Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH

KDK GADAR II

SYOK HIPOVOLEMIK

Disusun Oleh :

Dea Septiawati

P17221172015

KEMENTRIAN KESEHATAN RI

POLITEKNIK KESEHATAN MALANG

JURUSAN KEPERAWATAN

PRODI SARJANA TERAPAN KEPERAWATAN

JL. A YANI NO 1 LAWANG TLP 0341 427391 FAX 0341 426952

KAMPUS II LAWANG
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Salah satu kondisi yang memerlukan tindakan segera di IGD adalah syok
hipovolemik. Pasien syok sangat memerlukan pemantauan ketat terhadap
tanda-tanda klinis serta status hemodinamik dan status intravaskular. Karena
bantuan sirkulasi dan medikasi pada pasien gawat darurat diberikan
berdasarkan ketepatan menilai status volume intravaskular pasien
(Hutabarat, 2014).
Syok adalah suatu sindrom klinis yang terjadi akibat gangguan
hemodinamik dan metabolik ditandai dengan kegagalan sistem sirkulasi
untuk mempertahankan perfusi yang adekuat ke organ-organ vital tubuh. Hal
ini muncul akibat kejadian pada hemostasis tubuh yang serius seperti
perdarahan yang masif, trauma atau luka bakar yang berat (syok
hipovolemik), infark miokard luas atau emboli paru (syok kardiogenik), sepsis
akibat bakteri yang tak terkontrol (syok septik), tonus vasomotor yang tidak
adekuat (syok neurogenik) atau akibat respons imun (syok anafilaktik).
Syok hipovolemik merupakan keadaan berkurangnya perfusi organ dan
oksigenasi jaringan yang disebabkan gangguang kehilangan akut dari darah
(syok hemorragic) atau cairan tubuh yang dapat disebabkan oleh berbagai
keadaan. Penyebab terjadinya syok hipovolemik diantaranya adalah diare,
luka bakar, muntah, dan trauma maupun perdarahan karena obsetri. Syok
hipovolemik merupakan salah satu syok dengan angka kejadian yang paling
banyak dibandingkan syok lainnya
Syok hipovolemik pada umumnya terjadi pada negara dengan mobilitas
penduduk yang tinggi karena salah satu penyebabnya adalah kehilangan
darah karena kecelakaan kendaraan. Sebanyak 500.000 pasien syok
hipovolemik pada wanita karena khasus perdarahan obsetri meninggal
pertahunnya dan 99% terjadi pada negara berkembang. Sebagian besar
penderita meninggal setelah beberapa jam terjadi perdarahan karena tidak
mendapat perlakuan yang tepat dan adekuat. (Buletin Sariputra, 2015)
Syok hipovolemik sampai saat ini merupakan salah satu penyebab
kematian di negaranegara dengan mobilitas penduduk yang tinggi. Angka
kematian pada pasien trauma yang mengalami syok hipovolemik di rumah
sakit dengan tingkat pelayanan yang lengkap mencapai 94%. Sedangkan
angka kematian akibat trauma yang mengalami syok hipovolemik di rumah
sakit dengan peralatan yang kurang memadai mencapai 64% (Diantoro,
2014). Menurut data dari WHO diare dengan jumlah korban 1,5 juta
jiwamasih menempati urutan ke 7 dari sepuluh penyebab kematian di dunia
dan disusul kecelakaan lalu lintas yang menempati urutan ke 9 dari sepuluh
penyebab kematian didunia dengan jumlah koban 1,3 juta orang (WHO,
2012).
Keadaan syok hipovolemik yang berkelanjutan dapat menyebabkan
penurunan kesadaran, dimana korban mulai tidak berespon oleh rangsang
yang diberikan karena jantung kekurangan darah untuk dipompa ke jaringan
sehingga jaringan tidak mendapat suplai darah yang cukup (Finfer, 2013).
Penatalaksanaan syok hipovolemik ABC, dimana perawat gawat darurat
berperan untuk menangani gangguan airway, breathing dan circulation
segera yang dapat dilakukan mulai dari saat terjadinya kejadian, apabila
pasien mengalami trauma, untuk menghindari cedera lebih lanjut vertebra
servikalis harus diimobilisasi, memastikan jalan napas yang adekuat,
menjamin ventilasi, memaksimalkan sirkulasi dan pasien segera dipindahkan
ke rumah sakit. Keterlambatan saat pemindahan pasien ke rumah sakit
sangat berbahaya.
Masalah paling mendasar pada syok hipovolemik adalah gangguan
sirkulasi yang akan menyebabkan kegagalan perfusi darah ke jaringan,
sehingga metabolisme sel akan terganggu. Dalam keadaan volume
intravaskuler yang berkurang, tubuh berusaha untuk mempertahankan
perfusi organ-organ vital (jantung dan otak) dengan mengorbankan perfusi
organ lain seperti ginjal, hati, dan kulit. Salah satu terapi yang tepat untuk
penatalaksanaan syok hipovolemik adalah terapi cairan yang akan
berdampak pada penurunan angka mortalitas pasien. Akan tetapi terapi
cairan yang tidak tepat akan menyebabkan pasien mengalami edema paru
dan gangguan elektrolit.
1.2 Tujuan
1. Untuk mengetahui definsi syok hipovolemik
2. Untuk mengetahui epideminologi syok hipovolemik
3. Untuk mengetahui etiologi syok hipovolemik
4. Untuk mengetahui patofisiologi syok hipovolemik
5. Untuk mengetahui manifestasi klinis syok hipovolemik
6. Untuk mengetahui diagnosis syok hipovolemik
7. Untuk mengetahui pencegahan dan manajemen syok hipovolemik
8. Untuk mengetahui prognosis syok hipovolemik.
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Definisi
Syok secara tradisional sering diartikan sebagai hipoksia pada jaringan
karena kurangnya perfusi. Syok umumnya dikatakan sebagai hipoksia, namun
kata disoksia lebih tepat digunakan. Hipoksia merujuk kepada kurangnya
oksigenasi, sedangkan disoksia adalah kondisi dimana metabolism sel dibatasi
oleh penyebaran oksigen yang kurang atau abnormal. Pada tingkat seluler,
kondisi hipoksia akan menyebabkan kegagaln fungsi mitokondria, perubahan
pada membran sel, pelepasan radikal bebas, produksi sitokin, dan
mengakibatkan beberapa reaksi inflamasi (Lamm, Ruth L., and Coopersmith,
Craig M. 2012).
Hipovolemia adalah suatu kondisi akibat kekurangan volume cairan
ekstraseluler (CES), dan dapat terjadi karena kehilangan cairan melalui kulit,
ginjal, gastrointestinal, perdarahan sehingga dapat menimbulkan syok
hipovolemia (Tarwoto & Wartonah, 2015). Hipovolemia merupakan penurunan
volume cairan intravaskular, interstisial, dan/ atau intraselular (Tim Pokja SDKI
DPP PPNI, 2016). Hypovolemic shock atau syok hipovolemik dapat didefinisikan
sebagai berkurangnya volume sirkulasi darah dibandingkan dengan kapasitas
pembuluh darah total. Hypovolemic shock merupakan syok yang disebabkan
oleh kehilangan cairan intravascular yang umumnya berupa darah atau plasma.
Kehilangan darah oleh luka yang terbuka merupakan salah satu penyebab yang
umum, namun kehilangan darah yang tidak terlihat dapat ditemukan di
abdominal, jaringan retroperitoneal, atau jaringan di sekitar retakan tulang.
Sedangkan kehilangan plasma protein dapat diasosiasikan dengan penyakit
seperti pankreasitis, peritonitis, luka bakar dan anafilaksis (Lamm, Ruth L., and
Coopersmith, Craig M. 2012).
Syok hipovolemik merupakan syok yang terjadi akaibat berkurangnya
volume plasma di intravaskuler. Syok ini dapat terjadi akibat perdarahan hebat
(hemoragik), trauma yang menyebabkan perpindahan cairan (ekstravasasi) ke
ruang tubuh non fungsional, dan dehidrasi berat oleh berbagai sebab seperti luka
bakar dan diare berat. Kasus-kasus syok hipovolemik yang paing sering
ditemukan disebabkan oleh perdarahan sehingga syok hipovolemik dikenal juga
dengan syok hemoragik. Perdarahan hebat dapat disebabkan oleh berbagai
trauma hebat pada organorgan tubuh atau fraktur yang yang disertai dengan luka
ataupun luka langsung pada pembuluh arteri utama (Hypovolemic Shock
Treatment & Management, 2013).

2.2 Epidemiologi
Menurut WHO cedera akibat kecelakaan setiap tahunnya menyebabkan
terjadinya 5 juta kematian di seluruh dunia. Angka kematian pada pasien trauma
yang mengalami syok hipovolemik di rumah sakit dengan tingkat pelayanan yang
lengkap mencapai 6%. Sedangkan angka kematian akibat trauma yang
mengalami syok hipovolemik di rumah sakit dengan peralatan yang kurang
memadai mencapai 36%. (Buletin Sariputra. 2015)
Dalam sebuah penelitian yang dilaksanakan oleh Yamaguchi dan Hopper
(1964), dari 10 kasus ada 3 kasus dimana pasien mengalami syok yang
disebabkan oleh komplikasi dari sindrom nefrotik. Di Indonesia sendiri, angka
kematian penderita hypovolemic shock akibat Demam Berdarah dengan ranjatan
(dengue shock syndrome) yang disertai dengan perdarahan yaitu berkisar 56
sampai 66 jiwa ditahun 2014.

2.3 Etiologi
Syok hipovolemik merupakan syok yang terjadi akaibat berkurangnya
volume plasma di intravaskuler. Syok ini dapat terjadi akibat perdarahan hebat
(hemoragik), trauma yang menyebabkan perpindahan cairan (ekstravasasi) ke
ruang tubuh non fungsional, dan dehidrasi berat oleh berbagai sebab seperti luka
bakar dan diare berat. Kasus-kasus syok hipovolemik yang paling sering
ditemukan disebabkan oleh perdarahan sehingga syok hipovolemik dikenal juga
dengan syok hemoragik. Perdarahan hebat dapat disebabkan oleh berbagai
trauma hebat pada organ-organ tubuh atau fraktur yang yang disertai dengan
luka ataupun luka langsung pada pembuluh arteri utama (Lamm, Ruth L., and
Coopersmith, Craig M. 2012).

2.4 Patofisiologi
Perdarahan akan menurunkan tekanan pengisian pembuluh darah rata-
rata dan menurunkan aliran darah balik ke jantung. Hal inilah yang menimbulkan
penurunan curah jantung. Curah jantung yang rendah di bawah normal akan
menimbulkan beberapa kejadian pada beberapa organ (Wijaya, 2014).
Gangguan pada faktor-faktor yang mepengaruhi curah jantung dapat
mengakibatkan terjadinya gangguan perfusi dan berujung kepada syok. Misalnya
kehilangan volume plasma hebat akan mengurangi preload dan dapat
mengakibatkan terjadinya syok hipovolemik, gangguan kontraktilitas dapat
mengakibatkan terjadinya syok kardiogenik, dan gangguan resistensi vaskuler
sitemik dapat berujung ada syok distributif (Soenarto, 2012).
Sistim saraf otonom dibedakan menjadi dua macam, yaitu sistim saraf simpatis
dan para simpatis. Sistim saraf simpatis merupakan sistim saraf yang bekerja
secara otonom terhadap respon stress psikis dan aktifitas fisik. Respon simpatis
terhadap stress disebut juga sebagai ‘faight of flight response’ memberikan
umpan balik yang spesisfik pada organ dan sistim organ, termasuk yang paling
utama adalah respon kardiovaskuler, pernafasan dan sistim imun. Sedangkan
sistim para simpatis mengatur fungsi tubuh secara otonom terutama pada organ-
organ visceral, produksi kelenjar, fungsi kardiovaskuler dan berbagai sistim organ
lainnya dan bukan respon terhadap suatu stressor ataupun aktifitas fisik
(Silverthorn, 2011).
Dalam kedaan fisiologis, kedua sistim saraf ini mengatur funsgi tubuh
termasuk kardiovaskuler secara homeostatik melalui mekanisme autoregulasi.
Misalnya pada saat aktifitas fisik meningkat, tubuh membutuhkan energi dan
metabolisme lebih banyak dan konsumsi oksigen meningkat, maka sistim
simpatis sebagai respon homestatik akan meningkatkan frekuensi denyut dan
kontraktilitas otot jantung, sehingga curah jantung dapat ditingkatkan untuk untuk
mensuplai oksigen lebih banyak. Begitu juga bila terjadi kehilangan darah, maka
respon simpatis adalah dengan terjadinya peningkatan laju dan kontraktilitas
jantung serta vasokontriksi pembuluh darah, sehingga kesimbangan volume
dalam sirkulasi dapat terjaga dan curah jantung dapat dipertahankan. Namun bila
gangguan yang terjadi sangat berlebihan, maka kompensasi autoregulasi tidak
dapat lagi dilakukan sehingga menimbulkan gejala-gejala klinis (Costanzo, 2012)

2.5 Manifestasi Klinis


Klasifikasi perdarahan berdasarkan persentase volume darah yang hilang:
a. Perdarahan derajat I (kehilangan darah 0-15%)
• Tidak ada komplikasi, hanya terjadi takikardi minimal.
• Biasanya tidak terjadi perubahan tekanan darah, tekanan nadi, dan
frekuensi pernapasan.
• Perlambatan pengisian kapiler lebih dari 3 detik sesuai untuk kehilangan
darah sekitar 10%
b. Perdarahan derajat II (kehilangan darah 15-30%)
• Gejala klinisnya, takikardi (frekuensi nadi>100 kali permenit), takipnea,
penurunan tekanan nadi, kulit teraba dingin, perlambatan pengisian kapiler,
dan anxietas ringan . Penurunan tekanan nadi adalah akibat peningkatan
kadar katekolamin, yang menyebabkan peningkatan resistensi pembuluh
darah perifer dan selanjutnya meningkatkan tekanan darah diastolik.
c. Perdarahan derajat III (kehilangan darah 30-40%)
• Pasien biasanya mengalami takipnea dan takikardi, penurunan tekanan
darah sistolik, oligouria, dan perubahan status mental yang signifikan, seperti
kebingungan atau agitasi.
• Pada pasien tanpa cedera yang lain atau kehilangan cairan, 30-40% adalah
jumlah kehilangan darah yang paling kecil yang menyebabkan penurunan
tekanan darah sistolik.
• Sebagian besar pasien ini membutuhkan transfusi darah, tetapi keputusan
untuk pemberian darah seharusnya berdasarkan pada respon awal terhadap
cairan.
d. Perdarahan derajat IV (kehilangan darah >40%)
• Gejala-gejalanya berupa takikardi, penurunan tekanan darah sistolik,
tekanan nadi menyempit (atau tekanan diastolik tidak terukur), berkurangnya
(tidak ada) urine yang keluar, penurunan status mental (kehilangan
kesadaran), dan kulit dingin dan pucat.
• Jumlah perdarahan ini akan mengancam kehidupan secara cepat.

Menurut (Guyton A& Hall J, 2010)Gejala-gejala klinis pada suatu perdarahan


bisa belum terlihat jika kekurangan darah kurang dari 10% dari total volume
darah karena pada saat ini masih dapat dikompensasi oleh tubuh dengan
meningkatkan tahanan pembuluh dan frekuensi dan kontraktilitas otot
jantung. Bila perdarahan terus berlangsung maka tubuh tidak mampu lagi
mengkompensasinya dan menimbulkan gejala-gejala klinis. Secara umum
syok hipovolemik menimbulkan gejala peningkatan frekuensi jantung dan
nadi (takikardi), pengisian nadi yang lemah, kulit dingin dengan turgor yang
jelek, ujung-ujung ektremitas yang dingin dan pengisian kapiler yang lambat.
Pemeriksaan yang dilakukan untuk menegakkan diagnosis adanya syok
hipovolemik tersebut pemeriksaan pengisian dan frekuesnsi nadi, tekanan
darah, pengisian kapiler yang dilakukan pada ujung-uung jari (refiling
kapiler), suhu dan turgor kulit. Berdasarkan persentase volume kehilangan
darah, syok hipovolemik dapat dibedakan menjadi empat tingkatan atau
stadium. Stadium syok dibagi berdasarkan persentase kehilangan darah
sama halnya dengan perhitungan skor tenis lapangan, yaitu 15, 15-30, 30-
40, dan >40%. Setiap stadium syok hipovolemik ini dapat dibedakan dengan
pemeriksaan klinis tersebut
1. Stadium-I adalah syok hipovolemik yang terjadi pada kehilangan darah
hingga maksimal 15% dari total volume darah. Pada stadium ini tubuh
mengkompensai dengan dengan vasokontriksi perifer sehingga terjadi
penurunan refiling kapiler. Pada saat ini pasien juga menjadi sedkit
cemas atau gelisah, namun tekanan darah dan tekanan nadi rata-rata,
frekuensi nadi dan nafas masih dalam kedaan normal.
2. Syok hipovolemik stadium-II afalah jika terjadi perdarahan sekitar 15-
30%. Pada stadium ini vasokontriksi arteri tidak lagi mampu
menkompensasi fungsi kardiosirkulasi, sehingga terjadi takikardi,
penurunan tekanan darah terutama sistolik dan tekanan nadi, refiling
kapiler yang melambat, peningkatan frekuensi nafas dan pasien menjadi
lebih cemas.
3. Syok hipovolemik stadium-III bila terjadi perdarahan sebanyak 30-40%.
Gejala-gejala yang muncul pada stadium-II menjadi semakin berat.
Frekuensi nadi terus meningkat hingga diatas 120 kali permenit,
peningkatan frekuensi nafas hingga diatas 30 kali permenit, tekanan nadi
dan tekanan darah sistolik sangat menurun, refiling kapiler yang sangat
lambat
4. Stadium-IV adalah syok hipovolemik pada kehilangan darah lebih dari
40%. Pada saat ini takikardi lebih dari 140 kali permenit dengan
pengisian lemah sampai tidak teraba, dengan gejala-gejala klinis pada
stadium-III terus memburuk. Kehilangan volume sirkulasi lebih dari 40%
menyebabkan terjadinya hipotensi berat, tekanan nadi semakin kecil dan
disertai dengan penurunan kesadaran atau letargik. Selengkapnya
stadium dan tanda-tanda klinis pada syok hemoragik dapat dilihat oada
tabel-1.

2.6 Diagnosis
Hypovolemic shock diakibatkan umumnya karena kehilangan darah
ataupun cairan tubuh pada tubuh manusia yang mengakibatkan jantung
kekurangan darah untuk disirkulasi sehingga dapat mengakibatkan kegagalan
organ. Kehilangan darah ini dapat diakibatkan karena trauma akut dan
perdarahan, baik secara eksternal ataupun internal. Gejala-gejala yang dimiliki
bergantung pada persentase darah yang hilang dari seluruh darah yang dimiliki
pasien, namun ada beberapa gejala umum yang dimiliki oleh seluruh penderita
hypovolemic shock. Pada umumnya, pasien yang menderita hypovolemic shock
memiliki tekanan darah yang rendah (dibawah 100mmHg) dan suhu tubuh yang
rendah pada bagian-bagian tubuh perifer. Tachycardia (diatas 100 bpm),
brachycardia (dibawah 60 bpm), dan tachypnea juga umumnya terjadi pada
pasien-pasien yang menderita hypovolemic shock. Kandungan haemoglobin
yang relatif kurang (<=6g/l) pada darah juga dapat menjadi pertanda adanya
perdarahan dan dapat membantu dalam mendeteksi hypovolemic shock. Pasien
juga umumnya memiliki kegangguan kesadaran dan mengalami
kebingungan/kemarahan yang diakibatkan oleh gangguan pada sistem saraf
akibat kurangnya darah (Queensland Ambulance Service. 2016).
Menurut (Pascoe S& Lynch J. 2016) pasien yang menderita hypovolemic
shock dibagi menjadi tiga kategori berdasarkan persentase volume darah yang
hilang dari seluruh tubuh pasien, dan gejala yang dialami oleh tiap kategori
pasien disajikan dalam tabel berikut:

Persentase darah yang hilang dari Gejala yang dimiliki pasien


seluruh volume darah pasien
<15%  Respons tachycardia minim
 Perubahan TD umumnya tidak
signifikan
15-40%  Tachycardia
 Hypotensi
 Periferal Hypofusion
 Kesadaran pasien terganggu
>40%  Kemampuan tubuh
menkompensasi kehilangan
darah sudah pada batasnya
(Haemodynamic compensation
pada ambang batas)
 Kesadaran pasien terganggu
 Tachycardia
 Hypotensi

Apabila syok hipovolemik berkepanjangan tanpa penanganan yang baik maka


mekanisme kompensasi akan gagal mempertahankan curah jantung dan isi
sekuncup yang adekuat sehingga menimbulkan gangguan sirkulasi/perfusi
jaringan, hipotensi, dan kegagalan organ. Pada keadaan ini kondisi pasien
sangat buruk dan tingkat mortalitas sangat tinggi. Apabila syok hipovolemik tidak
ditangani segera akan menimbulkan kerusakan permanen dan bahkan kematian.
Perlu pemahaman yang baik mengenai syok dan penanganannya guna
menghindari kerusakan organ lebih lanjut (Danusantoso, 2014).

2.7 Prevensi dan Manajemen


Dalam penanganan syok hipovolemik, ventilasi tekanan positif yang
berlebihan dapat mengurangi aliran balik vena, mengurangi cardiac output, dan
memperburuk keadaan syok. Walaupun oksigenasi dan ventilasi penting,
kelebihan ventilasi tekanan positif dapat merugikan bagi pasien yang menderita
syok hipovolemik (Kolecki dkk, 2014). Pemberian cairan merupakan salah satu
hal yang paling umum yang dikelola setiap hari di unit perawatan rumah sakit dan
Intensive Care Unit (ICU), dan itu adalah prinsip inti untuk mengelola pasien
dengan syok hipovolemik (Yildiz, 2013; Annane, 2013)

2.7.1 Prinsip Penatalaksanaan (Hemorrhagic Shock, 2013)


Penatalaksanaan syok hipovolemik meliputi mengembalikan tanda-tanda
vital dan hemodinamik kepada kondisi dalam batas normal. Selanjutnya kondisi
tersebut dipertahankan dan dijaga agar tetap pada kondisi satabil.
Penatalaksanaan syok hipovolemik tersebut yang utama terapi cairan sebagai
pengganti cairan tubuh atau darah yang hilang. Jika ditemukan oleh petugas
dokter atau petugas medis, maka penatalaksanaan syok harus dilakukan secara
komprehensif yang meliputi penatalaksanaan sebelum dan di tempat pelayanan
kesehatan atau rumah sakit.
Penatalaksanaan sebelum di tempat pelayanan kesehatan harus
memperhatikan prinsipprinsip tahapan resusitasi. Selanjutnya bila kondisi
jantung, jalan nafas dan respirasi dapat dipertahankan, tindakan selanjutnya
adalah adalah menghentikan trauma penyebab perdarahan yang terjadi dan
mencegah perdarahan berlanjut. Menghentikan perdarahan sumber perdarahan
dan jika memungkinkan melakukan resusitasi cairan secepat mungkin.
Selanjutnya dibawa ke tempat pelayaan kesehatan, dan yang perlu diperhatikan
juga adalah teknik mobilisai dan pemantauan selama perjalanan. Perlu juga
diperhatikan posisi pasien yang dapat membantu mencegah kondisi syok
menjadi lebih buruk, misalnya posisi pasien trauma agar tidak memperberat
trauma dan perdarahan yang terjadi, pada wanita hamil dimiringkan kea rah kiri
agar kehamilannya tidak menekan vena cava inferior yang dapat memperburuh
fungsi sirkulasi. Sedangkan saat ini posisi tredelenberg tidak dianjurkan lagi
karena justru dapat memperburuk fungsi ventilasi paru.
Pada pusat layanan kesehatan atau dapat dimulai sebelumnya harus
dilakukan pemasangan infus intravena. Cairan resusitasi yang digunakan adalah
cairan isotonik NaCl 0,9% atau ringer laktat. Pemberian awal adalah dengan
tetesan cepat sekitar 20 ml/KgBB pada anak atau sekitar 1-2 liter pada orang
dewasa. Pemberian cairan terus dilanjutkan bersamaan dengan pemantauan
tanda vital dan hemodinamiknya. Jika terdapat perbaikan hemodinamik, maka
pemberian kristaloid terus dilanjutnya. Pemberian cairan kristaloid sekitar 5 kali
lipat perkiraan volume darah yang hilang dalam waktu satu jam, karena istribusi
cairan koloid lebih cepat berpindah dari intravaskuler ke ruang intersisial. Jika
tidak terjadi perbaikan hemodinamik maka pilihannya adalah dengan pemberian
koloid, dan dipersiapkan pemberian darah segera.

2.7.2 Manajemen dan Terapi


Ketika mendapati seseorang yang menunjukan gejala gejela hipovolemia
maka yang pertama harua dilakukan adalah mencari bantuan medis,sembari
menunggu bantuan medis datang Berikan pertolongan pertama pada penderita
hipovolemia, perlu digaris bawahi bahwa penangan pertama yang tepat pada
penderita hipovolemia sangat dibutuhkan karena dapat menghindari kematian
pada penderita. Berikut hal hal atau langkah langkah untuk memberi pertolongan
pertama pada penderita:
1. Jangan memberi cairan apapun pada mulut penderita contoh memberi minum
2. Periksa ABC (airway, breathing, circulation)
3. Buat pasien merasa nyaman dan hangat, hal ini dilakulan agar mencegah
hipotermia pada pasien
4. Bila ditemukan adanya cedera pada kepala, leher atau punggung jangan
memindahkan posisinya
5. Apabila tampak adanya perdarahan eksternal maka segera lakukan
penekanan pada lokasi perdarahan dengan menggunakan kain atau handuk, hal
ini dilakukan untuk meminimalisir volume darah yang terbuang. Jika dirasa perlu
kain atau handuk dapat diikatkan
6. Jika ditemukan benda tajam masih menancap pada tubuh penderita jangan
dicabut hal ini ditakutkan akan menyebabkan perdarahan hebat
7. Beri sanggaan pada kaki 45° atau setinggi 30 cm untuk meningkatkan
peredaran darah. Saat akan dipindahkan ke dalam ambulans usahakan posisi
kaki tetap sama
8. Jika adanya cedera pada kepala atau leher saat akana dinaikan menuju
ambulan berulah penyangga khusus terlebih dahulu.

Penatalaksanaan Syok Hipovolemik menurut (Fitria& Cemy Nur, 2012):


a. Mempertahankan Suhu Tubuh Suhu tubuh dipertahankan dengan
memakaikan selimut pada penderita untuk mencegah kedinginan dan
mencegah kehilangan panas. Jangan sekali-kali memanaskan tubuh
penderita karena akan sangat berbahaya.
b. Pemberian Cairan
1) Jangan memberikan minum kepada penderita yang tidak sadar, mual-
mual, muntah, atau kejang karena bahaya terjadinya aspirasi cairan ke
dalam paru.
2) Jangan memberi minum kepada penderita yang akan dioperasi atau
dibius dan yang mendapat trauma pada perut serta kepala (otak).
3) Penderita hanya boleh minum bila penderita sadar betul dan tidak ada
indikasi kontra. Pemberian minum harus dihentikan bila penderita menjadi
mual atau muntah.
4) Cairan intravena seperti larutan isotonik kristaloid merupakan pilihan
pertama dalam melakukan resusitasi cairan untuk mengembalikan volume
intravaskuler, volume interstitial, dan intra sel. Cairan plasma atau pengganti
plasma berguna untuk meningkatkan tekanan onkotik intravaskuler.
5) Pada syok hipovolemik, jumlah cairan yang diberikan harus seimbang
dengan jumlah cairan yang hilang. Sedapat mungkin diberikan jenis cairan
yang sama dengan cairan yang hilang, darah pada perdarahan, plasma
pada luka bakar. Kehilangan air harus diganti dengan larutan hipotonik.
Kehilangan cairan berupa air dan elektrolit harus diganti dengan larutan
isotonik. Penggantian volume intra vaskuler dengan cairan kristaloid
memerlukan volume 3–4 kali volume perdarahan yang hilang, sedang bila
menggunakan larutan koloid memerlukan jumlah yang sama dengan jumlah
perdarahan yang hilang. Telah diketahui bahwa transfusi eritrosit konsentrat
yang dikombinasi dengan larutan ringer laktat sama efektifnya dengan darah
lengkap.
6) Pemantauan tekanan vena sentral penting untuk mencegah pemberian
cairan yang berlebihan.
7) Pada penanggulangan syok kardiogenik harus dicegah pemberian cairan
berlebihan yang akan membebani jantung. Harus diperhatikan oksigenasi
darah dan tindakan untuk menghilangkan nyeri.
8) Pemberian cairan pada syok septik harus dalam pemantauan ketat,
mengingat pada syok septik biasanya terdapat gangguan organ majemuk
(Multiple Organ Disfunction). Diperlukan pemantauan alat canggih berupa
pemasangan CVP, “Swan Ganz” kateter, dan pemeriksaan analisa gas
darah.

2.7.3 Field Care


Saat bantuan medis datang dan penderita dibawa menggunakn ambulan,
berikan oxygen pada pasien untuk mempertahankan suplai oksigen ke jaringan.
Terapi cairan intravena biasanya dilakukan untuk mengganti cairan tubuh yang
hilang, nmun cairan intravena todak dapat mengankut darah sehingga tetap
disarankan untuk segera mendapatkan transfusi darah. Selain oemberian cairan
intravena sering pula dilakukan metode permissive hypotension metode ini
diutamakan bagi penderita trauma atau yang lebih dikenal sebagai terapi cairan
restriktif, metode ini digunakan agar tekanan darahbsistolik meningkattanpa
mencapai tekanan darah normal dengan tujuan pencegahan terlarutnya faktor
pembekuan secara berlebih (Fitria& Cemy Nur, 2012).

2.8 Prognosis
Menurut (Canadian Association of Radiologists, 2013) Pada umumnya,
Hypovolemic shock dapat menyebabkan kematian meskipun sudah diberikan
penanganan medis. Faktor usia juga merupakan faktor yang mempengaruhi
Hypovolemic shock, biasanya orang-orang yang sudah lanjut usia jika mengalami
Hypovolemic shock akan sulit ditangani dan disembuhkan. Hypovolumic shock
dapat disembuhkan jika segera diberikan penanganan atau tindakan meskipun
tidak menutup kemungkinan dapat menyebabkan kematian terhadap orang
tersebut. Hypovolemi shock biasanya tergantung dari hal-hal berikut:
1. Banyaknya darah yang hilang
2. Kecepatan penggantian cairan tubuh
3. Kondisi kesehatannya
4. Penyakit atau luka yang menyebabkan perdarahan
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Syok adalah suatu sindrom klinis yang terjadi akibat gangguan
hemodinamik dan metabolik ditandai dengan kegagalan sistem sirkulasi untuk
mempertahankan perfusi yang menuju ke organ-organ vital tubuh, sehingga
mengakibatkan disfungsi organ dalam tubuh. Salah satunya adalah syok
hipovolemik, syok hipovolemik. Syok hipovolemik merupakan syok yang terjadi
akaibat berkurangnya volume plasma di intravaskuler. Syok ini dapat terjadi
akibat perdarahan hebat (hemoragik). Perdarahan akan menurunkan tekanan
pengisian pembuluh darah rata-rata dan menurunkan aliran darah balik ke
jantung. Hal inilah yang menimbulkan penurunan curah jantung (heart pulse
rate). Ketika heart pulse rate turun, ketahanan vaskular sistemik akan berusaha
untuk meningkatkan tekanan sistemik guna menyediakan perfusi yang cukup
bagi jantung dan otak melebihi jaringan lain seperti otot, kulit dan khususnya
traktus gastrointestinal. Kebutuhan energi untuk pelaksanaan metabolisme di
jantung dan otak sangat tinggi tetapi kedua sel organ itu tidak mampu
menyimpan cadangan energi. Jika hal ini terus berlanjut maka satu persatu organ
tubuh akan mati dan berujung dapat menyebabkan kematian.

3.2 Saran
Bagi korban yang terkena syok, utamanya syok yang bersifat hipovolemik
harus mendapatkan penangana secara langsung, Karena jika tidak dapat
ditangani secara cepat dan tepat, maka satu persatu organ mengalami disfungsi
dan mati sehingga berujung pada kematian.
DAFTAR PUSTAKA

1. Kakunsi, Yane D., Killing, Maykel, and Deetje, Supit. Hubungan pengetahuan
perawat dengan penanganan pasien syokhipovolemik di ugd rsud
pohuwato. Buletin Sariputra. 2015;5(3):90-96.
2. Lamm, Ruth L., and Coopersmith, Craig M. 2012. Comprehensive Critical
Care:Adult. Chapter 10. Illinois: Society of Critical Care Medicine.
3. Wijaya, IP. 2014. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III. Ed VI. Interna
Publishing. Jakarta.
4.. Queensland Ambulance Service. 2016. Clinical Practice Guidelines:
Trauma/Hypovolaemic Shock. Queensland;. Diakses pada [13 Oktober
2016]. Tersedia pada
[https://ambulance.qld.gov.au/docs/clinical/cpg/CPG_Hypovolaemic%20s
hoc k.pdf]
5. Pascoe S, Lynch J. 2016. Management of Hypovolaemic Shock in the Trauma
Patient. Diakses pada [13 Oktober 2016]. Tersedia pada
[http://www.aci.health.nsw.gov.au/__data/assets/pdf_file/0006/195171/Hy
pov olaemicShock_FullReport.pdf]
6. First Aid Guide and Emergency Treatment Instructions. Saporo fire bureau.
Available at [https://www.city.sapporo.jp]. Diakses pada [10 oktober
2016].
7. Fitria, Cemy Nur. 2012. Syok dan Penangannya.
8. Jun Wang, Teresa Liang, Luck Louis, Savvas Nicolaou, Patrick D. Mc
Laughlin. Hypovolemic Shock Complex in the Trauma Setting: A Pictorial
Review. Canadian Association of Radiologists. 2013;64:156-163.
Tersedia pada [http://sciencedirect.com].
9. Diantoro, Dimas Gatra. (2014). Syok hipovolemik. Purwokerto : RSUD
Margono Soekarjo. (online). (http://www.scrib.com, diakses tanggal 3
Maret 2015)
10. Finfer, S. R., Vincent, Jean-Louis & De Backer, Daniel. (2013). Critical care
medicine : circulatory shock. The New England Journal of Medicine. Ed.
369 vol. 18. 1726 - 1734. (online). (http://search proquest.com, diakses
tanggal 30 Januari 2015)
11. World Health Organization (WHO). (2012). The ten leading causes of death in
the world 2000 and 2012. (online). (http://www.who.int, diakses tanggal 30
Maret 2015
12. Hutabarat, Evangeline M. 2014. Perbedaan Hemodinamik Sebelum dan
Sesudah Passive Leg Raising Dan Pemberian Cairan Infus Pada Pasien
Syok Hipovolemik Di Instalasi Gawat Darurat RS Dustira Cimahi.
http://pustaka.unpad.ac.id/archives /130596/. Diakses tanggal 16 April
2014 pukul 06.00 WITA.
13. Kolecki P, Menckhoff CR, Talavera F, Kazzi AA, Brenner BE, Dire DJ (2014).
Hypovolemic Shock. http://emedicine.medscape.com/article/760145-
overview#a6. Diakses Februari 2016.
14. Yildiz F (2013). Fluid replacement in treatment of hypovolemia and shock:
Cystalloids and colloids. Archives Medical Review Journal, 22(3): 347-61
15. Danusantoso MM, Pudjiadi AH, Djer MM, Widodo DP, Kaban RK, Andriastuti
M (2014). Pengukuran indeks syok untuk deteksi dini syok hipovolemik
pada anak dengan takikardi: Telaah terhadap perubahan indeks isi
sekuncup. Sari Pediatri, 15(5): 319-20.
16. Udeani J, Kaplan LJ, Talavera F, Sheridan RL, Rice TD, Geibel J.
Hemorrhagic Shock 2013: Available from:
http://emedicine.medscape.com/article/432650- overview#showall.
17. Guyton A, Hall J. Circulatory Shock and Physiology of Its Treatment (Chapter
24). Textbook of Medical Physiology. 12th ed. Philadelphia, Pensylvania:
Saunders; 2010. p. 273-84.
18. Costanzo L. Physiology Cases and Problems. 4th ed. Philadelphia: Lippincott
Williams & Wilkins; 2012.
19. Silverthorn DU. Human Physiology: An Integrated Approach. 5th ed:
Benjamin-Cummings Publishing Company; 2011.
20. Soenarto RF. Fisiologi Kardiovaskuler. In: Soenarto RF, Chandra S, editors.
Buku Ajar Anestesiologi. Jakarta: FKUI; 2012. p. 75-89.

Anda mungkin juga menyukai