Subyektif :
Keluhan Utama : Nyeri perut kanan bawah
RPS : Pasien datang dengan keluhan nyeri perut kanan bawah sejak 1 hari
SMRS. Awalnya nyeri perut dirasakan di ulu hati, kemudian nyeri berpindah ke perut
kanan bawah dan menetap. Nyeri perut muncul tiba-tiba, dirasakan terus menerus seperti
melilit dan tidak berpindah, tidak menjalar ke pinggang, ke daerah kemaluan, dan ke daerah
perut lain. Nyeri perut diperberat apabila pasien berpindah posisi dan saat perut ditekan,
sehingga pasien sulit beraktivitas.
2. Obyektif :
Keadaan Umum : Tampak sakit sedang.
Tanda-Tanda Vital
Kesadaran : Compos mentis
TD : 110/80 mmhg
Nadi : 110 x/menit, reguler, isi & tegangan cukup
Suhu : 37 oC
RR : 30 x/mnt
Status Generalis :
• Kepala : Simetris, deformitas (-), rambut hitam tipis, wajah tidak pucat.
• Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), mata cekung (-/-),
tidak ada secret, refleks cahaya (+/+).
• Telinga : simetris, tidak ada deformitas, otorhea (-).
• Hidung : simetris, napas cuping hidung (-), lendir (-).
• Mulut : Bibir pucat (-), sianosis (-), tampak kering (-).
• Leher : Pembesaran KGB (-).
• Thorax : Simetris, retraksi (-).
• Cor : BJ I-II normal, murmur (-), gallop (-).
• Pulmo : Vesikuler (+/+), rhonki (-/-), wheezing (-/-).
• Abdomen : Perut distensi, Bising usus (menurun), Defans muskuler (+) NT di
seluruh abdomen, timpani
• Ekstremitas : Akral hangat, palmar tampak pucat (-/-), CRT < 3 detik.
Status Lokalisata :
• Inspeksi : Perut distensi
• Auskultasi : Bising usus (menurun)
• Palpasi : Defans muskuler (+) NT di seluruh abdomen
• Perkusi : timpani
Pemeriksaan Laboratorium :
Ht 40% Cr 0.6
Pemeriksaan (7/1/16)
Hemoglobin 7.0
Leukosit 24.900
Trombosit 554.000mm3
Ht 22%
3. Assessment
Pada apendisitis biasanya biasanya disebabkan oleh penyumbatan lumen apendiks oleh
hiperplasi folikel limfoid, fekalit, benda asing, striktur karena fibrosis dan neoplasma.
Obtruksi tersebut menyebabkan mucus yang di produksi mukosa mengalami bendungan,
makin lama mukus tersebut makin banyak, namun elastisitas dinding apendiks mempunyai
keterbatasan sehingga menyebabkan peningkatan tekanan intralumen dan
menghambat aliran limfe yang mengakibatkan oedem, diapedesis bakteri, ulserasi mukosa,
dan obstruksi vena sehingga udem bertambah kemudian aliran arteri terganggu akan terjadi
infark dinding apendiks yang di ikuti dengan nekrosis atau ganggren dinding apendiks
sehingga menimbulkan perforasi dan akhirnya mengakibatkan peritonitis baik lokal
maupun general.
Bila bahan yang menginfeksi tersebar luas pada permukaan peritoneum atau bila infeksi
menyebar, dapat timbul peritonitis umum. Dengan perkembangan peritonitis umum,
aktivitas peristaltik berkurang sampai timbul ileus paralitik; usus kemudian menjadi atoni
dan meregang. Cairan dan elektrolit hilang kedalam lumen usus, mengakibatkan dehidrasi,
syok, gangguan sirkulasi dan oliguria. Perlekatan dapat terbentuk antara lengkung-
lengkung usus yang meregang dan dapat mengganggu pulihnya pergerakan usus dan
mengakibatkan obstruksi usus. Oleh karna itu operasi pada peritonitis umum harus sesegera
mungkin untuk dilakukan operasi
4. Plan :
Diagnosis :
Peritonitis ec Appendisitis Perforasi
Pengobatan :
Rencana tindakan operasi cito oleh dokter spesialis bedah.
Infus Nacl 3 %
Injeksi ceftriaxone 2 x 1 gram
Injeksi metronidazol 3 x 500 mg
Injeksi gentamisin 2 x 80 mg
Injeksi ketorolac 2 x 30 mg
Pct 3 x 500 mg
Edukasi :
Penjelasan secara rasional mengenai pengobatan dan tindakan lanjut yang diberikan
oleh spesialis bedah.
Konsultasi :
Penjelasan mengenai penyebab penyakit yang terjadi.
Penjelasan keadaan yang bisa terjadi bila penanganan bedah tidak dilaksanakan,
salah satunya yaitu bisa menyebabkan perburukan keadaan pasien sampai kematian.
Penjelasan hal-hal yang seharusnya dilakukan dan dihindari beberapa hari setelah
operasi. Diantaranya asupan gizi harus baik, diet tinggi protein, tidak melakukan
aktifitas yang berlebihan dalam 4-6 minggu pertama setelah operasi.
Kontrol :
Kontrol post operasi di poliklinik bedah.
Rujukan:
Diperlukan jika terjadi komplikasi serius yang harus ditangani di rumah sakit dengan
sarana dan prasarana yang lebih memadai.
BAB I
ILUSTRASI KASUS
KETERANGAN UMUM
Pasien
Nama : Tn. i
Usia : 17 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Alamat : Cikidang, Sukabumi
Pekerjaan : Pelajar
Status : Belum menikah
No. Medis : 494702
Waktu : 4 januari 2016 jam 20.00
ANAMNESIS
Keluhan Utama : Nyeri perut kanan bawah
Anamnesa tambahan:
Pasien datang dengan keluhan nyeri perut kanan bawah sejak 1 hari SMRS. Awalnya
nyeri perut dirasakan di ulu hati, kemudian nyeri berpindah ke perut kanan bawah dan
menetap. Nyeri perut muncul tiba-tiba, dirasakan terus menerus seperti melilit dan tidak
berpindah, tidak menjalar ke pinggang, ke daerah kemaluan, dan ke daerah perut lain. Nyeri
perut diperberat apabila pasien berpindah posisi dan saat perut ditekan, sehingga pasien sulit
beraktivitas.
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Laboratorium :
Pemeriksaan (4/1/16) Pemeriksaan (4/1/16)
Hemoglobin 12,8 Na 118
Ht 40% Cr 0.6
Pemeriksaan (7/1/16)
Hemoglobin 7.0
Leukosit 24.900
Trombosit 554.000mm3
Ht 22%
Ht 29%
DIAGNOSIS KERJA
Peritonitis Ec Appendisitis Perforasi
PENATALAKSANAAN
1. Ivfd Nacl 2 line - 0.9 % maintenence
- 3 % maintenence
2. Ceftriaxon 2 x 1 gram
3. Metronid3azol 3 x 500 mg
4. Gentamicin 2 x 80 mg
5. PCT 3 x 500 mg
6. Dipuasakan
BAB II
2.1 Definisi
Peritonitis adalah peradangan yang disebabkan oleh infeksi pada selaput organ perut
(peritonieum). Peritonieum adalah selaput tipis dan jernih yang membungkus organ perut dan
dinding perut sebelah dalam. Lokasi peritonitis bisa terlokalisir atau difuse, riwayat akut atau
kronik dan patogenesis disebabkan oleh infeksi atau aseptik. Peritonitis merupakan suatu
kegawat daruratan yang biasanya disertai dengan bakterecemia atau sepsis. Akut peritonitis
sering menular dan sering dikaitkan dengan perforasi viskus (secondary peritonitis). Apabila
tidak ditemukan sumber infeksi pada intraabdominal, peritonitis diketagori sebagai primary
peritonitis.
2.2 Patofisiologi
Bila bahan yang menginfeksi tersebar luas pada permukaan peritoneum atau bila
infeksi menyebar, dapat timbul peritonitis umum. Dengan perkembangan peritonitis umum,
aktivitas peristaltik berkurang sampai timbul ileus paralitik; usus kemudian menjadi atoni dan
meregang. Cairan dan elektrolit hilang kedalam lumen usus, mengakibatkan dehidrasi, syok,
gangguan sirkulasi dan oliguria. Perlekatan dapat terbentuk antara lengkung-lengkung usus
yang meregang dan dapat mengganggu pulihnya pergerakan usus dan mengakibatkan
obstruksi usus (Fauci et al, 2008).
Sumbatan yang lama pada usus atau obstruksi usus dapat menimbulkan ileus karena
adanya gangguan mekanik (sumbatan) maka terjadi peningkatan peristaltik usus sebagai
usaha untuk mengatasi hambatan. Ileus ini dapat berupa ileus sederhana yaitu obstruksi usus
yang tidak disertai terjepitnya pembuluh darah dan dapat bersifat total atau parsial, pada ileus
stangulasi obstruksi disertai terjepitnya pembuluh darah sehingga terjadi iskemi yang akan
berakhir dengan nekrosis atau ganggren dan akhirnya terjadi perforasi usus dan karena
penyebaran bakteri pada rongga abdomen sehingga dapat terjadi peritonitis (Fauci et al,
2008).
Tifus abdominalis adalah penyakit infeksi akut usus halus yang disebabkan kuman S.
Typhi yang masuk tubuh manusia melalui mulut dari makan dan air yang tercemar. Sebagian
kuman dimusnahkan oleh asam lambung, sebagian lagi masuk keusus halus dan mencapai
jaringan limfoid plaque peyeri di ileum terminalis yang mengalami hipertropi ditempat ini
komplikasi perdarahan dan perforasi intestinal dapat terjadi, perforasi ileum pada tifus
biasanya terjadi pada penderita yang demam selama kurang lebih 2 minggu yang disertai
nyeri kepala, batuk dan malaise yang disusul oleh nyeri perut, nyeri tekan, defansmuskuler,
dan keadaan umum yang merosot karena toksemia (Fauci et al, 2008).
Pada trauma abdomen baik trauma tembus abdomen dan trauma tumpul abdomen
dapat mengakibatkan peritonitis sampai dengan sepsis bila mengenai organ yang berongga
intra peritonial. Rangsangan peritonial yang timbul sesuai dengan isi dari organ berongga
tersebut, mulai dari gaster yang bersifat kimia sampai dengan kolon yang berisi feses.
Rangsangan kimia onsetnya paling cepat dan feses paling lambat. Bila perforasi terjadi
dibagian atas, misalnya didaerah lambung maka akan terjadi perangsangan segera sesudah
trauma dan akan terjadi gejala peritonitis hebat sedangkan bila bagian bawah seperti kolon,
mula-mula tidak terjadi gejala karena mikroorganisme membutuhkan waktu
untukberkembang biak baru setelah 24 jam timbul gejala akut abdomen karena perangsangan
peritoneum (Fauci et al, 2008).
Gejala dan tanda biasanya berhubungan dengan proses penyebaran di dalam rongga
abdomen. Bertanya gejala berhubungan dengan beberapa faktor yaitu: lamanya penyakit,
perluasan dari kontaminasi cavum peritoneum dan kemampuan tubuh untuk melawan, usia
serta tingkat kesehatan penderita secara umum (Cole et al,1970).
Manifestasi klinis dapat dibagi menjadi (1) tanda abdomen yang berasal dari awal
peradangan dan (2) manifestasi dari infeksi sistemik. Penemuan lokal meliputi nyeri
abdomen, nyeri tekan, kekakuan dari dinding abdomen, distensi, adanya udara bebas pada
cavum peritoneum dan menurunnya bising usus yang merupakan tanda iritasi dari peritoneum
parietalis dan menyebabkan ileus. Penemuan sistemik meliputi demam, menggigil, takikardi,
berkeringat, takipneu, gelisah, dehidrasi, oliguria, disorientasi dan pada akhirnya dapat
menjadi syok (Doherty, 2006).
Nyeri abdomen merupakan gejala yang hamper selalu ada pada peritonitis. Nyeri
biasanya dating dengan onset yang tiba-tiba, hebat dan pada penderita dengan perforasi
nyerinya didapatkan pada seluruh bagian abdomen (Doherty, 2006).
Seiring dengan berjalannya penyakit, nyeri dirasakan terus-menerus, tidak ada henti-hentinya,
rasa seperti terbakar dan timbul dengan berbagai gerakan. Nyeri biasanya lebih terasa pada
daerah dimana terjadi peradangan peritoneum. Menurunnya intensitas dan penyebaran dari
nyeri menandakan adanya lokalisasi dari proses peradangan, ketika intensitasnya bertambah
meningkat diserta dengan perluasan daerah nyeri menandakan penyebaran dari peritonitis
(Schwartz et al, 1989).
Pada penderita juga sering didapatkan anoreksia, mual dan dapat diikuti dengan
muntah. Penderita biasanya juga mengeluh haus dan badan terasa seperti demam sering
diikuti dengan menggigil yang hilang timbul. Meningkatnya suhu tubuh biasanya sekitar
38OC sampai 40 OC (Schwartz et al, 1989).
Pada peritonitis berat dapat ditemukan fascies Hipocrates. Gejala ini termasuk
ekspresi yang tampak gelisah, pandangan kosong, mata cowong, kedua telinga menjadi
dingin, dan muka yang tampak pucat (Cole et al,1970).
Penderita dengan peritonitis lanjut dengan fascies Hipocrates biasanya berada pada stadium
pre terminal. Hal ini ditandai dengan posisi mereka berbaring dengan lutut di fleksikan dan
respirasi interkosta yang terbatas karena setiap gerakan dapat menyebabkan nyeri pada
abdomen (Schwartz et al, 1989).
Tanda ini merupakan patognomonis untuk peritonitis berat dengan tingkat kematian yang
tinggi, akan tetapi dengan mengetahui lebih awal diagnosis dan perawatan yang lebih baik,
angka kematian dapat lebih banyak berkurang (Cole et al,1970).
2.3.4Syok
Pada beberapa kasus berat, syok dapat terjadi oleh karena dua factor. Pertama akibat
perpindahan cairan intravaskuler ke cavum peritoneum atau ke lumen dari intestinal. Yang
kedua dikarenakan terjadinya sepsis generalisata (Cole et al,1970).
Yang utama dari septicemia pada peritonitis generalisata melibatkan kuman gram negative
diman dapat menyebabkan terjadinya tahap yang menyerupai syok. Mekanisme dari
fenomena ini belum jelas, akan tetapi dari penelitian diketahui bahwa efek dari endotoksin
pada binatang dapat memperlihatkan sindrom atau gejala-gejala yang mirip seperti gambaran
yang terlihat pada manusia (Cole et al,1970).
Tatalaksana utama pada peritonitis antara lain pemberian cairan dan elektrolit, kontrol
operatif terhadap sepsis dan pemberian antibiotik sistemik (Doherty, 2006).
Resusitasi Cairan
Secara teori, cairan koloid lebih efektif untuk mengatasi kehilangan cairan
intravaskuler, tapi cairan ini lebih mahal. Sedangkan cairan kristaloid lebih murah,
mudah didapat tetapi membutuhkan jumlah yang lebih besar karena kemudian akan
dikeluarkan lewat ginjal (Schwartz et al, 1989).
Suplemen kalium sebaiknya tidak diberikan hingga perfusi dari jaringan dan
ginjal telah adekuat dan urin telah diprodukasi (Doherty, 2006).
Antibiotik
Daya cakupan dari mikroorganisme aerob dan anerob lebih penting daripada
pemilihan terapi tunggal atau kombinasi. Pemberian dosis antibiotikal awal yang
kurang adekuat berperan dalam kegagalan terapi. Penggunaan aminoglikosida harus
diberikan dengan hati-hati, karena gangguan ginjal merupakan salah satu gambaran
klinis dari peritonitis dan penurunan pH intraperitoneum dapat mengganggu aktivitas
obat dalam sel. Pemberian antibiotik diberikan sampai penderita tidak didapatkan
demam, dengan hitung sel darah putih yang normal (Doherty, 2006).
Kontrol Sepsis
Peritoneal Lavage
Pada peritonitis difus, lavage dengan cairan kristaloid isotonik (> 3 liter) dapat
menghilangkan material-material seperti darah, gumpalan fibrin, serta bakteri.
Penambahan antiseptik atau antibiotik pada cairan irigasi tidak berguna bahkan berbahaya
karena dapat memicu adhesi (misal: tetrasiklin, povidone-iodine). Antibiotik yang
diberikan cecara parenteral akan mencapai level bakterisidal pada cairan peritoneum dan
tidak ada efek tambahan pada pemberian bersama lavage. Terlebih lagi, lavage dengan
menggunakan aminoglikosida dapat menyebabkan depresi nafas dan komplikasi anestesi
karena kelompok obat ini menghambat kerja dari neuromuscular junction. Setelah
dilakukan lavage, semua cairan di kavum peritoneum harus diaspirasi karena dapat
menghambat mekanisme pertahanan lokal dengan melarutkan benda asing dan
membuang permukaan dimana fagosit menghancurkan bakteri (Doherty, 2006).
Peritoneal Drainage
Penggunaan drain sangat penting untuk abses intra abdominal dan peritonitis lokal
dengan cairan yang cukup banyak. Drainase dari kavum peritoneal bebas tidak efektif dan
tidak sering dilakukan, karena drainase yang terpasang merupakan penghubung dengan udara
luar yang dapat menyebabkan kontaminasi. Drainase profilaksis pada peritonitis difus tidak
dapat mencegah pembentukan abses, bahkan dapat memicu terbentuknya abses atau fistula.
Drainase berguna pada infeksi fokal residual atau pada kontaminasi lanjutan. Drainase
diindikasikan untuk peradangan massa terlokalisasi atau kavitas yang tidak dapat direseksi
(Doherty, 2006).
2.5 Komplikasi
Komplikasi postoperatif sering terjadi dan umumnya dibagi menjadi komplikasi lokal dan
sistemik. Infeksi pada luka dalam, abses residual dan sepsis intraperitoneal, pembentukan
fistula biasanya muncul pada akhir minggu pertama postoperasi. Demam tinggi yang
persisten, edema generalisata, peningkatan distensi abdomen, apatis yang berkepanjangan
merupakan indikator adanya infeksi abdomen residual. Hal ini membutuhkan pemeriksaan
lebih lanjut misalnya CT-Scan abdomen. Sepsis yang tidak terkontrol dapat menyebabkan
kegagalan organ yang multipel yaitu organ respirasi, ginjal, hepar, perdarahan, dan sistem
imun (Doherty, 2006).
2.6 Prognosis
Tingkat mortalitas dari peritonitis generalisata adalah sekitar 40%. Faktor-faktor
yang mempengaruhi tingginya tingkat mortalitas antara lain tipe penyakit primer dan
durasinya, keterlibatan kegagalan organ multipel sebelum pengobatan, serta usia dan kondisi
kesehatan awal pasien. Tingkat mortalitas sekitar 10% pada pasien dengan ulkus perforata
atau apendisitis, pada usia muda, pada pasien dengan sedikit kontaminasi bakteri, dan pada
pasien yang terdiagnosis lebih awal