Anda di halaman 1dari 20

8 Meditasi tentang Manusia

8 Meditasi
tentang

Manusia

Jadi S. Lima

Penerbit Momentum
8 Meditasi tentang Manusia
Oleh: Jadi S. Lima
Pengoreksi: Jessy Siswanto
Tata Letak: Djeffry Imam
Desain Sampul: Patrick Serudjo
Penyelia Akhir: Djeffry Imam
Hak cipta © 2019 pada Jadi S. Lima
Diterbitkan oleh Penerbit Momentum (Momentum Christian Literature)
Andhika Plaza C/5-7, Jl. Simpang Dukuh 38-40, Surabaya 60275, Indonesia.
Telp.: +62-31-5323444; Faks.: +62-31-5459275
e-mail: momentum-cl@indo.net.id
website: www.momentum.or.id

Perpustakaan: Katalog dalam Terbitan (KDT)

Lima, Jadi S.,


8 meditasi tentang manusia / Jadi S. Lima; Surabaya: Momentum,
Cetakan 2020.
viii + 158 hlm.; 21 cm
ISBN 978-602-393-117-0
1. Pengenalan Diri 2. Injil dan Wawasan Dunia 3. Kehidupan Kristen
2020 248.4

Terbit pertama: Juli 2020


Hak cipta dilindungi oleh Undang-Undang. Dilarang mengutip, menerbitkan kembali atau memper-
banyak sebagian atau seluruh isi buku ini dalam bentuk apa pun dan dengan cara apa pun untuk tujuan
komersial tanpa izin tertulis dari penerbit, kecuali kutipan untuk keperluan akademis, resensi, publikasi
atau kebutuhan nonkomersial dengan jumlah tidak sampai satu bab.
Daftar Isi

Prakata vii

1. Menjadi Manusia 1
A. Martabat Manusia 1
B. Imago Dei 6

2. Mengasihi TUHAN 15
A. Hukum Pertama: Perintah 15
B. Hukum Pertama: Larangan Menyembah Berhala 19

3. Mengasihi Sesama 25
A. Pernikahan dan Kovenan 26
B. Tiga Metafora Pernikahan 33
C. Anak-Anak 45
D. Mendidik Anak-Anak Kovenan 51
E. Gereja dan Generasi Baru 63

4. Iman 71
A. Orang Beriman Berani untuk Transparan 71
B. Orang Beriman Tidak Mencari Pembenaran Diri 78
C. Kehidupan Kristen sebagai Drama Pertobatan 84
D. Orang Beriman Adalah Orang yang Merdeka 88
8 MEDITASI TENTANG MANUSIA

5. Kekuasaan 109
A. Konflik dan Kekuasaan: Antara Memberi dan Diberi 109
B. Hukum, Keadilan, dan Kekuasaan 116
C. Epilog 117

6. Injil dan Waktu: Ingatan, Kesadaran, dan Pengharapan 121


A. Kelampauan dan Ingatan 121
B. Kekinian dan Kesadaran 124
C. Masa Depan dan Pengharapan 127

7. Injil, Kebenaran, dan Kemanusiaan 131


A. Wawasan Dunia dan Batasan Manusia 131
B. Injil Kerajaan: Api yang Memurnikan Dunia 138
C. Media Sosial: Persekutuan, Persekongkolan,
dan Kebenaran 141

8. Bagaimana Memahami Panggilan Tuhan? 149

vi
Prakata

Majalah National Geographic menyebut abad ke-21 sebagai


“babak manusia” (Anthropocene epoch) di mana manusia de-
ngan segala aktivitasnya telah secara radikal mengubah kehi-
dupan di seluruh muka bumi.1 Hal ini tidaklah mengheran-
kan bagi umat TUHAN. Kisah penciptaan di dalam Taurat,
ekspresi-ekspresi kesalehan di dalam Mazmur, dan nubuat-
nubuat para nabi di dalam Alkitab meletakkan manusia pada
pusat tanggung jawab akan apa yang terjadi di bumi.
Mengapakah bumi dikutuk, hewan-hewan dan tanam-
tanaman menderita, dan segala keberadaan (eksistensi) diwar-
nai dengan penderitaan dan rasa frustrasi? Menurut wawasan
dunia Alkitab, hal ini disebabkan oleh dosa manusia. Manusia
telah membangkang melawan Penciptanya dan menjerumus-
kan segenap ciptaan ke dalam penderitaan dan kesia-siaan.
Akibat dosa manusia kehidupan ini seluruhnya berisi pende-
ritaan yang menakutkan—tetapi Allah Pencipta tidak tinggal
diam. Menurut umat Ibrani, dan kemudian juga umat Kristen
yang terdiri atas segala bangsa, Allah Pencipta itu turut ber-
duka dan menderita bersama segenap ciptaan itu—dan pada
waktu yang telah Ia sendiri tetapkan, Allah menunjukkan

1
National Geographic Society, “Anthropocene,” National Geographic Society, 7
Juni 2019, http://www.nationalgeographic.org/encyclopedia/anthropocene/.
8 MEDITASI TENTANG MANUSIA

keadilan dan belas kasihan-Nya pada segenap ciptaan de-


ngan memberikan solusi bagi masalah dosa ini. Solusi itu
adalah kembalinya pemerintahan Allah di bumi, melalui Anak
Tunggal-Nya, yakni Yesus dari Nazaret. Pemerintahan Allah
telah kembali ke dalam dunia. Fajar telah menyingsing. Peng-
harapan bagi segala makhluk ciptaan Allah telah terbit—
walaupun kepenuhannya masih dinantikan. Kata Paulus di
dalam Roma 8:18-21, kepada kitalah segala makhluk menga-
rahkan mata dan pengharapannya. Ketika kelak Tuhan mem-
berikan kepada kita tubuh yang baru yang tak dapat binasa,
segala makhluk juga akan turut bersukacita di dalam kemer-
dekaan mereka dari segala kesia-siaan dan kebinasaan. Kira-
nya buku kecil tentang hal menjadi manusia ini dapat dipa-
kai Tuhan untuk menyingkapkan kepada kita apa yang telah
Kristus lakukan untuk menolong kita menjadi manusia yang
seutuhnya di dalam segala kemuliaan-Nya. Selamat Natal!

Jakarta, 25 Desember 2019


Jadi S. Lima

viii
BAB SATU

Menjadi Manusia

Identitas kita yang paling mendasar adalah bahwa kita ada-


lah manusia—bukan Allah, bukan hewan, bukan tumbuh-
tumbuhan, ataupun benda-benda mati. Anda bukanlah kum-
pulan jasa-jasa baik Anda, rangkaian tindakan kepahlawan-
an atau kebaikan yang Anda perbuat. Anda adalah manusia,
tidak lebih tidak kurang. Tetapi apakah manusia itu? Siapa-
kah manusia itu? Bagian ini akan menelusuri apakah yang
dapat kita lihat di dalam ekspresi-ekspresi yang terdapat di
dalam Alkitab dan tradisi theologis kita.

A. MARTABAT MANUSIA
Bacaan Alkitab: Mazmur 8

Mazmur 8 memiliki bentuk khiastik A-B-C-B-A. Tutup atas


dan bawah dari puisi ini, yang menurut Benjamin B. War-
field mewakili jiwa dari Calvinisme, berbunyi: “Ya TUHAN,
Tuhan kami, betapa mulianya namamu di seluruh bumi!”
(8:2 dan 8:10). Di bawah “tutup” luar ini ada lapisan yang
lebih dalam, yakni: “Keagungan-Mu yang mengatasi langit
dinyanyikan ...” (8:2b) oleh “bayi-bayi dan anak-anak yang
menyusu.” “Langit,” “bulan dan bintang-bintang,” bumi dan
segala hewan di dalamnya—baik yang di permukaan bumi,
8 MEDITASI TENTANG MANUSIA

di atasnya, maupun di dalam air di bawahnya—semuanya


menyaksikan keagungan dan kemuliaan TUHAN yang meng-
atasi segala langit. Jadi, ada TUHAN sendiri yang kemuliaan-
Nya mengatasi segala ciptaan dan juga ciptaan itu sendiri
yang menjadi pancaran dari segala kemuliaan TUHAN. Lalu
di manakah manusia dalam skenario ini? Lapisan A mewakili
“nama” TUHAN dan lapisan B mewakili ciptaan yang meman-
carkan kemuliaan Tuhan—tetapi apakah isi dari lapisan C
yang berada di jantung khiasme ini? Dalam lapisan C ada se-
baris pertanyaan: “Apakah manusia, sehingga Engkau meng-
ingatnya?” “Apakah anak manusia, sehingga Engkau meng-
indahkannya?” (8:5).
Jadi, di tengah kekaguman atas kebesaran TUHAN yang
misterius dan mengatasi akal budi, bahasa, bentuk, materi,
dan waktu, di satu sisi—dan kekaguman akan kemuliaan
TUHAN yang terpancar melalui segenap keberadaan, di sisi
yang lain—ada sebaris pertanyaan abadi, yakni: siapakah
manusia itu? Pertanyaan ini dipicu oleh, di satu sisi, keka-
guman atas luasnya dan dahsyatnya alam semesta yang
membuat manusia jadi terlihat kecil dan tidak signifikan
(coba bandingkan waktu hidup kita yang hanya sekitar 70-80
tahun dengan usia gunung, bintang, dan benua!) dan, di sisi
lain, besarnya kekuasaan manusia atas alam ini. Manusia itu
tidak berarti, tetapi diberikan potensi untuk membangun dan
merusak yang sangat besar. Manusia sebagai gambar dan
rupa Allah, wakil Tuhan di bumi ini, dapat membuat dunia
ini menjadi sorga ataupun neraka. Kita tahu bahwa kebaha-
giaan dan keasyikan terbesar, terdalam, dan paling berkesan
selalu berkaitan dengan orang-orang lain. Penyebab depresi,
kemarahan, dukacita—tetapi juga sukacita, kegembiraan,
dan kepuasan hidup—terutama adalah relasi kita dengan
orang lain: bagaimana Anda merasa dimengerti, diterima,
dikasihi, dihargai—atau di sisi lain, disalah mengerti, ditolak,
diperalat, atau diabaikan. Jean-Paul Sartre pernah mengata-

2
BAB tiga

Mengasihi Sesama

Perintah untuk mengasihi sesama manusia adalah hal yang


aneh. Perintah ini terkesan masuk akal, sederhana, dan
alami—sampai Anda coba melakukannya dengan konsisten.
Ketika Anda menanggapi perintah ini secara serius, Anda
akan tahu bagaimana sebenarnya Anda tidak mampu mela-
kukannya karena di dalam tulang sumsum kita tidak ada
kasih kepada yang lain—yang ada hanyalah kebencian ke-
pada Allah dan sesama (Katekismus Heidelberg, P/J 5).1 Keru-
sakan natur manusia ini tidaklah mengubah kenyataan bah-
wa manusia diciptakan untuk dikasihi dan mengasihi. Dosa
tidak mengubah Anda menjadi Iblis atau malaikat atau he-
wan. Dosa hanyalah memerosotkan kemanusiaan Anda sam-
pai ke titik kesengsaraan yang menyebabkan Anda terkadang
ingin mati saja (atau menghancurkan seluruh dunia) tetapi
tidak memiliki keberanian atau ketetapan hati untuk meng-
akhiri kehidupan. Dalam bab ini saya akan membahas perin-
tah untuk mengasihi sesama ini di dalam empat paradigma
yang saling berkelindan (terjalin erat menjadi satu) dalam
sejarah keselamatan, yakni Penciptaan, Kejatuhan, Penebus-
an, dan Penggenapan (Konsumasi). Keempat hal ini akan kita
lihat di dalam contoh konkret relasi pada institusi keluarga,

1
Edisi bahasa Indonesia, Katekismus Heidelberg (Surabaya: Penerbit Momen-
tum, 2017), hlm. 10.
8 MEDITASI TENTANG MANUSIA

persahabatan, dan gereja—yang di dalamnya kita meng-


hidupi kerinduan-kerinduan kita yang terdalam, hasrat kita
yang paling kuat, dan mengalami kegembiraan, frustrasi, dan
pengharapan dalam umur kita yang pendek di bawah mata-
hari.

A. PERNIKAHAN DAN KOVENAN

Lebih dari sepuluh tahun yang lalu saya mengikatkan diri


pada suatu janji di hadapan Tuhan dan jemaat-Nya. Orang
sekampung menjadi saksi mata peristiwa itu. Hari itu saya
berjanji bahwa saya akan mengasihi dan menghormati (to
love and to cherish) seorang perempuan yang saya pilih sen-
diri, dalam “keadaan baik maupun buruk,” “kecukupan mau-
pun kekurangan,” “sakit maupun sehat”—sampai kematian
memisahkan kami. Saya kira sulit mencari sesumbar yang
lebih ambisius daripada janji ini.

Sampai Kematian Memisahkan Kita


Tidak ada perdebatan mengenai manfaat pernikahan dan
cinta. Bagi para lelaki menikah terbukti punya efek terbalik
dari rokok. Menikah itu memperpanjang harapan hidup. Bagi
para perempuan, khususnya di negara-negara yang tidak ada
perlindungan memadai dan persamaan kesempatan bagi
kaum Hawa, menikah memperkecil risiko sosial-ekonomi.
Plato pernah menulis begini: “Jadi bagaimanapun, menikah-
lah, karena jika engkau mendapatkan istri yang baik, engkau
akan menjadi lelaki yang bahagia, jika engkau mendapatkan
yang buruk (barangkali seperti Xanthippe, istri Sokrates),
engkau akan jadi filsuf.” Itu sisi terang pernikahan. Tetapi,
seperti juga segala hal dalam hidup ini, pernikahan dan cinta
punya sisi gelapnya juga. Tidak ada seorang pun yang benar-

26
BAB empat

Iman

A. ORANG BERIMAN BERANI


UNTUK TRANSPARAN
Bacaan Alkitab: Kejadian 2:25–3:24

Yang dilakukan Adam dan Hawa setelah mereka melawan


perintah Tuhan adalah menutupi ketelanjangan mereka
dengan daun ara dan kemudian bersembunyi di balik semak-
semak ketika Tuhan datang berkunjung. Yang menarik di sini
adalah mengapa mereka melakukan hal itu? Maksud saya,
mereka bisa saja melakukan hal yang lain, seperti misalnya
Adam bisa saja membunuh Hawa karena marah sebab Hawa
telah menjerumuskannya ke dalam dosa. Hawa bisa saja,
misalnya, berbohong kepada Tuhan ketika Dia bertanya apa-
kah yang telah terjadi. Masih ada hal-hal lain yang dapat di-
lakukan selain menyemat cawat dari daun ara dan bersem-
bunyi. Inilah sebabnya penting bagi kita untuk memikirkan
secara mendalam apakah makna dari dua tindakan Adam dan
Hawa setelah mereka jatuh dalam dosa ini. Apakah makna
dari membuat pakaian untuk menyembunyikan ketelanjang-
an? Apakah yang terjadi ketika kita bersembunyi? Apakah
tujuan yang ingin kita capai lewat tindakan bersembunyi?
Sebagian besar kebudayaan manusia mengenal pakaian.
Sepanjang ingatan peradaban kita, pakaian merupakan se-
8 MEDITASI TENTANG MANUSIA

suatu yang diasumsikan. Telanjang itu justru sesuatu penge-


cualian. Kita telanjang ketika lahir, tetapi kemudian orangtua
kita memakaikan baju kepada kita. Kita telanjang juga pada
momen-momen tertentu hidup kita, ketika kita mandi (atau
dimandikan kelak ketika kita sudah mati), ketika kita berhu-
bungan seks, dan juga ketika kita berbaring di meja operasi.
Kecuali ketika masih bayi atau balita, atau memang memilih
gaya hidup nudis, atau kalau kita mengalami gangguan
jiwa—maka ketelanjangan itu akan terasa aneh dan kurang
nyaman, khususnya jika itu terjadi di hadapan banyak orang.
Mengapa demikian? Mari kita pikirkan sejenak. Ketika Anda
telanjang, orang dapat melihat (atau menolak untuk melihat)
Anda secara mendalam. Tidak ada yang dapat Anda sembu-
nyikan. Telanjang berarti dilihat apa adanya—memakai baju
berarti dilihat sebagaimana Anda ingin dilihat. Kita sering
kali tidak suka dilihat apa adanya. Kita suka orang melihat
(atau mengingat) kita sebagaimana kita ingin dilihat atau
dikenang.
Baju membedakan kita dari orang lain. Status sosial
Anda dapat dikenali dari baju. Baju adalah wajah yang Anda
tampilkan di hadapan masyarakat. Ratusan milyar dollar
industri garmen tidak mungkin ada jika kita tidak peduli
kepada apa kata orang tentang diri kita dan bahwa apa yang
mereka katakan itu membentuk sebagian dari jiwa kita. Saya
tidak sedang mengajak kita semua untuk menjadi kaum
nudis di sini. Tetapi marilah kita pikirkan, orang-orang lain
itu bagi Adam adalah Hawa, istrinya, dan Tuhan. Jadi, ketika
Adam dan Hawa membuat pakaian dari daun ara, mereka
sedang menyembunyikan diri mereka apa adanya dari
pasangan mereka dan dari Tuhan. Kita ingin orang lain (dan
Tuhan) melihat diri kita lebih baik daripada diri kita yang
sebenarnya. Inilah awal mula jaim (jaga image). Image harus
bagus, walaupun kenyataannya buruk.

72
BAB Lima

Kekuasaan

A. KONFLIK DAN KEKUASAAN:


ANTARA MEMBERI DAN DIBERI

Anda memiliki dua anak dan keduanya bertengkar karena


masing-masing ingin makan satu kue yang utuh dari satu-
satunya kue yang diberikan kepada mereka. Mereka tidak
mau berbagi. Apa yang Anda lakukan? Jalan keluar paling
mudah untuk menyelesaikan konflik ini adalah dengan mem-
belikan satu atau seribu lagi kue yang sama. Berapa sih harga
sepotong kue? Ini masalah kecil yang tidak patut diributkan.
Jangan membuang-buang energi untuk meributkan hal-hal
kecil. Nanti Anda tidak memiliki energi lagi untuk mengerja-
kan hal-hal yang sungguh-sungguh penting. Tetapi masalah-
nya, bagaimana jika kue itu tidak dijual di mana-mana
(karena itu adalah kue buatan rumah non-komersial yang
Anda dapatkan sebagai pemberian)? Atau pertimbangkan ini:
kebiasaan batin macam apakah yang sedang Anda bentuk
dalam diri anak-anak Anda sedari kecil dengan menyelesai-
kan setiap konflik dengan jalan meniadakan sumber konflik
lewat pembelian?
8 MEDITASI TENTANG MANUSIA

Uang Bukan Masalahnya,


Masalahnya Adalah Tidak Adanya Uang
Aristoteles mengatakan bahwa karakter dibentuk oleh kebia-
saan, dan kebiasaan adalah apa yang kita tuai dari apa yang
kita lakukan berulang-ulang. Karakter macam apakah yang
Anda sedang bentuk dalam diri anak-anak Anda ketika Anda
tidak membiasakan mereka untuk berbagi, karena selalu
tersedia sumber-sumber yang begitu berlimpah? Pertama,
Anda sedang mengajarkan kepada mereka bahwa membeli
adalah solusinya. Dengan kata lain, uang dapat menyelesai-
kan hampir segala masalah.
Masalahnya adalah tidak ada uang, jawabannya adalah
lebih banyak uang. Ajaran ini tidak meleset jauh dari kenya-
taan. Memang uang dapat menyelesaikan banyak urusan.
Orang yang sedang protes karena “ketidakadilan” atau “prin-
sip” sering kali mengatakan bahwa “ini bukan masalah uang-
nya”—tetapi secara ironis mereka akan berhenti protes dan
pulang dengan sukacita ketika, misalnya, mendapatkan ganti
barang yang mereka keluhkan dengan barang yang baru gres
dan ditambah berbagai pernak-pernik sebagai “permintaan
maaf.” Ujung-ujungnya mungkin memang adalah uang dalam
dunia yang sudah jatuh dari kemuliaan ini, tetapi sttt ...
jangan keras-keras bicaranya sebab banyak orang seperti ini
tidak suka dinilai seperti itu. Sekali lagi saya katakan, meng-
ajar anak-anak kita bahwa uang dapat menyelesaikan ba-
nyak perkara barangkali tepat juga karena memang demi-
kian halnya dalam dunia ini.
Tetapi saya akan menambahkan sedikit kualifikasi, yak-
ni: walaupun uang dapat menyelesaikan banyak sekali per-
kara, tetapi uang bukanlah penyelesaian yang baik bagi
setiap perkara. Kalau perkara yang Anda hadapi adalah lap-
top jangkrik yang memusingkan dan membuang banyak
waktu Anda untuk bolak-balik antri di tempat servis karena

110
BAB tuJuh

Injil, Kebenaran,
dan Kemanusiaan

A. WAWASAN DUNIA DAN


BATASAN MANUSIA

Saya tidak mau membuang-buang waktu Anda untuk bercerita


bahwa istilah worldview berasal dari istilah Weltanschauung
yang dipakai Immanuel Kant hampir tiga ratus tahun silam
(atau bahkan oleh orang lain sebelumnya). Hal-hal demikian
dapat Anda googling saja sendiri, atau bacalah artikel-artikel
bagus yang ditulis pada era 1980-an seperti On Worldviews
dari James Olthuis atau On the Idea of Worldview and Its Rela-
tions to Philosophy karya Albert Wolters.1 Pada bab ini kita ha-
nya akan memikirkan hal-hal yang paling penting saja untuk
memahami secara garis besar apakah wawasan dunia itu.

Wawasan Dunia vs. Rasionalisme

Istilah wawasan dunia muncul dalam diskusi tentang penge-


tahuan dan bagaimanakah pengetahuan kita berhubungan

1
Jika Anda merasa lebih nyaman dengan tulisan berbahasa Indonesia, Anda
dapat membaca buku kecil yang sudah menjadi klasik tentang wawasan dunia,
yaitu Pemulihan Ciptaan karangan Albert Wolters yang telah diterbitkan terjemah-
annya oleh Penerbit Momentum (2009).
8 MEDITASI TENTANG MANUSIA

dengan hal-hal lain seperti: tubuh, seksualitas, bahasa, uang,


emosi, pengalaman mistis, dan lain-lain. Pendekatan wawas-
an dunia ini muncul sebagai tandingan dari rasionalisme.
Apa itu rasionalisme? Rasionalisme adalah cara mema-
hami manusia sebagai makhluk yang berpusat pada pikiran-
nya. Seorang rasionalis percaya bahwa nalar kita itu otonom
alias tidak bergantung pada apa pun juga. Karena akal budi
kita otonom (baca: bebas) maka akal budi tidak dipengaruhi
oleh apa pun yang lain dalam diri kita. Sebaliknya, akal budi
dapat memengaruhi segala aspek lainnya dalam diri kita.
Seorang rasionalis beranggapan bahwa diri dan hidup manu-
sia adalah produk dari pemikirannya. Bagi seorang rasio-
nalis, Anda adalah akibat dari pemikiran Anda. Kalau Anda
sekarang ini sedih, itu adalah karena Anda berpikir sedemi-
kian rupa sehingga emosi Anda menjadi negatif (sedih).
Pendekatan wawasan dunia memahami manusia terba-
lik dari anggapan ini. Bagi seseorang yang memakai pende-
katan wawasan dunia, akal budi kita justru dikondisikan
sedemikian rupa oleh hal-hal di luar dirinya. Pikiran rasional
kita itu tidaklah benar-benar bebas dan otonom. Misalnya,
kalau Anda berpikir bahwa orang yang kulitnya putih itu
lebih cantik daripada orang yang kulitnya hitam atau coklat,
itu bukan karena Anda telah memikirkannya secara logis.
Anda berpikir demikian, barangkali, karena Anda terlalu
banyak menonton acara-acara produksi Hollywood atau BBC
dan tidak terlalu sering nonton film-film India. Dunia mo-
dern, barangkali sejak Descartes, memahami bahwa akal
budi manusia dapat dipisahkan secara cukup independen
dari tubuh dan lingkungannya. Namun, pendekatan wawas-
an dunia menolak pandangan ini. Orang yang menganut
pendekatan wawasan dunia memahami pengetahuan seba-
gai selalu melekat (dikondisikan, dibatasi, dan diwarnai)
pada tubuh dan lingkungan.

132

Anda mungkin juga menyukai