Anda di halaman 1dari 5

Pengen

Perlombaan senjata nuklir selama tiga dekade terkahir telah menanamkan budayanya pada
bagian-bagian besar umat manusia. Keharusan bagi para elit dari negara-negara pemilik senjata
nuklir untuk membenarkan tindakan mereka dalam melakukan pengeluaran yang besar dalam
perlombaan senjata nuklir, telah mengubah cara mereka bukan hanya dalam pembentukan industri
dan militer mereka dalam mendukung perlombaan senjata nuklir, tetapi juga dalam hal akademi,
politik, dan pembangunan informasi untuk mempropagandakan keutamaan perlombaan senjata.

Konstituen nasional untuk perlombaan senjata telah berkembang dalam negara-negara


pemilik senjata nuklir. Industri-industri persenjataan berurusan dengan teknologi terdepan dan
mengundang bakat-bakat terbaik negara. Mereka menyediakan lapangan pekerjaan untuk pekerja
dengan skill tinggi yang vokal dan efektif dalam pengaruh politik mereka.Efek pengganda dari
industri persenjataan dapat dirasakan di seluruh negara. Tidak ada politikus yang bisa
mengabaikannya begitu saja dan tidak ada partai politik yang bisa menolaknya. Sekarang, penjualan
senjata mutakhir dan layanan teknis terhadap negara-negara yang kaya akan minyak dibenarkan
dalam hal mengembalikan keseimbangan pembayaran dan penyerapan surplus petro-dollar.

Karena Informasi mengenai tekanan yang ada di Uni Soviet tidak berada pada tingkat yang
sama dengan yang ada di AS, tidak ada alasan untuk memercayai bahwa situasi di Soviet sangat
berbeda. Dalam kasus SALT, dan negosiasi persenjatan sekarang, tampaknya ada kesesuaian yang
besar dalam teologi strategis antar AS dan Uni Soviet.

Teologi Nuklir

Doktrin inti dari theologi ini adalah pencegahan. Diperdebatkan bahwa AS mebutuhkan
senjata nuklir untuk mengimbangi kekuatan besar soviet. Ketika soviet sudah berhasil membuat
senjata nuklir, AS harus terus melaju dalam hal teknologi persenjataan untuk menghalangi soviet.
Pencegahan ini telah dilembagakan dan diabadikan sebagai prinsip utama dari hubungan
internasional, khususnya untuk dua kekuatan besar. Karena upaya untuk menghilangkan upaya
pencegahan ini tidak kunjung terlihat, maka perlombaan persenjataan tidak bisa dihindarkan. Satu-
satunya perjanjian yang mungkin adalah dua negara tersebut setuju untuk membatasi perlombaan
persenjataan tersebut dalam kecepatan yang sama-sama bisa diterima. Inilah apa yang dimaksud
dengan Strategic Arms Limitation Talks (SALT) dan Non-Proliferation Treaty (NPT).

Namun, Faktanya adalah bahwa perlombaan senjata nuklir dipicu, bukan karena alasan
pencegahan, melainkan untuk membekukan struktur kekuasaan hierarkis internasional. Penggunaan
paling awal bom atom untuk menghancurkan Hiroshima dan Nagasaki merupakan sebuah
demonstrasi nuklir sebagai simbol baru kekuatan internasional. Jepang sudah menawarkan
penyerahan, dan penghancuran dua kota tersebut tidak penting untuk dilakukan baik dari
persepektif militer maupun politik. Kota-kota itu dihancurkan untuk menunjukkan dunia, bahwa
mereka telah mewarisi kerajaan inggris sebagai kekuatan paling besar di dunia.

Bahkan hari ini, pembenaran untuk pengembangan dan penyebaran senjata radiasi adalah
untuk pencegahan dari kemungkinan serangan yang akan dilakukan soviet. Di satu titik, senjata
nuklir taktikal dianjurkan sebagai pencegahan efektif melawan pasukan soviet, tapi anjuran strategi
tersebut tidak menjelaskan bagaimana pencegahan dapat terjadi ketika pihak lain juga
mengembangkan senjata nuklir taktikal, sama seperti mereka tidak menjelaskan keuntungan dari
senjata radiasi yang akan didapatkan oleh salah satu pihak ketika pihak lain juga
mengembangkannya. Atau lebih parah, apakah senjata radiasi ini memerikan keuntungan sama
sekali bahkan ketika pihak lain terikat unruk menggunakannya. Kerusakan dan korban sipil tidak bisa
dihindarkan ketika senjata nuklir ini mulai diperkenalkan melalui perang. Argumen-argumen seperti
ini membawa pendapat bahwa alasan ‘pencegahan’ tidak membawa keyakinan.

Faktanya, efek dari alasan pencegahan ini malah membawa kerugian bagi para
pendukungnya. Ketika AS terlibat dalam perang vietnam yang mahal, Uni Soviet jadi bisa
mengembangkan persenjataan nuklir untuk mengimbangi AS dan mereka juga berhasil memaksa AS
untuk menerima pencegahan mutual yang sebenarnya di SALT I. Sang pencegah telah berhasil
dicegah, dan Uni Soviet hari ini sepertinya memiliki kebebasan pilihan seperti yang AS miliki selama
tahun 1945-1970. Dalam analisis ini, tidak ada pertimbangan nilai bahwa salah satu dari yang lainnya
dominan ketika senjata nuklir diterapkan, nuklir hanya menawarkan kekeliruan yang dikemas dalam
doktrin pencegahan.

Hukum Murphy

Doktrin pencegahan, diadopsi oleh ebuah negara untuk mengkomunikasikan sebuah musuh
potensial yang agresinya melawan negara tersebut tidak akan hemat biaya, telah diterapkan jauh
sebelum hiroshima. Doktrin ‘pencegahan’ dalam era sebelum nuklir tidak selalu sukses dalam
mencegah perang. Miskalkulasi di beberapa kasus, dan kalkulasi yang tepat di kasus lainnya,
mengarah pada perang. Tidak ada yang terjadi pada era nuklir mengarah pada kesimpulan bahwa
miskalkulalsi tidak akan terjadi atau doktrin ‘pencegahan’ memiliki perlindungan bawaan dalam
mengatasi miskalkulasi tersebut. Perang yang terjadi di semenanjung indo-china terlalu dini untuk
menjamin bahwa miskalkulasi dari negara penguasa nuklir tidak akan terjadi. Hukum kemungkinan
(Hukum Murphy) mempertahankan bahwa jika dalam sebuah sistem bisa salah, maka sewaktu-
waktu itu akan salah. Sementara itu, peningkatan ketersediaan dari senjata nuklir serta semakin
besarnya jarak diantara pemilik senjata tersebut, kemungkinan mereka menggunakannya meningkat
dari hari ke hari.

Dalam era nuklir, tiga dimensi krusial telah muncul yang memiliki hubungan vital dalam
kalkulus pencegahan. Itu adalah (1) besarnya kekuatan destruktif dari kekuatan nuklir, (2) jangka
waktu yang sangat pendek dalam kehancuran besar yang bisa dipicu, dan (3) lingkungan
ketidakpastian yang luas yang bisa memunculkan kehancuran ekologi dan sosial yang mungkin
dihasilkan dari penggunaan senjata nuklir yang besar. Walaupun terdapat literatur yg bisa
dipertimbangkan mengenai perang nuklir yang dibatasi, serangan balik, dan serangan demonstrasi
melawan kekuatan superior, itu tidak sepenuhnya terpancang bahwa ketika perang nuklir terjadi,
akan mudah untuk membatasi penggunaanya. Faktor waktu, jangkauan yang dalam mengenai
persenjataan itu, dan pemisahan yang semakin lebar menghilangkan kemungkinan untuk
pembatasan terjadi.

Walaupun teologi nuklir telah dipropagandakan selama hampir seperempat abad, tidak ada
skenario detil dan kredibel yang tersedia mengenai bagaimana perang nuklir dipertarungkan antara
dua kekuatan nuklir besar. Argumen tersebut dan akuisisi dari kemampuan tersebut telah menjadi
basis untuk perlombaan senjata nuklir yang semakin meningkat.
Doktrin MAD dan kebebasan intervensi

Seseorang mungkin menganggap bahwa dorongan utama dari doktrin ‘pencegahan’ adalah
tingginya angka ketidakpastian yang berhubungan dengan hasil dari perang nuklir serta kepastian
bahwa pertukaran nuklir tidak akan sepadan dengan tujuan politik apapun. Jika pernyataan ini telah
dimengerti secara luas, perlombaan perang nuklir tidak akan terjadi, dan pada suatu waktu akan
dihargai pernyataan bahwa penumpukan senjata nuklir bukanlah kebijakan yang hemat biaya.

Tetapi para pendukung dari teologi nuklir memberikan argumen berbeda mengenai
doktrinnya. Mereka membawa isu ‘kredibilitas’.merujuk pada perbaikan doktrin ini, tidak cukup
apabila ketidak pastian dibuat di pikiran musuh sehubungan dengan hasil dari pertukaran nuklir. Ini
sangat penting untuk memberikan kesan kepada musuh sebuah kepastian bahwa pada perang
nuklir, organisasi yang dibuat musuh akan dihancurkan walaupun, sewajarnya, organisasi yang
dibuat oleh pihak yang bertahan akan hancur juga. Inilah apa yang disebut MAD (Mutual Assured
Destruction)

Tujuan dari para pemimpin dari teologi nuklir ridak hanya untuk pencegahan mutual. Jika
hanya itu, proliferasi tentunya akan didorong dan bukannya tidak disetujui. Apa yang mereka tuju
adalah bukan pencegahan nuklir total, melainkan pencegahan yang bisa mengizinkan mereka bebas
dari intervensi di level non-nuklir.karena itu, doktrin pencegahan kemudian didefinisikan kembali
menjadi pencegahan kredibel yang memiliki kepentingan untuk mencapai stabilitas. Akuisisi senjata
nuklir yang dilakukan oleh negara lain dapat berkontribusi pada ketidakstabilan kaena itu akan
mempermasalahkan operasi dua negara adidaya nuklir dalam level non-nuklir.

Usaha untuk mencapai dominasi

Apa yang ingin dicapai dibawah doktrin ini, kemudian, tidak hanya kepentingan untuk
menghalangi musuh, tetapi proyeksi gambaran dari superioritas dari nuklir dan kapabilitas untuk
mengintervensi secara militer dalam berbagai area di dunia, ditamengi oleh stabilitas retorik. Motif
ini terlihat jelas ketika pengguna teologi nuklir tidak menyetujui doktrin no-first-use atau menolak
untuk berjanji tidak menggunakan senjata nuklir melawan negara tanpa senjata nuklir. Tujuan
sebenarnya dari perlombaan senjata adalah untuk mempertahankan keemampuan untuk dominasi
militer. Menggunakan doktrin ‘pencegahan’ sebagai alasan yang masuk akal.

Menarik untuk dicatat di sini bahwa ketika negara yang lebih kuat diantara dua kekuatan
nuklir dominan terpaksa menggunakan strategi pencegahan kredibel dengan menunjukkan angka-
angka pengembangan rudal, kekuatan yang lebih lemah terpaksa menggunakan strategi pencegahan
dengan ketidakpastian. Menuju titik ini, para teologi nuklir belum mengembangkan isu destabilisasi
dari keseimbangan teror nuklir. Ketika pihak yang lebih kuat telah melaju dan menyelesaikan
program misil udaranya, dan telah mendahului jauh di bidang misil selamnya, itu tidak
dipertimbangkan sebagai destabilisasi, walaupun besarnya superioritas dari satu pihak.

Kemampuan Menyerang Pertama dan Serangan Balik

Dalam mengukur kemempuan bertarung dalam perang nuklir, jumlah peluncur dan hulu
ledak, akurasi, dan kemampuan untu bertahan adalah faktor-faktor yang relevan. Namun, seringkali
para teologi nuklir cenderung menekankan satu faktor untuk menyelesaikan pengecualian dari
semuanya. Satu argumen biasanya adalah bahwa salah satu pihak sedang membangun kemampuan
untuk menyerang pertama. Ketika membuat poin ini, kemungkinan untuk kemampuan serangan
balasan melalui misil kapal selam sepenuhnya diabaikan dan sebuah kasus yang sepertinya masuk
akal dibuat untuk pengembangan sistem senjata baru, seperti rudal seluler dan pembom berawak.

Doktrin serangan balik adalah salah satu logika paling munafik, bahkan untuk teologi nuklir.
Ini telah diperdebatkan oleh orang-orang yang sangat bertanggung jawab bahwa kemungkinan itu
ada untuk melawan perang nuklir dengan korban yang minimum dengan mengarahkan misil yang
sangat akurat pada silo misil musuh. Pendukung doktrin ini tidak bisa menjelaskan bagaimana musuh
akan tahu bahwa hulu ledaknya mengarah hanya pada silo mereka dan bukan pusat populasi,
apalagi dia harus meluncurkan misilnya sebelum silonya dihantam. Kedua, misil musuh tersebut
mungkin tidak terlalu akurat. Ketiga, karena adanya ketidak pastian dari pertukaran nuklir, musuh
yang mendapat peringatan mengenai hulu ledak yang akan datang harus berasumsi yang terburuk -
bahwa pusat populasi mereka sedang dihancurkan - dan mengarahkan misilnya pada pusat populasi
negara yang menyerang terlebih dahulu.

Peran NPT

Teologi meyakini bahwa saat ini, dunia telah mengubah perjanjian non-proliferasi menjadi
sebuah perjanjian untuk izin proliferasi tanpa batas yang dijalankan oleh lima negara kekuatan
nuklir. Judul dari perjanjian tersebut membawa janji bahwa tujuan dari perjanjian itu adalah untuk
memastikan non-proliferasi dari senjata nukllr, baik untuk dua negara yang sudah melakukan
proliferasi maupun negara-negara lainnya yang ingin bergabung dalam proliferasi. Pembukaan
artikel VI dari perjanjian ini memaparkan kewajiban untuk mengikuti negosiasi dalam langkah-
langkah efektif berkaitan dengan penghentian perlombaan senjata nuklir dalam waktu dekat dan
pelucutan senjata nuklir dalam pengawasan internasional yang ketat dan efektif. Sejak perjanjian
non-proliferasi ditandatangani pada 1968, negara-negara proliferasi telah meningkatkan ragam
senjata mereka dan dengan dcemikian telah melanggar perjanjian yang telah mereka sponsori.
Mereka juga dengan kasar telah menolak semua permintaan tanda tangan non-ploriferasi
lainnyadalam perjanjian tersebut.

Perjanjian non-proliferasi dari senjata nuklir, telah menciptakan sebuah kategori negara
crypto nuclear-weapon melewati negara non-senjata nuklir. Kebanyakan dari partner persekutuan
kekuatan nuklir dominan menggunakan doktrin perang nuklir untuk memastikan keamanannya.
Mereka adalah bagian dari grup perencana nuklir yang membawa perencanaan kemungkinan yang
detail mengenai perang nuklir. Mereka mengizinkan penimbunan senjata di tanah mereka,
mengembangkan fasilitas pelabuhan mereka untuk pembawa nuklir, melatih tentara mereka untuk
menggunakan senjata nuklir dan mengembangkan rencana darurat untuk mendapatkan transfer
senjata nuklir saat perang nuklir; dan tetap, mereka berlagak seperti negara non-nuklir. Jumlah
negara bersenjata nuklir itu sendiri bukan hanya lima, sekutu mereka juga seharusnya dihitung juga.

Perjanjian non-proliferasi, jika dilakukan dengan serius dalam tujuannya, seharusnya telah
melemahkan senjata nuklir. Malah, perjanjian itu telah memberikan prestise dalam keberadaan
senjata nuklir – bahkan bagi kekuatan yang non-kredible sebagai ‘pencegah’ jika mengacu pada
teologi nuklir, dan telah membebaskan negara-negara tertentu dari inspeksi internasional pada
fasilitas nuklir mereka. Bukannya mewajibkan kekuatan-kekuatan nuklir untuk menghentikan tren
proliferasi, perjanjian itu malah memberlakukan kewajiban itu ke negara-negara non-nuklir. Dengan
demikian, perjanjian ini bisa dilihat dengan jelas adalah upaya dominasi dari negara kekuatan nuklir
terhadap negara non-nuklir.

Perlombaan dan Pengendalian Senjata

Akal-akalan yang paling gamblang dari para teologi nuklir adalah menampilkan perlombaan
senjata diantara kekuatan-kekuatan nuklir sebagai pengendalian senjata atau langkah-langkah
limitasi. Setelah menandatanganani apa yang mereka sebut dengan perjanjian non-ploriferasi, dua
dari sponsor perjanjian tersebut telah meningkatkan jumlah kendaraan peluncur, hulu ledak, akurasi
dan kecangggihan dari kendaraan pengantar. Namun, inventarisasi gudang persenjataan dari kedua
pihak yang dibatasi hanya untuk kendaran peluncur (tanpa menghitung faktor lain yang dapat
mempercepat perlombaan senjata), dan perjanjian untuk tidak setuju dengan sistem ABM disebut
sebagai langkah pembatasan persenjataan yang hebat. Setelah perjanjian tersebut ditandatangani,
kedua pihak kemudian malah semakin meningkatkan ragam serta jumlah senjata mereka. Kita
berharap daftar senjata dari kedua pihak tersebut tidak disebut sebagai langkah-langkah
pengendalian/pembatasan senjata juga.

Seluruh sejarah mengenai apa yang mereka sebut dengan perjanjian pengendalian senjata
mengungkapkan bahwa perjanjian tersebut berkaitan dengan penyebaran persenjataan yang
memiliki keuntungan yang belum pasti dan dianggap tidak hemat biaya oleh perencana militer dari
negara-negara dominan. Perjanjian SALT dan NPT bukanlah langkah pengendalian senjata melainkan
langkah legitimasi persenjataan. Perjanjian tersebut berperan sebagai ‘obat tidur’ yang melalaikan
dunia dari kemajuan untuk mencapai upaya pengendalian senjata, bahkan dalam beberapa kasus,
berperan menyesatkan dunia untuk menerima langkah legitimasi terhadap penggunaan senjata
sebagai langkah pembatasan persenjataan. Obsesi mereka terhadap kekuatan dan dominasi
membutakan mereka terhadap resiko dari perang nuklir.

Tiga Bagian Dunia dalam Strata Nuklir

Perlombaan senjata nuklir telah membagi dunia menjadi tiga bagian. Dunia pertama berisi
AS dengan negara-negara industri lainnya yang bersekutu dan memiliki hubungan dengan AS. Dunia
kedua berisi Kekuatan Nuklir sosialis yaitu Uni Soviet dan China dan negara-negara yang bersekutu
dan memiliki hubungan dengan mereka. Dunia ketiga berisi negara-negara yang tidak berpihak dan
negara non-nuklir. Dua dunia pertama di definisikan berdasarkan hubungan mereka dengan senjata
nuklir dan doktrin nuklir untuk memastikan keamanan mereka. Dua-duanya berbagi kepercayaan
dalam teologi nuklir. Dunia ketiga tidak menerima itu. Keputusan mereka dalam menolak untuk
menandatanagani NPT lahir dari kamauan mereka untuk tidak dilibatkan dalam budaya nuklir. Bagi
mereka untuk menerima tekanan ini bukan hanya memalukan, tetapi itu juga menunjukkan
penerimaan mereka terhadap legitimasi penggunaan senjata nuklir.

Dua dunia pertama tidak dalam posisi untuk membebaskan diri dari budaya persenjataan
nuklir. sedangkan negara berkembang yang tidak memihak berusaha untuk melawan budaya ini.

Anda mungkin juga menyukai