Bab Ii PDF
Bab Ii PDF
TINJAUAN PUSTAKA
Banyak sekali jenis bangsa sapi potong di Indonesia baik sapi lokal
maupun sapi impor. Saat ini selain sapi lokal juga terdapat hasil silangan antara
sapi lokal dengan sapi impor. Kebanyakan sapi silanagan tersebut adalah hasil
dari perkawinan secara inseminasi buatan. Sapi yang digunakan sebagai pejantan
biasanya diambil dari Bos Taurus dengan induk sapi peranakan Ongole (PO) atau
Brahman. Sapi yang berwarna putih biasanya disebut dengan sapi lokal, sapi putih
atau sapi jawa. Sapi ini biasanya adalah sapi PO atau sapi Brahman.
Klasifikasi Sapi
Phylum : Chordata
Clas : Mamalia
Ordo : Artiodactyla
Family : Bovidae
Genus : Bos
menghasilkan tiga kelompok nenek moyang sapi hasil penjinakan yang kita kenal
yaitu Bos sondaicus atau Bos banteng. Dimana sampai sekarang masih ditemukan
liar di daerah margasatwa yang dilindungi di Pulau Jawa, seperti Pangandaran dan
1
Bos indicus atau Sapi Zebu sampai sekarang mengalami perkembangan di India.
Jenis sapi yang terkenal di Indonesia adalah sapi Brahman dan sapi Ongole. Bos
indicus merupakan sapi berpunuk, sapi-sapi dari Bos indicus menurunkan bangsa-
bangsa sapi di daerah tropis (Sastroamidjojo, 1992). Bos taurus atau sapi Eropa
bangsa sapi yang menjadi nenek moyang dari sapi potong maupun sapi perah
(Murtidjo, 1992).
Sapi Ongole
Bangsa sapi ongole berasal dari india dan termasuk golongan zebu.
Diternakan mulai tahun 1906 secara murni di pulau Sumba sehingga terkenal
dengan sebutan Sumba Ongole (SO). Sapi ini memiliki warna keputih-putihan,
dengan kepala, leher, dan lutut, berwarna gelap terutama pada yang jantan.
2
tepat diatas pundaknya. Hasil grading up sapi jawa dengan SO disekitar tahun
persilanagn sapi ongole dan local. Sapi ini banyak dipelihara di pedesaan dan
sudah tersebar dibeberapa wilayah Indonesia dengan jumlah lebih dari jumlah
Sapi PO bertubuh besar serta berwarna putih pada gumba, leher, dan
sebagian kepala. Pada sapi jantan mempunyai warna bulu kelabu kehitam-
hitaman, punuk besar, tanduk pendek, profil dahi cembung, dan mempunya
Sapi Simmental
Sapi Simmental berasal dari lembah simme di Swiss. Sapi ini berwarna
merah, bervariasi mulai dari yang gelap sampai hamper kuning, dengan totol-totol
serta mukanya berwarna putih. Sapi ini terkenal karena menyusui anaknya dengan
baik serta pertumbuhan yang cepat, badannya panjang dan padat. Termasuk
berukuran berat, baik pada kelahiran, penyapihan maupun saat mencapai dewasa
(Ngadiyono, 2007).
Saat ini banyak dilakukan persilangan antara induk dapi lokal dengan sapi-
sapi Eropa dengan salah satunya menghasilkan sapi Simpo. Sapi Simpo menurut
Triyono (2003) merupakan hasil persilangan antara sapi Simmental dengan sapi
Pernakan Ongole. Biasanya sapi-sapi tersebut adalah hasil dari perkawinan secara
3
Inseminasi Buatan. Ciri-ciri eksterior sapi Simpo ini dapat menyerupai sapi PO,
Sapi Limousin
banyak bukit berbatu. Warnanya mulai dari kuning sampai merah keemasan.
mampu menyusui dan mengasuh anak dengan baik serta pertumbuhannya cepat
(Ngadiyono, 2007).
Sapi Limpo merupakan hasil silangan antara sapi limousine dengan sapi
perpaduan dari kedua ciri sapi PO dan Limousin. Sapi Limpo tidak berpunuk,
tidak bergelambir, warna bulu cokelat tua atau kehitaman dan cokelat muda
Sapi Brangus
Angus. Sapi ini juga tidak bertanduk, bergelambir, bertelinga kecil, berponok
tetapi kecil (Sugeng, 2006). Sifat-sifat yang disukai meliputi konfirmasinya yang
Skor kondisi tubuh (SKT) suatu menilai kondisi badan sapi adalah
dengan mengetahui skor kondisi tubuh (SKT) atau body condition score (BCS).
SKT adalah nilai kondisi tubuh sapi yang menunjukan tingkat kekurusan sampai
4
lemak pada bagian tubuh tertentu sebagai bentuk cadangan energi yang akan
pulihnya siklus birahi atau siklus estrus setelah sapi beranak (Adiarto, 2012). Pada
prinsipnya, kondisi tubuh ternak sapi hanya dibedakan atas tiga ketegori, yaitu
kurus, sedang, dan gemuk. Pendugaan kondisi tubuh ternak sapi dapat dilakukan
dengan dua cara, yaitu pengamatan tulang rusuk dan perabaan tulang belakang.
Pengamatan tulang rusuk merupakan cara yang paling mudah dan sederhana
dalam menduga kondisi tubuh ternak sapi, yakni berdasarkan pada pengamatan
banyaknya tulang rusuk yang tampak membayang di balik kulit ternak sapi yang
diamati. Semakin tidak tampak tulang rusuk yang membayang di balik kulit,
kondisi tubuh sapi dinilai semakin baik. Dengan cara ini, kondisi tubuh sapi
a. Kurus
Tubuh sapi dianggap kurus apabila sebagian besar tulang rusuk (lebih dari
b. Sedang
Tubuh sapi dianggap berkondisi sedang apabila hanya sebagian dari tulang
rusuk (kurang dari 6 buah, biasanya 4-5 buah) tampak membayang di balik
kulit.
c. Gemuk
5
Tubuh sapi dianggap gemuk apabila seluruh tulang rusuk tidak tampak
Perlu diketahui bahwa tulang rusuk ternak sapi berjumlah 13 buah. Rusuk yang
paling mudah tampak terlihat/membayang adalah rusuk ke-6. Hal ini karena
tulang rusuk ini paling panjang dan paling melengkung. Sementara tulang rusuk
ke -1, ke-2, dan ke-3 sangat sulit terlihat karena terhalang oleh tulang siku
(humerus).
Pendugaan kondisi tubuh ternak sapi dengan cara perabaan tulang belakang
tulang belakang setelah rusuk terakhir dan diperkuat dengan penampakan tonjolan
tulang belakang tersebut. Cara yang dapat dilakukan adalah dengan menekan ibu
ujungnya), sementara keempat jari lainnya menekan bagian daging has/mata rusuk
dan semakin tidak teraba ujung transverssus processus, kondisi tubuh ternak sapi
Tubuh sapi dianggap sangat kurus apabila tulang punggung sapi tampak
menonjol dan transverssus processus yang teraba terasa sangat runcing serta
tidak terdapat perlemakan dibawah kulit. Selain itu, terdapat ruang yang cukup
dalam pada daerah pangkal ekor. Tulang rusuk dan tulang belakang (vertebrae)
6
tampak meruncing dan mudah diraba. Selain itu, tidak terdapat timbunan lemak
teraba oleh ibu jari, tetapi terasa adanya sedikit perlemakan. Pada sekitar
pangkal ekor terdapat ruang yang dangkal dan sedikit lapisan lemak pada
daerah pantat. Permukaan tulang rusuk dan tulang belakang (vertebrae) dapat
teraba dengan cara ibu jari yang ditekankan. Sekitar pangkal ekor tidak terdapat
cekungan ruang dan lapisan lemak dapat diraba dengan mudah pada bagian
sekitar pangkal ekor, tuber coxae, pinggul, dan tulang belakang (vertebrae).
walaupun ibu jari ditekan karena perlemakan agak tebal. Pangkal ekor tertutup
tebal oleh lapisan lemak. Tulang rusuk, tuber coxae, pinggul, dan tulang
belakang tidak tampak jelas karena tertutup merata oleh lapisan lemak di
bawah kulit.
dapat teraba dan perlemakannya sangat tebal. Pangkal ekor tertutup tebal oleh
7
lapisan lemak. Tulang rusuk, tuber coxae, pinggul, dan tulang belakang tidak
tampak jelas karena tertutup merata oleh lapisan lemak di bawah kulit.
faktor yang mempengaruhi SKT antara lain pakan, umur, breed dan
aktivitas. Sapi yang memiliki umur tua biasanya kondisi tubuhnya kurang jika
dibandingkan dengan sapi yang lebih muda. Pakan dan aktivitas sapi menentukan
banyak lemak subkutan yang tersimpan. Semakin bagus kualitas pakan dan
aktivitas yang sedikit akan meningkatkan nilai SKT. Deposisi lemak pada sapi
bervariasi menurut jenis sapi. Deposisi lemak subcutan pada sapi Brahman lebih
sedikit dan lemak internal yang lebih banyak jika dibandingkan dengan sapi
British dan tipe Continental. Sapi dengan pertulangan yang kecil umumnya
mendapat penilaian yang lebih jika dibandingakan dengan breed sapi besar
8
Tabel 2. Skor kondisi tubuh (SKT) pada sapi potong.
Bagian Tubuh
Kelas
Pangkal Ekor Punggung Rusuk
Skor 1,0 = Ruangnya dalam, Tulang Terasa tajam
Sangat tidak terdapat transverssus membayang dan
kurus lapisan lemak di horizontal dan tidak tertutup
(emasiasi) bagian kulit, dan spinossus sangat lemak.
kulit terasa kasar. runcing.
Skor 2,0 = Kurus Ruangnya Tulang Rusuk, tampak,
dangkal, tulang transverssus membayang,
pinggul runcing, horizontal sedikit tetapi tidak terlalu
adasedikit lapisan teraba dan tidak tajam.
lemak di bawah begitu runcing.
kulit, dan kulit
agak halus.
Skor 3,0 = Sedang Terdapat lapisan Bila ditekan Seperti halnya
lemak, kulit tulang punggung, bagian
terasa halus, transverssus ini akan teraba
tulang pelvis horizontal bisa bila ditekan.
dapat dirasakan teraba.
bila ditekan, dan
sedikit terlihat
cekungan.
Skor 4,0 = Gemuk Terdapat lapisan Tulang Ditutupi oleh
lemak di bawah transverssus perlemakan.
kulit dan terasa horizontal tidak
halus bila diraba. teraba dan tidak
runcing.
Skor 5,0 = Terasa lapisan Bila ditekan, Tertutup oleh
Sangat gemuk lemak di bawah pelvis akan lemak yang tebal.
(obesitas) kulit yang teraba.
melimpah.
(Adiarto, 2012)
Pakan
kemajiran sering bersifat majemuk, artinya kekurangan suatu zat dalam ransum
pakan diikuti oleh kekurangan zat pakan yang lain. Sebagai contoh pada sapi
perah, kekurangan protein dalam ransum sering diikuti oleh kurangnya mineral
9
dan vitamin. Ini terjadi khususnya pada musim kemarau yang panjang, pakan
yang diberikan terdiri dari rumput yang sudah tua yang kualitasnya rendah,
rumput kering atau jerami, apalagi bila ternak tersebut selalu berada di dalam
saja zat-zat yang terkandung didalamnya, tetapi juga sifat biologis bahan-bahan
yang akan disajikan, seperti : volume dan tekstur, palatabilitas (enak tidaknya)
dan sifat bahan makanan itu sendiri. Sebab kesemuanya akan berpengaruh besar
terhadap mutu bahan makanan yang masuk kedalam tubuh hewan. Sebagai
contoh, jagung yang digiling terlalu besar tentu relatif lebih sukar dicerna
daripada bahan makanan yang halus. Demikian pula bahan-bahan makanan yang
sukar diresapi oleh getah pencernakan, misalnya jerami, mutu makanan tersebut
lebih rendah daripada bahan makanan lain. Sebab, sari makanan yang terkandung
di dalam jerami tertutup oleh dinding-dinding sel yang sukar ditembus. Oleh
karena itu para peternak harus memberi perhatian secara khusus terhadap jenis
energi yang tinggi dengan PK sekitar 18%. Pada ternak yang digemukkan,
semakin banyak konsentrat dalam pakannya akan semakin baik asalkan konsumsi
serat kasar tidak kurang dari 15% BK pakan. Oleh karena itu banyaknya
pemberian konsentrat dalam formula pakan harus terbatas agar ternak tidak terlau
gemuk (Siregar, 1994). Pakan penguat adalah pakan yang berkonsentrasi tinggi
dengan kadar serat kasar yang relatif rendah dan mudah dicerna. Bahan pakan
10
penguat ini meliputi bahan makanan yang berasal dari biji-bijian seperti jagung
giling, menir, bulgar, hasil ikutan pertanian atau pabrik seperti dedak, bekatul,
Yang termasuk bahan hijauan segar ialah rumput segar, batang jagung muda,
kacang-kacangan dan lain-lain yang masih segar serta silage. Jumlah hijauan yang
diberikan kepada sapi di Indonesia 30-40 kg. hal ini sangat tergantung dari berat
badan sapi yang bersangkutan. Pada prinsipnya pemberian hijauan ini ialah 10%
kacang-kacangan). Hijauan segar dari rumput jenis unggul, seperti rumput gajah,
nilai gizi cukup terjamin, dan volumennya lebih baik dibandingkan dengan
rumput liar. Sebab, rumput gajah dapat tumbuh dengan cepat, dalam waktu 30-40
hari sudah dapat di panen, sehingga pemberiannya dapat dilakukan secara rutin
misalnya jerami dan hay. Jerami ialah hasil ikutan seperti padi, kacang tanah,
kedelai, jagung dan lain-lain yang berupa batang daun ranting. Jerami merupakan
salah satu bahan makanan yang mutunya rendah. Sebab, zat-zat yang terkandung
didalamnya, seperti sellulosa, terselubung oleh dinding yang keras, yakni silica
dan liginin. Dengan demikian sellulosa yang sebenarnya dapat dimanfaatkan oleh
hewan ruminansia (sapi) sulit ditembus oleh getah pencernaannya. Sapi yang
(Sugeng, 2000). Fikar dan Dadi (2012) pemberian jerami hanya di anjurkan
11
maksimum 2 % dari bobot badan sapi. Jika jerami diberikan secara tunggal bisa
menyebabkan penurunan bobot badan sapi. Menurut Agus (2008) jerami biji-
bijian hanya mengandung sedikit protein kasar, mineral dan energi, sedangkan
Kandungan lignin pada bahan kering juga cukup tinggi yaitu 14% pada jerami
ternak dipengaruhi oleh factor-faktor antara lain pubertas dan umur perkawinan
pertama, birahi, service per conception (S/C), jarak beranak (calving interval),
non return rate, calving rate, kondisi lingkungan, dan teknik perkawinan.
Penampilan reproduksi sapi betina dapat dilihat dari estrus pertma, umur pertama
kali dikawinkan, service per conception, kawin setelah beranak, dan interval
Pubertas. Pubertas dianggap sebagai umur hewan betina saat pertama kali
menunjukkan birahi dan diikuti oleh aktivitas ovarium yang menciri bersiklus
pada hewan yang tidak bunting. Perry (1971) menyatakan bahwa pubertas harus
kuantitatif dan bukan sebagai kejadian endokrinlogi yang terjadi secara tiba-tiba
dan bersifat kualitatif. Demikian pula Donovan dan van der Werff ten Bosch
12
langsung pemasakan kelamin saat pubertas adalah meningkatnya sekresi hormon
(Hunter, 1995).
Umur sapi dara saat pertama kali menunjukkan perilaku birahi dapat
beragam dari delapan sampai 18 bulan (lebih umum 9-13 bulan), ketika hewan
seperti sapi Holstein berbobot sekitar 260 kg (Dziuk, 1973). Kisaran dalam umur
ini dipengaruhi oleh bangsa dan status nutrisi (Hanzel, 1959; Morrow, 1969), dan
pada banyak sistem peternakan tercatat lebih dini pada sapi perah ketimbang sapi
sapi dara Holstein juga menunjukkan bahwa pada kondisi yang lazim, ukuran
pertama. Sebagai ketentuan umum, tingkat nutrisi rendah yang dapat menyangkut
unsur kuantitatif dan/atau kualitatif akan menghambat umur birahi pertama pada
sapi (Joubert, 1963). Pubertas tertunda sampai ukuran tubuh tertentu tercapai
(Hunter, 1995).
Estrus. Estrus adalah periode birahi atau periode penerimaan seksual pada
betina. Ini terjadi ketika kadar estrogen yang dihasilkan oleh folikel-folikel yang
perubahan-perubahan fisik dan perilaku, pertanda bahwa hewan betina ingin dan
siap dikawini oleh hewan jantan (Arman, 2004). Menurut Feradis (2010) birahi
pada saat betina ditandai dengan gelisah, sering berteriak, suka menaiki dan
dinaiki sesamanya, vulva bengkak, berwarna merah, bila diraba terasa hangat (3A:
Abang, Abuh, Anget), dari vulva keluar lender yang bening dan tidak berwarna,
dan nafsu makan berkurang. Lama estrus pada sapi 12-18 jam, waktu ovulasi 12-
13
15 jam sesudah akhir estrus, dan anjuran untuk dikawinkan 4-8 jam sebelum akhir
estrus. Rata-rata panjang atau lama estrus serupa untuk ternak, walaupun lebih
pendek untuk domba. Panjang estrus kira-kira 17 hari intuk domba, 21 hari pada
a. Estrus
terhadap jantan dan akan membiarkan untuk dikawini. Lamanya periode estrus
bervariasi antar spesies. Estrus berlangsung selama 12-18 jam pada sapi, 24-36
jam pada domba, 40-72 jam pada babi, dan 4-8 hari pada kuda. Ovulasi yang
berkaitan dengan estrus terjadi 10-12 jam sesudah akhir estrus pada sapi,
pertengahan sampai akhir estrus pada domba, kira-kira mid-estrus pada babi,
b. Metestrus
corpus luteum. Selama akhir estrus dan proestrus, konsentrasi estrogen tinggi
darah (Bearden,1984).
14
c. Diestrus
corpus luteum fungsional penuh. Pada sapi dimulai kira-kira hari ke-5 siklus,
ketika suatu peningkatan konsentrasi progesteron dalam dalam darah dan dapat
dideteksi pertama kali, dan berakhir dengan regresi corpus luteum pada hari 16
dan 17 (Bearden,1984).
d. Proestrus
progesteron serta melajut sampai dimulai estrus. Ciri utama dari proestrus
adalah terjadinya pertumbuhan folikel yang cepat. Akhir dari periode ini adalah
pengaruh estrogen pada sistem saluran reproduksi dan gejala tingkah laku
siklus hewan betina siap menerima hewan jantan untuk kawin, sekalipun ovum
baru dilepas kira-kira pada pertengahan siklus. Selama siklus menstrual dapat
15
Kawin pertama. Mengawinkan sapi merupakan pengetahuan yang
menghasilkan kebuntingan. Secara umum sapi betina pada usia 30 bulan sudah
dewasa kelamin, sehingga bisa dikawinkan, dan pada usia 3,3 tahun sapi betina
(1992), sapi yang dipelihara di Indonesia pada umumnya masa pubertas dicapai
baiknya.
Perkawinan pertama harus memperhatikan umur dan besar badan sapi dara
kurang dari umur dan berat badan seharusnya dapat menyebabkan penampilan
reproduksi jelek sepanjang hidupnya. Pada kondisi pakan serta manejemen yang
baik sapi dara dapat dikawinkan pertama kali umur 14 sampai 25 bulan. Sapi dara
yang tidak dikawinkan pertama kali sampai umur 4 sampai 5 tahun cenderung
memperlihatkan sista ovaria, siklus birahi yang tidak teratur dan gangguan
hasil yang didapat diketahui bahwa nilai CR adalah 33%. Nilai tersebut masih
belum optimal berdasarkan beberapa literatur dan masih bisa untuk ditingkatkan.
alam, manajemen dan distribusi ternak yang menyebar sudah dianggap baik jika
16
nilai CR mencapai 45-50%. Nilai CR ditentukan oleh kesuburan pejantan,
jawab peternak dibantu oleh dokter hewan yang bertugas memonitor kesehatan
Umur Beranak Pertama. Umur beranak pertama pada sapi potong dan
sapi perah masing-masing adalah 29,62 ± 4,25 bulan dan 27,60 ± 2,54 bulan.
Umur beranak pertama berbanding lurus dengan umur pubertas, umur kawin
pertama dan service per conception. Menurut penelitian yang pernah dilakukan
sapi setelah beranak. Secara ekonomi esrtrus pertama setelah beranak hingga
betina kembali birahi 21 hari sampai 80 hari sesudah beranak dengan rata-rata 70
interval beranak yang pendek, panjangnya PPE antara lain dapat disebabkan
karena kekurangan pakan (Panjaitan et al., 1998 cit : Rohaeni dan Hamdan, 2004).
Menurut Bearden and Fruquay (1997), kekurangan pakan setelah beranak akan
17
memperlama masa anestrus dan memicu timbulnya estrus tenang sehingga
sapi potong telah dibuktikan dengan menghentikan proses menyusui. Post partum
estrus akan diperpanjang bila ternak tersebut menyusui (Hunter, 1995). Menurut
Bearden and Fuquay (1997), sapi yang sedang menyusui akan mengalami anestrus
2 sampai 3 kali lebih lama daripada yang tidak menyusui. Disamping itu ketika
sedang menyusui pedet, aktivitas ovarium dan estrus mungkin tidak dapat diamati
selama dua atau 3 bulan lebih, terutama bila konsumsi energinya rendah. Lebih
(Gn-RH). Dengan cara ini faktor laktasi yang paling awal dan paling berat
Bunting kembali setelah beranak. yaitu lama waktu yang diperlukan dari
sejumlah induk sejak beranak pertama hingga beranak berikutnya dibagi jumlah
induk. Pada sapi jarak beranak diharapkan 12 bulan, jadi seharusnya didapatkan
satu anak/satu induk sapi/tahun (one calf per cow per year). Ada dua komponen
yang mempengaruhi jarak beranak: (1) waktu kosong (days open), yaitu periode
waktu sejak induk beranak sampai terjadi kebuntingan lagi, sekitar 85-105 hari
sejak beranak, 80-85 hari (Peters dan Ball, 1995), dan (2) lama waktu bunting
18
(gestration period), yaitu waktu yang diperlukan sejak terjadi fertilisasi (bunting)
sampai induk melahirkan, biasanya diperlukan waktu 270-290 hari atau rata-rata
280 hari, 280-285 hari (Peter dan Ball, 1995). Oleh karena itu, untuk membuat
jarak beranak maksimal 12 bulan, jika lama bunting 9 bulan 10 hari (280 hari),
maka maksimal 85 hari sejak beranak induk harus sudah bunting lagi (Ismaya,
2014).
Calving interval adalah jangka waktu yang dihitung dari tanggal seekor
sapi perah beranak sampai beranak berikutnya atau jarak antara dua kelahiran
penilaian terhadap baik buruknya kinerja reproduksi. Rerata calving interval yaitu
sebesar 12,36 ± 1,22 bulan. Faktor yang mempengaruhi lama jarak beranak adalah
post partum estrus, post partum mating, dan S/C (Winarti dan Supriyadi, 2010).
Semakin lama post partum estrus dan post partum mating maka jarak beranak
akan semakin lama, serta semakin tinggi nilai S/C maka jarak beranak akan
baik apabila jarak antar kelahiran tidak melebihi 12 bulan atau 365 hari. Nilai
peternak Kecamatan Pudak sudah cukup baik, serta dapat menunjukkan bahwa
estrus.
19
efisiensi relatif dari proses reproduksi di antara individu-individu sapi betina yang
(service) yang dibutuhkan oleh seekor betina sampai terjadinnya kebuntingan atau
konsepsi (Feradis, 2010). Menurut Ismaya (2014) Angka perkawinan (service per
conception, S/C), yaitu jumlah perkawinan yang diperlukan oleh seluruh induk
dibagi dengan jumlah induk yang bunting. Angka perkawinan sebaiknya 1 sampai
20