Anda di halaman 1dari 37

BAHAN ADITIF PADA MAKANAN

Makalah
Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Analisis Pengolahan Pangan
yang Dibimbing oleh Hj. Nursasi Handayani, M.Si. dan Yunita Rakhmawati, S.Gz.,
M.Kes.

Disusun Oleh :
Kelompok 1 Offering Pangan 2017

Adi Romiansyah Saragih (170342615592)


Isma Sandra Pahlevi (170342615584)
Maghfira Selia Irawati (170342615599)

JURUSAN BIOLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS NEGERI MALANG
April 2020
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi telah menghasilkan
produk-produk industri yang dapat memenuhi kebutuhan manusia sehari-hari.
Bahan kimia yang telah diketahui manfaatnya dikembangkan dengan cara
membuat produk-produk yang berguna untuk kepentingan manusia dan
lingkungannya. Oleh karena itu, perlu mengetahui jenis, sifat-sifat, kegunaan, dan
efek samping dari setiap produk yang digunakan termasuk makanan yang dimakan
sehari-hari.
Pada umumnya dalam pengolahan makanan selalu diusahakan untuk
menghasilkan produk makanan yang disukai dan berkualitas baik dengan harapan
memiliki nilai jual yang tinggi. Makanan yang tersaji harus tersedia dalam bentuk
dan aroma yang lebih menarik, rasa enak dan konsistensinya baik serta awet.
Untuk mendapatkan makanan seperti yang diinginkan maka sering pada proses
pembuatannya dilakukan penambahan Bahan Tambahan Makanan (BTM) atau
yang sekarang lebih dikenal dengan Bahan Tambahan Pangan (BTP) (Winarno,
2014).
Tujuan penggunaan bahan tambahan pangan adalah dapat meningkatkan
atau mempertahankan nilai gizi dan kualitas daya simpan, membuat bahan pangan
lebih mudah dihidangkan, serta mempermudah preparasi bahan pangan. Bahan
Tambahan Pangan yang diizinkan adalah pewarna, pemanis, pengawet, penyedap
rasa dan aroma, pemutih, antikempal, antioksidan, pengatur keasaman,
pengemulsi, pengental, pengeras dan penambah gizi (Asri, 2015).
Salah satu yang harus diperhatikan yaitu beberapa bahan kimia dalam
makanan, dalam hal ini zat aditif makanan. Zat aditif adalah bahan kimia yang
dicampurkan ke dalam makanan yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas
makanan, menambahkan kelezatan, dan mengawetkan makanan (Puspitasari,
2017).
Meningkatnya jumlah penduduk dan bertambahnya kebutuhan akan pangan,
sehingga ketersediaan zat aditif alami yang terbatas tidak mampu mencukupi
kebutuhan manusia. Karena itu sebabnya, pelaku usaha memanfaatkan zat aditif
sintesis yang dibuat dari zat-zat kimia (Fennema, 2011).
Zat aditif makanan dikelompokkan menjadi dua golongan, yaitu (Shahidi,
2011) :
1. Zat aditif yang berasal dari sumber alami, seperti lesitin dan asam sitrat.
2. Zat aditif sintetik dari bahan kimia yang memiliki sifat serupa dengan
bahan alami yang sejenis, baik susunan kimia maupun sifat/fungsinya,
seperti amil asetat dan asam askorbat.
Penggunaan zat aditif sendiri sudah berlangsung sejak lama di masyarakat,
baik yang sintetis maupun alami. Dan saat ini hampir semua orang sangat
bergantung pada penggunaan zat aditif ini dalam kehidupannya. Dalam industri
makanan dan minuman, zat aditif ini merupakan faktor kunci untuk menghasilkan
produk yang baik dan disenangi konsumen (Winarno, 2011). Sedangkan
penggunaannya untuk keperluan rumah tangga bertujuan untuk meningkatkan
citarasa dari suatu makanan (Kristiani, 2009).

1.2 Rumusan masalah


1. Apa yang dimaksud dengan zat aditif ?
2. Bagaimana sifat fisik dan kimia dari bahan aditif ?
3. Apa saja macam-macam bahan aditif ?
4. Bagaimana manfaat atau kegunaan bahan aditif ?
5. Bagaimana faktor kerusakan dari bahan aditif ?
6. Bagaimana metode analisis uji bahan aditif ?
7. Bagaimana teknik pengolahan bahan aditif ?
1.3 Tujuan
1. Mengetahui pengertian bahan aditif.
2. Mengetahui sifat fisik dan kimia dari bahan aditif.
3. Mengetahui macam-macam bahan aditif.
4. Mengetahui manfaat atau kegunaan bahan aditif.
5. Mengetahui faktor kerusakan dari bahan aditif.
6. Mengetahui metode analisis uji bahan aditif.
7. Mengetahui teknik pengolahan bahan aditif.
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Pengertian Bahan Aditif
Bahan aditif makanan adalah zat atau campuran dari beberapa zat yang
ditambahkan ke dalam makanan baik pada saat produksi, pemrosesan, pengemasan
atau penyimpanan dan bukan sebagai bahan baku dari makanan tertentu. Pada
umumnya, zat aditif atau produk degradasinya akan tetap berada dalam makanan,
akan tetapi dalam beberapa kasus zat aditif dapat hilang selama pemrosesan
(Belitz, 2009).
Menurut Tranggono (2017), Zat aditif adalah zat-zat yang ditambahkan pada
makanan selama proses produksi, pengemasan atau penyimpanan untuk maksud
tertentu. Penambahan zat aditif dalam makanan berdasarkan pertimbangan agar
mutu dan kestabilan makanan tetap terjaga dan untuk mempertahankan nilai gizi
yang mungkin rusak atau hilang selama proses pengolahan.
Sedangkan menurut Undang-undang RI nomor 7 tahun 1996 tentang Pangan
Bahan Tambahan Pangan adalah bahan atau campuran bahan yang secara alami
bukan merupakan bagian dari bahan baku pangan, tetapi ditambahkan kedalam
pangan untuk mempengaruhi sifat atau bentuk pangan, antara lain pewarna,
pengawet, penyedap rasa, anti gumpal, pemucat dan pengental.
Beberapa sumber lain mengatakan zat aditif makanan atau bahan tambahan
makanan adalah bahan yang ditambahkan dengan sengaja ke dalam makanan
dalam jumlah kecil, dengan tujuan untuk memperbaiki penampakan, cita rasa,
tekstur, flavor dan memperpanjang daya simpan. Selain itu dapat meningkatkan
nilai gizi seperti protein, mineral dan vitamin (Puspitasari, 2017).

2.2 Sifat Fisik dan Kimia Bahan Aditif


Zat aditif makanan dapat digolongkan menjadi dua yaitu : (a) aditif sengaja,
yaitu aditif yang diberikan dengan sengaja dengan maksud dan tujuan tertentu,
seperti untuk meningkatkan nilai gizi, cita rasa, mengendalikan keasaman dan
kebasaan, memantapkan bentuk dan rupa, dan lain sebagainya, dan (b) aditif
tidak sengaja, yaitu aditif yang terdapat dalam makanan dalam jumlah sangat
kecil sebagai akibat dari proses pengolahan. Bila dilihat dari sumbernya, zat
aditif dapat berasal dari sumber alamiah seperti lesitin, asam sitrat, dan lain-lain,
dapat juga disintesis dari bahan kimia yang mempunyai sifat serupa dengan
bahan alamiah yang sejenis, baik susunan kimia, maupun sifat metabolismenya
seperti karoten, asam askorbat, dan lain-lain. Sifat fisik dari bahan aditif juga
bermacam-macam, contohnya gula dan garam sebagai pengawet alami
mempunyai sifat hidroskopis (menyerap kandungan air dalam makanan). Selain
itu, zat pewarna makanan dikelompokkan berdasarkan sifat kelarutannya,
menjadi dye dan lake. Pada umumnya bahan sintetis mempunyai kelebihan, yaitu
lebih pekat, lebih stabil, dan lebih murah. Walaupun demikian ada kelemahannya
yaitu sering terjadi ketidaksempurnaan proses sehingga mengandung zat-zat
berbahaya bagi kesehatan, dan kadang-kadang bersifat karsinogen yang dapat
merangsang terjadinya kanker pada hewan dan manusia (Amir, 2017).

2.3 Macam-Macam Bahan Aditif


2.3.1 Bahan Pengawet
Zat pengawet pada makanan digunakan agar makanan menjadi tahan lama dan
tetap segar, bau dan rasanya tidak berubah atau melindungi makanan dari proses
pembusukan oleh bakteri. Bahan pengawet bersifat karsinogen, untuk itu batasan
penggunaan bahan pengawet sebaiknya sesuai dengan Peraturan Menteri
Kesesehatan No. 722/ menkes/per/IX/ 88.
Pengawetan dilakukan dengan berbagai cara, yaitu penggunaan suhu rendah,
suhu tinggi, iradiasi atau dengan penambahan bahan pengawet (Asri, 2015).
Produk-produk pangan dalam kemasan yang diproses dengan panas atau disebut
sterilisasi komersil seperti kornet dalam kaleng atau susu steril dalam kemasan
tidak menggunakan bahan pengawet karena proses termal sudah cukup untuk
memusnahkan mikroba pembusuk dan pathogen (Winarno dan Titi, 2014).
Pengawet digunakan agar makanan lebih tahan lama dan tidak cepat busuk
bila disimpan karena bahan pengawet dapat menghambat atau mematikan
pertumbuhan mikroba atau mikroorganisme yang dapat merusak dan
membusukkan makanan (Fennema, 2011).
Menurut FDA (Food and Drug Administrasion), keamanan suatu pengawet
makanan harus mempertimbangkan jumlah yang mungkin dikonsumsi dalam
produk makanan atau jumlah zat yang akan terbentuk dalam makanan dari
penggunaan pengawet, efek akumulasi dari pengawet dalam makanan dan
potensi toksisitas yang dapat terjadi (termasuk menyebabkan kanker) dari
pengawet jika dicerna oleh manusia atau hewan (Shahidi dan Naczk, 2011).
Menurut Sudarmaji (2012), secara garis besar zat pengawet dibedakan
menjadi tiga macam, yaitu :
1. GRAS (Generally Recognized as Safe), bersifat alami. Berikut ini adalah
contoh-contoh pengawet alami :
a) Gula tebu, memberi rasa manis dan bersifat mengawetkan. Gula pasir
dihasilkan dari tebu dan digunakan sebagai pengawet, karena gula dapat
menyerap kandungan air (bersifat higroskopis). Dengan tidak adanya air,
maka mikroorganisme di dalam makanan tidak dapat berkembang dan mati.
b) Gula merah, Selain sebagai pemanis gula merah juga bersifat mengawetkan
seperti halnya gula tebu.
c) Garam, merupakan pengawet alami yang banyak dihasilkan dari penguapan
air laut. Garam dapur (NaCl), digunakan sebagai pengawet makanan karena
dapat menghambat dan membunuh pertumbuhan bakteri dalam makanan.
Hal itu disebabkan karena garam dapur bersifat hidroskopis (menyerap
kandungan air dalam makanan) seperti halnya gula pasir.
d) Kunyit, selain sebagai pewarna, juga berfungsi sebagai pengawet. Dengan
penggunaan kunyit, tahu atau nasi kuning menjadi tidak cepat basi.
e) Kulit kayu manis, merupakan kulit kayu yang berfungsi sebagai pengawet.
Selain itu, kayu manis juga berfungsi sebagai pemanis dan pemberi aroma.
f) Cengkih, merupakan pengawet alami yang dihasilkan dari bunga tanaman
cengkih. Selain sebagai pengawet, cengkih juga berfungsi sebagai penambah
aroma.
g) Bawang putih, yang diiris akan mengeluarkan alisin, yaitu suatu zat yang
dapat menghambat pertumbuhan bakteri, sehingga bawang putih dapat
dipakai sebagai bahan pengawet.
h) Jeruk (asam sitrat), digunakan untuk menghambat pertumbuhan mikroba
pada ikan mentah atau juga daging biasanya ditambahkan bersama dengan
garam.
2. ADI (Acceptable Daily Intake)
Bahan-bahan pengawet tersebut, antara lain sebagai berikut :
a) Asam asetat, atau asam cuka. Bahan ini menghasilkan rasa asam dan jika
jumlahnya terlalu banyak akan mengganggu selera. Asam asetat mempunyai
sifat antimikroba. Makanan yang memakai pengawet asam cuka antara lain
acar, saos tomat, dan saus cabai.
b) Benzoat, banyak ditemukan dalam bentuk asam benzoat maupun natrium
benzoat (garamnya). Berbagai jenis soft drink (minuman ringan), sari buah,
nata de coco, kecap, saus, selai, dan agar-agar diawetkan dengan
menggunakan bahan jenis ini.
c) Sulfit, Bahan ini biasa dijumpai dalam bentuk garam kalium atau natrium
bisulfit. Potongan kentang, sari nanas dan udang beku biasa diawetkan
dengan menggunakan bahan ini.
d) Propil galat, Digunakan dalam produk makanan yang mengandung minyak
atau lemak dan permen karet serta untuk memperlambat ketengikan pada
sosis. Propil galat juga dapat digunakan sebagai antioksidan.
e) Propianat, Jenis bahan pengawet propianat yang sering digunakan adalah
asam propianat dan garam kalium atau natrium propianat. Propianat selain
menghambat kapang juga dapat menghambat pertumbuhan Bacillus
mesentericus yang menyebabkan kerusakan bahan makanan.
f) Garam nitrit, biasanya dalam bentuk kalium atau natrium nitrit. Kalium nitrit
berwarna putih atau kuning dan kelarutannya tinggi dalam air. Bahan ini
terutama sekali digunakan sebagai bahan pengawet keju, ikan, daging, dan
juga daging olahan seperti sosis, atau kornet, serta makanan kering seperti
kue kering. Perkembangan mikroba dapat dihambat dengan adanya nitrit ini.
Misalnya, pertumbuhan clostridia di dalam daging yang dapat
membusukkan daging.
g) Sorbat, dalam bentuk asam atau garam sorbat. Sorbat sering digunakan
dalam pengawetan margarin, sari buah, keju, anggur, dan acar. Asam sorbat
sangat efektif dalam menekan pertumbuhan kapang dan tidak memengaruhi
cita rasa makanan pada tingkat yang diperbolehkan.
Tabel 1. Batas kandungan bahan pengawet buatan dalam makanan.
Jenis Bahan Pengawet Berat bahan pengawet/ Kg makanan
Asam asetat Secukupnya (tidak dibatasi)
Asam/Natrium Benzoat 1 g/Kg
Propionat 2-3 g/Kg
Garam nitrit 0,63 g/Kg
Sorbat 3 g/Kg
Sulfit -
Propil galat 100 mg/Kg
Sumber : kelly, 2002
3. Zat pengawet yang memang tidak layak dikonsumsi atau berbahaya
Beberapa diantaranya yaitu:
a) Boraks atau natrium tetraborat, dengan rumus kimia Na2B4O7·10 H2O adalah
senyawa yang biasa digunakan sebagai bahan baku disinfektan, detergen,
cat, plastik, ataupun pembersih permukaan logam sehingga mudah disolder
(Shahidi, 2011). Banyak ditemukan kasus boraks yang disalahgunakan untuk
pengawetan bakso, sosis, krupuk gendar, mie basah, pisang molen, lemper,
siomay, lontong, ketupat, dan pangsit.
Jika boraks termakan dalam kadar tertentu, dapat menimbulkan sejumlah
efek samping bagi kesehatan, di antaranya:
1) Gangguan pada sistem saraf, ginjal, hati, dan kulit;
2) Gejala pendarahan di lambung dan gangguan stimulasi saraf pusat;
3) Terjadinya komplikasi pada otak dan hati; dan
4) Menyebabkan kematian jika ginjal mengandung boraks sebanyak 3–6
gram.
b) Formalin yakni larutan yang mengandung 40% formaldehid (HCOH) dalam
60% air atau campuran air dan metanol (jenis alkohol bahan baku spiritus)
sebagai pelarutnya (Shahidi, 2011). Formalin tidak boleh digunakan karena
dapat menyebabkan kanker paru-paru dan gangguan pada alat pencernaan
dan jantung.
c) Natamysin, bahan ini biasa digunakan pada produk daging dan keju. Bahan
ini bisa menyebabkan mual, muntah, tidak nafsu makan, diare, dan
perlukaan kulit.
d) Kalium Asetat, makanan yang asam umumnya ditambahkan bahan pengawet
ini.
2.3.2 Bahan Pewarna
Zat pewarna merupakan bahan alami ataupun bahan kimia yang ditambahkan
ke dalam makanan (Noonan dan Harry, 2016). Penambahan bahan pewarna pada
makanan bertujuan untuk memberi penampilan tertentu atau warna yang menarik
(Winarno, 2011). Warna yang menarik dapat menjadikan makanan lebih
mengundang selera. Berdasarkan sifat kelarutannya, zat pewarna makanan
dikelompokkan menjadi dye dan lake. Dye merupakan zat pewarna makanan
yang umumnya bersifat larut dalam air. Dye biasanya dijual di pasaran dalam
bentuk serbuk, butiran, pasta atau cairan. Lake merupakan gabungan antara zat
warna dye dan basa yang dilapisi oleh suatu zat tertentu (Noonan dan Harry,
2016).
1. Pewarna alami
merupakan bahan pewarna yang bahan-bahannya banyak diambil dari tumbuh-
tumbuhan. Bahan pewarna alami yang banyak digunakan antara lain sebagai
berikut (Asri, 2015) :
a) Daun suji mengandung zat warna klorofil untuk memberi warna hijau
menawan, misalnya pada dadar gulung, kue bika, atau kue pisang.
b) Buah kakao merupakan penghasil cokelat dan memberikan warna cokelat
pada makanan, misalnya es krim, susu cokelat, atau kue kering.
c) Kunyit (Curcuma domestica) mengandung zat warna kurkumin untuk
memberi warna kuning pada makanan, misalnya tahu, bumbu Bali, atau nasi
kuning. Selain itu, kunyit dapat mengawetkan makanan.
d) Cabai merah, selain memberi rasa pedas, juga menghasilkan zat warna
kapxantin yang menjadikan warna merah pada makanan, misalnya rendang
daging atau sambal goreng.
e) Wortel, kegunaannya adalah sebagai zat pemberi warna oranye pada
makanan. Wortel sering digunakan pada pembuatan selai nanas. β-karoten
yang memberikan warna oranye pada bahan makanan. 
f) Karamel, warna cokelat karamel pada kembang gula karena proses
karamelisasi, yaitu pemanasan gula tebu sampai pada suhu sekitar 170°C.
g) Gula merah, selain sebagai pemanis juga memberikan warna cokelat pada
makanan, misalnya pada bubur dan dodol.
h) Buah-buahan, selain contoh di atas, beberapa buah-buahan juga dapat
menjadi bahan pewarna alami, misalnya anggur menghasilkan warna ungu,
stroberi warna merah, dan tomat warna oranye.
2. Pewarna Buatan/Sintetik
Bahan pewarna buatan ada dua jenis yakni jenis pertama adalah pewarna
buatan yang disintesa dengan struktur kimia persis seperti bahan alami, misalnya
beta-karoten (warna oranye sampai kuning), santoxantin (warna merah), dan
apokaroten (warna oranye). Jenis kedua adalah bahan pewarna yang disintesa
khusus untuk menggantikan pewarna alami (Fennema, 2011).
Gambar 1. Makanan dengan pewarna buatan
( Reni, 2008)
a) Fast Green FCF warna hijau digunakan dalam makanan dan minuman
misalnya Es krim dan buah kalengan. Adapun kadar yang ditentukan
untuk penggunaan zat pewarna ini dalam tiap kilogram bahan makanan
adalah sebanyak 300 mg.
b) Sunset yellow FCF warna kuning digunakan dalam makanan dan
minuman misalnya minuman ringan, permen, selai dan agar-agar. Pewarna
ini merupakan pewarna sintetik yang bersifat asam yang mengandung
kelompok kromofor NN dan CC. Penggunaannya dalam bahan makanan
maksimum adalah sebanyak 300 mg/Kg bahan makanan.
c) Brilliant blue FCF warna biru digunakan dalam makanan dan minuman
misalnya Es krim, selai, buah kalengan. Batas kadar maksimum dalam
bahan makanan adalah 100 mg/Kg bahan makanan.
d) Coklat HT warna coklat digunakan dalam makanan dan minuman
misalnya minuman ringan, agar-agar dan selai.
e) Ponceau 4R pemberi warna merah digunakan dalam makanan dan
minuman misalnya Minuman ringan, yoghurt dan jeli. Batas kadar
maksimum dalam bahan makanan adalah 200 mg/Kg bahan makanan
f) Eritrosin warna merah digunakan dalam makanan dan minuman misalnya
jeli, selai, saus, es krim dan buah kalengan. Eritrosin adalah sebuah
senyawa iodo-anorganik terutama turunandari flor. Zat pewarna ini
merupakan senyawa sintetis warna cherry-pink.
g) Tartrazine adalah salah satu zat pewarna buatan yang berwarna kuning
dan dipergunakan secara luas dalam berbagai makanan olahan. Zat
pewarna ini telah diketahui dapat menginduksi reaksi alergi, terutama bagi
orang yang alergi terhadap aspirin. Tartrazin atau Yellow 5 atau C.I.29140
adalah bahan pewarna sintetik yang memberikan warna kuning pada
bahan makanan maupun minuman. Bahan ini juga sering dikombinasikan
dengan Brilliant Blue FCF (suatu bahan pewarna) untuk memberikan
gradasi warna hijau (Kelly, et al., 2002). Tartrazin banyak terdapat pada
produk makanan, minuman, mie instant, pudding, serta permen. Batas
kadar maksimum dalam bahan makanan adalah 100 mg/Kg bahan
makanan.
Tabel 2. Kadar Batas Maksimum Zat Pewarna
Nama Pewarna Batas Kadar /Kg makanan
Fast Green FCF 300 mg/Kg
Sunset Yellow FCF 300 mg/ Kg
Briliat Blue FCF 100 mg/Kg
Cokelat HT 70 mg/L
Ponceau 4R 200 mg/Kg
Eritrosin 300 mg/Kg
Tartazin 100 mg/Kg
Sumber : Imeson, 2012
3. Zat Pewarna yang tidak baik
Seiring dengan meluasnya pemakaian pewarna sintetik, sering terjadi
penyalahgunaan pewarna pada makanan. Sebagai contoh digunakannya
pewarna tekstil untuk makanan sehingga membahayakan konsumen. Zat
pewarna tekstil dan pewarna cat biasanya mengandung logam berat, seperti:
arsen, timbal, dan raksa sehingga bersifat racun.
Zat pewarna yang sudah di larang penggunaannya dalam makanan adalah :
(Noonan dan Harry, 2016)
a) Rhodamin-B (pewarna merah), merupakan pewarna tekstil yang sering
disalahgunakan sebagai pewarna makanan oleh produsen-produsen yang
tidak bertanggung-jawab. Zat menyebabkan iritasi pada saluran pernafasan,
iritasi pada kulit, iritasi pada mata, iritasi saluran pencernaan dan bahaya
kanker hati.
b) Methanil (pewarna kuning), menyebabkan iritasi pada saluran pernafasan,
iritasi pada kulit, iritasi pada mata, dan bahaya kanker pada kandung dan
saluran kemih.
c) Amaranth (pewarna merah), bahan pewarna ini merupakan pewarna merah
yang biasanya ditambahkan pada minuman. Penambahan zat ini secara
berlebihan, akan mengakibatkan bebagai masalah pada tubuh seperti kanker
dan bahkan kematian (Rustamji, 2016).
2.3.3 Bahan Pemanis
Pemanis merupakan senyawa alami atau sintetis yang memberikan rasa manis
dan tidak memiliki nilai gizi atau dapat diabaikan ("pemanis non-nutritif")
dalam kaitannya dengan tingkat kemanisan (Belitz, 2009). Penambahan
pemanis dalam bahan makanan dimaksudkan untuk memberi atau menambah
rasa manis pada makanan tersebut. Pemanis dikategorikan menjadi dua yaitu
pemanis alami dan buatan.
1. Pemanis Alami
Pemanis alami dapat diperoleh dari bahan-bahan nabati ataupun hewani.
Selain itu pemanis alami juga berfungsi sebagai sumber energi, sehingga jika
kita mengkonsumsinya secara berlebihan maka akan mengakibatkan
kegemukan. Adapun beberapa pemanis alami antara lain:
a) Gula pasir (tebu) mengandung zat pemanis fruktosa yang merupakan
salah satu jenis glukosa. Gula tebu atau gula pasir yang diperoleh dari
tanaman tebu merupakan pemanis yang paling banyak digunakan. Selain
memberi rasa manis, gula tebu juga bersifat mengawetkan.
b) Gula merah (gula aren) merupakan pemanis dengan warna coklat. Gula
merah merupakan pemanis kedua yang banyak digunakan setelah gula
pasir. Kebanyakan gula jenis ini digunakan untuk makanan tradisional,
misalnya pada bubur, dodol, kue apem, dan gulali.
c) Gula jawa, dihasilkan dari buah kelapa. Gula kelapa sering digunakan
sebagai pemanis minuman (seperti dawet, es kelapa muda, sirup, dan lain-
lain). Gula kelapa juga sering dipakai sebagai pemanis pada saat
memasak sayur. 
d) Madu merupakan pemanis alami yang dihasilkan oleh lebah madu. Selain
sebagai pemanis, madu juga banyak digunakan sebagai obat.
e) Kulit kayu manis merupakan kulit kayu yang berfungsi sebagai pemanis.
Selain itu kayu manis juga berfungsi sebagai pengawet.
Berdasarkan kandungan nutrisinya, zat pemanis alami yang biasa digunakan,
dibedakan menjadi dua, yaitu sebagai berikut:
a) Pemanis nutritif adalah pemanis alami yang menghasilkan kalori. Pemanis
nutritif berasal dari tanaman (sukrosa/ gula tebu, gula bit, xylitol dan
fruktosa), dari hewan (laktosa, madu), dan dari hasil penguraian
karbohidrat (sirop glukosa, dekstrosa, sorbitol). Pemanis ini dapat
mengakibatkan obesitas, karena kandungan kalorinya yang tinggi.
b) Pemanis nonnutritive adalah pemanis alami yang tidak menghasilkan
kalori. Pemanis nonnutritif berasal dari tanaman (steviosida), dan dari
kelompok protein (miralin, monellin, thaumatin).
2. Pemanis Buatan
Pemanis buatan adalah senyawa hasil sintetis laboratorium yang
merupakan bahan tambahan makanan yang dapat menyebabkan rasa manis
pada makanan. Pemanis buatan tidak atau hampir tidak mempunyai nilai
gizi. Sebagaimana pemanis alami, pemanis buatan juga mudah larut dalam
air. Penggunaan bahan pemanis atau batasan pemakaian bahan pemanis
dalam makanan harus mengacu pada WHO yang dikenal dengan ADI
(aceeptable daily intake) dan Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 722 /
Menkes / per / IX / 1988 tentang batasan maksimum penggunaan bahan
kimia dalam makanan.
Zat pemanis sintetik diantaranya sakarin, natrium siklamat, magnesium
siklamat, kalsium siklamat, aspartam dan dulsin (Rustamji, 2016).  Pemanis
sintetik tidak dapat dicerna oleh tubuh, sehingga tidak berfungsi sebagai
sumber energy. Pemanis buatan mempunyai tingkat rasa manis lebih tinggi
daripada pemanis alami dan akan memberikan rasa pahit pada makanan jika
dipergunakan secara berlebihan. Beberapa pemanis buatan yang beredar di
pasaran di antaranya adalah sebagai berikut : (Sudarmaji, 2012)
a) Aspartam mempunyai nama kimia aspartil fenilalanin metil ester,
merupakan pemanis yang digunakan dalam produk-produk minuman
ringan. Aspartam merupakan pemanis yang berkalori sedang. Tingkat
kemanisan dari aspartam 200 kali lebih manis daripada gula pasir.
b) Sakarin, merupakan pemanis buatan yang paling tua. Tingkat kemanisan
sakarin kurang lebih 300 kali lebih manis dibandingkan gula pasir.
Namun, jika penambahan sakarin terlalu banyak justru menimbulkan rasa
pahit dan getir. Dalam setiap kilogram bahan makanan, kadar sakarin
yang diperbolehkan adalah 50–300 mg. Sakarin hanya boleh digunakan
untuk makanan rendah kalori, dan dibatasi tingkat konsumsinya sebesar
maksimal 0,5 mg tiap kilogram berat badan per hari.
c) Siklamat, terdapat dalam bentuk kalsium dan natrium siklamat dengan
tingkat kemanisan yang dihasilkan kurang lebih 30 kali lebih manis
daripada gula pasir. Batas maksimum penggunaan siklamat adalah 500–
3.000 mg per kg bahan makanan.
d) Sorbitol, merupakan pemanis yang biasa digunakan untuk pemanis
kismis, selai dan roti, serta makanan lain.
e) Asesulfam K, merupakan senyawa 6-metil-1,2,3-oksatiazin-4(3H)-on-2,3-
dioksida atau merupakan asam asetoasetat dan asam sulfamat. Tingkat
kemanisan dari asesulfam K adalah 200 kali lebih manis daripada gula
pasir. Berdasarkan hasil pengujian laboratorium, asesulfam K merupakan
pemanis yang tidak berbahaya (Sudarmaji, 2012).
2.3.4 Penyedap Rasa
Bahan penyedap rasa merupakan bahan tambahan makanan yang berguna
untuk melezatkan bahan makanan. Penyedap berfungsi menambah rasa nikmat
dan menekan rasa yang tidak diinginkan dari suatu bahan makanan. Bahan
penyedap ini terdapat dalam bentuk alami dan buatan (Tranggono, et al,.  2017).
1. Penyedap Alami
Bahan penyedap dari bahan alami selalu terdapat di dalam setiap makanan.
Biasanya bahan-bahan ini dicampurkan bersama-sama sebagai bumbu
makanan, beberapa di antaranya :
a) Bawang merupakan pemberi rasa sedap alami yang paling banyak
digunakan.
b) Merica memberi aroma segar dan rasa pedas yang khas.
c) Terasi merupakan zat cita rasa alami yang dihasilkan dari bubuk ikan dan
udang kecil yang dibumbui sedemikian rupa sehingga memberi rasa sedap
yang khas.
d) Daun salam memberi rasa sedap pada makanan.
e) Jahe memberi aroma harum dan rasa pedas khas jahe.
f) Cabai memberi rasa sedap dan pedas pada setiap masakan.
g) Daun pandan memberi rasa dan aroma sedap dan wangi pada makanan.
h) Kayu manis, selain memberi rasa manis dan mengawetkan juga memberi
aroma harum khas kayu manis.
i) Rempah-rempah daun lainnya seperti kemangi, serai, daun jeruk
j) Rempah-rempah kering seperti cengkeh, pala, kemiri, ketumbar dan
lainnya.
2. Penyedap Buatan
Penyedap yang paling dikenal adalah vetsin atau MSG (monosodium
glutamat) yang dikenal dengan merk dagang seperti Ajinomoto, Miwon,
Royco, Sasa, Maggie, dan lain-lain. Penyedap buatan yang paling banyak
digunakan dalam makanan adalah vetsin atau monosodium glutamat (MSG)
yang sering juga disebut sebagai micin. MSG merupakan garam natrium dari
asam glutamat yang secara alami terdapat dalam protein nabati maupun
hewani. Daging, susu, ikan, dan kacang-kacangan mengandung sekitar 20%
asam glutamat. MSG tidak berbau dan rasanya merupakan campuran rasa
manis dan asin yang gurih (Shahidi dan Naczk,  2011).
Mengonsumsi MSG secara berlebihan akan menyebabkan timbulnya
gejala-gejala yang dikenal sebagai Chinese Restaurant Syndrome (CRS).
Tanda-tandanya antara lain berupa munculnya berbagai keluhan seperti pusing
kepala, sesak napas, wajah berkeringat, kesemutan pada bagian leher, rahang,
dan punggung (Rustamji, 2016).
Penyedap sintetis selain MSG antara lain adalah nukleotida seperti
guanosin monofosfat (GMP) dan inosin monofosfat (IMP). Keduanya
memberi rasa gurih pada makanan.
2.3.5 Pengemulsi
Menurut Peraturan Menteri Kesehatan RI No.722/Menkes/Per/IX/1988
tentang bahan tambahan makanan, pengemulsi adalah bahan tambahan makanan
yang dapat membantu terbentuknya atau memantapkan sistem dispersi yang
homogeny pada makanan. Emulsi adalah suatu sistem yang terdiri dari dua fase
cairan yang tidak saling melarut, di mana salah satu cairan terdispersi dalam
bentuk globula-globula di dalam cairan lainnya. Cairan yang terpecah menjadi
globula-globula dinamakan fase terdispersi, sedangkan cairan yang mengelilingi
globula-globula dinamakan fase kontinyu atau medium dispersi (Timmermann,
2000).
Berikut ini adalah macam-macam emulsi yang digunakan dalam bahan
pangan :
1. Mono dan Diglycerides, dikenal juga dengan istilah discrete
substances. Yang tergolong mono dan diglycerides antara lain: (Florida, 2008)
a) Glycerol monolaurate, dibuat dari reaksi glycerol dan asam laurat.
b) Ethoxylated mono dan diglycerides (EMG), juga disebut
dengan polyoxyethylene (20) mono dan diglycerides.
c) Diacetyl tartaric acid ester of monoglycerides (DATEM).
d) Lactic acid ester of monoglycerides, misalnya glyceril lactyl palmitate.
e) Succinylated monoglycerides
2. Stearoyl Lactylates, merupakan hasil reaksi dari asam starat dan asam laktat,
selanjutnya diubah ke dalam bentuk garam kalsium dan sodium (Florida,
2008). Bahan pengemulsi ini sering digunakan dalam produk-produk bakery.
3. Propylene Glycol Ester, merupakan hasil reaksi dari propylene glycol dan
asam-asam lemak (Tien, 2010). Umumnya digunakan dalam pembuatan kue,
roti dan whipped topping.
4. Sorbitan Esters, asam sorbitan yang terbentuk dari reaksi antara sorbitan dan
asam lemak. Sorbitan adalah produk dihidrasi dari gula alkohol yang dapat
diperoleh secara alami yaitu sorbitol (Timmermann, 2000). Bahan tersebut
umumnya digunakan dalam pembuatan kue, whipped topping, cake
icing, coffee whiteners, serta pelapis pelindung buah dan sayuran segar.
5. Polysorbates, ester polioksietilen sorbitan umumnya disebut polisorbat.  Ester
ini dibuat dari reaksi antara ester-ester sorbitan dan etilen oksida. Tiga jenis
polisorbat yang diizinkan untuk digunakan dalam pangan adalah polisorbat
60, Polisorbat 65, polisorbat 80 (Florida, 2008).
6. Polyglycerol Ester, dibuat dari reaksi antara asam-asam lemak dan gliserol
yang sudah mengalami polimerisasi. Ester-ester poliglycerol digunakan dalam
pangan yang diaerasi mengandung lemak, beverage, icing, dan margarine
(Timmermann, 2000).
7. Ester-ester Sukrosa, adalah mono, di dan triester sukrosa dan asam-asam
lemak. Ester ini dihasilkan dari reaksi sukrosa dan lemak sapi (Tien, 2010).
Penggunaannya dalam pangan umumnya pada pembuatan roti, produk tiruan
olahan susu, dan whipped milk product.
8. Lecitin, adalah campuran fosfatida dan senyawa-senyawa lemak yang terdiri
dari fosfatidil kolin, fosfatidil etanolamin, fosfatidil inositoll, dan komponen-
komponen lainnya.  Lesitin merupakan bahan penyusun alami pada hewan
maupun tanaman (Florida, 2008). Lecitin paling banyak diperoleh dari kedele
dan kuning telur.  Biasanya digunakan untuk emulsifier pada margarine, roti,
kue dan lain-lain.
2.3.6 Pengental
Pengental yaitu bahan tambahan yang digunakan untuk menstabilkan,
memekatkan atau mengentalkan makanan yang dicampurkan dengan air,
sehingga membentuk kekentalan tertentu (Tranggono, et al.,  2017). 
Pengental makanan juga merupakan bahan tambahan pangan yang aman
menurut SK Menkes no.722/Menkes/Per/IX/88. Untuk proses pengentalan bahan
pangan cair dapat digunakan hidrokoloid, gumi dan bahan polimer sintetis.
Bahan pengental ini seperti karagenan, agar, pectin, gum arab, CMC (Shahidi,
2011).
Berikut adalah macam-macam bahan pengental makanan :
a. Telur, mengandung lipoprotein dan fosfolipid seperti lesitin yang dikenal
sebagai misel. Struktur misel pada lesitin tersebut adalah bagian yang
membuat emulsifier bekerja dengan baik.
b. Gelatin, adalah salah satu pengental makanan yang merupakan jenis protein
yang di ekstrasi dari jaringan kolagen kulit, atau ligament hewan
(Timmermann, 2000).
c. Kuning dan Putih Telur, utih telur adalah protein yang bersifat sebagai
emulsifier dengan kekuatan biasa dan kuning telur merupakan emulsifier yang
paling kuat. Paling sedikit sepertiga kuning telur merupakan lemak, tetapi
yang menyebabkan daya emulsifier kuat adalah kandungan lesitin dalam
bentuk kompleks sebagai lesitin protein.
d. Lesitin (Fosfatidil Kolina), adalah suatu fospolipid yang menjadi komponen
utama fraksi fospatida pada ekstrak kuning telur atau kacang kedelai yang
diisolasi secara mekanik, maupun kimiawi dengan menggunakan heksana.
Lesitin merupakan bahan penyusun alami pada hewan maupun tanaman.
Lesitin paling banyak diperoleh dari kedelai.
e. Tepung kanji, tapioka, tepung singkong, atau aci adalah tepung yang
diperoleh dari umbi akar ketela pohon. Tepung kanji merupakan salah satu
emulsifier yang bagus untuk makanan. Tepung ini memiliki sifat-sifat fisik
yang hampir sama dengan tepung sagu sehingga penggunaan keduanya dapat
dipertukarkan (Timmermann, 2000).
f. Kedelai sebagai bahan makanan memunyai nilai gizi cukup tinggi. Di antara
jenis kacang-kacangan, kedelai merupakan sumber protein, lemak, vitamin,
mineral dan serat yang paling baik. Di dalam biji kedelai terdapat minyak
yang cukup tinggi, di samping air. Keduanya dihubungkan oleh suatu zat yang
disebut lecithin. Bahan inilah yang kemudian diambil atau diekstrak menjadi
bahan pengemulsi yang bisa digunakan dalam produk-produk olahan (Imeson,
2012).
g. Susu bubuk adalah bubuk yang dibuat dari susu kering yang solid. Susu
bubuk selain sebagai pelengkap gizi, dapat pula berperan sebagai emulsifier
dalam proses emulsi suatu bahan pangan yang sangat bagus (Tien, 2010).
2.3.7 Bahan pengembang, yang melepaskan asam bila dipanaskan bereaksi dengan
baking soda membantu mengembangkan kue, biskuit dan roti selama proses
pemanggangan. Pengatur keasaman/kebasaan membantu memodifiksi
keasaman/kebasaan pangan agar diperoleh bau, rasa dan warna yang sesuai
(Fennema, 2011).
2.3.8 Zat pemantap adalah salah satu jenis zat aditif yang di tambahkan sehingga
mengikat ion logam sehingga memantapkan warna, aroma dan serat makanan
(Puspitasari, 2017). Pada proses pengolahan, pemanasan, atau pembekuan dapat
melunakkan sayuran sehingga menjadi lunak. Hal ini karena komponen
penyusun dinding sayuran tersebut yang disebut pektin (Shahidi, 2011). 
2.3.9 Antikempal
Anti kempal adalah senyawa anhidrat yang dapat mengikat air tanpa menjadi
basah dan biasanya ditambahkan ke dalam bahan makanan yang bersifat
bubuk/partikulat seperti garam meja.  Tujuan penambahan senyawa anti kempal
adalah untuk mencegah terjadinya penggumpalan dan menjaga agar bahan
tersebut dapat dituang (free flowing) (Imeson, 2012).
Antikempal adalah bahan tambahan makanan yang dapat mencegah
mengempalnya makanan yang berupa serbuk, tepung, dan bubuk. Bahan ini biasa
ditambahkan dalam garam meja, mrica bubuk, susu bubuk,. Contoh: aluminium
silikat untuk susu bubuk, dan kalsium aluminium silikat untuk garam meja
(Winarno, 2011 : 24).
2.3.10 Zat Pengeras
Zat aditif ini dapat memperkeras atau mencegah melunaknya makanan.
Contoh: aluminium amonium sulfat (pada acar ketimun botol), dan kalium
glukonat (pada buah kalangan) (Winarno dan Titi, 2014 : 26).
2.3.11 Bahan Aditif Lainnya
1. Vitamin dan mineral, yang ditambahkan ke dalam pangan seperti susu,
tepung dan margarin untuk memperbaiki kekurangan zat tersebut dalam diet
seseorang atau mengganti kehilangannya selama proses pengolahan pangan
(Rustamji, 2016).
2. Antioksidan, adalah bahan tambahan makanan yang dapat mencegah atau
menghambat proses oksidasi. Antioksidan adalah pengawet yang mencegah
terjadinya bau yang tidak sedap (Kelly, 2002). Antioksidan juga mencegah
potongan buah segar seperti apel menjadi coklat bila terkena udara.
Antioksidan menekan reaksi yang terjadi saat pangan menyatu dengan
oksigen, adanya sinar, panas, dan beberapa logam seperti contoh antara lain :
a. Asam askorbat (bentukan garam kalium, natrium, dan kalium), digunakan
pada daging olahan, kaldu, dan buah kalangan.
b. Butil hidroksianisol (BHA), digunakan untuk lemak dan minyak makanan
c. Butil hidroksitoluen (BHT), digunakan untuk lemak, minyak makan,
margarin dan mentega (Winarno dan Titi, 2014 : 24).

2.4 Pemanfaatan Zat Aditif


 Bahan Pewarna

Bahan pewarna adalah suatu bahan yang ditambahkan sehingga akan memberi
warna pada makanan, makanan akan terlihat segar dan lebih menarik. Terdapat dua
jenis zat pewarna yaitu alami dan sintetik. Beberapa pewarna alami adalah Anato
(orange) , Karamel (cokelat hitam) , Beta karoten (kuning) dan Klorofil (hijau).
Pewarna sintetik antara lain adalah Biru berlian (biru) , Coklat HT (coklat), Eritrosit
(merah) dan Hijau FCF (hijau).beragamanya warna disesuaikan dengan kebutuhan
selera konsumen sehingga menjadikan produsen selalu memvariasikan warna produk
yang diolah. Perkembangan zaman mengakibatkan adanya keterbatasan persediaan
dari zat pewarna alami telah menyebabkan peningkatan penggunaan zat warna
sintetik (Paryanto dkk, 2012). Pewarna sintetik memiliki zat aditif berbahaya seperti
penggunaan pewarna sintetik untuk pewarna tekstil seperti Rhodamin B pada
makanan dan minuman, sangat berbahaya bagi kesehatan karena dapat memicu
terjadinya kanker serta kerusakan ginjal dan hati (Madina dkk, 2017). Khususnya
pada berbagai produk makanan yang dihasilkan dari usaha rumah tangga. Limbah
dari suatu pewarna sintetik dapat menyebabkan pencemaran lingkungan dan
merupakan bahan berbahaya, karena dapat terdegradasi menjadi senyawa yang
bersifat karsinogenik dan beracun serta meningkatkan kekeruhan dan menjadikan
penurunan kualitas perairan dan menyebabkan kematian makhluk hidup yang tinggal
di dalamnya (Kartina dkk, 2013)
 Aroma serta Penguat Rasa
Zat aditif ini ditambahkan dengan tujuan memberikan, menambah, serta
memperkuat rasa dan aroma dari makanan. Beberapa zat aditif yang digunakan untuk
penyedap rasa dan aroma yaitu berasal dari golongan ester seperti Isoamil asetat
(memberikan rasa pisang), isoamil valerat (memberikan rasa apel), butil butirat
(memberikan rasa nanas), dan isobutil propionat (memberikan rasa anggur) pada
minuman ringan (Winarno dan Titi, 1994). Untuk bahan aditif penguat rasa yang
paling banyak digunakan adalah MSG (Monosodium Glutamate) yang sangat sering
digunakan sebagai penguat rasa. Penguat rasa selain dari sintetik juga apat beasal dari
bahan alami yang umumnya berasal dari tanaman, seperti pandan yang selain
berfungsi sebagai pemberi aroma juga sekaligus sebagai pemberi warna makanan.
Hal ini disebabkan karena adanya berbagai kandungan metabolit sekunder yang
terkandung didalam tumbuhan pandan tersebut (Musa dkk, 2013). Adanya kandungan
berbagai senyawa metabolit sekunder ini menyebabkan penggunaan bahan penguat
rasa dan aroma alami yang ditambahkan kedalam suatu makanan juga sekaligus akan
memberikan tambahan manfaat khususnya pada pengaruh terhadap kesehatan bagi
yang mengkonsumsi bahan makanan tersebut (Eldeen dkk, 2016)
 Bahan Pemanis Buatan

Zat aditif pemanis buatan ditambahkan kedalam produk makanan bertujuan untuk
memberikan rasa manis, dan zat aditif ini umumnya tidak mempunyai nilai gizi.
Beberapa contoh zat aditif yang memebrikan rasa manis adalah sakarin, dulsin ,
natrium siklamat dan sorbitol. Salah satu sifat dari bahan pemanis buatan adalah
sifatnya yang tidak dapat dicerna oleh didalam tubuh manusia sehingga tidak akan
berfungsi sebagai sumber energi. Penggunaan zat pemanis buatan lebih sering
digunakan dari pada pemanis alami karena pada berbagai produk makanan olahan
adalah untuk mengurangi biaya produksi karena zat pemanis buatan ini memiliki
tingkat kemanisan yang lebih tinggi dibandingkan pemanis alami seperti sukrosa. Hal
tersebut dapat ditunjukkan yaitu pada garam-garam siklamat memiliki kemanisan 30
kali lebih tinggi dibandingkan kemanisan sukrosa, bahkan tingkat kemanisan dari
garam natrium dan kalsium sakarin memiliki kemanisan 800 kali dibadingkan dengan
kemanisan sukrosa 10% (Karunia, 2013)
 Bahan Aditif Pengawet

Secara biologi makanan bila disimpan dalam jangka waktu tertentu akan
mengalami perubahan-perubahan seperti pembusukan yang dapat disebabkan oleh
adanya berbagai reaksi kimia, biologi, fisika baik yang bersumber dari dalam dan dari
luar bahan makanan tersebut. untuk menghambat terjadinya proses kerusakan pada
bahan makanan dilakukan pengawetan suatu bahan makanan baik secara kimiawi
maupun fisika ataupun gabungan dari keduanya. Upaya pengawetan bahan makanan
secara fisika dilakukan umpamanya dengan melakukan pengeringan bahan makanan
tersebut (Ratnani, 2009). Penggunaan zat aditif pengawet bahan makanan yang secara
kimia dilakukan dengan penambahan bahan tambahan pangan pengawet (BTP
Pengawet) baik alami ataupun sintetik. Zat aditif pengawet sintetik yang banyak
digunakan secara legal pada industri makanan yaitu (Winarno, 1992):
a. Asam benzoat, natrium benzoat dan kalium benzoat, untuk campuran dalam produk
minuman ringan dan sirup, kecap, acar ketimun dalam botol dan berbagai produk
saos.
b. Natrium nitrat (NaNO3), untuk produk daging olahan dan keju.
c. Natrium nitrit (NaNO2), untuk produk daging olahan, pengawetan daging dan
kornet kaleng.
d). Asam propionat, untuk produk roti dan keju olahan
 Bahan Penyedap dan Bahan Penambah Cita Rasa Makanan.

Zat aditif penyedap adalah zat atau komponen yang memiliki kemampuan untuk
memberikan rasa atau aroma tertentu kedalam bahan makanan. Zat aditif untuk
penyedap makanan dapat dibedakan menjadi dua bagian, yaitu: bahan penyedap
alami, contohnya adalah bumbu/herba masakan, minyak atsiri , getah tanaman , sari
buah, ekstrak bahan penyedap, dan ekstrak tanaman atau hewan. Bahan penyedap
alami yang bersumber dari tumbuhan merupakan kandungan metabolit sekunder dari
tanaman tersebut. Kedua, bahan penyedap sintetik atau penyedap buatan . Zat aditif
penyedap sintetis merupakan komponen atau senyawa kimia yang disintesa sehingga
mendapatkan produk yang memiliki karakteristik berupa bau dan rasa yang
menyerupai rasa dan bau dari zat aditif penyedap alami. Bahan penyedap sintetik ini
dibuat dari gabungan komponen dari bahan penyedap alami atau hanya dari
komponen penyedap sintetik itu sendiri (Winarno dan Titi, 1994).
 Anti Oksidan

Zat aditif antioksidan adalah suatu bahan kimia yang ditambahkan pada bahan
makanan untuk mencegah terjadinya peristiwa oksidasi pada makanan akibat adanya
pengaruh internal dan eksternal pada makanan tersebut. Pengaruh eksternal adalah
paparan gas oksigen dari udara, sedangkan pengaruh internal terjadi karena adanya
kandungan radikal bebas pada makanan tersebut. Molekul dalam bentuk radikal bebas
memiliki sifat berbahaya yang tidak stabil dan secara kimia bersifat sangat reaktif
yang dikarenakan adanya kandungan dari elektron yang tidak berpasangan (tunggal)
sehingga radikal bebas ini hanya akan menjadi stabil bila telah bereaksi dengan
molekul lainnya (Andriani, 2007). Penggunaan penambahan zat aditif antioksidan
selain berfungsi sebagai pengawet bahan makanan juga bermanfaat untuk mencegah
penyakit penyakit seperti kanker, dimana hal ini telah dilakukan dengan
mengkonsumsi berbagai bahan alam yang kaya akan anti oksidan yang digunakan
untuk pengobatan kanker khususnya bagi warga yang tidak mampu (Amir dkk, 2017)
Beberapa contoh zat aditif antioksidan sintetik yang banyak digunakan pada industri
makanan antara lain adalah (Winarno, 1991) :
1. Kalium askorbat dan Natrium askorbat untuk daging olahan, kaldu, dan buah
kaleng.
2. Butil hidroksianisol (BHA), digunakan untuk mencegah ketengikan pada
produk produk yang mengandung lemak dan minyak makanan yang tinggi.
3. Butil hidroksitoluen (BHT), digunakan pada lemak, minyak makan, margarin
dan mentega.
2.5 Faktor kerusakan Zat Aditif

Zat aditif bahan sintetis memiliki side effect yang buruk bagi kesehatan
dibandingkan yang alami. Zat aditif yang ditambahkan kedalam produk makanan
pada saat ini lebih banyak dipergunakan zat aditif sintetik dari pada zat aditif alami
(Karunia, 2013). Penggunaan zat aditif sintetik pada makanan dalam jangka waktu
lama berpotensi menimbulkan berbagai penyakit , khususnya dikonsumsi secara
berlebihan. Menurut Karunia (2013), berikut macam zat aditif pada makanan serta
potensi penyakit yang mungkin ditimbulkan antara lain adalah :
 Pengawet
a. Formalin : menyebabkan kanker paru-paru, gangguan berat pada alat
pencernaan, memicu sakit jantung, serta akan merusak sistem syaraf.
b. Boraks : menimbulkan rasa mual yang hebat, muntah, diare, berbagai penyakit
kulit, terjadinya kerusakan ginjal, serta gangguan parah pada otak dan hati.
c. Natamysin : rasa mual, muntah, menyebabkan tidak adanya nafsu makan,
diare, dan ruam kulit.
d. Kalium asetat : dapat menimbulkan terjadinya kerusakan dari fungsi ginjal.
e. Nitrit dan nitrat : menimbulkan keracunan, dapat mempengaruhi kemampuan
hemoglobin dalam sel darah merah dalam membawa oksigen ke berbagai
organ tubuh, kesulitan bernapas, menimbulkan rasa sakit kepala,
mengakibatkan anemia, radang ginjal, dan muntah-muntah.
f. Kalsium benzoate : dapat memicu terjadinya serangan penyakit asma.
g. Sulfur dioksida : tukak lambung, memperparah gejala penyakit asma,
menimbulkan mutasi genetik, kanker dan alergi.
h. Kalsium dan natrium propionate : penggunaan melebihi angka maksimum
yang diizinkan dapat menyebabkan sakit kepala migren, rasa lelah, dan
gangguan tidur.
i. Natrium metasulfat : dapat menimbulkan alergi pada kulit
 Pewarna
a. Rodhamin B (pewarna tekstil) : menyebabkan kanker serta menimbulkan
keracunan parah pada paruparu, selaput lendir pada tenggorokan, hidung, dan
usus.
b. Tartazine : meningkatkan kemungkinan penyakit hiperaktif khususnya pada
anak-anak.
c. Sunset yellow : dapat menyebabkan kerusakan krusakan kromosom yang
permanen.
d. Ponceau 4r : menimbulkan anemia dan serta tingkat kepekatan pada
hemoglobin dalam darah.
e. Carmoisine : (merah) dapat memicu terjadinya kanker hati dan dapat
menimbulkan alergi.
 Pemanis
a. Siklamat : menimbulkan kanker (bersifat karsinogenik).
b. Sakarin : menyebabkan terjadinya infeksi dan kanker pada organ kantong
kemih.
c. Aspartam : dapat menyebabkan terjadinya gangguan saraf serta tumor otak.
 Penyedap Rasa
a. Monosodium glutamat (MSG) : dapat menimbulkan adanya kelainan hati,
memacu terjadinya hipertensi, stress, dan demam tinggi, terjadinya proses
penuaan dini , alergi kulit, rasa mual, muntah, sakit kepala migren, memacu
serangan penyakit asma, serta terjadinya depresi.

2.6 Teknik Pengolahan Bahan Aditif

Pegolahan zat aditf memanfaatkan ilmu kimia, biokimia, fisika, kimia fisika,
serta sifat biologis bahan pangan. Adapun sifat-sifat kimia bahan pangan meliputi: (1)
komposisi protein, lemak, karbohidrat yang membentuk bahan makanan itu sendiri;
(2) reaksi kimia yang terjadi apabila bahan diolah; (3) interaksi antara zat-zat yang
terkandung dalam bahan pangan itu dengan zat kimia tinambah (aditif) misalnya
antibiotika, zat pewarna makanan, dan sebagainya (Kartini dkk, 2013) Pada
umumnya bahan tambahan zat aditif dapat dibagi menjadi dua bagian besar yaitu:
1. Aditif sengaja, yaitu aditif yang ditambahkan pada suatu bahan makann dengan
sengaja untuk tujuan tertentu misalnya meningkatkan konsistensi, nilai gizi, cita
rasa, mengendalikan keasaman dan kebasaan, memantapkan bentuk dan rupa serta
lain sebagainya (Winarno, 1992)
2. Aditif tidak sengaja, yaitu aditif yang terdapat dalam makanan dalam jumlah
sangat kecil sebagai akibat dari proses pengolahan (Winarno, 1992)
Berikut adalah teknik dalam mengolah zat aditif:
 Zat pewarna

Penampilan makanan, termasuk warnanya, sangat berpengaruh untuk menggugah


selera. Penambahan zat pewarna pada makanan bertujuan agar makanan lebih
menarik Syarat- syarat zat pewarna makanan: Kadar As  0,00014%, Kadar Pb 
0,001% , Logam berat lain tidak boleh ada. Batas penggunaan zat pewarna dalam
bahan pangan (ppm ): Minuman (75), produk susu (30), kembang gula dan biscuit
(100), roti (50), sosis (125), makanan hewan (200), tepung sari buah(140) (Karunia,
2003)
Berikut akan dibahas zat pewarna alami tersebut (Karunia, 2003)
a. Karoten, dapat menghasilkan warna jingga sampai merah. Penggunaannya
biasa digunakan untuk mewarnai produk-produk minyak dan lemak seperti
minyak goreng dan margarin. Dapat diperoleh dari wortel, pepaya dan
sebagainya.
b. Biksin, dapat menciptakan warna kuning seperti mentega. Biksin diperoleh
dari biji pohon Bixa orellana yang terdapat di daerah tropis dan sering
digunakan untuk mewarnai mentega, margarin, minyak jagung dan salad
dressing.
c. Karamel, berwarna coklat gelap dan merupakan hasil dari hidrolisis
(pemecahan) karbohidrat, gula pasir, laktosa dan sirup malt. Karamel terdiri
dari 3 jenis, yaitu karamel tahan asam yang sering digunakan untuk minuman
berkarbonat, karamel cair untuk roti dan biskuit, serta karamel kering. Gula
kelapa yang selain berfungsi sebagai pemanis, juga memberikan warna merah
kecoklatan pada minuman es kelapa ataupun es cendol
d. Klorofil, menghasilkan warna hijau, diperoleh dari daun. Banyak digunakan
untuk makanan. Saat ini bahkan mulai digunakan pada berbagai produk
kesehatan. Pigmen klorofil banyak terdapat pada dedaunan (misal daun suji,
pandan, katuk dan sebaginya).
e. Antosianin, menimbulkan warna merah, oranye, ungu dan biru banyak
terdapat pada bunga dan buah-buahan seperti bunga mawar, pacar air,
kembang sepatu, bunga tasbih/kana dan lainnya. Penggunaan zat pewarna
alami, misalnya pigmen antosianin masih terbatas pada beberapa produk
makanan, seperti produk minuman (sari buah, jus dan susu).
 Penyedap rasa dan aroma (flavour)

Penyedap rasa dan aroma dapat menambah, mempertegas rasa dan aroma.
Penyedap rasa dan aroma Penyedap rasa dan aroma yang banyak digunakan berasal
dari golongan ester. Contoh: Isoamil asetat (rasa pisang), isoamil valerat (rasa apel),
butil butirat (rasa nanas), isobutil propionat (rasa rum) (Winarno dan Titi, 1994).
Teknik pengolahan yaitu sebagai berikut:
Proses Identifikasi
Ekstraksi senyawa aroma misal : minyak atsiri & oleoresin dr tumbuhan & rempah-
rempah

Kondensasi

Lapisan minyak atsir

Purifikasi
 Asam Sitrat (citric acid)

Asam sitrat digunakan dengan tujuan untuk meningkatkan rasa asam (mengatur
tingkat keasaman) pada berbagai pengolahan minum, produk air susu, selai, jeli, dan
lain-lain. Asam sitrat berfungsi sebagai pengawet pada keju dan sirup, digunakan
untuk mencegah proses kristalisasi dalam madu, gula-gula (termasuk fondant), dan
juga untuk mencegah pemucatan berbagai makanan, misalnya buah-buahan kaleng
dan ikan. Larutan asam sitrat yang encer dapat digunakan untuk mencegah
pembentukan bintik-bintik hitam pada udang. Penggunaan maksimum dalam
minuman adalah sebesar 3 gram/liter sari buah (Winarno dan Titi, 1994).
 Bleng

Bleng adalah larutan garam fosfat, memiliki bentuk kristal, dan warna kuning-
kuningan. Bleng banyak mengandung unsur boron dan beberapa mineral lainnya.
Penambahan bleng selain sebagai pengawet pada pengolahan bahan pangan terutama
kerupuk, juga untuk mengembangkan dan mengenyalkan bahan, serta memberi aroma
dan rasa yang khas. Penggunaannya sebagai pengawet maksimal sebanyak 20 gram
per 25 kg bahan. Bleng dapat dicampur langsung dalam adonan setelah dilarutkan
dalam air atau diendapkan terlebih dahulu kemudian cairannya dicampurkan dalam
adonan (Winarno dan Titi, 1994)
 Garam dapur

Air laut mengandung ± 3 % garam dapur. Garam dapur sebagai penghambat


pertumbuhan mikroba, sering digunakan untuk mengawetkan ikan dan juga
bahanbahan lain. Pengunaannya sebagai pengawet minimal sebanyak 20 % atau 2
ons/kg bahan (Winarno dan Titi, 1994)
 Sekuestran (Sequesteran)

Sequesteran adalah bahan yang mengikat ion logam merupakan bahan penstabil
yang digunakan dalam berbagai pengolahan bahan makanan. Penggunaannya hanya
dengn ditambahkan sequesteran pada bahan. Contoh: polifosfat dan EDTA pada
penglahan ikan kalengan, asam fosfat (pada lemak dan minyak makan), kalium sitrat
(dalam es krim), kalsium dinatrium EDTA dan dinatrium EDTA (Winarno, 1991).

2.7 Metode Analisis Uji Zat Aditif


 Uji Kualitatif
a. Metode reaksi nyala api
Penelitian Pane dkk. (2012) menggunakan metode reaksi nyala api
untuk mengidentifikasi adanya zat aditif boraks pada berbagai merek roti.
Sebelum diuji dengan 2 metode, 100 gr sampel roti tawar dicampur
dengan 10 gr CaCO3 kemudian ditambahkan air supaya tercampur secara
merata. Lalu sampel roti tawar yang sudah tercampur dengan CaCO 3
dimasukkan kedalam oven lalu diabukan di dalam tanur selama 48 jam
hingga terjadi pengabuan yang sempurna. Ketika sampel sudah menjadi
abu, abu tersebut diuji dengan nyala api. Dengan metode nyala api,
sebagian abu ditambah sedikit asam sulfat dan methanol kemudian
dibakar. Dari uji nyala api, diperoleh warna biru sehingga bisa
disimpulkan bahwa tidak terdapat boraks dalam roti tawar. Prinsip dari
reaksi nyala ini adalah jika suatu zat mengandung boraks dipijarkan
dengan api maka akan terlihat nyala hijau pada pinggiran cawan porselen
dengan penambahan methanol dan asam sulfat (Ulfa, 2015).
b. Metode kurkumin
Selain menggunakan metode reaksi nyala api, penelitian oleh Pane dkk.
(2012) juga menggunakan metode kurkumin. Sampel yang telah menjadi
abu ditambah air dan HCl 5N sampai larutan bereaksi asam, kemudian
disaring dalam cawan penguap. Kemudian ditambahkan 4 tetes larutan
asam oksalat jenuh dan 1 ml larutan kurkumin 1% dalam metanol, lalu
diuapkan di atas tangas air dan warnanya tidak berubah yaitu tetap merah
cemerlang sehingga bisa disimpulkan tidak adanya boraks pada sampel
roti tawar. Prinsip dari kurkumin adalah yaitu jika suatu zat diabukan
kemudian ditambahkan asam klorida dan asam oksalat kemudian ekstrak
etilalkohol dari turmerik dan diuapkan hingga kering terbentuk warna
merah, jika ditambah ammonia akan berubah menjadi warna hijau
kehitaman (Ulfa, 2015).
c. Metode kertas Turmerik
Penelitian oleh Suseno (2019) menggunakan kertas tumerik untuk
mendeteksi adanya boraks pada bakso. Proses pembuatan deteksi boraks
ini diawali dengan mengupas kunyit lalu dicuci dan diparut. Air kunyit
yang didapatkan lalu ditampung dan diukur menggunakan gelas ukur.
Tambahkan sebanyak 10% alkohol 70% dari total volume air kunyit yang
didapatkan. Ambil kertas saring, gunting persegi ukuran 8 x 8 cm dan
celupkan dalam air kunyit, bolak balik menggunakan pinset sampai merata
pada seluruh permukaan kertas saring. Kertas ini lalu diletakkan pada
Loyang dan diangin-anginkan agar kering. Analisis boraks secara
kualitatif dengan kertas Turmerik yaitu Sampel sebanyak 1 g ditimbang
lalu ditambahkan akuades sebanyak 1 : 10. Campuran ini lalu diblender
sampai halus dan disaring menggunakan kertas saring. Cairan yang
didapatkan ditempatkan dalam gelas piala. Celupkan kertas Turmerik
selama 1-2 menit ke dalam cairan sampel, bila kertas turmerik berubah
warna menjadi merah kecoklatan maka sampel positif mengandung
boraks. Kertas turmerik yang dihasilkan dengan menggunakan ekstrak
kunyit menghasilkan warna kuning pada kertas saringnya. Jika sampel
mengandung boraks maka akan terjadi perubahan warna pada kertas
turmerik dari kuning menjadi coklat kemerahan. Warna coklat kemerahan
ini merupakan warna dari kompleks boron-kurkumin yaitu rososianin.
Prinsip dari reaksi turmerik sama dengan reaksi kurkumin yaitu jika suatu
zat diabukan kemudian ditambahkan asam klorida dan asam oksalat
kemudian ekstrak etilalkohol dari turmerik dan diuapkan hingga kering
terbentuk warna merah, jika ditambah ammonia akan berubah menjadi
warna hijau kehitaman. Perbedaan dari reaksi turmerik dan reaksi
kurkumin ini adalah pada reaksi turmerik digunakan ekstrak etilalkohol
sedangkan reaksi kurkumin menggunakan kertas kurkumin, yaitu kertas
saring yang direndam dengan ekstrak etilalkohol (Ulfa, 2015).

d. Metode Pereaksi FeCl3


Penelitian oleh Suryandari (2011) menggunakan pereaksi FeCl3 untuk
menganalisis secara kualitatif adanya benzoate pada saos tomat. Untuk
mengetahui apakah saos tomat yang dipilih sebagai sampel mengandung
bahan pengawet benzoate atau tidak, dapat dilakukan dengan menguji
ekstraknya dengan pereaksi FeCl3. Larutan asam benzoate hasil ekstraksi
tersebut diambil sebanyak 10 mL dan ditambahkan larutan NH3 sampai
larutan tersebut menjadi basa. Larutan tersebut kemudian diuapkan di atas
penangas air. Residu yang diperoleh, dilarutkan dengan air panas dan
disaring. Selanjutnya, ditambahkan 3-4 tetes FeCl3 0,5%. Adanya
endapan yang berwarna kecoklatan menunjukkan adanya asam benzoate.
e. Kromatografi kertas
Penelitian oleh Hernawan dkk. (2017) menggunakan metode
kromatografi kertas untuk menganalisis zat aditif Rhodamin B dan
Methanyl Yellow pada makanan. Teknik ini dilakukan dengan melihat
hasil kromatografi kertas berupa nilai Rf larutan standar zat warna sintetis
(Rhodamin B dan methanyl yellow) yang dibandingkan dengan nilai Rf
masing-masing sampel. Prinsip dasar kromatografi kertas adalah
pemisahan komponen dari campuran berdasarkan perbedaan kecepatan
distribusi antara dua fase yaitu fase diam dan fase gerak. Dimana fase
diamnya adalah air yang disokong oleh selulosa pada kertas saring dan
fase geraknya adalah pelarut (asam asetat: aquadest) dengan perbandingan
(5:95). (Sastrohamidjojo, 1985)
f. Metode gravimetri
Penelitian oleh Surati (2015) menggunakan metode gravimetric untuk
menganalisis adanya Rhodamin B pada makanan. Uji kualitatif dilakukan
dengan cara sampel yang tak larut dalam air, digunakan pelarut air panas,
aseton, alkohol, xilena, atau larutan alkali. Prosedur kerja yang dilakukan
sebenarnya adalah metode gravimetri (uji kuantitatif) tetapi metode ini
merupakan metode awal (uji pendahuluan) terhadap sampel yang
mengandung Rhodamin B.
 Uji Kuantitatif
a. Metode Titrasi
Penelitian oleh Suryandari (2011) menggunakan metode titrasi untuk
menganalisis benzoate pada saos tomat. Larutan asam benzoate hasil ekstraksi
dipipet sebanyak 10,0 mL dengan pipet volume, kemudian dimasukkan ke
dalam labu Erlenmeyer 250 mL. Larutan tersebut ditambah 2-3 tetes indikator
PP dan selanjutnya dititrasi dengan larutan NaOH yang telah dibakukan
dengan larutan asam oksalat sampai terjadi perubahan dari tidak berwarna
menjadi merah muda yang stabil selama 15 detik. Volume larutan NaOH yang
digunakan dicatat. Pengulangan titrasi dilakukan masing-masing 3 kali
b. Metode spektrofotometri
Penelitian oleh Surati (2015) menggunakan metode spektrofotometri untuk
menganalisis adanya Rhodamin B pada makanan. Langkah utamanya ada 2
yaitu standarisasi dan penentuan. Prosedur standarisasi yaitu (1) Siapkan
beberapa larutan yang sudah diketahui konsentrasi sampel standarnya dan
tentukan absorbansi larutan. (2) Koreksi absorbansi pelarut dan sel pada
panjang gelombang yang sesuai (panjang gelombang pada saat absorbansi
maksimum). (3) Atur konsentrasi larutan untuk memberikan nilai absorbansi
dari 0,4- 1,0 dengan instrumen dan sel yang digunakan. Kemudian, plotkan
data yang diperoleh.
Prosedur penentuan yaitu (1) Siapkan larutan sampel dalam pelarut yang
sama (pada saat standarisasi). Kemudian, tentukan absorbansi larutan pada
kondisi yang sama pada saat standarisasi. (2) Selanjutnya, hitung kandungan
zat aditif (Rhodamin B) sampel dari absorbansi larutan sampel dan absorbansi
larutan standar.
DAFTAR PUSTAKA

Amir, H , Bambang Gonggo Murcitro, AS Ahmad, Murni Nur Islamiah Kassim.


2017. The Potential Use Of Phaleria macrocarpa Leaves Extract As An
Alternative Drug For Breast Cancer Among Women Living In Poverty. Asian
Journal For Poverty Studies (AJPS), 3(2): 138 – 145.
Amir, Hermansyah. 2017. Pengenalan Tentang Bahan Aditif Berbahaya Pada Jajanan
Anak Sekolah. Universitas Bengkulu
Andriani, Yosie. 2007. Uji aktivitas antioksidan ekstrak betaglukan dari
Saccharomyces Cerevisiae. Jurnal Gradien, 2007: 3(1): 226-230.
Eldeen, I., M.S. Habsah. H. Mohamed, W.N. Tan, J.Y.S. Fong. Y. Andriani, and
T.S.T. Muhammad. 2016. Cyclooxygenase, 5-Lipoxygenase and
acetylcholinesterase inhibitory effects of fractions containing, α-Guaiene and
oil isolated from the root of Xylocarpus moluccensis. Research Journal of
Medicinal Plant : 10(4): 286-294.
Hernawan, E., Meylani, V., Kamil, P.M. 2017. Analisis Zat Aditif Rhodamin B dan
Methanyl Yellow pada Makanan yang Dijual di Pasaran Kota Tasikmalaya
Tahun 2016. Jurnal Kesehatan Bakti Tunas Husada. 17(1) : 16-20
Kartina, B., Ashar, T., dan Hasan, W. 2013. Karakteristik Pedagang, Sanitasi
Pengolahan dan Analisa Kandungan Rhodamin B pada Bumbu Cabai Giling
di Pasar Tradisional Kecamatan Medan Baru Tahun 2012. Lingkungan dan
Kesehatan Kerja : 1(2): 1-7.
Karunia, Finisa Bustani. 2013. Kajian Penggunaan Zat Aditif Makanan (Pemanis
Dan Pewarna ) Pada Kudapan Bahan Pangan Lokal Di Pasar Kota
Semarang . Food Science and Culinary Education Journal (FSCEJ) : 2(2): 72-
78
Madina, F.E., Rina Elvia., I Nyoman Chandra. 2017. Analisis Kapasitas Adsorpsi
Silika dari Pasir Pantai Panjang Bengkulu Terhadap Pewarna Rhodamine B.
Alotrop. 1(2): 98-101

Musa ,N. S, Nadia Madiha Ramli, Jaznizat Saidin,Yosie Andriani. 2017. Antioxidant
And Cytotoxicity Propertise Of Ethyl Acetate Fractions Of Pandanus
tectorius Fruit Against HELA Cell Line. Alotrop : 1(2): 106-112.
Pane, I.S., Nuraini, D., Chayaya, I. 2012. Analisis Kandungan Boraks (Na2B4O7 10
H2O) Pada Roti Tawar Yang Bermerek Dan Tidak Bermerek Yang Dijual di
Kelurahan Padang Bulan Kota Medan Tahun 2012. Universitas Sumatera
Utara
Paryanto., Purwanto, A., Kwartiningsih, E., dan Mastuti, E. 2012. Pembuatan Zat
warna Alami dalam Bentuk Serbuk untuk Mendukung Industri Batik di
Indonesia. Jurnal Rekayasa Proses : 6(1): 26-29.
Ratnani , R.D. 2009. Bahaya Bahan Tambahan Makanan Bagi Kesehatan .
Momentum : 5(1): 16- 22
Sastrohamidjojo, H. 1985. Kromatografi. Edisi I. Liberty : Yogyakarta
Surati. 2015. Bahaya Zat Aditif Rhodamin B Pada Makanan. Jurnal Biologi Sel. 4(1)
: 22-28
Suryandari, Ervin Tri. 2011. Analisis Bahan Pengawet Benzoat Pada Saos Tomat
Yang Beredar Di Wilayah Kota Surabaya. Jurnal Phenomenon. 2(1) : 7-17
Suseno, Dedy. 2019. Analisis Kualitatif dan Kuantitatif Kandungan Boraks Pada
Bakso Menggunakan Kertas Turmerik, FT – IR Spektrometer dan
Spektrofotometer Uv –Vis. Indonesian Jurnal of Halal. 1-9
Ulfa, Ade Maria. 2015. Identifikasi Boraks Pada Pempek Dan Bakso Ikan Secara
Reaksi Nyala dan Reaksi Warna. Jurnal Kesehatan Holistik. 9(3) : 152-157
Winarno dan Titi Sulistyowati Rahayu, 1994. Bahan Tambahan untuk Makanan dan
Kontaminan. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan
Winarno. 1991. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama
Winarno. 1992. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama

Anda mungkin juga menyukai