Anda di halaman 1dari 6

A.

Perhitungan Persen Kristalisasi Mineral


Kristal terbentuk terutama melalui proses akibat perubahan suhu atau tekanan cairan.
Jika terdapat cukup waktu dan ruang bagi individu kristal bertumbuh, kristal-kristal tersebut
akan berkembang menjadi bentuk geometris pada sisinya. Jika tidak, kristal akan
mengembangkan tekstur yang saling mengunci (interlocking) seperti yang terlihat di sebagian
besar batuan kristalin (Gravies Point Museum and Preserve, diakses tanggal 01 Juli 2020).
Seperti yang disebutkan sebelumnya bahwa proses pembentukan kristal adalah fungsi dari
suhu dan tekanan, maka perubahan dari kedua variabel tersebut akan sangat mempengaruhi
derajat kristalinitas dari suatu mineral ataupun batuan.
Istilah kristalinitas memiliki beberapa interpretasi dalam kristalografi, tetapi biasanya
adalah jumlah fraksi dalam sampel yang tersusun secara tiga dimensi dalam matriks bahan
amorf yang tidak beraturan (Bish, D.L., dkk., 1989) atau sederhananya bahwa kristalinitas
merupakan banyaknya (persentase) kristal yang terdapat dalam suatu material. Indeks
kristalinitas biasanya didasarkan pada beberapa rasio pola difraksi kristalin terhadap
intensitas hamburan bagian amorf. Rasio ini dapat berupa pengukuran area atau fungsi
ketinggian puncak dan lembah. Kristalinitas dalam sistem geologi berlaku untuk grafit dalam
batubara, kristalin SiO2 terhadap amorf SiO2, mineral lempung, dan bahan berserat seperti
asbes. Sebagian besar pengukuran diambil langsung dari tampilan grafis dari pola difraksi
(Bish, dkk., 1989).

a. Metode Penentuan Persen Kristalisasi


Kristalinitas suatu material bisa ditentukan dengan berbagai metode antara lain:
1. Difraksi sinar-X (XRD) berdasarkan pola spektrum difraksi kristal dan amorf,
2. Specivic Volume (Densitas) yaitu perbedaan densitas eksperimental dan densitas teoritis
yang kemudian dibandingkan dengan standard,
3. Differential Scanning Calorimetry (DSC) yaitu membandingkan panas peleburan sampel
dengan panas standar pada kondisi 100% kristalin,
4. Nucclear Magnetic Resonance (NMR), yaitu membandingkan resonansi sampel dengan
standar, dan
5. Fourier Transform Infrared (IR), yaitu membandingkan pola spektrum infra merah sampel
dengan standard.
Dari ke-5 metode yang telah disebutkan di atas, hanya metode difraksi sinar-X yang akan
dibahas dalam tulisan ini. Metode penentuan persen kristanilinas tersebut adalah difraksi
sinar-X.

b. Penentuan Persen Kristalinitas dengan Difraksi Sinar-X


Difraksi sinar-X adalah metode yang paling umum digunakan karena mempunyai
beberapa keuntungan antara lain (Sugondo dan Badruzzaman, 1999); pola difraksi
berdasarkan kisi kristal sehingga hasilnya lebih akurat; preparasi cuplikan sederhana,
pengukuran lebih cepat, jika pengukuran rutin bisa dalam orde menit; dan bisa ditentukan
tanpa standar.
Setiap fasa kristal dari zat tertentu menghasilkan pola difraksi sinar-X yang khas. Pola
difraksi dapat diperoleh dari bubuk kristal yang diorientasikan secara acak yang terdiri dari
kristalit atau fragmen kristal berukuran terbatas. Pada dasarnya 3 jenis informasi dapat
diturunkan dari pola difraksi bubuk, yaitu; posisi sudut garis difraksi (tergantung pada
geometri dan ukuran sel satuan; intensitas garis difraksi (terutama tergantung pada jenis dan
susunan atom, dan orientasi partikel dalam sampel); dan profil garis difraksi (tergantung pada
resolusi instrumental, ukuran kristal, regangan dan ketebalan spesimen). Eksperimen yang
memberikan posisi sudut dan intensitas garis dapat digunakan untuk aplikasi seperti analisis
fasa kualitatif (misalnya, identifikasi fasa kristal) dan analisis fasa kuantitatif bahan kristal.
Perkiraan fraksi amorf dan kristal juga dapat dibuat. Metode difraksi serbuk sinar-X (XRPD)
memberikan keuntungan dibandingkan dengan cara analisis lain dalam hal itu biasanya
preparasi spesimen yang sifatnya non-destruktif biasanya terbatas pada penggerusan untuk
memastikan sampel yang berorientasi secara acak. Investigasi XRPD juga dapat dilakukan
dalam kondisi in-situ pada spesimen yang terpapar pada kondisi non-ambien, seperti suhu
dan kelembaban yang rendah atau tinggi.
Pola difraksi sinar-X umumnya digunakan dalam ilmu polimer, makanan, geologi, dan
metalografi untuk memperkirakan kristalinitas multikomponen (Rabiej, S., 1990; Fatriasari,
et al., 2019; Gualtri, 1990; Rowe, et al., 2012; Klug dan Alexander, 1973). Dasar dari teknik
ini adalah bahwa pola difraksi dapat dipisahkan menjadi dua komponen: (1) puncak yang
tajam dan khas terkait dengan bahan kristal; dan (2) puncak yang sangat luas atau melebar
yang berpusat pada ~ 25° 2θ yang terkait dengan bahan amorf. Intensitas relatif keseluruhan
(jumlah hitungan) yang terkait dengan bahan kristal sebanding dengan kristalinitas. Dengan
demikian, kristalinitas relatif material dapat dihitung dengan membagi pola difraksi menjadi
komponen-komponen ini (Rowe, et al., 2012).
Proses kuantifikasi dapat dilakukan dengan dengan metode tradisional single peak
(puncak tunggal) maupun dengan metode whole pattern method (metode pola penuh)
(penjelasan lebih jauh pada sub-bab Perhitungan Kuantitatif Pada Mineral Campuran).
Dengan menggunakan ke-2 metode ini, maka perhitungan persen kristanilitas dapat
dilakukan. Salah satu teknik yang dapat digunakan untuk mengetahui persen kristalisasi pada
mineral adalah melalui perbandingan rasio perhitungan terintegrasi yang berhubungan
dengan komponen kristal terhadap total area di atas background linier (amorf + kristal),
sehingga memberikan perkiraan kristalinitas relatif sampel sebagai berikut:

= ( )
× 100% = Kristalinitas (1)

Dimana CSC dan LC masing-masing adalah perhitungan terintegrasi di atas background spline
kubik dan linier, dan AC dan CC masing-masing adalah perhitungan yang berhubungan
dengan komponen amorf dan kristal.

Seperti yang telah disebutkan sebelumnya bahwa perhitungan persen kristalinitas umumnya
dilakukan pada material-material tertentu seperti mineral lempung. Pada analisis kuantitatif
mineral lempung, keakuratan analisis dipengaruhi oleh peningkatan efek matriks dari sruktur
unik mineral lempung (Zhou, et al., 2018). Untuk mengeliminasi efek matriks, metode
standar internal dapat diterapkan pada proses analisisnya. Seperti yang desebutkan oleh Zhou,
dkk. dalam tulisannya bahwa penerapan pertama dari standar internal telah dilaporkan oleh
Clark dan Reynolds pada tahun 1936 untuk analisis quantitatif terhadap debu tambang.
Metode ini secara teoritis dikembangkan oleh Alexander dan Klug (1948) sebagai berikut:

( )
=k× (2)
( )

Dimana x adalah persen massa komponen P dalam sampel, k adalah koefisien yang
berhubungan dengan sifat-sifat uji difraksi sinar-X (yaitu, geometri peralatan dan panjang
gelombang sinar-X) dan dengan jumlah yang ditambahkan dari standar. Ip dan Is adalah
masing-masing intensitas diraksi sinar-X dari komponen P dan s.

Standar internal yang umum adalah digunakan adalah LiF, αAl2O3 dan AlO(OH) karena
standar ini biasanya memiliki koefisien atenuasi yang rendah, lebih disukai karena
menampilkan hanya beberapa refleksi XRD dan setidaknya terdapat satu refleksi kuat (Zhou,
et al., 2018). Dengan penambahan bahan standar terhadap sampel pada proporsi yang konstan
dengan fraksi dari sampel, maka persen massa komponen P akan sebanding dengan Ip/Is
(Alexander dan Klug (1948).

c. Contoh Perhitungan Derajat Kristalinitas


Perhitungan persen kristalinitas yang dilakukan dengan metode pola penuh (whole
pattern method) terhadap pasir basaltik lepas dari Bagnol Sand Dunes (Gobabeb) dan
batulempung silisik dari hasil pemboran(Buckskin ) (Rowe dan Brewer, 2017). Pola XRD
dari 2 sampel tersebut berasal dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Rowe dan Brewer
(2017). Pola XRD yang diperoleh, kemudian didigitasi dengan menggunakan perangkat lunak
AutoCAD 2007 untuk menghitung total luas dari peak fasa kristalin dan peak fasa amof.

Gambar 2. Pola XRD sampel Gobabeb dan Buckskin dan hasil perhitungan komposisi fasa
amorf yang dihitung menggunakan perangkat lunak AMORP
Keterangan : Garis padat tipis mewakili hasil model individu untuk komponen kristal (merah) dan amorf
(biru), latar belakang linear (kuning) dan hasil model yang dikompilasi (hijau). Garis putus-
putus tebal (warna sama dengan hasil masing-masing model) menunjukkan hasil model rata-
rata. Hasil perhitungan statistik yang dikeluarkan oleh AMORPH untuk setiap analisis
ditunjukkan di bawah hasil model.

Berdasarkan Gambar 2, pola komponen kristal (merah) dan amorf (biru) yang kemudian
didigitasi untuk menghitung luas daerah di bawah peak-peak. Berikut adalah gambar pola
XRD hasil digitasi dengan perangkat lunak AutoCAD 2007.

Gambar 3. Hasil digitasi pola XRD sampel Gobabeb dan dengan perangkat lunak AutoCAD

Hasil perhitungan luas keseluruhan puncak-puncak untuk masing-masing fasa disajikan


pada Tabel 1.

Tabel 1. Hasil perhitungan persen kristalinitas dan amorf berdasarkan pola XRD (hasil
digitasi) sampel Gobabeb dan Buckskin (Rowe dan Brewer, 2017)
Sampel Luas total puncak kristal Luas total puncak amorf % Kristalinitas % Amorf
Gobabeb 2 (atas) 4.737,2094 2.979,5128 61,4% 38,6%
Gobabeb 2 (bawah) 5.043,3460 3.019,2760 62,6% 37,4%
Buckskin 2 (atas) 4.452,9994 3.431,6679 56,5% 43,5%
Buckskin 2 (bawah) 4.283,4237 3.802,5806 53,0% 47,0%
Perlu dicatat bahwa perhitungan yang dilakukan melalui prosedur digitasi ulang pola XRD
dari dari kedua sampel tersebut bertujuan hanya untuk menampilkan cara menghitung persen
kristalinitas melalui perbandingan luas daerah dibawah peak fasa kristalin (dicirikan dengan
puncak-puncak tajam) dengan peak fasa amorf (puncak-puncak yang melebar). Terdapat
perbedaan hasil perhitungan (digitasi pola XRD) dengan hasil perhitungan yang dilaporkan
oleh Rowe dan Brewer (2017) dengan kisaran nilai dari 0,3% sampai 1,9%. Perbedaan ini
tertunya diakibatkan oleh proses digitasi pada pola XRD yang tidak lepas dari human error
akibat kualitas gambar yang didigitasi beresolusi rendah.

Anda mungkin juga menyukai