 4,0 = Gemuk Terdapat lapisan Tulang Ditutupi oleh
lemak di bawah transverssus perlemakan.
kulit dan terasa horizontal tidak
halus bila diraba. teraba dan tidak
runcing.
Skor 5,0 = Terasa lapisan Bila ditekan, Tertutup oleh
Sangat gemuk lemak di bawah pelvis akan lemak yang tebal.
(obesitas) kulit yang teraba.
melimpah.

(Adiarto, 2012)

Pakan

Pakan sebagai faktor yang menyebabkan gangguan reproduksi dan

kemajiran sering bersifat majemuk, artinya kekurangan suatu zat dalam ransum

pakan diikuti oleh kekurangan zat pakan yang lain. Sebagai contoh pada sapi

perah, kekurangan protein dalam ransum sering diikuti oleh kurangnya mineral

9
dan vitamin. Ini terjadi khususnya pada musim kemarau yang panjang, pakan

yang diberikan terdiri dari rumput yang sudah tua yang kualitasnya rendah,

rumput kering atau jerami, apalagi bila ternak tersebut selalu berada di dalam

kandang dan kurang pergerakan (Hardjopranjoto, 1995).

Bahan Pakan Sapi

Pemilihan bahan makanan ternak sapi, yang perlu dipertimbangkan bukan

saja zat-zat yang terkandung didalamnya, tetapi juga sifat biologis bahan-bahan

yang akan disajikan, seperti : volume dan tekstur, palatabilitas (enak tidaknya)

dan sifat bahan makanan itu sendiri. Sebab kesemuanya akan berpengaruh besar

terhadap mutu bahan makanan yang masuk kedalam tubuh hewan. Sebagai

contoh, jagung yang digiling terlalu besar tentu relatif lebih sukar dicerna

daripada bahan makanan yang halus. Demikian pula bahan-bahan makanan yang

sukar diresapi oleh getah pencernakan, misalnya jerami, mutu makanan tersebut

lebih rendah daripada bahan makanan lain. Sebab, sari makanan yang terkandung

di dalam jerami tertutup oleh dinding-dinding sel yang sukar ditembus. Oleh

karena itu para peternak harus memberi perhatian secara khusus terhadap jenis

makanan yang akan diberikan kepada ternaknya (Sugeng, 2000).

Konsentrat. Konsentrat adalah pakan yang memiliki nilai protein dan

energi yang tinggi dengan PK sekitar 18%. Pada ternak yang digemukkan,

semakin banyak konsentrat dalam pakannya akan semakin baik asalkan konsumsi

serat kasar tidak kurang dari 15% BK pakan. Oleh karena itu banyaknya

pemberian konsentrat dalam formula pakan harus terbatas agar ternak tidak terlau

gemuk (Siregar, 1994). Pakan penguat adalah pakan yang berkonsentrasi tinggi

dengan kadar serat kasar yang relatif rendah dan mudah dicerna. Bahan pakan

10
penguat ini meliputi bahan makanan yang berasal dari biji-bijian seperti jagung

giling, menir, bulgar, hasil ikutan pertanian atau pabrik seperti dedak, bekatul,

bungkil kelapa dan berbagai umbi (Sugeng, 2000).

Hijaun segar. Makanan hijauan yang diberikan dalam keadaan segar.

Yang termasuk bahan hijauan segar ialah rumput segar, batang jagung muda,

kacang-kacangan dan lain-lain yang masih segar serta silage. Jumlah hijauan yang

diberikan kepada sapi di Indonesia 30-40 kg. hal ini sangat tergantung dari berat

badan sapi yang bersangkutan. Pada prinsipnya pemberian hijauan ini ialah 10%

berat badan. Bahan makanan hijauan berfungsi sebagai pengenyang, sumber

mineral karbohidrat, vitamin-vitamin, dan protein (terutama yang berasal dari

kacang-kacangan). Hijauan segar dari rumput jenis unggul, seperti rumput gajah,

nilai gizi cukup terjamin, dan volumennya lebih baik dibandingkan dengan

rumput liar. Sebab, rumput gajah dapat tumbuh dengan cepat, dalam waktu 30-40

hari sudah dapat di panen, sehingga pemberiannya dapat dilakukan secara rutin

(Fikar dan Dadi, 2012)

Hijauan kering. Makanan yang berasal dari hijauan yang dikeringkan,

misalnya jerami dan hay. Jerami ialah hasil ikutan seperti padi, kacang tanah,

kedelai, jagung dan lain-lain yang berupa batang daun ranting. Jerami merupakan

salah satu bahan makanan yang mutunya rendah. Sebab, zat-zat yang terkandung

didalamnya, seperti sellulosa, terselubung oleh dinding yang keras, yakni silica

dan liginin. Dengan demikian sellulosa yang sebenarnya dapat dimanfaatkan oleh

hewan ruminansia (sapi) sulit ditembus oleh getah pencernaannya. Sapi yang

makan 10 kg jerami kira-kira hanya 3 kg atau 30 % saja yang dapat dicerna

(Sugeng, 2000). Fikar dan Dadi (2012) pemberian jerami hanya di anjurkan

11
maksimum 2 % dari bobot badan sapi. Jika jerami diberikan secara tunggal bisa

menyebabkan penurunan bobot badan sapi. Menurut Agus (2008) jerami biji-

bijian hanya mengandung sedikit protein kasar, mineral dan energi, sedangkan

kandungan karbohidrat strukturalnya cukup tinggi (serat kasar, NDF, ADF).

Kandungan lignin pada bahan kering juga cukup tinggi yaitu 14% pada jerami

padi. Proses amoniasi, penambahan ammonia dan sodium hidroksida dapat

meningkatkan daya cerna jerami.

Kinerja Reproduksi Pada Sapi Potong

Menurut Hardjosubroto et al., (1980) performans dari aspek reproduksi

ternak dipengaruhi oleh factor-faktor antara lain pubertas dan umur perkawinan

pertama, birahi, service per conception (S/C), jarak beranak (calving interval),

non return rate, calving rate, kondisi lingkungan, dan teknik perkawinan.

Penampilan reproduksi sapi betina dapat dilihat dari estrus pertma, umur pertama

kali dikawinkan, service per conception, kawin setelah beranak, dan interval

kelahiran (Hunter, 1995).

Pubertas. Pubertas dianggap sebagai umur hewan betina saat pertama kali

menunjukkan birahi dan diikuti oleh aktivitas ovarium yang menciri bersiklus

pada hewan yang tidak bunting. Perry (1971) menyatakan bahwa pubertas harus

dipandang sebagai peristiwa yang terjadi secara berangsur-angsur dan bersifat

kuantitatif dan bukan sebagai kejadian endokrinlogi yang terjadi secara tiba-tiba

dan bersifat kualitatif. Demikian pula Donovan dan van der Werff ten Bosch

(1965) menganggap pubertas sebagai seluruh periode pada waktu kelenjar

kelamin mensekresikan steroid dalam jumlah yang cukup untuk mempercepat

pertumbuhan organ kelamin dan penampakan ciri kelamin sekunder. Penyebab

12
langsung pemasakan kelamin saat pubertas adalah meningkatnya sekresi hormon

hipofisis yang mengakibatkan meningkatnya ukuran dan aktivitas ovarium

(Hunter, 1995).

Umur sapi dara saat pertama kali menunjukkan perilaku birahi dapat

beragam dari delapan sampai 18 bulan (lebih umum 9-13 bulan), ketika hewan

seperti sapi Holstein berbobot sekitar 260 kg (Dziuk, 1973). Kisaran dalam umur

ini dipengaruhi oleh bangsa dan status nutrisi (Hanzel, 1959; Morrow, 1969), dan

pada banyak sistem peternakan tercatat lebih dini pada sapi perah ketimbang sapi

daging. Penelitian terdahulu mengenai pengaruh tingkat pakan pada sekelompok

sapi dara Holstein juga menunjukkan bahwa pada kondisi yang lazim, ukuran

tubuh lebih penting ketimbang umur dalam mempengaruhi timbulnya birahi

pertama. Sebagai ketentuan umum, tingkat nutrisi rendah yang dapat menyangkut

unsur kuantitatif dan/atau kualitatif akan menghambat umur birahi pertama pada

sapi (Joubert, 1963). Pubertas tertunda sampai ukuran tubuh tertentu tercapai

(Hunter, 1995).

Estrus. Estrus adalah periode birahi atau periode penerimaan seksual pada

betina. Ini terjadi ketika kadar estrogen yang dihasilkan oleh folikel-folikel yang

matang mencampai puncaknya. Kadar estrogen yang tinggi ini menyebabkan

perubahan-perubahan fisik dan perilaku, pertanda bahwa hewan betina ingin dan

siap dikawini oleh hewan jantan (Arman, 2004). Menurut Feradis (2010) birahi

pada saat betina ditandai dengan gelisah, sering berteriak, suka menaiki dan

dinaiki sesamanya, vulva bengkak, berwarna merah, bila diraba terasa hangat (3A:

Abang, Abuh, Anget), dari vulva keluar lender yang bening dan tidak berwarna,

dan nafsu makan berkurang. Lama estrus pada sapi 12-18 jam, waktu ovulasi 12-

13
15 jam sesudah akhir estrus, dan anjuran untuk dikawinkan 4-8 jam sebelum akhir

estrus (Arman, 2014).

Siklus estrus. Siklus estrus didefinisikan sebagai waktu diantara periode

estrus. Rata-rata panjang atau lama estrus serupa untuk ternak, walaupun lebih

pendek untuk domba. Panjang estrus kira-kira 17 hari intuk domba, 21 hari pada

sapi, 22 hari untuk kuda, dan 20 hari untuk babi (Anonim,2004).

Periode siklus estrus adalah estrus, metestrus, diestrus, dan proestrus.

Periode-periode ini di dalam satu pola yang berurutan dan siklik.

a. Estrus

Estrus didefinisikan sebagai periode waktu ketika betina reseptif

terhadap jantan dan akan membiarkan untuk dikawini. Lamanya periode estrus

bervariasi antar spesies. Estrus berlangsung selama 12-18 jam pada sapi, 24-36

jam pada domba, 40-72 jam pada babi, dan 4-8 hari pada kuda. Ovulasi yang

berkaitan dengan estrus terjadi 10-12 jam sesudah akhir estrus pada sapi,

pertengahan sampai akhir estrus pada domba, kira-kira mid-estrus pada babi,

dan 1-2 hari sebelum akhir estrus pada kuda (Bearden,1984).

b. Metestrus

Periode met estrus dimulai dengan berhentinya estrus dan berlangsung

kira-kira 3 hari. Terutama, hal ini merupakan suatu periode pembentukan

corpus luteum. Selama akhir estrus dan proestrus, konsentrasi estrogen tinggi

meningkatkan vaskularisasi endometrium. Vaskularisasi ini mencapai

puncaknya kira-kira 1 hari sesudah akhir estrus. Dengan menurunnya kadar

estrogen, kerusakan kapiler dapat terjadi yang menghasilkan hilangnya sedikit

darah (Bearden,1984).

14
c. Diestrus

Diestrus dikarakteristikkan sebagai periode dalam siklus estrus ketika

corpus luteum fungsional penuh. Pada sapi dimulai kira-kira hari ke-5 siklus,

ketika suatu peningkatan konsentrasi progesteron dalam dalam darah dan dapat

dideteksi pertama kali, dan berakhir dengan regresi corpus luteum pada hari 16

dan 17 (Bearden,1984).

d. Proestrus

Proestrus dimulai dengan regresi corpus luteum dan merosotnya

progesteron serta melajut sampai dimulai estrus. Ciri utama dari proestrus

adalah terjadinya pertumbuhan folikel yang cepat. Akhir dari periode ini adalah

pengaruh estrogen pada sistem saluran reproduksi dan gejala tingkah laku

mendekati estrus dapat diamati (Bearden,1984).

Tabel 3. Karakteristik dari periode siklus estrus pada sapi

Periode Hari Gejala utama


Estrus 1 Gejala tingkah laku estrus
Metestrus 2-4 Ovulasi, pembekuan corpus luteum
Diestrus 5-16 Corpus luteum berfungsi
Proestrus 17-21 Pertumbuhan folikel yang cepat
(Bearden, 1984)
Pada hewan yang mengalami siklus menstrual, setiap saat disepanjang

siklus hewan betina siap menerima hewan jantan untuk kawin, sekalipun ovum

baru dilepas kira-kira pada pertengahan siklus. Selama siklus menstrual dapat

ditemukan berbagai perubahan di dalam tubuh dan organ reproduksinya.

Perubahan yang dimaksud meliputi perubahan keadaan ovarium, rahim (ketebalan

endometrium), dan tingkat hormon reproduktif di dalam darah (Isnaeni,2006).

15
Kawin pertama. Mengawinkan sapi merupakan pengetahuan yang

memerlukan ketrampilan khusus, agar bisa diharapkan perkawinan sapi yang

menghasilkan kebuntingan. Secara umum sapi betina pada usia 30 bulan sudah

dewasa kelamin, sehingga bisa dikawinkan, dan pada usia 3,3 tahun sapi betina

sudah beranak untuk pertama kalinya (Murtidjo, 1990). Menurut Partodiharjo

(1992), sapi yang dipelihara di Indonesia pada umumnya masa pubertas dicapai

pada umur 12 bulan dengan variasi 10 hingga 15 bulan. Sebaliknya dikawinkan

pertma umur 14 sampai 16 bulan untuk memperoleh nilai konsepsi sabaik-

baiknya.

Perkawinan pertama harus memperhatikan umur dan besar badan sapi dara

sebagai pertimbangan kelancaran proses beranak. Sapi dara yang dikawinkan

kurang dari umur dan berat badan seharusnya dapat menyebabkan penampilan

reproduksi jelek sepanjang hidupnya. Pada kondisi pakan serta manejemen yang

baik sapi dara dapat dikawinkan pertama kali umur 14 sampai 25 bulan. Sapi dara

yang tidak dikawinkan pertama kali sampai umur 4 sampai 5 tahun cenderung

memperlihatkan sista ovaria, siklus birahi yang tidak teratur dan gangguan

reproduksi lainnya (Salisbury dan VanDemark, 1985).

Bunting pertama. menunjukkan angka persentase ternak yang bunting

pada perkawinan pertama yang didiagnosa perrectal (Jalius, 2011). Berdasarkan

hasil yang didapat diketahui bahwa nilai CR adalah 33%. Nilai tersebut masih

belum optimal berdasarkan beberapa literatur dan masih bisa untuk ditingkatkan.

Menurut Toelihere (1993), CR yang baik mencapai 60-70%, sedangkan yang

dapat dimaklumi untuk ukuran Indonesia dengan mempertimbangkan kondisi

alam, manajemen dan distribusi ternak yang menyebar sudah dianggap baik jika

16
nilai CR mencapai 45-50%. Nilai CR ditentukan oleh kesuburan pejantan,

kesuburan betina, dan teknik inseminasi (Susilawati, 2005).

Kesuburan pejantan salah satunya merupakan tanggung jawab Balai

Inseminasi Buatan (BIB) yang memproduksi semen beku disamping manajemen

penyimpanan di tingkat inseminator. Kesuburan betina merupakan tanggung

jawab peternak dibantu oleh dokter hewan yang bertugas memonitor kesehatan

sapi induk. Sementara itu, pelaksanaan IB merupakan tanggung jawab

inseminator (Kurnadi, 2002)

Umur Beranak Pertama. Umur beranak pertama pada sapi potong dan

sapi perah masing-masing adalah 29,62 ± 4,25 bulan dan 27,60 ± 2,54 bulan.

Umur beranak pertama berbanding lurus dengan umur pubertas, umur kawin

pertama dan service per conception. Menurut penelitian yang pernah dilakukan

oleh Hasbullah (2003).

Birahi setelah beranak. Merupakan esrtrus pertama yang dialami induk

sapi setelah beranak. Secara ekonomi esrtrus pertama setelah beranak hingga

terjadinnya kebuntingan merupakan faktor yang menentukan dalam rangka

peningkatan efisiensi reproduksi (Hasbullah, 2003). Sebagian besar dari sapi-sapi

betina kembali birahi 21 hari sampai 80 hari sesudah beranak dengan rata-rata 70

hari (Salisbury dan VanDemark, 1985)

Post partum estrus merupakan salah satu indikator untuk memeperoleh

interval beranak yang pendek, panjangnya PPE antara lain dapat disebabkan

karena kekurangan pakan (Panjaitan et al., 1998 cit : Rohaeni dan Hamdan, 2004).

Menurut Bearden and Fruquay (1997), kekurangan pakan setelah beranak akan

17
memperlama masa anestrus dan memicu timbulnya estrus tenang sehingga

memperpanjang waktu induk untuk dikawinkan kembali.

Pengaruh menyusui terhadap interval kelahiran dan anestrus pertama pada

sapi potong telah dibuktikan dengan menghentikan proses menyusui. Post partum

estrus akan diperpanjang bila ternak tersebut menyusui (Hunter, 1995). Menurut

Bearden and Fuquay (1997), sapi yang sedang menyusui akan mengalami anestrus

2 sampai 3 kali lebih lama daripada yang tidak menyusui. Disamping itu ketika

sedang menyusui pedet, aktivitas ovarium dan estrus mungkin tidak dapat diamati

selama dua atau 3 bulan lebih, terutama bila konsumsi energinya rendah. Lebih

lanjut Hunter (1995) menjelaskan bahwa rangsang penyusuan akan mengaktifkan

sekresi proklaktin, aktivitas gonadotropin akan jauh berkurang atau bahkan

terhenti sementara, diperkirakan karena kekurangan sekresi faktor hipotalamus

(Gn-RH). Dengan cara ini faktor laktasi yang paling awal dan paling berat

tampaknya menghambat mulainnya kembali aktivitas siklus ovarium. Sejalan

dengan pertumbuhan dan perkembangan anak maka intensitas rangsang

penyusunan ini akan menyebabkan sekresi hormone gonadotropin sudah

mencukupi untuk mulainnya kembali pemasakan folikel dan aktivitas ovarium.

Bunting kembali setelah beranak. yaitu lama waktu yang diperlukan dari

sejumlah induk sejak beranak pertama hingga beranak berikutnya dibagi jumlah

induk. Pada sapi jarak beranak diharapkan 12 bulan, jadi seharusnya didapatkan

satu anak/satu induk sapi/tahun (one calf per cow per year). Ada dua komponen

yang mempengaruhi jarak beranak: (1) waktu kosong (days open), yaitu periode

waktu sejak induk beranak sampai terjadi kebuntingan lagi, sekitar 85-105 hari

sejak beranak, 80-85 hari (Peters dan Ball, 1995), dan (2) lama waktu bunting

18
(gestration period), yaitu waktu yang diperlukan sejak terjadi fertilisasi (bunting)

sampai induk melahirkan, biasanya diperlukan waktu 270-290 hari atau rata-rata

280 hari, 280-285 hari (Peter dan Ball, 1995). Oleh karena itu, untuk membuat

jarak beranak maksimal 12 bulan, jika lama bunting 9 bulan 10 hari (280 hari),

maka maksimal 85 hari sejak beranak induk harus sudah bunting lagi (Ismaya,

2014).

Calving interval adalah jangka waktu yang dihitung dari tanggal seekor

sapi perah beranak sampai beranak berikutnya atau jarak antara dua kelahiran

yang berurutan (Leksanawati, 2010). Calving interval merupakan salah satu

penilaian terhadap baik buruknya kinerja reproduksi. Rerata calving interval yaitu

sebesar 12,36 ± 1,22 bulan. Faktor yang mempengaruhi lama jarak beranak adalah

post partum estrus, post partum mating, dan S/C (Winarti dan Supriyadi, 2010).

Semakin lama post partum estrus dan post partum mating maka jarak beranak

akan semakin lama, serta semakin tinggi nilai S/C maka jarak beranak akan

semakin lama pula. Beberapa penelitian mengenai rerata pencapaian calving

interval yaitu sebesar 13 bulan (Leksanawati, 2010) ; 12,63 bulan (Octaviani,

2010). Menurut Hardjopranjoto (1995) efisiensi reproduksi pada sapi dianggap

baik apabila jarak antar kelahiran tidak melebihi 12 bulan atau 365 hari. Nilai

yang didapatkan menunjukkan bahwa calving interval yang ada di tingkat

peternak Kecamatan Pudak sudah cukup baik, serta dapat menunjukkan bahwa

peternak mempunyai kemampuan yang cukup baik dalam melakukan deteksi

estrus.

Angka perkawinan (Service/conception). Jumlah inseminasi

perkebuntingan atau service per conception (S/C) adalah untuk membandingkan

19
efisiensi relatif dari proses reproduksi di antara individu-individu sapi betina yang

subur, sering dipakai peneliaian atau penghitungan jumlah pelayanan insiminasi

(service) yang dibutuhkan oleh seekor betina sampai terjadinnya kebuntingan atau

konsepsi (Feradis, 2010). Menurut Ismaya (2014) Angka perkawinan (service per

conception, S/C), yaitu jumlah perkawinan yang diperlukan oleh seluruh induk

dibagi dengan jumlah induk yang bunting. Angka perkawinan sebaiknya 1 sampai

2. Kalau sudah 3 atau lebih, induk harus diperiksa kesehatan reproduksinya.

20

Anda mungkin juga menyukai