Anda di halaman 1dari 14

BAB II

Tinjauan Pustaka

2.1. Konsep Dasar Tunarungu.

A. Pengertian Tunarungu

Anak tunarungu merupakan anak yang mempunyai gangguan pada pendengarannya


sehingga tidak dapat mendengar bunyi dengan sempurna atau bahkan tidak dapat mendengar
sama sekali, tetapi dipercayai bahwa tidak ada satupun manusia yang tidak bisa mendengar
sama sekali.

Walaupun sangat sedikit, masih ada sisa-sisa pendengaran yang masih bisa
dioptimalkan pada anak tunarungu tersebut. Berkenaan dengan tunarungu, terutama tentang
pengertian tunarungu terdapat beberapa pengertian sesuai dengan pandangan dan kepentingan
masing-masing.

Menurut Andreas Dwidjosumarto (dalam Sutjihati Somantri, 1996: 74)


mengemukakan bahwa: seseorang yang tidak atau kurang mampu mendengar suara dikatakan
tunarungu. Ketunarunguan dibedakan menjadi dua kategori, yaitu tuli (deaf) atau kurang
dengar (hard of hearing). Tuli adalah anak yang indera pendengarannya mengalami
kerusakan dalam taraf berat sehingga pendengarannya tidak berfungsi lagi. Sedangkan
kurang dengar adalah anak yang indera pendengarannya mengalami kerusakan, tetapi masih
dapat berfungsi untuk mendengar, baik dengan maupun tanpa menggunakan alat bantu
dengar (hearing aids).

Istilah tunarungu diambil dari kata “tuna” dan “rungu”, tuna artinya kurang dan
rungu artinya pendengaran. Orang dikatakan tunarungu apabila tidak mampu mendengar atau
kurang mampu mendengar suara. Apabila dilihat secara fisik, anak tunarungu tidak berbeda
dengan anak dengar pada umumnya. Pada saat berkomunikasi barulah diketahui bahwa anak
tersebut mengalami tunarunguan.

Murni Winarsih (2007: 22) mengemukakan bahwa tunarungu adalah suatu istilah
umum yang menunjukkan kesulitan mendengar dari yang ringan sampai berat, digolongkan
ke dalam tuli dan kurang dengar. Orang tuli adalah yang kehilangan kemampuan mendengar
sehingga menghambat proses informasi bahasa melalui pendengaran, baik memakai ataupun
tidak memakai alat bantu dengar dimana batas pendengaran yang dimilikinya cukup

1
memungkinkan keberhasilan proses informasi bahasa melalui pendengaran. Tin Suharmini
(2009: 35) mengemukakan tunarungu dapat diartikan sebagai keadaan dari seorang individu
yang mengalami kerusakan pada indera pendengaran sehingga menyebabkan tidak bisa
menangkap berbagai rangsang suara, atau rangsang lain melalui pendengaran.

Beberapa pengertian dan definisi tunarungu di atas merupakan definisi yang


termasuk kompleks, sehingga dapat disimpulkan bahwa anak tunarungu adalah anak yang
memiliki gangguan dalam pendengarannya, baik secara keseluruhan ataupun masih memiliki
sisa pendengaran. Meskipun anak tunarungu sudah diberikan alat bantu dengar, tetap saja
anak tunarungu masih memerlukan pelayanan pendidikan khusus.

B. Karakteristik Anak Tunarungu

Karakteristik anak tunarungu dari segi fisik tidak memiliki karakteristik yang khas,
karena secara fisik anak tunarungu tidak mengalami gangguan yang terlihat. Sebagai dampak
ketunarunguannya, anak tunarungu memiliki karakteristik yang khas dari segi yang berbeda.
Permanarian Somad dan Tati Hernawati (1995: 35-39) mendeskripsikan karakteristik
ketunarunguan dilihat dari segi: intelegensi, bahasa dan bicara, emosi, dan sosial.

a. Karakteristik dari segi intelegensi

Intelegensi anak tunarungu tidak berbeda dengan anak normal yaitu tinggi, rata-rata
dan rendah. Pada umumnya anak tunarungu memiliki entelegensi normal dan rata-rata.
Prestasi anak tunarungu seringkali lebih rendah daripada prestasi anak normal karena
dipengaruhi oleh kemampuan anak tunarungu dalam mengerti pelajaran yang diverbalkan.
Namun untuk pelajaran yang tidak diverbalkan, anak tunarungu memiliki perkembangan
yang sama cepatnya dengan anak normal. Prestasi anak tunarungu yang rendah bukan
disebabkan karena intelegensinya rendah namun karena anak tunarungu tidak dapat
memaksimalkan intelegensi yang dimiliki. Aspek intelegensi yang bersumber pada verbal
seringkali rendah, namun aspek intelegensi yang bersumber pada penglihatan dan motorik
akan berkembang dengan cepat.

b. Karakteristik dari segi bahasa dan bicara

Kemampuan anak tunarungu dalam berbahasa dan berbicara berbeda dengan anak
normal pada umumnya karena kemampuan tersebut sangat erat kaitannya dengan
kemampuan mendengar. Karena anak tunarungu tidak bisa mendengar bahasa, maka anak

2
tunarungu mengalami hambatan dalam berkomunikasi. Bahasa merupakan alat dan sarana
utama seseorang dalam berkomunikasi. Alat komunikasi terdiri dan membaca, menulis dan
berbicara, sehingga anak tunarungu akan tertinggal dalam tiga aspek penting ini. Anak
tunarungu memerlukan penanganan khusus dan lingkungan berbahasa intensif yang dapat
meningkatkan kemampuan berbahasanya. Kemampuan berbicara anak tunarungu juga
dipengaruhi oleh kemampuan berbahasa yang dimiliki oleh anak tunarungu. Kemampuan
berbicara pada anak tunarungu akan berkembang dengan sendirinya namun memerlukan
upaya terus menerus serta latihan dan bimbingan secara profesional. Dengan cara yang
demikianpun banyak dari mereka yang belum bisa berbicara seperti anak normal baik suara,
irama dan tekanan suara terdengar monoton berbeda dengan anak normal.

c. Karakteristik dari segi emosi dan sosial

Ketunarunguan dapat menyebabkan keterasingan dengan lingkungan. Keterasingan


tersebut akan menimbulkan beberapa efek negatif seperti: egosentrisme yang melebihi anak
normal, mempunyai perasaan takut akan lingkungan yang lebih luas, ketergantungan terhadap
orang lain, perhatian mereka lebih sukar dialihkan, umumnya memiliki sifat yang polos dan
tanpa banyak masalah, dan lebih mudah marah dan cepat tersinggung.

1) Egosentrisme yang melebihi anak normal

Sifat ini disebabkan oleh anak tunarungu memiliki dunia yang kecil akibat interaksi
dengan lingkungan sekitar yang sempit. Karena mengalami gangguan dalam pendengaran,
anak tunarungu hanya melihat dunia sekitar dengan penglihatan. Penglihatan hanya melihat
apa yang di depannya saja, sedangkan pendengaran dapat mendengar sekeliling lingkungan.
Karena anak tunarungu mempelajari sekitarnya dengan menggunakan penglihatannya, maka
aka timbul sifat ingin tahu yang besar, seolah-olah mereka haus untuk melihat, dan hal itu
semakin membesarkan egosentrismenya.

2) Mempunyai perasaan takut akan lingkungan yang lebih luas

Perasaan takut yang menghinggapi anak tunarungu seringkali disebabkan oleh


kurangnya penguasaan terhadap lingkungan yang berhubungan dengan kemampuan
berbahasanya yang rendah. Keadaan menjadi tidak jelas karena anak tunarungu tidak mampu
menyatukan dan menguasai situasi yang baik.

3
3) Ketergantungan terhadap orang lain

Sikap ketergantungan terhadap orang lain atau terhadap apa yang sudah dikenalnya
dengan baik, merupakan gambaran bahwa mereka sudah putus asa dan selalu mencari
bantuan serta bersandar pada orang lain.

4) Perhatian mereka lebih sukar dialihkan

Sempitnya kemampuan berbahasa pada anak tunarungu menyebabkan sempitnya alam


fikirannya. Alam fikirannya selamanya terpaku pada hal-hal yang konkret. Jika sudah
berkonsentrasi kepada suatu hal, maka anak tunarungu akan sulit dialihkan perhatiannya ke
hal-hal lain yang belum dimengerti atau belum dialaminya. Anak tunarungu lebih miskin
akan fantasi.

5) Umumnya memiliki sifat yang polos, sederhana dan tanpa banyak masalah

Anak tunarungu tidak bisa mengekspresikan perasaannya dengan baik. Anak


tunarungu akan jujur dan apa adanya dalam mengungkapkan perasaannya. Perasaan anak
tunarungu biasanya dalam keadaan ekstrim tanpa banyak nuansa.

6) Lebih mudah marah dan cepat tersinggung

Karena banyak merasakan kekecewaan akibat tidak bisa dengan mudah


mengekspresikan perasaannya, anak tunarungu akan mengungkapkannya dengan kemarahan.
Semakin luas bahasa yang mereka miliki semakin mudah mereka mengerti perkataan orang
lain, namun semakin sempit bahasa yang mereka miliki akan semakin sulit untuk mengerti
perkataan orang lain sehingga anak tunarungu mengungkapkannya dengan kejengkelan dan
kemarahan. Berdasarkan karakteristik anak tunarungu dari beberapa aspek yang sudah
dibahas diatas, maka dapat disimpulkan bahwa sebagai dampak dariketunarunguannya
tersebut hal yang menjadi perhatian adalah kemampuan berkomunikasi anak tunarungu yang
rendah. Intelegensi anak tunarungu umumnya berada pada tingkatan rata-rata atau bahkan
tinggi, namun prestasi anak tunarungu terkadang lebih rendah karena pengaruh kemampuan
berbahasanya yang rendah. Maka dalam pembelajaran di sekolah anak tunarungu harus
mendapatkan penanganan dengan menggunakan metode yang sesuai dengan karakteristik
yang dimiliki. Anak tunarungu akan berkonsentrasi dan cepat memahami kejadian yang
sudah dialaminya dan bersifat konkret bukan hanya hal yang diverbalkan. Anak tunarungu
membutuhkan metode yang tepat untuk meningkatkan kemampuan berbahasanya yaitu

4
metode yang dapat menampilkan kekonkretan sesuai dengan apa yang sudah dialaminya.
Metode pembelajaran untuk anak tunarungu haruslah yang kaya akan bahasa konkret dan
tidak membiarkan anak untuk berfantasi mengenai hal yang belum diketahui.

C. Klasifikasi Anak Tunarungu.

Klasifikasi mutlak diperlukan untuk layanan pendidikan khusus.Hal ini sangat


menentukan dalam pemilihan alat bantu mendengar yang sesuai dengan sisa pendengarannya
dan menunjang lajunya pembelajaran yang efektif. Dalam menentukan ketunarunguan dan
pemilihan alat bantu dengar serta layanan khusus akan menghasilkan akselerasi secara
optimal dalam mempersepsi bunyi bahasa dan wicara.

Menurut Boothroyd (dalam Murni Winarsih, 2007:23) klasifikasi ketunarunguan


adalah sebagai berikut.

a. Kelompok I : kehilangan 15-30 dB, mild hearing losses atau ketunarunguan ringan;
daya tangkap terhadap suara cakapan manusia normal.
b. Kelompok II: kehilangan 31-60, moderate hearing losses atau ketunarunguan atau
ketunarunguan sedang; daya tangkap terhadap suara cakapan manusia hanya sebagian.
c. Kelompok III: kehilangan 61-90 dB, severe hearing losses atau ketunarunguan berat;
daya tangkap terhadap suara cakapan manusia tidak ada.
d. Kelompok IV: kehilangan 91-120 dB, profound hearing losses atau ketunarunguan
sangat berat; daya tangkap terhadap suara cakapan manusia tidak ada sama sekali.
e. Kelompok V: kehilangan lebih dari 120 dB, total hearing losses atau ketunarunguan
total; daya tangkap terhadap suara cakapan manusia tidak ada sama sekali.

Selanjutnya Uden (dalam Murni Winarsih, 2007:26) membagi klasifikasi


ketunarunguan menjadi tiga, yakni berdasar saat terjadinya ketunarunguan, berdasarkan
tempat kerusakan pada organ pendengarannya, dan berdasar pada taraf penguasaan bahasa.

1. Berdasarkan sifat terjadinya

a. Ketunarunguan bawaan, artinya ketika lahir anak sudah mengalami/menyandang


tunarungu dan indera pendengarannya sudah tidak berfungsi lagi.

b. Ketunarunguan setelah lahir, artinya terjadinya tunarungu setelah anak lahir diakibatkan
oleh kecelakaan atau suatu penyakit.

5
2. Berdasarkan tempat kerusakan

a. Kerusakan pada bagian telinga luar dan tengah, sehingga menghambat bunyi-bunyian
yang akan masuk ke dalam telinga disebut Tuli Konduktif.

b. Kerusakan pada telinga bagian dalam sehingga tidak dapat mendengar bunyi/suara,
disebut Tuli Sensoris.

3. Berdasarkan taraf penguasaan bahasa

a. Tuli pra bahasa (prelingually deaf) adalah mereka yang menjadi tuli sebelum dikuasainya
suatu bahasa (usia 1,6 tahun) artinya anak menyamakan tanda (signal) tertentu seperti
mengamati, menunjuk, meraih dan sebagainya namun belum membentuk system lambang.

b. Tuli purna bahasa (post lingually deaf) adalah mereka yang menjadi tuli setelah
menguasai bahasa, yaitu telah menerapkan dan memahami system lambang yang berlaku di
lingkungan. Klasifikasi dalam dunia pendidikan diperlukan untuk menentukan bagaimana
intervensi yang akan dilakukan lembaga terkait. Ada banyak jenis klasifikasi termasuk yang
sudah dipaparkan di atas. Klasifikasi di atas merupakan jenis klasifikasi yang membagi
tunarungu menjadi beberapa kelompok sesuai dengan kehilangan pendengarannya dan tempat
terjadi kerusakan. Klasifikasi memudahkan untuk menentukan dan memfokuskan subjek
dalam penelitian ini. Subjek dalam penelitian ini termasuk dalam klasifikasi ketunarunguan
bawaan, ketika lahir anak sudah mengalami ketunarunguan sehingga intervensi yang lambat
mempengaruhi kemampuan berbahasa anak tunarungu.

6
2.2. Pengembangan Berbahasa Anak Tunarungu.

Dalam mengembangkan kemampuan berbahasa pada anak tunarungu, kita perlu


memahami perolehan bahasa yang terjadi pada anak mendengar dan juga yang terjadi
pada anak tunarungu. Myklebust (1963; dalam Bunawan & Yuwati, 2000)
mengemukakan bahwa pemerolehan bahasa anak yang mendengar berawal dari adanya
pengalaman atau situasi bersama antara bayi dan ibunya atau orang lain yang berarti
dalam lingkungan terdekatnya. Melalui pengalaman tersebut, anak ‘belajar’
menghubungkan pengalaman dan lambang bahasa yang diperoleh melalui
pendengarannya. Proses ini merupakan dasar berkembangnya bahasa batini (inner
language). Setelah itu, anak mulai memahami hubungan antaralambang bahasa dengan benda
atau kejadian yang dialaminya sehingga terbentuklah bahasa reseptif anak. Dengan kata lain
anak memahami bicara lingkungannya (bahasa reseptif auditori). Setelah bahasa reseptif
auditori ‘agak’ terbentuk, anak mulai mengungkapkan diri melalui kata-kata sebagai
awal kemampuan bahasa ekspretif auditoria tau berbicara, meskipun pada dasarnya
perkembangan kea rah bicara muncul lebih dini lagi, yaitu dengan adanya masa meraban.
Kemampuan itu semua berkembang melalui pendengarannya (auditori). Setelah anak
memasuki usia sekolah, penglihatannya berperan dalam perkembangan bahasa melalui
kemampuan membaca (bahasa reseptif visual) dan menulis (bahasa ekspresif visual).

Berdasarkan proses pemerolehan bahasa pada anak mendengar, Myklebust (1963)


mengembangkan pola tersebut pada anak tunarungu. Iamenerapkan pencapaian perilaku
berbahasa yang telah dijelaskan diatas pada anak tunarungu. Berhubung pada masa itu
teknologi pendengaran belum berkembang, maka anak tunarungu dipandang tidak/kurang
memungkinkan memperoleh bahasa melalui visual atau taktil kinestetik, atau kombinasi
keduanya. Dengan demikian tersedia tiga alternative, yaitu: isyarat, membaca, dan
membaca ujaran. Myklebust menganggap media membaca ujaran merupakan pilihan
yang tepat disbanding isyarat dan membaca. Dengan kemajuan teknologi pendengaran
saat ini, maka sisa pendengarannya dapat dioptimalkan untuk menstimulasi anak
tunarungu dalam perolehan bahasa.

Apabila membaca ujaran menjadi dasar pengembangan bahasa batini anak


tunarungu, kita dapat melatih anak tunarungu untuk menghubungkan pengalaman yang
diperolehnya dengan gerak bibir dan mimik pembicara. Bagi anak kurang dengar yang

7
menggunakan alat bantu dengar, dapat menghubungkannya dengan lambang bunyi
bahasa (lambang auditori). Setelah itu, anak tunarungu mulai memahami hubungan antara
lambang bahasa (visual & auditori) dengan benda atau kejadian sehari-hari, sehingga
terbentuklah bahasa reseptif visual/auditori. Sama halnya seperti anak mendengar,
kemampuan bahasa ekspresif (bicara) baru dapat dikembangkan setelah memiliki
kemampuan bahasa reseptif. Selanjutnya anak tunarungu dapat mengembangkan
kemampuan bahasa reseptif visual (membaca) dan bahasa ekspresif visual (menulis).

Demikian perilaku bahasa verbal yang dapat terjadi pada anak tunarungu. Pada
umumnya, anak tunarungu memasuki sekolah tanpa/kurang memiliki kemampuan
berbahasa verbal, berbeda dengan anak mendengar yang memasuki sekolah setelah
memperoleh bahasa. Oleh karena itu, dalam pendidikan anak tunarungu, proses pemerolehan
bahasa anak tunarungu diberikan di sekolah melalui layanan khusus. Layanan
pemerolehan bahasa tersebut menekankan pada percakapan, seperti halnya percakapan
yang terjadi antara anak mendengar dengan ibunya/orang terdekatnya dalam pemerolehan
bahasa, dengan memperhatikan sensori yang dapat diberikan stimulasi. Percakapan
merupakan kunci perkembangan bahasa anak tunarungu (Hollingshead, 1982). Oleh
karena itu, tugas guru SLB/B adalah mengantarkan anak tunarungu dari masa prabahasa
menuju purnabahasa melalui percakapan dan bersifat alamiah.

Berkaitan dengan hal tersebut, Van Uden telah mengembangkan metode


pengembangan bahasa melalui percakapan, yang dikenal dengan Metode Maternal
Reflektif (MMR). Metode ini memiliki ciri bahwa percakapan itu terkait dengan
kegiatan melakukan sesuatu bersama antara ibu atau orang lain dengan anak (bersifat
alamiah), serta menerapkap metode tangkap dan peran ganda. Metode tangkap dan
peran ganda maksudnya adalah bahwa ibu atau orang lain menangkap ungkapan anak,
kemudian membahasakannya serta menanggapi ungkapan tersebut, sehingga tercipta
suatu percakapan.

8
2.3. Pengembangan kemampuan bicara Anak Tunarungu

Pengembangan kemampuan berbicara merupakan serangkaian upaya agar anak


memiliki pengetahuan, keterampilan, dan sikap untukmengekspresikan pikiran, gagasan, dan
perasaanya dengan cara berbicara. Nugroho (2004) mengemukakan bahwa layanan bina-
bicara memiliki tiga macam tujuan, yaitu:

1. Di bidang pengetahuan, agar anak memiliki pengetahuan tentang:


a) cara mengucapkan seluruh bunyi bahasa Indonesia
b) cara mengucapkankata, kelompok kata dan kalimat Bahasa Indonesia
c) mengevaluasi bicaranya sendiri, berdasarkan pengamatan visual, auditif, dan
kinestetik
d) mengendalikan alat ucapnya untuk peningkatan kualitas bicar
e) pemilihan kata dan kelompok kata yang tepat.

2. Di bidang keterampilan, agar anak terampil:


a) mengucapkan bunyi-bunyi bahasa Indonesia
b) mengucapkan kata, kelompok kata, dan kalimat bahasa Indonesia
c) mengevaluasi bicaranya sendiri berdasarkan pengamatan visual, auditif, dan
kinestetik
d) mengendalikan alat ucapnya demi perbaikan dan peningkatan mutu bicaranya;
e) menggunakan kata-kata, kelompok kata, dan kalimat sesuai dengan gagasan
dan tata bahasa yang baik dan benar.

3. Di bidang sikap, agar anak memiliki:


a) senang menggunakan cara bicara dalam mengadakan komunikasi dengan
orang lain
b) senang mengadakan evaluasi dan memperbaiki kesalahan-kesalahan serta
berusaha meningkatkan kemampuannya.

9
Tujuan akhir bina-bicara bagi anak tunarungu, adalah agar ia memiliki
pengetahuan, keterampilan, dan sikap dasar untuk:

a) berkomunikasi di masyarakat

b) bekerja dan beritegrasi dalam kehidupan masyarakat

c) berkembang sesuai dengan asas pendidikan seumur hidup.

Dalam pelaksanaanya, layanan bina bicara, meliputi:

Pertama, latihan prabicara: latihan keterarahwajahan, keterarahsuaraan, dan pelemasan

organ bicara.

Kedua, latihan pernafasan, misalnya meniup dengan hembusan, meniup dengan letupan,

menghirup serta menghembuskan nafas melalui hidung.

Ketiga, latihan pembentukan suara: menyadarkan anak untuk bersuara, merasakan

getaran, menirukan ucapan guru sambil merasakan getaran, melafalkan vokal bersuara,

serta meraban sambil mersakan getaran.

Keempat, pembentukan fonem.

Kelima, penggemblengan, pembetulan, serta penyadaran irama/aksen.

Keenam, pengembangan.

Lebih lanjut, Nugroho (2004) mengemukakanbahwa materi yang diajarkan dalam


layanan bina bicara, meliputi: meteri fonologik (fonem segmental dan suprasegmental);
materi morfologik (kata dasar, kata jadian, kata ulang dan kata majemuk); materi
sintaksis (kalimat berita, ajakan, perintah, larangan dan kalimat tanya); serta materi
sistematik.

10
Dalam pengembangan bicara anak tunarungu, ada beberapa metode yang
didasarkan pada beberapa hal, yaitu:

Pertama, berdasarkan cara menyajikan materi, metode yang dapat digunakan adalah:

a. Metode global berdiferensisasi.

Metode ini, disamping didasarkan pada cara menyajikan materi, juga didasarkan
pada perimbangan kebahasaan. Bahasa pertama-tama nampak dalam ujaran secara
totalitas. Oleh karena itu dalam mengajar atau melatih anak berbicara, dimulai dengan
ujaran secara utuh (global), baru kemudian menuju ke pembentukan fonem-fonem
sebagai satuan bahasa yang terkecil.

b. metode analisis sintetis.

Metode ini merupakan kebalikan dari metode global diferensiasi. Penyajian materi

dilakukan mulai dari satuan bahasa terkecil (fonem)menuju kata dan kalimat.

Kedua, berdasarkan modalitas yang dimiliki anak tunarungu, kita dapat menggunakan

metode:

a. Metode multisensori, yaitu menggunakan seluruh sensori untuk memperoleh kesan


bicara, seperti: penglihatan, pendengaran, perabaan (taktil), serta kinestetik.

b. Metode suara, yang saat ini lebih dikenal dengan metode auditori verbal, yaitu
metode pengajaran bicara yang lebih mengutamakan pada pemanfaatan sisa
pendengaran dengan menggunakan sistem amplifikasi pendengaran.

Ketiga, berdasarkan fonetika, metode yang dapat digunakan dalam pengajaran bicara,

adalah:

a. Metode yang bertitik tolak pada fonetik, yaitu didasarkan pada mudah sukarnya bunyi-
bunyi menurut ilmu fonetik, dan dianggap sama bagi semua anak. Bunyi bahasa yang
diajarkan dimulai dari deretan bunyi paling depan/muka di mulut, karena bunyi-bunyi

11
tersebut paling mudah dilihat dan ditiru, yaitu kelompok konsonan bilabial (p, b, m dan
w). Setelah konsonanbilabial dikuasai, dilanjutkan pada konsonan dental (l, r, t, d dan n),
kemudian konsonan velar (k,g dan ng), dan selanjutnya konsonan palatal (c, j, ny, y dan s).

b. Metode tangkap dan peran ganda, yaitu metode yang menuntut kepekaan guru
menangkap fonem yang diucapkan anak secara spontan, yang merupakan titik tolak
untuk dikembangkan kedalam kata, kelompok kata, dan kalimat. Metode ini didasarkan pada
fonem yang paling mudah bagi tiap-tiap anak (prinsip individualitas). Untuk keefektifan
pelaksaan pelatihan bicara anak tunarungu, dibutuhkan berbagai sarana dan prasarana,
antara lain:

a) Alat-alat stimulasi visual: cermin, gambar-gambar, kartu identifikasi, pias kata dan
sebagainya.

b) Alat-alat stimulasi auditoris: speech trainer, alat bantu dengar baik klasikal maupun
individual dan sebagainya.

c) Alat-alat untuk stimulasi vibrasi: vibrator dan sikat getar.

d) Alat-alat latihan pernafasan: lilin, kapas, minyak kayu putih, gelembung air sabun, peluit,
terompet, harmonika, saluran kayu dengan bola pingpong dan sebagainya.

e) Alat-alat untuk pelemasan organ bicara: permen bertangkai, madu dan sebagainya.
Layanan bina bicara dapat diberikan kepada anaktunarungu secara individual maupun
klasikal. Layanan secara individual diberikan di ruang khusus (ruang bina bicara),
denganlama latihan antara 20-25 menit setiap kali pertemuan.

Layanan bina bicara secara klasikal diadakan menjelang percakapan dari hati
kehati melalui latihan mendengar dan bicara secara terpadu. Disamping kedua pendekatan
tersebut, bina bicara dapat diberikan secara nonformal, yang artinya layanan bicara
berupa pembetulan ucapan yang salah (speech correction) diberikan kapan saja, demana
saja, kepada siapa saja dan oleh siapa saja.

12
2.4. Cara Berkomunikasi dengan penyandang Tunarungu

Tidak ada alasan untuk tidak berkomunikasi dengan penyandang tunarungu, apalagi jika
mereka adalah salah satu anggota keluarga kita dirumah. Anda dapat berkomunikasi dengan
penyandang tunarungu, seperti ini:

1. Cari perhatian.
Penting untuk mendapatkan perhatiannya jika kita berniat untuk berkomunikasi
dengannya. Sentuhlah dirinya secara perlahan-lahan untuk memberinya isyarat.
Tepukan ringan sebanyak dua kali di pundaknya sudah cukup untuk memperlihatkan
maksud kita.
2. Sejajarkan posisi wajah.
Saat akan mulai berkomunikasi, sejajarkan letak mata kita. Jika dia sedang duduk,
kita pun disarankan untuk berposisi duduk juga. Sama halnya jika dia sedang berdiri,
sesuaikan posisi kita. Pastikan kita tidak berada terlalu dekat dengannya agar dia
dapat melihat semua bahasa tubuh kita. Pastikan juga agar lokasi pembicaraan cukup
terang. Jika kita berada diluar, hindari membelakangi matahari agar tidak tertutup
bayangan dan lawan bicara kita tidak langsung menghadap matahari.
Kejelasan visual terhadap gerakan-gerakan kita adalah hat terpenting bagi dirinya
untuk bisa memberikan respons.
3. Kontak mata.
Selama berbicara dengan penyandang tunarungu, jangan lepaskan kontak mata dan
konsentrasi dari dirinya. Lepaskan media penghalang apa pun yang bisa mengganggu
jalinan komunikasi, seperti masker atau kacamata hitam. Tidak ada salahnya untuk
menggunakan ekspresi wajah agar orang tersebut lebih mudah memahami arah
pembicaraan.
4. Bicaralah dengan normal.
Hindari berbicara dengan cara berbisik atau mengeraskan suara karena dapat
menyulitkan orang tersebut dalam menbaca gerak bibir kita. Sebaliknya, berbicara
dengan suara normal akan lebih memudahkan dirinya. Hindari pula berbicara sambil
mengunyah atau menutupi mulut kita.

13
5. Pilih topik pembicaraan yang umum.
Perlu diketahui bahwa ketika kita berbicara, penyandang tunarungu yang mampu
menangkap pembicaraan melalui gerakan bibir hanya mampu memahami sekitar 35%
dari yang kita bicarakan. Selebihnya, mereka hanya menebak-nebak topik
pembicaraan yang sedang berlangsung. Oleh karena itu, penting untuk memilih topik
umum pembicaraan agar mereka mudah menangkap isinya. Kita boleh memberikan
jeda beberapa kali selama bercakap-cakap untuk memastikan bahwa orang itu tetap
memahami pembicaraan tersebut.
6. Gunakan gerakan isyarat.
Selama berbicara, kita dapat menggunakan gerakan isyarat, misalnya meniru gerakan
orang yang sedang makan, minum, berlari dan lain-lain. Pastikan kita melakukannya
tidak terlalu cepat. Berikan jeda beberapa saat sebelum melanjutkan ke gerakan
isyarat berikutnya.
7. Tetap bersikap sopan.
Jagalah sikap kita untuk tetap sopan selama berbicara dengan penyandang tunarungu.
Misalnya, jika tiba-tiba ponsel kita berdering, beri informasi yang jelas apabila kita
ingin menjawabnya. Pada kesempatan apa pun, jangan pernah menjadikan kondisi
tunarungu sebagai bahan candaan.

14

Anda mungkin juga menyukai