Anda di halaman 1dari 21

TUPOKSI Bhabinkamtibmas

Tugas Pokok dan Fungsi


Bhabinkamtibmas
Berdasarkan Keputusan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia
No.Pol.KEP/8/II/2009 tentang perubahan buku petunjuk lapangan Kapolri No.Pol.
:BUJUKLAP/17/VII/1997 tentang sebutan Babinkamtibmas (Bintara Pembina
Kamtibmas) menjadi Bhabinkamtibmas (Bhayangkara Pembina Kamtibmas) dari
Tingkat kepangkatan Brigadir sampai dengan Inspektur.
Sedangkan menurut Pasal 1 angka 4 Peraturan Kapolri Nomor 3 Tahun 2015
tentang Pemolisian Masyarakat bahwa yang dimaksud
dengan Bhabinkamtibmas adalah pengemban Polmas di desa/kelurahan.

Fungsi Bhabinkamtibmas (Pasal 26 Perkap No 3


Tahun 2015)
Bhabinkamtibmas memiliki fungsi sebagai berikut :

1. Melaksanakan kunjungan/sambang kepada masyarakat untuk :


mendengarkan keluhan warga masyarakat tentang permasalahan Kamtibmas dan
memberikan penjelasan serta penyelesaiannya, memelihara hubungan
silaturahmi/persaudaraan
2. Membimbing dan menyuluh di bidang hukum dan Kamtibmas untuk
meningkatkan kesadaran hukum dan Kamtibmas dengan menjunjung tinggi Hak
Asasi Manusia (HAM)
3. Menyebarluaskan informasi tentang kebijakan pimpinan Polri berkaitan
dengan Pemeliharaan Keamanan dan Ketertiban Masyarakat (Harkamtibmas)
4. Mendorong pelaksanaan siskamling dalam pengamanan lingkungan dan
kegiatan masyarakat
5. Memberikan pelayanan kepolisian kepada masyarakat yang memerlukan
6. Menggerakkan kegiatan masyarakat yang bersifat positif
7. Mengkoordinasikan upaya pembinaan Kamtibmas dengan perangkat
desa/kelurahan dan pihak-pihak terkait lainnya
8. Melaksanakan konsultasi , mediasi, negosiasi, fasilitasi, motivasi kepada
masyarakat dalam Harkamtibmas dan pemecahan masalah kejahatan dan sosial

Tugas Pokok Bhabinkamtibmas (Pasal 27 Perkap No


3 Tahun 2015)
Tugas pokok Bhabinkamtibmas adalah melakukan pembinaan masyarakat , deteksi
dini dan mediasi/ negosiasi agar tercipta kondisi yang kondusif di desa / kelurahan.
Dalam melaksanakan tugas pokoknya tersebut, Bhabinkamtibmas melakukan
kegiatan sebagai berikut :

1. Kunjungan dari rumah ke rumah pada seluruh wilayah penugasannya


2. Melakukan dan membantu pemecahan masalah
3. Melakukan pengaturan dan pengamanan kegiatan masyarakat
4. Menerima informasi tentang terjadinya tindak pidana
5. Memberikan perlindungan sementara kepada orang yang tersesat, korban
kejahatan dan pelanggaran
6. Ikut serta dalam memberikan bantuan kepada korban bencana alam dan
wabah penyakit
7. Memberikan bimbingan dan petunjuk kepada masyarakat atau komunitas
berkaitan dengan permasalahan Kamtibmas dan Pelayanan Polri

Wewenang Bhabinkamtibmas (Pasal 28 Perkap No 3


Tahun 2015)
Dalam melaksanakan kegiatan Polmas, Bhabinkamtibmas memiliki wewenang
sebagai berikut :

1. Menyelesaikan perselisihan warga masyarakat atau komunitas


2. Mengambil langkah-langkah yang diperlukan sebagai tindak lanjut
kesepakatan FKPM dalam memelihara keamanan lingkungan
3. Mendatangi tempat kejadian perkara (TKP) dan melakukan tindakan pertama
di tempat kejadian perkara (TPTKP)
4. Mengawasi aliran kepercayaan dalam masyarakat yang dapat menimbulkan
perpecahan atau mengancam persatuan dan kesatuan bangsa
Hukum di Indonesia merupakan campuran dari sistem hukum Eropa, hukum agama, dan
hukum adat. Sebagian besar sistem yang dianut, baik perdata maupun pidana berbasis pada
hukum Eropa, khususnya dari Belanda karena aspek sejarah masa lalu Indonesia yang
merupakan wilayah jajahan dengan sebutan Hindia Belanda (Nederlandsch-Indie). Hukum
agama karena sebagian besar masyarakat Indonesia menganut Islam, maka dominasi hukum
atau syariat Islam lebih banyak terutama di bidang perkawinan, kekeluargaan, dan warisan.
Selain itu, di Indonesia juga berlaku sistem hukum adat yang diserap dalam perundang-
undangan atau yurisprudensi,[1] yang merupakan penerusan dari aturan-aturan setempat dari
masyarakat dan budaya-budaya yang ada di wilayah Nusantara.

Daftar isi

Hukum perdata Indonesia[sunting | sunting sumber]


Wikisource memiliki
naskah sumber yang
berkaitan dengan artikel
ini:

The Civil Code

Salah satu bidang hukum yang mengatur hak dan kewajiban yang dimiliki pada subyek
hukum dan hubungan antara subyek hukum. Hukum perdata disebut pula hukum privat atau
hukum sipil sebagai lawan dari hukum publik. Jika hukum publik mengatur hal-hal yang berkaitan
dengan negara serta kepentingan umum (misalnya politik dan pemilu (hukum tata negara),
kegiatan pemerintahan sehari-hari (hukum administrasi atau tata usaha negara), kejahatan
(hukum pidana), maka hukum perdata mengatur hubungan antara penduduk atau warga
negara sehari-hari, seperti misalnya kedewasaan seseorang, perkawinan, perceraian, kematian,
pewarisan, harta benda, kegiatan usaha dan tindakan-tindakan yang bersifat perdata lainnya.
Hukum perdata di Indonesia didasarkan pada hukum perdata di Belanda, khususnya hukum
perdata Belanda pada masa penjajahan. Bahkan Kitab Undang-undang Hukum Perdata (dikenal
KUHPer.) yang berlaku di Indonesia tidak lain adalah terjemahan yang kurang tepat
dari Burgerlijk Wetboek (atau dikenal dengan BW) yang berlaku di kerajaan Belanda dan
diberlakukan di Indonesia (dan wilayah jajahan Belanda) berdasarkan asas konkordansi.
Untuk Indonesia yang saat itu masih bernama Hindia Belanda, BW diberlakukan mulai 1859.
Hukum perdata Belanda sendiri disadur dari hukum perdata yang berlaku di Prancis dengan
beberapa penyesuaian.
Kitab undang-undang hukum perdata (disingkat KUHPer) terdiri dari empat bagian yaitu:

 Buku I tentang Orang; mengatur tentang hukum perseorangan dan hukum keluarga,
yaitu hukum yang mengatur status serta hak dan kewajiban yang dimiliki oleh subyek
hukum. Antara lain ketentuan mengenai timbulnya hak keperdataan seseorang, kelahiran,
kedewasaan, perkawinan, keluarga, perceraian dan hilangnya hak keperdataan. Khusus
untuk bagian perkawinan, sebagian ketentuan-ketentuannya telah dinyatakan tidak berlaku
dengan disahkannya UU nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan.

 Buku II tentang Kebendaan; mengatur tentang hukum benda, yaitu hukum yang
mengatur hak dan kewajiban yang dimiliki subyek hukum yang berkaitan dengan benda,
antara lain hak-hak kebendaan, waris dan penjaminan. Yang dimaksud dengan benda
meliputi (i) benda berwujud yang tidak bergerak
(misalnya tanah, bangunan dan kapal dengan berat tertentu); (ii) benda berwujud yang
bergerak, yaitu benda berwujud lainnya selain yang dianggap sebagai benda berwujud tidak
bergerak; dan (iii) benda tidak berwujud (misalnya hak tagih atau piutang). Khusus untuk
bagian tanah, sebagian ketentuan-ketentuannya telah dinyatakan tidak berlaku dengan di
undangkannya UU nomor 5 tahun 1960 tentang agraria. Begitu pula bagian mengenai
penjaminan dengan hipotik, telah dinyatakan tidak berlaku dengan di undangkannya UU
tentang hak tanggungan.

 Buku III tentang Perikatan; mengatur tentang hukum perikatan (atau kadang disebut juga
perjanjian (walaupun istilah ini sesunguhnya mempunyai makna yang berbeda), yaitu hukum
yang mengatur tentang hak dan kewajiban antara subyek hukum di bidang perikatan, antara
lain tentang jenis-jenis perikatan (yang terdiri dari perikatan yang timbul dari
(ditetapkan) undang-undang dan perikatan yang timbul dari adanya perjanjian), syarat-syarat
dan tata cara pembuatan suatu perjanjian. Khusus untuk bidang perdagangan, Kitab
undang-undang hukum dagang (KUHD) juga dipakai sebagai acuan. Isi KUHD berkaitan erat
dengan KUHPer, khususnya Buku III. Bisa dikatakan KUHD adalah bagian khusus dari
KUHPer.

 Buku IV tentang Daluarsa dan Pembuktian; mengatur hak dan kewajiban subyek hukum
(khususnya batas atau tenggat waktu) dalam mempergunakan hak-haknya dalam hukum
perdata dan hal-hal yang berkaitan dengan pembuktian.
Sistematika yang ada pada KUHP tetap dipakai sebagai acuan oleh para ahli hukum dan masih
diajarkan pada fakultas-fakultas hukum di Indonesia.

Hukum pidana Indonesia[sunting | sunting sumber]


Hukum pidana merupakan bagian dari hukum publik. Hukum pidana terbagi menjadi dua bagian,
yaitu hukum pidana materiil dan hukum pidana formil. Hukum pidana materiil mengatur tentang
penentuan tindak pidana, pelaku tindak pidana, dan pidana (sanksi). Di Indonesia, pengaturan
hukum pidana materiil diatur dalam kitab undang-undang hukum pidana (KUHP). Hukum pidana
formil mengatur tentang pelaksanaan hukum pidana materiil. Di Indonesia, pengaturan hukum
pidana formil telah disahkan dengan UU nomor 8 tahun 1981 tentang hukum acara pidana
(KUHAP).

Hukum tata negara[sunting | sunting sumber]


Hukum tata negara adalah hukum yang mengatur tentang negara, yaitu antara lain dasar
pendirian, struktur kelembagaan, pembentukan lembaga-lembaga negara, hubungan hukum
(hak dan kewajiban) antar lembaga negara, wilayah dan warga negara. Hukum tata negara
mengatur mengenai negara dalam keadaan diam artinya bukan mengenai suatu keadaan nyata
dari suatu negara tertentu (sistem pemerintahan, sistem pemilu, dll dari negara tertentu) tetapi
lebih pada negara dalam arti luas. Hukum ini membicarakan negara dalam arti yang abstrak.

Hukum tata usaha (administrasi) negara[sunting | sunting


sumber]
Hukum tata usaha (administrasi) negara adalah hukum yang mengatur kegiatan administrasi
negara. Yaitu hukum yang mengatur tata pelaksanaan pemerintah dalam menjalankan tugasnya.
Hukum administarasi negara memiliki kemiripan dengan hukum tata negara.kesamaanya terletak
dalam hal kebijakan pemerintah,sedangkan dalam hal perbedaan hukum tata negara lebih
mengacu kepada fungsi konstitusi/hukum dasar yang digunakan oleh suatu negara dalam hal
pengaturan kebijakan pemerintah,untuk hukum administrasi negara di mana negara dalam
"keadaan yang bergerak". Hukum tata usaha negara juga sering disebut HTN dalam arti sempit.
Hukum acara perdata Indonesia[sunting | sunting sumber]
Hukum acara perdata Indonesia adalah hukum yang mengatur tentang tata cara beracara
(berperkara di badan peradilan) dalam lingkup hukum perdata. Dalam hukum acara perdata,
dapat dilihat dalam berbagai peraturan Belanda dulu(misalnya; Het Herziene Inlandsh
Reglement/HIR, RBG, RB,RO).

Hukum acara pidana Indonesia[sunting | sunting sumber]


Hukum acara pidana Indonesia adalah hukum yang mengatur tentang tata cara beracara
(berperkara di badan peradilan) dalam lingkup hukum pidana. Hukum acara pidana di Indonesia
diatur dalam UU nomor 8 tahun 1981.

Asas dalam hukum acara pidana[sunting | sunting sumber]


Asas di dalam hukum acara pidana di Indonesia adalah:

 Asas perintah tertulis, yaitu segala tindakan hukum hanya dapat dilakukan berdasarkan
perintah tertulis dari pejabat yang berwenang sesuai dengan UU.
 Asas peradilan cepat, sederhana, biaya ringan, jujur, dan tidak memihak, yaitu
serangkaian proses peradilan pidana (dari penyidikan sampai dengan putusan hakim)
dilakukan cepat, ringkas, jujur, dan adil (pasal 50 KUHAP).
 Asas memperoleh bantuan hukum, yaitu setiap orang punya kesempatan, bahkan wajib
memperoleh bantuan hukum guna pembelaan atas dirinya (pasal 54 KUHAP).
 Asas terbuka, yaitu pemeriksaan tindak pidana dilakukan secara terbuka untuk umum
(pasal 64 KUHAP).
 Asas pembuktian, yaitu tersangka/terdakwa tidak dibebani kewajiban pembuktian (pasal
66 KUHAP), kecuali diatur lain oleh UU.

Hukum antar tata hukum[sunting | sunting sumber]


Hukum antar tata hukum adalah hukum yang mengatur hubungan antara dua golongan atau
lebih yang tunduk pada ketentuan hukum yang berbeda.

Hukum adat di Indonesia[sunting | sunting sumber]


Artikel utama: Hukum Adat di Indonesia
Hukum adat adalah seperangkat norma dan aturan adat yang berlaku di suatu wilayah.

Hukum Islam di Indonesia[sunting | sunting sumber]


Lihat pula: Hukum kriminal Islam di Aceh
Hukum Islam di Indonesia belum bisa ditegakkan secara menyeluruh, karena belum adanya
dukungan yang penuh dari segenap lapisan masyarakat secara demokratis baik melalui pemilu
atau referendum maupun amendemen terhadap UUD 1945 secara tegas dan
konsisten. Aceh merupakan satu-satunya provinsi yang banyak menerapkan hukum Islam
melalui Pengadilan Agama, sesuai pasal 15 ayat 2 Undang-Undang RI No. 4 Tahun 2004
Tentang Kekuasaan Kehakiman yaitu: Peradilan Syariah Islam di Provinsi Nanggroe Aceh
Darrussalam merupakan pengadilan khusus dalam lingkungan peradilan agama sepanjang
kewenangannya menyangkut kewenangan peradilan agama, dan merupakan pengadilan khusus
dalam lingkungan peradilan umum sepanjang kewenangannya menyangkut kewenangan
peradilan umum.

Istilah hukum[sunting | sunting sumber]


Advokat[sunting | sunting sumber]
Sejak berlakunya UU nomor 18 tahun 2003 tentang advokat, sebutan bagi seseorang yang
berprofesi memberikan bantuan hukum secara swasta - yang semula terdiri dari berbagai
sebutan, seperti advokat, pengacara, konsultan hukum, penasihat hukum - adalah advokat.

Advokat dan pengacara[sunting | sunting sumber]


Kedua istilah ini sebenarnya bermakna sama, walaupun ada beberapa pendapat yang
menyatakan berbeda. Sebelum berlakunya UU nomor 18 tahun 2003, istilah untuk pembela
keadilan plat hitam ini sangat beragam, mulai dari istilah pengacara, penasihat hukum, konsultan
hukum, advokat dan lainnya.
Pengacara sesuai dengan kata-kata secara harfiah dapat diartikan sebagai orang yang
beracara, yang berarti individu, baik yang tergabung dalam suatu kantor secara bersama-sama
atau secara individual yang menjalankan profesi sebagai penegak hukum plat hitam
di pengadilan.
Sementara advokat dapat bergerak dalam pengadilan, maupun bertindak sebagai konsultan
dalam masalah hukum, baik pidana maupun perdata. Sejak diundangkannya UU nomor 18
tahun 2003, maka istilah-istilah tersebut distandarisasi menjadi advokat saja.
Dahulu yang membedakan keduanya yaitu:

1. Advokat adalah seseorang yang memegang izin ber"acara" di Pengadilan berdasarkan


Surat Keputusan Menteri Kehakiman serta mempunyai wilayah untuk "beracara" di
seluruh wilayah Republik Indonesia.
2. Pengacara Praktik adalah seseorang yang memegang izin praktik / beracara
berdasarkan Surat Keputusan Pengadilan Tinggi setempat di mana wilayah beracaranya
adalah "hanya" diwilayah Pengadilan Tinggi yang mengeluarkan izin praktik tersebut.
Setelah UU No. 18 th 2003 berlaku maka yang berwenang untuk mengangkat seseorang
menjadi Advokat adalah Organisasi Advokat.(Pengacara dan Pengacara Praktik/pokrol dst
setelah UU No. 18 tahun 2003 dihapus)

Konsultan hukum[sunting | sunting sumber]


Konsultan hukum atau dalam bahasa Inggris counselor at law atau legal consultant adalah orang
yang berprofesi memberikan pelayanan jasa hukum dalam bentuk konsultasi, dalam sistem
hukum yang berlaku di negara masing-masing. Untuk di Indonesia, sejak UU nomor 18 tahun
2003 berlaku, semua istilah mengenai konsultan hukum, pengacara, penasihat hukum dan
lainnya yang berada dalam ruang lingkup pemberian jasa hukum telah distandarisasi menjadi
advokat.

Jaksa dan polisi[sunting | sunting sumber]


Dua institusi publik yang berperan aktif dalam menegakkan hukum publik di Indonesia
adalah kejaksaan dan kepolisian. Kepolisian atau polisi berperan untuk menerima, menyelidiki,
menyidik suatu tindak pidana yang terjadi dalam ruang lingkup wilayahnya.
Apabila ditemukan unsur-unsur tindak pidana, baik khusus maupun umum, atau tertentu, maka
pelaku (tersangka) akan diminta keterangan, dan apabila perlu akan ditahan. Dalam masa
penahanan, tersangka akan diminta keterangannya mengenai tindak pidana yang diduga terjadi.
Selain tersangka, maka polisi juga memeriksa saksi-saksi dan alat bukti yang berhubungan erat
dengan tindak pidana yang disangkakan. Keterangan tersebut terhimpun dalam berita acara
pemeriksaan (BAP) yang apabila dinyatakan P21 atau lengkap, akan dikirimkan ke kejaksaan
untuk dipersiapkan masa persidangannya di pengadilan.
Kejaksaan akan menjalankan fungsi pengecekan BAP dan analisis bukti-bukti serta saksi untuk
diajukan ke pengadilan. Apabila kejaksaan berpendapat bahwa bukti atau saksi kurang
mendukung, maka kejaksaan akan mengembalikan berkas tersebut ke kepolisian, untuk
dilengkapi. Setelah lengkap, maka kejaksaan akan melakukan proses penuntutan perkara. Pada
tahap ini, pelaku (tersangka) telah berubah statusnya menjadi terdakwa, yang akan disidang
dalam pengadilan. Apabila telah dijatuhkan putusan, maka status terdakwa berubah menjadi
terpidana.
Kepolisian

Kepolisian Negara Republik Indonesia (disingkat Polri) adalah Kepolisian Nasional


di Indonesia, yang bertanggung jawab langsung di bawah Presiden. Polri mempunyai
moto Rastra Sewakotama yang artinya Abdi Utama bagi Nusa Bangsa. Polri mengemban tugas-
tugas kepolisian di seluruh wilayah Indonesia yaitu memelihara keamanan dan ketertiban
masyarakat; menegakkan hukum; dan memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan
kepada masyarakat. Polri dipimpin oleh seorang Kepala Kepolisian Negara Republik
Indonesia (Kapolri). Sejak tanggal 1 November 2019, jabatan Kapolri dipegang oleh Jenderal
Pol. Idham Azis.

Daftar isi

Arti lambang[sunting | sunting sumber]


Lambang dan motto Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) berbunyi Rastra
Sewakottama ("राष्ट्र सेवकोत्तम"), yang merupakan dari bahasa Sansekerta yang berarti "Pelayan
utama Bangsa". Dalam bahasa Sansekerta, Rastra ("राष्ट्र") berarti "bangsa" atau "rakyat",
 dan sevakottama ("सेवकोत्तम") berarti "pelayan terbaik", [4] maka disimpulkan bahwa Rastra
[3]

Sewakottama berarti "pelayan terbaik bangsa/rakyat", dan dipahami sebagai "Polri sebagai


pelayan dan abdi utama negara dan bangsa". Sebutan itu adalah Brata pertama dari Tri Brata
yang diikrarkan sebagai pedoman hidup Polri sejak 1 Juli 1954. [5]

Sejarah[sunting | sunting sumber]
Sebelum kemerdekaan Indonesia[sunting | sunting sumber]
Masa kolonial Belanda[sunting | sunting sumber]
Veldpolitie di Malang (sekitar 1930)

Pada zaman Kerajaan Majapahit patih Gajah Mada membentuk pasukan pengamanan yang


disebut dengan Bhayangkara yang bertugas melindungi raja dan kerajaan.[6]
Pada masa kolonial Belanda, pembentukan pasukan keamanan diawali oleh pembentukan
pasukan-pasukan jaga yang diambil dari orang-orang pribumi untuk menjaga aset dan kekayaan
orang-orang Eropa di Hindia Belanda pada waktu itu. Pada tahun 1867 sejumlah
warga Eropa di Semarang, merekrut 78 orang pribumi untuk menjaga keamanan mereka. [7]
Wewenang operasional kepolisian ada pada residen yang dibantu asisten residen. Rechts politie
dipertanggungjawabkan pada procureur general (jaksa agung). Pada masa Hindia Belanda
terdapat bermacam-macam bentuk kepolisian, seperti veld politie (polisi lapangan), stads
politie (polisi kota), cultur politie (polisi pertanian), bestuurs politie (polisi pamong praja), dan lain-
lain.
Sejalan dengan administrasi negara waktu itu, pada kepolisian juga diterapkan pembedaan
jabatan bagi bangsa Belanda dan pribumi. Pada dasarnya pribumi tidak diperkenankan
menjabat hoofd agent (bintara), inspecteur van politie, dan commisaris van politie. Untuk pribumi
selama menjadi agen polisi diciptakan jabatan seperti mantri polisi, asisten wedana, dan wedana
polisi.
Kepolisian modern Hindia Belanda yang dibentuk antara tahun 1897-1920 adalah merupakan
cikal bakal dari terbentuknya Kepolisian Negara Republik Indonesia saat ini. [8]
Pada akhir tahun 1920-an atau permulaan tahun 1930 pendidikan dan jabatan hoofd
agent, inspecteur, dan commisaris van politie dibuka untuk putra-putra pejabat Hindia
Belanda dari kalangan pribumi.
Masa pendudukan Jepang[sunting | sunting sumber]
Pada masa ini Jepang membagi wilayah kepolisian Indonesia menjadi
Kepolisian Jawa dan Madura yang berpusat di Jakarta, Kepolisian Sumatra yang berpusat
di Bukittinggi, Kepolisian wilayah Indonesia Timur berpusat di Makassar dan
Kepolisian Kalimantan yang berpusat di Banjarmasin.[6]
Tiap-tiap kantor polisi di daerah meskipun dikepalai oleh seorang pejabat kepolisian bangsa
Indonesia, tetapi selalu didampingi oleh pejabat Jepang yang disebut sidookaan yang dalam
praktik lebih berkuasa dari kepala polisi.

Awal kemerdekaan Indonesia[sunting | sunting sumber]


Periode 1945-1950[sunting | sunting sumber]
Tidak lama setelah Jepang menyerah tanpa syarat kepada Sekutu, pemerintah militer Jepang
membubarkan Peta dan Gyu-Gun, sedangkan polisi tetap bertugas, termasuk waktu Soekarno-
Hatta memproklamasikan kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945. Secara resmi
kepolisian menjadi kepolisian Indonesia yang merdeka.
Inspektur Kelas I (Letnan Satu) Polisi Mochammad Jassin, Komandan Polisi di Surabaya, pada
tanggal 21 Agustus 1945 memproklamasikan Pasukan Polisi Republik Indonesia sebagai
langkah awal yang dilakukan selain mengadakan pembersihan dan pelucutan senjata terhadap
tentara Jepang yang kalah perang, juga membangkitkan semangat moral dan patriotik seluruh
rakyat maupun satuan-satuan bersenjata yang sedang dilanda depresi dan kekalahan perang
yang panjang.[9] Sebelumnya pada tanggal 19 Agustus 1945 dibentuk Badan Kepolisian Negara
(BKN) oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Pada tanggal 29 September 1945
Presiden Soekarno melantik R.S. Soekanto Tjokrodiatmodjo menjadi Kepala Kepolisian Negara
(KKN).[10]
Pada awalnya kepolisian berada dalam lingkungan Kementerian Dalam Negeri dengan nama
Djawatan Kepolisian Negara yang hanya bertanggung jawab masalah administrasi, sedangkan
masalah operasional bertanggung jawab kepada Jaksa Agung.[11]
Kemudian mulai tanggal 1 Juli 1946 dengan Penetapan Pemerintah tahun 1946 No. 11/S.D.
Djawatan Kepolisian Negara yang bertanggung jawab langsung kepada Perdana Menteri.
[12]
 Tanggal 1 Juli inilah yang setiap tahun diperingati sebagai Hari Bhayangkara hingga saat ini.
Sebagai bangsa dan negara yang berjuang mempertahankan kemerdekaan maka Polri di
samping bertugas sebagai penegak hukum juga ikut bertempur di seluruh wilayah RI. Polri
menyatakan dirinya “combatant” yang tidak tunduk pada Konvensi Jenewa. Polisi Istimewa
diganti menjadi Mobile Brigade, sebagai kesatuan khusus untuk perjuangan bersenjata, seperti
dikenal dalam pertempuran 10 November di Surabaya, di front Sumatra Utara, Sumatra Barat,
penumpasan pemberontakan PKI di Madiun, dan lain-lain.
Pada masa kabinet presidential, pada tanggal 4 Februari 1948 dikeluarkan Tap Pemerintah No.
1/1948 yang menetapkan bahwa Polri dipimpin langsung oleh presiden/wakil presiden dalam
kedudukan sebagai perdana menteri/wakil perdana menteri.
Pada masa revolusi fisik, Kapolri Jenderal Polisi R.S. Soekanto telah mulai menata organisasi
kepolisian di seluruh wilayah RI. Pada Pemerintahan Darurat RI (PDRI) yang diketuai Mr.
Sjafrudin Prawiranegara berkedudukan di Sumatra Tengah, Jawatan Kepolisian dipimpin KBP
Umar Said (tanggal 22 Desember 1948). [13]
Hasil Konferensi Meja Bundar antara Indonesia dan Belanda dibentuk Republik Indonesia
Serikat (RIS), maka R.S. Sukanto diangkat sebagai Kepala Jawatan Kepolisian Negara RIS dan
R. Sumanto diangkat sebagai Kepala Kepolisian Negara RI berkedudukan di Yogyakarta.
Dengan Keppres RIS No. 22 tahun 1950 dinyatakan bahwa Jawatan Kepolisian RIS dalam
kebijaksanaan politik polisional berada di bawah perdana menteri dengan perantaraan jaksa
agung, sedangkan dalam hal administrasi pembinaan, dipertanggungjawabkan pada menteri
dalam negeri.
Umur RIS hanya beberapa bulan. Sebelum dibentuk Negara Kesatuan RI pada tanggal 17
Agustus 1950, pada tanggal 7 Juni 1950 dengan Tap Presiden RIS No. 150, organisasi-
organisasi kepolisian negara-negara bagian disatukan dalam Jawatan Kepolisian Indonesia.
Dalam peleburan tersebut disadari adanya kepolisian negara yang dipimpin secara sentral, baik
di bidang kebijaksanaan siasat kepolisian maupun administratif, organisatoris.
Periode 1950-1959[sunting | sunting sumber]
Dengan dibentuknya negara kesatuan pada 17 Agustus 1950 dan diberlakukannya UUDS 1950
yang menganut sistem parlementer, Kepala Kepolisian Negara tetap dijabat R.S. Soekanto yang
bertanggung jawab kepada perdana menteri/presiden.
Waktu kedudukan Polri kembali ke Jakarta, karena belum ada kantor, digunakan bekas kantor
Hoofd van de Dienst der Algemene Politie di Gedung Departemen Dalam Negeri. Kemudian R.S.
Soekanto merencanakan kantor sendiri di Jalan Trunojoyo 3, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan,
dengan sebutan Markas Besar Djawatan Kepolisian Negara RI (DKN) yang menjadi Markas
Besar Kepolisian sampai sekarang. Ketika itu menjadi gedung perkantoran termegah setelah
Istana Negara.
Sampai periode ini kepolisian berstatus tersendiri antara sipil dan militer yang memiliki organisasi
dan peraturan gaji tersendiri. Anggota Polri terorganisir dalam Persatuan Pegawai Polisi
Republik Indonesia (P3RI) tidak ikut dalam Korpri, sedangkan bagi istri polisi semenjak zaman
revolusi sudah membentuk organisasi yang sampai sekarang dikenal dengan nama Bhayangkari
tidak ikut dalam Dharma Wanita ataupun Dharma Pertiwi. Organisasi P3RI dan Bhayangkari ini
memiliki ketua dan pengurus secara demokratis dan pernah ikut Pemilu 1955 yang
memenangkan kursi di Konstituante dan Parlemen. Waktu itu semua gaji pegawai negeri berada
di bawah gaji angkatan perang, namun P3RI memperjuangkan perbaikan gaji dan berhasil
melahirkan Peraturan Gaji Polisi (PGPOL) di mana gaji Polri relatif lebih baik dibanding dengan
gaji pegawai negeri lainnya (mengacu standar PBB).

Masa Orde Lama[sunting | sunting sumber]


Dengan Dekret Presiden 5 Juli 1959, setelah kegagalan Konstituante, Indonesia kembali ke UUD
1945, namun dalam pelaksanaannya kemudian banyak menyimpang dari UUD 1945. Jabatan
Perdana Menteri (Alm. Ir. Juanda) diganti dengan sebutan Menteri Pertama, Polri masih tetap di
bawah pada Menteri Pertama sampai keluarnya Keppres No. 153/1959, tertanggal 10 Juli di
mana Kepala Kepolisian Negara diberi kedudukan Menteri Negara ex-officio.
Pada tanggal 13 Juli 1959 dengan Keppres No. 154/1959 Kapolri juga menjabat sebagai Menteri
Muda Kepolisian dan Menteri Muda Veteran. Pada tanggal 26 Agustus 1959 dengan Surat
Edaran Menteri Pertama No. 1/MP/RI1959, ditetapkan sebutan Kepala Kepolisian Negara diubah
menjadi Menteri Muda Kepolisian yang memimpin Departemen Kepolisian (sebagai ganti dari
Djawatan Kepolisian Negara).
Waktu Presiden Soekarno menyatakan akan membentuk ABRI yang terdiri dari Angkatan
Perang dan Angkatan Kepolisian, R.S. Soekanto menyampaikan keberatannya dengan alasan
untuk menjaga profesionalisme kepolisian. Pada tanggal 15 Desember 1959 R.S. Soekanto
mengundurkan diri setelah menjabat Kapolri/Menteri Muda Kepolisian, sehingga berakhirlah
karier Bapak Kepolisian RI tersebut sejak 29 September 1945 hingga 15 Desember 1959.
Berdasarkan Keppres No. 21/1960 sebutan Menteri Muda Kepolisian ditiadakan dan selanjutnya
disebut Menteri Kepolisian Negara bersama Angkatan Perang lainnya dan dimasukkan dalam
bidang keamanan nasional.
Tanggal 19 Juni 1961, DPR-GR mengesahkan UU Pokok kepolisian No. 13/1961. Dalam UU ini
dinyatakan bahwa kedudukan Polri sebagai salah satu unsur ABRI yang sama sederajat dengan
TNI AD, AL, dan AU.
Dengan Keppres No. 94/1962, Menteri Kapolri, Menteri/KASAD, Menteri/KASAL, Menteri/KSAU,
Menteri/Jaksa Agung, Menteri Urusan Veteran dikoordinasikan oleh Wakil Menteri Pertama
bidang pertahanan keamanan. Dengan Keppres No. 134/1962 menteri diganti menjadi
Menteri/Kepala Staf Angkatan Kepolisian (Menkasak).
Kemudian Sebutan Menkasak diganti lagi menjadi Menteri/Panglima Angkatan Kepolisian
(Menpangak) dan langsung bertanggung jawab kepada presiden sebagai kepala pemerintahan
negara. Dengan Keppres No. 290/1964 kedudukan, tugas, dan tanggung jawab Polri ditentukan
sebagai berikut:

1. Alat Negara Penegak Hukum.


2. Koordinator Polsus.
3. Ikut serta dalam pertahanan.
4. Pembinaan Kamtibmas.
5. Kekaryaan.
6. Sebagai alat revolusi.
Berdasarkan Keppres No. 155/1965 tanggal 6 Juli 1965, pendidikan AKABRI disamakan bagi
Angkatan Perang dan Polri selama satu tahun di Magelang. Sementara pada tahun 1964 dan
1965, pengaruh PKI bertambah besar karena politik NASAKOM Presiden Soekarno, dan PKI
mulai menyusupi memengaruhi sebagian anggota ABRI dari keempat angkatan.

Masa Orde Baru[sunting | sunting sumber]


Karena pengalaman yang pahit dari peristiwa G30S/PKI yang mencerminkan tidak adanya
integrasi antar unsur-unsur ABRI, maka untuk meningkatkan integrasi ABRI, tahun 1967 dengan
SK Presiden No. 132/1967 tanggal 24 Agustus 1967 ditetapkan Pokok-Pokok Organisasi dan
Prosedur Bidang Pertahanan dan Keamanan yang menyatakan ABRI merupakan bagian dari
organisasi Departemen Hankam meliputi AD, AL, AU, dan AK yang masing-masing dipimpin oleh
Panglima Angkatan dan bertanggung jawab atas pelaksanaan tugas dan kewajibannya kepada
Menhankam/Pangab. Jenderal Soeharto sebagai Menhankam/Pangab yang pertama.
Setelah Soeharto dipilih sebagai presiden pada tahun 1968, jabatan Menhankam/Pangab
berpindah kepada Jenderal M. Panggabean. Kemudian ternyata betapa ketatnya integrasi ini
yang dampaknya sangat menyulitkan perkembangan Polri yang secara universal memang bukan
angkatan perang.
Pada tahun 1969 dengan Keppres No. 52/1969 sebutan Panglima Angkatan Kepolisian diganti
kembali sesuai UU No. 13/1961 menjadi Kepala Kepolisian Negara RI, namun singkatannya
tidak lagi KKN tetapi Kapolri. Pergantian sebutan ini diresmikan pada tanggal 1 Juli 1969.
Pada HUT ABRI tanggal 5 Oktober 1969 sebutan Panglima AD, AL, dan AU diganti menjadi
Kepala Staf Angkatan.

Masa Reformasi[sunting | sunting sumber]


Sejak bergulirnya reformasi pemerintahan 1998, terjadi banyak perubahan yang cukup besar,
ditandai dengan jatuhnya pemerintahan orde baru yang kemudian digantikan oleh pemerintahan
reformasi di bawah pimpinan presiden B.J Habibie di tengah maraknya berbagai tuntutan
masyarakat dalam penuntasan reformasi, muncul pada tuntutan agar Polri dipisahkan dari ABRI
dengan harapan Polri menjadi lembaga yang profesional dan mandiri, jauh dari intervensi pihak
lain dalam penegakan hukum.
Sejak 5 Oktober 1998, muncul perdebatan di sekitar presiden yang menginginkan pemisahan
Polri dan ABRI dalam tubuh Polri sendiri sudah banyak bermunculan aspirasi-aspirasi yang
serupa. Isyarat tersebut kemudian direalisasikan oleh Presiden B.J Habibie melalui instruksi
Presiden No.2 tahun 1999 yang menyatakan bahwa Polri dipisahkan dari ABRI.
Upacara pemisahan Polri dari ABRI dilakukan pada tanggal 1 april 1999 di lapangan upacara
Mabes ABRI di Cilangkap, Jakarta Timur. Upacara pemisahan tersebut ditandai dengan
penyerahan Panji Tribata Polri dari Kepala Staf Umum ABRI Letjen TNI Sugiono kepada
Sekjen Dephankam Letjen TNI Fachrul Razi kemudian diberikan kepada Kapolri Jenderal Pol
(Purn.) Roesmanhadi.
Maka sejak tanggal 1 April, Polri ditempatkan di bawah Dephankam. Setahun kemudian,
keluarlah TAP MPR No. VI/2000 serta Ketetapan MPR nomor VII/MPR/2000 tentang Peran TNI
dan peran POLRI, kemandirian Polri berada di bawah Presiden secara langsung dan segera
melakukan reformasi birokrasi menuju Polisi yang mandiri, bermanfaat dan professional.
[14]
 Pemisahan ini pun dikuatkan melalui amendemen Undang-Undang Dasar 1945 ke-2 yang
dimana Polri bertanggungjawab dalam keamanan dan ketertiban sedangkan TNI
bertanggungjawab dalam bidang pertahanan. Pada tanggal 8 Januari 2002, diundangkanlah UU
no. 2 tahun 2002 mengenai Kepolisian Republik Indonesia oleh Presiden Megawati
Soekarnoputri.
Isi dari Undang Undang tersebut selain pemisahan tersebut, Kapolri bertanggungjawab langsung
pada Presiden dibanding sebelumnya di bawah Panglima ABRI, pengangkatan Kapolri yang
harus disetujui Dewan Perwakilan Rakyat, dibentuknya Komisi Kepolisian Nasional untuk
membantu Presiden membuat kebijakan dan memilih Kapolri. Kemudian Polri dilarang terlibat
dalam politik praktis serta dihilangkan hak pilih dan dipilih, harus tunduk dalam peradilan umum
dari sebelumnya melalui peradilan militer. Internal kepolisian sendiri pun memulai reformasi
internal dengan dilakukan demiliterisasi Kepolisian dengan menghilangkan corak militer dari
Polri, perubahan paradigma angkatan perang menjadi institusi sipil penegak hukum profesional,
penerapan paradigma Hak Asasi Manusia, penarikan Fraksi ABRI (termasuk Polri) dari DPR,
perubahan doktrin, pelatihan dan tanda kepangkatan Polri yang sebelumnya sama dengan TNI,
dan lainnya. Reorganisasi Polri pasca reformasi diatur dalam Perpres no. 52 tahun 2010 tentang
Susunan Organisasi dan Tata Kerja Kepolisian Republik Indonesia.
Selain Kepolisian, pada masa Reformasi juga banyak dibentuk lembaga baru yang bertugas
untuk penegakan hukum dan pembuatan kebijakan keamanan seperti Komisi Pemberantasan
Korupsi (2002), Badan Narkotika Nasional (2009), Badan Nasional Penanggulangan
Terorisme (2010), Badan Keamanan Laut (2014). Perwira aktif Polri dapat menjabat dalam
lembaga ini, baik menjadi penyidik, pejabat struktural sampai pimpinan. Lembaga-lembaga ini
nantinya berkoordinasi dengan Polri sesuai tugas dan tanggungjawabnya.
Selain dari paradigma dan organisasi, sampai saat ini polisi pun berbenah perlahan-lahan
mendisiplinkan dan meningkatkan integritas anggotanya. Mengingat pada masa reformasi tidak
sedikit anggota Kepolisian yang terungkap ke publik melanggar kode etik profesi bahkan terjerat
hukum seperti korupsi, suap, rekening gendut, narkoba, dll. Selain kasus hukum, saling serang
antara anggota Polri dan TNI dilapangan dan ketegangan antar lembaga penegak hukum masih
mewarnai perjalanan reformasi Kepolisan.

Tugas dan Wewenang[sunting | sunting sumber]


Polisi melakukan patroli jalan kaki untuk mengamankan situasi masyarakat umum

Tugas pokok Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah:

1. memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat;


2. menegakkan hukum; dan
3. memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.
Dalam melaksanakan tugas pokok sebagaimana dimaksud, Kepolisian Negara Republik
Indonesia bertugas:

1. melaksanakan pengaturan, penjagaan, pengawalan, dan patroli terhadap kegiatan


masyarakat dan pemerintah sesuai kebutuhan;
2. menyelenggarakan segala kegiatan dalam menjamin keamanan, ketertiban, dan
kelancaran lalu lintas di jalan;
3. membina masyarakat untuk meningkatkan partisipasi masyarakat, kesadaran hukum
masyarakat serta ketaatan warga masyarakat terhadap hukum dan peraturan
perundang-undangan;
4. turut serta dalam pembinaan hukum nasional;
5. memelihara ketertiban dan menjamin keamanan umum;
6. melakukan koordinasi, pengawasan, dan pembinaan teknis terhadap kepolisian khusus,
penyidik pegawai negeri sipil, dan bentuk-bentuk pengamanan swakarsa;
7. melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana sesuai dengan
hukum acara pidana dan peraturan perundang-undangan lainnya;
8. menyelenggarakan identifikasi kepolisian, kedokteran kepolisian, laboratorium forensik
dan psikologi kepolisian untuk kepentingan tugas kepolisian;
9. melindungi keselamatan jiwa raga, harta benda, masyarakat, dan lingkungan hidup dari
gangguan ketertiban dan/atau bencana termasuk memberikan bantuan dan pertolongan
dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia;
10. melayani kepentingan warga masyarakat untuk sementara sebelum ditangani oleh
instansi dan/atau pihak yang berwenang;
11. memberikan pelayanan kepada masyarakat sesuai dengan kepentingannya dalam
lingkup tugas kepolisian; serta
12. melaksanakan tugas lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Dalam rangka menyelenggarakan tugas sebagaimana dimaksud Kepolisian Negara Republik
Indonesia secara umum berwenang:

1. menerima laporan dan/atau pengaduan;


2. membantu menyelesaikan perselisihan warga masyarakat yang dapat mengganggu
ketertiban umum;
3. mencegah dan menanggulangi tumbuhnya penyakit masyarakat;
4. mengawasi aliran yang dapat menimbulkan perpecahan atau mengancam persatuan dan
kesatuan bangsa;
5. mengeluarkan peraturan kepolisian dalam lingkup kewenangan administratif kepolisian;
6. melaksanakan pemeriksaan khusus sebagai bagian dari tindakan kepolisian dalam
rangka pencegahan;
7. melakukan tindakan pertama di tempat kejadian;
8. mengambil sidik jari dan identitas lainnya serta memotret seseorang;
9. mencari keterangan dan barang bukti;
10. menyelenggarakan Pusat Informasi Kriminal Nasional;
11. mengeluarkan surat izin dan/atau surat keterangan yang diperlukan dalam rangka
pelayanan masyarakat;
12. memberikan bantuan pengamanan dalam sidang dan pelaksanaan putusan pengadilan,
kegiatan instansi lain, serta kegiatan masyarakat;
13. menerima dan menyimpan barang temuan untuk sementara waktu.
Kepolisian Negara Republik Indonesia sesuai dengan peraturan perundang-undangan lainnya
berwenang:

1. memberikan izin dan mengawasi kegiatan keramaian umum dan kegiatan masyarakat
lainnya;
2. menyelenggarakan registrasi dan identifikasi kendaraan bermotor;
3. memberikan surat izin mengemudi kendaraan bermotor;
4. menerima pemberitahuan tentang kegiatan politik;
5. memberikan izin dan melakukan pengawasan senjata api, bahan peledak, dan senjata
tajam;
6. memberikan izin operasional dan melakukan pengawasan terhadap badan usaha di
bidang jasa pengamanan;
7. memberikan petunjuk, mendidik, dan melatih aparat kepolisian khusus dan petugas
pengamanan swakarsa dalam bidang teknis kepolisian;
8. melakukan kerja sama dengan kepolisian negara lain dalam menyidik dan memberantas
kejahatan internasional;
9. melakukan pengawasan fungsional kepolisian terhadap orang asing yang berada di
wilayah Indonesia dengan koordinasi instansi terkait;
10. mewakili pemerintah Republik Indonesia dalam organisasi kepolisian internasional;
11. melaksanakan kewenangan lain yang termasuk dalam lingkup tugas kepolisian.

Organisasi[sunting | sunting sumber]
Organisasi Polri disusun secara berjenjang dari tingkat pusat sampai ke kewilayahan. Organisasi
Polri tingkat pusat disebut Markas Besar Kepolisian Negara Republik Indonesia (Mabes Polri);
sedang organisasi Polri tingkat kewilayahan disebut Kepolisian Negara Republik Indonesia
Daerah (Polda) di tingkat provinsi, Kepolisian Negara Republik Indonesia Resort (Polres) di
tingkat kabupaten/kota, dan Kepolisian Negara Republik Indonesia Sektor (Polsek) di wilayah
kecamatan.

Mabes[sunting | sunting sumber]
Logo emblem Mabes Polri

Unsur Pimpinan[sunting | sunting sumber]


Artikel utama: Daftar Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia

Unsur pimpinan Mabes Polri adalah Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia (Kapolri).
Kapolri adalah Pimpinan Polri yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden.
Kapolri berpangkat Jenderal Polisi, Sejak 1 November 2019, Jenderal Pol Idham Azis resmi
menjadi Kapolri baru menggantikan Jenderal Pol Tito Karnavian. Kapolri dibantu oleh seorang
Wakil Kepala Polri berpangkat Komisaris Jenderal Polisi. Wakapolri saat ini dijabat oleh Komjen
Pol Ari Dono Sukmanto
Unsur Pengawas dan Pembantu Pimpinan/Pelayanan [sunting | sunting sumber]
Unsur Unsur Pengawas dan Pembantu Pimpinan/Pelayanan terdiri dari:

 Inspektorat Pengawasan Umum (Itwasum), bertugas membantu Kapolri dalam


penyelenggaraan pengawasan dan pemeriksaan umum dan perbendaharaan dalam
lingkungan Polri termasuk satuan-satuan organsiasi non struktural yang berada di bawah
pengendalian Kapolri. Saat ini dipimpin oleh Komjen Pol Moechgiyarto.
 Asisten Kapolri Bidang Operasi (As Ops), bertugas membantu Kapolri dalam
penyelenggaraan fungsi manajemen bidang operasional dalam lingkungan Polri termasuk
koordinasi dan kerjasama eksternal serta pemberdayaan masyarakat dan unsur-unsur
pembantu Polri lainnya. Asops saat ini dipegang oleh Irjen Pol Martuani Sormin.
 Asisten Kapolri Bidang Perencanaan Umum dan Anggaran (Asrena), bertugas
membantu Kapolri dalam penyelenggaraan fungsi perencanaan umum dan pengembangan,
termasuk pengembangan sistem organisasi dan manajemen serta penelitian dan
pengembangan dalam lingkungan Polri. Saat ini dijabat oleh Irjen Pol Bambang
Sunarwibowo
 Asisten Kapolri Bidang Sumber Daya Manusia (AS SDM), bertugas membantu Kapolri
dalam penyelenggaraan fungsi manajemen bidang sumber daya manusia termasuk upaya
perawatan dan peningkatan kesejahteraan personel dalam lingkungan Polri. Saat ini dijabat
oleh Irjen Pol Eko Indra Heri.
 Asisten Kapolri Sarana dan Prasarana (Assarpras), bertugas membantu Kapolri dalam
penyelenggaraan fungsi sarana dan prasarana dalam lingkungan Polri. Assarpras dijabat
oleh Irjen Pol Asep Suhendar.
 Divisi Pertanggungjawaban Profesi dan Pengamanan Internal (Div Propam), adalah
unsur pelaksana staf khusus bidang pertanggungjawaban profesi dan pengamanan internal.
Kadiv Propam saat ini ialah Irjen Pol Listyo Sigit Prabowo.
 Divisi Hukum (Div Kum), dengan pimpinan Irjen Pol Rudy Heriyanto Adi Nugroho.
 Divisi Hubungan Masyarakat (Div Humas), dengan pimpinan Irjen Pol M. Iqbal.
 Divisi Hubungan Internasional (Div Hubinter), adalah unsur pembantu pimpinan bidang
hubungan internasional yang ada di bawah Kapolri. Bagian ini membawahi National Crime
Bureau Interpol (NCB Interpol), untuk menangani kejahatan internasional. Dengan pimpinan
Irjen Pol Saiful Maltha.
 Divisi Teknologi Informasi dan Komunikasi Kepolisian (Div TIK Pol), adalah unsur
pembantu pimpinan di bidang informatika yang meliputi teknologi informasi dan komunikasi
elektronika. Dipimpin oleh Irjen Pol Raja Erizman.
 Staf Pribadi Pimpinan (Spripim)
 Sekretariat Umum (Kasetum). Dipimpin oleh Kombes Pol Sang Made Mahendra Jaya.
 Pelayanan Markas (Kayanma). Dipimpin oleh Kombes Pol Yudi Amsyah.
 Staf Ahli Kapolri, bertugas memberikan telaahan mengenai masalah tertentu sesuai
bidang keahliannya
Unsur Pelaksana Tugas Pokok[sunting | sunting sumber]
Unsur Pelaksana Tugas Pokok terdiri dari:

 Badan Intelijen dan Keamanan (Baintelkam), bertugas membina dan menyelenggarakan


fungsi intelijen dalam bidang keamanan bagi kepentingan pelaksanaan tugas operasional
dan manajemen Polri maupun guna mendukung pelaksanaan tugas-tugas pemerintahan
dalam rangka mewujudkan keamanan dalam negeri. Kabaintelkam Komjen Pol Agung Budi
Maryoto.
 Badan Reserse Kriminal (Bareskrim), bertugas membina dan menyelenggarakan fungsi
penyelidikan dan penyidikan tindak pidana, termasuk fungsi identifikasi dan fungsi
laboratorium forensik, dalam rangka penegakan hukum. Dipimpin oleh seorang Komisaris
Jenderal (Komjen). Kabareskrim Komjen Pol Idham Azis
 Badan Pemeliharaan Keamanan (Baharkam), bertugas membina dan menyelenggarakan
fungsi pembinaan keamanan yang mencakup pemeliharaan dan upaya peningkatan kondisi
keamanan dan ketertiban masyarakat dalam rangka mewujudkan keamanan dalam negeri.
Kabaharkam saat ini dijabat oleh Komjen Pol Firli Bahuri.
 Korps Brigade Mobil (Korbrimob), bertugas menyelenggarakan fungsi pembinaan
keamanan khususnya yang berkenaan dengan penanganan gangguan keamanan yang
berintensitas tinggi, dalam rangka penegakan keamanan dalam negeri. Korps ini dipimpin
oleh seorang Inspektur Jenderal (Irjen). Dipimpin oleh Irjen Pol Anang Revandoko.
 Korps Lalu Lintas (Korlantas), bertugas membina dan menyelenggarakan fungsi lalu
lintas yang meliputi pendidikan masyarakat, penegakan hukum, pengkajian masalah lalu
lintas, registrasi, dan identifikasi pengemudi dan kendaraan bermotor, serta mengadakan
patroli jalan raya. Dipimpin oleh Irjen Pol Istiono.
 Biro Operasi Polri, bertugas untuk mengirimkan pasukan Brimob, Sabhara, Samapta,
Satlantas, (Jihandak/Penjinak Bahan Peledak, bila diperlukan) serta sebuah tim intelijen jika
ada demonstrasi, sidang pengadilan, pertemuan tingkat tinggi, perayaan hari besar oleh
kelompok masyarakat, atau peresmian oleh kepala pemerintahan, kepala negara, ketua
MPR, atau ketua DPR dengan mengirimkan surat tugas kepada Biro Operasi Polda
setempat, Biro Operasi Polres setempat, dan Polsek setempat.
 Detasemen Khusus 88 Anti Teror Polri (Densus 88 AT), bertugas menyelenggarakan
fungsi intelijen, pencegahan, investigasi, penindakan, dan bantuan operasional dalam
rangka penyelidikan dan penyidikan tindak pidana terorisme. Dipimpin oleh Irjen
Pol Muhamad Syafii.
Unsur Pendukung[sunting | sunting sumber]
Unsur Pendukung, terdiri dari:

 Lembaga Pendidikan dan Pelatihan Kepolisian Negara Republik Indonesia  (Lemdiklat


Polri), bertugas merencanakan, mengembangkan, dan menyelenggarakan fungsi pendidikan
pembentukan dan pengembangan berdasarkan jenis pendidikan Polri meliputi pendidikan
profesi, manajerial, akademis, dan vokasi. Kalemdiklat Polri saat ini adalah Komjen Pol Arief
Sulistyanto. Lemdiklat Polri membawahi:

 Sekolah Staf dan Pimpinan Kepolisian (Sespimpol), adalah unsur pelaksana


pendidikan dan staf khusus yang berkenaan dengan pengembangan manajemen
Polri. Terdiri dari Sespimma (dahulu Selapa), Sespimmen (dahulu Sespim) dan
Sespimti (dahulu Sespati).
 Akademi Kepolisian (Akpol), adalah unsur pelaksana pendidikan pembentukan
Perwira Polri. Gubernur Akpol dipegang oleh Irjen Pol Rycko Amelza Dahniel.
 Sekolah Tinggi Ilmu Kepolisian (STIK), adalah unsur pelaksana pendidikan dan staf
khusus yang berkenaan dengan pendidikan tinggi dan pengembangan ilmu dan
teknologi kepolisian. Ketua STIK dipegang oleh Irjen Pol Remigius Sigid Tri
Hardjanto.
 Sekolah Pembentukan Perwira (Setukpa), adalah unsur pelaksana pendidikan
pembentukan Calon Perwira Polri bagi Bintara Polri. Kepala Setukpa dipegang oleh
Brigjen Pol Sri Handayani.
 Sekolah Inspektur Polisi Sumber Sarjana (SIPSS), adalah unsur pelaksana
pendidikan pembentukan Calon Perwira Polri bagi para lulusan sarjana.
 Pusat Pendidikan (Pusdik)/Sekolah terdiri dari:
o Pendidikan dan Latihan Khusus Kejahatan dan Kekerasaan (Diklatsus Jatanras)
o Pusdik Intelijen (Pusdikintel)
o Pusdik Reserse Kriminal (Pusdikreskrim)
o Pusdik Lalulintas (Pusdiklantas)
o Pusdik Tugas Umum (Pusdikgasum)
o Pusdik Brigade Mobil (Pusdikbrimob)
o Pusdik Kepolisian Perairan (Pusdikpolair)
o Pusdik Administrasi (Pusdikmin)
o Sekolah Bahasa (Sebasa)
o Sekolah Polisi Wanita (Sepolwan)
o Pusdik Bina Masyarakat (Pusdikbinmas)

 Pusat Logistik dan Perbekalan Polri dipimpin oleh seorang Brigadir Jenderal (Brigjen).


 Pusat Kedokteran dan Kesehatan (Pusdokkes Polri) yang dipimpin oleh Brigjen Pol
Farley Helfrich Arthur Tampi, termasuk didalamnya adalah Rumah Sakit Pusat Polri
(Rumkit Puspol) yang dipimpin oleh Brigjen Pol Didi Agus Mintadi.
 Pusat Keuangan (Puskeu Polri) yang dipimpin oleh seorang Brigjen Pol Bambang Giri.
 Pusat Penelitian dan Pengembangan (Puslitbang Polri) yang dipimpin oleh Brigjen Pol
Sintersins Mamadoa.
 Pusat Sejarah (Pusjarah Polri) yang dipimpin oleh Brigjen Pol Istu Hari Winarto.
Polda[sunting | sunting sumber]
Artikel utama: Kepolisian Daerah

 Kepolisian Negara Republik Indonesia Daerah (Polda) merupakan satuan pelaksana


utama Kewilayahan yang berada di bawah Kapolri. Polda bertugas menyelenggarakan
tugas Polri pada tingkat kewilayahan. Polda dipimpin oleh Kepala Kepolisian Negara
Republik Indonesia Daerah (Kapolda), yang bertanggung jawab kepada Kapolri.
Kapolda dibantu oleh Wakil Kapolda (Wakapolda).
 Polda membawahi Kepolisian Negara Republik Indonesia Resort (Polres). Ada tiga tipe
Polda, yakni Tipe A-K, Tipe A dan Tipe B. Polda Tipe A-K saat ini hanya terdapat 1
Polda, yaitu Polda Metro Jaya. Polda Tipe A-K dan Tipe A dipimpin seorang perwira
tinggi berpangkat Inspektur Jenderal Polisi (Irjen), sedangkan Tipe B dipimpin perwira
tinggi berpangkat Brigadir Jenderal Polisi (Brigjen).
 Setiap Polda menjaga keamanan sebuah Provinsi.

 Polres, membawahi Kepolisian Negara Republik Indonesia Sektor. Untuk kota - kota
besar, Polres dinamai Kepolisian Resor Kota Besar, dan untuk tipe urban dinamai
Kepolisian Resor Kota. Polres memiliki satuan tugas kepolisian yang lengkap,
layaknya Polda, dan dipimpin oleh seorang Komisaris Besar Polisi (Kombes) (untuk
Polrestabes dan Polresta) atau Ajun Komisaris Besar Polisi (AKBP) (untuk Polres)

 Setiap Polres menjaga keamanan sebuah Kotamadya atau Kabupaten.

 Polsek maupun Polsekta dipimpin oleh seorang Ajun Komisaris Besar Polisi


(AKBP) (khusus untuk Polda Metro Jaya) atau Komisaris Polisi (Kompol) (untuk
tipe urban), sedangkan di Polda lainnya, Polsek atau Polsekta dipimpin oleh
perwira berpangkat Ajun Komisaris Polisi (AKP) (tipe rural). Di sejumlah daerah
di Papua sebuah Polsek dapat dipimpin oleh Inspektur Polisi Dua (Ipda).

 Setiap Polsek menjaga keamanan sebuah Kecamatan.


Setiap Kepolisian Negara Republik Indonesia Daerah (Polda) memiliki sejumlah
Direktorat dalam menangani tugas melayani dan melindungi, yaitu:

 Direktorat Reserse Kriminal

 Subdit Keamanan Negara (Kamneg)


 Subdit Harta Benda Bangunan Tanah (Hardabangtah)
 Subdit Kriminal Umum (umum)
 Subdit Kejahatan dengan Kekerasan (Jatanras)
 Subdit Reserse Mobile (Resmob)
 Subdit Remaja Anak dan Wanita (PPA)
 Unit Inafis (Indonesia Automatic Finger Print Identification System) / Identifikasi TKP
(Tempat Kejadian Perkara)

 Direktorat Reserse Kriminal Khusus

 Subdit Tindak Pidana Korupsi


 Subdit Cyber Crime

 Direktorat Reserse Narkoba

 Subdit Narkotika
 Subdit Psikotropika

 Direktorat Intelijen dan Keamanan


 Direktorat Lalu Lintas

 Subdit Pendidikan dan Rekayasa (Dikyasa)


 Subdit Registrasi dan Identifikasi (Regident)
 Subdit Penegakan Hukum (Gakkum)
 Subdit Keamanan dan Keselamatan (Kamsel)
 Subdit Patroli Pengawalan (Patwal)
 Subdit Patroli Jalan Raya (PJR)
 Direktorat Bimbingan Masyarakat (Bimmas, dulu Bina
Mitra)
 Direktorat Sabhara
 Direktorat Pengamanan Objek Vital (Pamobvit)
 Direktorat Polisi Air (Polair)
 Direktorat Tahanan dan Barang Bukti (Tahti)
 Biro Operasi
 Biro SDM
 Biro Sarana Prasarana (Sarpras, dulu Logistik)
 Bidang Keuangan
 Bidang Profesi dan Pengamanan (Propam)
 Bidang Hukum
 Bidang Hubungan Masyarakat
 Bidang Kedokteran Kesehatan
 Bidang Teknologi Infomasi Kepolisian

Struktur wilayah[sunting | sunting sumber]


Pembagian wilayah Kepolisian Republik Indonesia pada
dasarnya didasarkan dan disesuaikan atas wilayah administrasi
pemerintahan sipil. Komando pusat berada di Markas Besar
Polri (Mabes) di Jakarta. Pada umumnya, struktur komando
Polri dari pusat ke daerah adalah:

 Pusat

 Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia (Mabes Polri)

 Wilayah Provinsi

 Kepolisian Daerah (Polda)

 Wilayah Kabupaten dan Kota Kepolisian Resort

 Kepolisian Resor Kota Besar (Polrestabes)


 Kepolisian Resor Kota (Polresta)
 Kepolisian Resor (Polres)

 Tingkat Kecamatan Kepolisian Sektor

 Kepolisian Sektor Kota (Polsekta)


 Kepolisian Sektor (Polsek)
Wilayah hukum dari Kepolisian Wilayah
(Polwil) adalah kawasan yang pada masa
kolonial merupakan Karesidenan. Karena
wilayah seperti ini umumnya hanya ada di
Pulau Jawa, maka di luar Jawa tidak dikenal
adanya satuan berupa Polwil kecuali untuk
wilayah perkotaan seperti ibu kota provinsi
seperti misalnya Polwiltabes Makassar di
Sulawesi Selatan.
Mulai awal tahun 2010 seluruh Kepolisian
Wilayah (Polwil) di Pulau Jawa sudah dihapus.
[15][16]

Di beberapa daerah terpencil, ada pula pos-


pos polisi yang merupakan perpanjangan
tangan dari Kepolisian Sektor, yang dinamakan
Kepolisian Sub-sektor.

Polri kini dan Masa


Depan[sunting | sunting sumber]
Dalam negeri, Kepolisian Republik Indonesia
juga menghadapi banyak tantangan yang
semakin kompleks seperti pemberantasan
narkoba, korupsi dan pencucian uang,
terorisme, cybercrime, perdagangan orang,
kelompok-kelompok radikal dan intoleran.
Kejahatan-kejahatan tersebut sudah
bersifat transnasional dan memiliki jaringan
global.
Dalam perkembangan paling akhir dalam
kepolisian yang semakin modern dan global,
Polri bukan hanya mengurusi keamanan dan
ketertiban di dalam negeri, akan tetapi juga
terlibat dalam masalah-masalah keamanan
dan ketertiban regional maupun antarabangsa,
sebagaimana yang ditempuh oleh kebijakan
PBB yang telah meminta pasukan-pasukan
polisi, termasuk Indonesia, untuk ikut aktif
dalam berbagai operasi kepolisian, misalnya
di Namibia (Afrika Selatan) dan
di Kamboja (Asia)

Anda mungkin juga menyukai