Anda di halaman 1dari 19

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Balita

2.1.1 Pengertian Balita

Anak balita adalah anak yang telah menginjak usia di atas satu tahun atau lebih
popular dengan pengertian usia anak di bawah lima tahun (Muaris.H, 2006). Menurut
Sutomo. B. dan Anggraeni. DY (2010) Balita adalah istilah umum bagi anak usia 1-3 tahn
(batita) dan anak prasekolah (3-5 tahun). Saat usia batita, anak masih tergantung penuh
kepada orang tua untuk melakukan kegiatan penting, seperti mandi, buang air dan makan.
Perkembangan berbicara dan berjalan sudah bertambah baik namun kemampuan lain masih
terbatas.

Masa balita merupakan periode penting dalam proses tumbuh kembang manusia.
Perkembangan dan pertumbuhan di masa itu menjadi penentu keberhasilan pertumbuhan dan
perkembangan anak di periode selanjutnya. Masa tumbuh kembang di usia ini merupakan
masa yang berlangsung cepat dan tidak akan pernah terulang, karena itu sering disebut golden
age atau masa keemasan (Uripi, 2004)

2.1.2 Karakteristik Balita

Menurut karakteristik, balita terbagi dalam dua kategori yaitu anak usia 1-3 tahun
(batita) dan anak usia prasekolah (Uripi, 2004). Anak usia 1-3 tahun merupakan konsumen
pasif, artinya anak menerima makanan dari apa yang disediakan ibunya, namun perut yang
masih lebih kecil menyebabkan jumlah makanan yang mampu diterimanya dalam sekali
makan lebih kecil dari anak yang usianya lebih besar. Pola makan yang diberikan adalah
porsi kecil dengan frekuensi sering yaitu 8 kali. Pada usia pra sekolah anak menjadi
konsumen aktif. Mereka sudah dapat memilih makanan yang disukainya. Pada usia ini anak
mulai bergaul dengan lingkungannya atau bersekolah playgroup sehingga anak mengalami
beberapa perubahan dalam perilaku.

Pada masa ini anak akan mencapai fase gemar memprotes sehingga mereka akan
mengatakan “tidak” terhadap setiap ajakan. Pada masa ini berat badan anak cenderung
mengalami penurunan akibat dari aktivitas yang mulai banyak dan pemilihan maupun
penolakan terhadap makanan (Uripi, 2004). Dalam proses tumbuh kembang, anak memiliki
kebutuhan yang harus terpenuhi, kebutuhan tersebut yakni kebutuhan akan gizi (asuh),
kebutuhan emosi dan kasih sayang (asih) dan kebutuhan stimulasi dini (asah) menurut
PN.Evelin dan Djamaludin. N. (2010).

2.2 Kecukupan Gizi


Keadaan kesehatan gizi tergantung dari tingkat kecukupan konsumsi gizi.Tingkat
konsumsi dipengaruhi oleh tingkat ketersediaan makanan. Konsumsi yang menghasilkan
kesehatan gizi baik disebut adekuat dan apabila konsumsi baik dari kualitas dan dalam
jumlah melebihi kebutuhan dinamakan konsumsi berlebih dimana akan terjadi suatu keadaan
gizi lebih. Sebaliknya konsumsi yang kurang kualitasnya maupun kuantitasnya akan
memberikan kondisi kesehatan gizi kurang atau kondisi defisiensi.

Tingkat kecukupan gizi sesuai dengan tingkat konsumsi yang menyebabkan


tercapaimya kesehatan gizi baik adalah kesehatan gizi optimum dan tingkat kesehatan gizi
sebagai hasil konsumsi berlebih adalah kesehatan gizi lebih. Kecukupan gizi juga dipengaruhi
oleh pola makan. Pola makan adalah berbagai informasi yang memberikan gambaran
mengenai macam, jenis, dan jumlah bahan makanan yang dimakan setiap hari oleh satu orang
dan merupakan ciri khas untuk suatu kelompok masyarakat tertentu. Pola makan ini
dipengaruhi oleh kebiasaan, kesenangan, budaya, agama, taraf ekonomi, lingkungan alam,
dan lain-lain (Soegeng Santoso, 2004).

2.2.1 Tingkat Kecukupan

Protein Protein adalah bagian dari semua sel hidup dan merupakan bagian terbesar
dari sesudah air. Protein memiliki fungsi yang diperlukan tubuh diantaranya adalah
pertumbuhan dan pemeliharaan salah satu penghasil energi, merupakan bagian dari enzim
dan antibodi, mengangkut zat gizi dan mengatur keseimbangan air. (Sulistyoningsih, 2011).
Hemoglobin merupakan protein yang mengandung zat besi dari sel darah merah.

Bahan makanan sumber protein di bedakan menjadi protein hewani dan protein
nabati. Protein yang berasal dari hewani seperti daging sapi, ikan, ayam, hati, telur, dan susu.
Sedangkan protein nabati yang berasal dari tumbuh-tumbuhan seperti tempe, tahu, dan
kacang-kacangan. Asupan protein akan di gunakan untuk memenuhi kebutuhan
energi,sehingga mungkin protein tidak cukup tersedia untuk pembentukan jaringan baru atau
untuk memperbaiki jaringan yang rusak.Hal ini dapat menyebabkan pengurangan laju
pertumbuhan dan penurunan masa otot tubuh . Angka Kecukupan Gizi (AKG). AKG protein
pada balita usia 7-11 bulan yaitu 18 gram, usia 12-36 bulan 26 gram, dan usia 37-60 bulan 35
gram (Riskesdas, 2013).

Tabel 2.1 Kategori Tingkat Kecukupan Protein

Kategori Cut Of Point


Defisit Berat <70% AKG
Defisit Sedang 70-79% AKG
Defisit Ringan 80-89% AKG
Normal 90-119% AKG
Lebih > 120% AKG
Sumber : Departemen Kesehatan (1996)

2.2.2 Tingkat Kecukupan Zat Besi


Zat besi merupakan mikrolemen yang esensial bagi tubuh. Zat ini terutama
diperlukan dalam pembentukan darah yaitu sintesis hemoglobin (Hb) yaitu suatu oksigen
yang mengantarkan eritrosit berfungsi penting bagi tubuh. Hemoglobin terdiri dari Fe (zat
besi), protoporfirin, dan globin (1/3 berat Hb terdiri dari Fe) (Susiloningtyas, 2004). Zat besi
dalam tubuh manusia sebagian besar terdapat sel darah merah yaitu sekitar 65%, dalam
jaringan hati, limpa dan sumsum tulang 30% dan sekitar 5% terdapat dalam inti sel, dalam
plasma dan dalam otot sebagai mioglobin. Pada sel darah merah terdapat hemoglobin yaitu
molekul protein yang mengandung zat besi dan merupakan pigmen darah yang membuat
darah berwarna merah. Zat besi merupakan komponen yang sangat penting dari
hemoglobin (Tristiyanti, 2006).

Kekurangan konsumsi zat besi (Fe) dalam makanan sehari- hari dapat
menimbulkan kekurangan darah yang dikenal dengan anemia gizi besi karena terganggunya
pembentukan sel-sel darah merah sehingga konsentrasi hemoglobin dalam darah berkurang
yang pada akhirnya menyebabkan anemia. Kelebihan zat besi jarang terjadi karena
makanan, tetapi juga dapat disebabkanoleh suplemen besi, gejalanya seperti rasa muntah,
diare, denyut jantung meningkat, sakit kepala,mengigau dan pingsan (Almatsier, 2004).
Selain itu, kelebihan zat besi bisa dipakai oleh mikroorganisme untuk pertumbuhannya
(Manimpiring, 2008).

Sumber baik zat besi adalah makanan hewani seperti hati, daging, udang, dan ikan.
Sumber zat besi lainnya adalah telur, serealia tumbuk, kacang-kacangan, sayuran hijau, dan
beberapa jenis buah. Zat besi yang berasal dari hewani memiliki daya serap antara 7-22%
lebih tinggi di bandingkan zat besi yang berasal dari tumbuh- tumbuhan yang mempunyai
daya serap 1-6% (Wirakusumah, 1999). Angka kecukupan zat besi pada balita usia 7-11
bulan yaitu 7 mg, usia 12-36 tahun 8 mg, dan usia 37-60 bulan 9 mg (Riskesdas, 2013).

Tabel 2.2 Kategori Tingkat Kecukupan Zat besi

Kategori Cut Of Point


Kurang < 77 % AKG
Cukup ≥ 77 % AKG

Sumber : Gibson (2005)

2.2.3 Pengukuran Tingkat Kecukupan Zat Gizi

Cara pengukuran tingkat kecukupan zat gizi tingkat individu atau perorangan ada
lima yaitu :
1. Metode Perkiraan Makan (Estimated Food Record)

2. Metode Penimbangan Makan (Food Weigh)


3. Metode Riwayat Makan (Dietary History Method)

4. Metode Food Recall 24 jam

Metode yang di gunakan dalam penelitian ini untuk mengukur tingkat kecukupan zat
gizi tingkat individu yaitu melalui metode foodrecall 24 jam. Metode foodrecall 24 jam
di lakukan dengan mencatat jenis dan jumlah bahan makanan yang di konsumsi pada
periode 24 jam yang lalu. Metode foodrecall 24 jam ini sangat di tentukan oleh daya
ingat responden dan kesungguhan serta kesabaran dari penugas pengukuran (Supariasa,
2002). Foodrecall 24 jam bisa di lakukan dengan dua cara :
1. Dimulai sejak bangun pagi sampai istirahat tidur malam harinya.
2. Dimulai waktu saat wawancara mundur kebelakang 24 jam penuh (Supariasa, 2002).
Selain dari makanan utama,makanan selingan atau jajan,perlu juga di catat makanan
yang di makan di luar rumah. Untuk mendapatkan data kualitatif,jumlah konsumsi
makanan individu di tanyakan secara teliti dengan menggunakan alat ukuran rumah
tangga (URT) dan metode ini bisa di lakukan 3 kali foodrecall 24 jam tanpa berturut-
turut agar mendapatkan gambaran asupan gizi yang lebih optimal dan memberikan
variasi yang lebih besar tentang asupan harian individu (Supariasa, 2002).

2.3 Status Gizi Balita Berat Badan Menurut Umur (BB/U)

Indikator status gizi berdasar indeks Berat Badan menurut Umur (BB/U)
memberikan indikasi masalah gizi secara umum. Indikator ini tidak memberikan masalah
gizi yang sifatnya kronis ataupun akut karena berat badan berkorelasi positif dengan umur
dan tinggi badan. Indikator BB/U yang rendah dapat disebabkan karena pendek (masalah
gizi kronis) atau sedang menderita diare atau penyakit infeksi lain ( masalah gizi akut )
(Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah, 2013).

Perlu diingat dalam menentukan gangguan gizi kurang dapat dilakukan dengan
berbagai indek antropometri dengan makna yang berbeda dalam memandang kejadian
kurang gizi yang terjadi:

a. Indek BB/U : menggambarkan ada tidaknya gangguan gizi umum

b. Indek TB/U : menggambarkan ada tidaknya gangguan gizi kronis

c. Indek BB/TB: menggambarkan ada tidaknya gangguan gizi akut (Kemenkes RI


dan WHO).

Anak kurang gizi pada tingkat ringan dan atau sedang masih seperti anak-anak lain,
beraktivitas , bermain dan sebagainya, tetapi bila diamati dengan seksama badannya mulai
kurus dan staminanya mulai menurun. Pada fase lanjut (gizi buruk) akan rentan terhadap
infeksi, terjadi pengurusan otot, pembengkakan hati, dan berbagai gangguan yang lain
seperti peradangan kulit, infeksi, kelainan organ dan fungsinya (akibat atrophy / pengecilan
organ tersebut) (Indasah, 2010).
Klasifikasi status gizi berdasarkan keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor :
1995/Menkes/SK/XII/2010 tentang Standar Antropometri Penialian Status Gizi Anak
dengan memperhatikan berbagai macam indeks, berbagai kategori status gizi, dan
menggunakan ambang batas z-score.
Tabel 2.1 Kategori dan Ambang Batas Status Gizi Anak Berdasarkan Indeks

Indeks Kategori Status Gizi Ambang Batas (Z-Score)


Berat Badan menurut Gizi Buruk <-3SD
Umur (BB/U) Anak Umur Gizi Kurang - 3 SD sampai dengan <-2SD
0-60 Bulan Gizi Baik - 2 SD sampai dengan 2 SD
Gizi Lebih >2SD

Berat badan menurut Sangat Kurus <-3SD


Panjan -
g Badan (BB/PB) Kurus 3 SD sampai dengan <-2SD
atau Berat Badan menurut Normal - 2 SD sampai dengan 2 SD
Tinggi Badan (BB/TB) Gemuk >2SD
Anak Umur 0-60 Bulan

Sumber: Kemenkes RI,2012.Keputusan Menteri Kesehatan RI


Nomor:1995/Menkes/SK/XII/2010

2.4 Status Gizi Balita Berat Badan Menurut Tinggi Badan (BB/TB)

Indikator status gizi berdasar indeks Berat Badan menurut Tinggi


Badan (BB/TB) memberikan indikasi masalah gizi yang sifatnya akut sebagai
akibat dari peristiwa yang terjadi dalam waktu yang tidak lama (singkat).
Misal terjadi wabah penyakit dan kekurangan makan (kelaparan) yang
mengakibatkan anak menjadi kurus (Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah,
2013).

Penentuan klasifikasi status gizi dapat dilakukan dengan


memperhatikan tanda klinis anak balita dan indeks BB/TB(PB) dengan
menggunakan standar deviasi (SD). Kemenkes RI tahun 2013 telah
menentukan klasifikasi dengan mempertimbangkan tanda klinis dan
antropometri seperti pada Tabel 2.2

Tabel 2.2 Penentuan Klasifikasi Status Gizi Anak

Klasifikasi Status Gizi Klinis Antropometri

Gizi buruk Tampak sangat kurus <-3 SD


dan
atau edema pada kedua
punggung kaki sampai
seluruh tubuh
Gizi kurang Tampak kurus -3 SD sampai <-2 SD
Gizi baik Tampak sehat -2 SD sampai 2 SD
Gizi lebih Tampak gemuk >2 SD
Sumber: Kemenkes RI, 2013.Bagan Tata Laksana Anak Gizi Buruk Buku
I.Kemenkes RI.Jakarta

Masalah kekurangan gizi yang mendapat perhatian akhir-akhir ini


adalah masalah kurang gizi dalam bentuk anak pendek (stunting), dan kurang
gizi akut dalam bentuk anak kurus (wasting). Masalah gizi tersebut terkait erat
dengan masalah gizi dan kesehatan ibu hamil, dan menyusui, bayi baru lahir
dan anak usia di bawah dua tahun (As’ad. dkk, 2014).

Ada berbagai macam indikator untuk menentukan permasalahan


kesehatan masyarakat ditinjau dari status gizi balita. Indikator tersebut antara
lain dengan melihat prevalensi balita gizi kurang, prevalensi balita pendek,
dan prevalensi balita kurus. Permasalahan Kurang Energi dan Protein (KEP),
indikator dan ambang batas masalah kesehatan masyarakat yaitu bila
prevalensi balita gizi kurang >10%, prevalensi balita pendek >20%, dan
prevalensi balita kurus >5% (Hardinsyah dan Supariasa, 2014).

Malnutrisi yaitu gizi buruk atau Kurang Energi Protein (KEP) dan
defisiensi mikronutrien merupakan masalah yang membutuhkan perhatian
khusus terutama di negara-negara berkembang, yang merupakan faktor resiko
penting terjadinya kesakitan dan kematian pada ibu hamil dan balita
(Krisnansari, 2010).

Anak usia di bawah lima tahun (balita) merupakan kelompok yang


banyak menderita gizi buruk. Banyak faktor yang menyebabkan anak kurang
gizi; mulai dari kurang asupan gizi, ada penyakit infeksi, pengasuhan kurang
memadai, kurang tersedia pangan di tingkat rumah tangga, dan higiene
sanitasi yang kurang baik (Arnelia, 2009).

Berdasarkan kelompok umur, masalah gizi buruk menurut data


Riskesdas 2010 lebih banyak ditemukan pada anak usia di bawah tiga tahun
(batita), tertinggi adalah pada bayi < 6 bulan (9,2%), berikutnya pada bayi 6-
11 bulan (7,9%), dan pada anak 12-23 bulan dan 24-35 bulan masing-masing
7,1 persen. Di daerah perdesaan, prevalensi masalah gizi buruk lebih tinggi
dibandingkan dengan di perkotaan, yaitu 6,6 dan 5,4 persen (Arnelia, 2009).
Sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi tata laksana
gizi buruk, maka kasus gizi buruk dapat ditangani melalui dua pendekatan,
yaitu rawat inap dan rawat jalan. Pada awal tahun 2011 Kementerian
Kesehatan RI mengeluarkan buku Pedoman Pelayanan Anak Gizi Buruk.
Gizi buruk dengan komplikasi (anoreksia, pneumonia berat, anemia berat,
dehidrasi berat, demam tinggi dan penurunan kesadaran) harus dirawat di
RS/PPG, sedangkan gizi buruk tanpa komplikasi dan nafsu makan baik dapat
dilakukan secara rawat jalan. Pilihan dua pendekatan di atas merupakan
jawaban terhadap pelaksanaan Standar Pelayanan Minimal (SPM) bidang
Perbaikan Gizi, yaitu setiap anak gizi buruk yang ditemukan harus
mendapatkan perawatan sesuai standar.Untuk anak yang termasuk kategori
gizi kurang, yaitu BB/PB (<-2 - -3) SD, LiLA (11,5 – 12,5) cm, tidak ada
edema atau komplikasi dan nafsu makan cukup baik, maka anak memerlukan
PMT (Arnelia, 2009).

2.5 Bawah Lima Tahun (Balita)

Usia balita (bawah lima tahun) sebagai generasi penerus bangsa yang
diharapkan menjadi sumberdaya manusia yang berkualitas di masa depan
memerlukan perhatian khusus. Usia di bawah lima tahun merupakan “usia
emas” dalam pembentukan sumberdaya manusia baik dari segi pertumbuhan
fisik maupun kecerdasan, dimana hal ini harus didukung oleh status gizi yang
baik karena status gizi berperan dalam menentukan sukses tidaknya upaya
peningkatan sumberdaya manusia (Putri dkk, 2015).

Upaya dalam mendukung tumbuh kembang pada masa balita, peran


makanan dengan nilai gizi tinggi sangat penting seperti pada makanan
sumber energi-protein, vitamin (B kompleks, C, dan A), serta mineral (Ca,
Fe, Yodium, Fosfor, dan Zn). Ketidakcukupan zat gizi mengakibatkan
penurunan status gizi sehingga anak menjadi kurang gizi. Hal tersebut
mempengaruhi gangguan pertumbuhan fisik, kualitas kecerdasan, dan
perkembangan di masa depan. Peran zat gizi dalam pembangunan kualitas
sumber daya manusia telah dibuktikan melalui berbagai penelitian. Pada
masa balita, zat gizi yang bersumber dari bahan makanan perlu diberikan
secara tepat dengan kualitas terbaik karena gangguan zat gizi pada masa ini
dapat mempengaruhi kualitas kehidupan masa selanjutnya (Hardinsyah dan
Supariasa, 2014).

World Health Organization (WHO) (2002) mengelompokkan usia anak


dibawah lima tahun (balita) menjadi tiga golongan, yaitu golongan bayi (0-1
tahun), usia bawah tiga tahun (batita) (2-3 tahun), dan golongan pra- sekolah
(4-5 tahun). Usia batita dan pra-sekolah merupakan usia yang
pertumbuhannnya tidak sepesat masa bayi, tetapi aktivitas pada masa ini lebih
tinggi dibandingkan masa bayi (Hardinsyah dan Supariasa, 2014).

Kebutuhan zat gizi makro dan mikro per kilogram berat badan bayi
lebih tinggi dibandingkan usia lain. Hal tersebut dibutuhkan untuk
mempercepat pembelahan sel dan sintesis DNA selama masa petumbuhan,
terutama energi dan protein. Bayi usia 0-6 bulan dapat memenuhi kebutuhan
gizinya hanya dengan ASI, yaitu 6-8 kali sehari atau lebih pada masa-masa
awal, sedangkan bayi > 6 bulan dapat mulai dikenalkan pada makanan padat
sebagai MP-ASI untuk membantu memenuhi kebutuhan gizi (Hardinsyah dan
Supariasa, 2014).

2.6 Faktor-faktor yang mempengaruhi status gizi balita

Banyak faktor yang menyebabkan timbulnya masalah gizi. Gambar 2.1


menyajikan berbagai faktor penyebab kekurangan gizi yang diperkenalkan oleh
UNICEF dan telah disesuaikan dengan kondisi Indonesia (Bappenas, 2011).

2.6.1 Pola Makan

Asupan zat gizi anak yang rendah, dapat disebabkan oleh


berbagai faktor yaitu karena sakit, akses terhadap makanan yang kurang
dan pola asuh yang tidak tepat (Kemenkes RI dan WHO).

Pola asuh yang tidak tepat salah satunya disebabkan oleh


kurangnya pengetahuan orang tua atau pengasuh. Pada umumnya
masyarakat memberikan makanan pada anak umur 6-24 bulan berupa
makanan yang rendah lemak, sehingga nilai energi anak menjadi
rendah. Padahal WHO menganjurkan pemberian makanan yang
mengandung lemak 30-45% dari total energi (Kemenkes RI dan WHO).

Nutrisi berperan penting dalam penyembuhan penyakit.


Kesalahan pengaturan diet dapat memperlambat penyembuhan
penyakit. Dengan nutrisi akan memberikan makanan-makanan tinggi
kalori, protein dan cukup vitamin-mineral untuk mencapai status gizi
optimal (Krisnansari, 2010).

2.4.2 Penyakit infeksi

Gizi buruk dan penyakit infeksi mempunyai hubungan yang


sangat erat dan membentuk suatu siklus. Asupan nutrisi yang buruk
menyebabkan status gizi yang buruk, yang menimbulkan manifestasi
berupa penurunan berat badan atau terhambatnya pertumbuhan pada
anak. Pada penelitian ini diperoleh hasil tidak ada hubungan status gizi
dengan riwayat penyakit balita (Istiono dkk, 2009).
Penyebab langsung timbulnya kurang gizi pada anak balita adalah
makanan yang tidak seimbang dan penyakit infeksi yang mungkin di
derita balita. Kedua penyebab tersebut saling berpengaruh. Dengan
demikian timbulnya kurang gizi tidak hanya kurang makanan tetapi
juga penyakit, terutama diare dan ISPA. Anak yang mendapat makanan
cukup baik tetapi sering diserang diare atau demam akhirnya dapat
menderita kurang gizi. Sebaliknya anak yang tidak memperoleh
makanan cukup dan seimbang, daya tahan tubuhnya (immunitas) dapat
melemah. Dalam keadaan demikian anak mudah diserang infeksi dan
kurang nafsu makan sehingga anak kekurangan makan, akhirnya berat
badan menurun. Dalam keadaan keduanya (makanan dan penyakit)
secara bersama-sama merupakan penyebab kurang gizi. Pada penelitian
ini menunjukkan hasil tidak memiliki riwayat diare 54,8 % dan
memiliki riwayat ISPA 62,4 %, dan seluruh balita sampel (100 %)
dengan gizi kurang mengalami ISPA dalam 14 hari terakhir (Wardani,
2012).

Penyakit infeksi yang menyerang anak menyebabkan gizi anak


menjadi buruk. Memburuknya keadaan gizi anak akibat penyakit
infeksi dapat menyebabkan turunnya nafsu makan, sehingga masukan
zat gizi berkurang namun disisi lain anak justru memerlukan zat gizi
yang lebih banyak. Penyakit infeksi sering disertai oleh diare dan
muntah yang menyebabkan penderita kehilangan cairan dan sejumlah
zat gizi seperti mineral dan sebagainya (Wardani, 2012).

2.4.3 Pengetahuan Ibu/Pengasuh.

Gizi buruk merupakan permasalahan kesehatan yang disebabkan


oleh penyebab langsung yaitu intake zat gizi dari makanan yang kurang
dan adanya penyakit infeksi. Penyebab langsung dipengaruhi oleh tiga
faktor yaitu ketersediaan pangan keluarga yang rendah, perilaku
kesehatan termasuk pola asuh ibu dan anak yang tidak benar, serta
pelayanan kesehatan rendah dan lingkungan yang tidak sehat (Istiono
dkk, 2009).

Tingkat pengetahuan seseorang berpengaruh terhadap sikap dan


perilaku dalam pemilihan makanan yang pada akhirnya akan
berpengaruh pada keadaan gizi individu yang bersangkutan.
Pengetahuan ibu merupakan salah satu faktor yang berpengaruh
terhadap gizi balita serta paling mudah diintervensi dan diukur.
Intervensi yang dilakukan dapat berupa penyuluhan untuk
meningkatkan pengetahuan ibu mengenai gizi balita terutama mengenai
tanda-tanda sakit pada anak, jadwal pemberian makanan pada balita,
macam makanan bergizi, jenis makanan yang seimbang dan manfaat
makanan pada balita. Pada penelitian ini diperoleh hubungan yang tidak
bermakna antara pengetahuan ibu dengan status gizi balita (Istiono dkk,
2012).

Status gizi balita dapat dipengangaruhi oleh beberapa faktor,


diantaranya yaitu kurangnya wawasan dan pengetahuan ibu tentang
gizi. Rendahnya tingkat pendidikan ibu juga memberikan andil yang
besar terhadap kasus gizi buruk balita yang masih sering dijumpai pada
masyarakat. Pengetahuan dan pemahaman ibu yang terbatas akan
mempengaruhi pola pemenuhan gizi balita. Ibu tidak paham pentingnya
gizi bagi pertumbuhan dan perkembangan balita, sehingga penerapan
pola konsumsi makan belum sehat dan seimbang (Indasah, 2010).

2.4.4 Ketersediaan Pangan

Masalah gizi sangat terkait dengan ketersediaan dan aksesibilitas


pangan penduduk. Berdasarkan data BPS, pada tahun 2009 jumlah
penduduk sangat rawan pangan (asupan kalori <1.400 Kkal/orang/hari)
mencapai 14,47 persen, meningkat dibandingkan dengan kondisi tahun
2008, yaitu 11,07 persen. Rendahnya aksesibilitas pangan (kemampuan
rumah tangga untuk selalu memenuhi kebutuhan pangan anggotanya)
mengancam penurunan konsumsi makanan yang beragam, bergizi-
seimbang, dan aman di tingkat rumah tangga. Pada akhirnya akan
berdampak pada semakin beratnya masalah kurang gizi masyarakat,
terutama pada kelompok rentan yaitu ibu, bayi dan anak (Bappenas,
2011).

Data riset kesehatan dasar (Riskesdas) yang dilakukan pada


tahun 2007 dan 2010 secara konsisten menunjukkan bahwa rata-rata
asupan kalori dan protein anak balita masih di bawah Angka
Kecukupan Gizi (AKG). Akibat dari keadaan tersebut, anak balita
perempuan dan anak balita laki-laki Indonesia mempunyai rata-rata
tinggi badan masing-masing 6,7 cm dan 7,3 cm lebih pendek daripada
standar rujukan WHO 2005, bahkan pada kelompok usia 19 tahun
kondisi ini lebih buruk karena anak perempuan pada kelompok ini
tingginya 13,6 cm di bawah standar dan anak laki-laki 10,4 cm di
bawah standar WHO (Bappenas, 2011).
Ketersediaan pangan bukan penyebab utama gizi kurang di
Indonesia, meskipun kurangnya akses ke pangan karena kemiskinan
merupakan salah satu penyebab. Bahkan anak-anak dari dua kuintil
kekayaan tertinggi menunjukkan anak pendek dari menengah sampai
tinggi, sehingga penyediaan pangan saja bukan merupakan solusi
(Unicef, 2012).

Provinsi yang dikenal berpendapatan daerah tergolong tinggi,


seperti Riau, DKI Jakarta dan Kalimantan Timur, ternyata memiliki
prevalensi gizi buruk di atas nasional pada RISKESDAS 2007.
Berdasarkan data SUSENAS tahun 2009, ternyata penduduk sangat
rawan pangan di Kaltim cukup tinggi (30,09%), sedangkan di Riau dan
DKI Jakarta masing-masing 14,15% dan 14,63%, angka nasional adalah
14,47 %. Pada tahun 2010, Provinsi Riau tetap berada di antara provinsi
dengan prevalensi gizi buruk di atas nasional, meskipun sudah terjadi
penurunan sebanyak 3%. Hal ini membuktikan bahwa gizi buruk bukan
hanya disebabkan oleh faktor kemiskinan (Arnelia, 2009).

2.4.5 Kesehatan Lingkungan

Tingginya masalah gizi dan penyakit terkait gizi saat ini


berkaitan dengan faktor sosial dan budaya, antara lain kesadaran
individu dan keluarga untuk berperilaku hidup bersih dan sehat,
termasuk sadar gizi ( Bappenas, 2011).

Riskesdas 2010, sebagian besar rumah tangga di Indonesia


masih menggunakan air yang tidak bersih (45%) dan sarana
pembuangan kotoran yang tidak aman (49%). Minimal satu dari setiap
empat rumah tangga dalam dua kuintil termiskin masih melakukan
buang air besar di tempat terbuka. Perilaku tersebut berhubungan
dengan penyakit diare, yang selanjutnya berkontribusi terhadap gizi
kurang. Pada tahun 2007, diare merupakan penyebab dari 31%
kematian pada anak-anak di Indonesia antara usia 1 sampai 11 bulan,
dan 25% kematian pada anak-anak antara usia satu sampai empat tahun
(Unicef, 2012).

2.5 MP-ASI Biskuit ( Pabrikan)

MP-ASI adalah makanan atau minuman yang mengandung zat gizi,


diberikan kepada bayi atau anak usia 6-24 bulan guna memenuhi kebutuhan
gizi selain dari ASI. MP-ASI berupa makanan padat atau cair yang diberikan
secara bertahap sesuai dengan usia dan kemampuan pencernaan bayi atau
anak (Kemenkes RI, 2014). MP-ASI terdiri dari dua macam yaitu: MP-ASI
dari bahan makanan lokal yang dibuat sendiri dan MP-ASI pabrikan yang
difortifikasi dalam bentuk bungkusan, kaleng atau botol (Kemenkes RI,
2014).

Tindak lanjut pemulihan status gizi diberikan kepada anak BGM dan 2T
yang tidak perlu dirawat, anak gizi buruk pasca perawatan dan yang tidak
mau dirawat, dengan ketentuan anak 2T dan atau BGM tanpa perawatan,
diberi MP-ASI/PMT sesuai umur selama 90 hari, bubur diberikan kepada
bayi usia 6-11 bulan, MP-ASI biskuit untuk umur 12-24 bulan, anak umur
25-59 bulan diberikan PMT. Pemberian MP-ASI/PMT bertujuan agar anak
tidak jatuh pada kondisi gizi buruk (Krisnansari, 2010).

Prinsip yang sangat penting dalam memberikan makanan tambahan


untuk rehabilitasi anak dengan gangguan gizi kurang adalah memberikan
makanan dengan konsep kepadatan energi yang tinggi tetapi memiliki volume
atau porsi yang kecil (Kemenkes RI dan WHO). Untuk menangani gangguan
gizi akut agar tidak mengarah menjadi kronis maka pemberian MP-ASI
biskuit diberikan pada balita kurus & sangat kurus.
DAFTAR PUSTAKA

Adani, Virnanda , Dina Rahayuning, dan M.Zen Rahfiludin. 2016. Hubungan Asupan
Makanan (Karbohidrat, Protein dan Lemak) dengan Status Gizi Bayi dan Balita
(Studi pada Taman Penitipan Anak Lusendra Kota Semarang. Jurnal Kesehatan
Masyarakat. Kota Semarang: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas
Diponegoro.

Almatsier, Sunita. 2002. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Almatsier, Sunita. 2004. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Andarina, D dan Sumarmi, S. 2006. Hubungan Konsumsi Protein Hewani dan Zat Besi
dengan Kadar Hemoglobin. Jurnal Kesehatan Masyarakat. Kota Surabaya :
Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Airlangga.

Asmawati, Luluk. 2018. Pengelolaan Kegiatan Pengembangan Anak Usia Dini.

Jakarta : Universitas Terbuka.


Astadi, Ni Gusti Ayu. 2015. Tingkat Konsumsi Energi Protein dan Status Gizi
Vegetarian di Asrama Sri Radha Gopisvara Madhava Banyuning Singaraja Bali.
(Skripsi). Yogyakarta. Program Studi Pendidikan Teknik Boga, Fakultas Teknik
Universitas Negeri Yogyakarta.

Adriani M, Kartika V. 2013. Pola Asuh Makan pada Balita dengan Status Gizi Kurang
di Jawa Timur, Jawa Tengah dan Kalimantan Tengah, Tahun 2011. Buletin
Penelitian Sistem Kesehatan – Vol. 16 No. 2 April 2013:185–193.

Allen S, Lagunju I. 2007. The management of severe malnutrition: taking a broader


view. Archives of Disease in Chilhood. 2007 mar, 92(3):191-192.

Arnelia. 2009. Kajian Penanganan Anak Gizi Buruk dan Prospeknya.Berita Kedokteran
Masyarakat, Volume 25, No. 3, September 2009 : 150-155.
As’ad N.A., Dachlan M.D., Salam A. 2014. Studi Pelaksanaan Program MP-ASI di
Puskesmas Jongaya Kecamatan Tamalate.http://respiratory
unhas.ac.id/handle/123456789/10566, 2004-08-19.

Badan Pusat Statistik. 2011. Penduduk Indonesia (Hasil survey penduduk antar sensus
2010). Jakarta: Badan Pusat Statistik.

Dana, Adi Yoga, Dina R, Laksmi W. 2016. Perbedaan Tingkat Kecukupan Energi,
Protein, dan Status Gizi Balita yang Diasuh Sendiri dengan Balita yang
Dititipkan Di Taman Penitipan Anak Di Kecamatan Ngaliyan Kota Semarang.
Jurnal Kesehatan Masyarakat. Kota Semarang: Fakultas Kesehatan Masyarakat
Universitas Diponegoro.
Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah. 2013. Profil Kesehatan Propinsi Jawa
Tengah. Semarang.

Dinas Kesehatan Kabupaten Batang. 2016. Data Puskesmas Limpung Tahun 2016.
Batang.

Edvina. 2015. Pengaruh Pemberian Makanan Tambahan pada Balita Gizi Kurang Usia 6-48
Bulan Terhadap Status Gizi di Wilayah Puskesmas Sei Tatas Kabupaten Kapuas.
Jurnal Publikasi Kesehatan Masyarakat Indonesia, Vol. 2 No 3, Desember 2015.

Eliasa, Eva Imania. Karakter Sebagai Saripati Tumbuh Kembang Anak Usia Dini.

Yogyakarta: Intimedia.

Eveline dan Nanang D. 2010. Panduan Pintar Merawat Bayi dan Balita. Jakarta: Wahyu
Media.

Fitriyanti F. 2012. Pengaruh Pemberian Makanan Tambahan pemulihan (PMT-P) terhadap


Status Gizi Balita Gizi Buruk di Dinas Kesehatan Kota Semarang tahun
2012.Journal of Nutrition College, Vol 1 No 1 (2012): 99-110.

Ginting M.H, Rosidi A, Ulvie Y.N.S.2015. Perbedaan Tingkat Kecukupan Karbohidrat dan
Status Gizi (BB/TB) dengan Kejadian Bronkopneumonia Pada Balita Usia 1-5 Tahun
di Puskesmas Purwoyoso Semarang. Jurnal Gizi Universitas Muhammadiyah
Semarang Vol.4, No.2 (2015):16-21.

Gibson RS. 2005. Principles of Nutritional Assesment. Journal. New York: Oxford
University Press.

Hardinsyah, Supariasa I.D.N. 2014. Ilmu Gizi Teori & Aplikasi.EGC. Jakarta.

Hikmah, Siti. 2014. Optimalisasi Perkembangan Anak Dalam Day Care. Jurnal.Semarang:
IAIN Walisongo.

Indasah. 2010. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kejadian Gizi Buruk serta Upaya
Penanganannya dengan Pendampingan Pola Asuh dan Pemberian PMT di
Kotamadya Kediri.http://publikasi.stikesstrada.ac.id/wp-content/uploads/2016/04.

Indonesia, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Kementerian Kesehatan RI.


2013. Pokok-pokok hasil riskesdas Indonesia 2013. Jakarta: Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan, Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.

Indonesia, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Kementerian Kesehatan RI.


2014. Studi Diet Total: Survei Konsumsi Makanan Individu 2014. Jakarta:
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Kementerian Kesehatan
Republik Indonesia.

Indonesia, Kementerian Kesehatan RI. Peraturan Menteri Kesehatan nomor 75. 2013.
Angka kecukupan gizi yang dianjurkan bagi bangsa Indonesia. Jakarta:
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.
Istiono W, Suryadi H, Haris M, Irnizarifka, Tahitoe AD, Hasdianda MA, Fitria T, Sidabutar
R. 2009. Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Status Gizi Balita. Berita
Kedokteran Masyarakat Vol. 25, No. 3, halaman 150 – 155, September 2009.

Izwardi D. 2016. Tahun 2015, Pemantaun Status Gizi Dilakukan di Seluruh Kabupaten/Kota
di Indonesia. Jakarta.

Krisnansari D. 2010. Nutrisi dan Gizi Buruk. Mandala of Health. Volume 4, Nomor 1,
Januari 2010.
Kementrian Kesehatan RI. 2017. Data dan Informasi, Profil Kesehatan Indonesia
2016.Kemenkes RI. Jakarta.

Kementrian Kesehatan RI. 2014. Pedoman Gizi Seimbang (Pedoman Teknis Bagi Petugas
dalam Memberikan Penyuluhan Gizi Seimbang). Kemenkes RI. Jakarta.

Kementrian Kesehatan RI. 2013. Bagan Tata Laksana Anak Gizi Buruk.Buku I.Kemenkes
RI. Jakarta.

Kementrian Kesehatan RI Direktorat Jenderal Bina Gizi dan Kesehatan Ibu dan Anak. 2012.
Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor :1995/Menkes/SK/XII/2010 tentang Standar
Antropometri Penilaian Status Gizi Anak. Kemenkes RI. Jakarta.

Kementrian Kesehatan RI dan WHO. Buku Saku Asuhan Gizi di Puskesmas Pedoman
Pelayanan Gizi bagi Petugas Kesehatan.Kemenkes RI. Jakarta.

Kementrian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan


Nasional ( BAPPENAS ). 2011. Rencana Aksi Pangan Nasional dan Gizi 2011-
2015.Jakarta.

Khasanah, Nur. 2011. Asuhan Kebidanan Ibu nifas. Yogyakarta: Flasbook. Kusumawati,
Desi. 2017. Manajemen Sarana Prasarana Di Day Care Baby’s Home
Salatiga.
Lestari N.B, Sartono A, Handarsari E. 2016. Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan
Kejadian Balita BGM di desa Karang pasar Wilayah Kerja Puskesmas Tegowanu.
Jurnal Gizi Universitas Muhammadiyah Semarang Vol.5 No.1 (2016):1-7.

Malinton, Sherly. 2013.. Studi Tentang Pelayanan Anak Di Taman Penitipan Anak
Puspa Wijaya I Tenggarong. Jurnal Sosiatri-Sosiologi. Kota Samarinda: Fakultas
Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Mulawarman

Manimpiring, dr. Aaltje E., 2008. Prevalensi Anemia dan Tingkat Kecukupan Zat Besi
pada Anak Sekolah Dasar di Desa Minaesa Kecamatan Wori Kabupaten
Minahasa Utara. (KTI). Universitas Sam Ratulangi, Manado.
Muaris, H. 2006. Sarapan Sehat untuk Anak Balita. Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Utama.

Muna, Nailil.2014. Motivasi Orangtua Menitipkan Anaknya Di Tempat Pengasuhan


Anak Sekar Nagari Universitas Negeri Semarang. (Skripsi). Semarang : Jurusan
Pendidikan Luar Sekolah, Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri
Semarang.

Notoatmodjo S. 2007. Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku. Jakarta: Rineka Cipta.

Putri, Farida Nurul. 2016. Perbedaan Tingkat Konsumsi Protein, Vitamin C, dan Zat
Besi dan Zat Besi Pada Remaja Putri di Panti Asuhan Ikhlasul Amal 1 dan
Pondok Pesantren Al Anwar. (KTI). Semarang : Universitas Muhammadiyah
Semarang.
Picot J, Hartwell D, Harris P, Mendes D, Clegg AJ, and Takeda A. 2012. The effectiveness
of interventions to treat severe acute malnutrition in young children: a systematic
review.NIHR Health Technology Assessment programme: Executive Summaries.
Health Technol Assess 2012;16(19).

Putri R.F , Sulastri D , Lestari Y. 2015. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Status Gizi
Anak Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Nanggalo Padang.Padang. Jurnal
Kesehatan Andalas, 2015 : 4(1): 254-261.

Ramadhan M. 2011. Faktor-faktor yang mempengaruhi berat badan tidak naik (2T) pada
baduta setelah pemberian program MP-ASI Kemenkes di Kecamatan Pancoran
Jakarta Selatan

Razak A.A, Gunawan I.M.A, Budiningsari R.D. 2009. Pola asuh ibu sebagai faktor-faktor
risiko kejadian kurang energi protein (KEP) pada anak balita. Jurnal Gizi Klinik
Indonesia Vol.6, No.2, November 2009: 95-103.

Retnowati D.H, Syamsianah A, Handarsari E. 2015. Pengaruh Pemberian Makanan


Tambahan Pemulihan Terhadap Perubahan Berat Badan Balita Bawah Garis Merah
Kecacingan di Wilayah Puskesmas Klambu Kabupaten Grobogan. Jurnal Gizi
Universitas Muhammadiyah Semarang April 2015, Vol.4 No.1:30-36.
Soegeng, Santoso, 2004, Kesehatan Gizi, Jakarta: Rineka Cipta.

Soekirman. 2000. Ilmu Gizi dan Aplikasinya. Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi,
Departemen Pendidikan Nasional,

Soetjiningsih. 1999. Tumbuh Kembang Anak. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran, EGC.

Sudarningsih. 2015. Pola Asuh Anak Di Tempat Penitipan Anak (Studi Kasus Di Perusahaan
PT.TPP Kecamatan Lirik. (Skripsi). Riau : Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Riau.

Suhardjo, 1996, Pangan Gizi dan Pertanian, Jakarta: UI Press.

Sulistyoningsih H. 2011. Gizi Untuk Kesehatan Ibu dan Anak. Yogyakarta: Graha Ilmu.

Supariasa, IDN, B Bakri dan I Fajar. 2002. Penilaian Status Gizi. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran, EGC.

Supriatin, Atiq. 2004. Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pola Asuh Makan dan
Hubungannya Dengan Status Gizi Balita. (Skripsi). Bogor : Fakultas Pertanian, IPB.

Sutomo, B & Anggraini, D. Y., Makanan Sehat Pendamping ASI. Demedia. Jakarta.

Tristiyanti Wara Fitria. 2006. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Status Anemia Pada Ibu
Hamil Di Kecamatan Ciampea, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Skripsi. Bogor.
Institut Pertanian Bogor

Uripi, V. 2004. Menu Sehat Untuk Balita. Puspa Swara. Jakarta.

Wijaya, Devi Mayasari. 2009. Perbedaan Status Gizi Batita (1-3 Tahun)Yang Diasuh Ibu
Dengan Yang Diasuh Pembantu Rumah Tangga Di Posyandu KemalaKelurahan
Barusari Kecamatan Semarang Selatan Kota Semarang. (Skripsi). Semarang :
Jurusan Ilmu Kesehatan Masyarakat, Fakultas Ilmu Keolahragaan Universitas Negeri
Semarang.

Anda mungkin juga menyukai