TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Balita
Anak balita adalah anak yang telah menginjak usia di atas satu tahun atau lebih
popular dengan pengertian usia anak di bawah lima tahun (Muaris.H, 2006). Menurut
Sutomo. B. dan Anggraeni. DY (2010) Balita adalah istilah umum bagi anak usia 1-3 tahn
(batita) dan anak prasekolah (3-5 tahun). Saat usia batita, anak masih tergantung penuh
kepada orang tua untuk melakukan kegiatan penting, seperti mandi, buang air dan makan.
Perkembangan berbicara dan berjalan sudah bertambah baik namun kemampuan lain masih
terbatas.
Masa balita merupakan periode penting dalam proses tumbuh kembang manusia.
Perkembangan dan pertumbuhan di masa itu menjadi penentu keberhasilan pertumbuhan dan
perkembangan anak di periode selanjutnya. Masa tumbuh kembang di usia ini merupakan
masa yang berlangsung cepat dan tidak akan pernah terulang, karena itu sering disebut golden
age atau masa keemasan (Uripi, 2004)
Menurut karakteristik, balita terbagi dalam dua kategori yaitu anak usia 1-3 tahun
(batita) dan anak usia prasekolah (Uripi, 2004). Anak usia 1-3 tahun merupakan konsumen
pasif, artinya anak menerima makanan dari apa yang disediakan ibunya, namun perut yang
masih lebih kecil menyebabkan jumlah makanan yang mampu diterimanya dalam sekali
makan lebih kecil dari anak yang usianya lebih besar. Pola makan yang diberikan adalah
porsi kecil dengan frekuensi sering yaitu 8 kali. Pada usia pra sekolah anak menjadi
konsumen aktif. Mereka sudah dapat memilih makanan yang disukainya. Pada usia ini anak
mulai bergaul dengan lingkungannya atau bersekolah playgroup sehingga anak mengalami
beberapa perubahan dalam perilaku.
Pada masa ini anak akan mencapai fase gemar memprotes sehingga mereka akan
mengatakan “tidak” terhadap setiap ajakan. Pada masa ini berat badan anak cenderung
mengalami penurunan akibat dari aktivitas yang mulai banyak dan pemilihan maupun
penolakan terhadap makanan (Uripi, 2004). Dalam proses tumbuh kembang, anak memiliki
kebutuhan yang harus terpenuhi, kebutuhan tersebut yakni kebutuhan akan gizi (asuh),
kebutuhan emosi dan kasih sayang (asih) dan kebutuhan stimulasi dini (asah) menurut
PN.Evelin dan Djamaludin. N. (2010).
Protein Protein adalah bagian dari semua sel hidup dan merupakan bagian terbesar
dari sesudah air. Protein memiliki fungsi yang diperlukan tubuh diantaranya adalah
pertumbuhan dan pemeliharaan salah satu penghasil energi, merupakan bagian dari enzim
dan antibodi, mengangkut zat gizi dan mengatur keseimbangan air. (Sulistyoningsih, 2011).
Hemoglobin merupakan protein yang mengandung zat besi dari sel darah merah.
Bahan makanan sumber protein di bedakan menjadi protein hewani dan protein
nabati. Protein yang berasal dari hewani seperti daging sapi, ikan, ayam, hati, telur, dan susu.
Sedangkan protein nabati yang berasal dari tumbuh-tumbuhan seperti tempe, tahu, dan
kacang-kacangan. Asupan protein akan di gunakan untuk memenuhi kebutuhan
energi,sehingga mungkin protein tidak cukup tersedia untuk pembentukan jaringan baru atau
untuk memperbaiki jaringan yang rusak.Hal ini dapat menyebabkan pengurangan laju
pertumbuhan dan penurunan masa otot tubuh . Angka Kecukupan Gizi (AKG). AKG protein
pada balita usia 7-11 bulan yaitu 18 gram, usia 12-36 bulan 26 gram, dan usia 37-60 bulan 35
gram (Riskesdas, 2013).
Kekurangan konsumsi zat besi (Fe) dalam makanan sehari- hari dapat
menimbulkan kekurangan darah yang dikenal dengan anemia gizi besi karena terganggunya
pembentukan sel-sel darah merah sehingga konsentrasi hemoglobin dalam darah berkurang
yang pada akhirnya menyebabkan anemia. Kelebihan zat besi jarang terjadi karena
makanan, tetapi juga dapat disebabkanoleh suplemen besi, gejalanya seperti rasa muntah,
diare, denyut jantung meningkat, sakit kepala,mengigau dan pingsan (Almatsier, 2004).
Selain itu, kelebihan zat besi bisa dipakai oleh mikroorganisme untuk pertumbuhannya
(Manimpiring, 2008).
Sumber baik zat besi adalah makanan hewani seperti hati, daging, udang, dan ikan.
Sumber zat besi lainnya adalah telur, serealia tumbuk, kacang-kacangan, sayuran hijau, dan
beberapa jenis buah. Zat besi yang berasal dari hewani memiliki daya serap antara 7-22%
lebih tinggi di bandingkan zat besi yang berasal dari tumbuh- tumbuhan yang mempunyai
daya serap 1-6% (Wirakusumah, 1999). Angka kecukupan zat besi pada balita usia 7-11
bulan yaitu 7 mg, usia 12-36 tahun 8 mg, dan usia 37-60 bulan 9 mg (Riskesdas, 2013).
Cara pengukuran tingkat kecukupan zat gizi tingkat individu atau perorangan ada
lima yaitu :
1. Metode Perkiraan Makan (Estimated Food Record)
Metode yang di gunakan dalam penelitian ini untuk mengukur tingkat kecukupan zat
gizi tingkat individu yaitu melalui metode foodrecall 24 jam. Metode foodrecall 24 jam
di lakukan dengan mencatat jenis dan jumlah bahan makanan yang di konsumsi pada
periode 24 jam yang lalu. Metode foodrecall 24 jam ini sangat di tentukan oleh daya
ingat responden dan kesungguhan serta kesabaran dari penugas pengukuran (Supariasa,
2002). Foodrecall 24 jam bisa di lakukan dengan dua cara :
1. Dimulai sejak bangun pagi sampai istirahat tidur malam harinya.
2. Dimulai waktu saat wawancara mundur kebelakang 24 jam penuh (Supariasa, 2002).
Selain dari makanan utama,makanan selingan atau jajan,perlu juga di catat makanan
yang di makan di luar rumah. Untuk mendapatkan data kualitatif,jumlah konsumsi
makanan individu di tanyakan secara teliti dengan menggunakan alat ukuran rumah
tangga (URT) dan metode ini bisa di lakukan 3 kali foodrecall 24 jam tanpa berturut-
turut agar mendapatkan gambaran asupan gizi yang lebih optimal dan memberikan
variasi yang lebih besar tentang asupan harian individu (Supariasa, 2002).
Indikator status gizi berdasar indeks Berat Badan menurut Umur (BB/U)
memberikan indikasi masalah gizi secara umum. Indikator ini tidak memberikan masalah
gizi yang sifatnya kronis ataupun akut karena berat badan berkorelasi positif dengan umur
dan tinggi badan. Indikator BB/U yang rendah dapat disebabkan karena pendek (masalah
gizi kronis) atau sedang menderita diare atau penyakit infeksi lain ( masalah gizi akut )
(Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah, 2013).
Perlu diingat dalam menentukan gangguan gizi kurang dapat dilakukan dengan
berbagai indek antropometri dengan makna yang berbeda dalam memandang kejadian
kurang gizi yang terjadi:
Anak kurang gizi pada tingkat ringan dan atau sedang masih seperti anak-anak lain,
beraktivitas , bermain dan sebagainya, tetapi bila diamati dengan seksama badannya mulai
kurus dan staminanya mulai menurun. Pada fase lanjut (gizi buruk) akan rentan terhadap
infeksi, terjadi pengurusan otot, pembengkakan hati, dan berbagai gangguan yang lain
seperti peradangan kulit, infeksi, kelainan organ dan fungsinya (akibat atrophy / pengecilan
organ tersebut) (Indasah, 2010).
Klasifikasi status gizi berdasarkan keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor :
1995/Menkes/SK/XII/2010 tentang Standar Antropometri Penialian Status Gizi Anak
dengan memperhatikan berbagai macam indeks, berbagai kategori status gizi, dan
menggunakan ambang batas z-score.
Tabel 2.1 Kategori dan Ambang Batas Status Gizi Anak Berdasarkan Indeks
2.4 Status Gizi Balita Berat Badan Menurut Tinggi Badan (BB/TB)
Malnutrisi yaitu gizi buruk atau Kurang Energi Protein (KEP) dan
defisiensi mikronutrien merupakan masalah yang membutuhkan perhatian
khusus terutama di negara-negara berkembang, yang merupakan faktor resiko
penting terjadinya kesakitan dan kematian pada ibu hamil dan balita
(Krisnansari, 2010).
Usia balita (bawah lima tahun) sebagai generasi penerus bangsa yang
diharapkan menjadi sumberdaya manusia yang berkualitas di masa depan
memerlukan perhatian khusus. Usia di bawah lima tahun merupakan “usia
emas” dalam pembentukan sumberdaya manusia baik dari segi pertumbuhan
fisik maupun kecerdasan, dimana hal ini harus didukung oleh status gizi yang
baik karena status gizi berperan dalam menentukan sukses tidaknya upaya
peningkatan sumberdaya manusia (Putri dkk, 2015).
Kebutuhan zat gizi makro dan mikro per kilogram berat badan bayi
lebih tinggi dibandingkan usia lain. Hal tersebut dibutuhkan untuk
mempercepat pembelahan sel dan sintesis DNA selama masa petumbuhan,
terutama energi dan protein. Bayi usia 0-6 bulan dapat memenuhi kebutuhan
gizinya hanya dengan ASI, yaitu 6-8 kali sehari atau lebih pada masa-masa
awal, sedangkan bayi > 6 bulan dapat mulai dikenalkan pada makanan padat
sebagai MP-ASI untuk membantu memenuhi kebutuhan gizi (Hardinsyah dan
Supariasa, 2014).
Tindak lanjut pemulihan status gizi diberikan kepada anak BGM dan 2T
yang tidak perlu dirawat, anak gizi buruk pasca perawatan dan yang tidak
mau dirawat, dengan ketentuan anak 2T dan atau BGM tanpa perawatan,
diberi MP-ASI/PMT sesuai umur selama 90 hari, bubur diberikan kepada
bayi usia 6-11 bulan, MP-ASI biskuit untuk umur 12-24 bulan, anak umur
25-59 bulan diberikan PMT. Pemberian MP-ASI/PMT bertujuan agar anak
tidak jatuh pada kondisi gizi buruk (Krisnansari, 2010).
Adani, Virnanda , Dina Rahayuning, dan M.Zen Rahfiludin. 2016. Hubungan Asupan
Makanan (Karbohidrat, Protein dan Lemak) dengan Status Gizi Bayi dan Balita
(Studi pada Taman Penitipan Anak Lusendra Kota Semarang. Jurnal Kesehatan
Masyarakat. Kota Semarang: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas
Diponegoro.
Almatsier, Sunita. 2002. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Almatsier, Sunita. 2004. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Andarina, D dan Sumarmi, S. 2006. Hubungan Konsumsi Protein Hewani dan Zat Besi
dengan Kadar Hemoglobin. Jurnal Kesehatan Masyarakat. Kota Surabaya :
Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Airlangga.
Adriani M, Kartika V. 2013. Pola Asuh Makan pada Balita dengan Status Gizi Kurang
di Jawa Timur, Jawa Tengah dan Kalimantan Tengah, Tahun 2011. Buletin
Penelitian Sistem Kesehatan – Vol. 16 No. 2 April 2013:185–193.
Arnelia. 2009. Kajian Penanganan Anak Gizi Buruk dan Prospeknya.Berita Kedokteran
Masyarakat, Volume 25, No. 3, September 2009 : 150-155.
As’ad N.A., Dachlan M.D., Salam A. 2014. Studi Pelaksanaan Program MP-ASI di
Puskesmas Jongaya Kecamatan Tamalate.http://respiratory
unhas.ac.id/handle/123456789/10566, 2004-08-19.
Badan Pusat Statistik. 2011. Penduduk Indonesia (Hasil survey penduduk antar sensus
2010). Jakarta: Badan Pusat Statistik.
Dana, Adi Yoga, Dina R, Laksmi W. 2016. Perbedaan Tingkat Kecukupan Energi,
Protein, dan Status Gizi Balita yang Diasuh Sendiri dengan Balita yang
Dititipkan Di Taman Penitipan Anak Di Kecamatan Ngaliyan Kota Semarang.
Jurnal Kesehatan Masyarakat. Kota Semarang: Fakultas Kesehatan Masyarakat
Universitas Diponegoro.
Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah. 2013. Profil Kesehatan Propinsi Jawa
Tengah. Semarang.
Dinas Kesehatan Kabupaten Batang. 2016. Data Puskesmas Limpung Tahun 2016.
Batang.
Edvina. 2015. Pengaruh Pemberian Makanan Tambahan pada Balita Gizi Kurang Usia 6-48
Bulan Terhadap Status Gizi di Wilayah Puskesmas Sei Tatas Kabupaten Kapuas.
Jurnal Publikasi Kesehatan Masyarakat Indonesia, Vol. 2 No 3, Desember 2015.
Eliasa, Eva Imania. Karakter Sebagai Saripati Tumbuh Kembang Anak Usia Dini.
Yogyakarta: Intimedia.
Eveline dan Nanang D. 2010. Panduan Pintar Merawat Bayi dan Balita. Jakarta: Wahyu
Media.
Ginting M.H, Rosidi A, Ulvie Y.N.S.2015. Perbedaan Tingkat Kecukupan Karbohidrat dan
Status Gizi (BB/TB) dengan Kejadian Bronkopneumonia Pada Balita Usia 1-5 Tahun
di Puskesmas Purwoyoso Semarang. Jurnal Gizi Universitas Muhammadiyah
Semarang Vol.4, No.2 (2015):16-21.
Gibson RS. 2005. Principles of Nutritional Assesment. Journal. New York: Oxford
University Press.
Hardinsyah, Supariasa I.D.N. 2014. Ilmu Gizi Teori & Aplikasi.EGC. Jakarta.
Hikmah, Siti. 2014. Optimalisasi Perkembangan Anak Dalam Day Care. Jurnal.Semarang:
IAIN Walisongo.
Indasah. 2010. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kejadian Gizi Buruk serta Upaya
Penanganannya dengan Pendampingan Pola Asuh dan Pemberian PMT di
Kotamadya Kediri.http://publikasi.stikesstrada.ac.id/wp-content/uploads/2016/04.
Indonesia, Kementerian Kesehatan RI. Peraturan Menteri Kesehatan nomor 75. 2013.
Angka kecukupan gizi yang dianjurkan bagi bangsa Indonesia. Jakarta:
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.
Istiono W, Suryadi H, Haris M, Irnizarifka, Tahitoe AD, Hasdianda MA, Fitria T, Sidabutar
R. 2009. Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Status Gizi Balita. Berita
Kedokteran Masyarakat Vol. 25, No. 3, halaman 150 – 155, September 2009.
Izwardi D. 2016. Tahun 2015, Pemantaun Status Gizi Dilakukan di Seluruh Kabupaten/Kota
di Indonesia. Jakarta.
Krisnansari D. 2010. Nutrisi dan Gizi Buruk. Mandala of Health. Volume 4, Nomor 1,
Januari 2010.
Kementrian Kesehatan RI. 2017. Data dan Informasi, Profil Kesehatan Indonesia
2016.Kemenkes RI. Jakarta.
Kementrian Kesehatan RI. 2014. Pedoman Gizi Seimbang (Pedoman Teknis Bagi Petugas
dalam Memberikan Penyuluhan Gizi Seimbang). Kemenkes RI. Jakarta.
Kementrian Kesehatan RI. 2013. Bagan Tata Laksana Anak Gizi Buruk.Buku I.Kemenkes
RI. Jakarta.
Kementrian Kesehatan RI Direktorat Jenderal Bina Gizi dan Kesehatan Ibu dan Anak. 2012.
Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor :1995/Menkes/SK/XII/2010 tentang Standar
Antropometri Penilaian Status Gizi Anak. Kemenkes RI. Jakarta.
Kementrian Kesehatan RI dan WHO. Buku Saku Asuhan Gizi di Puskesmas Pedoman
Pelayanan Gizi bagi Petugas Kesehatan.Kemenkes RI. Jakarta.
Khasanah, Nur. 2011. Asuhan Kebidanan Ibu nifas. Yogyakarta: Flasbook. Kusumawati,
Desi. 2017. Manajemen Sarana Prasarana Di Day Care Baby’s Home
Salatiga.
Lestari N.B, Sartono A, Handarsari E. 2016. Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan
Kejadian Balita BGM di desa Karang pasar Wilayah Kerja Puskesmas Tegowanu.
Jurnal Gizi Universitas Muhammadiyah Semarang Vol.5 No.1 (2016):1-7.
Malinton, Sherly. 2013.. Studi Tentang Pelayanan Anak Di Taman Penitipan Anak
Puspa Wijaya I Tenggarong. Jurnal Sosiatri-Sosiologi. Kota Samarinda: Fakultas
Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Mulawarman
Manimpiring, dr. Aaltje E., 2008. Prevalensi Anemia dan Tingkat Kecukupan Zat Besi
pada Anak Sekolah Dasar di Desa Minaesa Kecamatan Wori Kabupaten
Minahasa Utara. (KTI). Universitas Sam Ratulangi, Manado.
Muaris, H. 2006. Sarapan Sehat untuk Anak Balita. Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Utama.
Notoatmodjo S. 2007. Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku. Jakarta: Rineka Cipta.
Putri, Farida Nurul. 2016. Perbedaan Tingkat Konsumsi Protein, Vitamin C, dan Zat
Besi dan Zat Besi Pada Remaja Putri di Panti Asuhan Ikhlasul Amal 1 dan
Pondok Pesantren Al Anwar. (KTI). Semarang : Universitas Muhammadiyah
Semarang.
Picot J, Hartwell D, Harris P, Mendes D, Clegg AJ, and Takeda A. 2012. The effectiveness
of interventions to treat severe acute malnutrition in young children: a systematic
review.NIHR Health Technology Assessment programme: Executive Summaries.
Health Technol Assess 2012;16(19).
Putri R.F , Sulastri D , Lestari Y. 2015. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Status Gizi
Anak Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Nanggalo Padang.Padang. Jurnal
Kesehatan Andalas, 2015 : 4(1): 254-261.
Ramadhan M. 2011. Faktor-faktor yang mempengaruhi berat badan tidak naik (2T) pada
baduta setelah pemberian program MP-ASI Kemenkes di Kecamatan Pancoran
Jakarta Selatan
Razak A.A, Gunawan I.M.A, Budiningsari R.D. 2009. Pola asuh ibu sebagai faktor-faktor
risiko kejadian kurang energi protein (KEP) pada anak balita. Jurnal Gizi Klinik
Indonesia Vol.6, No.2, November 2009: 95-103.
Soekirman. 2000. Ilmu Gizi dan Aplikasinya. Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi,
Departemen Pendidikan Nasional,
Soetjiningsih. 1999. Tumbuh Kembang Anak. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran, EGC.
Sudarningsih. 2015. Pola Asuh Anak Di Tempat Penitipan Anak (Studi Kasus Di Perusahaan
PT.TPP Kecamatan Lirik. (Skripsi). Riau : Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Riau.
Sulistyoningsih H. 2011. Gizi Untuk Kesehatan Ibu dan Anak. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Supariasa, IDN, B Bakri dan I Fajar. 2002. Penilaian Status Gizi. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran, EGC.
Supriatin, Atiq. 2004. Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pola Asuh Makan dan
Hubungannya Dengan Status Gizi Balita. (Skripsi). Bogor : Fakultas Pertanian, IPB.
Sutomo, B & Anggraini, D. Y., Makanan Sehat Pendamping ASI. Demedia. Jakarta.
Tristiyanti Wara Fitria. 2006. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Status Anemia Pada Ibu
Hamil Di Kecamatan Ciampea, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Skripsi. Bogor.
Institut Pertanian Bogor
Wijaya, Devi Mayasari. 2009. Perbedaan Status Gizi Batita (1-3 Tahun)Yang Diasuh Ibu
Dengan Yang Diasuh Pembantu Rumah Tangga Di Posyandu KemalaKelurahan
Barusari Kecamatan Semarang Selatan Kota Semarang. (Skripsi). Semarang :
Jurusan Ilmu Kesehatan Masyarakat, Fakultas Ilmu Keolahragaan Universitas Negeri
Semarang.