Anda di halaman 1dari 28

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Diare merupakan penyakit endemis di Indonesia dan merupakan

penyakit potensial Kejadian Luar Biasa (KLB) yang sering disertai dengan

kematian. Berdasarkan data profil kesehatan Indonesia (2018), terjadi KLB

diare tiap tahun dari tahun 2017-2018. Tahun 2017 jumlah penderita diare

semua umur (SU) yang dilayani di sarana kesehatan sebanyak 4.274.790

penderita dan terjadi peningkatan pada tahun 2018 yaitu menjadi 4.504.524

penderita atau 62,93% dari perkiraan diare di sarana kesehatan. Insiden diare

semua umur secara nasional adalah 270/1.000 penduduk (Rapid Survey Diare

tahun 2015).

Menurut World Health Organization (WHO) diare adalah kejadian

buang air besar dengan konsistensi lebih cair dari biasanya, dengan frekuensi

tiga kali atau lebih dalam periode 24 jam. Diare merupakan penyakit berbasis

lingkungan yang disebabkan oleh infeksi mikroorganisme meliputi bakteri,

virus, parasit, protozoa dan penularannya secara fekal-oral. Diare dapat

mengenai semua kelompok umur baik balita, anak-anak dan orang dewasa

dengan berbagai golongan sosial. Diare merupakan penyebab utama

morbiditas dan mortalitas di kalangan anak-anak kurang dari 5 tahun. Data

WHO (2017) menyatakan, hampir 1,7 miliyar kasus diare terjadi pada anak

dengan angka kematian sekitar 525.000 pada anak balita tiap tahunnya.

Di Indonesia angka kesakitan diare adalah sekitar 200-400 kejadian

diare diantara 1.000 penduduk setiap tahunnya. Kejadian diare di Indonesia


berjumlah sekitar 60 juta per tahunnya dan 80% diantaranya adalah anak-

anak (Kemenkes, 2011). Berdasarkan data Dinas Kesehatan Provinsi Nusa

Tenggara Barat, kejadian diare yang ditangani pada tahun 2015 sebanyak

158.993 kasus dan pada tahun 2016 sebanyak 167.686 kasus (Dikes Provinsi

NTB, 2017).

Jumlah kasus diare yang terlaporkan pada tahun 2018 di UPT BLUD

Puskesmas Penimbung sebanyak 1.153 kasus untuk semua usia, 404 untuk

usia balita dan 100% tertangani. Target penemuan penderita diare tahun 2018

dari rumusan yang telah ditetapkan secara nasional untuk UPT BLUD

Puskesmas Penimbung sebanyak 815 orang untuk semua usia dan 349 untuk

usia balita. Angka ini menunjukkan penemuan penderita melebihi 100%

semua usia (141,5%) dan usia balita (115,9%) dari jumlah kasus yang

dilaporkan wilayah dengan kasus tertinggi yaitu Desa Mekar Sari dengan 382

kasus dan Desa Penimbung sebanyak 255 kasus. Sementara itu untuk kasus

terendah berada di Desa Ranjok (27 kasus), Desa Jeringo (31 kasus). Dari

semua kasus diare yang ditangani tidak ada yang meninggal dunia.Jika

dibandingkan dengan kasus diare pada tahun 2017 tercatat ada 1.156 orang

penderita diare dan 100% tertangani. Hal ini menunjukan peningkatan trend

kasus diare dari 2017 sampai tahun 2018. (Puskesmas Penimbung, 2018).

Kontrol penyakit diare sendiri telah lama diupayakan oleh pemerintah

Indonesia untuk menekan angka kejadian diare. Upaya-upaya yang dilakukan

oleh pemerintah seperti adanya program-program penyediaan air bersih,

sanitasi total berbasis masyarakat, adanya promosi ASI eksklusif, termasuk

Pendidikan kesehatan spesifik dengan tujuan agar bisa meningkatkan kualitas


hidup masyarakat dan menurunkan angka kematian yang disebabkan oleh

diare (Kemenkes RI, 2013). Masalah perilaku keluargayang peduli akan

pentingnya kesehatan merupakan hal yang sehari-hari harus dilakukan namun

kadang dianggap kurang penting. Kasus ini sering terjadi karena kurangnya

sosialisasi akan pentingnya keluarga sehingga berdampak pada rendahnya

pemahaman tentang kesehatan baik di lingkungan keluarga maupun

masyarakat. Pengetahuan yang kurang tentang prilaku keluarga membuat

prilaku hidup sehat ini sulit diterapkan. Hal ini sesuai dengan teori yang

dikemukakan oleh Green dalam Notoatmodjo, (2010) bahwa pengetahuan

merupakan faktor predisposisi terbentuknya prilaku kesehatan. Lingkungan

menjadi salah satu tempat dimana kejadian diare berawal.

Salah satu upaya yang harus dilakukan oleh pemerintah untuk menekan

angka pertumbuhan penyakit diare di masyarakat dapat dimulai dengan cara

memberikan pendidikan kesehatan kepada masyarakat sebagai bagian

intervensi keperawatan mandiri. Hal ini dapat dilakukan untuk meningkatkan

kemampuan keluarga dalam merawat anak yang mengalami diare. Metode

yang efektif perlu dikembangkan sehingga keluarga dapat mencegah terjadi

diarre pada anak, melakukan penanganan yang tepat ketika anak mengalami

diare dan mampu terlibat dalam perwatan anak diare di rumah sakit. Oleh

karena itu, penulis tertarik untuk melakukan setudi kasus tentang Pendidikan

Kesehatan Pada Keluarga Tentang Penanganan Anak Diare.


1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang di atas dapat dirumuskan

permasalahan “Bagaimana Pendidikan Kesehatan Keluarga Pada Anak Diare

di Desa Penimbung Kecamatan Gunungsari Kabupaten Lombok Barat?”

1.3. Tujuan Studi Kasus

Tujuan studi kasus ini adalah menggambarkan “Pendidikan

Kesehatan Pada Keluarga Tentang Penanganan Anak Diare di Desa

Penimbung Kecamatan Gunungsari Kabupaten Lombok Barat”

1.4. Manfaat Studi Kasus

1.4.1. Masyarakat

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi informasi dan

ilmu pengetahuan bagi masyarakat tentang Pendidikan kesehatan pada

keluarga tentang penanganan anak diare.

1.4.2. Perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Keperawatan

Sebagai bahan masukan bagi perkembangan ilmu pengetahuan

dan teknologi keperawatan dan instansi terkait untuk menentukan

kebijakan dalam program penanganan dan pencegahan penyakit diare

terutama pada anak-anak.

1.4.3. Penulis

Untuk Menambah pengetahuan dan pengalaman bagi penulis

tentang Pendidikan Kesehatan Pada Keluarga Tentang Penanganan

Anak Diare.
BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Konsep Keluarga

2.1.1. Pengertian

Keluarga adalah kumpulan dua orang atau lebih yang hidup

Bersama dengan keterikatan aturan dan emosional, serta individu

mempunyai peran-masing yang merupakan bagian dari keluarga

(Friedman dalam padila,2015). Keluarga adalah unit terkecil dalam

masarakat yang terdiri dari suami istri, atau suami istri dan anaknya,

ayah dan anaknya, ibu dan anaknya (UU No. 10 dalam padila, 2015).

2.1.2. Struktur keluarga

Menurut Friedman 2010, struktur keluarga sebagai berikut:

1. Struktur peran keluarga: Menggambarkan peran masing-masing

anggota keluarga dalam keluarga sendiri dan lingkungan.

2. Nilai atau norma keluarga: Menggambarkan nilai dan norma yang

di pelajari dan di yakini oleh keluarga khususnya di bidang

kesehatan.

3. Pola komunikasi keluarga: Menggambarkan bagai manan cara

dan pola komunikasi ayah-ibu (orang tua), orang tua anak, anak-

anak, dan anggota keluargalain.

4. Setruktur kekuatan keluarga: Menggambarkan kemampuan

angota keluarga untuk semempengaruhi dan mengendalikan orang


lain untuk mengubah perilaku keluarga untuk mendukung

kesehatan.

2.1.3. Fungsi Keluarga

Menurut friedman 2010, fungsi keluarga adalah sebagai

berikut:

1. Fungsi Afektif

Keluarga yang saling menyayangi dan peduli terhadap anggota

keluarga yang saki akan mempercepat proses penyembuhan.

Karna adanya partisipasi dari anggota keluarga dalam merawat

anggota keluarga yang sakit.

2. Fungsi Sosialitas dan Tempat Bersosialitas

Fungsi keluarga mengembangkan dan melatih untuk

berkehidupan sosial sebelum meninggalkan rumah untuk

berhubungan dengan oaranglain. Tidak ada Batasan dalam

bersosialisasi bagi penderita dengan lingkungan akan

mempengaruhi kesembuhan penderita asalalkan penderita tetap

memperhatikan kondisinya. Sosialisasi sangatdi perlukan karena

dapat mengurangi seteres bagi penderita.

3. Pungsi Reproduksi

Keluarga berpungsi untuk mempertahan kan dan menjaga

kelangsungan keluarga dan juga tempat mengembangkan fungsi


reperoduksi secara universal, diantaranya: seks yang sehat dan

berkualitas, Pendidikan seks pada anak sangat penting.

4. Fungsi Ekonomi

Keluarga berfungsi untuk memenuhi kebutuhan keluaga, seperti

kebutuhan makan, pakaian dan tempat untuk berlindung (rumah)

dan tempat untuk mengembangkan individu meningkatkan

penghasilan untuk memenuhi kebutuhan keluarga.

5. Fungsi perawatan / Pemeliharan Kesehatan

Berfungsi untuk mempertahankan keadaan kesehatan anggota

keluarga agar tetap memiliki produktivitas tinggi. Fungsi ini di

kembangkan menjadi tugas keluarga di bidang kesehatan.

Sesuai dengan fungsi pemeliharaan kesehatan, keluarga

mempunyai tugas di bidang keesehatan yang perlu di pahami dan

di lakukan. Ada 5 tugas keluarga dalam bidang kesehatan yang

harus di lakukan(Friedman dalam Achjar, 2010).

a. Mengenal masalah kesehatan setiap anggotanya. Perubahan

sekecil apapun yang dialami anggota keluarga secara tidak

langsung menjadi perhatian dan tanggung jawab keluarga.,

maka apabila menyadari adanya perubahan perlu segera

dicatat kapan terjadinya, perubahan apa yang terjadi dan

seberapa perubahannya.

b. Mengambil keputusan untuk untuk melakukan tindakan yang

tepat bagi keluarga. Tugas ini merupakan upaya keluarga

yang utama untuk mencari pertolongan yang tepat sesuai


dengan keadaan keluarga, dengan pertimbangan siap diantara

keluarga yang mempunyai kemampuan memutuskan untuk

menentukan tindakan keluarga maka segeralah melakukan

tindakan yang tepat agar masalah kesehatan dapat dikurangi

atau bahkan bisa teratasi. Jika keluarga mempunyai

keterbatasan agar meminta bantuan orang lain di lingkungan

sekitar keluarga.

c. Memberikan keperawatan anggota keluarga yang sakit atau

yang tidak dapat membantu dirinya sendiri karena cacat.

Perwaatan ini dapat dilakukan di rumah apabila keluarga

memiliki kemampuan untuk melakukan tindakan pertolongan

pertama atau ke tempat pelayanan kesehatan untuk

memperoleh tindakan lanjutan agar masalah yang lebih parah

tidak terjadi.

d. Memodifikasi lingkungan keluarga, seperti pentingnya

hygiene sanitasi bagi keluarga, upaya pencegahan penyakit

yang dilakukan keluarga, upaya pemeliharaan lingkungan

yang dilakukaan keluarga, kekompakan anggota keluarga

dalam menata lingkungan dalam dan luar rumah yang

berdampak pada kesehatan keluarga.

e. Memanfaatkan fasilitas layanan kesehatan, seperti

kepercayaan keluarga terhadap petugas kesehatan dan

fasilitas pelyanan kesehatan, keberadaan fasilitas kesehatan

yang ada, keuntungan keluarga terhadap penggunaan fasilitas


kesehatan, apakah pelayanan kesehatan terjangkau oleh

keluarga, aakah pengalaman yang kurang baik dipersiapkan

keluarga (Achjar, 2010).

2.1.4. Tahap Perkembangan Keluarga dan Tugas Perkembangan

Keluarga

Tahap perkembangan dibagi menurut kurun waktu tertentu

yang dianggap stabil. Menurut Rodgers Cit Friedman (2010),

meskipun setiap keluarga melalui tahap perkembangan secara unik,

namun secara umum seluruh keluarga mengikuti pola yang sama.

Menurut Duvall dan Miller (dalam Friedman, 2010), adapun

tahap perkembangan keluarga meliputi hal-hal sebagai berikut:

1. Pasangan Baru

Keluarga baru dimulai saat masing-masing individu laki-

laki (suami) dan perempuan (istri) membentuk keluarga melalui

perkawinan yang sah dan meninggalkan keluarga masing-masing.

Meninggalkan keluarga berarti psikologis karena pada

kenyataannya banyak keluarga baru yang masih tinggal dengan

orang tuanya.

Dua orang yang membentuk keluarga baru membutuhkan

penyesuaian peran dan fungsi. Masing-masing belajar hidup

Bersama serta beradaptasi dengan kebiasaan sendiri dan

pasangannya, misalnya makan, tidur, bangun pagi, dan

sebagainya.

Adapun tugas perkembangan yaitu:


1) Membina hubungan intim yang memuaskan;

2) Membina hubungan dengan keluarga yang lain;

3) Mendiskusikan rencana untuk memiliki anak.

Keluarga baru ini merupakan anggota dari tiga keluarga:

keluarga suami, keluarga istri, dan keluarga sendiri.

2. Keluarga “Child Bearing” kelahiran anak pertama

Tahap ini dimulai sejak masa kehamilan sampai kelahiran

anak pertama dan berlanjut sampai anak berumur 30 bulan atau

2,5 tahun. Tugas perkembangan keluarga yang penting pada tahap

ini adalah:

1) Persiapan menjadi orang tua;

2) Adaptasi dengan perubahan anggota keluarga, peran, interaksi,

hubungan seksual dan kegiatan.

3) Mempertahankan hubungan yang memuaskan dengan

pasangan.

Peran utama perawat adalah mengkaji peran orang tua,

bagaimana orang tua dapat berinteraksi dan merawat bayi.

Perawat perlu memfasilitasi hubungan orang tua dengan bayi

dengan cara yang positif dan hangat, sehingga jalinan kasih antara

bayi dengan orang tua dapat tercapai.

3. Keluarga dengan anak pra sekolah

Tahap ini dimulai saat anak pertama berumur 2,5 tahun dan

berakhir saat anak berusia 5 tahun. Tugas perkembangan:


1) Memenuhi kebutuhan anggota keluarga seperti kebutuhan

tempat tinggal, privasi dan rasa aman;

2) Membantu anak untuk bersosialisasi;

3) Beraaptasi dengan anak yang baru lahir, sementara kebutuhan

anak lain juga harus terpenuhi;

4) Mempertahankan hubungan yang sehat baik di dalam

lingkungan keluarga maupun dengan masyarakat;

5) Pembagian waktu untuk individu, pasangan dan anak;

6) Pembagian tanggung jawab anggota keluarga;

7) Kegiatan dan waktu untuk stimulasi tumbuh kembang.

4. Keluarga dengan anak sekolah

Tahap ini dimulai saat anak berusia 6 tahun dan berakhir

pada saat anak berusia 12 tahun. Umumnya pada tahap ini

keluarga mencapai jumlah maksimal sehingga keluarga sangat

sibuk. Selain aktifitas di sekolah, masing-masing anak memiliki

minat sendiri. Demikian pula orang tua, mereka mempunyai

aktifitas yang berbeda dengan anak. Tugas perkembangan

keluarga:

1) Membantu anak dalam bersosialisasi dengan masyarakat yang

ada di lingkungan sekitar;

2) Mempertahankan keintiman pasangan;

3) Memenuhi kebutuhan dan biaa kehidupan yang semakin

meningkat, termasuk untuk meningkatkan kualitas kesehatan

keluarga;
Pada tahap ini anak perlu berpisah dengan orang tua,

memberi kesempatan pada anak untuk bersosialisasi baik di

lingkungan sekolah maupun diluar sekolah.

5. Keluarga dengan anak remaja

Tahap ini dimualai saat anak berusia 13 tahun dan berakhir

6 sampai 7 tahun kemudian. Tujuannya untuk memberikan

tanggung jawab serta kebebasan yang lebih besar untuk

mempersiapkan diri menjadi orang dewasa. Tugas perkembangan:

1) Memberikan kebebasan yang seimbang dengan tanggung

jawab;

2) Mempertahankan hubungan yang intim dengan keluarga;

3) Mempertahankan komunikasi yang terbuka antara anak dan

orang tua. Hindari perdebatan, kecurigaan dan permusuhan;

4) Perubahan system peran dan peraturan untuk tumbuh kembang

keluarga.

Tahap ini merupakan tahap paling sulit, karena orang tua

melepas otoritasnya dan membimbing anak untuk bertanggung

jawab.

6. Keluarga dengan anak dewasa

Dimulai saat anak pertama meninggalkan rumah dan

berakhir ketika anak terakhir meninggalkan rumah juga. Lamanya

tahapan ini tergantung jumlah ana dan ada atau tidaknya anak

yang belum berkeluarga dan tetap tinggal Bersama orang tua.

Tugas perkembangan:
1) Memperluas keluarga inti menjadi keluarga besar;

2) Mempertahankan keintiman pasangan;

3) Membantu orang tua untuk memasuki masa tua;

4) Membantu anak untuk mandiri di masyarakat;

5) Penataan kembali peran dan kegiatan rumah tangga.

7. Keluarga usia pertengahan

Tahap ini dimulai pada saat anak yang terakhir

meninggalkan rumah dan berakhir saat pensiun atau salah satu

meninggal. Pada beberapa pasangan fase ini dianggap sulit karena

masa usia lanjut, perpisahan dengan anak dan perasaan gagal

sebagi orang tua. Tugas perkembangan:

1) Mempertahankan kesehatan;

2) Mempertahankan hubungan yang memuaskan dengan teman

sebaya dan anak-anak;

3) Meningkatkan keakraban pasangan.

Fokus mempertahankan kesehatan pada pola hidup sehat,

diet seimbang, olahraga rutin, menikmati hidup, pekerjaan dan lain

sebagainya.

8. Keluarga usia lanjut

Dimulai saat pension sampai dengan salah satu pasangan

meninggal. Tugas perkembangan:

1) Mempertahankan suasana rumah yang menyenangkan;

2) Adaptasi dengan perubahan kehilangan pasangan, teman,

kekuatan fisik dan pendapatan;


3) Mempertahankan keakraban suami/istri dan saling merawat;

4) Mempertahankan hubungan dengan anak dan sosial

masyarakat;

5) Melakukan life review;

6) Mempertahankan penataan yang memuaskan merupakan tugas

utama keluarga pada tahap ini.

2.1.5. Stresor dan Koping Keluarga

Stress adalah respon atau keadaan ketegangan yang dihasilkan

stresor secara actual/masalah yang tidak teratasi (Friedman, 2010).

Koping adalah proses pemecahan masalah dimana seseorang

mempergunakannya untuk mengelola kondisi stress. Derajat stress

ditentukan oleh perbandingan antara apa yang terjadi (sumber

stresor) orang akan secara sadar atau tidak sadar untuk mengatasi

situasi tersebut (Friedman, 2015).

1. Stresor jangka pendek

Stresor yang dialami oleh keluarga yang memrlukan

penyelesaian dalam waktu lebih kurang 6 bulan.

2. Stress jangka Panjang

Stresor yang dialami oleh keluarga yang memrlukan

penyelesaian dalam waktu lebih 6 bulan.

3. Kemampuan respon terhadap situasi/stresor, Mengkaji sejauh

mana keluarga berespon terhadap situasi atau stresor.


4. Strategi koping yang digunakan, strategi apa yang digunakan

keluarga bila menghadapi masalah

5. Strategi adaptasi disfungsional, menjelaskan adaptasi

disfungsional yang digunakan keluarga bila menghadapi

masalah.

2.1.6. Bentuk/Type Keluarga

a. Keluarga Inti (nuclear family)

keluarga yang hanya terdiri dari ayah, ibu, dan anak yang

diperoleh dari keturunannya, adopsi atau keduanya.

b. Keluarga Besar (ekstended family)

keluarga besar adalah keluarga inti ditambah anggota

keluarga lain yang masih mempunyai hubungan darah (kakek-

nenek-paman-ibu).

2.2. Konsep Diare

2.2.1. Pengertian

Diare adalah suatu kondisi dimana seseorang Buang Air Besar

(BAB) dengan konsistensi lembek atau cair, bahkan dapat berupa air

saja dan frekuensi lebih sering (bisanya 3 kali atau lebih) dalam satu

hari (Ayu Putri Ariani, 2016).

Sedangkan menurut Suryadi & Rita, (dalam Kartika Sari

Wijayaningsih, 2013) diaare diartikan sebagai suatu keadaan dimana

terjadinya kehilangan cairan dan elektrolit secara berlebihan yang


terjadi karena frekuensi buang air besar satu kali atau lebih dengan

bentuk encer atau cair.

Berdasarkan kedua pendapat tersebut di atas, bahwa diare dapat

diartikan suatu kondisi buang air besar yang tidak normal yaitu lebih

dari tiga kali dalam satu hari dengan konsistensi tinja yang encer dan

dapat disertai atau tanpa disertai darah atau lender sebagai akibat dari

terjadinya proses inflamasi pada lambung atau usus.

2.2.2. Etiologi

Menurut Ayu Putri Arini (2016), penyebab diare dapat dibagi dalam

beberapa faktor yaitu:

1. Faktor Infeksi

a. Infeksi Enteral

Infeksi enteral yaitu infeksi saluran pencernaan yang

merupakan penyebab utama diare pada anak. Infeksi enteral ini

meliputi:

1) Infeksi Bakteri

2) Infeksi Virus

Virus terbanyak penyebab diare adalah Rotavirus,

Adenovirus, Entrovirus, Astrovirus, Minirotavirus, Calivikirus,

dan sebagainya. Garis besar patogenesisnya sebagai berikut:

1) Virus masuk ke dalam traktus digestivus bersama makanan

atau minuman.

2) Virus berkembang biak di dalam usus.


3) Virus masuk ke dalam epitel usus halus dan menyebabkan

kerusakan bagian apical vili usus halus.

4) Sel-sel epitel usus halus again apical akan diganti oleh sel-

sel di bagian kripta yang belum matang, berbentuk kuboid

atau gepeng. Akibatnya sel-sel epitel ini tidak dapat

berfungsi untuk menyerap air dan makanan. Sebagai

akibat lebih lanjut akan terjadi diare osomotik.

5) Vili usus akan memendek sehingga kemampuannya untuk

menyerap dan mencerna makanan akan berkurang. Pada

saat ini biasanya diare mulai timbul.

6) Sel-sel reticulum akan melebar.

7) Infiltrasi sel-sel limfoid dari lamina propria, untuk

menginfeksi sampai terjadinya penyembuhan.

3) Infeksi Parasit

Patogenesis terjadinya oleh diare karena bakteri. Pada

garis besarnya adalah sebagai berikut:

1) Masuknya bakteri ke dalam traktus digestivus.

2) Berkembang biaknya bakteri di dalam traktus digestivus.

3) Dikeluarkannya toksin oleh bakteri.

4) Toksin merangsang epitel usus yang menyebabkan

peningkatan aktifitas enzim adenil siklase (bila toksin

bersifat tidak tahan panas, yang disebut LT=labile toxin).

5) Sebagai akibat peningkatan enzim-enzim. Ini akan terjadi

peningkatan camp (cyclic adenosine monophospate), yang


mempunyai kemampuan merangsang sekresi klorida,

natrium dan air dari dalam sel ke lumen usus serta

menghambat absorbs natrium, klorida dan air dari lumen

usus ke dalam sel. Hal ini akan menyebabkan peninggian

tekanan osmotic di dalam lumen usus (hiperosmoler).

6) Terjadinya hiperperistaltik usus untuk mengeluarkan cairan

yang berlebihan dalam lumen usus, sehingga cairan dapat

dialirkan dari lumen usus halus ke lumen usus besar

(kolon). Dalam keadaan normal, kolon orang dewasa dapat

menyerap sebanyak 4.400 ml cairan sehari, karena itu

produksi atau sekresi cairan sebsnysk 4.500 ml dalam

sehari sebelum menyebabkan diare. Apabila kemampuan

penyerapan kolon berkurang, atau sekresi cairan melebihi

kapasitas penyebaran kolon, maka akan terjadi diare. Pada

kolera sekresi cairan dari usus halus ke usus besar dapat

mencapai 10 liter atau lebih dalm sehari. Oleh karena itu

diare pada kolera biasanya sangat hebat, yang dimana hal

ini disebut profused diarhoea.

Contoh Parasit tersebut yaitu: Cacing (Ascaris, Trichiuris,

Oxyyuris, Strongloides), Protozoa (Entamoeba Histolytica,

Giardia Lamblia, Trichomonas Hominis), dan Jamur

(Candida Albicans).
b. Infeksi Parenteral

Infeksi parenteral yaitu yaitu infeksi di bagian tubuh lain

di luar alat alat pencernaan, seperti Otits Media Akut (OMA),

Tonsulofaringitis, Bronko Pneumonia, Ensefalitis dan

sebagainya. Keadaan ini umumnya terdapat pada bayi dan anak

di bawah umur 2 tahun.

2. Faktor Malabsorsbi

Malabsorbsi adalah kagagalan kinerja usus untuk menyerap

dengan baik nutrisi-nutrisi yang masuk ke tubuh, nutrisi tersebut

termasuk karbohidrat, protein, lemak, air, elektrolit, mineral, dan

vitamin, yang dapat mengakibatkan ekresi pada tinja. Pada banyak

kasus penderita malabsorbsi mengeluhkan dirinya terserang diare

kronis, biasanya ditandai dengan bentuk feses yang dikeluarkan cair, ini

dapat terjadi mengingat gangguan pada usus halus tidak ada zat nutrisi

yang terabsorbsi atau terserap, sehingga feses tidak berbentuk.

Malabsorbsi sendiri dikategorikan menjadi 3 bagian yaitu:

1) malabsorbsi karbohidrat

pada malabsorbsi jenis ini salah satu gangguannya adalah

intoleran dengan laktosa.

2) Malabsorbsi lemak

pada kondisi ini yang paling terlihat akibatnya adalah feses

yang dikeluarkan tidak berbentuk, berwarna coklat muda sampai

kuning, dan terlihat beriminyak (steatore).


3) Malabsorbsi protein.

Intoleransi protein, dapat terjadi baik pada susu sapi maupun

susu kedelai, hal ini dikarenakan seseorang tidak memiliki enzim

yang cukup untuk memecah komponen gula pada susu tersebut.

Berbagai hal dan keadaan dapat menyebabkan malabsorbsi dan

maldigesti pada seseorang, salah satunya penyebabnya adalah karena

defisiensi enzim atau adanya gangguan pada mukosa usus tempat

absorbsi dan digesti zat tersebut. Sampai saat ini masih belum

diketahui apa saja faktor risiko yang mendalangi datangnya

malabsorbsi, namun beberapa penyebab yang dapat mengakibatkan

penyakit ini muncul antara lain:

1) Gangguan pencernaan dan absorbsi (penyerapan) nutrisi di dalam

usus halus. Kelainan pada pencernaan Ini adalah kelainan yang

berhubungan langsung dengan pencernaan makanan maupun

karena kelainan yang terjadi secara langsung mempengaruhi proses

penyerapan makanan.

2) Penyakit tertentu. Adanya penyakit-penyakit yang dapat

menghalangi tercampurnya antara makanan dengan asam lambung

dan enzim-enzim pencernaan yang tepat. Hal ini dapat terjadi pada

orang yang sebagian lambungnya sudah diangkat.

b.2.3. Patofisiologi
Mekanisme dasar penyebab timbulnya diare adalah gangguan

osmotic (makanan yang tidak dapat diserap akan menyebabkan tekanan

osmotik dalam rongga usus meningkat sehingga terjadi pergeseran air dan

elektrolit kedalam rongga usus, isi rongga usus berlebihan sehingga timbul

diare). Selain itu menimbulkan gangguan sekresi akibat toksin didinding

usus, sehingga sekresi air dan elektrolit meningkat kemudian menjadi diare.

Gangguan motilitas usus yang mengakibatkan hiperperistaltik. Akibat dari

diare itu sendiri adalah kehilangan air dan elektrolit (dehidrasi) yang

mengakibatkan gangguan keseimbangan asam basa (asidosis metabolik dan

hypokalemia), gangguan gizi (intake kurang, output berlebih), hipoglikemia

dan gangguan sirkulasi darah (Zein dkk, 2004).

Mekanisme terjadinya diare dan termaksut juga peningkatan

sekresi atau penurunan absorbsi cairan dan elektrolit dari sel mukosa

intestinal dan eksudat yang berasal dari inflamasi mukosa intestinal

(Wiffen et al, 2014). Infeksi diare akut diklasifikasikan secara klinis dan

patofisiologis menjadi diare noninflamasi dan diare inflamasi. Diare

inflamasi disebabkan invasi bakteri dan sitoksin di kolon dengan

manifestasi sindrom disentri dengan diare disertai lendir dan darah. Gejala

klinis berupa mulas sampai nyeri seperti kolik, mual, muntah, tetenus, serta

gejala dan tanda dehidrasi.

Pada pemeriksaan tinja rutin makroskopis ditemukan lendir dan

atau darah, mikoroskopis didapati sek lukosit polimakronuklear. Diare juga

dapat terjadi akibat lebih dari satu mekanisme, yaitu peningkatan sekresi

usus dan penurunan absorbsi di usus. Infeksi bakteri menyebabkan


inflamasi dan mengeluarkan toksin yang menyebakan terjadinya diare.

Pada dasarnya, mekanisme diare akibat kuman enteropatogen meliputi

penempelan bakteri padasel epitel dengan atau tanpa kerusakan mukosa,

invasi mukosa, dan produksienterotoksin atau sitoksin. Satu jenis bakteri

dapat menggunakan satu atau lebihmekanisme tersebut untuk mengatasi

pertahanan mukosa usus (Amin, 2015).

Berdasarkan patofisiologinya, diare dapat dibagi atas 3 kelompok

yaitu:

a. Osmotic diarrhoe, yang terjadi karena isi usus menarik air dari mukosa.

Hal ini ditemukan malabsorbsi, dan defisiensi laktase.

b. Secretori diarrhoea, pada keadaan ini usus halus, dan usus besar tidak

menyerap air dan garam, tetapi mengsekresikan air dan elektrolit.

Fungsi yang terbalik ini dapat disebabkan pengaruh toksin bakteri,

garam empedu, prostaglandin, dan lain-lain. Cara terjadinya, melalui

rangsangan oleh cAMP (cyclic AMP) pada sel mukosa usus.

c. Exudative diarrhoea, ditemukan pada inflamasi mukosa seperti

padacolitis ulcerativa, atau pada tumor yang menimbulkan adanya

serum, darah, dan mucus.

Diare akut dapat menyebabkan terjadinya Kehilangan air dan

elektrolit serta gangguan asam basa yang menyebabkan dehidrasi,

asidosis metabolic dan hypokalemia. Gangguan sirkulasi darah dapat

berupa renjatan hipovolemik atau pra-renjatan sebagai akibat diare

dengan atau tanpa disertai dengan muntah, perfusi jaringan berkurang

sehingga hipoksia dan asidosis metabolic bertambah berat, peredaran


otak dapat terjadi, kesadaran menurun (sopokorokomatosa) dan bila

tidak cepat diobati, dapat menyebabkan kematian.

Gangguan gizi yang terjadi akibat keluarnya cairan berlebihan

karena diare dan muntah, kadang-kadang orang tua menghentikan

pemberian makanan karena takut bertambahnya muntah dan diare pada

anak atau bila makanan tetap diberikan tetapi dalam bentuk diencerkan.

Hipoglikemia akan lebih sering terjadi pada anak yang sebelumnya

telah menderita malnutrisi atau bayi dengan gagal bertambah berat

badan. Sebagai akibat hipoglikemia dapat terjadi edema otak yang dapat

mengakibatkan kejang dan koma (Suharyono, 1991).

b.2.4. Manifestasi Klinis

a. Sering buang air besar dengan konsentrasi tinja cair atau encer.

b. Terdapat gejala dehidrasi; turgor kulit jelek (elastisitas kulit menurun),

ubun-ubun dan mata cekung, membrane mukosa kering.

c. Kram abdominal.

d. Demam, Mual dan muntah.

e. Anoreksia.

f. Lemah.

g. Pucat.

h. Perubahan tanda-tanda vital; nadi dan pernapasan cepat.

i. Menurun atau tidak ada pengeluaran urin.

b.2.5. Komplikasi
a. Dehidrasi (ringan, sedang, berat, hipotonik, isotonic, atau hipertonik).

b. Rrenjatan hipovolemik.

c. Hypokalemia (dengan gejala mekorismus, hiptoni otot, lemah,

berdikardi, perubahan pada elektro kardiagram).

d. Hipoglikemia.

e. Intoleransi laktosa sekunder, sebagai akibat defisiensi enzim lactase

karena kerusakan vili mukosa, usus halus.

f. Kejang terutama pada dehidrasi hipertonik.

g. Malnutrisi energy, protein, karena selain diare dan muntah, penderita

juga mengalami kelaparan.

b.2.6. Derajat Dehidrasi

Menurut banyaknya cairan yang hilang, derajat dehidrasi dapat

dibagi berdasarkan:

a. Kehilangan berat badan

Tidak ada dehidrasi, bila terjadi penurunan berat badan 2,5%

Dehidrasi ringan, bila terjadi penurunan berat badan 2,5-5%

Dehidrasi berat, bila terjadi penurunan berat badan 5-10%

b. Skor Marvice King

Bagian tubuh yang Nilai untuk gejala yang ditemukan


diperiksa 1 2 3
Keadaan umum Sehat Gelisah, Mengigau, koma
cengeng, apatis, atau syok
ngantuk
Kekenyalan kulit normal Sedikit kurang Sangat kurang
Mata Normal Sedikit cekung Sangat cekung
Ubun-ubun besar Normal Sedikit cekung Sangat cekung
Mulut normal Kering Kering dan
Sianosis
Denyut nadi atau mata Kuat<120 Sedang (120- Lemas>40
140)
Keterangan:

1. Jika mendapat nilai 0-2 dehidrasi ringan.

2. Jika mendapat nilai 3-6 dehidrasi sedang.

3. Jika mendapat nilai 7-12 dehidrasi berat.

c. Gejala Klinis

Gejala Klinis
Gejala klinis
Ringan Seang Berat
Baik (CM)+ Gelisa++ Apatis-koma++
Keadaan umum kesadaran
+
Gejala Klinis
Gejala klinis
Ringan Seang Berat
Sirkulasi nadi N (120) Cepat Cepat Sekali
Respirasi pernafasan Biasa Agak Cepat Kusz maul
Gejala klinis
Gejala klinis
Ringan Sedang Berat
Agak cekung Cekung Cekung sekali
Agak cekung Cekung Cekung sekali
kulit Biasa Agak kurang Kurang sekali
Normal Oliguri Anuri
normal Agak kering Kering/asidosis

b.2.7. Pemeriksaan Diagnostik

Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala dan hasil pemeriksaan

fisik:

a. Pemeriksaan tinja.

1. Makroskopis dan mikroskopis

2. PH dan kadar gula dalam tinja


3. Bilaperlu diadakan uji bakteri untuk mengetahui organisme

penyebabnya, dengan melakukan pembiakan terhadap contoh

tinja.

b. Pemeriksaan laboratorium.

c. Pemeriksaan darah, dilakukan untuk mengetahui kadar elektrolit dan

jumlah sel darah putih.

d. Pemeriksaan gangguan keseimbangan asam basa dalam darah, bila

memungkinkan dengan menentukan PH keseimbangan Analisa gas

darah atau astrup.

e. Pemeriksaan kadar ureum dan kreatinin untuk mengetahui faal ginjal.

f. Pemeriksaan elektrolit intubasi duodenum untuk mengetahui jasad renik

atau parasite secara kuantitatif, terutama dilakukan pada penderita diare

kronik.

b.2.8. Penatalaksanaan Medis

Dasar pengobatan diare adalah:

a. Pemberian cairan, jenis cairan, cara memberikan cairan, jumlah

pemberiannya.

1. Cairan peroral

Pada klien dengan dehidrasi ringan dan sedang diberikan peroral

berupa cairan yang bersifat NaCl dan NaHCO3 dan Glukosa.

Untuk diare akut dan kolera pada anak berusia di atas 6 bulan kadar

Natrium 90 mEg/l. pada anak di berusia di bawah 6 bulan dengan

dehidrasi ringan sedang, kadar Natrium 50-60 mEg/l. formula


lengkap disebut oralit, sedangkan larutan gula, garam dan tajin

disebut formula yang tidak lengkap karena mengandung banyak

NaCl dan sukrosa.

2. Cairan parental

Diberikan pada klien dehidrasi berat, dengan rincian sebagai

berikut:

a) Untuk anak berusia 1 bulan-2 tahun dengan berat badan 3-

10kg

1) 1 jam pertama: 40 ml/kg BB/menit= 3 tetes/kg BB/menit

(infuse set berukuran 1 ml= 15 tetes atau 13 tetes/kg

BB/menit (set infuse 1 ml= 20 tetes).

2) 7 jam berikutnya: 12 ml/kg BB/menit= 3 tetes/kg

BB/menit (infuse set berukuran 1 ml= 15 tetes atau 4

tetes/kg BB/menit (set infuse 1 ml= 20 tetes).

3) 16 jam berikutnya: 125 ml/kg BB/oralit.

b) Untuk anak berusia lebih dari 2-5 tahun dengan berat badan

10-15 kg.

1) 1 jam pertama: 30 ml/kg BB/jam atau 8 tetes/kg BB/menit

(1 ml= 15 tetes tatau 10 tetes/kg BB/menit (1 ml= 20

tetes).

c) Untuk anak berusia lebih dari 5-10 tahun dengan berat badan

15-25 kg.

1) 1 jam pertama:
3.

4.

b.

b.2.9.

Anda mungkin juga menyukai