Anda di halaman 1dari 62

ABSTRAK

PENENTUAN KADAR GLUKOSAMIN DARI FERMENTASI KULIT


UDANG OLEH Mucor miehei DENGAN METODE UJI NINHIDRIN DAN
SPEKTROFOTOMETRI UV-VIS

Oleh

Maria Ulfa

Pada penelitian ini dilakukan pembuatan glukosamin dengan fermentasi kulit


udang dengan bantuan Mucor miehei. Mucor miehei memproduksi kitinase untuk
mendegradasi kitin yang terkandung pada kulit udang menjadi glukosamin.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui jumlah glukosamin maksimum yang
dihasilkan Mucor miehei dalam mendegradasi kulit udang setiap hari selama lima
hari waktu fermentasi. Kadar glukosamin ditentukan dengan analisis
spektrofotometri UV-Vis dan uji kualitatif dengan reagen ninhidrin. Hasil uji
menunjukkan filtrat hasil fermentasi memberikan hasil positif warna ungu
terhadap reagen ninhidri. Larutan ini lalu di analisis menggunakan
spektrofotometer UV-Vis pada panjang gelombang (λ) 570 nm. Waktu optimum
Mucor miehei untuk mendegradasi kulit udang adalah pada hari keempat dengan
kadar kemurnian sebesar 4,14 % dari 1 gram kulit udang yang digunakan.

Kata kunci : Glukosamin, Mucor miehei, Ninhidrin, Spektrofotometri UV-Vis


ABSTRACT

DETERMINATION OF GLUCOSAMINE CONTENT FROM


FERMENTATION OF THE SHRIMP SHELLS BY Mucor miehei USING
NINHYDRIN TEST AND UV-VIS SPECTROPHOTOMETRY METHOD

By

Maria Ulfa

This research was conducted to make glucosamine from fermentation of shirmp


shells by using Mucor miehei. Mucor miehei produces chitinase to degrade chitin
that contained in shrimp shells to glucosamine. This research aims to determine
the maximum amount of glucosamine produced by Mucor miehei to degrade
shrimp shells every day for five days fermentation process. Glucosamine level
was determined using UV-Vis spectrophotometer and ninhydrin reagent. The
results showed the filtrate from fermentation gave a positive result in purple to
ninhydrin reagent. This solution was analyzed using UV-Vis spectrophotometer at
wavelenght (λ) 570 nm. Optimum time of Mucor miehei to degrade the shrimp
shells is on the fourth day with purity level 4.14 % of 1 gram of shrimp shells
were used.

Keywords: Glucosamine, Mucor miehei, Ninhydrin, UV-Vis Spectrophotometry


PENENTUAN KADAR GLUKOSAMIN DARI FERMENTASI KULIT
UDANG OLEH Mucor miehei DENGAN METODE UJI NINHIDRIN DAN
SPEKTROFOTOMETRI UV-VIS

(Skripsi)

Oleh

MARIA ULFA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM


UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG
2016
ABSTRAK

PENENTUAN KADAR GLUKOSAMIN DARI FERMENTASI KULIT


UDANG OLEH Mucor miehei DENGAN METODE UJI NINHIDRIN DAN
SPEKTROFOTOMETRI UV-VIS

Oleh

Maria Ulfa

Pada penelitian ini dilakukan pembuatan glukosamin dengan fermentasi kulit


udang dengan bantuan Mucor miehei. Mucor miehei memproduksi kitinase untuk
mendegradasi kitin yang terkandung pada kulit udang menjadi glukosamin.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui jumlah glukosamin maksimum yang
dihasilkan Mucor miehei dalam mendegradasi kulit udang setiap hari selama lima
hari waktu fermentasi. Kadar glukosamin ditentukan dengan analisis
spektrofotometri UV-Vis dan uji kualitatif dengan reagen ninhidrin. Hasil uji
menunjukkan filtrat hasil fermentasi memberikan hasil positif warna ungu
terhadap reagen ninhidri. Larutan ini lalu di analisis menggunakan
spektrofotometer UV-Vis pada panjang gelombang (λ) 570 nm. Waktu optimum
Mucor miehei untuk mendegradasi kulit udang adalah pada hari keempat dengan
kadar kemurnian sebesar 4,14 % dari 1 gram kulit udang yang digunakan.

Kata kunci : Glukosamin, Mucor miehei, Ninhidrin, Spektrofotometri UV-Vis


ABSTRACT

DETERMINATION OF GLUCOSAMINE CONTENT FROM


FERMENTATION OF THE SHRIMP SHELLS BY Mucor miehei USING
NINHYDRIN TEST AND UV-VIS SPECTROPHOTOMETRY METHOD

By

Maria Ulfa

This research was conducted to make glucosamine from fermentation of shirmp


shells by using Mucor miehei. Mucor miehei produces chitinase to degrade chitin
that contained in shrimp shells to glucosamine. This research aims to determine
the maximum amount of glucosamine produced by Mucor miehei to degrade
shrimp shells every day for five days fermentation process. Glucosamine level
was determined using UV-Vis spectrophotometer and ninhydrin reagent. The
results showed the filtrate from fermentation gave a positive result in purple to
ninhydrin reagent. This solution was analyzed using UV-Vis spectrophotometer at
wavelenght (λ) 570 nm. Optimum time of Mucor miehei to degrade the shrimp
shells is on the fourth day with purity level 4.14 % of 1 gram of shrimp shells
were used.

Keywords: Glucosamine, Mucor miehei, Ninhydrin, UV-Vis Spectrophotometry


PENENTUAN KADAR GLUKOSAMIN DARI FERMENTASI KULIT
UDANG OLEH Mucor miehei DENGAN METODE UJI NINHIDRIN DAN
SPEKTROFOTOMETRI UV-VIS

Oleh

MARIA ULFA

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Mencapai Gelar


SARJANA SAINS

Pada

Jurusan Kimia
Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM


UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG
2016
RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Indramayu, provinsi Jawa Barat pada

tanggal 1 Juni 1994, yang merupakan anak kedua dari empat

bersaudara dari pasangan Bapak Rema dan Ibu Khasanah.

Penulis menyelesaikan pendidikan di TK Melati Puspa pada

tahun 2000, Sekolah Dasar di SDN 3 Perumnas Way Kandis

pada tahun 2006, Sekolah Menengah Pertama di SMP Negeri 19 Bandar Lampung

pada tahun 2009, dan Sekolah Menengah Atas di SMA Negeri 9 Bandar Lampung

pada tahun 2012. Penulis terdaftar sebagai mahasiswa Jurusan Kimia Fakultas

Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA) Universitas Lampung pada

tahun 2012 melalui jalur Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri

(SNMPTN) Tertulis.

Selama menjadi mahasiswa pernah menjadi anggota Bidang Kaderisasi dan

Pengembangan Oranisasi (KPO) Himpunan Mahasiswa Kimia (HIMAKI) periode

2013-2014 dan anggota Biro Kesekretariatan Himaki tahun 2014-2015. Penulis

juga pernah menjadi asisten praktikum Sains Dasar, Kimia Dasar, dan Biokimia.

Pada tahun 2015 dan 2016 penulis melakukan Praktek Kerja Lapangan dan

Penelitian di Laboratorium Biokimia, Universitas Lampung.


Bismillahirrohmaanirrohiim
Dengan mengucap Alhamdulillahirobbil’alamin kepada Allah SWT
Yang Maha Segalanya

Kupersembahkan karya kecil ini sebagai wujud tanda cinta, bakti dan
tanggung jawabku kepada:

AYAH DAN IBU TERSAYANG


Yang senantiasa memberikan kasih sayang, perhatian, dukungan,
kesabaran, dan motivasi
Serta selalu mendoakan keberhasilan
Pengorbanan dan kasih sayang yang tidak tergantikan

Seluruh keluarga besar yang selalu memberikan kebersamaan, doa dan


motivasi

Sahabat dan teman-temanku yang selalu ada disisiku, berbagi


kebahagiaan dan kebersamaan

Jurusan Kimia Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam

Almamater tercinta Universitas Lampung


Happines can be found in even the darkest of times if
only one remembers to turn on the light.
(Prof. Albus Dumbledore)

Segala sesuatu yang hebat itu sederhana dan banyak


yang bisa diungkapkan dengan satu kata: kebebasan,
keadilan, kehormatan, kewajiban, rahmat, harapan
(Winston Churchill)

You cannot do something just for the money. You


have to do things you believe in and eventually you willl
make money
(Miuccia Prada)

.......Niscaya Allah akan meninggikan orang-orang


yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi
ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha
Mengetahui apa yang kamu kerjakan
(Al-Mujaadilah:11)
ひとりでは生きていないこと 時にまた忘れがちだけど
(hitori de wa ikiteinai koto toki ni mata wasuregachi dakedo)
You may forget sometimes that I’m not living alone

苦しい時もすぐそばで 誰かがそばで
(kurushii toki mo sugu soba de dareka ga soba de)
but in hard times, someone near you

君に手を差し延べてる きっと
(kimi ni te wo sashinobeteru kitto)
will surely reach out a hand

世界の涙 集めたら それぞれの道に撒こう


(sekai no namida atsumetara sorezore no michi ni makou)
Let’s collect the world’s tears and sprinkle them on the roads

誰かの足元にいつか 花となり咲くだろう
(dare ka no ashimoto ni itsuka hana to nari saku darou)
Someday someone’s footsteps will bloom as flowers

綺麗な花を集めたら 幸せがあふれだして
(kirei na hana wo atsumetara shiawase ga afuredashite)
If we could collect the beautiful flower, we would overflow with happiness

僕らはひとつになれるよ それをいま 信じよう


(bokura wa hitotsu ni nareru yo sore wo ima shinjiyou)
and become one. Let’s believe in that now.

(東方神起 – In Our Time)


SANWACANA

Alhamduliillahirobbil’alamin, segala puji dan syukur bagi Allah SWT atas segala

nikmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang

berjudul “Penentuan Kadar Glukosamin Dari Fermentasi Kulit Udang Oleh

Mucor Miehei Dengan Metode Uji Ninhidrin dan Spektrofotometri UV-Vis”

sebagai syarat untuk mencapai gelas Sarjana Sains pada Jurusan Kimia, Fakultas

matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Lampung.

Penulis menyadari bahwa penyelesaian skripsi ini tidak terlepas dari bimbingan,

arahan, serta bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis mengucapkan

terimakasih kepada:

1. Kedua orang tuaku tercinta, Bapak Rema dan Ibu Khasanah, atas segala kasih

sayang, doa, waktu, kesabaran, dukungan, nasihat, keikhlasan, dan ketulusan

doa yang sangat berharga bagi penulis.

2. Ibu Dra. Aspita Laila, M.S., selaku pembimbing I atas segala bimbingan,

motivasi, kesabaran,perhatian, dan ilmunya sehingga penelitian dan skripsi

ini dapat terselesaikan dengan baik.

3. Bapak Prof. Dr. John Hendri, M.S., selaku pembimbing II yang telah

memberikan bimbngan, arahan, kesabaran, waktu, dan ilmu selama penelitian


hingga penyusunan skripsi ini, sehingga penulis dapat menyelesaikannya

dengan baik.

4. Bapak Andi Setiawan, Ph. D., selaku pembahas yang telah memberikan

banyak ilmu pengetahuan, arahan, dan saran demi terselesainya skripsi ini.

5. Bapak Dr. Eng. Suripto Dwi Yuwono, M.T. selaku Ketua Jurusan Kimia

Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Lampung.

6. Bapak Mulyono, Ph. D., selaku pembimbing akademik dan Sekretaris Jurusan

Kimia FMIPA Unila atas bimbingan, nasehat, dan motivasi yang telah

diberikan kepada penulis.

7. Bapak Prof. Dr. Warsito, DEA., selaku Dekan Fakultas Matematika dan Ilmu

Pengetahuan Alam Universitas Lampung.

8. Bapak dan Ibu Dosen Jurusan Kimia FMIPA Universitas Lampung atas

seluruh ilmu yang telah diberikan kepada penulis selama mengikuti

perkuliahan dikampus, semoga ilmu yang diberikan dapat bermanfaat.

9. Keluargaku tercinta, Ang Ano, Mba Okta, Alia, Fi’i, Ang Mu dan Ang Tina,

atas kebersamaannya.

10. Sahabat-sahabat terbaikku, Feiga Maharani (Ndut) dan Nindya Indah Pertiwi

(Acil) atas persahatannya selama 10 tahun ini. Terima kasih sudah menjadi

sahabat yang selalu ada disaat susah maupun senang, yang selalu menjadi

tempat berbagi segala macam cerita dan selalu memberikan kepercayaan,

motivasi, dorongan, bantuan, keceriaan, kegilaan, serta kenangan yang sangat

berharga selama ini. Semoga Allah memberikan pertolongan dan membalas

semua kebaikan.
11. Partner-ku, Erlita Aisyah dan Ruwaidah Muliana, atas kerja sama,

kebersamaan, bantuan, dukungan, kegilaan dan motivasi yang sangat

berharga selama penelitian.

12. Teman-teman Laboraturium Biokimia: Mba Windi, Kak Jeje, Mba Putri, Mba

April, Mba Ana, Mba Uswatun, Kak Azis, Diani, Ayu Imani, Putri, Tira, Fifi,

Meta, dan Rizal, atas kebersamaan, bantuan, dan kerja samanya selama

penelitian.

13. Glucosamine’s group (Sofian, Edi, Arya, Dela, Kak Jeje, Mba Windi, Lita,

dan Ruwai) atas kerjasama, bantuan, dan motivasinya.

14. Sahabat-sahabat Kak Fiona, Dewi, model Dwi, Lita, Ruwai, Ulfatun, Fenty,

Ajeng, dan Intan atas kebersamaan, bantuan, dan motivasinya yang sangat

berharga selama ini.

15. Teman-teman se-angkatan 2012: Adi setiawan, Aditian Sulung, Agus

Ardiansyah, Ajeng Wulandari, Ana Maria Kristiani, Apri Welda, Arif

Nurhidayat, Arya Rifansyah, S.Si, Atma Istanami, Ayu Imani, Ayu

Setianingrum, Deborah Jovita, Derry Vardella, Dewi Aniatul Fatimah, Diani

Iska Miranti, Dwi Anggraini, Edi Suryadi, Eka Hurwaningsih, Elsa Zulha,

Erlita Aisyah, Febita Glysenda, Feby Rinaldo Pratama, Fenti Visiamah, S.Si,

Ferdinand Haryanto Simangunsong, Fifi Adriyanthi, Handri Sanjaya, Indah

Wahyu Purnama Sari, Indriyani Saney, Intan Mailani, Ismi Khomsiah, Jean

Pitaloka, Jenny Jessica, Khoirul Anwar, Meta Fosfi Berliana, Muhamad Rizal

Robani, Murni Fitria S.Si, Nila Amalin Nabila, Putri Ramadhona, Radius Uly

Artha, Riandra Pratama Usman, Rifki Husnul Khuluk, Rizal Rio Saputra,

Rizki Putriana, Ruliana Juni Anita, Ruwaidah Muliana, Siti Aisyah, Siti Nur
Halimah, Sofian Sumilat Rizki, S.Si, Sukamto, S.Si., Susy Isnaini Hasanah,

Suwarda Dua Imatu Dela, S.Si, Syathira Assegaf, Tazkia Nurul, S.Si, Tiand

Reno, Tiara Dewi Astuti, Tiurma Debora Simatupang,S.Si, Tri Marital,

Ulfatun Nurun, Wiwin Esty Sarwita, Yepi Triapriani, Yunsi’u Nasyah,

Zubaidi.

16. Seluruh Staff dan Karyawan di Jurusan Kimia FMIPA, terima kasih atas

seluruh bantuan yang diberikan kepada penulis.

17. KKN Desa Mulya Jaya, Tulang Bawang Barat.

18. Seluruh keluarga besar Jurusan Kimia Angkatan 2011-2015.

19. Almamater tercinta, Universitas Lampung.

20. Semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

Bandar Lampung, September 2016

Maria Ulfa
DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL .......................................................................................... iii

DAFTAR GAMBAR...................................................................................... iv

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ..................................................................................... 1


B. Tujuan Penelitian.................................................................................. 4
C. Manfaat Penelitian................................................................................ 4

II. TINJAUAN PUSTAKA


A. Udang................................................................................................. 5
B. Enzim ................................................................................................ 6
C. Kitin ................................................................................................... 9
D. Enzim Kitinase................................................................................... 10
E. Enzim Kitin Deasetilase (CDA) ........................................................ 13
F. Glukosamin ......................................................................................... 15
G. Jamur Mucor miehei .......................................................................... 16
H. Fermentasi.......................................................................................... 17
I. Fermentasi Fase Cair Sistem Tertutup (Batch) .................................. 19
J. Ninhidrin ........................................................................................... 23
K. Spektrofotometri UV-Vis ................................................................... 24

III. METODOLOGI PENELITIAN


A.Waktu dan Tempat Penelitian ............................................................... 27
B. Alat dan Bahan ..................................................................................... 27
C. Prosedur Penelitian............................................................................... 28
1. Persiapan Sampel ............................................................................. 28
2. Pembuatan Media ............................................................................ 28
2.1. Pembuatan Potato Extract ........................................................ 28
2.2 Media PDA (Potato Dextrose Agar) dan pertumbuhan Mucor
miehei pada Media PDA .......................................................... 29
2.3. Media PDL (Potato Dextrose Liquid) dan pertumbuhan Mucor
miehei pada Media PDL ........................................................... 29
3. Larutan Buffer Sitrat pH 4 ............................................................... 29
4. Pembuatan Media Inokulum Mucor miehei .................................... 30
5. Fermentasi Fase Cair Sistem Tertutup (Batch) dengan Mucor
miehei ............................................................................................... 31
6. Analisis Glukosamin dengan Spektrofotometer UV-Vis ................ 32
6.1 Pembuatan Standar Glukosamin .............................................. 32
6.2. Pembuatan Sampel Glukosamin ............................................... 32
6.3 Pemilihan Panjang Gelombang Maksimum ............................. 33
6.4 Kalibrasi Glukosamin Sampel.................................................... 33

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN


A. Peremajaan Jamur Mucor miehei ......................................................... 34
B. Fermentasi Kulit Udang dengan Mucor miehei ............................................ 36
C. Uji Kualitatif Glukosamin dengan Ninhidrin ................................................ 38
D. Analisis Glukosamin dengan Spektrofototmeter UV-Vis ............................. 40

V. SIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan ........................................................................................................ 46
B. Saran .............................................................................................................. 47

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................... 48

LAMPIRAN .............................................................................................................. 55
DAFTAR TABEL

Tabel Halaman
1. Absorbansi Larutan Glukosamin Standar ........................................................... 57

2. Absorbasni Larutan Glukosamin Hasil Fermentasi ............................................ 57

3. Konsentrasi Terukur Glukosamin Hasil Fermentasi .......................................... 58

4. Jumlah Bobot Glukosamin Hasil Fermentasi ..................................................... 59

5. Kadar Kemurnian Glukosamin Hasil Fermentasi .............................................. 60


DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman
1. Struktur Kitin ..................................................................................................... 9

2. Reaksi pemutusan ikatan β-1,4 pada bagian internal mikrofibril kitin .............. 11

3. Reaksi pembebasan unit-unit diasetilkitobiose oleh enzim eksokitinase ........... 12

4. Reaksi pemutusan diasetilkitobiose, kitotriose dan kitotetraose dan menghasilkan


monomer-monomer N-setilglukosmin ............................................................... 12

5. Struktur glukosamin ........................................................................................... 15

6. Reaksi antara ninhidrin dan asam amino ............................................................ 23

7. Skema kerja spektrofotometri UV-Vis ............................................................... 24

8. Hasil Peremajaan Mucor miehei ........................................................................ 35

9. Hasil uji FeSO2.7H2O dan pepton dalam buffer sitrat pH 4 ............................... 38

10. Mekanisme reaksi ninhidrin-glukosamin membentuk kompleks ungu .............. 39

11. Hasil uji sampel dengan ninhidrin ...................................................................... 40

12. Hasil scanning panjang gelombang maksimum larutan glukosamin standar


dan sampel ......................................................................................................... 41

13. Kurva standar glukosamin .................................................................................. 41

14. Struktur pepton ................................................................................................... 42

15. Grafik kadar glukosamin berbanding waktu inkubasi ........................................ 43


1

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Udang adalah salah satu komoditas ekspor hasil perikanan terbesar di Indonesia.

Udang biasanya diekspor dalam bentuk beku tanpa kulit dan kepala. Kulit dan

kepala udang yang dibuang ini akan menumpuk dan menjadi sampah yang dapat

merugikan lingkungan dan kesehatan. Padahal di dalam kulit dan kepala terdapat

banyak kandungan-kandungan kimia yang dapat dimanfaatkan, seperti pembuatan

glukosamin. Glukosamin dapat dibuat dari pemprosesan awal limbah kulit udang

menjadi kitin.

Kitin adalah homopolimer dari β-1,4 N-asetil-D-glukosamin (GlcNAc) dan

merupakan polimer yang terbanyak kedua di alam setelah selulosa. Senyawa ini

ditemukan pada cangkang udang, kepiting, molusca, serangga, annelida, dan

dinding sel alga dan jamur (Yurnaliza, 2002).

Monomer dari kitin adalah N-asetilglukosamin yang dihubungkan dengan ikatan

glikosida pada posisi β-(1,4). Kitin mempunyai stuktur molekul berupa rantai

lurus panjang (Yanming et al., 2001). Senyawa ini adalah zat padat yang tidak
2

larut dalam air, pelarut organik, alkali pekat, asam lemah dan larut dalam asam-

asam mineral pekat dan flouroalkohol.

Kitin dapat dihasilkan dari kulit udang melalui proses enzimatik, kimiawi, dan

gabungan dari keduanya. Proses kimiawi dilakukan dengan menghilangkan

mineralnya menggunakan asam dan penghilangkan protein menggunakan alkali

yang dipanaskan. Proses enzimatik dapat dilakukan dengan reaksi enzimatik yang

ramah lingkungan (Wibowo, 2006). Polisakarida ini dapat didegradasi secara

enzimatik menjadi glukosamin dengan menggunakan enzim kitinase.

Kitinase disebut sebagai poli (1,4-β[2-asetamido-2-deoksi-glukosaminide] glikano

hidrolase, adalah enzim yang mendegradasi kitin menjadi monomernya N-

asetilglukosamin. Terdapat dua jalur degradasi kitin di alam oleh enzim kitinase.

Jalur degradasi kitin yang pertama dimulai dengan hidrolisis ikatan β-(1,4)

glikosida oleh enzim endokitinase sehingga terbentuk oligomer kitin. Oligomer

kitin lalu dipecah menjadi dimer N-asetilglukosamin oleh enzim kitobiosidase dan

menghasilkan monomer N-asetilglukosamin oleh enzim N-asetilglukosaminidase

(kitobiase). Monomen N-asetilglukosamin mengalami deasetilasi menjadi

glukosamin oleh enzim N-asetil-glukosamin-deasetilase. Jalur degradasi yang

kedua adalah deasetilasi kitin menjadi kitosan oleh enzim kitin-deasetilase.

Kitosan terdegradasi menjadi oligomer kitosan oleh enzim kitosanase. Setelah itu

oligomer kitosan akan terdegrasi oleh enzim glukosaminidase menghasilkan

glukosamin (Dinter et al., 2000).


3

Enzim kitinase dihasilkan oleh mikroorganisme kitinolitik. Menurut Schomburg

dkk (1991), mikroorganisme yang dapat menghasilkan enzim kitinolitik adalah

Mucor dan Actinomycetes. Mucor merupakan fungsi tipikal saprotrop pada tanah

dan serasah tumbuhan yang mampu menghasilkan enzim kitindeasetilase pada

substrat kitin atau kulit crustacea dan media cair yang mengandung nutrient yang

diperlukan (Ratledge, 1993). Sedangkan pada Actinomycetes, enzim kitinolitik

yang dikeluarkan berupa kitinase untuk mensintesis metabolit senyawa yang

memiliki aktivitas biologis dan spora dari Actinomycetes sangan esensial untuk

biokonversi (Xu et al., 1996).

Menurut penelitian tentang uji efektivitas fermentasi kitin menggunakan Mucor

miehei yang dilakukan oleh Siti Oktavia R (2012), menjelaskan bahwa untuk

pembuatan glukosamin dilakukan fermentasi selama 5 hari menghasilkan

glukosamin sebesar 55 %. Penelitian yang dilakukan oleh Yahya Arianta (2014)

tentang pengaruh penambahan konsentrasi inokulum dan media terhadap

efektivitas fermentasi kitin dengan Mucor miehei untuk pembuatan glukosamin,

menghasilkan glukosamin dengan kadar 92 % dalam waktu fermentasi 5 hari.

Sedangkan berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Chintia Yolanda (2014),

yaitu penetapan waktu inkubasi optimum degradasi kitin dengan Mucor miehei

untuk pembuatan glukosamin yang dilakukan selama 24 jam menghasilkan

rendemen maksimum sebesar 90 %. Hal ini menunjukkan bahwa untuk membuat

glukosamin, substrat kulit udang harus diproses menjadi polimer kitin terlebih

dahulu sebelum didegradasi menjadi glukosamin.


4

Berdasarkan hal tersebut maka pada penelitian ini akan dilakukan isolasi

glukosamin dari kulit udang tanpa proses pengubahan menjadi kitin dengan cara

fermentasi oleh Mucor miehei dengan waktu inkubasi 24 jam. Glukosamin

mempunyai gugus amina bebas sehingga akan bereaksi positif dengan reagen

ninhidrin. Filtrat yang dihasilkan tersebut kemudian diuji dengan reagen ninhidrin

dan dianalisis menggunakan spektrofotometer UV-Vis.

B. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari dilakukannya penelitian ini adalah:

1. Menguji glukosamin dari fermentasi serbuk kulit udang oleh Mucor miehei

dengan reagen ninhidrin.

2. Menentukan kadar glukosamin yang terbentuk setiap selang waktu 1 hari

fermentasi.

C. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi tentang kadar glukosamin

yang terkandung dalam larutan hasil fermentasi kulit udang yang dibantu oleh

Mucor miehei.
1

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Udang

Udang termasuk hewan kelas Crustacea yang terdiri atas tiga bagian tubuh, yaitu

kepala, dada, dan perut. Sebagian besar udang yang dihasilkan, diekspor ke luar

negeri dalam bentuk udang beku yang telah dihilangkan kulitnya. Selama ini kulit

udang tersebut hanya dimanfaatkan sebagai pakan ternak mengingat kandungan

proteinnya masih cukup tinggi (Elsawati, 1994).

Kulit udang mengandung protein (25% - 40%), kalsium karbonat (45% - 50%),

dan kitin (15% - 20%), tetapi besarnya kandungan komponen tersebut tergantung

pada jenis udangnya (Foucher et al., 2009). Hal ini menyebabkan limbah kulit

udang berpotensi sebagai bahan baku dalam memproduksi kitin. Selain itu,

besarnya kandungan protein dan mineral ini dapat menurunkan kualitas dari kitin,

sehingga dalam pemurnian kitin komponen tersebut perlu dihilangkan.

Komponen-komponen tersebut perlu dihilangkan untuk menghasilkan produk

kitin yang bermutu tinggi sehingga molekul-molekulnya menjadi lebih halus

(Rohani, 2000).
6

B. Enzim

Enzim adalah protein yang mengkatalisa reaksi kimiawi spesifik. Enzim

merupakan unit fungsional dari metabolisme sel. Enzim mengikat molekul

substrat membentuk kompleks enzim-substrat yang bersifat sementara, yang

terurai membentuk enzim bebas dan produknya. Bekerja dengan urut-urutan yang

teratur, enzim mengkatalisis ratusan reaksi bertahap yang menguraikan molekul

nutrien, reaksi yang menyimpan dan mengubah energi kimiawi, dan yang

membuat makromolekul sel dari prekursor sederhana. Diantara sejumlah enzim

yang berpartisipasi didalam metabolisme, terdapat sekelompok khusus yang

dikenal sebagai enzim pengatur, yang dapat mengenali berbagai isyarat metabolik

dan mengubah kecepatan katalitiknya sesuai dengan isyarat yang diterima.

Melalui aktivitasnya, sistem enzim terkoordinasi dengan baik, menghasilkan suatu

hubungan yang harmonis di antara sejumlah aktivitas metabolik yang berbeda,

yang diperlukan untuk menunjang kehidupan (Lehninger, 1982). Enzim akan

terdenaturasi pada suhu tinggi dan kondisi ekstrim lainnya seperti tinggi

rendahnya pH atau tekanan, (Suhartono, 1989).

Enzim berperan sebagai biokatalisator dalam proses biokimia, baik yang terjadi di

dalam sel maupun di luar sel (Poedjiadi, 1994). Lehninger (1982) menambahkan

bahwa enzim adalah katalisator sejati. Molekul ini meningkatkan dengan nyata

kecepatan reaksi kimia spesifik yang tanpa enzim akan berlangsung amat lambat.

Enzim tak dapat mengubah kesetimbangan reaksi yang dikatalisisnya; enzim juga

tak akan habis dipakai atau diubah secara permanen oleh reaksi-reaksi ini.
7

Menurut Manitto (1981), bahwa tiga sifat utama dari biokatalisator yaitu : dapat

menaikkan kecepatan reaksi, memiliki kekhususan dalam reagen dan produk,

dapat mengontrol kinetika reaksi.

Enzim yang diperoleh dari mikroorganisme lebih menguntungkan karena

mikroorganisme dapat berkembang biak dengan cepat, tidak memerlukan lahan

yang luas, biaya produksi relatif murah dan mudah dikontrol (Maggy, 1990).

Fungsi terpenting dari enzim adalah kemampuannya menurunkan energi aktivasi

suatu reaksi kimia. Kemampuan enzim mendegradasi substrat dipengaruhi oleh

beberapa faktor, antara lain konsentrasi enzim, konsentrasi substrat, pH, serta

suhu (Lehninger, 1982).

Protein adalah bagian utama enzim yang dihasilkan sel, maka semua yang dapat

mempengaruhi protein dan sel akan berpengaruh terhadap reaksi enzimatik.

Beberapa faktor penting yang mempengaruhi aktivitas enzim antara lain :

1. Substrat (reaktan)

Pada konsentrasi substrat rendah, kecepatan reaksi yang terjadi rendah.

Kecepatan reaksi akan meningkat dengan meningkatnya konsentrasi substrat.

Akan tetapi setelah peningkatan substrat lebih lanjut akan tercapai suatu laju

maksimum. Pada keadaan substrat yang berlebih akan terjadi kejenuhan

pembentukan kompleks enzim substrat sehingga sebagian besar substrat tidak

diubah menjadi produk. Penambahan substrat lebih lanjut tidak berakibat

terhadap laju reaksi.


8

2. Suhu

Seperti reaksi kimia pada umumnya, maka reaksi enzimatik dipengaruhi oleh

suhu. Jika suhu meningkat, maka laju reaksi juga akan meningkat. Karena

enzim adalah protein, maka semakin tinggi suhu mengakibatkan proses enzim

tidak aktif meningkat. Umumnya enzim mengalami kerusakan (denaturasi)

pada suhu di atas 50o C.

3. Derajat keasaman ( pH )

Reaksi suatu enzim dipengaruhi oleh perubahan pH karena akan berakibat

langsung terhadap sifat ion dari gugus–gugus amino dan karboksilat, sehingga

akan mempengaruhi bagian aktif enzim dan konformasi dari enzim. pH yang

terlalu rendah atau terlalu tinggi akan mengakibatkan denaturasi dari protein

enzim.

4. Penghambat enzim (inhibitor)

Inhibitor dapat meminimalkan kerja enzim karena akan membentuk ikatan

dengan sisi aktif enzim sehingga mengganggu proses pembentukan dan

kestabilan ikatan kompleks enzim substrat. Ada beberapa cara penghambatan

enzim, seperti penghambat secara bersaing (kompetitif), penghambat tidak

bersaing (non–kompetitif ), penghambat umpan balik (feed back inhibitor), dan

penghambat alosterik (Lehninger, 1982).


9

C. Kitin

Kitin merupakan suatu polimer linier yang sebagian besar tersusun dari unit-unit

β-(1→4)-2-asetamida-2-deoksi-β-D-glukopiranosa dan sebagian dari β-(1→4)-2-

amino-2-deoksi-β-D-glukopiranosa (Kumirska et al., 2010). Kitin terdistribusi

luas di lingkungan biosfer seperti pada kulit crustacea (kepiting, udang, dan

lobster), ubur-ubur, komponen struktur eksternal insekta, dinding sel fungi (22-

40%), alga, nematoda ataupun tumbuhan (Gohel et al., 2004). Rantai kitin antara

satu dengan yang lainnya berasosiasi melalui ikatan hidrogen yang sangat kuat

antara gugus N-H dari satu rantai dengan gugus C=O dari rantai lain yang

berdekatan. Ikatan hidrogen ini menyebabkan kitin tidak larut dalam air dan

membentuk serabut (fibril) (Suryanto dan Yurnaliza, 2005).

Gambar 1. Struktur kitin (Murray et al., 2003)

Kitin berbentuk padatan amorf atau kristal, berwarna putih, dan dapat terurai

secara hayati (biodegradable). Kitin bersifat tidak larut dalam air, asam anorganik

encer, asam organik, alkali pekat dan pelarut organik tetapi larut dalam asam

pekat seperti asam sulfat, asam nitrit, asam fosfat, dan asam format anhidrat. Kitin

dalam asam pekat dapat terdegradasi menjadi monomernya dan memutuskan


10

gugus asetil (Einbu, 2007). Ketika derajat N-asetilasi (didefinisikan sebagai rata-

rata jumlah unit N-asetil-D-glukosamin per 100 monomer yang dituliskan sebagai

persentase) kurang dari 50%, maka kitin dapat larut dalam larutan asam dan

kemudian disebut kitosan (Pillai et al., 2009).

Kitin dapat diproduksi secara komersial dari limbah kulit udang dan cangkang

kepiting (No et all., 2000). Kulit udang mengandung protein 25- 40 %, kalsium

karbonat 45-50 %, dan kitin 15-20 %, tetapi besarnya kandungan komponen

tersebut tergantung pada jenis udang dan tempat hidupnya. Cangkang kepiting

mengandung protein 15,60-23,90 %, kalsium karbonat 53,70- 78,40 %, dan kitin

18,70-32,20 % yang juga tergantung pada jenis kepiting dan tempat hidupnya

(Marganof, 2003).

D. Enzim Kitinase

Kitinase adalah enzim yang dapat mendegradasi kitin dengan memotong ikatan

glikosidik dari polimer β-1,4 N-asetil-D-glukosamin. Proses degradasi ini

menghasilkan monomer-monomer N-asetilglukosamin. Di alam, proses degradasi

kitin dilakukan oleh mahluk hidup penghasil kitinase seperti jamur, bakteri,

Actinomycetes, tumbuhan (Matsumoto, 2006), vertebrata, moluska, arthropoda,

alga dan beberapa jenis cendawan (Funkhouser and Aronson 2007). Pada jamur,

kitinase berperan dalam pengaturan fisiologis saat pembelahan sel, diferensiasi,

dan aktivitas mikoparasit (Gohel et al., 2006). Bakteri memanfaatkan kitinase

untuk asimilasi kitin sebagai sumber karbon dan nitrogen (Wu et al., 2001). Selain
11

itu, kitinase juga digunakan hewan untuk mengkonversi kitin menjadi monomer

dan oligomernya, dan tumbuhan untuk mendegradasi dinding sel fungi patogen

(Gohel et al., 2006).

Harman et al., (1993) dan Sahai et al., (1993) membagi kitinase dalam tiga tipe

yaitu :

1. Endokitinase (EC 3.2.1.14) yaitu kitinase yang memotong secara acak ikatan β-

1,4 bagian internal mikrofibril kitin. Produk akhir yang terbentuk bersifat

mudah larut berupa oligomer pendek N-asetilglukosamin (GIcNAc) yang

mempunyai berat molekul rendah seperti kitotetraose.

Gambar 2. Reaksi pemutusan ikatan β-1,4 pada bagian internal


mikrofibril kitin

2. Eksokitinase (EC 3.2.1.14) dinamakan juga kitobiodase atau kitin 1,4-β-

kitobiodase, yaitu enzim yang mengatalisis secara aktif pembebasan unit-unit

diasetilkitobiose tanpa ada unit-unit monosakarida atau polisakarida yang

dibentuk. Pemotongan hanya terjadi pada ujung non reduksi mikrofibril kitin

dan tidak secara acak.


12

Gambar 3. Reaksi pembebasan unit-unit diasetilkitobiose oleh enzim


eksokitinase

3. β-1,4-N-asetilglukosaminidase (EC 3.2.1.30) merupakan suatu kitinase yang

bekerja pada pemutusan diasetilkitobiose, kitotriose dan kitotetraose dengan

menghasilkan monomer-monomer GIcNAc.

Gambar 4. Reaksi pemutusan diasetilkitobiose, kitotriose dan


kitotetraose dan menghasilkan monomer-monomer N-asetilglukosamin.

Kitinase berguna dalam produksi kitooligosakarida. Kitooligosakarida berperan

sebagai pertahanan tanaman, juga digunakan dalam kesehatan manusia. Sebagai


13

contoh, kitoheksosa dan kitoheptosa memperlihatkan aktivitas anti tumor. N-

asetilglukosamin berguna sebagai obat anti inflamasi. Senyawa ini dalam tubuh

manusia disintesis dari glukosa dan digabungkan dengan glikoprotein dan

glikosaminoglikan (Patil et al., (2000). Kitinase juga berperan dalam produksi

protein sel tunggal dari limbah kitin untuk makanan hewan. Kitinase juga dapat

digunakan dalam pertanian sebagai pengendalian jamur patogen tanaman dan

hama serangga. Kombinasi σ-toksin dan kitinase dilaporkan lebih efektif dalam

membunuh hama serangga (Patil et al., (2000).

E. Enzim Kitin Deasetilase (CDA)

Kitin deasetilase (CDA) merupakan salah satu enzim pendegradasi kitin selain

kitinase. Perbedaanya yaitu, kitinase adalah enzim yang dapat menghidrolisis kitin

secara acak pada ikatan glikosidiknya, sedangkan kitin deasetilase adalah enzim

yang dapat mengkonversi kitin menjadi kitosan. Degradasi kitin untuk

menghasilkan kitosan dapat dilakukan secara termokimia dengan menggunakan

alkali kuat pada suhu tinggi. Dengan menggunakan proses ini, hasil yang

diperoleh belum memuaskan karena mutu kitosan yang dihasilkan masih beragam.

Selain itu, proses termokimia juga menghasilkan limbah dan produk samping

yang berpotensi menjadi toksikan bagi lingkungan.

Degradasi kitin untuk menghasilkan kitosan juga dapat dilakukan secara enzimatis

yaitu menggunakan enzim kitin deasetilase (CDA). Keunggulan dari teknik ini

yaitu lebih mudah dikendalikan, terurai secara biologis (biodegradable), sesuai


14

lingkungan (biocompatible) dan dapat membentuk oligomer atau polimer (Tsigos

et al., 2000).

Enzim kitin deasetilase (CDA) dapat ditemukan pada bakteri, kapang, kamir,

cacing dan serangga yang mempunyai kandungan kitosan pada dinding sel atau

eksoskeletonnya. Proses enzimatis diharapkan akan lebih mudah dikendalikan,

lebih efisien, spesifik dan meminimalkan produk samping. Sejumlah penelitian

telah dilakukan untuk mengisolasi, mempurifikasi dan mengkarakterisasi kitin

deasetilase dari sejumlah mikroba. Aplikasi enzim ini pada berbagai jenis dan

kondisi substrat masih memberikan hasil yang beragam dengan parameter hasil

yang belum memuaskan (Tsigos et al., 2000).

Menurut Copeland ( 2000), kultur bakteri difermentasi dalam media produksi

enzim selama 2 hari pada 55oC. Enzim dipanen dengan cara sentrifugasi pada

8000 rpm selama 15 menit pada suhu 4 oC untuk memisahkan dari sel bakteri dan

sisa media. Supernatan ditambahkan amonium sulfat sampai kejenuhan 80 %

sambil distirrer. Selanjutnya campuran diendapkan selama semalam pada suhu 4


o
C, lalu disentrifugasi pada 8000 rpm selama 15 menit. Filtrat dilarutkan dalam

0,02 M buffer borat pH 8 dan disimpan pada suhu 4 oC. Kadar protein enzim diuji

dengan metode Lowry (Copeland, 2000), menggunakan standar BSA dan

ditentukan aktivitas enzim.


15

F. Glukosamin

Glukosamin (C6H13NO5) adalah gula mengandung amina yang diperoleh dari

hasil hidrolisis kitin. Di alam, glukosamin tersebar luas sebagai komponen utama

dari rangka luar Crustacea, Antropoda, dan cendawan. Glukosamin juga

ditemukan di matriks tulang rawan sendi dan cairan sendi manusia, bahkan di

hampir semua jaringan lunak dalam tubuh manusia, konsentrasi tertinggi di tulang

rawan ( Miller, 2011). Pada manusia, glukosamin sebagai salah satu komponen

biosintesis glikosaminoglikan (GAG). GAG ini akan berikatan secara kovalen

pada inti protein proteoglikan, salah satu komponen matriks jaringan kartilago

yang akan menjaga integritas struktur dan fungsi jaringan kartilago. Glukosamin

yang diproduksi oleh tubuh berada dalam bentuk glukosamin-6-fosfat dan

dihasilkan dari glukosa yang mengikuti jalur biosintesis heksosamin (Oegema et

al., 2002). Keberadaan glukosamin di dalam tubuh memiliki peranan penting

untuk kesehatan dan kelenturan sendi (EFSA, 2009).

Gambar 5. Struktur glukosamin

Glukosamin merupakan prekusor utama untuk biosintesis berbagai makromolekul

seperti asam hialuronat, proteoglikan, glikosaminoglikan (GAGs), glikolipid, dan


16

glikoprotein. Secara struktural glukosamin adalah basa lemah sehingga sediaan

glukosamin yang beredar harus distabilkan dalam bentuk garam. Glukosamin

ditemukan dalam berbagai bentuk seperti glukosamin sulfat, hidroklorida, N-

asetilglukosamin atau garam klorohidrat, dan isomer dekstraoratorik ( Persiani et

al., 2005). Glukosamin juga ditemukan dipasaran dalam bentuk glukosamin

hidroklorida (HCl), cocrystals atau coprecipitates glukosamin sulfat dan kalium

atau natrium klorida ( Dahmer, 2008).

G. Jamur Mucor miehei

Jamur adalah sekelompok organisme yang digabungkan dalam takson Kingdom

Fungi berdasarkan sistem Whitaker. Kingdom fungi mempunyai ciri khas yaitu

bersifat heterotrof yang mengabsorbsi nutrien dan memiliki kitin pada dinding

selnya. Jamur benang atau kapang adalah golongan fungi yang membentuk

lapisan jaringan miselium dan spora yang tampak. Miseliumnya terdiri dari

filamen tubular yang tumbuh yaitu hifa (Singleton dan Sainsbury, 2006).

Jamur dapat bersifat sapotrof yaitu dengan mendapatkan nutrisi dari organisme

lain yang telah mati, ada juga yang bersifat parasit dengan mengisap nutrisi dari

organisme lain yang hidup, atau dengan bersimbiosis mutualisme dengan satu

organisme (Sadava, 2003).

Fungi mempunyai penggunaan kitin yang berbeda dengan hewan. Hewan hanya

memproduksi kitin pada bagian tertentu, misalnya sebagai rangka luar, rambut,

atau kuku, sementara fungi memiliki kitin sebagai pembentuk dinding pada
17

seluruh selnya. Adanya kitin juga membantu membedakan antara fungi dan

eukariota lainnya, seperti protista (Sadava, 2003).

Mucor adalah genus fungi yang berasal dari ordo Mucorales yang merupakan

fungi tipikal saprotrop pada tanah dan serasah tumbuhan yang mampu

menghasilkan enzim kitindeasetilase pada substrat kitin atau kulit Crustaceae dan

media cair yang mengandung nutrien yang diperlukan. Mucor berkembang biak

secara aseksual dengan membentuk sporangium yang ditunjang oleh batang yang

disebut sporangiofor. Hifa vegetatifnya bercabang-cabang, bersifat senositik dan

tidak bersepta. Ciri khas pada Mucor adalah memiliki sporangium yang

berkolom-kolom atau kolumela (Singleton dan Sainsbury, 2006).

Mucor miehei sebagai salah satu anggota ordo Mucorales mempunyai talus yang

berupa miselium yang lebat. Pembiakkan aseksual dilakukan dengan spora tak

berflagel (Aplanospora). Aplanospora terbentuk dalam sporangium dan

sporangium terletak pada ujung sporangiofor atau pada ujung cabang-cabangnya.

Pembiakkan seksual pada Mucorales berlangsung dengan bersatunya dua

gametangium yang berinti banyak. Gametangium terbentuk pada ujung hifa atau

ujung cabang hifa (Dwidjoseputro, 1976).

H. Fermentasi

Fermentasi merupakan suatu proses yang melibatkan mikroorganisme untuk

menghasilkan suatu produk. Mikroorganisme yang biasa digunakan dalam proses


18

fermentasi yaitu bakteri, khamir dan kapang. Fermentasi pada bahan makanan,

dapat meningkatkan nilai gizi bahan yang berkualitas rendah dan berfungsi dalam

antinutrisi atau racun yang terkandung dalam suatu bahan makanan.

Fermentasi merupakan reaksi oksidasi reduksi yang menggunakan sumber energi

dan sumber karbon, nitrogen dan pospor untuk membentuk senyawa yang

mempunyai nilai ekonomi lebih tinggi serta terakumulasi dalam medium. Proses

fermentasi disebabkan oleh organisme atau hasil metabolisme (Rao, 2009).

Menurut Pujaningsih (2005) faktor-faktor yang mempengaruhi pemilihan substrat

fermentasi, adalah :

a. Kontinyuitas ketersediaan, yaitu tersedia substrat sepanjang tahun sehingga

dapat disimpan dalam beberapa bulan, mutu dan komposisi relatif tetap.

b. Sifat fermentasi substrat harus dapat difermentasikan, contoh pada Tichoderma

viridae yang hanya tumbuh baik pada substrat selulosa (jerami padi), tetapi tidak

dapat tumbuh pada bungkil kelapa.

c. Harga substrat ekonomis dan dapat digunakan sesuai kebutuhan.

Menurut Rusmana (2008), fermentasi dibedakan menjadi dua berdasarkan cara

operasinya, yaitu :
19

1. Fermentasi media cair

Fermentasi media cair merupakan fermentasi yang melibatkan air sebagai fase

kontinyu dari sistem pertumbuhan sel yang bersangkutan atau substrat baik

sumber karbon maupun mineral terlarut atau tersuspensi sebagai partikel-

partikel dalam fase cair. Contoh produk dari fermentasi media cair, seperti

etanol, sel tunggal, antibiotik, pelarut organik, kultur starter, dekomposisi

selulosa, beer, glukosa isomerase, pengolahan limbah cair dan sebagainya.

2. Fermentasi media padat

Fermentasi media padat merupakan proses fermentasi yang berlangsung dalam

substrat yang tidak terlarut dan tidak mengandung air. Contoh produk

fermentasi media padat yaitu tape, tempe, oncom, koji, berbagai olahan ikan

fermentasi dan sebagainya.

I. Fermentasi Fase cair Sistem Tertutup (Batch)

Fermentasi merupakan proses dimana komponen-komponen kimiawi dihasilkan

sebagai akibat adanya pertumbuhan maupun metabolisme mikroba yang

mencakup proses aerob dan anaerob. Fermentasi dapat meningkatkan nilai gizi

bahan yang berkualitas rendah sehingga berfungsi dalam pengawetan bahan dan

merupakan suatu cara untuk menghilangkan zat antinutrisi atau racun yang

terkandung dalam suatu bahan makanan. Fermentasi dapat dilakukan dengan

metode kultur permukaan dan kultur terendam (submerged). Medium kultur

permukaan dapat berupa medium padat maupun medium cair. Sedangkan kultur
20

terendam dilakukan dalam media cair menggunakan bioreaktor yang dapat berupa

labu yang diberi aerasi, labu yang digoyang dengan shaker atau fermentor.

Kondisi yang optimum untuk fermentasi tergantung pada jenis mikroorganisme

yang digunakan. Pengendalian faktor-faktor fermentasi bertujuan untuk

menciptakan kondisi yang optimum bagi pertumbuhan dan produksi metabolit

yang diinginkan dari suatu mikroorganisme tertentu. Fermentasi medium cair

lebih memungkinkan adanya pengendalian faktor-faktor fisik dan kimia yang

mempengaruhi proses fermentasi seperti suhu, pH, dan kebutuhan oksigen (Ton et

al.,2010).

Fermentasi medium cair dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu fermentasi

tertutup (batch culture) dan fermentasi kontinyu (fed batch). Pada fermentasi

tertutup, setelah inokulasi tidak dilakukan lagi penambahan medium kedalam

fermentor, kecuali pemberian oksigen (udara steril), antibuih dan asam atau basa

yang mengatur pH. Karena itu pada sistem tertutup ini, dengan sekian lamanya

waktu fermentasi, laju pertumbuhan spesifik mikroorganisme semakin menurun

sampai akhirnya pertumbuhan terhenti. Penurunan dan berhentinya pertumbuhan

disebabkan karena dengan semakin bertambahnya waktu fermentasi nutrien-

nutrien esensial dalam medium semakin berkurang atau terjadi akumulasi

autotoksin yang mempengaruhi laju pertumbuhan atau kombinasi dari keduanya.

Dengan demikian pada fermentasi tertutup jumlah sel pada fase stationer

merupakan jumlah sel maksimum.


21

1. Proses Fermentasi Fase Cair Sistem Tertutup (Batch)

Menurut Mitchel et al., (2006) tahapan–tahapan proses secara umum, antara

lain :

a. Persiapan substrat, dimana substrat harus dipotong, digiling, dipecahkan,

atau dibuat menjadi butiran kecil. Dengan penambahan air dan nutrisi

disebut dengan pra-perawatan substrat untuk menambah ketersediaan gizi.

b. Persiapan inokulum, tipe dan persiapan inokulum tergantung pada

mikroorganisme yang digunakan. Banyak proses fermentasi batch

melibatkan bakteri, jamur dan salah satunya Actinomycetes maka

digunakan spora hasil inokulasi. Tujuan dari langkah ini untuk

mengembangkan sebuah inokulum dengan tingkat kelangsungan hidup

mikoorganisme yang tinggi.

c. Persiapan wadah, dimana wadah harus dibersihkan setelah fermentasi

sebelumnya dan perlu disterilkan sebelum penambahan substrat.

d. Inokulasi dan pengerjaan, pengerjaan tahapan ini dengan menyebarkan

substrat pada media yang telah disterilkan secara hati–hati untuk

menghindari kontaminasi dari mikroorganisme yang tidak diinginkan.

e. Proses fermentasi batch, pada proses ini banyak hal yang harus

diperhatikan antara lain pH medium, suhu, dan waktu inkubasi.

f. Kultivasi, pada tahapan ini memerlukan bantuan mekanis untuk

memisahkan substrat padat dari medium. Penggunaan kertas saring dan

sentrifugasi dapat dipakai untuk memisahkan substrat.


22

2. Keuntungan Fermentasi Fase Cair Sistem Tertutup (Batch)

Dibandingkan dengan medium padat, medium cair memiliki beberapa

kelebihan, yaitu (Weites et al.,2001):

a. Jenis dan konsentrasi komponen-komponen dapat diatur sesuai dengan

yang diinginkan.

b. Dapat memberikan kondisi yang optimum untuk pertumbuhan.

c. Pemakaian medium lebih efisien.

3. Aplikasi Fermentasi Fase Cair Sistem Tertutup (Batch)

Menurut Holker et al. (2004) dan Pandey (2000) dapat menguraikan aplikasi

dari fermentasi batch secara tradisional, antara lain :

a. Bir, minuman beralkohol. Sari buah yang diberi Saccaromyces cereviciae

kemudian diinkubasikan didapatkan minuman beralkohol.

b. Yoghurt,diproduksi dengan cara memfermentasikan air susu dengan

bakteri bukan khamir. Biasanya menggunakan campuran Lactobacillus

bulgaricus dan Streptococcus thermophillus. Bakteri mengubah laktosa

(gula susu) pada kondisi anaerobik. Laktosa diubah menjadi asam laktat

yang bersifat menggumpalkan kasein (protein susu).

c. Keju, berbagai jenis bakteri dapat digunakan untuk fermentasi susu

menjadi keju, tergantung dari jenis keju yang dihasilkan. Biasanya

digunakan spesies Streptococcus thermophillus dan Lactobacillus

bulgaricus. Enzim yang diperlukan untuk menghasilkan keju adalah

rennet yang mengandung cymosin yang bersifat menggumpalkan casein.


23

J. Ninhidrin

Uji Ninhidrin digunakan untuk identifikasi asam amino bebas yang terdapat dalam

sampel. Asam amino bebas adalah asam amino yang gugus aminonya tidak

terikat. Ninhidrin adalah reagen yang berguna untuk mendeteksi asam amino dan

menetapkan konsentrasinya dalam larutan. Senyawa ini merupakan hidrat dari

triketon siklik dan bila bereaksi dengan asam amino akan menghasilkan zat warna

ungu. Hanya atom nitrogen dari zat warna ungu yang berasal dari asam amino,

selebihnya terkonversi menjadi aldehid dan karbondioksida. Jadi, zat warna ungu

yang sama dihasilkan dari semua asam amino α dengan gugus amino primer dan

intensitas warnanya berbanding lurus dengan konsentrasi asam amino yang ada

(Hart 2003).

Gambar 6. Reaksi antara ninhidrin dan asam amino (Wu et al, 2005).
24

K. Spektrofotometri UV-Vis

Spektrofotometer terdiri atas spektrometer dan fotometer. Spektrofotometer

menghasilkan sinar dari spektrum dengan panjang gelombang tertentu dan

fotometer adalah alat pengukur intensitas cahaya yang ditranmisikan atau yang

diabsorpsi. Spektrofotometer tersusun atas sumber spektrum yang kontinyu,

monokromator, sel pengabsorpsi untuk larutan sampel atau blangko dan suatu alat

untuk mengukur pebedaan absorpsi antara sampel dan blangko ataupun

pembanding (Khopkar, 2002).

Spektroskopi UV-Vis melibatkan absorpsi radiasi elektromagnetik dari kisaran

200-800 nm dan kemudian eksitasi elektron ke tingkat energi lebih tinggi.

Absorpsi cahaya ultraviolet/tampak oleh molekul organik terbatas hanya untuk

beberapa gugus fungsi (kromofor) yang mengandung elektron valensi dari energi

eksitasi yang rendah. Spektrum UV-Vis merupakan spektrum yang kompleks dan

nampak seperti pita absorpsi berlanjut, hal ini dikarenakan gangguan yang besar

dari transisi rotasi dan vibrasi pada transisi elektronik memberikan kombinasi

garis yang tumpang tindih (overlapping) (Hunger and Weitkamp, 2001).

Gambar 7. Skema kerja spektrofotometri UV-Vis (Anonim, 2015)


25

Ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam analisis dengan spektrofotometri

ultraviolet (Rohman, 2007), yaitu:

1. Penentuan panjang gelombang serapan maksimum

Panjang gelombang yang digunakn untuk analisis kuantitatif adalah panjang

gelombang dimana terjadi absorbansi maksimum. Untuk memperoleh panjang

gelombang serapan maksimum dapat diperoleh dengan membuat kurva

hubungan antara absorbansi dengan panjang gelombang dari suatu larutan baku

dengan konsentrasi tertentu.

2. Pembuatan kurva kalibrasi

Dilakukan dengan membuat seri larutan baku dalam berbagai konsentrasi

kemudian asorbansi tiap konsentrasi di ukur lalu dibuat kurva yang merupakan

hubungan antara absorbansi dengan konsentrasi. Kurva kalibrasi yang lurus

menandakan bahwa hukum Lambert-Beer terpenuhi.

3. Pembacaan absorbansi sampel

Absorbansi yang terbaca pada spektrofotometer hendaknya antara 0,2 sampai

0,8 atau 15% sampai 70% jika dibaca sebagai transmitan. Hal ini disebabkan

karena pada kisaran nilai absorbansi tersebut kesalahan fotometrik yang terjadi

adalah paling minimal.

Spektrofotometer UV-Vis dapat melakukan penentuan terhadap sampel yang

berupa larutan, gas, atau uap. Untuk sampel yang berupa larutan perlu

diperhatikan pelarut yang dipakai (Mulja dan Suharman, 1995), antara lain:
26

1. Pelarut yang dipakai tidak mengandung sistem ikatan rangkap terkonjugasi

pada struktur molekulnya dan tidak berwarna.

2. Tidak berinteraksi dengan molekul senyawa yang dianalisis.

3. Kemurniannya harus tinggi untuk analisis.


27

III. METODOLOGI PENELITIAN

A. Waktu dan Tempat

Penelitian ini telah dilaksanakan pada Februari sampai dengan Juni 2016, dengan

tahapan kegiatan, yaitu: pengambilan sampel limbah kulit udang dari pengumpul

udang di kecamatan Teluk Betung, Bandar Lampung, analisis glukosamin

dilakukan di Laboratorium Biokimia, Universitas Lampung.

B. Alat dan Bahan

Dalam penelitian ini alat-alat yang akan digunakan adalah peralatan gelas Pyrex,

termometer, neraca digital Wiggen Houser, Laminar Air Flow, autoclave,

IncubatorMemmer-Germany/INCO2, Shaker Incubator Biosan/ES-20/60,

Centrifuge Hitachi/CF 16 RX II, dan spektrofotometer UV-Vis.

Adapun bahan-bahan yang akan digunakan adalah serbuk kulit udang, glukosamin

standar produk WAKO Jepang, kentang, agar for microbiology, dekstrosa,

laktosa, bakto pepton, amonium sulfat ((NH4)2SO4), urea, kalium hidrogen sulfat

(KHSO4), besi (II) sulfat heptahidrat (FeSO4.7H2O), kalsium klorida

(CaCl2.2H2O), seng (II) sulfat heptahidrat (ZnSO4.7H2O), asam sitrat, natrium


28

sitrat, isolat Mucor miehei, kertas saring, aquades, ninhidrin, NaH2PO4.7H2O dan

Na2HPO4.

C. Prosedur Penelitian

1. Persiapan Sampel

Limbah kulit dan kepala udang dipisahkan dari badannya, dibersihkan dan dicuci

dengan menggunakan air. Kulit dan kepala udang direbus selama ± 15 menit, lalu

ditiriskan. Selanjutnya kulit dan kepala udang dijemur dibawah sinar matahari

hingga kering, lalu dihancurkan hingga menjadi bubuk halus dan siap digunakan.

2. Pembuatan Media

2.1 Pembuatan Potato Extract

Sebanyak 200 gram kentang dikupas kulitnya lalu dipotong seperti dadu dan

direbus dalam 1000 mL akuades selama 1 jam setelah mendidih. Setelah kondisi

tercapai, disaring dengan kertas saring sehingga diperoleh ekstrak kentang yang

bening. Ekstrak kentang disimpan dalam botol reagen lalu disterilisasi dengan

autoclave pada suhu 121˚C dan tekanan 2 atm selama 20 menit. Ekstrak kentang

yang telah disterilisasi, didinginkan pada suhu kamar kemudian disimpan dalam

lemari pendingin (kulkas) (DZMZ, 2015).


29

2.2 Media PDA (Potato Dextrose Agar) dan Pertumbuhan Mucor miehei
pada Media PDA

Sebanyak 100 mL potato extract ditambahkan 4 gram dekstrosa dan 3 gram agar

dalam labu Erlenmeyer 250 mL lalu disterilisasikan dengan autoclave pada suhu

121˚C dan tekanan 2 atm selama 20 menit (DSMZ, 2015). Setelah itu media PDA

ini di-UV selama 10 menit dalam Laminar Air Flow dan dituang ke dalam cawan

petri. Strain jamur Mucor miehei ditumbuhkan kurang lebih selama 5 hari sampai

spora jamur ini tumbuh (Alves et al., 2005).

2.3 Media PDL (Potato Dextrose Liquid) dan Pertumbuhan Mucor miehei
pada Media PDL

Sebanyak 100 mL potato extract ditambahkan 4 gram dekstrosa dalam labu

Erlenmeyer 250 mL lalu disterilisasikan dengan autoclave pada suhu 121˚C dan

tekanan 2 atm selama 20 menit. Setelah itu media PDL ini di-UV selama 10 menit

dalam Laminar Air Flow. Spora kultur 5 hari dipisahkan dan dimasukkan dalam

media PDL dan diletakkan dalam shaker incubator dengan kecepatan 175 rpm

pada suhu 30˚C selama ± 5 hari (Alves et al., 2005).

3. Larutan Buffer Sitrat pH 4

Sebanyak 0,96 gram asam sitrat dilarutkan dalam 50 mL akuades dalam labu takar

50 mL dan dikocok hingga homogen. Larutan ini merupakan larutan stok A.

Kemudian dilarutkan sebanyak 0,65 gram natrium sitrat dalam 25 mL akuades


30

dalam labu volumetrik 25 mL dan dikocok hingga homogen. Larutan ini

merupakan larutan stok B.

Sebanyak 33 mL larutan stok A (asam sitrat 0,10 M) dan 17 mL larutan stok B

(natrium sitrat 0,10 M) dilarutkan dalam 100 mL akuades dalam labu volumetrik

100 mL dan kemudian dicek pH-nya. Ini merupakan larutan buffer sitrat pH 4

(Mardiana, 2002).

4. Pembuatan Media Inokulum Mucor miehei

Sebanyak 0,1 gram serbuk kulit udang dimasukan ke dalam labu Erlenmeyer 100

mL, kemudian ditambahkan 0,01 gram laktosa; 0,03 gram bakto pepton; 0,14

gram amonium sulfat; 0,03 gram urea; 0,2 gram kalium dihidrogen sulfat; 0,03

gram besi (II) sulfat heptahidrat; 0,03 gram kalsium klorida; dan 0,029 gram seng

(II) sulfat heptahidrat, serta dilarutkan dalam 10 mL buffer sitrat pH 4.

Selanjutnya campuran diaduk sampai homogen lalu disterilisasi dalam autoclave

pada suhu 121˚C dan tekanan 2 atm selama 20 menit. Kemudian media

didinginkan pada suhu ruang dalam Laminar Air Flow. Sebanyak 1 mL kultur

awal dari media PDL diinokulasikan ke dalam media ini dan difermentasi pada

30˚C dalam shaker-incubator dengan kecepatan 250 rpm selama 7 hari (Chahal et

al., 2001).
31

5. Fermentasi Fase Cair Sistem Tertutup (Batch) dengan Mucor miehei

Fermentasi batch dilakukan dengan menggunakan Shaker Incubator sistem

tertutup. Substrat yang digunakan adalah serbuk kulit udang. Sebanyak 1 gram

serbuk kulit udang dimasukkan dalam labu erlenmeyer 100 ml yang berisi 0,01

gram laktosa; 0,03 gram bakto pepton; 0,14 gram amonium sulfat; 0,03 gram urea,

0,2 gram kalium dihidrogen sulfat; 0,03 gram besi (II) sulfat heptahidrat; 0,03

gram kalsium klorida; dan 0,029 gram seng (II) sulfat heptahidrat, serta dilarutkan

dalam 10 mL buffer sitrat pH 4. Media fermentasi ini dibuat 5 replikat.

Selanjutnya media disterilisasi dengan autoklaf pada 2 atm temperatur 121oC

selama 20 menit. Kemudian media didinginkan pada suhu ruang dalam Laminar

Air Flow. Sebanyak 10 mL starter diinokulasikan ke dalam media ini dan

difermentasi pada 30˚C dalam shaker-incubator dengan kecepatan 250 rpm

selama 1-5 hari (Chahal et al., 2001).

Sejumlah hasil dari fermentasi batch, pada tiap selang waktu 1 hari, dipanaskan

dengan waterbath pada suhu 70oC selama 45 menit. Kemudian dicampurkan

dengan 5 ml akuades dengan membiarkan labu erlenmeyer pada rotary shaker

selama 1 jam pada 200 rpm. Campuran disaring menggunakan kertas saring dan

filtrat disentrifugasi dengan kecepatan 10.000 rpm selama 20 menit pada suhu

4oC. Semua filtrat yang diperoleh, dibekukan dalam freezer selama 24 jam.
32

6. Analisis Glukosamin dengan Spektrometer UV-Vis

Analisis glukosamin menggunakan spektromoter ultraviolet-visible (UV-Vis)

dilakukan setelah didapat filtrat hasil fermentasi.

6.1 Pembuatan Standar Glukosamin

Sebanyak 0,05 gram glukosamin (Glc) standar WAKO dilarutkan dalam 50 ml

akuades dalam labu ukur diperoleh konsentrasi akhir 1000 mg/L. Kemudian

larutan glukosamin standar 1000 mg/L ini diencerkan hingga diperoleh konsentasi

akhir msing-masing 50, 60, 70, 80, 90, 100, 110, 120, 130, 140, dan 150 mg/L.

Dari berbagai konsentrasi larutan standar ini, masing-masing diambil 4 ml lalu

ditambahkan 0,5 ml larutan ninhidrin 0,8 % dan 0,5 ml larutan buffer fosfat pH 6.

Larutan ini kemudian dipanaskan pada 100oC dalam penangas selama 15 menit.

Setelah terbentuk warna ungu, larutan didiamkan dalam suhu kamar dan diukur

dengan spektrofotomer UV-Vis pada panjang gelombang 570 nm (Wu et al.,

2005).

6.2 Pembuatan Sampel Glukosamin

Filtrat hasil fermentasi masing-masing diambil dan diencerkan sebanyak 30 kali

dengan akuades. Larutan tersebut diambil 4 ml lalu ditambahkan 0,5 ml larutan

ninhidrin 0,8 % dan 0,5 ml larutan buffer fosfat pH 6. Larutan ini kemudian

dipanaskan pada 100oC dalam penangas selama 15 menit. Reaksi antar

glukosamin dengan ninhidrin menghasilkan warna ungu, larutan didiamkan dalam


33

suhu kamar dan diukur dengan spektrofotomer UV-Vis pada panjang gelombang

570 nm.

6.3 Pemilihan Panjang Gelombang Maksimum

Pemilihan panjang gelombang (λ) maksimum dilakukan menggunakan larutan

glukosamin standar dan hasil fermentasi yang telah direaksikan dengan larutan

ninhidrin 0,8% dan buffer fosfat pH 6. Kemudian dilakukan scanning

menggunakan spektrofotometer UV-Vis pada rentang panjang gelombang (λ)

450-600 nm.

6.4 Kalibrasi Glukosamin Sampel

Absorbansi glukosamin dalam sampel dikalibrasikan dengan kurva glukosamin

(Glc) standar menggunakan persamaan regresi linear. Hasil yang diperoleh

dikalikan dengan faktor pengenceran sehingga diperoleh konsentrasi glukosamin

dalam larutan hasil fermentasi tiap selang waktu 5 hari.


47

V. SIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, dapat diambil kesimpulan sebagai

berikut.

1. Mucor miehei memiliki potensi untuk mendegradasi kulit udang menjadi

glukosamin tanpa harus merubahnya menjadi kitin.

2. Waktu inkubasi optimum fermentasi kulit udang dengan Mucor miehei adalah

hari keempat dengan kadar kemurnian glukosamin dalam sampel kulit udang,

yaitu pada hari keempat sebesar 4,1442 %.

3. Kadar kemurnian glukosamin yang dihasilkan dengan menggunakan substrat

kulit udang lebih rendah dibandingkan dengan kitin karena masih terkandung

protein dan mineral lain.

4. Reagen ninhidrin memberikan reaksi positif terhadap glukosamin sehingga

dapat digunakan untuk analisis spektrofotometri UV-Vis.


47

B. Saran

Dari hasil penelitian yang diperoleh, maka disarankan untuk memvalidasi adanya

glukosamin dalam produk fermentasi menggunakan HPLC-ELSD agar didapat

hasil kromatogram kemurnian glukosamin, serta melakukan proses deproteinasi

dan demineralisasi agar kadar glukosamin maksimal.


44

DAFTAR PUSTAKA

Acumedia Manufacture. 2011. Potato Dextrose Agar (7149). Technical Service or


questions involving dehydrated culture media preparation.

Alves, Maria Helena, Galba M. De Campos-Takaki, Kaoru Okada, Ines Helena


Ferreira Pessoa, and Adauto Ivo Milanez. 2005. Detection of extracellular
protease in Mucor species. Rev Iberoam Micol. Vol. 22, pp. 114-117.

Anonim. 2015. Spektrofotometri UV-Vis.


http://www.valdisreinaldo.blogspot.com. Diakses pada tanggal 10 Desember
2015.

Anonim. 2016. Does the Size of a Substrate Affect How Quickly an Enzyme Acts?.
http://education.seattlepi.com/size-substrate-affect-quickly-enzyme-acts-
5333.html. Diakses pada tanggal 16 Agustus 2016.

Ariyanta, Yahya. 2014. Pengaruh Penambahan Konsentrasi Inokulum dan Media


Fermentasi terhadap Efektivitas Fermentasi Kitin dengan Mucor miehei
untuk Pembuatan Glukosamin (Skripsi). Universitas Lampung. Bandar
Lampung.

Chahal, P. S., D. S. Chahal, and G. B. B. Lee. 2001. Production of Cellulose in


Solid State Fermentation with Trichorderma reesi MCG 80 on Wheat Straw.
Applied Biochemistry and Biotechnology. Vol. 57-58, pp. 433-441.

Copeland, R.A. 2000. Methods for Protein Analysis: A Practical Guide to


Laboratory Protocols. Chapman and Hall. New York.
49

Dahmer, M., and Schiller, R. M. 2008. Glucosamine. American Family Physician


Ann Intern Med. 2008;78:470-476.Dinter, S., U. Bunger, and E. Siefert.
2000. Enzymatic Degradation of Chitin by Microorganisms. In: Advances in
Chitin Science.Universitat Potsdam Druckhaus Schmergow. Germany.

Dwidjoseputro, D. 1976. Pengantar Mikologi. Alumni. Bandung. 70 halaman.

DSMZ. 2015. DSMZ: List of Media for Microorganisms.


https://www.dsmz.de/catalogues/catalogue-microorganisms/culture-
technology/list-of-media-for-microorganisms.html. Diakses pada 1 Desember
2015.

EFSA [European Food Safety Authority]. 2009. Scietific Opinion on the


substantion of a health claim related to glucosamine hydrochloride and
reduced rate of cartilage degeneration and reduced risk of development of
osteoarthritis pursuant. Parma, Italy. European Food Safety Authority 7(10):
1358.

Elsawati, E. 1994. Limbah Udang Dibuang Sayang. Techner12. Bogor. Hlm. 19.

Einbu, A. 2007. Characterisation of Chitin and a Study of Its Acid-Catalyzed


Hydrolysis, Thesis for The Degree of Philosophiae Doctor. Norwegian
University of Science and Technology. Dept. of Biotechnology. Noorwegian.

Foucher, J.P., G.K. Westbrook, A. Boetius, S. Ceramicola, S. Dupre, J. Mascle, J.


Mienert, O. Pfannkuche, C. Pierre, and D. Praeg. 2009. Structure and Drivers
of Cold Seep Ecosystems. Oceanography, 22: 92-109.

Funkhouser, J., D. & Aronson, N., N. 2007. Chitinase family GH18: Evolutionary
Insights From The Genomic History Of A Diverse Protein Family. BMC Evol
Biol 7: 96-111.

Gohel, V., P. Vyas, and H. S. Chhatpar. 2006. Activity staining method of


chitinase on chitin agar plate through polyacrylamide gel electrophoresis.
African Journal of Biotechnology. Vol. 4, pp. 87-90.
50

Harman, G.E., Crown K.H., Mitchel L., Ray M.B., Alexander D.P., Candy P., and
Andrew T.. 1993. Chitinolitic Enzyme of Trichoderma hazianum:
Purification of Chitobiosidase and Endochitinase Phytopathology, 2(83):313-
318.

Hart, H., Craine, L.E. and Hart.D.J., 2003. Kimia Organik Edisi Kesebelas.
Erlangga. Jakarta.

Holker, U., M. Hofer, and J. Lenz. 2004. Biotechnological Advantages of


Laboratory-Scale Solid State Fermentation with Fungi. Journal of Applied
Microbiology and Biotechnology,64:175–186.

Hunger, M. and J. Weitkamp. 2001. In situ IR, NMR, EPR, and UV/Vis
Spectroscopy: Tool for New Insight into the Mechanisms of Heterogeneous
Catalysis. Angew-Chem Int Ed Engl. Vol. 49, pp. 2954-2971.

Khopkar, S. M. 2002. Konsep Dasar Kimia Analitik. Penerbit Swadaya. Jakarta.

Kumirska, J., M. X. Weinhold, J. Thoming, and P. Stepnowski. 2011. Biomedical


activity of chitin/chitosan based materials influence of physicochemical
properties apart from molecular weight and degree of acetylation. Polymers.
Vol 3, pp. 1875-1901.

Lehninger, A.L. 1982. Dasar-Dasar Biokimia. Erlangga. Jakarta. Hlm. 84-89.

Maggy, L.T. 1990. Dasar-Dasar Biokimia. Erlangga. Jakarta.

Manitto, P. 1981. Biosintesis Produk Alami. Terjemahan Koensoemardiyah. Ellis


Horwood Limited Publishers, Chichester.

Mardiana. 2002. Studi Pendahuluan Kitosans Secara Fermentasi Menggunakan


Mucor miehei pada Media Kitin dari Kulit Udang Windu (Penaeus monodon)
(Skripsi). Universitas Lampung. Bandar Lampung.

Marganof. 2003. Potensi Limbah Udang sebagai Penyerap Logam Berat (Timbal,
kadmium dan tembaga) di perairan.
51

http://www.prodiikelautanunirow.blogspot.com. Diakses pada 15 nopember


2015.

Mas’ud, Fajriyati. 2013. Media, Isolasi, Sterilisasi, Peremajaan, dan


Penyimpanan Mikroba. PPT.

Matsumoto, K.S. 2006. Fungal Chitinases, In : Guevara-Gonzales R.G and


Torres-Pacheco I (Eds). Advances in Agricultural and Food Biotechnology.
Reseach Signpost, India. 289-304.

Miller, K.L., and Clegg, D.O. 2011. Glucosamine and chondroitin sulfate. Rheum
Dis Clin N Am. 2011; 37:103–18.

Mitchel, D., N. Krieger, and M. Berovic. 2006. Solid-State Fermentation


Bioreactors. Springer-Verlag Berlin. Heidelberg.

Mulja, M. dan Suharman. 1995. Analisis Instrumental. Airlangga University


Press. Surabaya. Hlm.121-123.

Murray, T. A. and Sandford. 2003. Chitin and Chitosan: Sources, Chemistry,


Biochemistry, Physical Properties and Application. Elsevier Applied Science.
London, pp. 561.

No, H.K., Meyers, S.P., and Lee, K.S. 2000. Isolation and Characterization of
Chitin from Crawfish Shell Waste, Journal of Agricultural and Food
Chemistry, 1989, 37(3), 575-579.

Oegema, Theodore R., et al. 2002. Effect of Oral Glucosamin on Cartilage and
Meniscus in Normal and Chymopapain-Injected Knees of Young Rabbits.
Arthritis and Rheumatism. 46 (9) : 2495-2503.

Pandey, A., C. Soccoll, and D. Mitchell. 2000. New Developments in Solid-State


Fermentation: I – Bioprocesses and Products. Journal of Process
Biochemistry, 35: 1153–1169.
52

Patil, R.S., V. Ghormade, and M.V. Deshpande. 2000. Chitinolytic Enzymes: An


Exploration. Journal of Enzyme and Microbial Technology, 26: 473-483.

Persiani, S., Roda, E., Rovati, L.C., Locatelli, M., Giacovelli, G., and Roda, A.
2005. Glucosamine oral bioavailability and plasma pharmacokinetics after
increasing doses of crystalline glucosamine sulfate in man. Osteoarthritis
Cartilage. 2005;13:1041-46.

Pillai, C.K.S., Paul W., Sharma, C.P. 2009. Chitin and Chitosan Polymers:
Chemistry, Solubility and Fiber Formation. Program Polymer Science. 34:
641-678.

Poedjiadi, A. 1994. Dasar-Dasar Biokimia. UI Press. Jakarta. Hlm. 472.

Pujaningsih, R. 2005. Teknologi Fermentasi dan Peningkatan Kualitas


Pakan.(Skripsi). Universitas Diponogoro. Semarang.

Rao, K. 2009. Fermentation Biotechnology. http://www.fbae.org. Diakses pada 15


Nopember 2015.

Ratledge, C. 1993. Biochemistry of Microbial Degradation. Kluwer Academic.

Rohani, N. 2000. Deproteinasi Kulit Udang Windu Menggunakan Isolat Bakteri


Bacillus sp. (Skripsi). Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Rohman, A. 2007. Kimia Farmasi Analisis : Spektrofotometri UV dan Tampak


(visibel). Pustaka Pelajar. Yogyakarta.

Rumapea, Siti O. 2012. Uji Efektivitas Fermentasi Kitin Bertahap Menggunakan


Mucor miehei dan Actinomycetes ANL-4 untuk Pembuatan Glukosamin
(Skripsi). Universitas Lampung. Bandar Lampung.

Rusmana, I. 2008. Sistem Operasi Fermentasi. Departemen Biologi FMIPA IPB.


Bogor.
53

Sadava, Purves. 2003. Life The Science of Biology Seventh Edition, Taylor and
Francis Group LLC. USA.

Sahai, A.S. and S.M. Manocha. 1993. Chitinases of Fungi and Plants : Their
Involvement in Morphogenesis and Host-Parasite Interaction. Journal of
FEMS Microbiology, 3(11): 317–338.

Schomburg, D. dan M. Salzmann. 1991. Enzyme Handbook 4(Hydrolase


Lisozim). Spinger-Verlay Berlin Heidelberg. Jerman, pp. 307-310.

Singleton, Paul dan Diana Sainsbury. 2006. Dictionary of Microbiology and


Molecular Biology Third Edition. John Wiley & Sons, Ltd. England.

Suhartono, M.T. 1989. Enzim dan Bioteknologi. Antar Universitas Bioteknologi.


IPB. Bogor.

Suryanto, D. dan Yurnaliza. 2005. Eksplorasi Bakteri Kitinolitik : Keragaman


Genetik Gen Penyandi Kitinase pada Berbagai Jenis Bakteri dan
Pemanfaatannya. USU. Medan.

Ton, N.M.N., M.D. Nguyen, T.T.H. Pham and V.V.M. Le. 2010. Influence of
initial pH and sulfur dioxide content in must on wine fermentation by
immobilized yeast in bacterial cellulose. International Food Research
Journal, 6(3): 743-749.

Tsigos, I., dan V. Bouriotis. 2000. Purification and Characterization of Chitin


Deacetylase from Colletotrichum lindemuthianum. J. Biol. Chem., 270:
26286-26291.

Weites, A.M., D.R. Gondim, and L.R.B. Gonçalves. 2001. Ethanol production by
fermentation using immobilized cells of Saccharomyces cerevisiae in cashew
apple bagasse. Journal of Biochemistry and Biotechnology, 1(8): 209–217.

Wu, M.L., Y.C. Chuang, J.P.Chen, C. S. Chen, and M.C. Chang. 2001.
Identification and Characterization of the Chitin-Binding Domains within the
Multidomain Chitinase Chi92 from Aeromonas hydrophila jp 101. Appl
Environ Microbiol 67 : 5100-5106.
54

Wu, Y., Hussain, M., and Fassihi R. 2005. Development of A Simple Analytical
Methodology For Determination of Glucosamine Release From Modified
Release Matrix Tablets. Journal of Pharmaceutical and Biomedical Analysis.
38 (2005) 263-269.

Xu, L., Q. Li, and C. Jiang. 1996. Diversity of Soil Actinomycetes in Yunnan,
China. Journal of Applied Environmental Microbiology, 62 (1): 244-248.

Yanming, D., Congyi, X.U., Jianwei, W., Mian,W., Yusong, W.U., and
Yonghong, R. 2001. Determination of degree of substitution for N-acylated
chitosan using IR spectra. Science in Chine. Vol. 44, pp. 216-224.

Yolanda, C. 2014. Penetapan Waktu Inkubasi Optimum Degradasi Kitin Secara


Enzimatik Oleh Mucor miehei Dengan Metode Ultraviolet-Visible
Spectrophotometry (Skripsi). Universitas Lampung. Bandar Lampung.

Yurnaliza. 2002. Senyawa Kitin dan Kajian Aktivitas Enzim Mikrobial


Pendegradasinya. Sumatera: FMIPA Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai