Anda di halaman 1dari 20

Laporan Kasus

Inflammatory Bowl Disease (Kolitis Ulseratif)

Oleh :
Nisrina Fadhilaturrabani
NPM. 19360202

Pembimbing :
dr. Rina Kriswiastiny, Sp.PD, FINASIM

BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MALAHAYATI
RS PERTAMINA BINTANG AMIN
BANDAR LAMPUNG
2019
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur saya panjatkan kepada Allah SWT atas Rahmat dan Hidayah-Nya

sehingga saya dapat menyelesaikan pembuatan laporan kasus yang berjudul “

Inflammatory Bowl Disease (Kolitis Ulseratif)“.

Makalah ini disusun dalam rangka memenuhi tugas kepaniteraan klinik bagian

Ilmu Penyakit Dalam Program Studi Pendidikan Dokter Universitas Malahayati Bandar

Lampung.

Saya mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada para pengajar di

SMF Ilmu Penyakit Dalam, khususnya dr. Rina Kriswiastiny, Sp.PD, FINASIM atas

bimbingannya selama berlangsungnya pendidikan di bagian Ilmu Penyakit Dalam ini

sehingga saya dapat menyelesaikan tugas ini dengan maksimal.

Saya menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, maka dari itu saya

mengharapkan kritik dan saran yang membangun untuk memperbaiki makalah ini dan

untuk melatih kemampuan menulis makalah untuk selanjutnya.

Demikian yang dapat saya sampaikan, mudah-mudahan makalah ini dapat

bermanfaat bagi para pembaca, khususnya bagi kami yang sedang menempuh

pendidikan.

1
BAB I
PENDAHULUAN

Inflammatory bowel disease (IBD) menggambarkan kondisi peradangan saluran


cerna kronik dan idiopatik. Secara umum dibagi atas kolitis ulseratif (KU), penyakit
Crohn (PC) dan IBD type unclassified (IBDU, dulu dikenal sebagai indeterminate
colitis).1 Etiopatogenesis IBD belum sepenuhnya dimengerti. Faktor genetik dan
lingkungan dalam saluran cerna seperti perubahan bakteri usus dan peningkatan
permeabilitas epitel saluran cerna diduga berperan dalam gangguan imunitas saluran
cerna yang berujung pada kerusakan saluran cerna.1-3 Insidens IBD sejak akhir Perang
Dunia ke-II di negara Barat sampai dasawarsa 90-an selalu meningkat dan cenderung
terjadi pada kelompok kulit putih, sosial ekonomi tinggi, bukan perokok, pemakai
kontrasepsi oral dan diet rendah.
Gambaran klinis kedua entitas IBD dapat berbentuk ringan, dalam arti mencapai
remisi tanpa penggunaan obat-obatan dalam jangka lama atau dalam bentuk kronik aktif
yakni pasien mengalami remisi hanya jika mengonsumsi obat-obatan dalam jangka lama.
Mengingat patofisiologi IBD yang diterima luas berupa adanya respons imun berlebihan
pada saluran cerna maka secara umum terapi IBD saat ini lebih banyak berupa anti-
inflamasi atau imunosupresan. Dalam beberapa waktu terakhir, kemajuan pesat terjadi
dalam hal pengobatan IBD, khususnya terapi biologi. Penatalaksanaan IBD sejatinya
tidak hanya berupa terapi medis melainkan harus melalui tiga pendekatan yakni rencana
diagnostik, rencana Terapeutik dan rencana edukasional. Tulisan ini akan lebih
menitikberatkan pada rencana terapeutik IBD.

2
BAB II
LAPORAN KASUS

STATUS PASIEN

2.1 Identitas Pasien


Nama : Tn. Manan
Tanggal Lahir : 20/08/1952
Usia : 67 Tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Pekerjaan : Tidak Bekerja
Suku Bangsa : Indonesia
Agama : Islam
No.RM : 112721
Masuk RSPBA : 20/12/2019 pukul 21.44

2.2 Anamnesis
Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis dan alloanamnesis
2.2.1 Keluhan Utama
Nyeri uluhati 5 hari SMRS, demam, mual, muntah 2x sekitar 1 gelas aqua
(±250 ml
2.2.2 Keluhan Tambahan
Keluhan demam hilang timbul, tidak nafsu makan, perut kembung, lemas,
riwayat BAB cair ± sejak 2 bulan yang lalu namun keluhan BAB cair hilang
timbul (sudah berobat dan minum obat diare, ketika obat habis diare kembali
dirasakan).
2.2.3 Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke IGD RSPBA dengan keluhan utama Nyeri uluhati 5 hari
SMRS, demam, mual, muntah 2x sekitar 1 gelas aqua (±250 ml). Keluhan
demam hilang timbul (pada saat dibawa ke IGD RSPBA sedang demam 38,5,
tidak nafsu makan, perut kembung, lemas, riwayat BAB cair ± sejak 2 bulan yang
lalu namun keluhan BAB cair hilang timbul, ketika diare bisa dirasakan 3-4 kali

3
dalam sehari (sudah berobat dan minum obat diare, ketika obat habis diare
kembali dirasakan) .
Akhirnya pada tanggal 20-12-2019 pada pukul 21.44 keluarga pasien
membawanya ke IGD RSPBA. Oleh dokter IGD pasien disarankan untuk rawat
inap agar mendapatkan penganganan lebih lanjut. Pasien mempunyai riwayat
merokok, tidak memimum minuman alkohol.

2.2.4 Riwayat Penyakit Dahulu


+ Thypoid – Batu ginjal/saluran kemih
– Tuberkulosis – Disentri
– Difteri – Hepatitis
– Batuk rejan – Penyakit Jantung Koroner
– Campak – Hipotensi
- Influenza – Sifilis
- Diabetes – Gonore
– Kholera – Hipertensi
– Penyakit prostat _ Ulkus ventrikulus
– Pneumonia – Ulkus duodeni
– Pleuritis – Gastritis
– Alergi – Batu empedu

2.2.5 Riwayat Penyakit Keluarga

Keadaan Penyebab
Hubungan Diagnosa
Kesehatan Meninggal

Kakek – – –

Nenek – – –

Ayah – – –

Ibu _ – –

Saudara _ – –

Anak-anak – – –

2.2.6 Riwayat Kebiasaan


Os dulunya sangat senang mengkonsumsi gorengan, makanan bersantan
dan pedas, namun semenjak mengalami BAB cair 2 bulan yang lalu os berhenti

4
mengkonsumsi makanan-makanan tersebut dan os juga ada riwayat merokok
namun sudah berhenti.
2.2.7 Riwayat Makanan & Minuman
Frekuensi/hari : 3x/ hari
Jumlah/hari : 3 porsi
Variasi/hari : Bervariasi
Nafsu makan : menurun
2.2.8 Anamnesa Sistem
Nyeri kepala (-), Pusing (-), pusing berputar (-), leher
Kepala
kaku (-)
Konjungtiva anemis (+), Penglihatan kabur (-),
Mata pandangan ganda (-), pandangan berputar (-),
berkunang-kunang (-), sklera ikterik (-)
Hidung pilek (-), mimisan (-), tersumbat (-)
Telinga pendengaran berkurang (-), keluar cairan (-), darah (-).
sariawan (-), luka pada sudut bibir (-), bibir pecah-
Mulut
pecah (-), gusi berdarah (-), mulut kering (-)
Leher Pembesaran kelenjar limfe (-)
Tenggorokan Nyeri tenggorokan (-), suara serak (-), gatal (-)
Sistem respirasi Sesak nafas (+), batuk (-), mengii (-)
Sistem Sesak nafas saat beraktivitas (-), nyeri dada (-),
kardiovaskuler berdebar-debar (-), keringat dingin (-)
Rasa kembung (+), nyeri ulu hati (+), BAB cair (+),
Sistem
mual (+), muntah (+), berwarna merah kehitaman (-),
gastrointestinal
BAB darah kehitaman (-), nafsu makan menurun (+)
Sistem Badan lemes (+), Nyeri otot (-), nyeri sendi (-), kaku
musculoskeletal otot (-)
Urine berwarna seperti teh (-), kencing darah (-),
Sistem sering kencing (-), nyeri saat kencing (+), kencing
genitourinaria nanah(-), sulit memulai kencing (-), anyang-anyangan
(-).
Luka (-), kesemutan (-), kaku digerakan (-), bengkak
Ekstremitas atas
(+), sakit sendi (-), panas(-)
Ekstremitas Luka (-), kesemutan (-), kaku digerakan (-), bengkak
bawah (+), sakit sendi (-), panas (-)
Sistem Kejang (-), gelisah (-), kesemutan (-) mengigau (-),
neuropsikiatri emosi tidak stabil (-)

5
Sistem Pucat (-), kulit kuning (-),gatal (-)
Integumentum

2.3 Pemeriksaan Fisik


Pemeriksaan fisik dilakukan pada tanggal 21 Desember 2019 pukul ±
07.00 WIB di bangsal RPD RS Pertamina Bintang Amin.

2.3.1 Pemeriksaan Umum


 Keadaan Umum : Tampak sakit sedang
 Kesadaran : Compos Mentis
 Berat badan rata-rata (kg) : 56 kg
 Tinggi badan (cm) : 160 cm
 IMT : BB (kg)/ ( TB (m)2 ) = 56/ (1,60)2 = 21,87
 Aspek Kejiwaan
Tingkah laku : wajar/gelisah/tenang/hipoaktif/hiperaktif
Alam perasaan : biasa/sedih/gembira/cemas/takut/marah
Proses pikir : wajar/cepat/gangguan waham/fobia/obsesi

2.3.2 Tanda Vital


TD : 110/60 mmHg
Nadi : 76 x/menit
RR : 24 x/menit
Suhu : 38,5ºC (per axilla)
2.3.3 Status Generalisata
KULIT
Warna : putih Efloresensi : Tidak ada
Jaringan parut : Tidak ada Pigmentasi : Tidak ada
Pertumbuhan rambut : Normal Pembuluh darah: Normal
Suhu raba : Hangat Lembab/kering: Lembab
Keringat, umum :- Turgor :Normal
KELENJAR GETAH BENING

6
Submandibula : Tidak teraba Leher : Tidak teraba
Supraklavikula : Tidak teraba Ketiak : Tidak teraba
Lipat paha : Tidak teraba
KEPALA
Ekspresi wajah : Normal Simetris muka : Simetris
Rambut : Normal

MATA
Eksolftalmus : Tidak ada Endoftalmus : Tidak ada
Kelopak : Normal Lensa : Normal
Konjungtiva :Normal Visus : Normal
Sklera : Normal Gerakan mata : Normal
Lap.penglihatan : Normal Tek.bola mata : Normal
Deviatio konjungtiva : Tidak ada Nistagmus : Tidak ada
TELINGA
Tuli : Tidak tuli Selaput pendengaran : Tidak diperiksa
Lubang : Normal Penyumbatan :Tidak ada
Serumen : Tidak diperiksa Perdarahan : Tidak ada
MULUT
Bibir : Lembab Tonsil : Normal
Langit-langit : Hiperemis Bau nafas : Normal
Trismus : Normal Lidah : Normal
Faring : Normal
LEHER
Kelenjar tiroid : Normal, tidak ada pembesaran
Kelenjar limfe : Normal, tidak ada pembesaran
DADA
Bentuk : Simetris kiri = kanan
Sela iga : Normal
Buah dada : Normal
PARU

7
Depan Belakang
Kanan
Inspeksi Simetris dalam statis dan dinamis
Kiri
Kanan
Palpasi Vocal fremitus simetris kanan dan kiri
Kiri
Kanan Sonor Sonor
Perkusi
Kiri Sonor Sonor
Kanan Suara napas vesikuler
Kiri
Auskultasi Rh (-/-)
Wh(-/-)

Tampak pulmo anterior Tampak pulmo posterior

Suara dasar
vesikuler

JANTUNG
Inspeksi : Iktus cordis tidak tampak
Palpasi : Iktus cordis teraba
Perkusi : Kiri : atas, ics II linea parasternalis sinistra
Bawah, ics IV linea midclavikularis sinistra
Kanan : atas, ics II linea parasternalis dextra
Bawah, ics IV linea parasternalis dextra
Auskultasi : Bunyi jantung S1 dan S2 normal, reguler; Murmur (+) gallop (-)
ABDOMEN
Inspeksi : Dinding perut asimetris dengan dinding dada, ascites (-),
distended (-), venektasi(-), caput medusa (-), ikterik (-).

8
Auskultasi : Bising usus (+) normal, bruit hepar (-),bruit epigastrium (-)
Palpasi : Nyeri tekan perut (+), nyeri tekan hepar (-), hepar tidak teraba,
limpa tidak teraba, nyeri ketok CVA (-) kanan/kiri.
Perkusi : timpani

EKSTREMITAS
Superior Inferior
Luka - -
Akral dingin - -
Oedem + +
Capillary Refill <2 detik <2 detik
Gerak Nyeri (-) Nyeri (-)
Sianosis - -

2.4 Pemeriksaan Penunjang


HEMATOLOGI
Tanggal 20 Desember 2019

No
. Pemeriksaan Hasil Normal Satuan
1. Hemoglobin 10,2 LK 14–18 Wn 12–16 gr/dl
2. Leukosit 8.800 4.500–10.700 ul
3. Hit. Jenis Leukosit Basofil 0 0–1 %
4. Hit. Jenis Leukosit Eosinofil 0 0–3 %
5. Hit. Jenis Leukosit Batang 1 2–6 %
6. Hit. Jenis Leukosit Segmen 68 50–70 %
7. Hit. Jenis Leukosit Limfosit 28 20–40 %
8. Hit. Jenis Leukosit Monosit 3 2–8 %
9. Eritrosit 3,3 Lk 4,6–6,2 Wn 4,2–6,4 ul
10. Hematokrit 30 Lk 40–54 Wn 38–47 %
11. Trombosit 228.000 159.000–400.000 ul
12. MCV 87 80–96 fl
13. MCH 31 27–31 pg
14. MCHC 35 32–36 gr/dl
KIMIA DARAH
No
Pemeriksaan Hasil Normal Satuan
.
1. Natrium 142 135 – 145 nmol/l
2. Kalium 3,6 3,5 – 5,5 nmol/l
3. Chloride 110 96 – 106 nmol/l

9
ANALISA FAECES
Tanggal 21 Desember 2019

No
. Pemeriksaan Hasil Normal Satuan
coklat
1. Warna (makroskopis) kehitaman
2. Konsistensi (makroskopis) Lembek
3. Bau (makroskopis) Khas
4. Lendir (makroskopis) Negatif
5. Darah (makroskopis) Negatif
Tidak
6. Telur Cacing (mikroskopis) ditemukan
Tidak
7. Amoeba (mikroskopis) ditemukan
8. Epitel (mikroskopis) Beberapa
9. Sisa makanan (mikroskopis) Banyak
10. Leukosit (mikroskopis) 4–5 1-2
11. Eritrosit (mikroskopis) 2–3 1-2
12. Lain-lain negatif
KIMIA DARAH
No
. Pemeriksaan Hasil Normal Satuan
1. Tubex TF Positif (+6)

2.5 Resume
 Pasien laki-laki 67 tahun datang ke IGD RS Pertamina bintang amin dengan
keluhan utama Nyeri uluhati 5 hari SMRS, demam, mual, muntah 2x sekitar
1 gelas aqua (±250 ml). Keluhan demam hilang timbul (pada saat dibawa ke
IGD RSPBA sedang demam 38,5, tidak nafsu makan, perut kembung, lemas,
riwayat BAB cair ± sejak 2 bulan yang lalu namun keluhan BAB cair hilang
timbul, ketika diare bisa dirasakan 3-4 kali dalam sehari (sudah berobat dan
minum obat diare, ketika obat habis diare kembali dirasakan).

10
 Pasien mempunyai riwayat merokok, makan makanan berminyak, bersantan,
dan pedas namun sudah berhenti tidak memimum minuman alkohol.
 Tekanan Darah : 110/60 mmHg
 Nadi : 76x/menit
 RR : 24x/menit
 Suhu : 38,5 ºC

2.6 Daftar Masalah (Abnormalitas)

Anamnesis Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan Penunjung

1. Nyeri uluhati 1. Nyeri tekan uluhati 1. Hb 10,2


2. Demam 2. Pada auskultasi 2. Leukosit 8.800
3. BAK cair jantung ditemukan 3. Eritrosit 3,3
4. Mual murmur 4. Hematocrit 30
5. Muntah 3. Perkusi abdomen 5. Trombosit 228.000
6. Kembung hipertimpani 6. Natrium 142
7. Tidak nafsu makan 7. Kalium 3,6
8. Lemas 8. Chloride 110
9. Tubex TF (+6)
10. Sisa makanan
(banyak)
11. Leukosit
(mikroskopis) 4-5
12. Albumin 1,5

2.7 Diagnosa
IBD (Inflammatory Bowl Disease)/Kolitis Ulseratif
2.8 Diagnosa Banding
Kolitis Ulseratif
Crohn’s Disease
2.9 Penatalaksanaan Kasus (Rencana Pemecahan Masalah)
1. IVFD RL XX tpm/makro
2. Inj. Ondansetron 3x1 ampul

11
3 Inj. Omeprazole 2x1 vial
4 Ceftriaxon 2x1 NaCl 100 cc
5 Paracetamol 3x1 tablet
6 Sukralfat 3x2 sendok
7 Lacbon 2x1 tablet
8 New diatabs 3x1 kapsul
8.3 Rencana Pemeriksaan
Tubex TF
FL
(LED) atau C-reactive protein (CRP)
p-ANCA dan ASCA
Pemeriksaan ekspresi Syndecan-1
pemeriksaan endoskopi
diikuti dengan pemeriksaan histopatologi
sediaan biopsi.

8.4 Prognosis
Quo ad vitam : dubia ad bonam
Quo ad functionam : dubia ad bonam
Quo ad Sanactionam : dubia ad bonam

12
BAB III
PEMBAHASAN

I. Definisi
Inflammatory bowel disease (IBD) menggambarkan kondisi peradangan saluran
cerna kronik dan idiopatik. Secara umum dibagi atas kolitis ulseratif (KU), penyakit
Crohn (PC) dan IBD type unclassified (IBDU, dulu dikenal sebagai indeterminate
colitis).1 Etiopatogenesis IBD belum sepenuhnya dimengerti. Faktor genetik dan
lingkungan dalam saluran cerna seperti perubahan bakteri usus dan peningkatan
permeabilitas epitel saluran cerna diduga berperan dalam gangguan imunitas saluran
cerna yang berujung pada kerusakan saluran cerna.1-3 Insidens IBD sejak akhir Perang
Dunia ke-II di negara Barat sampai dasawarsa 90-an selalu meningkat dan cenderung
terjadi pada kelompok kulit putih, sosial ekonomi tinggi, bukan perokok, pemakai
kontrasepsi oral dan diet rendah.
Gambaran klinis kedua entitas IBD dapat berbentuk ringan, dalam arti mencapai
remisi tanpa penggunaan obat-obatan dalam jangka lama atau dalam bentuk kronik aktif
yakni pasien mengalami remisi hanya jika mengonsumsi obat-obatan dalam jangka lama.
Mengingat patofisiologi IBD yang diterima luas berupa adanya respons imun berlebihan
pada saluran cerna maka secara umum terapi IBD saat ini lebih banyak berupa anti-
inflamasi atau imunosupresan.2,3,5 Dalam beberapa waktu terakhir, kemajuan pesat
terjadi dalam hal pengobatan IBD, khususnya terapi biologi. Penatalaksanaan IBD
sejatinya tidak hanya berupa terapi medis melainkan harus melalui tiga pendekatan
yakni rencana diagnostik, rencana Terapeutik dan rencana edukasional. Tulisan ini akan
lebih menitikberatkan pada rencana terapeutik IBD.

II. Gambaran Klinis


Secara umum, keluhan IBD berupa diare kronik dengan atau tanpa darah, dan
nyeri perut. Selain itu, kerap dijumpai manifestasi di luar saluran cerna (ekstraintestinal),
seperti artritis, uveitis, pioderma gangrenosum, eritema nodosum, dan kolangitis.
Sedangkan secara sistemik, dapat dijumpai gambaran sebagai dampak keadaan patologis
yang ada seperti anemi, demam, gangguan nutrisi. Satu hal yang penting diingat adalah
pola perjalanan klinis IBD bersifat kronik-eksaserbasi-remisi atau secara umum ditandai

13
oleh fase aktif dan fase remisi. Pemahaman atas proses inflamasi yang terjadi pada
patogenesis IBD akan membantu kita mengenali gambaran klinis untuk masing-masing
entitas IBD. Misalnya kita akan menemui keluhan yang lebih seragam pada KU
dibandingkan PC karena distribusi anatomis saluran cerna yang terlibat pada KU adalah
kolon sedangkan pada PC lebih bervariasi.

Perbedaan gambaran klinis dan patologis antara KU dan PC disajikan dalam tabel
1 dan tabel 2. Namun perlu diingat bahwa terkadang sulit membedakan gambaran IBD
dengan penyakit lain yang kerap ditemukan di negara-negara berkembang termasuk
Indonesia yakni kolitis infeksi dan tuberkulosis usus.Secara umum, terdapat kriteria
klinik sebagai gambaran aktivitas penyakit untuk keperluan pedoman keberhasilan
pengobatan maupun penetapan fase remisi yakni Disease Activity Index (DAI) yang
didasarkan pada frekuensi diare, ada tidaknya perdarahan per anum, penilaian kondisi
mukosa kolon pada pemeriksaan endoskopi serta penilaian keadaan umum pasien.

Tabel 1. Gambaran klinis IBD

Tabel 2. Gambaran Patologis IBD

14
Iii. Penatalaksanaan IBD
Penatalaksanaan IBD dilakukan melalui tiga macam pendekatan, yakni rencana
diagnostik, rencana terapeutik, dan rencana edukasional.

Rencana Diagnostik Pemeriksaan Serologik untuk Penanda IBD


Secara laboratorik, tidak ada parameter yang spesifik untuk IBD. Umumnya yang
digunakan adalah parameter penanda inflamasi secara umum seperti laju endap darah
(LED) atau C-reactive protein (CRP). Pada PC, kadar CRP serum berkorelasi positif
dengan aktivitas penyakit dan dengan penanda inflamasi lainnya sesuai dengan indeks
aktivitas PC. Peningkatan kadar CRP > 45mg/L pada pasien IBD dapat membantu klinisi
untuk mengambil keputusan perlunya dilakukan kolektomi. Dikatakan pemeriksaan
kultur tinja dapat membantu penentuan apakah peradangan disebabkan oleh infeksi atau
non-infeksi. Dewasa ini, dikatakan pula bahwa pemeriksaan serologi dapat membantu
menegakkan diagnosis IBD dan dapat membedakan antara KU dan PC yakni dengan
pemeriksaan pANCA (perinuclear antineutrophil cytoplasmic antibody) untuk pasien KU
dan anti-saccharomyces cerevisiae antibody (ASCA) untuk pasien PC. p-ANCA
ditemukan pada 50-67% kasus KU meski juga dapat ditemukan pada 6 sampai 15%
kasus PC. ASCA lebih sering dijumpai pada PC, yakni sekitar 40 sampai 60%, dan hanya
sekitar 4 sampai 14% dijumpai pada KU. Sayangnya, pemeriksaan ini tidak terlalu
sensitif mendiagnosis IBD sehingga tidak tepat sebagai modalitas diagnostik tunggal.10
Meski begitu, kombinasi pemeriksaan p-ANCA dan ASCA dapat membantu

15
meningkatkan spesifisitas hingga lebih dari 90%. Pola hasil kombinasi untuk KU adalah
ASCA negatif/p-ANCA positif sedangkan untuk PC adalah ASCA positif/p-ANCA
negatif. Untuk pemantauan terapi, kedua pemeriksaan ini tidak dianjurkan mengingat
kadar ANCA maupun ASCA tetap tinggi setelah terapi.7Terdapat penurunan kadar
ekspresi Syndecan-1 (Sdc-1) pada IBD khususnya pada KU. Pemeriksaan ekspresi
Syndecan-1 dapat membantu menegakkan diagnosis enyakit IBD meski masih terbatas
guna kepentingan penelitian. Baru-baru ini, adanya target antigen mikroba khusus seperti
OmpC (Eschericia coli outer membrane porin), I2, dan flagelin CBir1 pada sebagian
besar pasien PC. Terdapat bukti-bukti yang menunjukkan bahwa jumlah atau tingkat
respons imun terhadap beberapa antigen berkaitan dengan keparahan perjalanan
penyakit. Hal ini memerlukan penelitian-penelitian yang lebih dalam lagi. Pemeriksaan
endoskopi berperan sangat penting dalam penegakan diagnosis sekaligus terapi IBD
dengan akurasi diagnostik berkisar 89%.4 Umumnya, pemeriksaan endoskopi diikuti
dengan pemeriksaan histopatologi sediaan biopsi. Pemeriksaan lain seperti pencitraan
dengan kontras ganda dapat dilakukan sebagai alat kon rmasi endoskopi.

Rencana Terapeutik
Fokus utama rencana Terapeutik adalah upaya penghambatan kaskade proses inflamasi
jika tidak dapat dihilangkan sama sekali. Secara umum, prinsip terapi IBD adalah (1)
mengobati peradangan aktif IBD dengan cepat hingga tercapai remisi; (2) mencegah
peradangan berulang dengan mempertahankan remisi selama mungkin; dan (3)
mengobati serta mencegah komplikasi. Sayang tidak semua lini kesehatan memiliki
fasilitas endoskopi sehingga diperlukan suatu algoritma penatalaksanaan terutama pada
lini kesehatan primer (gambar 2 dan 3). Tindakan bedah dipertimbangkan pada tahap
terakhir jika medikamentosa gagal atau jika terjadi komplikasi yang tidak teratasi
misalnya perforasi usus, perdarahan persisten, stenosis usus fibrotik, obstruksi,
degenerasi maligna ataupun megakolon toksik yang sering terjadi pada KU.
Pengobatan Umum
Pemberian antibiotik misalnya metronidazole dosis terbagi 1500 – 3000 mg per hari
dikatakan cukup bermanfaat menurunkan derajat aktivitas penyakit, terutama PC.
Sedangkan untuk KU, jarang diberi terapi antibiotik. Antibiotik diberikan dengan latar
belakang bahwa salah satu agen proinflamasi disebabkan oleh bakteri intraluminal.

16
Sebagian besar bakteri intraluminal bersifat komensal dan tidak menginduksi reaksi
inflamasi namun mereka masih mampu memengaruhi respons imun dan menginduksi sel
epitel intestinal untuk menekan kemotaksis,
menurunkan ekspresi sitokin proinflamasi dan meningkatkan produksi interleukin 10.10
Interaksi antara bakteri pejamu ini dikenal dengan istilah disbiosis.5 Pemberian probiotik
seperti laktobasilus berperan dalam upaya mencapai kondisi 85% remisi klinis dan
endoskopis pada pasien pasca kolektomi.
Pengobatan Radang Aktif
Dua golongan obat yang dikenal luas untuk mengobati radang aktif IBD bertujuan
menginduksi remisi secepat mungkin adalah kortikosteroid dan asam amino salisilat.
Kortikosteroid
Hingga saat ini, obat golongan glukokortikoid masih merupakan obat pilihan untuk IBD
derajat sedang dan berat dalam fase peradangan aktif. Pemilihan obat steroid
konvensional, seperti prednison, metilprednisolon ataupun steroid enema, masih menjadi
primadona karena harga yang murah dan ketersediaan yang luas. Dosis umumnya adalah
setara 40 – 60 mg prednison. Namun, jangan dilupakan efek sistemik obat-obatan ini.
Idealnya, dicapai kadar steroid yang tinggi pada dinding usus namun dengan efek
sistemik yang rendah. Umumnya, preparat yang digunakan dewasa ini adalah budesonid.
Remisi biasanya tercapai dalam waktu 8 – 12 minggu yang kemudian diikuti dengan
penurunan dosis (tapering down) yakni sekitar 10 mg per minggu hingga tercapai dosis
40 mg atau 5 mg per minggu hingga tercapai 20 mg. Kemudian dosis ditapering off 2.5
mg per minggu.
Asam Aminosalisilat
Preparat 5-asam aminosalisilat (5-ASA) atau mesalazine saat ini lebih disukai dari
preparat sulfasalazin karena efek sampingnya lebih kecil meski efektivitasnya relatif
sama. Di Indonesia, sulfasalazin dipasarkan dalam bentuk sediaan tablet 250 mg dan 500
mg, enema 4 g/60 mL, serta supositoria 500 mg. Dosis rerata untuk mencapai remisi
adalah 2 – 4 gram per hari4 meski ada kepustakaan yang menyebutkan penggunaan 5-
ASA ini minimal 3 gram per hari.1 Umumnya remisi tercapai dalam 16 – 24 minggu
yang kemudian diikuti dengan dosis pemeliharaan. Dosis pemeliharaan 1,5 – 3 gram per
hari. Untuk kasus-kasus usus bagian kiri atau distal, dapat diberikan mesalazin

17
supositoria atau enema, sedangkan untuk kasus berat, biasanya tidak cukup hanya dengan
menggunakan preparat 5-ASA.
• Pengobatan Pencegahan Keradangan Berulang
Untuk mencegah peradangan berulang, dilakukan upaya mempertahankan masa remisi
selama mungkin melalui dosis pemeliharaan 5-ASA yang bersifat individual atau
mengganti obat steroid pada fase peradangan akut dengan obat-obatan golongan
imunosupresif, anti-tumor necrosis antibody, dan probiotik.ImunomodulatorAzatioprin
dan 6-merkaptopurin, siklosporin, dan metotreksat merupakan beberapa jenis obat
kelompok imunomodulator. Dosis inisial azatrioprin 50 mg diberikan hingga tercapai
efek substitusi lalu dinaikkan bertahap 2.5 mg per kgBB. Umumnya, efek terapeutik baru
tercapai dalam 2 – 3 bulan. Efek samping yang sering dilaporkan adalah nausea,
dispepsia, leukopeni, limfoma, hepatitis hingga pankreatitis.Siklosporin intravena
diketahui dapat bermanfaat untuk kasus akut KU refrakter steroid dengan angka
keberhasilan 50 – 80%. Efek samping yang sering dilaporkan meliputi gangguan ginjal
dan infeksi oportunistik. Sedangkan metotreksat dikenal sebagai preparat yang efektif
untuk kasus PC steroid dependent sekaligus untuk mempertahankan remisi pada KU.
Dosis induksi 25 mg intramuskular atau subkutan per minggu hingga selesai tapering off
steroid.
Agen Baru
Dewasa ini beberapa obat anti-tumor yang dikenal juga sebagai agen biologik banyak
dicoba pada IBD, misalnya infliksimab yang memiliki anti-tumor necrosing factor (anti-
TNF). Umumnya digunakan untuk kasus-kasus PC fistulated sedang dan berat (refrakter
steroid). Studi ACCENT I dan ACCENT II adalah studi yang meneliti dosis infliksimab
sebagai pemeliharaan PC. Dalam studi tersebut diajukan dosis infliksimab 5 mg – 10
mg/kgbb selama 8 minggu. Agen lain adalah obat yang bekerja pada interleukin 6 (IL-6)
sebagai salah satu sitokin proinflamasi. Penggunaan tocolizumab, suatu anti IL-6,
menunjukkan respons kilnis sebesar 70% setelah 6 minggu.16 Terakhir, sedang
dikembangkan penggunaan G-CSF filgrastim) dan GM-CSF (sargramostim), suatu
growth factor. Meski menjanjikan, mekanisme kerja kedua modalitas ini belum jelas.
Secara umum, semua modalitas sangat menjanjikan namun masih sangat mahal.
Diharapkan, golongan obat baru ini dapat lebih terjangkau sehingga dapat
diimplementasikan secara nyata dalam terapi IBD.

18
Gambar 4. Ulasan ringkas regimen terapi pada KU

Gambar 5. Ulasan ringkas regimen terapi PC

19

Anda mungkin juga menyukai