Anda di halaman 1dari 26

SEJARAH KODIFIKASI HADITS

MAKALAH
Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Quran Hadits
Dosen Pengampu:
Yusuf Fauzi, Lc, M.Th.I.

Oleh :
KELOMPOK 8
ZAHROTUL MUVIDAH 12204193094
MUHAMMAD ISHLAHUDDIN 12204193100
SITI ROIKHATUL JANNAH 12204193262

TADRIS MATEMATIKA
FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI TULUNGAGUNG
APRIL 2019
KATA PENGANTAR

Penulis mengucapkan syukur kepada Allah Swt. atas rahmat beserta karunia-Nya
dan atas selesainya makalah yang berjudul “Penanggulangan Masalah Pendidikan”
dengan baik, walaupun masih banyak kekurangan di dalamnya.

Dalam penulisan makalah ini tentunya tidak lepas dari bantuan berbagai pihak.
Kami mengucapkan terimakasih kepada Bapak Yusuf Fauzi, Lc, M.Th.I. selaku dosen
pengampu mata kuliah Studi Quran Hadits, serta pihak-pihak lain yang turut membantu.

Penulis mohon maaf apabila terdapat kesalahan kata-kata yang kurang berkenan
dan penulis memohon kritik dan saran yang membangun dari pembaca demi perbaikan
makalah ini diwaktu yang akan datang. Semoga makalah ini dapat dipahami bagi
siapapun yang membacanya. Sekiranya makalah yang telah disusun ini dapat berguna
bagi penulis sendiri maupun orang yang membacanya.

Tulungagung, 13 April 2020

Penulis

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL.....................................................................................i
KATA PENGANTAR .....................................................................................ii
DAFTAR ISI ...................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang .....................................................................................1
B. Rumusan Masalah ................................................................................1
C. Tujuan Penulisan ..................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN
A. Sejarah Hadits Masa Prakodifikasi.......................................................3
B. Sejarah Kodifikasi Hadits Abad ke 2-5 H dan Sampai Sekarang.........15
BAB III : PENUTUP
A. Simpulan ..............................................................................................22
B. Saran ....................................................................................................22
DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................23

iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hadits merupakan sumber hukum kedua ajaran islam setelah Al-Quran. Hadits
berfungsi sebagai penguat hukum-hukum yang terdapat dalam Al-Quran, juga sebagai
pemberi kepastian hukum yang tidak terdapat di dalam Al-Quran. Mempelajari sejarah
Hadits menjadi aspek pendukung dalam mengkaji ilmu Hadits. Studi mengenai asal
muasal Hadits semakin menjadi hal yang menarik untuk dikaji seiring dengan
berkembangnya pola pikir analisis atau nalar manusia. Studi Hadis tidak hanya
dilakukan oleh kalangan muslim, melainkan juga dilakukan oleh kalangan orientalis.
Bahkan kajian ilmu Hadits dalam dunia islam semakin menguat, dilatarbelakangi oleh
upaya umat islam untuk membantah pendapat kalangan orientalis yang meragukan
kemurnian Hadits.
Tidak seluruh hadits tertulis pada masa Rasulullah, hal ini menjadi salah satu
penyebab keraguan terhadap kemurnian hadits tersebut. Seiring dengan perkembangan
zaman, usaha untuk menjaga kemurnian hadits mulai dilakukan, salah satu upaya
tersebut yaitu dengan mengodifikasi hadits, hingga pada akhirnya muncul kitab-kitab
hasil pembukuan secara sempurna yang dalam islam dikenal dengan istilah tadwin.
Hadits mengalami perkembangan dan penyempurnaan dari abad ke abad, hadits Nabi
yang pada awalnya tercampur dengan fatwa-fatwa para sahabat dan tabi’in mulai
dipilah-pilah antara hadits marfu’, mauquf, maqthu’, dan antara hadits yang shahih,
hasan, dan dhaif. Hingga sekarang banyak kita jumpai berbagai kitab hadits hasil karya
ulama-ulama terdahulu. Dengan ini mempelajari sejarah hadits menjadi sesuatu yang
penting untuk membuktikan keaslian dan kemurnian hadits tidak hanya pada kalangan
orientalis, namun juga pada umat muslim itu sendiri.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas maka rumusan masalah dalam makalah ini
sebagai berikut.
1. Bagaimana sejarah prakodifikasi hadits pada masa Rasulullah, para sahabat dan
tabi’in?
2. Bagaimana sejarah kodifikasi hadits pada abad ke 2, 3, 4, 5, hingga sekarang?

1
2

C. Tujuan Penulisan

Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah tersebut, maka tujuan penulisan
makalah ini sebagai berikut.

1. Untuk menambah wawasan pembaca mengenai sejarah prakodifikasi hadits pada


masa Rasulullah, para sahabat, dan tabi’in.
2. Untuk menambah wawasan pembaca mengenai sejarah kodifikasi hadits dan
perkembangannya dari abad ke 2, 3, 4, 5, hingga sekarang.
3. Sebagai bukti terjaganya kemurnian hadits berdasarkan sejarah hadits yang
dipaparkan dalam makalah ini.
4. Sebagai bentuk syiar agama islam.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Sejarah Hadits Masa Prakodifikasi

Sejarah perkembangan hadist pada masa prakodifikasi ialah masa sebelum


pembukuan hadits.1 Dimulai sejak zaman Rasullah saw. hingga ditetapkannya pembukuan
hadist secara resmi (kodifikasi). Masa ini dibagi menjadi tiga periode yaitu masa Rasulullah
saw, masa sahabat, dan masa tabi’in.

1. Hadits Pada masa Rasulullah Saw

Awal kemunculan Hadits terkait langsung kepada Rasulullah saw. sebagai sumber
Hadits. Rasulullah saw. membina umat islam selama 23 tahun. Masa ini merupakan kurun
waktu turunnya wahyu sekaligus diwurudkannya Hadits. 2 Keadaan ini sangat menuntut
keseriusan dan kehati-hatian para sahabat sebagai pewaris pertama ajaran islam.
Wahyu yang diturunkan Allah Swt. kepada Rasulullah dijelaskan melalui perkataan,
perbuatan, dan pengakuan atau ketetepan (taqrir) Rasulullah saw. sehingga apa yang
disampaikan oleh para sahabat dari apa yang mereka dengar, lihat, dan saksikan merupakan
pedoman. Rasullah adalah satu-satunya suri tauladan bagi para sahabat, karena Rasulullah
memiliki sifat kesempurnaan dan keutamaan yang berbeda dengan manusia lainnya.
Metode yang digunakan para sahabat dalam menerima hadits dari Rasulullah pun
berbeda-beda, antara lain sebagai berikut:
a. berhadapan secara langsung dengan Rasul (Musyafahah),
b. menyaksikan (Musyahadah) perbuatan atau taqrir Rasul,
c. mendengar dari sahabat lain yang mengetahui secara langsung dari Rasul,
sebagaimana telah dikemukakan, tidak semua sahabat dapat menghadiri Majlis
Rasul karena kesibukannya masing-masing.3

1
Mangunsuwito, Kamus Saku Ilmiah Populer Disertai dengan Istilah-istilah Aing (Jakarta: Widytama
Pressindo, 2011), hlm. 298.
2
Muhammad Ali Al-Shobuni, Al-Tibyan Fi ‘Ulumil qur’an, (Madinah: Daru Al-Shobuni, 2003), hlm. 29.
3
Muhammad Muhammad Abu Zahwi, Al-Hadis wa al-Muhaddisun al-‘Inayah al-Ummah al-Islamiyah
bi al-Sunnah al-Muhammadiyyah, (Mesir: Dar al-Fikr al-Arabi), hlm. 53.

3
4

d. para sahabat menyaksikan perbuatan sesama sahabat yang diperoleh dari Rasullah
saw.4
Pada masa Rasulullah saw. sedikit sekali sahabat yang bisa menulis, namun demikian
mereka mempunyai kemampuan hafalan yang luar biasa, hal ini menjadi alternatif mereka
dalam menerima Hadits. Menurut Abd Al-Nashr, Allah telah memberikan keistimewaan
kepada para sahabat kekuatan daya ingat dan kemampuan menghafal. Mereka dapat
meriwayatkan Al-Quran, hadits, dan syair dengan baik, seakan mereka membaca dari
sebuah buku.5
Perhatian sahabat terhadap hadits sangat tinggi, terutama di berbagai majlis nabi atau
tempat untuk menyampaikan risalah islamiyah seperti di masjid, halaqah ilmu, dan
diberbagai tempat yang dijanjikan Rasulullah. Rasulullah menjadi pusat narasumber,
referensi, dan tumpuan pertanyaan ketika para sahabat menghadapi masalah, baik secara
langsung atau tidak langsung seperti melalui istri-istri Rasulullah dalam masalah keluarga
dan kewanitaan, karena mereka adalah orang-orang yang paling mengetahui keadaan
Rasulullah dalam masalah keluarga.

Hadits pada waktu itu pada umumnya hanya diingat dan dihafal oleh para sahabat dan
tidak ditulis seperti Al-Qur’an ketika disampaikan oleh Nabi, karena situasi dan kondisi
yang tidak memungkinkan.6 Nabi memang melarang para sahabat menulisnya karena
khawatir tercampurnya antara Al-Quran dan Hadits (iltibas). Banyak hadits yang melarang
para Sahabat untuk menulis hadits, diantara hadits yang melarang penulisan hadits ialah:

‫رْ ا ِن‬Kُ‫ر ْالق‬Kْ َ ِ‫وْ ُل هللا‬K‫ع َْن اَبِ ْي َس ِع ْي ُد ْال ُخ ْد ِري اَ َّن َر ُس‬
َ ‫وْ ا َعنِّي َو َم ْن َكت‬Kُ‫ اَل تَ ْكتُب‬:‫لَّ َم‬K‫ ِه َو َس‬Kْ‫لَّى هللاِ َعلَي‬K‫ص‬
َ ‫َب َعنِّيي َغي‬
(‫ )رواه مسلم‬.ُ‫فَ ْليَ ْم ُحه‬

Artinya: “Diriwayatkan dari Abu Sa’id Al-Khudri bahwa Rasulullah Saw bersabda:
janganlah engkau menulis (hadits) dariku, barangsiapa menulis dariku selain dari Al-Quran
maka hapuslah.” (HR. Muslim)

4
Umi Sumbulah, Kajian Kritis Ilmu Hadis, (Malang: UIN-Maliki Press, 2010), hlm. 39.
5
Idris, Studi Hadis, (Jakarta: Kencana, 2013), hlm. 35.
6
Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis, (Jakarta: Amzah, 2012), hlm. 49.
5

Larangan menulis hadits tidaklah umum kepada semua sahabat, ada sahabat tertentu
yang diberikan izin untuk menulis hadits. Nabi melarang menulis hadits karena khawatir
tercampur dengan Al-Qur’an dan pada kesempatan lain nabi memperbolehkannya.
Sebagaimana diriwayatkan oleh Abdullah Ibn Umar, ia berkata: “Aku pernah menulis
segala sesuatu yang kudengar dari Rasulullah, aku ingin menjaga dan menghafalkannya.
Tetapi orang Quraisy melarangku melakukannya”. Mereka berkata: “Kamu hendak
menulis (hadits) padahal Rasulullah bersabda dalam keadaan marah dan senang”.
Kemudian ia menahan diri (untuk tidak menulis hadits) hingga ia ceritakan kejadian itu
kepada Rasulullah, beliau bersabda:7

ٌّ ‫اُ ْكتُبْ فَ َوالَّ ِذيْ نَ ْف ِس ْي بِيَ ِد ِه َما خَ َر َج َعنِّي ِااَّل َح‬


‫ق‬
“Tulislah, maka demi dzat yang aku berada dalam kekuasaannya tidaklah keluar dariku
kecuali kebenaran”.
Kebijakan Nabi tersebut telah menimbulkan perbedaan pendapat di kalangan ulama
bahkan para sahabat, tentang boleh tidaknya penulisan hadis. Tetapi dalam sejarah ternyata
banyak para sahabat yang menulis hadis sebagai catatan pribadi, seperti Abdullah ibn Amr
Ibn Ash yang terkenal dengan nama al-Sahifah al-Sadiqah.8
Adanya larangan menulis hadits mengakibatkan banyak hadits yang tidak ditulis dan
seandainya Nabi tidak pernah melarang pun tidak mungkin hadits dapat ditulis. Karena
menurut M. Suyudi Ismail hal ini disebabkan oleh beberapa alasan berikut:
a. Hadits yang disampaikan tidaklah selalu di hadapan sahabat yang pandai menulis.
b. Perhatian Nabi dan para sahabat lebih banyak tercurah pada Al-Qur’an.

c. Meskipun Nabi mempunyai sekretaris tetapi mereka hanya diberi tugas menulis
wahyu yang turun dan surat-surat Nabi.

Sangat sulit seluruh pernyataan, perbuatan, ketetapan, dan hal-hal orang yang masih
hidup dapat langsung dicatat oleh orang lain apalagi dengan alat sederhana. 9 Menghadapi

7
Idris, Studi Hadis, (Jakarta: Kencana, 2013), hlm. 36.
8
Al-Hasani Abd al-Majid Hasyim, Ushul al-Hadis al-Nabawi, (Kairo: al-Qahirah al-Hadisah Li al-
Thaba’ah, t.t.), h. 15.
9
Ibid, hlm. 37.
6

dua hadits yang tampak bertentangan di atas, ada beberapa pendapat berkenaan dengan ini,
yaitu:
a. Larangan menulis hadis terjadi pada periode permulaan, sedangkan izin
penulisannya diberikan pada periode akhir kerasulan.
b. Larangan penulisan hadis itu ditujukan bagi orang yang kuat hafalannya dan tidak
dapat menulis dengan baik, serta dikhawatirkan salah dan bercampur dengan Al-
Qur’an. Izin menulis hadits diberikan kepada orang yang pandai menulis dan tidak
dikhawatirkan salah dan bercampur dengan Al-Qur’an.
c. Larangan itu ditujukan bagi orang yang kurang pandai menulis dikhawatirkan
tulisannya keliru, sementara orang yang pandai menulis tidak dilarang menulis
hadits.
d. Larangan hadits dicabut oleh izin menulis hadits karena tidak dikhawatirkan
tercampurnya catatan hadits dengan Al-Qur’an.
e. Larangan itu bersifat umum, sedangkan izin menulis hadits bersifat khusus kepada
para sahabat yang dijamin tidak akan mencampurkan catatan hadits dan catatan Al-
Qur’an.
f. Larangan ditujukan untuk kodifikasi formal sedangkan izin ditujukan untuk sekedar
dalam bentuk catatan yang dipakai sendiri.

g. Larangan berlaku ketika wahyu masih turun, belum dihafal dan dicatat. Adapun
ketika wahyu yang turun sudah dihafal dan dicatat, maka penulisan hadits
diizinkan.10

3. Hadis Pada Masa Sahabat


Nabi wafat pada tahun 11 H, kepada umatnya beliau meninggalkan dua pegangan
sebagai dasar pedoman hidupnya, yaitu Al-Qur’an dan Hadits yang harus dipegang bagi
pengaturan seluruh aspek kehidupan umat. Setelah Nabi Saw wafat, kendali kepemimpinan
umat Islam berada di tangan shahabat Nabi. Sahabat Nabi yang pertama menerima
kepemimpinan itu adalah Abu Bakar As-Shiddiq (wafat 13 H/634 M) kemudian disusul
oleh Umar bin Khatthab (wafat 23 H/644 M), Utsman bin Affan (wafat 35 H/656 M), dan

10
Ibid., hlm. 37-38.
7

Ali bin Abi Thalib (wafat 40 H/661 M). Keempat khalifah ini dalam sejarah dikenal dengan
sebutan Khulafaur Rasyidin dan periodenya biasa disebut juga dengan zaman sahabat
besar.11
Sesudah Ali bin Abi Thalib wafat, maka berakhirlah era sahabat besar dan menyusul
era sahabat kecil. Dalam pada itu munculah para tabi’in besar yang bekerjasama dalam
perkembangan pengetahuan dengan para shahabat Nabi yang masih hidup pada masa itu.
Diantara sahabat Nabi yang masih hidup setelah periode Khulafaur Rasyidin dan yang
cukup besar peranannya dalam periwayatan hadits Nabi Saw ialah Aisyah istri Nabi (wafat
57 H/578 M), Abu Hurairah (wafat 58 H/678 M), Abdullah bin Abbas (wafat 68 H/687 M),
Abdullah bin Umar bin Al-Khattab (wafat 73 H/692 M), dan Jabir bin Abdullah (wafat 78
H/697 M).12
Para shahabat mengetahui kedudukan as-Sunnah sebagai sumber syari’ah pertama
setelah Al-Qur’an. Mereka tidak mau menyalahi as-Sunnah jika as-Sunnah itu mereka
yakini kebenarannya, sebagaimana mereka tidak mau berpaling sedikitpun dari as-Sunnah
warisan beliau. Mereka berhati-hati dalam meriwayatkan hadits dari Nabi Saw karena
khawatir berbuat kesalahan dan takut as-Sunnah yang suci tiu ternodai oleh kedustaan atau
pengubahan. Oleh karena itu mereka menempuh segala cara untuk memelihara hadits,
mereka lebih memilih bersikap “sedang dalam meriwayatkan hadits” dari Rasulullah,
bahkan sebagian dari mereka lebih memilih bersikap “sedikit dalam meriwayatkan
hadits”.13 Periode sahabat disebut dengan “’Ashr Al-Tatsabut wa Al-Iqlal min Al-Riwayah”
yaitu masa pemastian dan menyedikitkan riwayat. Dalam prakteknya, cara sahabat
meriwayatkan hadits ada dua, yakni:14
a. Dengan lafadz asli, yakni menurut lafadz yang mereka terima dari Nabi Saw yang
mereka hafal benar lafadznya dari Nabi Saw.

11
M. Syuhudi Ismail, Kaedah-Kaedah Keshahehan Sanad Hadits, (Jakarta: Bulan Bintang, 1995), hlm.
41.

12
Ibid.
13
Akrom Fahmi, Sunnah Qabla Tadwin, (Jakarta: Gema Insani Press, 1999), hlm. 124.
14
H. Endang Soetari, Ilmu Hadits, (Bandung: Amal Bakti Press, 1997), hlm. 46.
8

b. Dengan maknanya saja, yakni mereka meriwayatkan maknanya bukan dengan


lafadznya karena tidak hafal lafadznya asli dari Nabi saw.

Berikut ini dikemukakan sikap Khulafaur Rasyidin tentang periwayatan hadits Nabi.
a. Abu Bakar As-Shiddiq
Menurut Muhammad bin Ahmad al-Dzahabi (wafat 748 H/1347 M), Abu Bakar
merupakan shahabat Nabi yang pertama-tama menunjukkan kehati-hatiannya dalam
meriwayatkan hadits. Pernyataan al-Dzahabi ini didasarkan atas pengalaman Abu Bakar
tatkala menghadapi kasus waris untuk seorang nenek. Suatu ketika, ada seorang nenek
menghadap kepada Khalifah Abu Bakar, meminta hak waris dari harta yang ditinggalkan
cucunya. Abu Bakar menjawab, bahwa ia tidak melihat petunjuk Al-Qur’an dan prektek
Nabi yang memberikan bagian harta waris kepada nenek. Abu Bakar lalu bertanya kepada
para sahabat. Al-Mughirah bin Syu’bah menyatakan kepada Abu Bakar, bahwa Nabi telah
memberikan bagian harta warisan kepada nenek sebesar seperenam bagian. Al-Mughirah
mengaku hadir tatkala Nabi menetabkan kewarisan nenek itu. Mendengar pernyatan
tersebut, Abu Bakar meminta agar al-Mughirah menghadirkan seorang saksi. Lalu
Muhammad bin Maslamah memberikan kesaksian atas kebenaran pernyataan al-Mughirah
itu. Akhirnya Abu Bakar menetapkan kewarisan nenek dengan memberikan seperenam
bagian berdasarkan hadits Nabi saw yang disampaikan oleh al-Mughirah tersebut.15
Kasus di atas menunjukkan, bahwa Abu Bakar ternyata tidak bersegera menerima
riwayat hadits, sebelum meneliti periwayatnya. Dalam melakukan penelitian, Abu Bakar
meminta kepada periwayat hadits untuk menghadirkan saksi.
Bukti lain tentang sikap ketat Abu Bakar dalam periwayatan hadits terlihat pada
tindakannya yang telah membakar catatan-catatan hadits miliknya. Putrinya yaitu Aisyah,
menyatakan bahwa Abu Bakar telah membakar catatan yang berisi sekitar lima ratus hadits.
Menjawab pertanyaan Aisyah, Abu Bakar menjelaskan bahwa dia membakar catatannya itu
karena dia khawatir berbuat salah dalam periwayatan hadits. Hal ini menjadi bukti sikap
kehari-hatian Abu Bakar dalam periwayatan hadits.
Data sejarah tentang kegiatan periwayatan hadits dikalangan umat Islam pada masa
Khalifah Abu Bakar sangat terbatas. Hal ini dapat dimaklumi, karena pada masa
15
Ibid., hlm. 42.
9

pemerintahan Abu Bakar tersebut, umat Islam dihadapkan pada berbagai ancaman dan
kekacauan yang membahayakan pemerintah dan Negara. Berbagai ancaman dan kekacauan
itu berhasil diatasi oleh pasukan pemerintah. Dalam peristiwa itu tidak sedikit sahabat Nabi,
khususnya penghafal Al-Qur’an telah gugur di berbagai peperangan. Atas desakan Umar
bin Khattab, Abu Bakar segara melakukan penghimpunan Al-Qur’an (jami’ Al-Qur’an).

Jadi disimpulkan, bahwa periwayatan hadits pada masa Khalifah Abu Bakar dapat
dikatakan belum merupakan kegiatan yang menonjol di kalangan umat Islam. Walaupun
demikian dapat dikemukakan, bahwa sikap umat Islam dalam periwayatan hadits tampak
tidak jauh berbeda dengan sikap Abu Bakar, yakni sangat berhati-hati. Sikap hati-hati ini
antara lain terlihat pada pemerikasaan hadits yang diriwayatkan oleh para sahabat.

b. Umar bin Khattab


Umar dikenal sangat hati-hati dalam periwayatan hadits. Misalnya, hal ini terlihat
ketika umar mendengar hadits yang disampaikan oleh Ubay bin Ka’ab. Umar barulah
bersedia menerima riwayat hadits dari Ubay, setelah para sahabat yang lain, diantaranya
Abu Dzarr menyatakan telah mendengar pula hadits Nabi tentang apa yang dikemukakan
oleh Ubay tersebut. Akhirnya Umar berkata kepada Ubay: “Demi Allah, sungguh saya
tidak menuduhmu telah berdusta. Saya berlaku demikian, karena saya ingin berhati-hati
dalam periwayatan hadits ini”.
Apa yang dialami oleh Ubay bin Ka’ab tersebut telah dialami juga oleh Abu Musa
Al-Asy’ari, Al-Mughirah bin Syu’bah, dan lain-lain. Semua itu menunjukkan kehati-hatian
Umar dalam periwayatan hadits. Disamping itu, Umar juga menekankan kepada para
sahabat agar tidak memperbanyak periwayatan hadits di masyarakat. Alasannya, agar
masyarakat tidak terganggu konsentrasinya untuk membaca dan mendalami al-Qur’an.
Kebijakan Umar melarang para sahabat Nabi memperbanyak periwayatan hadits,
sesungguhnya tidaklah bahwa Umar sama sekali melarang para shahabat meriwayatkan
hadits. Larangan umar tampaknya tidak tertuju kepada periwayatan itu sendiri, tetapi
dimaksudkan agar masyarakat lebih berhati-hati dalam periwayatan hadits dan perhatian
10

masyarakat terhadap Al-Qur’an tidak tergangu. Hal ini diperkuat oleh bukti-bukti berikut
ini:16
1) Umar pada suatu ketika pernah menyuruh umat islam untuk mempelajari hadits
Nabi dari para ahlinya, karena mereka lebih mengetahui tentang kandungan Al-
Qur’an.
2) Umar sendiri cukup banyak meriwayatkan hadits Nabi, Ahmad bin Hambal telah
meriwayatkan hadits Nabi yang berasal dari riwayat Umar sekitar tiga ratus hadits.
Ibnu Hajar Al-Asqalaniy telah menyebutkan nama-nama sahabat dan tabi’in
terkenal yang telah menerima riwayat hadits Nabi dari Umar. Ternyata jumlahnya
cukup banyak.
3) Umar pernah merencanakan menghimpun hadits Nabi secara tertulis. Umar
meminta pertimbangan kepada para sahabat dan para sahabat pun menyetujuinya.
Tetapi satu bulan Umar memohon petunjuk kepada Allah dengan jalan melakukan
shalat istikharah, akhirnya dia mengurungkan niatnya itu. Dia khawatir himpunan
hadits itu akan memalingkan perhatian umat Islam dari Al-Qur’an. Dalam hal ini,
dia sama sekali tidak nenampakkan larangan terhadap periwayatan hadits. Niatnya
menghimpun hadits diurungkan bukan karena alasan periwayatan hadits, melainkan
karena faktor lain, yakni takut terganggu konsentrasi umat islam terhadap Al-
Qur’an.

Dari uraian di atas dapat dinyatakan, bahwa periwayatan hadits pada zaman Umar bin
Al-Khattab telah lebih banyak dilakukan oleh umat Islam bila dibandingkan dengan zaman
Abu Bakar. Hal ini bukan hanya disebabkan karena umat islam telah lebih banyak
menghajatkan kepada periwayatan hadits semata, melainkan juga karena Khalifah Umar
telah pernah memberikan dorongan kepada umat islam untuk mempelajari hadits Nabi.
Dalam hal itu para periwayat hadits masih agak terkekang dalam melakukan periwayatan
hadits, karena Umar telah melakukan pemeriksaan hadits yang cukup ketat kepada para
periwayat hadits. Umar melakukan yang demikian bukan hanya bertujuan agar konsentrasi
umat Islam tidak berpaling dari Al-Qur’an, melainkan juga agar umat Islam tidak
melakukan kekeliruan dalam periwayatan hadits. Kebijakan Umar yang demikian telah
16
Ibid., hlm. 46.
11

menghalangi orang-orang yang tidak bertanggung jawab melakukan pemalsuan-pemalsuan


hadits.

c. Usman bin Affan

Secara umum, kebijakan Usman tentang periwayatan hadits tidak jauh berbeda
dengan apa yang telah ditempuh oleh kedua khalifah penduhulunya. Hanya saja, langkah
Usman tidaklah setegas langkah Umar bin Khattab.
Usman secara pribadi memang tidak banyak meriwayatkan hadits. Ahmad bin
Hambal meriwayatkan hadits Nabi yang berasal dari riwayat Usman sekitar empat puluh
hadits saja. Itupun banyak matan hadits yang terulang, karena perbedaan sanad. Matan
hadits yang banyak terulang itu adalah hadits tentang berwudhu.17 Dengan demikian jumlah
hadits yang diriwayatkan oleh Usman tidak sebanyak jumlah hadits yang diriwayatkan oleh
Umar bin Khattab.
Dari uraian diatas dapat dinyatakan, bahwa pada zaman Usman bin Affan, kegiatan
umat Islam dalam periwayatan hadits tidak lebih banyak dibandingkan bila dibandingkan
dengan kegiatan periwayatan pada zaman Umar bin Khattab. Usman melalui khutbahnya
telah menyampaikan kepada umat Islam berhati-hati dalam meriwayatkan hadits. Akan
tetapi seruan itu tidak begitu besar pengaruhnya terhadap para perawi tertentu yang
bersikap “longgar” dalam periwayatan hadits. Hal tersebut terjadi karena selain pribadi
Usman tidak sekeras pribadi Umar, juga karena wilayah Islam telah makin luas. Luasnya
wilayah Islam mengakibatkan bertambahnya kesulitan pengendalian kegiatan periwayatan
hadits secara ketat.

d. Ali bin Abi Thalib.

Khalifah Ali bin Abi Thalib pun tidak jauh berbeda dengan sikap para khalifah
pendahulunya dalam periwayatan hadits. Secara umum, Ali barulah bersedia menerima
riwayat hadits Nabi setelah periwayat hadits yang bersangkutan mengucapkan sumpah,
bahwa hadits yang disampaikannya itu benar-benar dari Nabi saw. hanyalah terhadap yang
benar-benar telah dipercayainya. Dengan demikian dapat dinyatakan, bahwa fungsi sumpah

17
Ibid., hlm. 47.
12

dalam periwayatan hadits bagi Ali tidaklah sebagai syarat mutlak keabsahan periwayatan
hadits. Sumpah dianggap tidak perlu apabila orang yang menyampaikan riwayat hadits
telah benar-benar tidak mungkin keliru.
Ali bin Abi Thalib sendiri cukup banyak meriwayatkan hadits Nabi. Hadits yang
diriwayatkannya selain dalam bentuk lisan, juga dalam bentuk tulisan (catatan). Hadits
yang berupa catatan, isinya berkisar tentang hukuman denda (diyat), pembahasan orang
Islam yang ditawan oleh orang kafir, dan larang melakukan hukum qishas terhadap orang
Islam yang membunuh orang kafir.18
Ahmad bin Hambal telah meriwayatkan hadits melalui riwayat Ali bin Abi Thalib
sebanyak lebih dari 780 hadits. Sebagian matan dari hadits tersebut berulang-ulang karena
perbedaan sanadnya. Dengan demikian, dalam Musnad Ahmad, Ali bin Abi Thalib
merupakan periwayat hadits yang terbanyak bila dibandingkan dengan ketiga khalifah
pendahulunya.
Dilihat dari kebijaksanaan pemerintah, kehati-hatian dalam kegiatan periwayatan
hadits pada zaman Khalifah Ali bin Abi Thalib sama dengan pada zaman sebelumnya.
Akan tetapi situasi umat Islam pada zaman Ali telah berbeda dengan situasi pada zaman
sebelumnya. Pada zaman Ali, pertentangan politik dikalangan umat Islam semakin
menajam. Peperangan antara kelompok pendukung Ali dengan pendukung Mu’awiyah
telah terjadi. Hal ini membawa dampak negatif dalam bidang kegiatan periwayatan hadits.
Kepentingan politik telah mendorong terjadinya pemalsuan hadits.19
Dari uraian di atas dapat disimpulkan, bahwa kebijaksanaan para Khulafaur Rasyidin
tentang periwayatan hadits adalah sebagai berikut.
1) Seluruh khalifah sependapat tentang pentingnya sikap hati-hati dalam periwayatan
hadits
2) Larangan memperbanyak hadits, terutama yang ditekankan oleh Khalifah Umar,
tujuan pokoknya ialah agar periwayat bersikap selektif dalam meriwayatakan hadits
dan agar masyarakat tidak dipalingkan perhatiannya dari Al-Qur’an

18
Ibid., hlm. 48.
19
Ibid., hlm. 49.
13

3) Penghadiran saksi atau mengucapkan sumpah bagi periwayat hadits merupakan


salah satu cara untuk meneliti riwayat hadits. Periwayat yang dinilai memiliki
kredibilitas yang tinggi tidak dibebani kewajiban mengajukan saksi atau sumpah
4) Masing-masing khalifah telah meriwayatkan hadits. Riwayat hadits yang
disampaikan oleh ketiga khalifah yang pertama seluruhnya dalam bentuk lisan.
Hanya Ali yang meriwayatkan hadits secara tulisan disamping secara lisan.

Adapun penulisan hadits pada masa Khulafaur Rasyidin masih tetap terbatas dan
belum dilakukan secara resmi, walaupun pernah Khalifah Umar bin Khattab mempunyai
gagasan untuk membukukan hadits, namun niatan tersebut diurungkan setelah beliau
melakukan shalat istikharah. Para sahabat tidak melakukan penulisan hadits secara resmi,
karena beberapa faktor sebagai berikut.20
1) Agar tidak memalingkan umat dari perhatian terhadap Al-Qur’an. Perhatian sahabat
masa Khulafaur Rasyidin adalah pada Al-Qur’an seperti tampak pada urusan
pengumpulan dan pembukuannya sehingga menjadi mushaf.

2) Para sahabat sudah menyebar sehingga terdapat kesulitan dalam menulis hadits.

4. Hadits Pada Masa Tabi’in


Sebagaimana para sahabat para tabi’in juga cukup berhati-hati dalam periwayatan
hadits . Hanya saja pada masa ini tidak terlalu berat seperti seperti pada masa sahabat. Pada
masa ini Al-Qur’an sudah terkumpul dalam satu mushaf dan sudah tidak menghawatirkan
lagi. Selain itu, pada akhir masa Khulafaur Rasyidin para sahabat ahli hadits telah
menyebar ke beberapa wilayah sehingga mempermudah para tabi’in untuk mempelajari
hadits.
Para sahabat yang pindah ke daerah lain membawa perbendaharaan hadits sehingga
hadits Nabi tersebar ke banyak daerah. Kemudian muncul sentra-sentra hadis sebagai
berikut.21
a. Madinah, dengan tokoh dari kalangan sahabat seperti Aisyah dan Abu Hurairah.
b. Mekkah, dengan tokoh dari kalangan sahabat seperti Ibnu Abbas

20
Ibid, hlm. 41-46.
21
Idris, Studi Hadis, (Jakarta: Kencana, 2013), hlm. 44-45.
14

c. Kufah, dengan tokoh dari kalangan sahabat seperti Abdullah Ibn Mas’ud
d. Basrah, dengan tokoh dari kalangan sahabat seperti Utbah Ibn Ghazwan
e. Syam, dengan tokoh dari kalangan sahabat seperti Mu’ad Ibn Jabal
f. Mesir, dengan tokoh dari kalangan sahabat Abdullah Ibn Amr Ibn Al-Ash

Cara periwayatan hadits pada masa tabi’in ialah bi al-lafzi, yaitu dengan lafadz,
karena kodifikasi hadits dimulai pada akhir masa tabi’in. 22 Kodifikasi pada masa ini telah
menggunakan metode yang sistematis, yakni dengan mengelompokkan hadits-hadits yang
ada sesuai dengan bidang bahasan masing-masing, walaupun masih bercampur antara hadis
Nabi dengan qaul sahabat dan tabi’in, sebagaimana terdapat dalam Al-Muwatta Imam
Malik.23 Baru pada awal abad kedua hijriyah, dalam kodifikasinya, hadits sudah dipisahkan
dari qaul sahabat dan tabi’in seperti Musnad Abu Dawud at-Thayalisi (204 H).24
Selain dengan riwayat bi al-lafzi salah satu sistem penerimaan dan periwayatan hadis
yang muncul pada masa ini adalah sistem “isnad”. Maraknya pemalsuan hadits pada akhir
masa tabi’in yang berlanjut pada masa sesudahnya telah mendorong para ulama untuk
meneliti keotentikan hadits. Pemalsuan hadits dimulai sejak masa Ali bin Abi Thalib bukan
karena masalah politik tetapi masalah lain. Menurut Abu Zahrah, sanad yang disampaikan
pada masa tabi’in tidak selalu bersambung kepada Rasulullah, sehingga tabi’in sering
menyampaikan sebuah hadits dengan tidak menyebut sahabat yang meriwayatkannya.25 Hal
ini menjadi penyebab kekeliruan dalam periwayatan hadits dan munculnya hadits palsu.
Faktor terjadinya kekeliruan pada masa tabi’in antara lain.26
a. Periwayat hadis adalah manusia maka tidak akan lepas dari kekeliruan.
b. Terbatasnya penulisan dan kodifikasi hadis.
c. Terjadinya periwayatan secara makna yang dilakukan oleh sahabat.

22
Muhammad Muhammad Abu Zahwi, op.cit., hlm. 200.
23
Badran Abu al-Ainain, al-Hadis an-Nabawi asy-Syarif, Tarikhuhu wa Mustalahatuhu (Iskandariyah:
Mu’assasah Syabab al-Jami’ah, 1983), hlm. 29.
24
Subhi as-Shalih, op.cit., hlm. 48.
25
Muhammad Abu Zahrah,Tarikh Al-Madzahib Al-Islamiyah Juz II, (Mesir: Dar Al-Fikr, 1976),
hlm. 43.
26
Idris, Studi Hadis, (Jakarta: Kencana, 2013), hlm. 45-46.
15

Menghadapi terjadinya pemalsuan hadits dan kekeliruan periwayatan maka para


ulama mengambil langkah sebagai berikut.27
a. Melakukan seleksi dan koreksi oleh tentang nilai hadits atau para perowinya.
b. Hanya menerima hadits dari periwayat yang tsiqoh saja.
c. Melakukan penyaringan terhadap hadis dari rowi yang tsiqah.
d. Mensyaratkan tidak adanya penyimpangan periwayat yang tsiqoh pada periwayat
yang lebih tsiqah.
e. Meneliti sanad untuk mengetahui hadits palsu.

B. Sejarah Kodifikasi Hadits Abad ke 2, 3, 4, 5 Hijiriyah dan Sampai Sekarang


1. Hadits Pada Abad ke-2 Hijriyah

Agama Islam mulai tersiar dengan luas di kalangan masyarakat umum, dipeluk dan
dianut oleh penduduk yang bertempat tinggal di luar Jazirah Arab. Para sahabat pun mulai
terpencar di beberapa wilayah, bahkan tidak sedikit jumlahnya yang telah meninggal dunia.
Hal ini memicu perlunya untuk mengambil langkah-langkah bagi penghimpunan dan
penulisan hadits Nabi secara resmi, yang saat itu masih berserakan di dalam catatan dan
hafalan para sahabat dan tabi’in. Khalifah Umar bin Abdul Aziz (99-101 H) 28 sebagai
Khalifah kedelapan Bani Umayyah29 mulai memerintah di penghujung abad ke-1 H untuk
pengkodifikasian hadits. Terdapat beberapa faktor yang mendorong pengumpulan dan
pengkodifikasian hadist pada periode ini diantaranya ialah:
a. munculnya kekhawatiran akan hilang dan lenyapnya hadits karena banyaknya para
sahabat yang meninggal dunia akibat usia lanjut dan karena seringnya terjadi
peperangan,
b. semakin luasnya daerah kekuasaan Islam disertai denga
c. semakin banyak dan kompleksnya permasalahan yang dihadapi umat Islam,
d. untuk membersihkan dan menjaga kemurnian hadits dari hadits-hadits maudhu'
yang dibuat oleh masyarakat untuk mempertahankan ideologi golongan dan

27
Ibid, hlm. 46.
28
Bahkan Umar bin Abdul Aziz sendiri termasuk orang yang menulis Hadits, lihat Dr. Muhammad Ajjaj
Al-Khothib, Ushulu al-Hadits Ulumuhu Wa Mushthalahuhu, (Beirut: Daru al-Fikr), hlm. 170.
29
Drs. H. Mudasir, Ilmu Hadis, (Surabaya: Pustaka Setia, 2008 M./1429 H) hlm.105.
16

mempertahankan madzhabnya, disebabkan adanya konflik politik ataupun


"Fanatisme Madzhab" berlebihan, yang mulai tersiar sejak awal berdirinya Khilafah
Ali bin Abi Thalib.
e. telah hilangnya kekhawatiran bercampur aduknya Hadits dengan Al-Quran jika
mengkodifikasi Hadits di zaman Rasulullah saw. dan Khulafaur Rasyidin. Karena
Al-Quran telah dikumpulkan dalam satu mushaf dan di sebarluaskan ke seluruh
pelosok. Ditambah Al-Quran telah dihafal dan diresapkan dalam sanubari beribu-
ribu umat Islam.

Khalifah Umar bin Abdul Aziz menginstruksikan kepada Wali Kota madinah, Abu
Bakar bin Muhammad bin Amr bin Hazm (177 H.), untuk mengumpulkan hadits yang ada
padanya dan pada tabi'in wanita yaitu Amrah binti Abdur Rahman al-Anshariyah. Hal ini
berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Ad-Daromi, "Tulislah padaku hadits Rasulullah
saw. yang ada padamu dan hadits Amrah (binti Abdur Rahman), sebab aku takut akan
hilang dan punahnya ilmu".
Atas instruksi itu, Ibnu Hazm mengumpulkan hadits-hadits, baik yang ada pada
dirinya maupun yang ada pada Amrah, tabi'in wanita yang banyak meriwayatkan dari
Aisyah r.a. begitu juga beliau menginstruksikan kepada Ibnu Syihab al-Zuhry seorang
Imam dan ulama di Hijaz dan Syam (124 H). Beliau mengumpulkan dan menulis hadits-
hadits dalam lembaran-lembaran dan dikirimkan kepada masing-masing penguasa di tiap-
tiap wilayah satu lembar. Itulah sebabnya para ahli sejarawan dan ulama menganggap
bahwa Ibnu Syihab adalah orang yang pertama kali mengodifikasi hadits secara resmi atas
perintah Khalifah Umar bin Abdul Aziz.
Setelah periode Ibnu Hazm dan Ibnu Syihab berlalu, munculah periode
pengkodifikasian hadits yang di cetuskan oleh khalifah-khalifah Abbasyiah. Ulama-ulama
pada periode ini diantaranya: Ibnu Juraij al-Bashary (150 H) di Makkah; Abu Ishaq (151 H)
al-Imam Malik bin Anas (179 H) di Madinah; Al-Rabi' bin Shabih (106 H) dan Hammad
bin Salamah (176 H) di Bashrah; Sufyan Atsaury (166 H) di Kufah; Al-Auza'i (156 H),
Hasyim (156 H) dan Ibnu al-Mubarak (171 H) di Syam. Karena para Ulama tersebut hidup
pada generasi yang sama, yaitu pada abad ke-2 H. Sukar untuk ditetapkan siapa diantara
17

mereka yang lebih dahulu, namun dapat dipastikan bahwa mereka sama-sama berguru
kepada Ibnu Hazm dan Ibnu Syihab Al-Zuhry.
Karya ulama abad ke-2 ini masih bercampur aduk antara hadits-hadits Rasulullah
dengan fatwa-fatwa sahabat dan tabi'in. Akibatnya, kitab-kitab hadits karya ulama-ulama
tersebut belum dipisah antara hadits marfu', mauquf dan maqthu', dan diantara hadits yang
shahih, hasan dan dhaif. Terdapat kitab-kitab hadits yang masyhur karya ulama abad ke-2
diantaranya Al-Muwattha,30 Musnadu Al-Syafi'i Ibnu Abi Ya'la, Mukhtalifu Al-Hadits,
karya Al-Imam Al-Syafi'i Ibnu Abi Ya'la.

2. Hadits Pada Abad ke-3 Hijriyah

Periode ini dikenal dengan periode penyaringan hadits atau seleksi hadits yang ketika
itu pemerintahan dipegang oleh Khalifah dari Bani Umayyah. Pada masa ini para ulama
bersungguh-sungguh mengadakan penyaringan hadist, melalui kaidah-kaidah yang
ditetapkan, mereka berhasil memisahkan hadits-hadits yang dhaif dari yang shahih, dan
hadits- yang mauquf dan maqthu' dari yang marfu', meskipun berdasarkan penelitian masih
ditemukan beberapa hadits dhaif yang terselip di kitab hadits shahih mereka.31
Pengumpulan Hadis abad ke-2 masih terbatas pada daerah-daerah perkotaan saja,
sementara perawi Hadis telah menyebar ke daerah-daerah yang jauh sejalan dengan
semakin luasnya daerah kekuasaan Islam. Dalam rangka menghimpun hadits-hadits yang
belum terjangkau pada masa sebelumnya, maka pada abad ke-3 hijriyah para ulama ahli
hadits melakukakan perlawatan mengunjungi para perawi hadits yang jauh dari pusat kota.
Pada pertengahan abad ke-3 ini, mulai muncul kitab-kitab hadits yang hanya memuat
hadits-hadits shahih, dan pada perkembangannya dikenal dengan "Al-Kutubu As-Sittah"
diantaranya sebagai berikut.

30
Kitab Al-Muwattha disusun oleh Imam Malik pada tahun 144 H atas anjuran Khalifah al-Manshur,
jumlah hadits yang terdapat dalam al-Muwattha kurang lebih 1720 buah hadits.
31
Drs. H. Mudasir, Ilmu Hadis, (Surabaya: Pustaka Setia, 2008 M/1429 H), hlm.109.
18

a. Shahih Al-Bukhari atau Al-Jami'u As-Shahih 32 karya Muhammad bin Ismail Al-
Bukhari (194-256 H.) Menurut penelitian Ibnu Hajar (852 H) seperti yang
disebutkan dalam pendahuluan kitabnya "Fathul Bari Fi Syarhi Al-Bukhari", kitab
shahih itu berisi 9.082 hadits yang terdiri dari 2602 buah hadits yang tidak
terulang-ulang, dan 159 matan hadits marfu', namun Ibnu Hajar tidak menghitung
hadits marfu' dan maqthu' yang terdapat dalam kitab Shahih Bukhari. 33 Kitab
tersebut merupakan kitab hadits yang shahih (otentik) setelah Al-Quran dan di
antara Mukhtashar Bukhari ialah Tajridu As-Sharih dan Mukhtashar Abi Jamrah,
Masing-masing karangan Ibnu Al-Mubarak dan Ibnu Abi Jamrah.
b. Shahih Al-Muslim, karya Al-Imam Muslim bin Hajjaj bin Muslim Al-Qusyairy Al-
Naisabury (204-261 H).34
c. Sunan Abu dawud, karangan Abu Dawud Sulaiman bin Al-Asy'as bin Ishaq Al-
Sajastani (202-275 H).
d. Sunan At-Tirmidzi, Karangan Abu Isa Muhammad bin Isa bin Surah At-Tirmidzi
(200-279 H).
e. Sunan Nasa'i, karangan Abu Abdu Ar-Rahman bin Suaid Ibnu Bahr Al-Nasa'iy
(215-302 H).
f. Sunan Ibnu Majah, karangan Abu Abdillah Ibnu Yazid Ibnu Majah (207-273 H).

3. Hadits Pada Abad ke-4 Hijiriyah

Periode ini disebut Ashr At-Tahdzib wa At-Tartib wa Al-Istidrak wa Al-jami’i (masa


pembersihan, penyusunan, penambahan dan pengumpulan), berlangsung sejak awal abad
ke-4 H sampai dengan berakhirnya Daulah Bani Abbasyiyah pada tahun 656 H hingga
masa-masa seterusnya. Daulah Bani Abbasyiyah adalah kekhalifahan kedua Islam yang
berkuasa di Baghdad (sekarang ibu kota Irak). Kekhalifahan ini berkembang pesat dan

32
Yang dimaksud dengan Al-Jami', yaitu kitab hadits yang menghimpun delapan bab, yaitu bab
akidah, hukum-hukum, perbudakan, tatakrama makan dan minum, tafsir, sejarah, perjalanan, bepergian,
berdiri, dan duduk (atau disebut dengan Babu al-Syamail), fitnah-fitnah, Manaqib dan Matsalib. Lihat Dr.
Shubhi Shalih, Ulumu al-Hadits Wa Mushthalahuhu, (Beirut: Daru al-Ilmi Li al-Malayiin, 1959), hlm. 122.
33
Ibid. hlm.120.
34
Fatchur Rahman, Khtishar Musthalahu'l Hadits, (Bandung: PT. Al Ma'arif, 1974), hlm. 57.
19

menjadikan dunia Islam sebagai pusat pengetahuan dengan menerjemahkan dan


melanjutkan tradisi keilmuan Yunani dan Persia.
Abad ke-4 ini merupakan abad pemisahan antara ulama Mutaqaddimin (ulama yang
hidup sebelum abad ke-4), yang dalam menyusun kitab hadits mereka berusaha sendiri
menemui para sahabat atau tabi’in yang menghafal hadits dan kemudian menelitinya
sendiri. Maka corak periwayatan hadits pada masa mutaqaddimin yaitu dengan penukilan
langsung dari para penghafal. Sedangkan pada masa ulama mutaakhirin (ulama yang hidup
pada abad ke-4) yang dalam usahanya menyusun kitab-kitab hadits, mereka hanya
menukilkan dari kitab-kitab yang disusun oleh ulama mutaqaddimin. Namun pada abad ke-
4 ini masih terdapat ulama-ulama hadits yang memiliki kemampuan dan kesanggupan
seperti ulama mutaqaddimin, meskipun jumlahnya tidak banyak.
Pada periode ini para ulama berlomba-lomba untuk menghafal sebanyak-banyaknya
hadits yang telah dikodifikasikan, sehingga tidak mustahil sebagian dari mereka sanggup
menghafal beratus-ratus ribu hadits. Sejak periode inilah timbul bermacam-macam gelar
keahlian dalam ilmu hadits, seperti gelar Al-Hakim dan Al-Hafidz. 35 Selain itu, para ulama
Mutaakhirin ini melakukan kegiatan yakni mempelajari, memeriksa dan menyelidiki sanad-
sanad kitab Hadits yang muncul pada abad sebelumnya, juga menyusun kitab-kitab baru
dengan tujuan memelihara,menerbitkan ,dan menghimpun semua sanad dan matan yang
saling berhubungan, serta yang telah termuat secara terpisah dalam kitab-kitab rujukan
yang telah tertadwin di masa sebelumnya. Bertolak dari tadwin itu, maka ulama-ulama di
abad ke-4 H memeperluas sistem dan corak tadwin. Aktivitas tadwin hadits pada abad ke-4
H dan seterusnya disebut aktivitas Tadwin Ba’da Tadwin.
Pada periode ini penyampaian dan penerimaan hadits-hadits dilakukan dengan jalan
surat menyurat serta ijazah (ijazah disini maksudnya ialah memberikan izin kepada murid
untuk meriwayatkan hadits-hadits yang telah dituliskan oleh seorang guru dalam kitabnya).
Adapun kitab-kitab yang masyhur karya ulama abad ke-4 sebagai berikut.
a. Mu’jamu al-Kabir, Majmu al-Awsath, Mu’jamu As-Shaghir, karya Al-Imam
Sulaiman bin Ahmad al-Tabrany (360 H).

35
Ibid., hlm. 58.
20

b. Sunan al-Daruquthny, karya Al-Imam Abdul Hasan Ali bin Umar bin Ahmad Al-
Daruquthny (306-385 H).
c. Shahih bin Auwanah, karya Abu Auwanah Ya’qub bin Ishaq bin Ibrahim Al-
Asfayainy (354 H).
d. Shahih Ibnu Khudzaimah, Karya Ibnu Khudzaimah Muhammad bin Ishaq (316 H).

4. Hadits Pada Abad ke-5 dan Sampai Sekarang

Usaha ulama ahli hadits pada abad ke-5 hingga sekarang adalah ditujukan untuk
mengklasifikasikan hadits dengan menghimpun hadits-hadits yang sejenis kandungannya
atau sejenis sifat-sifat isinya dalam satu kitab hadits. Disamping itu mereka dapat
menyarahkan (menguraikan dengan luas) dan mengikhtishar (meringkaskan) kitab-kitab
hadits yang telah disusun oleh ulama yang mendahuluinya. Seperti yang dilakukan oleh
Abu Abdillah Al-Humaidi (448 H), ada pun kitab-kitab hadits pada periode ini antara lain.
a. Sunan Al-Kubra, Karya abu Bakar Ahmad bin Husain Ali Al-Baihaqy (384-458 H).
b. Muntaqa Al-Akhbar, karya Majduddin Al-Harrany (652 H).
c. Fathul Bari Fi Syarhi Al-Bukhari, Karya Ibnu Hajar Al-'Asqolany (852 H).
d. Nailu Al-Awthar, Syarah kitab Muntaqa Al-Akhbar, karya Al-Imam Muhammad
bin Ali Al-Syaukany (1172-1250 H).

Pada periode ini pula muncul kitab-kitab hadits targhib dan tarhib sebagai berikut.
a. Al-Targhib wa At-Tarhib, karya Al-Imam Zakiyuddin Abdul Adzim Al-Mundziry
(656 H).
b. Dalailu Al-Falihin, karya Al-Imam Muhammad Ibnu Allan As-Shiddiqy (1057 H).
sebagai kitab syarah Riyadu As-Shalihin, karya Al-Imam Muhyiddin Abi Zakariya
Al-Nawawi (676 H).

Pada periode ini para ulama juga menciptakan kamus hadits untuk mencari ulama
yang men-takhrij suatu hadits atau untuk mengetahui dari kitab hadits apa suatu hadits
didapatkan, diantaranya.
21

a. Al-Jami’u As-Shaghir fi Ahaditsi Al-Basyiri An-Nadzir , karya Al-Imam Jalaluddin


al-Suyuthy (849-911 H).36
b. Dakhairu Al-Mawarits fi Dalalati ‘Ala Mawadhi’i Al-Ahadits, karya Al-Imam Al-
Allamah Sayyid Abdul Ghani Al-Maqdisy Al-Nabulisy.37
c. Al-Mu'jamu Al-Mufahras li Al-Alfadzi Al-Haditsi Al-Nabawy, Karya Dr. A.J.
Winsinc dan Dr. J.F. Mensing.38
d. Miftahu Al-Kunuzi As-Sunnah, Karya Dr. A.J. Winsinc.39

36
Kitab yang mengumpulkan hadits-hadits yang terdapat dalam Kutubus Sittah dan lainnya ini disusun
dengan alfabet dari awal hadits, dan selesai ditulis pada tahun 907 H. Ibid. hlm 60.
37
Didalamnya terkumpul kibat athraf 7 (Shahih Bukhari dan Muslim, Sunan empat dan Muwattha).
38
Keduanya adalah Dosen di Universitas Leiden. Kitab hadits yang mengandung hadits-hadits kitab
enam, musnad al-Darimy, Muwattha Malik, dan Musnad Imam Ahmad, selesai dicetak di Leiden pada tahun
1936 M.
39
Berisikan hadits-hadits yang terdapat dalam 14 macam kitab hadits. Kitab tersebuut disalin kedalam
bahasa Arab oleh Ustadz Muhammad Fuad Abdul Baqy dan dicetak di Mesir pada tahun 1934 M.
BAB III
PENUTUP
A. Simpulan
Rasulullah Saw. merupakan suri tauladan bagi seluruh umat manusia. Semasa
hidupnya segala perilaku, perbuatan, dan taqrirnya yang berhubungan dengan hukum syara’
menjadi pedoman ajaran islam kedua setelah Al-Quran yaitu Hadits. Pada masa itu Hadits
tersimpan di dalam hafalan-hafalan para sahabat. Karena Rasulullah sendiri yang melarang
penulisan hadits, disebabkan kekhawatiran akan tercampurnya ayat-ayat Al-Quran dengan
Hadits (iltibas). Seiring dengan perkembangan zaman disertai faktor-faktor tertentu, salah
satunya telah hilangnya alasan akan tercampurnya Al-Quran dan Hadits karena Al-Quran
telah disusun dalam mushaf dan sudah tersebar diseluruh pelosok kekuasaan islam, juga
telah banyak umat muslim yang menghafal ayat-ayat suci Al-Quran, Hadits mulai
dikodifikasi dalam bentuk tulisan dan dibukukan. Hingga sekarang telah banyak ditemui
berbagai kitab hadits karya ulama-ulama terdahulu yang dijadikan pedoman oleh umat
muslim.

B. Saran
Setelah mempelajari sejarah asal muasal dan perkembangan Hadits, diharapkan
pembaca dapat menerapkan sikap dan tindakan yang sesuai dengan Hadits Nabi dalam
kehidupannya. Dengan adanya sumber ajaran islam kedua ini, kalangan umat muslim tidak
serta merta menafsirkan hukum-hukum syara’ yang terdapat di dalam Al-Quran tanpa
melihat Hadits terlebih dahulu, karena hal ini dapat menyebabkan kesalahpahman terhadap
makna ayat-ayat Al-Quran. Untuk menghindari hal ini, sebagai muslim yang cerdas kita
juga harus selektif terhadap hukum-hukum syara’ ajaran islam yang kita lihat di media
sosial, kita harus mengetahui sumber yang jelas dan sesuai dengan Al-Quran dan Hadits.

22
DAFTAR PUSTAKA
Al-Ainain, Badran Abu (1983). Al-Hadis An-Nabawi Asy-Syarif, Tarikhuhu wa
Mustalahatuhu. Iskandariyah: Mu’assasah Syabab al-Jami’ah.
Al-Khothib, Muhammad Ajjaj. Ushulu al-Hadits Ulumuhu Wa Mushthalahuhu. Beirut:
Daru al-Fikr.
Drs. H. Mudasir (2008 M/1429 H). Ilmu Hadis. Surabaya: Pustaka Setia.

Fahmi, Akrom (1999). Sunnah Qabla Tadwin. Jakarta: Gema Insani Press.
Hasyim, Al-Hasani Abd al-Majid. Ushul al-Hadis al-Nabawi. Kairo: al-Qahirah al-Hadisah
Li al-Thaba’ah.
Idris (2013) Studi Hadits. Jakarta: Kencana.
Ismail, M. Syuhudi (1995). Kaedah-Kaedah Keshahehan Sanad Hadits. Jakarta: Bulan
Bintang.
Khon, Abdul Majid (2012). Ulumul Hadits. Jakarta: Amzah.

Mangunsuwito (2011). Kamus Saku Ilmiah Populer Disertai dengan Istilah-istilah Aing.
Jakarta: Widytama Pressindo.
Rahman, Fatchur (1974). Khtishar Musthalahu'l Hadits. Bandung: PT. Al Ma'arif.
Shalih, Shubhi (1959). Ulumu al-Hadits Wa Mushthalahuhu. Beirut: Daru al-Ilmi Li al-
Malayiin.
Shobuni, Muhammad Ali (2003). Al-Tibyan Fi ‘Ulumil Qur’an. Madinah: Daru Al-
Shobuni.
Soetari, H. Endang (1997). Ilmu Hadits. Bandung: Amal Bakti Press.
Sumbulah, Umi (2010) Kajian Kritis Ilmu Hadis. Malang: UIN-Maliki Press.
Zahrah, Muhammad Abu (1976). Tarikh Al-Madzahib Al-Islamiyah, Juz II. Mesir: Dar Al-
Fikr.
Zahwi, Muhammad Muhammad Abu. Al-Hadis wa al-Muhaddisun al-‘Inayah al-Ummah
al-Islamiyah bi al-Sunnah al-Muhammadiyyah. Mesir: Dar al-Fikr al-Arabi.

23

Anda mungkin juga menyukai