KDK GADAR II
SYOK HIPOVOLEMIK
Disusun Oleh :
Dea Septiawati
P17221172015
KEMENTRIAN KESEHATAN RI
JURUSAN KEPERAWATAN
KAMPUS II LAWANG
BAB I
PENDAHULUAN
2.1 Definisi
Syok secara tradisional sering diartikan sebagai hipoksia pada jaringan
karena kurangnya perfusi. Syok umumnya dikatakan sebagai hipoksia, namun
kata disoksia lebih tepat digunakan. Hipoksia merujuk kepada kurangnya
oksigenasi, sedangkan disoksia adalah kondisi dimana metabolism sel dibatasi
oleh penyebaran oksigen yang kurang atau abnormal. Pada tingkat seluler,
kondisi hipoksia akan menyebabkan kegagaln fungsi mitokondria, perubahan
pada membran sel, pelepasan radikal bebas, produksi sitokin, dan
mengakibatkan beberapa reaksi inflamasi (Lamm, Ruth L., and Coopersmith,
Craig M. 2012).
Hipovolemia adalah suatu kondisi akibat kekurangan volume cairan
ekstraseluler (CES), dan dapat terjadi karena kehilangan cairan melalui kulit,
ginjal, gastrointestinal, perdarahan sehingga dapat menimbulkan syok
hipovolemia (Tarwoto & Wartonah, 2015). Hipovolemia merupakan penurunan
volume cairan intravaskular, interstisial, dan/ atau intraselular (Tim Pokja SDKI
DPP PPNI, 2016). Hypovolemic shock atau syok hipovolemik dapat didefinisikan
sebagai berkurangnya volume sirkulasi darah dibandingkan dengan kapasitas
pembuluh darah total. Hypovolemic shock merupakan syok yang disebabkan
oleh kehilangan cairan intravascular yang umumnya berupa darah atau plasma.
Kehilangan darah oleh luka yang terbuka merupakan salah satu penyebab yang
umum, namun kehilangan darah yang tidak terlihat dapat ditemukan di
abdominal, jaringan retroperitoneal, atau jaringan di sekitar retakan tulang.
Sedangkan kehilangan plasma protein dapat diasosiasikan dengan penyakit
seperti pankreasitis, peritonitis, luka bakar dan anafilaksis (Lamm, Ruth L., and
Coopersmith, Craig M. 2012).
Syok hipovolemik merupakan syok yang terjadi akaibat berkurangnya
volume plasma di intravaskuler. Syok ini dapat terjadi akibat perdarahan hebat
(hemoragik), trauma yang menyebabkan perpindahan cairan (ekstravasasi) ke
ruang tubuh non fungsional, dan dehidrasi berat oleh berbagai sebab seperti luka
bakar dan diare berat. Kasus-kasus syok hipovolemik yang paing sering
ditemukan disebabkan oleh perdarahan sehingga syok hipovolemik dikenal juga
dengan syok hemoragik. Perdarahan hebat dapat disebabkan oleh berbagai
trauma hebat pada organorgan tubuh atau fraktur yang yang disertai dengan luka
ataupun luka langsung pada pembuluh arteri utama (Hypovolemic Shock
Treatment & Management, 2013).
2.2 Epidemiologi
Menurut WHO cedera akibat kecelakaan setiap tahunnya menyebabkan
terjadinya 5 juta kematian di seluruh dunia. Angka kematian pada pasien trauma
yang mengalami syok hipovolemik di rumah sakit dengan tingkat pelayanan yang
lengkap mencapai 6%. Sedangkan angka kematian akibat trauma yang
mengalami syok hipovolemik di rumah sakit dengan peralatan yang kurang
memadai mencapai 36%. (Buletin Sariputra. 2015)
Dalam sebuah penelitian yang dilaksanakan oleh Yamaguchi dan Hopper
(1964), dari 10 kasus ada 3 kasus dimana pasien mengalami syok yang
disebabkan oleh komplikasi dari sindrom nefrotik. Di Indonesia sendiri, angka
kematian penderita hypovolemic shock akibat Demam Berdarah dengan ranjatan
(dengue shock syndrome) yang disertai dengan perdarahan yaitu berkisar 56
sampai 66 jiwa ditahun 2014.
2.3 Etiologi
Syok hipovolemik merupakan syok yang terjadi akaibat berkurangnya
volume plasma di intravaskuler. Syok ini dapat terjadi akibat perdarahan hebat
(hemoragik), trauma yang menyebabkan perpindahan cairan (ekstravasasi) ke
ruang tubuh non fungsional, dan dehidrasi berat oleh berbagai sebab seperti luka
bakar dan diare berat. Kasus-kasus syok hipovolemik yang paling sering
ditemukan disebabkan oleh perdarahan sehingga syok hipovolemik dikenal juga
dengan syok hemoragik. Perdarahan hebat dapat disebabkan oleh berbagai
trauma hebat pada organ-organ tubuh atau fraktur yang yang disertai dengan
luka ataupun luka langsung pada pembuluh arteri utama (Lamm, Ruth L., and
Coopersmith, Craig M. 2012).
2.4 Patofisiologi
Perdarahan akan menurunkan tekanan pengisian pembuluh darah rata-
rata dan menurunkan aliran darah balik ke jantung. Hal inilah yang menimbulkan
penurunan curah jantung. Curah jantung yang rendah di bawah normal akan
menimbulkan beberapa kejadian pada beberapa organ (Wijaya, 2014).
Gangguan pada faktor-faktor yang mepengaruhi curah jantung dapat
mengakibatkan terjadinya gangguan perfusi dan berujung kepada syok. Misalnya
kehilangan volume plasma hebat akan mengurangi preload dan dapat
mengakibatkan terjadinya syok hipovolemik, gangguan kontraktilitas dapat
mengakibatkan terjadinya syok kardiogenik, dan gangguan resistensi vaskuler
sitemik dapat berujung ada syok distributif (Soenarto, 2012).
Sistim saraf otonom dibedakan menjadi dua macam, yaitu sistim saraf simpatis
dan para simpatis. Sistim saraf simpatis merupakan sistim saraf yang bekerja
secara otonom terhadap respon stress psikis dan aktifitas fisik. Respon simpatis
terhadap stress disebut juga sebagai ‘faight of flight response’ memberikan
umpan balik yang spesisfik pada organ dan sistim organ, termasuk yang paling
utama adalah respon kardiovaskuler, pernafasan dan sistim imun. Sedangkan
sistim para simpatis mengatur fungsi tubuh secara otonom terutama pada organ-
organ visceral, produksi kelenjar, fungsi kardiovaskuler dan berbagai sistim organ
lainnya dan bukan respon terhadap suatu stressor ataupun aktifitas fisik
(Silverthorn, 2011).
Dalam kedaan fisiologis, kedua sistim saraf ini mengatur funsgi tubuh
termasuk kardiovaskuler secara homeostatik melalui mekanisme autoregulasi.
Misalnya pada saat aktifitas fisik meningkat, tubuh membutuhkan energi dan
metabolisme lebih banyak dan konsumsi oksigen meningkat, maka sistim
simpatis sebagai respon homestatik akan meningkatkan frekuensi denyut dan
kontraktilitas otot jantung, sehingga curah jantung dapat ditingkatkan untuk untuk
mensuplai oksigen lebih banyak. Begitu juga bila terjadi kehilangan darah, maka
respon simpatis adalah dengan terjadinya peningkatan laju dan kontraktilitas
jantung serta vasokontriksi pembuluh darah, sehingga kesimbangan volume
dalam sirkulasi dapat terjaga dan curah jantung dapat dipertahankan. Namun bila
gangguan yang terjadi sangat berlebihan, maka kompensasi autoregulasi tidak
dapat lagi dilakukan sehingga menimbulkan gejala-gejala klinis (Costanzo, 2012)
2.6 Diagnosis
Hypovolemic shock diakibatkan umumnya karena kehilangan darah
ataupun cairan tubuh pada tubuh manusia yang mengakibatkan jantung
kekurangan darah untuk disirkulasi sehingga dapat mengakibatkan kegagalan
organ. Kehilangan darah ini dapat diakibatkan karena trauma akut dan
perdarahan, baik secara eksternal ataupun internal. Gejala-gejala yang dimiliki
bergantung pada persentase darah yang hilang dari seluruh darah yang dimiliki
pasien, namun ada beberapa gejala umum yang dimiliki oleh seluruh penderita
hypovolemic shock. Pada umumnya, pasien yang menderita hypovolemic shock
memiliki tekanan darah yang rendah (dibawah 100mmHg) dan suhu tubuh yang
rendah pada bagian-bagian tubuh perifer. Tachycardia (diatas 100 bpm),
brachycardia (dibawah 60 bpm), dan tachypnea juga umumnya terjadi pada
pasien-pasien yang menderita hypovolemic shock. Kandungan haemoglobin
yang relatif kurang (<=6g/l) pada darah juga dapat menjadi pertanda adanya
perdarahan dan dapat membantu dalam mendeteksi hypovolemic shock. Pasien
juga umumnya memiliki kegangguan kesadaran dan mengalami
kebingungan/kemarahan yang diakibatkan oleh gangguan pada sistem saraf
akibat kurangnya darah (Queensland Ambulance Service. 2016).
Menurut (Pascoe S& Lynch J. 2016) pasien yang menderita hypovolemic
shock dibagi menjadi tiga kategori berdasarkan persentase volume darah yang
hilang dari seluruh tubuh pasien, dan gejala yang dialami oleh tiap kategori
pasien disajikan dalam tabel berikut:
2.8 Prognosis
Menurut (Canadian Association of Radiologists, 2013) Pada umumnya,
Hypovolemic shock dapat menyebabkan kematian meskipun sudah diberikan
penanganan medis. Faktor usia juga merupakan faktor yang mempengaruhi
Hypovolemic shock, biasanya orang-orang yang sudah lanjut usia jika mengalami
Hypovolemic shock akan sulit ditangani dan disembuhkan. Hypovolumic shock
dapat disembuhkan jika segera diberikan penanganan atau tindakan meskipun
tidak menutup kemungkinan dapat menyebabkan kematian terhadap orang
tersebut. Hypovolemi shock biasanya tergantung dari hal-hal berikut:
1. Banyaknya darah yang hilang
2. Kecepatan penggantian cairan tubuh
3. Kondisi kesehatannya
4. Penyakit atau luka yang menyebabkan perdarahan
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Syok adalah suatu sindrom klinis yang terjadi akibat gangguan
hemodinamik dan metabolik ditandai dengan kegagalan sistem sirkulasi untuk
mempertahankan perfusi yang menuju ke organ-organ vital tubuh, sehingga
mengakibatkan disfungsi organ dalam tubuh. Salah satunya adalah syok
hipovolemik, syok hipovolemik. Syok hipovolemik merupakan syok yang terjadi
akaibat berkurangnya volume plasma di intravaskuler. Syok ini dapat terjadi
akibat perdarahan hebat (hemoragik). Perdarahan akan menurunkan tekanan
pengisian pembuluh darah rata-rata dan menurunkan aliran darah balik ke
jantung. Hal inilah yang menimbulkan penurunan curah jantung (heart pulse
rate). Ketika heart pulse rate turun, ketahanan vaskular sistemik akan berusaha
untuk meningkatkan tekanan sistemik guna menyediakan perfusi yang cukup
bagi jantung dan otak melebihi jaringan lain seperti otot, kulit dan khususnya
traktus gastrointestinal. Kebutuhan energi untuk pelaksanaan metabolisme di
jantung dan otak sangat tinggi tetapi kedua sel organ itu tidak mampu
menyimpan cadangan energi. Jika hal ini terus berlanjut maka satu persatu organ
tubuh akan mati dan berujung dapat menyebabkan kematian.
3.2 Saran
Bagi korban yang terkena syok, utamanya syok yang bersifat hipovolemik
harus mendapatkan penangana secara langsung, Karena jika tidak dapat
ditangani secara cepat dan tepat, maka satu persatu organ mengalami disfungsi
dan mati sehingga berujung pada kematian.
DAFTAR PUSTAKA
1. Kakunsi, Yane D., Killing, Maykel, and Deetje, Supit. Hubungan pengetahuan
perawat dengan penanganan pasien syokhipovolemik di ugd rsud
pohuwato. Buletin Sariputra. 2015;5(3):90-96.
2. Lamm, Ruth L., and Coopersmith, Craig M. 2012. Comprehensive Critical
Care:Adult. Chapter 10. Illinois: Society of Critical Care Medicine.
3. Wijaya, IP. 2014. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III. Ed VI. Interna
Publishing. Jakarta.
4.. Queensland Ambulance Service. 2016. Clinical Practice Guidelines:
Trauma/Hypovolaemic Shock. Queensland;. Diakses pada [13 Oktober
2016]. Tersedia pada
[https://ambulance.qld.gov.au/docs/clinical/cpg/CPG_Hypovolaemic%20s
hoc k.pdf]
5. Pascoe S, Lynch J. 2016. Management of Hypovolaemic Shock in the Trauma
Patient. Diakses pada [13 Oktober 2016]. Tersedia pada
[http://www.aci.health.nsw.gov.au/__data/assets/pdf_file/0006/195171/Hy
pov olaemicShock_FullReport.pdf]
6. First Aid Guide and Emergency Treatment Instructions. Saporo fire bureau.
Available at [https://www.city.sapporo.jp]. Diakses pada [10 oktober
2016].
7. Fitria, Cemy Nur. 2012. Syok dan Penangannya.
8. Jun Wang, Teresa Liang, Luck Louis, Savvas Nicolaou, Patrick D. Mc
Laughlin. Hypovolemic Shock Complex in the Trauma Setting: A Pictorial
Review. Canadian Association of Radiologists. 2013;64:156-163.
Tersedia pada [http://sciencedirect.com].
9. Diantoro, Dimas Gatra. (2014). Syok hipovolemik. Purwokerto : RSUD
Margono Soekarjo. (online). (http://www.scrib.com, diakses tanggal 3
Maret 2015)
10. Finfer, S. R., Vincent, Jean-Louis & De Backer, Daniel. (2013). Critical care
medicine : circulatory shock. The New England Journal of Medicine. Ed.
369 vol. 18. 1726 - 1734. (online). (http://search proquest.com, diakses
tanggal 30 Januari 2015)
11. World Health Organization (WHO). (2012). The ten leading causes of death in
the world 2000 and 2012. (online). (http://www.who.int, diakses tanggal 30
Maret 2015
12. Hutabarat, Evangeline M. 2014. Perbedaan Hemodinamik Sebelum dan
Sesudah Passive Leg Raising Dan Pemberian Cairan Infus Pada Pasien
Syok Hipovolemik Di Instalasi Gawat Darurat RS Dustira Cimahi.
http://pustaka.unpad.ac.id/archives /130596/. Diakses tanggal 16 April
2014 pukul 06.00 WITA.
13. Kolecki P, Menckhoff CR, Talavera F, Kazzi AA, Brenner BE, Dire DJ (2014).
Hypovolemic Shock. http://emedicine.medscape.com/article/760145-
overview#a6. Diakses Februari 2016.
14. Yildiz F (2013). Fluid replacement in treatment of hypovolemia and shock:
Cystalloids and colloids. Archives Medical Review Journal, 22(3): 347-61
15. Danusantoso MM, Pudjiadi AH, Djer MM, Widodo DP, Kaban RK, Andriastuti
M (2014). Pengukuran indeks syok untuk deteksi dini syok hipovolemik
pada anak dengan takikardi: Telaah terhadap perubahan indeks isi
sekuncup. Sari Pediatri, 15(5): 319-20.
16. Udeani J, Kaplan LJ, Talavera F, Sheridan RL, Rice TD, Geibel J.
Hemorrhagic Shock 2013: Available from:
http://emedicine.medscape.com/article/432650- overview#showall.
17. Guyton A, Hall J. Circulatory Shock and Physiology of Its Treatment (Chapter
24). Textbook of Medical Physiology. 12th ed. Philadelphia, Pensylvania:
Saunders; 2010. p. 273-84.
18. Costanzo L. Physiology Cases and Problems. 4th ed. Philadelphia: Lippincott
Williams & Wilkins; 2012.
19. Silverthorn DU. Human Physiology: An Integrated Approach. 5th ed:
Benjamin-Cummings Publishing Company; 2011.
20. Soenarto RF. Fisiologi Kardiovaskuler. In: Soenarto RF, Chandra S, editors.
Buku Ajar Anestesiologi. Jakarta: FKUI; 2012. p. 75-89.