Anda di halaman 1dari 5

TUGAS KELOMPOK SEJARAH DUNIA MODERN

RESPON PAPER ARTIKEL “PANDEMI COVID-19 DAN DINAMIKA HUBUNGAN


INTERNASIONAL”

Nama Kelompok :

· Tarisa Nurahma (1910412097)

· Muhammad Ihsannuddin Shabri (1910412149)

· Ridho Rizqullah (1910412029)

Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), paling tidak 169 negara dan wilayah
terserang novel coronavirus yang menyebabkan wabah Covid-19, yang mula pertama muncul
di sebuah kota China Tengah, Wuhan, pada akhir Desember silam. Namun, sejak saat itu,
wabah ini menyebar ke seluruh dunia. Nyaris tidak ada wilayah dunia yang tidak ”disentuh”
Covid-19. Hingga kini sekurang-kurangnya sudah 2.560.481 orang terinfeksi dan 308.013
orang diantaranya meninggal. Dari jumlah orang yang terinfeksi tersebut, korban terbanyak
adalah China, sebagai negara yang pertama terkena, yakni 80.928 kasus dan 3.245 orang di
antaranya meninggal. Setelah China, Italia menjadi negara terbanyak kedua yang terdampak,
yakni 47.021 kasus dan 4.032 orang di antaranya meninggal. Lalu, Spanyol, 19.980 kasus dan
1.002 orang di antaranya meninggal; Iran, 19.644 kasus, 1.433 orang meninggal; Jerman
15.320 kasus dan 44 orang di antaranya meninggal; AS, 13.880 kasus dan 200 orang di
antaranya meninggal; Perancis, 10.995 kasus dan 372 orang di antaranya meninggal; Korea
Selatan, 8.652 kasus dan 94 orang di antaranya meninggal; dan Jepang, 1.668 kasus dengan
40 orang di antaranya meninggal.

Sementara kasus di Indonesia, Pemerintah mengungkapkan bahwa masih ada


penularan virus corona di masyarakat yang menyebabkan kasus Covid-19 di Indonesia masih
bertambah. Berdasarkan data yang dihimpun hingga Sabtu (16/5/2020) pukul 12.00 WIB, ada
529 kasus baru Covid-19 dalam 24 jam terakhir. Penambahan tersebut menyebabkan kini ada
17.025 kasus Covid-19 di seluruh Indonesia, yang tercatat sejak pengumuman kasus pertama
pada 2 Maret 2020. Dengan 1.089 pasien yang meninggal dunia, dan 3.911 yang dinyatakan
sembuh dari virus Covid-19.
Data tersebut memberikan gambaran jelas bahwa nyaris tidak ada sudut di bumi ini
yang tidak dijamah Covid-19. Bahkan, banyak petinggi negara pun terkena Covid-19.
Misalnya, tiga pejabat tinggi Iran, termasuk Wapres Masoumeh Ebtekar, Wakil Menteri
Kesehatan Iraj Harirchi, serta Kepala Keamanan Nasional dan Komisi Kebijakan Luar Negeri
Parlemen Iran Mojtaba Zonnour, terinfeksi.

Pandemi global yang saat ini sedang dirasakan hampir seluruh negara di dunia
tentunya memberikan banyak sekali dampak merugikan bagi negara-negara terdampak
tersebut. Seperti yang dilansir di laman berita akurat.co bahwa Keamanan manusia (human
security) dipertaruhkan akibat gelombang trans-nasionalisasi virus covid-19 ini. Bahkan
Covid-19 mengancam perdamaian dan keamanan internasional. Dampak yang tentunya
paling dirasakan dari adanya pandemi ini yaitu, merosotnya perekonomian dunia dan semakin
carut-marutnya ketegangan di kancah dunia internasional. Dampak pandemi COVID-19
diperkirakan lebih besar dari krisis keuangan global seperti yang terjadi di tahun 2008.
Bahkan Organisation for Economic Cooperation and Development (OECD) memperkirakan
bahwa ekonomi dunia hanya akan tumbuh 1.5% pada tahun ini jika pandemi ini berlanjut dan
memburuk.

Sayangnya, adanya pandemi Covid-19 ini justru bukan mempererat solidaritas antar
negara di dunia untuk bersama-sama berusaha mengatasinya, namun malah menambah
ketegangan khususnya antara dua negara great power seperti Tiongkok dan Amerika Serikat.
Ketegangan antara USA dan China di tengah wabah pandemi menyulitkan kolaborasi
internasional yang berangkat dari kesadaran kosmopolitan. Solidaritas antar negara, antar
kawasan dan peran institusi global sedang diuji. Adanya ketegangan yang terjadi antara
Tiongkok dan Amerika Serikat seolah membangun sebuah tembok es diantara kedua negara
tersebut. Persaingan kedua negara ini, mirip dengan apa yang terjadi pada saat perang dingin
Amerika Serikat dan Uni Soviet beberapa tahun silam. Perang dingin yang saat ini seolah
terjadi lagi memaksa banyak negara di dunia harus memilih, kepada siapa mereka berpihak
dan tentunya mengarahkan haluan masing-masing negara.

Tentang persaingan antarbangsa, Hans J Morgenthau dalam Politics Among Nations:


The Struggle for Power and Peace (1993) menyatakan, sekalipun terdapat banyak
manifestasi, pada dasarnya ada dua bentuk persaingan dalam hubungan internasional. Bentuk
pertama adalah kompetisi aktor melawan satu atau lebih aktor, yang melibatkan mekanisme
hubungan zero-sum yang berarti bahwa keuntungan satu aktor adalah kerugian aktor lain,
yaitu, agar aktor menang, aktor lain harus kalah.Bentuk kedua adalah kompetisi aktor dengan
satu atau lebih aktor lebih mengenai akhir yang diinginkan. Diktum klasik Hans J
Morgenthau bahwa ”politik internasional, seperti halnya semua politik, adalah perjuangan
untuk kekuasaan” adalah pernyataan terkenal untuk bentuk kompetisi kedua. Meskipun,
selain kekuasaan, akhir kompetisi yang diinginkan bisa menjadi ”kebebasan, keamanan,
(atau) kemakmuran”.

Indonesia di Tengah Dunia

Seperti yang dilansir di laman berita akurat.co Indonesia sebagai negara dengan
potensi pasar dan bonus demografi yang besar, letak geografi yang strategis dan pemuka
regional ASEAN, arti penting Indonesia bagi USA maupun China sangat signifikan. Faktor
tersebut menjadikan kedua negara saling berebut untuk memberi pengaruh kepada negara-
negara yang berada di regional ASEAN, salah satunya Indonesia. Sebagaimana yang dilansir
di laman berita tersebut, Indonesia saat ini mendapatkan banyak bantuan dari berbagai negara
dalam mengatasi masalah pandemi, salah satu negara yang membantu Indonesia adalah
Tiongkok dan Amerika Serikat.

Walaupun bantuan tersebut mengatasnamakan “solidaritas antar negara” sebagai


negara yang telah dibantu, setelah masa pandemi ini berakhir tentunya Indonesia harus
membalas segala kebaikan-kebaikan dari negara-negara tersebut. Balas budi yang mungkin
diharapkan negara-negara tersebut mungkin saja berupa keberpihakan diplomasi Indonesia ke
salah satu negara yang telah membantunya.

Karena pada dasarnya bantuan kerjasama tidak bisa disebut sebagai solidaritas absolut
yang cuma-cuma hanya berdasarkan rasa kemanusiaan. Hal yang disebut sebagai “bantuan”
dari Cina hanyalah sebuah hubungan bilateral ekonomi dari kedua negara yang
menguntungkan satu pihak dilihat dari krisis akan alat-alat medis dan kebutuhan lainnya
dijual dengan harga yang mahal dan untuk menunjang ekonomi negara tersebut dari
kejatuhan pada masa pandemi. Pinjaman dari US juga merupakan trik sulap tidak halus dari
amerika karena pinjaman yang diberikan bukan sebagai hal kemanusiaan melainkan untuk
memenangkan pengaruh dari Cina di Asia Tenggara, pada lain hari Indonesia akan terpaksa
atau bahkan menjaminkan aset negara pada ngara-negara besar yang menjadi penunjang
ekonomi di masa pandemi ini.
Sejak dahulu, Indonesia sudah mendeklarasikan diri sebagai salah satu negara non-
blok, yang tidak berpihak sama sekali ke blok barat maupun blok timur. Politik luar negeri
Indonesia sudah menyatakan diri sebagai politik yang netral, yang bebas dari intervensi
pengaruh negara manapun. Lantas bagaimana Indonesia harus berpihak?

Dalam rivalitas USA dan China, Indonesia harus mampu beradaptasi, meletakkan
manuver diplomasinya secara berimbang dan taktis. Dengan itu, Indonesia dapat memperoleh
keuntungan dan manfaat yang optimal dari kerja samanya dengan pihak mana pun. Indonesia
dapat menjadikan China sebagai mitra dagang dan kerja sama ekonominya. Di sisi lain,
Indonesia dapat membangun kemitraan strategis dengan AS di bidang politik dan keamanan.
Dan Indonesia harus meningkatkan bargaining, agar dalam proses kerja sama itu berlangsung
secara proporsional.

Kelompok kami sangat setuju pada pernyataan yang terdapat di laman berita
akurat.co yang menyatakan Pada masa post-corona, Indonesia dapat mempertegas kembali
haluan politik luar negeri, memainkan kartu diplomasi dan kemitraan strategis di tengah
perubahan peta aliansi global akibat pandemi. Tak ada salahnya untuk Indonesia menjalin
persahabatan dengan pihak mana pun, sepanjang saling menguntungkan demi kepentingan
nasional.

Solusi

Kerjasama antar masyarakat dan pemerintah disertai kepemimpinan yang responsif di


semua jenjang merupakan modal utama agar kita dapat melewati krisis ini bersama.
Pemerintah perlu menjaga kepercayaan publik dengan sikap yang transparan, agar tidak
kehilangan kepercayaan masyarakat. Koordinasi antar pemerintah pusat dan daerah pun
memerlukan perhatian khusus agar tidak terjadi miskomunikasi. Pandemi selayaknya diatasi
dengan gotong-royong. Terlihat seperti yang sudah sudah, adanya perbedaan peraturan antara
pemerintah pusat dan salah satu daerah, membuat rakyat bingung dan asal dalam mengambil
keputusan.

Kemudian, perlu adanya kesadaran dari para pemimpin negara di kawasan, bahwa
kerja sama dan koordinasi, merupakan tuntutan yang sangat penting dan mendesak saat ini.
Dengan demikian, mereka akan harus mencari cara bagaimana menjembatani jurang
komunikasi di antara mereka sehingga terbangun jembatan komunikasi, yang bisa menjadi
sarana terbangunnya kerjasama dan koordinasi dalam memerangi pandemi Covid-19. Tentu
persaingan antara negara menjadi persoalan yang sangat serius terkait dengan upaya
mengatasi pandemi Covid-19 di kawasan. Padahal, yang dibutuhkan adalah kerja sama.
Namun, bagaimana kerja sama bisa terbangun kalau di antara mereka tidak ada saling
percaya? Saling percaya adalah syarat utama untuk terwujudnya sebuah kerja sama. Tidak
ada yang lebih penting sekarang ini daripada kerja sama antarnegara untuk memerangi
pandemi Covid-19. Solidaritas antarnegara menjadi tuntutan, yang tidak bisa tidak harus
dilakukan. Tidak ada satupun negara yang bisa hidup sendiri di zaman seperti sekarang ini.

Anda mungkin juga menyukai