Anda di halaman 1dari 35

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Landasan Teori


2.1.1 Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA)
2.1.1.1 Definisi ISPA
ISPA adalah penyakit infeksi akut yang menyerang salah satu bagian
atau lebih dari saluran nafas mulai dari hidung sampai ke alveoli, termasuk
jaringan adneksanya seperti sinus atau rongga di sekitar hidung, rongga
telinga tengah dan pleura (Hayati, 2014). ISPA memiliki tiga unsur
pengertian yaitu, infeksi; saluran pernapasan; dan akut. Infeksi merupakan
invasi serta multiplikasi mikroorganisme pada jaringan tubuh yang dapat
menimbulkan cedera seluler lokal akibat metabolisme yang kompetitif,
replikasi intraseluler, toksin, atau respon antigen-antibodi. Saluran
pernapasan merupakan organ berbentuk tabung dan rongga yang
memungkinkan udara dari luar masuk dan mencapai membran alveoli.
Sedangkan, akut adalah gejala yang menujukkan perjalanan waktu yang
singkat (Dorland, 2012).
ISPA merupakan penyakit saluran pernapasan yang bersifat akut
dengan berbagai macam gejala (sindrom). Penyakit ini disebabkan oleh
berbagai sebab (multifaktorial). Meskipun organ saluran pernapasan yang
terlibat adalah hidung, laring, tenggorokan, bronkus, trakea, dan paru-paru,
tetapi yang menjadi fokus adalah paru-paru. Titik perhatian ini disepakati
karena tingginya tingkat mortalitas radang paru-paru Penyakit ini ditularkan
umumnya melalui droplet, namun berkontak dengan tangan atau permukaan
yang terkontaminasi juga dapat menularkan penyakit ini (Aulia et al, 2018).

6
7

2.1.1.2 Epidemiologi
Penyakit ISPA merupakan penyakit yang sering terjadi pada anak.
WHO memperkirakan insidensi ISPA di negara berkembang dengan angka
kematian balita di atas 40 per 1000 kelahiran hidup adalah 15-20% per
tahun pada golongan usia balita. Menurut WHO kurang lebih 13 juta anak
balita di dunia meninggal setiap tahun dan sebagian besar kematian tersebut
terdapat di negara berkembang, di mana ISPA merupakan salah satu
penyebab utama kematian dengan membunuh ± 4 juta anak balita setiap
tahun. Kasus ISPA terbanyak terjadi di India 43 juta, China 21 juta, Pakistan
10 juta dan masing-masing 6 juta episode di Bangladesh dan Indonesia. Dari
semua kasus yang terjadi di masyarakat sekitar 7-13% kasus berat dan
memerlukan perawatan rumah sakit. ISPA merupakan salah satu penyebab
utama kunjungan pasien di Puskesmas sekitar 40%-60% dan rumah sakit
15%-30% (Dongky dan Kadriati, 2016).
Periode prevalensi pada lima provinsi di Indonesia dengan kasus
ISPA tertinggi adalah Nusa Tenggara Timur (41,70%), Papua (31,10%),
Aceh (30 %), Nusa Tenggara Barat (28,30%) dan Jawa Timur (28,30%).
Karakteristik penduduk dengan ISPA tertinggi di Indonesia terjadi pada
kelompok umur 1-4 tahun (25,80%). Penyakit ini lebih banyak dialami pada
kelompok masyarakat golongan menengah ke bawah (Farapti dan
Mahendrayasa, 2018).
ISPA merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas
penyakit menular di dunia. Angka mortalitas ISPA mencapai 4,25 juta
setiap tahun di dunia (Najmah, 2016). Di Indonesia episode penyakit batuk
pilek pada balita diperkirakan 3-6 kali per tahun (rata-rata 4 kali per tahun),
artinya seorang balita rata-rata mendapat serangan batuk pilek sebanyak 3-6
kali setahun. Dari hasil pengamatan epidemiologi dapat diketahui bahwa
angka kesakitan di kota cenderung lebih besar dari pada di desa. Hal ini
8

disebabkan karena kepadatan tempat tinggal dan pencemaran lingkungan


kota yang lebih tinggi daripada di desa (Irianto, 2014).

2.1.1.3 Etiologi ISPA


Penyakit ISPA disebabkan oleh bakteri atau virus yang masuk ke
saluran pernapasan dan menimbulkan reaksi inflamasi. Virus yang sering
menyebabkan ISPA pada balita adalah influenza-A, adenovirus, dan
Parainfluenza virus. ISPA termasuk golongan airborne disease yang
penularan penyakitnya melalui udara. Patogen yang masuk dan menginfeksi
saluran pernapasan dan menyebabkan inflamasi (Aulia et al, 2018).
ISPA diakibatkan oleh bakteri, virus, jamur dan aspirasi. Bakteri
yang dapat menyebabkan ISPA antara lain Diplococcus pneumoniae,
Pneumococcus, Streptococcus pyogens, Streptococcus hemoliticus,
Staphylococcus aureus, Haemophylus influenza, Bordetella pertusis, dan
Corynobacterium difteriae. Golongan virus yang dapat menyebabkan ISPA
antara lain Influenza, Parainfluenza, Adenovirus, Sitomegalovirus dan virus
campak. Golongan jamur yang dapat menyebabkan ISPA antara lain
Aspergillus sp, Candida albicans, dan Histoplasma. Sedangkan aspirasi
dapat berupa makanan, asap kendaraan, bahan bakar minyak (BBM), cairan
amnion saat lahir, benda asing (biji bijian) dan mainan plastik (Kunoli,
2013; Najmah 2016).

2.1.1.4 Klasifikasi ISPA


Menurut Irianto (2014), secara umum ISPA dapat diklasifikasikan
sebagai berikut :
1. Bukan pneumonia, meliputi kelompok usia balita dengan batuk yang
tidak menimbulkan gejala peningkatan frekuensi napas dan tidak
menimbulkan adanya tarikan dinding dada bagian bawah ke arah
dalam. Contohnya common cold, faringitis, tonsilitis, dan otitis.
9

2. Pneumonia, didasarkan pada adanya batuk dan atau kesulitan bernapas.


Diagnosis gejala ini berdasarkan umur. Batas frekuensi napas cepat
pada anak berusia < 2 bulan sampai < 1 tahun adalah 50 kali per menit
dan untuk anak usia 1 sampai < 5 tahun adalah 40 kali per menit.
3. Pneumonia berat, didasarkan pada adanya batuk atau kesukaran
bernapas disertai sesak napas atau tarikan dinding dada bagian bawah
ke arah dalam (chest indrawing) pada anak berusia 2 bulan sampai < 5
tahun. Untuk anak berusia < 2 bulan, diagnosis pneumonia berat
ditandai dengan adanya napas cepat yaitu frekuensi pernapasan
sebanyak 60 kali per menit atau lebih, atau adanya tarikan yang kuat
pada dinding dada bagian bawah ke arah dalam (severe chest
indrawing)

2.1.1.5 Faktor Risiko ISPA


Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya ISPA adalah sebagai
berikut :
1. Status gizi
Gizi memiliki peranan yang sangat penting dalam memelihara
kesehatan tubuh balita. Balita yang kekurangan gizi dapat
menyebabkan kegagalan dalam pertumbuhan dan perkembangan, serta
menurunnya daya tahan tubuh. Akibatnya, akan meningkatkan risiko
penyakit infeksi seperti ISPA. Dilaporkan bahwa anak yang memiliki
gizi kurang lebih berpotensi 27,5 kali mengalami ISPA dibandingkan
dengan anak dengan gizi yang baik (Hadiana, 2013).
2. Pemberian ASI eksklusif
ASI melindungi bayi dari berbagai infeksi karena ASI memiliki
unsur kekebalan spesifik dan non spesifik yang dapat memberikan
proteksi pada bayi. Pemberian ASI secara eksklusif dapat diberikan
sebagai salah satu upaya pencegahan terhadap ISPA pada bayi (Umami
10

et al, 2014). Selain itu, menurut penelitian yang dilakukan Rahman dan
Nur (2015) anak yang tidak diberi ASI secara eksklusif secara
signifikan lebih banyak terkena ISPA dibandingkan dengan anak yang
diberi ASI secara eksklusif.
3. Status Imunisasi
Faktor yang tidak kalah penting mempengaruhi angka kejadian
ISPA adalah kelengkapan imunisasi. Bayi yang diimunisasi lengkap
terutama imunisasi campak, akan menurunkan risiko terjadinya
pneumonia sebagai komplikasi dari penyakit campak dan penyebab
mortalitas tertinggi pada ISPA (Husein dan Suratini, 2014).
4. Sanitasi Rumah
Pemukiman penduduk yang padat dan tidak tertata dengan baik
akan mempengaruhi kualitas sanitasi rumah di wilayahnya. Hal ini
menyebabkan terganggunya pencahayaan, kelembaban, dan sirkulasi
udara di dalam rumah. Akibatnya, kondisi tersebut dapat meningkatkan
risiko terjadinya ISPA (Gapar et al, 2015).
5. Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR)
Faktor risiko ISPA selain gizi buruk, polusi udara dalam ruangan,
kurangnya imunisasi campak dan kurangnya pemberian ASI eksklusif
adalah BBLR (Kemenkes RI, 2012). Pada penelitian sebelumnya yang
dilakukan Husein dan Suratini (2014) juga didapatkan data bahwa
terdapat hubungan antara BBLR dengan kejadian ISPA pada anak.
Pada anak dengan BBLR, zat-zat protektif atau zat imun yang dibentuk
belum sempurna sehingga lebih mudah mengalami penyakit infeksi
terutama pneumonia dan penyakit infeksi saluran pernapasan lainnya.
11

Pada penelitian yang dilakukan Akinyemi & Morakinyo (2018),


menyatakan bahwa penelitian yang mereka lakukan dari tahun 2003 sampai
dengan 2013 di Nigeria, faktor risiko kejadian ISPA adalah kepadatan
penduduk, kepadatan hunian, polusi udara dan sanitasi lingkungan yang
buruk. Penelitian yang dilakukan Shibata et al (2014) di Indonesia bagian
timur menyatakan bahwa faktor risiko terjadinya ISPA adalah rendahnya
tingkat pengetahuan ibu tentang cara merawat anak, pemberian ASI,
pajanan asap rokok, kondisi fisik rumah akibat rendahnya tingkat
pendapatan keluarga.
Menurut Nirmolia et al (2018) di pemukiman kumuh Kota Dibrugarh
banyak faktor yang mempengaruhi kejadian gangguan pernapasan pada
balita seperti pemberian ASI eksklusif, imunisasi, sosial ekonomi, polusi
udara dan tingginya tingkat pencemaran udara. Perumahan yang tidak
dilengkapi dengan ventilasi udara yang baik akan menyebabkan sirkulasi
udara tidak lancar dan suhu ruangan tidak sesuai.
Faktor lingkungan rumah seperti ventilasi juga berperan dalam
penularan ISPA, di mana ventilasi dapat memelihara kondisi udara yang
sehat bagi manusia. Kurangnya ventilasi akan menyebabkan kurangnya
oksigen dalam rumah yang berarti kadar karbondioksida yang bersifat
racun bagi penghuninya meningkat. ISPA pada umumnya disebabkan oleh
bakteri dan virus, di mana proses penularannya melalui udara. Dengan
adanya ventilasi yang baik, maka udara yang telah terkontaminasi kuman
akan mudah digantikan dengan udara yang segar (Basri et al, 2017).

2.1.1.6 Cara Penularan ISPA


ISPA tergolong ke dalam air borne diesase yang penularan
penyakitnya terjadi melalui udara yang terpapar oleh mikroorganisme
patogen. Mikroorganisme tersebut kemudian masuk ke dalam tubuh
manusia melalui saluran napas yang kemudian mengakibatkan infeksi.
12

Penularan melalui udara terjadi tanpa kontak dengan penderita maupun


dengan benda terkontaminasi. Namun, pada realitanya sebagian besar
penularan melalui udara dapat juga menular melalui kontak langsung
dengan penderita yang mengidap penyakit ISPA (Najmah, 2016).

2.1.1.7 Patogenesis ISPA


Riwayat alamiah ISPA dapat dibagi menjadi beberapa tahap, yaitu
(Najmah, 2016) :
1. Tahap Prepatogenesis
Pada tahap ini, bakteri atau virus yang menjadi penyebab ISPA
telah berinteraksi dengan pejamu, tetapi pejamu belum menunjukkan
reaksi apapun.
2. Tahap Inkubasi
Pada tahap ini virus merusak lapisan epitel dan lapisan mukosa.
Kondisi pejamu menjadi lemah jika keadaan gizi dan daya tahan tubuh
pejamu sebelumnya sudah rendah.
3. Tahap Dini Penyakit
Pada tahap ini, gejala penyakit sudah mulai muncul seperti demam
dan batuk.
4. Tahap Lanjut Penyakit
Pada tahap lanjut, pejamu bisa sembuh sempurna, atau bisa menjadi
kronis.

2.1.1.8 Manifestasi Klinis ISPA


Menurut Sinaga tahun 2014, berdasarkan berat dan ringannya gejala,
ISPA dapat dibagi menjadi 3 yaitu :
13

1. Gejala ISPA ringan


Gejala yang terdapat pada anak dengan ISPA ringan adalah apabila
ditemukan satu atau lebih gejala yaitu batuk, pilek, demam (suhu tubuh
> 37°C), dan suara yang parau.
2. Gejala ISPA sedang
Gejala yang dapat ditemukan pada anak dengan ISPA sedang
adalah apabila ditemukan gejala-gejala ISPA ringan ditambah satu atau
lebih gejala yaitu pernapasan cepat, tenggorokan berwarna merah, suhu
tubuh >39°C, terdapat bercak merah pada kulit yang mirip dengan
campak, sakit telinga atau telinga mengeluarkan sekret, dan suara
pernapasan seperti mendengkur.
3. Gejala ISPA berat
Gejala yang dapat ditemukan pada anak dengan ISPA sedang
adalah apabila ditemukan gejala-gejala ISPA ringan atau sedang dan
ditambah satu atau lebih gejala yaitu sianosis pada bibir dan kulit,
kesadaran menurun, pernapasan seperti mendengkur dan tampak
gelisah, pada waktu bernapas sela iga masuk ke dalam, nadi cepat (>
160 kali per menit) atau tidak teraba.

2.1.1.9 Pencegahan ISPA


Menurut Najmah tahun 2016, pencegahan penyakit ISPA dapat
dilakukan dengan beberapa cara, antara lain :
1. Melakukan promosi kepada ibu dan calon ibu tentang pemberian ASI
pada anak selama 6 bulan pertama yang kemudian memberikan
makanan tambahan berupa MP-ASI setelah anak berusia 6 bulan sampai
2 tahun untuk meningkatkan imunitas tubuh anak sejak dini.
2. Mengkonsumsi makanan yang sehat, dan memberikan mikronutrien
tambahan seperti zink, zat besi dan sebagainya sehingga dapat
meningkatkan kekebalan tubuh.
14

3. Melakukan edukasi pada masyarakat tentang penyakit ISPA


4. Melakukan imunisasi yang lengkap pada anak sehingga anak tidak
mudah terserang penyakit infeksi
5. Menjaga sanitasi lingkungan dan individu dengan melakukan pola
hidup yang bersih dan sehat, mencuci tangan dengan sabun dan
membuat lingkungan rumah yang sehat.
6. Mencegah kontak langsung maupun tidak langsung dengan penderita
ISPA.
7. Menggunakan alat pelindung diri saat berinteraksi dengan penderita
ISPA maupun ketika berada di lingkungan berdebu.
8. Membuat ventilasi yang cukup di rumah dan tidak merokok pada
ruangan tertutup.

2.1.2 ASI Eksklusif


2.1.2.1 Definisi ASI
ASI adalah cairan yang keluar langsung dari payudara seorang ibu untuk
bayi. ASI merupakan makanan bagi bayi yang paling sempurna, praktis, murah
dan bersih karena langsung diminum dari payudara ibu. ASI mengandung
semua yang dibutuhkan bayi untuk memenuhi kebutuhan gizi di 6 bulan
pertamanya. Jenis ASI terbagi menjadi 3 yaitu kolostrum, ASI masa peralihan
dan ASI matur. Kolostrum merupakan susu yang keluar pertama kali, kental,
berwarna kuning yang mengandung tinggi protein dan sedikit lemak (Walyani,
2015 dalam Yusrina dan Devy, 2016).
Kandungan ASI antara lain yaitu sel darah putih, zat kekebalan, enzim
pencernaan, hormon dan protein untuk memenuhi kebutuhan hingga bayi
berumur 6 bulan. ASI juga mengandung karbohidrat, protein, lemak,
multivitamin, air, kartinin dan mineral secara lengkap yang mudah diserap
secara sempurna dan tidak mengganggu fungsi ginjal bayi yang sedang dalam
tahap pertumbuhan (Walyani, 2015 dalam Yusrina dan Devy, 2016).
15

ASI eksklusif didefinisikan sebagai pemberian ASI tanpa suplementasi


makanan maupun minuman lain, baik berupa air putih, jus, ataupun susu selain
ASI. Pemberian vitamin, mineral, dan obat-obatan diperbolehkan selama
pemberian ASI eksklusif (IDAI, 2010).
2.1.2.2 Komposisi ASI
Komposisi ASI terdiri dari (Nelson et al, 2000):
a. Kolostrum
Kolostrum merupakan sekresi ASI selama periode terakhir kehamilan
dan selama 2-4 hari pasca persalinan. Kolostrum berwarna kuning lemon
tua, reaksinya alkalis dan berat jenisnya 1,040-1,060 berbeda dengan rata-
rata berat jenis ASI matur yaitu 1,030. Jumlah kolostrum yang disekresikan
setiap hari yaitu 10-40 mL. Kolostrum mengandung beberapa faktor
imunologik yang unik. Sesudah proses laktasi beberapa hari pertama
kolostrum diganti dengan sekresi bentuk susu peralihan yang sedikit demi
sedikit mengandung sifat-sifat ASI matur pada minggu ke-3 dan ke-4.
b. Protein
ASI berisi 1-1,5% protein. Protein ASI terdiri dari 65% protein whey,
sebagian besar laktabumin, dan 35% kasein.
c. Karbohidrat
Karbohidrat ASI berisi laktosa 6,5-7%. Sekitar 10% karbohidrat ASI
terdiri dari polisakarida dan glikoprotein.
d. Lemak
Pada ASI kadar lemak bervariasi tergantung pada diet ibu. Setiap satu
kali menyusui, kadar lemak paling tinggi terdapat pada akhir pemberian
ASI, yang dapat membantu mengenyangkan bayi pada akhir penyusuan.
Lemak ASI berisi trigliserida olein, palmitin, dan stearin. Sekitar 1,3%
lemak ASI merupakan lemak ASI yang mudah menguap (butirat, kaproat,
kapriat, dan kaprilat).
16

e. Mineral
Kadar mineral ASI adalah 0,15-0,25%. Salah satu kandungan mineral
dalam ASI adalah besi. Kandungan besi di dalam ASI tidak terlalu banyak,
tetapi cukup untuk memenuhi kebutuhan bayi, karena besi terserap dengan
lebih baik. Selama 4 bulan pertama atau lebih simpanan besi selama
kehidupan janin mengkompensasi defisiensi ASI. Meskipun selama masa
pertumbuhan kebutuhan kalsium dan fosfor besar, imbangan yang cukup
dipertahankan pada ASI, walaupun kadar mineralnya rendah.
f. Vitamin
Kadar vitamin ASI bervariasi sesuai dengan asupan makanan ibu. ASI
biasanya berisi cukup vitamin C, jika ibu mengkonsumsi makanan yang
sesuai, dan ASI cukup akan vitamin D, jika ibu cukup tepapar sinar matahari
atau berpigmen gelap. ASI juga mengandung vitamin K, vitamin A, dan
vitamin B kompleks yang cukup untuk kebutuhan bayi pada usia bulan
pertama.

2.1.2.3 Kandungan ASI


ASI sangat banyak mengandung nutrisi, seperti albumin, lemak,
karbohidrat, vitamin, mineral, faktor pertumbuhan, hormon, enzim, zat
kekebalan, dan sel darah putih, dengan porsi yang sesuai dan seimbang.
Komposisi ASI bersifat spesifik pada tiap ibu, berubah dan berbeda dari waktu
ke waktu yang akan disesuaikan dengan kebutuhan bayi saat itu (Roesli, 2004).
Roesli (2004) mengemukakan perbedaan komposisi ASI dari hari ke hari
(stadium laktasi) sebagai berikut:
1. Kolostrum
Kolostrum adalah cairan encer dan tampak berwarna kuning atau dapat
pula jernih serta mengandung zat yang dibutuhkan oleh bayi, (10-17 kali
lebih banyak dari susu matang). Kolostrum akan keluar pada hari pertama
sampai hari ke-4 atau ke-7 setelah melahirkan. Kolostrum membersihkan zat
17

sisa dari saluran pencernaan bayi dan mempersiapkannya untuk makanan


yang akan datang. Jika dibandingkan dengan susu matang, kolostrum
mengandung karbohidrat dan lemak lebih rendah, dan total energi lebih
rendah. Volume kolostrum antara 150-300 ml/24 jam.
2. ASI transisi/peralihan
ASI peralihan keluar setelah kolostrum sebelum menjadi ASI yang
matang. Kadar protein makin rendah, sedangkan kadar karbohidrat dan
lemak makin tinggi dan volume akan semakin meningkat. ASI ini keluar
sejak hari ke-4 atau ke-7 sampai hari ke-10 atau ke-14.
3. ASI matang (matur)
ASI matang merupakan ASI yang dikeluarkan pada sekitar hari ke-14
dan seterusnya, komposisi relatif konstan.
4. Perbedaan komposisi ASI dari menit ke menit
ASI yang pertama keluar disebut foremilk dan mempunyai komposisi
berbeda dengan ASI yang keluar kemudian (hindmilk). Foremilk dihasilkan
sangat banyak sehingga cocok untuk menghilangkan rasa haus pada bayi.
Hindmilk keluar saat proses menyusui hampir selesai dan mengandung
lemak 4-5 kali lebih banyak dibanding foremilk, diduga hindmilk yang dapat
mengenyangkan bayi.
5. Lemak ASI makanan terbaik otak bayi
Lemak yang terdapat dalam ASI mudah dicerna dan diserap dalam
usus bayi karena mengandung enzim lipase yang mencerna lemak. Susu
formula tidak mengandung enzim, sehingga bayi kesulitan menyerap lemak
susu formula. Lemak utama ASI adalah lemak ikatan panjang (omega-3,
omega-6, DHA, dan asam arakhidonat) suatu asam lemak esensial untuk
myelinisasi saraf yang penting untuk pertumbuhan otak. Lemak ini sedikit
pada susu sapi jika dibandingkan dengan ASI. Kolesterol dalam ASI tinggi
sehingga dapat memenuhi kebutuhan pertumbuhan otak. Kolesterol juga
berfungsi dalam pembentukan enzim metabolisme.
18

6. Karbohidrat ASI
Karbohidrat utama ASI adalah laktosa (gula) dan kandungannya lebih
banyak dibanding dengan susu pada mamalia lainnya atau sekitar 20-30 %
lebih banyak dari susu sapi. Salah satu produk dari laktosa adalah galaktosa
yang merupakan makanan yang sangat vital bagi jaringan otak yang sedang
tumbuh. Laktosa meningkatkan penyerapan kalsium yang sangat penting
untuk pertumbuhan tulang. Laktosa juga meningkatkan pertumbuhan bakteri
usus yang baik yaitu Lactobacillus bifidus. Fermentasi laktosa menghasilkan
asam laktat yang memberikan suasana asam dalam usus bayi sehingga
menghambat pertumbuhan dari bakteri patogen.
7. Protein ASI
Protein utama ASI adalah whey (mudah dicerna), sedangkan protein
utama susu sapi adalah kasein (sukar dicerna). Rasio whey dan kasein jika
dibandingkan, dalam ASI adalah 60:40, sedangkan dalam susu sapi rasionya
20:80. ASI tentu lebih menguntungkan bayi, karena protein whey lebih
mudah dicerna dibanding kasein. ASI mengandung alfa-laktalbumin,
sedangkan susu sapi mengandung lactoglobulin dan bovine serum albumin
yang sering menyebabkan terjadinya alergi pada bayi. Selain itu, pemberian
ASI eksklusif dapat mencegah bayi dari alergen karena setelah 6 bulan usus
bayi mulai bersifat lebih protektif.
ASI juga mengandung lactoferin sebagai pengangkut zat besi dan
sebagai sistem imun usus bayi dari bakteri patogen. Laktoferin membiarkan
flora normal usus untuk tumbuh dan membunuh bakteri patogen. Zat imun
lain dalam ASI adalah suatu kelompok antibiotik alami yaitu lysosyme.
Protein istimewa lainnya yang hanya terdapat di ASI adalah taurine yang
diperlukan untuk pertumbuhan otak, susunan saraf, juga penting untuk
pertumbuhan retina. Sementara susu sapi tidak mengandung taurine sama
sekali.
19

8. Faktor pelindung dalam ASI


ASI sebagai imunisasi aktif merangsang pembentukan daya tahan
tubuh pada bayi. Selain itu, ASI juga berperan sebagai imunisasi pasif yaitu
dengan adanya Secretory Immunoglobulin A (SigA) yang melindungi usus
bayi pada minggu pertama kehidupan dari alergen.
9. Vitamin, mineral dan zat besi dalam ASI
ASI mengandung vitamin, mineral dan zat besi yang lengkap dan
mudah diserap oleh usus bayi.

2.1.2.4 Manfaat Pemberian ASI


Menurut Roesli (2004), manfaat ASI bagi bayi yaitu:
1. ASI sebagai nutrisi
Dengan cara menyusui yang benar, ASI sebagai makanan tunggal
akan cukup dalam memenuhi kebutuhan untuk bayi sampai usia 6 bulan.
2. ASI meningkatkan daya tahan tubuh
Bayi yang mendapatkan ASI eksklusif akan lebih sehat dan lebih
jarang terkena penyakit, karena ASI mengandung berbagai zat kekebalan.
3. ASI meningkatkan kecerdasan
ASI mengandung nutrien khusus yaitu taurin, laktosa dan asam
lemak ikatan panjang (DHA, AHA, omega-3, omega-6) yang diperlukan
otak bayi agar tumbuh optimal. Nutrien tersebut tidak ada atau sedikit
sekali terdapat pada susu sapi. Oleh karena itu, pertumbuhan otak bayi
yang diberi ASI eksklusif selama 6 bulan akan optimal.
4. Menyusui meningkatkan jalinan kasih sayang.
Perasaan terlindung dan disayangi pada saat bayi disusui menjadi
dasar dari perkembangan emosi bayi dan dapat membentuk kepribadian
yang percaya diri.
5. Manfaat lain pemberian ASI bagi bayi yaitu sebagai berikut:
a. Melindungi anak dari serangan alergi.
20

b. Meningkatkan daya penglihatan dan kepandaian dalam berbicara.


c. Membantu pembentukan rahang yang bagus.
d. Mengurangi risiko terkena penyakit diabetes, kanker pada anak, dan
diduga mengurangi kemungkinan menderita penyakit jantung.
e. Menunjang perkembangan motorik pada bayi.
Menurut Roesli (2004) menyusui juga memberikan manfaat pada ibu, di
antaranya adalah :
1. Mengurangi perdarahan setelah melahirkan (post partum)
Menyusui bayi setelah melahirkan dapat menurunkan risiko terjadinya
perdarahan post partum, karena pada ibu menyusui dapat meningkatkan kadar
oksitosin sehingga akan terjadi vasokontriksi pembuluh darah sehingga
perdarahan akan lebih cepat untuk berhenti. Hal ini dapat menurunkan angka
kematian ibu yang melahirkan.
2. Mengurangi terjadinya anemia
Mengurangi kemungkinan terjadinya kekurangan darah atau anemia
karena kekurangan zat besi. karena menyusui dapat mengurangi terjadinya
perdarahan.
3. Menjarangkan kehamilan
Selama ibu memberi ASI eksklusif dan belum haid, 98% tidak hamil
pada 6 bulan pertama setelah melahirkan dan 96% tidak hamil sampai bayi
berusia 12 bulan.
4. Mengecilkan rahim
Kadar oksitosin pada ibu menyusui akan meningkat sehingga sangat
membantu rahim kembali ke ukuran sebelum hamil.
5. Ibu lebih cepat langsing kembali
Oleh karena menyusui memerlukan energi, maka tubuh akan
mengambilnya dari lemak yang tertimbun selama hamil.
21

6. Mengurangi kemungkinan menderita kanker


Pada umumnya bila wanita dapat menyusui sampai bayi berumur 2 tahun
atau lebih, diduga akan menurunkan angka kejadian carcinoma mammae
sekitar 25%, dan carcinoma ovarium sekitar 20- 25%.
7. Lebih ekonomis dan murah
Dengan memberi ASI berarti menghemat pengeluaran untuk membeli
susu formula dan perlengkapan untuk menyusui. Selain itu, pemberian ASI
juga dapat menghemat pengeluaran untuk berobat karena bayi biasanya jarang
terserang penyakit.
8. Tidak merepotkan dan hemat waktu
ASI dapat segera diberikan tanpa harus menyiapkan atau memasak air,
tanpa harus mencuci botol, dan tanpa menunggu agar suhunya sesuai.
9. Memberi kepuasan bagi ibu
Pada saat menyusui, tubuh ibu melepaskan hormon-hormon seperti
oksitosin dan prolaktin yang diduga dapat memberikan perasaan rileks
ataupun santai dan membuat ibu merasa lebih merawat bayinya.
10. Portabel dan praktis
ASI dapat diberikan di mana saja dan kapan saja dalam keadaan siap
minum, serta dalam suhu yang selalu tepat.
11. Risiko rendah terkena penyakit
Ibu yang menyusui memiliki risiko yang lebih rendah untuk terkena
banyak penyakit, yaitu endometriosis, carcinoma endometrium, dan
osteoporosis.

Bayi yang tidak diberikan ASI eksklusif akan lebih rentan untuk terkena
penyakit kronis, seperti jantung, hipertensi, dan diabetes setelah ia dewasa.
Pemberian ASI eksklusif selain bermanfaat bagi bayi juga bermanfaat bagi
ibu di antaranya sebagai kontrasepsi alami saat ibu menyusui dan sebelum
menstruasi, menjaga kesehatan ibu dengan mengurangi risiko terkena kanker
22

payudara, dan membantu ibu untuk menjalin ikatan batin kepada anak.
Pemberian ASI dapat membantu mengurangi pengeluaran keluarga untuk
membeli susu formula yang harganya mahal (Yusrina dan Devy, 2016).

2.1.3 Hubungan Pemberian ASI Eksklusif dengan Kejadian ISPA pada Bayi
Usia 6-12 Bulan

IDAI tahun 2013 merekomendasikan pemberian ASI eksklusif sampai usia


bayi 6 bulan. Pemberian ASI eksklusif bagi bayi telah lama diyakini untuk
mencegah penyakit infeksi karena ASI memiliki zat protektif atau zat imun. Salah
satu infeksi yang sering terjadi pada balita adalah ISPA. Pemberian ASI selama 6
bulan atau lebih, secara signifikan mempengaruhi penurunan risiko infeksi
saluran pernapasan hingga usia 4 tahun (Tromp et al, 2017).
ASI yang keluar pada hari pertama setelah bayi lahir terdiri dari cairan yang
berwarna kuning yang disebut kolostrum sangat baik untuk bayi karena di
dalamnya terdapat zat-zat penolak penyakit infeksi antara lain zat kekebalan
tubuh yaitu immunoglobulin yang melindungi tubuh terhadap infeksi terutama
untuk infeksi saluran pernapasan. ASI mampu memberi perlindungan baik secara
aktif maupun pasif, karena ASI tidak saja menyediakan perlindungan terhadap
infeksi, tetapi juga merangsang perkembangan sistem kekebalan bayi (Nur dan
Rahman, 2015).
Zat protektif yang terkandung didalam ASI berupa SIgA (Nirwana, 2014).
Penerimaan IgA yang paling penting berasal dari ASI, yang menjadi pelindung
bayi dari infeksi bakteri. Mukosa bayi dapat mengadakan ikatan dengan IgA dan
IgM dari ASI sehingga dapat melindungi bayi dari masuknya bakteria menuju
sirkulasi umum. Mukosa bayi prematur dapat ditembus oleh antigen dan
mikroorganisme dan langsung masuk sirkulasi umum. Ikatan antara mukosa bayi
dan antibodi IgA dan IgM akan menghalangi masuknya bakteria menuju sirkulasi
umum (Manuaba et al, 2007).
23

Pemberian ASI terbukti efektif dalam mencegah infeksi pada pernapasan dan
pencernaan. Hal ini sesuai dengan penelitan yang dilakukan oleh Softic dkk
(2008) dalam Abbas dan Haryati (2019) dengan mengobservasi anak yang berusia
6 bulan yang ketika lahir memiliki BBLR dan usia kelahiran kurang dari 37
minggu. Sebanyak 612 kuesioner dibagikan dan didapat sebanyak 493 responden
yang bersedia mengisi kuesioner. Dari hasil kuesioner didapatkan sebanyak 395
anak mengkonsumsi ASI eksklusif dan 98 anak mengkonsumsi susu formula.
Hasil yang ditemukan yaitu anak yang mengkonsumsi susu formula lebih rentan
mengalami infeksi pernapasan dan pencernaan jika dibandingkan dengan yang
mengkonsumsi ASI eksklusif.
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Savitri (2018) menyimpulkan bahwa
bayi usia 6-12 bulan yang tidak diberikan ASI eksklusif berpengaruh 2,4 kali
terhadap kejadian ISPA dibandingkan dengan bayi yang mendapatkan ASI
eksklusif. Penelitian ini sesuai dengan penelitian Maulina (2019) yang
menemukan hubungan yang bermakna dengan kejadian ISPA pada bayi
(p=0,001) bahwa bayi yang tidak mendapatkan ASI eksklusif memiliki risiko
lebih tinggi untuk terkena ISPA.

PUNYA FANI
Pemberian ASI merupakan
hal penting pada bayi
terutama pemberian ASI
awal
24

(kolostrum) karena kaya


dengan antibodi yang
mempunyai efek terhadap
penurunan
risiko kematian. ASI
berguna untuk
perkembangan sensorik dan
kognitif, mencegah bayi
terserang penyakit infeksi
dan kronis. ASI terutama
ASI eksklusif menurunkan
kematian
bayi dan kejadian sakit pada
anak yaitu diare atau ISPA,
25

dan membantu kesembuhan


dari
penyakit (WHO, 2004).
Menyusui atau pemberian
air susu ibu (ASI) telah
lama diyakini
dengan baik sebagai cara
untuk melindungi terhadap
infeksi pada bayi,
meningkatkan dan
mendukung kesehatan bayi
dan anak usia dini. Proteksi
terhadap infeksi melalui
ASI,
26

terutama untuk infeksi


saluran pernapasan,
walaupun belum secara
uniform (seragam)
dibuktikan dalam studi di
negara berkembang. ASI
yang keluar pada hari
pertama setelah
bayi lahir terdiri dari cairan
yang berwarna kuning yang
disebut kolostrum sangat
baik
untuk bayi karena di
dalamnya terdapat zat-zat
27

penolak penyakit infeksi


antara lain zat
kekebalan tubuh yaitu
immunoglobulin yang
melindungi tubuh terhadap
infeksi saluran
pencernaan dan saluran
pernapasan. ASI mampu
memberi perlindungan baik
secara aktif
maupun pasif, karena ASI
tidak saja menyediakan
perlindungan terhadap
infeksi, tetapi
28

juga merangsang
perkembangan sistim
kekebalan bayi. Dengan
adanya zat anti infeksi
dari ASI, maka bayi ASI
eksklusif akan terlindung
dari berbagai macam infeksi
baik
yang disebabkan oleh
bakteri, virus, jamur atau
parasit dan ASI juga
mengandung zat anti
peradangan (Nur dan Abd
Rahman, 2015).
29

PUNYA FANI
Pemberian ASI merupakan
hal penting pada bayi
terutama pemberian ASI
awal
(kolostrum) karena kaya
dengan antibodi yang
mempunyai efek terhadap
penurunan
risiko kematian. ASI
berguna untuk
perkembangan sensorik dan
kognitif, mencegah bayi
30

terserang penyakit infeksi


dan kronis. ASI terutama
ASI eksklusif menurunkan
kematian
bayi dan kejadian sakit pada
anak yaitu diare atau ISPA,
dan membantu kesembuhan
dari
penyakit (WHO, 2004).
Menyusui atau pemberian
air susu ibu (ASI) telah
lama diyakini
dengan baik sebagai cara
untuk melindungi terhadap
31

infeksi pada bayi,


meningkatkan dan
mendukung kesehatan bayi
dan anak usia dini. Proteksi
terhadap infeksi melalui
ASI,
terutama untuk infeksi
saluran pernapasan,
walaupun belum secara
uniform (seragam)
dibuktikan dalam studi di
negara berkembang. ASI
yang keluar pada hari
pertama setelah
32

bayi lahir terdiri dari cairan


yang berwarna kuning yang
disebut kolostrum sangat
baik
untuk bayi karena di
dalamnya terdapat zat-zat
penolak penyakit infeksi
antara lain zat
kekebalan tubuh yaitu
immunoglobulin yang
melindungi tubuh terhadap
infeksi saluran
pencernaan dan saluran
pernapasan. ASI mampu
33

memberi perlindungan baik


secara aktif
maupun pasif, karena ASI
tidak saja menyediakan
perlindungan terhadap
infeksi, tetapi
juga merangsang
perkembangan sistim
kekebalan bayi. Dengan
adanya zat anti infeksi
dari ASI, maka bayi ASI
eksklusif akan terlindung
dari berbagai macam infeksi
baik
34

yang disebabkan oleh


bakteri, virus, jamur atau
parasit dan ASI juga
mengandung zat anti
peradangan (Nur dan Abd
Rahman, 2015).
PUNYA FANI
Pemberian ASI merupakan
hal penting pada bayi
terutama pemberian ASI
awal
(kolostrum) karena kaya
dengan antibodi yang
35

mempunyai efek terhadap


penurunan
risiko kematian. ASI
berguna untuk
perkembangan sensorik dan
kognitif, mencegah bayi
terserang penyakit infeksi
dan kronis. ASI terutama
ASI eksklusif menurunkan
kematian
bayi dan kejadian sakit pada
anak yaitu diare atau ISPA,
dan membantu kesembuhan
dari
36

penyakit (WHO, 2004).


Menyusui atau pemberian
air susu ibu (ASI) telah
lama diyakini
dengan baik sebagai cara
untuk melindungi terhadap
infeksi pada bayi,
meningkatkan dan
mendukung kesehatan bayi
dan anak usia dini. Proteksi
terhadap infeksi melalui
ASI,
terutama untuk infeksi
saluran pernapasan,
37

walaupun belum secara


uniform (seragam)
dibuktikan dalam studi di
negara berkembang. ASI
yang keluar pada hari
pertama setelah
bayi lahir terdiri dari cairan
yang berwarna kuning yang
disebut kolostrum sangat
baik
untuk bayi karena di
dalamnya terdapat zat-zat
penolak penyakit infeksi
antara lain zat
38

kekebalan tubuh yaitu


immunoglobulin yang
melindungi tubuh terhadap
infeksi saluran
pencernaan dan saluran
pernapasan. ASI mampu
memberi perlindungan baik
secara aktif
maupun pasif, karena ASI
tidak saja menyediakan
perlindungan terhadap
infeksi, tetapi
juga merangsang
perkembangan sistim
39

kekebalan bayi. Dengan


adanya zat anti infeksi
dari ASI, maka bayi ASI
eksklusif akan terlindung
dari berbagai macam infeksi
baik
yang disebabkan oleh
bakteri, virus, jamur atau
parasit dan ASI juga
mengandung zat anti
peradangan (Nur dan Abd
Rahman, 2015).
2.2 Kerangka Teori
Faktor-faktor yang mempengaruhi
ISPA :
 Status Gizi
 Pemberian ASI Eksklusif
Kejadian ISPA pada bayi
 Status Imunisasi
 Sanitasi Rumah
 Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR)
40

Gambar 1. Kerangka Teori

2.3 Kerangka Konsep


Variabel Independen Variabel Dependen

Pemberian ASI Eksluklusif Kejadian ISPA pada bayi usia 6-12 bulan

Gambar 2. Kerangka Konsep

2.4 Hipotesis Penelitian


Hipotesis pada penelitian ini adalah terdapat hubungan pemberian ASI
eksklusif dengan kejadian ISPA pada bayi usia 6-12 bulan di wilayah kerja
Puskesmas Sidomulyo Rawat Inap Kota Pekanbaru.

Anda mungkin juga menyukai