Anda di halaman 1dari 14

1.

Subyektif :
Keluhan Utama : Nyeri perut kanan bawah
RPS : Pasien datang dengan keluhan nyeri perut kanan bawah sejak 1 hari
SMRS. Awalnya nyeri perut dirasakan di ulu hati, kemudian nyeri berpindah ke perut
kanan bawah dan menetap. Nyeri perut muncul tiba-tiba, dirasakan terus menerus seperti
melilit dan tidak berpindah, tidak menjalar ke pinggang, ke daerah kemaluan, dan ke daerah
perut lain. Nyeri perut diperberat apabila pasien berpindah posisi dan saat perut ditekan,
sehingga pasien sulit beraktivitas.

2. Obyektif :
Keadaan Umum : Tampak sakit sedang.
Tanda-Tanda Vital
Kesadaran : Compos mentis
TD : 110/80 mmhg
Nadi : 110 x/menit, reguler, isi & tegangan cukup
Suhu : 37 oC
RR : 30 x/mnt

Status Generalis :
• Kepala : Simetris, deformitas (-), rambut hitam tipis, wajah tidak pucat.
• Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), mata cekung (-/-),
tidak ada secret, refleks cahaya (+/+).
• Telinga : simetris, tidak ada deformitas, otorhea (-).
• Hidung : simetris, napas cuping hidung (-), lendir (-).
• Mulut : Bibir pucat (-), sianosis (-), tampak kering (-).
• Leher : Pembesaran KGB (-).
• Thorax : Simetris, retraksi (-).
• Cor : BJ I-II normal, murmur (-), gallop (-).
• Pulmo : Vesikuler (+/+), rhonki (-/-), wheezing (-/-).
• Abdomen : Perut distensi, Bising usus (menurun), Defans muskuler (+) NT di
seluruh abdomen, timpani

• Ekstremitas : Akral hangat, palmar tampak pucat (-/-), CRT < 3 detik.

Status Lokalisata :
• Inspeksi : Perut distensi
• Auskultasi : Bising usus (menurun)
• Palpasi : Defans muskuler (+) NT di seluruh abdomen
• Perkusi : timpani

Pemeriksaan Laboratorium :

Pemeriksaan (4/1/16) Pemeriksaan (4/1/16)

Hemoglobin 12,8 Na 118

Leukosit 29.700 K 4.4

Trombosit 493.000 mm3 Ur 30

Ht 40% Cr 0.6

Pemeriksaan (7/1/16)

Hemoglobin 7.0

Leukosit 24.900

Trombosit 554.000mm3

Ht 22%

Pemeriksaan (8/1/16) Pemeriksaan (4/1/16)

Hemoglobin 9.7 Na 132

Leukosit 23.100 K 4.1

Trombosit 550.000 mm3 Ht 29%

3. Assessment
Pada apendisitis biasanya biasanya disebabkan oleh penyumbatan lumen apendiks oleh
hiperplasi folikel limfoid, fekalit, benda asing, striktur karena fibrosis dan neoplasma.
Obtruksi tersebut menyebabkan mucus yang di produksi mukosa mengalami bendungan,
makin lama mukus tersebut makin banyak, namun elastisitas dinding apendiks mempunyai
keterbatasan sehingga menyebabkan peningkatan tekanan intralumen dan
menghambat aliran limfe yang mengakibatkan oedem, diapedesis bakteri, ulserasi mukosa,
dan obstruksi vena sehingga udem bertambah kemudian aliran arteri terganggu akan terjadi
infark dinding apendiks yang di ikuti dengan nekrosis atau ganggren dinding apendiks
sehingga menimbulkan perforasi dan akhirnya mengakibatkan peritonitis baik lokal
maupun general.

Bila bahan yang menginfeksi tersebar luas pada permukaan peritoneum atau bila infeksi
menyebar, dapat timbul peritonitis umum. Dengan perkembangan peritonitis umum,
aktivitas peristaltik berkurang sampai timbul ileus paralitik; usus kemudian menjadi atoni
dan meregang. Cairan dan elektrolit hilang kedalam lumen usus, mengakibatkan dehidrasi,
syok, gangguan sirkulasi dan oliguria. Perlekatan dapat terbentuk antara lengkung-
lengkung usus yang meregang dan dapat mengganggu pulihnya pergerakan usus dan
mengakibatkan obstruksi usus. Oleh karna itu operasi pada peritonitis umum harus sesegera
mungkin untuk dilakukan operasi

4. Plan :
Diagnosis :
Peritonitis ec Appendisitis Perforasi
Pengobatan :
 Rencana tindakan operasi cito oleh dokter spesialis bedah.
 Infus Nacl 3 %
 Injeksi ceftriaxone 2 x 1 gram
 Injeksi metronidazol 3 x 500 mg
 Injeksi gentamisin 2 x 80 mg
 Injeksi ketorolac 2 x 30 mg
 Pct 3 x 500 mg
Edukasi :
Penjelasan secara rasional mengenai pengobatan dan tindakan lanjut yang diberikan
oleh spesialis bedah.
Konsultasi :
 Penjelasan mengenai penyebab penyakit yang terjadi.
 Penjelasan keadaan yang bisa terjadi bila penanganan bedah tidak dilaksanakan,
salah satunya yaitu bisa menyebabkan perburukan keadaan pasien sampai kematian.
 Penjelasan hal-hal yang seharusnya dilakukan dan dihindari beberapa hari setelah
operasi. Diantaranya asupan gizi harus baik, diet tinggi protein, tidak melakukan
aktifitas yang berlebihan dalam 4-6 minggu pertama setelah operasi.
Kontrol :
Kontrol post operasi di poliklinik bedah.
Rujukan:
Diperlukan jika terjadi komplikasi serius yang harus ditangani di rumah sakit dengan
sarana dan prasarana yang lebih memadai.
BAB I

ILUSTRASI KASUS

KETERANGAN UMUM
Pasien
Nama : Tn. i
Usia : 17 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Alamat : Cikidang, Sukabumi
Pekerjaan : Pelajar
Status : Belum menikah
No. Medis : 494702
Waktu : 4 januari 2016 jam 20.00

ANAMNESIS
Keluhan Utama : Nyeri perut kanan bawah
Anamnesa tambahan:
Pasien datang dengan keluhan nyeri perut kanan bawah sejak 1 hari SMRS. Awalnya
nyeri perut dirasakan di ulu hati, kemudian nyeri berpindah ke perut kanan bawah dan
menetap. Nyeri perut muncul tiba-tiba, dirasakan terus menerus seperti melilit dan tidak
berpindah, tidak menjalar ke pinggang, ke daerah kemaluan, dan ke daerah perut lain. Nyeri
perut diperberat apabila pasien berpindah posisi dan saat perut ditekan, sehingga pasien sulit
beraktivitas.

Pasien juga mengeluhkan dem Riwayat Pengobatan :

Pasien belum pernah berobat


Riwayat Penyakit Keluarga : Tidak ada anggota keluarga yang pernah mengalami keluhan
yang sama seperti pasien..
PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan Umum
Komposmentis, tampak sakit sedang
Tanda-tanda vital:
– TD : 110/80 mmHg
– N : 110 kali/menit,
– R : 30 kali/menit,
– S : 37ᴼC
Kepala
- Bentuk : simetris
- Mata : konjungtiva anemis (-/-), sclera ikterik (-/-)
- Telinga : Simetris, secret -/-
- Hidung : Simetris, secret -/-, pernafasan cuping hidung (-)
- Mulut : Bibir serta lidah merah muda
Leher
Pembesaran KGB (-), Retraksi suprasternal (-)
Thorax
Bentuk dan gerak simetris
Paru-paru :
• Retraksi interkostal (-)
• Vokal fremitus kanan dan kiri sama
• Perkusi paru sonor kanan dan kiri
• VBS (+/+), Rh (-/-), Wh (-/-)
Jantung :
• Ictus kordis di ICS 5 linea midclavikula sinistra
• Batas jantung kanan di iCS 4 parasternal dekstra dan batas jantung kiri ICS 5 line
midclavikula sinistra
• S1,S2 reguler, murmur (-), gallop (-)
Abdomen
• Inspeksi : Perut distensi
• Auskultasi : Bising usus (menurun)
• Palpasi : Defans muskuler (+) NT di seluruh abdomen
• Perkusi : timpani
Ekstremitas
Akral hangat, edema (-), CRT < 2 detik

PEMERIKSAAN PENUNJANG

Laboratorium :
Pemeriksaan (4/1/16) Pemeriksaan (4/1/16)
Hemoglobin 12,8 Na 118

Leukosit 29.700 K 4.4

Trombosit 493.000 mm3 Ur 30

Ht 40% Cr 0.6

Pemeriksaan (7/1/16)

Hemoglobin 7.0

Leukosit 24.900

Trombosit 554.000mm3

Ht 22%

Pemeriksaan (8/1/16) Pemeriksaan (4/1/16)

Hemoglobin 9.7 Na 132

Leukosit 23.100 K 4.1

Trombosit 550.000 mm3

Ht 29%

DIAGNOSIS KERJA
Peritonitis Ec Appendisitis Perforasi
PENATALAKSANAAN
1. Ivfd Nacl 2 line - 0.9 % maintenence

- 3 % maintenence

2. Ceftriaxon 2 x 1 gram
3. Metronid3azol 3 x 500 mg
4. Gentamicin 2 x 80 mg
5. PCT 3 x 500 mg
6. Dipuasakan
BAB II

2.1 Definisi

Peritonitis adalah peradangan yang disebabkan oleh infeksi pada selaput organ perut
(peritonieum). Peritonieum adalah selaput tipis dan jernih yang membungkus organ perut dan
dinding perut sebelah dalam. Lokasi peritonitis bisa terlokalisir atau difuse, riwayat akut atau
kronik dan patogenesis disebabkan oleh infeksi atau aseptik. Peritonitis merupakan suatu
kegawat daruratan  yang biasanya disertai dengan bakterecemia atau sepsis. Akut peritonitis
sering menular dan sering dikaitkan dengan perforasi viskus (secondary peritonitis). Apabila
tidak ditemukan sumber infeksi pada intraabdominal, peritonitis diketagori sebagai primary
peritonitis.

Apendisitis adalah peradangan dari apendiks vermiformis, dan merupakan penyebab


abdomen akut yang paling sering. Penyakit ini dapat mengenai semua umur baik laki-laki
maupun perempuan, tetapi lebih sering menyerang laki-laki berusia antara 10-30 tahun
(Kapita Selekta 2000)

2.2 Patofisiologi

Reaksi awal peritoneum terhadap invasi oleh bakteri adalah keluarnya eksudat


fibrinosa. Kantong-kantong nanah (abses) terbentuk di antara perlekatan fibrinosa, yang
menempel menjadi satu dengan permukaan sekitarnya sehingga membatasi infeksi.Perlekatan
biasanya menghilang bila infeksi menghilang, tetapi dapat menetap sebagai pita-pita fibrosa,
yang kelak dapat mengakibatkan obstuksi usus (Fauci et al, 2008).

Peradangan menimbulkan akumulasi cairan karena kapiler dan membran


mengalamikebocoran. Jika defisit cairan tidak dikoreksi secara cepat dan agresif, maka
dapatmenimbulkan kematian sel. Pelepasan berbagai mediator, seperti misalnya interleukin,
dapat memulai respon hiperinflamatorius, sehingga membawa ke perkembangan selanjutnya
dari kegagalan banyak organ. Karena tubuh mencoba untuk mengkompensasi dengan cara
retensi cairan dan elektrolit oleh ginjal, produk buangan juga ikut menumpuk. Takikardi
awalnya meningkatkan curah jantung, tapi ini segera gagal begitu terjadi hipovolemia (Fauci
et al, 2008).

Organ-organ didalam cavum peritoneum termasuk dinding abdomen mengalami


oedem. Oedem disebabkan oleh permeabilitas pembuluh darah kapiler organ-organ
tersebutmeninggi. Pengumpulan cairan didalam rongga peritoneum dan lumen-lumen usus
serta oedem seluruh organ intra peritoneal dan oedem dinding abdomen termasuk jaringan
retroperitoneal menyebabkan hipovolemia. Hipovolemia bertambah dengan adanya kenaikan
suhu, masukan yang tidak ada, serta muntah.Terjebaknya cairan di cavum peritoneum dan
lumen usus, lebih lanjut meningkatkan tekana intra abdomen, membuat usaha pernapasan
penuh menjadi sulit dan menimbulkan penurunan perfusi (Fauci et al, 2008).

Bila bahan yang menginfeksi tersebar luas pada permukaan peritoneum atau bila
infeksi menyebar, dapat timbul peritonitis umum. Dengan perkembangan peritonitis umum,
aktivitas peristaltik berkurang sampai timbul ileus paralitik; usus kemudian menjadi atoni dan
meregang. Cairan dan elektrolit hilang kedalam lumen usus, mengakibatkan dehidrasi, syok,
gangguan sirkulasi dan oliguria. Perlekatan dapat terbentuk antara lengkung-lengkung usus
yang meregang dan dapat mengganggu pulihnya pergerakan usus dan mengakibatkan
obstruksi usus (Fauci et al, 2008).

Sumbatan yang lama pada usus atau obstruksi usus dapat menimbulkan ileus karena
adanya gangguan mekanik (sumbatan) maka terjadi peningkatan peristaltik usus sebagai
usaha untuk mengatasi hambatan. Ileus ini dapat berupa ileus sederhana yaitu obstruksi usus
yang tidak disertai terjepitnya pembuluh darah dan dapat bersifat total atau parsial, pada ileus
stangulasi obstruksi disertai terjepitnya pembuluh darah sehingga terjadi iskemi yang akan
berakhir dengan nekrosis atau ganggren dan akhirnya terjadi perforasi usus dan karena
penyebaran bakteri pada rongga abdomen sehingga dapat terjadi peritonitis (Fauci et al,
2008).

Tifus abdominalis adalah penyakit infeksi akut usus halus yang disebabkan kuman S.
Typhi yang masuk tubuh manusia melalui mulut dari makan dan air yang tercemar. Sebagian
kuman dimusnahkan oleh asam lambung, sebagian lagi masuk keusus halus dan mencapai
jaringan limfoid plaque peyeri di ileum terminalis yang mengalami hipertropi ditempat ini
komplikasi perdarahan dan perforasi intestinal dapat terjadi, perforasi ileum pada tifus
biasanya terjadi pada penderita yang demam selama kurang lebih 2 minggu yang disertai
nyeri kepala, batuk dan malaise yang disusul oleh nyeri perut, nyeri tekan, defansmuskuler,
dan keadaan umum yang merosot karena toksemia (Fauci et al, 2008).

Perforasi tukak peptik khas ditandai oleh perangsangan peritoneum yang mulai di


epigastrium dan meluas keseluruh peritonium akibat peritonitis generalisata. Perforasi
lambung dan duodenum bagian depan menyebabkan peritonitis akut. Penderita yang
mengalami perforasi ini tampak kesakitan hebat seperti ditikam di perut. Nyeri ini timbul
mendadak terutama dirasakan di daerah epigastrium karena rangsangan peritonium oleh asam
lambung, empedu dan atau enzim pankreas. Kemudian menyebar keseluruh
perutmenimbulkan nyeri seluruh perut pada awal perforasi, belum ada infeksi bakteria,
kadang fase ini disebut fase peritonitis kimia, adanya nyeri di bahu menunjukkan
rangsanganperitoneum berupa mengenceran zat asam garam yang merangsang, ini
akan mengurangi keluhan untuk sementara sampai kemudian terjadi peritonitis bacteria
(Fauci et al, 2008).

Pada apendisitis biasanya biasanya disebabkan oleh penyumbatan lumen apendiks


oleh hiperplasi folikel limfoid, fekalit, benda asing, striktur karena fibrosis dan neoplasma.
Obstruksi tersebut menyebabkan mukus yang diproduksi mukosa
mengalamibendungan,makin lama mukus tersebut makin banyak, namun elastisitas dinding
apendiks mempunyai keterbatasan sehingga menyebabkan peningkatan tekanan intralumen
dan menghambat aliran limfe yang mengakibatkan oedem, diapedesis bakteri, ulserasi
mukosa, dan obstruksi vena sehingga udem bertambah kemudian aliran arteri terganggu akan
terjadi infark dinding apendiks yang diikuti dengan nekrosis atau ganggren dinding apendiks
sehingga menimbulkan perforasi dan akhirnya mengakibatkan peritonitis baik lokal maupun
general (Fauci et al, 2008).

Pada trauma abdomen baik trauma tembus abdomen dan trauma tumpul abdomen
dapat mengakibatkan peritonitis sampai dengan sepsis bila mengenai organ yang berongga
intra peritonial. Rangsangan peritonial yang timbul sesuai dengan isi dari organ berongga
tersebut, mulai dari gaster yang bersifat kimia sampai dengan kolon yang berisi feses.
Rangsangan kimia onsetnya paling cepat dan feses paling lambat. Bila perforasi terjadi
dibagian atas, misalnya didaerah lambung maka akan terjadi perangsangan segera sesudah
trauma dan akan terjadi gejala peritonitis hebat sedangkan bila bagian bawah seperti kolon,
mula-mula tidak terjadi gejala karena mikroorganisme membutuhkan waktu
untukberkembang biak baru setelah 24 jam timbul gejala akut abdomen karena perangsangan
peritoneum (Fauci et al, 2008).

2.3 Manifestasi Klinis

            Gejala dan tanda biasanya berhubungan dengan proses penyebaran di dalam rongga
abdomen. Bertanya gejala berhubungan dengan beberapa faktor yaitu: lamanya penyakit,
perluasan dari kontaminasi cavum peritoneum dan kemampuan tubuh untuk melawan, usia
serta tingkat kesehatan penderita secara umum (Cole et al,1970).

            Manifestasi klinis dapat dibagi menjadi (1) tanda abdomen yang berasal dari awal
peradangan dan (2) manifestasi dari infeksi sistemik. Penemuan lokal meliputi nyeri
abdomen, nyeri tekan, kekakuan dari dinding abdomen, distensi, adanya udara bebas pada
cavum peritoneum dan menurunnya bising usus yang merupakan tanda iritasi dari peritoneum
parietalis dan menyebabkan ileus. Penemuan sistemik meliputi demam, menggigil, takikardi,
berkeringat, takipneu, gelisah, dehidrasi, oliguria, disorientasi dan pada akhirnya dapat
menjadi syok (Doherty, 2006).

       2.3.1 Nyeri abdomen

Nyeri abdomen merupakan gejala yang hamper selalu ada pada peritonitis. Nyeri
biasanya dating dengan onset yang tiba-tiba, hebat dan pada penderita dengan perforasi
nyerinya didapatkan pada seluruh bagian abdomen (Doherty, 2006).

Seiring dengan berjalannya penyakit, nyeri dirasakan terus-menerus, tidak ada henti-hentinya,
rasa seperti terbakar dan timbul dengan berbagai gerakan. Nyeri biasanya lebih terasa pada
daerah dimana terjadi peradangan peritoneum. Menurunnya intensitas dan penyebaran dari
nyeri menandakan adanya lokalisasi dari proses peradangan, ketika intensitasnya bertambah
meningkat diserta dengan perluasan daerah nyeri menandakan penyebaran dari peritonitis
(Schwartz et al, 1989).

      2.3.2 Anoreksia, mual, muntah dan demam

Pada penderita juga sering didapatkan anoreksia, mual dan dapat diikuti dengan
muntah. Penderita biasanya juga mengeluh haus dan badan terasa seperti demam sering
diikuti dengan menggigil yang hilang timbul. Meningkatnya suhu tubuh biasanya sekitar
38OC sampai 40 OC (Schwartz et al, 1989).

    2.3.3 Facies Hipocrates

Pada peritonitis berat dapat ditemukan fascies Hipocrates. Gejala ini termasuk
ekspresi yang tampak gelisah, pandangan kosong, mata cowong, kedua telinga menjadi
dingin, dan muka yang tampak pucat (Cole et al,1970).

Penderita dengan peritonitis lanjut dengan fascies Hipocrates biasanya berada pada stadium
pre terminal. Hal ini ditandai dengan posisi mereka berbaring dengan lutut di fleksikan dan
respirasi interkosta yang terbatas karena setiap gerakan dapat menyebabkan nyeri pada
abdomen (Schwartz et al, 1989).

Tanda ini merupakan patognomonis untuk peritonitis berat dengan tingkat kematian yang
tinggi, akan tetapi dengan mengetahui lebih awal diagnosis dan perawatan yang lebih baik,
angka kematian dapat lebih banyak berkurang (Cole et al,1970).

       2.3.4Syok

Pada beberapa kasus berat, syok dapat terjadi oleh karena dua factor. Pertama akibat
perpindahan cairan intravaskuler ke cavum peritoneum atau ke lumen dari intestinal. Yang
kedua dikarenakan terjadinya sepsis generalisata (Cole et al,1970).
Yang utama dari septicemia pada peritonitis generalisata melibatkan kuman gram negative
diman dapat menyebabkan terjadinya tahap yang menyerupai syok. Mekanisme dari
fenomena ini belum jelas, akan tetapi dari penelitian diketahui bahwa efek dari endotoksin
pada binatang dapat memperlihatkan sindrom atau gejala-gejala yang mirip seperti gambaran
yang terlihat pada manusia (Cole et al,1970).

2.4 Tata Laksana

Tatalaksana utama pada peritonitis antara lain pemberian cairan dan elektrolit, kontrol
operatif terhadap sepsis dan pemberian antibiotik sistemik (Doherty, 2006).

2.4.1 Penanganan Preoperatif

 Resusitasi Cairan

Peradangan yang menyeluruh pada membran peritoneum menyebabkan


perpindahan cairan ekstraseluler ke dalam cavum peritoneum dan ruang intersisial
(Schwartz et al, 1989).

Pengembalian volume dalam jumlah yang cukup besar melalui intravaskular


sangat diperlukan untuk menjaga produksi urin tetap baik dan status hemodinamik tubuh.
Jika terdapat anemia dan terdapat penurunan dari hematokrit dapat diberikan transfusi
PRC (Packed Red Cells) atau WB (Whole Blood). Larutan kristaloid dan koloid harus
diberikan untuk mengganti cairan yang hilang (Doherty, 2006).

Secara teori, cairan koloid lebih efektif untuk mengatasi kehilangan cairan
intravaskuler, tapi cairan ini lebih mahal. Sedangkan cairan kristaloid lebih murah,
mudah didapat tetapi membutuhkan jumlah yang lebih besar karena kemudian akan
dikeluarkan lewat ginjal (Schwartz et al, 1989).

Suplemen kalium sebaiknya tidak diberikan hingga perfusi dari jaringan dan
ginjal telah adekuat dan urin telah diprodukasi (Doherty, 2006).

 Antibiotik

Bakteri penyebab tersering dari peritonitis dapat dibedakan menjadi bakteri


aerob yaitu E. Coli, golongan Enterobacteriaceae dan Streptococcus, sedangkan
bakteri anaerob yang tersering adalah Bacteriodes spp, Clostridium,
Peptostreptococci. Antibiotik berperan penting dalam terpai peritonitis, pemberian
antibiotik secara empiris harus dapat melawan kuman aerob atau anaerob yang
menginfeksi peritoneum (Schwartz et al, 1989).

Pemberian antibiotik secara empiris dilakukan sebelum didapatkan hasil kultur


dan dapat diubah sesuai dengan hasil kultur dan uji sensitivitas jika masih terdapat
tanda infeksi. Jika penderita baik secara klinis yang ditandai dengan penurunan
demam dan menurunnya hitung sel darah putih, perubahan antibiotik harus dilakukan
dengan hati-hati meskipun sudah didapatkan hasil dari uji sensitivitas (Cole et
al,1970).

Efek pemberian antibiotik pada peritonitis tergantung kondisi-kondisi seperti:


(1) besar kecilnya kontaminasi bakteri, (2) penyebab dari peritonitis trauma atau
nontrauma, (3) ada tidaknya kuman oportunistik seperti candida. Agar terapi menjadi
lebih efektif, terpai antibiotik harus diberikan lebih dulu, selama dan setelah operasi
(Schwartz et al, 1989).

Pada umumnya Penicillin G 1.000.000 IU dan streptomycin 1 gram harus


segera diberikan. Kedua obat ini merupakan bakterisidal jika dipertahankan dalam
dosis tinggi dalam plasma. Kombinasi dari penicillin dan streptomycin juga
memberikan cakupan dari bakteri gram negatif. Penggunaan beberapa juta unit dari
peniillin dan 2 gram streptomycin sehari sampai didapatkan hasil kultur merupakan
regimen terpai yang logis. Pada penderita yang sensitif terhadap penicillin,
tetracycline dosis tinggi yang diberikan secara parenteral lebih baik daripada
chloramphenicol pada stadium awal infeksi (Cole et al,1970).

Pemberian clindamycin atau metronidazole yang dikombinasi dengan


aminoglikosida sama baiknya jika memberikan cephalosporin generasi kedua
(Schwartz et al, 1989).

Antibiotik awal yang digunakan cephalosporin generasi ketiga untuk gram


negatif, metronidazole dan clindamycin untuk organisme anaerob (Doherty, 2006).

Daya cakupan dari mikroorganisme aerob dan anerob lebih penting daripada
pemilihan terapi tunggal atau kombinasi. Pemberian dosis antibiotikal awal yang
kurang adekuat berperan dalam kegagalan terapi. Penggunaan aminoglikosida harus
diberikan dengan hati-hati, karena gangguan ginjal merupakan salah satu gambaran
klinis dari peritonitis dan penurunan pH intraperitoneum dapat mengganggu aktivitas
obat dalam sel. Pemberian antibiotik diberikan sampai penderita tidak didapatkan
demam, dengan hitung sel darah putih yang normal (Doherty, 2006).

 Oksigen dan Ventilator

Pemberian oksigen pada hipoksemia ringan yang timbul pada peritonitis


cukup diperlukan, karena pada peritonitis terjadi peningkatan dari metabolism tubuh
akibat adanya infeksi, adanya gangguan pada ventilasi paru-paru. Ventilator dapat
diberikan jika terdapat kondisi-kondisi seperti (1) ketidakmampuan untuk menjaga
ventilasi alveolar yang dapat ditandai dengan meningkatnya PaCO2 50 mmHg atau
lebih tinggi lagi, (2) hipoksemia yang ditandai dengan PaO 2 kurang dari 55 mmHg,
(3) adanya nafas yang cepat dan dangkal (Schwartz et al, 1989).

 Intubasi, Pemasangan Kateter Urin dan Monitoring Hemodinamik

Pemasangan nasogastric tube dilakukan untuk dekompresi dari abdomen,


mencegah muntah, aspirasi dan yang lebih penting mengurangi jumlah udara pada
usus. Pemasangan kateter untuk mengetahui fungsi dari kandung kemih dan
pengeluaran urin. Tanda vital (temperature, tekanan darah, nadi dan respiration rate)
dicatat paling tidak tiap 4 jam. Evaluasi biokimia preoperative termasuk serum
elektrolit, kratinin, glukosa darah, bilirubin, alkali fosfatase dan urinalisis (Schwartz
et al, 1989).

2.4.2       Penanganan Operatif


Terapi primer dari peritonitis adalah tindakan operasi. Operasi biasanya dilakukan
untuk mengontrol sumber dari kontaminasi peritoneum. Tindakan ini berupa penutupan
perforasi usus, reseksi usus dengan anstomosis primer atau dengan exteriorasi. Prosedur
operasi yang spesifik tergantung dari apa yang didapatkan selama operasi berlangsung,
serta membuang bahan-bahan dari cavum peritoneum seperti fibrin, feses, cairan empedu,
darah, mucus lambung dan membuat irigasi untuk mengurangi ukuran dan jumlah dari
bakteri virulen (Schwartz et al, 1989).

 Kontrol Sepsis

Tujuan dari penanganan operatif pada peritonitis adalah untuk menghilangkan


semua material-material yang terinfeksi, mengkoreksi penyebab utama peritonitis dan
mencegah komplikasi lanjut. Kecuali pada peritonitis yang terlokalisasi, insisi midline
merupakan teknik operasi yang terbaik. Jika didapatkan jaringan yang terkontaminasi dan
menjadi fibrotik atau nekrosis, jaringan tersebut harus dibuang. Radikal debridement yang
rutin dari seluruh permukaan peritoneum dan organ dalam tidak meningkatkan tingkat
bertahan hidup. Penyakit primer lalu diobati, dan mungkin memerlukan tindakan reseksi
(ruptur apendik atau kandung empedu), perbaikan (ulkus perforata) atau drainase
(pankreatitis akut). Pemeriksaan kultur cairan dan jaringan yang terinfeksi baik aerob
maupun anaerob segera dilakukan setelah memasuki kavum peritoneum (Doherty, 2006).

 Peritoneal Lavage

Pada peritonitis difus, lavage dengan cairan kristaloid isotonik (> 3 liter) dapat
menghilangkan material-material seperti darah, gumpalan fibrin, serta bakteri.
Penambahan antiseptik atau antibiotik pada cairan irigasi tidak berguna bahkan berbahaya
karena dapat memicu adhesi (misal: tetrasiklin, povidone-iodine). Antibiotik yang
diberikan cecara parenteral akan mencapai level bakterisidal pada cairan peritoneum dan
tidak ada efek tambahan pada pemberian bersama lavage. Terlebih lagi, lavage dengan
menggunakan aminoglikosida dapat menyebabkan depresi nafas dan komplikasi anestesi
karena kelompok obat ini menghambat kerja dari neuromuscular junction. Setelah
dilakukan lavage, semua cairan di kavum peritoneum harus diaspirasi karena dapat
menghambat mekanisme pertahanan lokal dengan melarutkan benda asing dan
membuang permukaan dimana fagosit menghancurkan bakteri (Doherty, 2006).

 Peritoneal Drainage

Penggunaan drain sangat penting untuk abses intra abdominal dan peritonitis lokal
dengan cairan yang cukup banyak. Drainase dari kavum peritoneal bebas tidak efektif dan
tidak sering dilakukan, karena drainase yang terpasang merupakan penghubung dengan udara
luar yang dapat menyebabkan kontaminasi. Drainase profilaksis pada peritonitis difus tidak
dapat mencegah pembentukan abses, bahkan dapat memicu terbentuknya abses atau fistula.
Drainase berguna pada infeksi fokal residual atau pada kontaminasi lanjutan. Drainase
diindikasikan untuk peradangan massa terlokalisasi atau kavitas yang tidak dapat direseksi
(Doherty, 2006).

2.4.3       Pengananan Postoperatif


Monitor intensif, bantuan ventilator, mutlak dilakukan pada pasien yang tidak stabil.
Tujuan utama adalah untuk mencapai stabilitas hemodinamik untuk perfusi organ-organ
vital., dan mungkin dibutuhkan agen inotropik disamping pemberian cairan. Antibiotik
diberikan selama 10-14 hari, bergantung pada keparahan peritonitis. Respon klinis yang baik
ditandai dengan produksi urin yang normal, penurunan demam dan leukositosis, ileus
menurun, dan keadaan umum membaik. Tingkat kesembuhan bervariasi tergantung pada
durasi dan keparahan peritonitis. Pelepasan kateter (arterial, CVP, urin, nasogastric) lebih
awal dapat menurunkan resiko infeksi sekunder (Doherty, 2006).

2.5     Komplikasi

Komplikasi postoperatif sering terjadi dan umumnya dibagi menjadi komplikasi lokal dan
sistemik. Infeksi pada luka dalam, abses residual dan sepsis intraperitoneal, pembentukan
fistula biasanya muncul pada akhir minggu pertama postoperasi. Demam tinggi yang
persisten, edema generalisata, peningkatan distensi abdomen, apatis yang berkepanjangan
merupakan indikator adanya infeksi abdomen residual. Hal ini membutuhkan pemeriksaan
lebih lanjut misalnya CT-Scan abdomen. Sepsis yang tidak terkontrol dapat menyebabkan
kegagalan organ yang multipel yaitu organ respirasi, ginjal, hepar, perdarahan, dan sistem
imun (Doherty, 2006).

2.6    Prognosis

               Tingkat mortalitas dari peritonitis generalisata adalah sekitar 40%. Faktor-faktor
yang mempengaruhi tingginya tingkat mortalitas antara lain tipe penyakit primer dan
durasinya, keterlibatan kegagalan organ multipel sebelum pengobatan, serta usia dan kondisi
kesehatan awal pasien. Tingkat mortalitas sekitar 10% pada pasien dengan ulkus perforata
atau apendisitis, pada usia muda, pada pasien dengan sedikit kontaminasi bakteri, dan pada
pasien yang terdiagnosis lebih awal

Anda mungkin juga menyukai