Anda di halaman 1dari 15

aturday, May 12, 2018

MAKALAH PARADIGMA POSITIVISME DAN POST-POSITIVISME

MAKALAH EPISTEMOLOGI ILMU: PARADIGMA POSITIVISME DAN POST-


POSITIVISME
Abstrak
Sampai saat ini sejarah tentang ilmu merupakan sebuah kisah kesuksesan, kemenangan-
kemenangan ilmu melambangkan suatu proses kumulatif peningkatan pengetahuan dan
rangkaian kemenangan terhadap kebodohan dan tahayul. Filsafat mengkotak-kotakkan setiap
pengetahuan yang sering kali berdasar pada pengalaman. Sejalan dengan ajaran filsafat
Auguste Comte model epistemologi mulai dikembangkan dalam penelitian ilmu-ilmu social.  Hal
ini menyatakan suatu aliran filsafat yang menyatakan ilmu alam sebagai satu-satunya sumber
pengetahuan yang benar dan menolak aktifitas yang berkenaan dengan metafisik.
Positivisme memandang  agama sebagai gejala peradaban manusia yang
primitif.  Sedangkan Post-positivisme merupakan perbaikan positivisme yang dianggap memiliki
kelemahan-kelemahan, dan dianggap hanya mengandalkan kemampuan pengamatan langsung
terhadap objek yang diteliti.
Kata kunci: Positivisme dan Post-Positivisme
A.  Pendahuluan
Dewasa ini terdapat perhatian yang semakin besar terhadap filsafat ilmu.
Perkembangan cepat dialami oleh banyak ilmu serta pengaruhnya yang semakin besar
terhadap kehidupan masyarakat.  Filsafat ilmu ialah penyelidikan tentang ciri-ciri
pengetahuan ilmiah dan cara-cara memperolehnya. Dengan kata lain filsafat ilmu
sesungguhnya merupakan suatu penyelidikan lanjutan.[1]
Sampai saat ini sejarah tentang ilmu merupakan sebuah kisah kesuksesan,
kemenangan-kemenangan ilmu melambangkan suatu proses kumulatif peningkatan
pengetahuan dan rangkaian kemenangan terhadap kebodohan dan tahayul. Dan dari
ilmulah kemudian mengalir arus penemuan-penemuan yang berguna untuk kemajuan
hidup manusia. Sejarawan segera menyadari bahwa gagasan ilmu yang diperoleh selama
dalam pendidikaanya hanyalah salah satu dari sekian banyak gagasan dan itu merupakan
produk-produk dari konteks-konteks yang bersifat sementara.
Pembagian-pembagian nama dan istilah dalam filsafat mengkotak-kotakkan setiap
pengetahuan yang sering kali berdasar pada pengalaman, selain itu tidak dipungkiri
bahwa berfilsafat sebagai manifestasi kegiatan intelektual yang telah meletakkan dasar-
dasar paradigmatik bagi tradisi dalam kehidupan masyarakat ilmiah ala barat.
Sejalan dengan ajaran filsafat Auguste Comte yang dikenal sebagai bapak Sosiologi,
logico–positivisme yang juga digagas oleh dirinya, merupakan model epistemologi yang
di dalamnya terdapat lengkah-langkah progresinya menempuh jalan melalui observasi,
eksperimentasi dan komparasi mendapatkan apresiasi yang berlebihan sehingga model ini
juga mulai dikembangkan dalam penelitian ilmu-ilmu sosial. [2] Dari sinilah kita akan
membahas tiga hal penting tentang positivisme dan post-positivisme saja.
B.  PEMBAHASAN
1.    Positivisme
Positivisme adalah suatu aliran filsafat yang menyatakan ilmu alam sebagai satu-
satunya sumber pengetahuan yang benar dan menolak aktifitas yang berkenaan dengan
metafisik. Tidak mengenal adanya spekulasi, semua didasarkan pada data empiris.
Menurut Amsal Bakhtiar dalam bukunya filsafat agama bahwa positivisme adalah
kelanjutan dari empirisme. Kalau empirisme menekankan pada pengalaman saja dan
merendahkan fungsi akal, adapun positivise menggabungkan keduanya.
Positivisme, kata asalnya adalah “positif”, berarti yang diketahui, yang factual, dan
yang positif. Segala uraian yang diluar fakta atau kenyataan dikesampingkan. Oleh
karena itu, metafisika ditolak. Apa yang diketahui secara positif adalah segala yang
tampak dan yang dapat diukur. Dengan demikian positivisme membatasi filsafat dan ilmu
pada bidang gejala-gejala saja.[3]
Dalam paradigma ilmu, ilmuwan telah mengembangkan sejumlah perangkat
keyakinan dasar yang mereka gunakan dalam mengungkapkan hakikat ilmu yang
sebenarnya dan bagaimana cara untuk mendapatkannya.
Tradisi  pengungkapan  ilmu ini  telah  ada  sejak  adanya  manusia,  namun  secara
sistematis  dimulai  sejak  abad ke-17,  ketika  Descartes  (1596-1650)  dan  para  penerus
nya
mengembangkan  cara pandang  positivisme,  yang  memperoleh  sukses  besar  sebagiam
ana  terlihat pengaruhnya dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dewasa
ini. Paradigma ilmu pada dasarnya berisi jawaban atas pertanyaan fundamental proses
keilmuan manusia, yakni bagaimana, apa, dan untuk apa. Tiga pertanyaan dasar itu
kemudian dirumuskan menjadi beberapa dimensi.[4]
a.    Dimensi  ontologis,  pertanyaan  yang  harus  dijawab  oleh  seorang  ilmuwan adalah:
Apa sebenarnya hakikat dari sesuatu yang dapat diketahui ( knowable), atau apa
sebenarnya hakikat dari suatu realitas (reality). Dengan demikian dimensi yang
dipertanyakan adalah hal yang nyata (what is nature of reality?).
b.    Dimensi epistemologis, pertanyaan yang harus dijawab oleh seorang ilmuwan adalah:
Apa sebenarnya hakikat hubungan antara pencari ilmu (inquirer) dan objek yang
ditemukan (know atau knowable)?
c.    Dimensi  axiologis,  yang  dipermasalahkan  adalah  peran  nilai-nilai  dalam  suatu kegia
tan penelitian.
d.   Dimensi retorik yang dipermasalahkan adalah bahasa yang digunakan dalam penelitian.
e.    Dimensi metodologis, seorang ilmuwan harus menjawab pertanyaan: bagaimana cara
atau
metodologi  yang  dipakai  seseorang  dalam  menemukan  kebenaran  suatu ilmu  penget
ahuan? Jawaban terhadap kelima dimensi pertanyaan ini, akan menemukan posisi
paradigma ilmu untuk menentukan paradigma apa yang akan dikembangkan seseorang
dalam kegiatan keilmuan.[5]
Positivisme merupakan paradigma ilmu pengetahuan yang paling awal muncul dalam
dunia ilmu pengetahuan. Keyakinan dasar aliran ini berakar dari paham ontologi realisme
yang menyatakan bahwa realitas ada (exist) dalam kenyataan yang berjalan sesuai dengan
hukum alam (natural laws). Dengan kata lain, Positivisme merupakan suatu aliran filsafat
yang menolak aktifitas yang berkenaan dengan metafisik. Tidak mengenal adanya
spekulasi, semua didasarkan pada data empiris.
Sesungguhnya aliran ini menolak adanya spekulasi teoritis sebagai suatu sarana
untuk memperoleh pengetahuan (seperti yang diusung oleh kaum idealisme khususnya
idealisme Jerman Klasik). Positivisme merupakan empirisme, yang dalam segi-segi
tertentu sampai kepada kesimpulan logis ekstrim karena pengetahuan apa saja merupakan
pengetahuan empiris dalam satu atau lain bentuk, maka tidak ada spekulasi dapat menjadi
pengetahuan.
Filsafat positivisme lahir pada abad ke-19. Titik tolak pemikirannya, segala yang
diketahui adalah yang faktual dan yang positif, sehingga metafisika ditolaknya. Positif
adalah segala gejala dan segala yang tampak seperti apa adanya, sebatas pengalaman-
pengalaman obyektif. Jadi, setelah fakta diperoleh, maka fakta-fakta tersebut kita atur
untuk dapat memberikan asumsi (proyeksi ke masa depan). Beberapa tokoh diantaranya,
August Comte (1798-1857), Jonh S. Mill (1806-1873), Herbert Spencer (1820-1903).[6]
Positivisme muncul pada abad ke-19 dimotori oleh sosiolog Auguste Comte, dengan
buah karyanya yang terdiri dari enam jilid dengan judul The Course of Positive
Philosophy (1830-1842). Ia lahir di Montpellier, Prancis. Sebuah karya penting, Cours de
Philosofia Positif (kursus tentang filsafat positif), dan berjasa dalam mencipta ilmu
sosiologi.
Positivisme memandang agama sebagai gejala peradaban manusia yang primitive.
August Comte, tokoh positivisme, membagi sejarah umat manusia atas tiga tahap.
Pertama, tahap teologis, yaitu manusia masih terpaku pada hakikat ‘batin’ segala sesuatu,
sebab pertama, dan tujuan terakhir. Jadi seseorang masih percaya kepada Yang Mutlak.
Tingkat teologi menerangkan segala-galanya dengan pengaruh dan sebab-sebab yang
melebihi kodrat.[7] Kedua, tahap metafisika, yaitu perubahan bentuk saja dari zaman
teologis. Kekeuatan-kekuatan adikridati yang berupa dewa diganti dengan kekuatan yang
abstrak lewat proses generalisasi. Ketiga, tahap positif, yairtu ketika orang sadar bahwa
tidak ada gunanya untuk berusaha mencapai pengenalan, baik teologis maupun metafisis.
Zaman ini, seseorang tidak mau lagi melihat awal dan tujuan alam semesta, tetapi
berusaha menemukan hokum-hukum kesamaan yang ada dibelakang fakta lewat
pengamatan dan akanya. Tujuan tertinggi pada zaman ini akan tercapai, bila mana segala
gejala telah dapat disusun dan diatur di dalam satu fakta yang umum saja. [8]
Comte berpendapat bahwa tiga tahap perkembangan umat manusia tidak saja berlaku
bagi suatu bangsa atau suku, tetapi juga individu dan ilmu. Ketika masa kanak-kanak,
seseorang menjadi teolog. Ketika remaja, dia menjadi meyafisikus, dan ketika dewasa dia
menjadi positivis. Ilmu juga demikian. Pada awalnya ilmu dikuasai oleh teologis, sesudah
itu di abstraksikan oleh metafisika, dan akhirnya baru dicerahkan oleh hokum-hukum
positif.
Alat penelitian yang pertama menurut Comte adalah observasi, tindak  mengamati
sekaligus
menghubungkan  dengan  sesuatu  hukum  yang  hipothetik  diperbolehkan oleh  Comte.  
Itu
merupakan  kreasi  simultan  observasi  dengan  hukum  dan merupakan  lingkaran  yang  
tak berujung.  Eksperimentasi menjadi metode yang kedua menurut Comte yaitu suatu
proses reguler phenomena dapat diintervensi dengan sesuatu yang lain. Komparasi
dipakai untuk halhal yang lebih kompleks seperti biologi dan sosiologi.
Comte-lah  yang  pertama  kali  menggunakan  istilah  sosiologi  untuk menggantikan 
 istilah phisique  sociale  dari  Quetelet. Ia membedakan antara social statics dan social
dynamic. Pembedaan itu hanyalah untuk tujuan analisis, keduanya menganalisa fakta
sosial yang sama, hanya dengan tujuan yang berbeda. Yang pertama menelaah fungsi
jenjang-jenjang peradaban, yang kedua menelaah perubahan-perubahan jenjang tersebut.
[9]
Menurut Emile Durkheim (1982:59) objek studi sosiologi adalah fakta sosial (social-
fact): Fakta sosial yang dimaksud meliputi: bahasa, sistem hukum, sistem politik,
pendidikan, dan lain-lain. Sekalipun fakta sosial berasal dari luar kesadaran individu,
tetapi dalam penelitian positivisme, informasi kebenaran itu ditanyakan oleh penelitian
kepada individu yang dijadikan responden penelitian. Untuk mencapai kebenaran ini,
maka seorang pencari kebenaran (penelitian) harus menanyakan langsung kepada objek
yang diteliti, dan objek dapat memberikan jawaban langsung kepada penelitian yang
bersangkutan. Hubungan epistemologi ini, harus menempatkan si peneliti di belakang
layar untuk mengobservasi hakekat realitas apa adanya untuk menjaga objektifitas
temuan. Karena itu secara metodologis, seorang penelitian menggunakan metodologi
eksperimen-empirik untuk menjamin agar temuan yang diperoleh betul-betul objektif
dalam menggambarkan keadaan yang sebenarnya. Mereka mencari ketepatan yang tinggi,
pengukuran yang akurat dan penelitian objektif, juga mereka menguji hipotesis dengan
jalan melakukan analisis terhadap bilangan-bilangan yang berasal dari pengukuran.
Di bawah naungan payung positivisme, ditetapkan bahwa objek ilmu pengetahuan
maupun pernyataan-pernyataan ilmu pengetahuan (Scientific Proporsition) haruslah
memenuhi syarat-syarat (Kerlinger, 1973) sebagai berikut: dapat di/ter-amati
(observable), dapat di/ter-ulang (repeatable), dapat di/ter-ukur (measurable), dapat di/ter-
uji (testable), dan dapat di/ter-ramalkan (predictable).[10]
Tokoh semasa dengan Comte yang juga memberi landasan positivisme adalah
Jeremy Bentham dan James Mill (1806-1873),[11] menurut keduanya ilmu yang valid
adalah ilmu yang dilandaskan pada fakta. Ethik tradisional yang dilandaskan pada moral
diganti dengan ethik pada motif perilaku pada kepatuhan manusia pada aturan. Mill
menolak absolut dari agama. Mill berpendapat bahwa kebebasan manusia itu bagaikan a
secrad fortress (benteng suci) yang aman dari penyusupan otoritas apapun, wawasan yang
menjadi marak pada akhir abad 20-an ini.
Salah seorang pendukung positivism adalah Herbert Spencer. Spencer sependapat
dengan Comte, terutama tentang eksistensi Tuhan. Menurutnya, keterangan mengenai
dunia, baik yang bersifat keagamaan maupun yang bersifat metafisik menimbulkan
pertentangan. Agama dan metafisik ingin memberikan penjelasan tentang asal mula
sesuatu, padahal manusia tidak mampu mengetahui hal itu.
Pemikiran Herbert Spencer (1820-1903) berpusat pada teori evolusi ia telah
mendahului Carles Darwin, ia memutuskan menulis karya tulis yang menetrpkan prinsip
evolusi srta sistematis. Hasilnya karya yang berjudul A system of synthetic philosophy.
Menurutnya kita hanya bisa mengenal gejala-gejala saja walaupun dibelakang gejala
tersebut ada dasar yang absolut, tetapi absolut itu tidak dapat dikenal.
Seorang positivis, membatasi dunia pada hal-hal yang bias dilihat, yang bisa diukur,
dan yang bias dibuktikan kebenarannya. Karena agama-maksudnya Tuhan tidak tidak
bias dilihat, diukur, dan dibuktikan, maka agama tidak mempunyai arti dan faedah. Suatu
pernyataan dianggap benar oleh positivisme apabila pernyataan itu sesuai dengan fakta.
Paradigma positivisme telah menjadi pegangan para ilmuwan untuk mengungkapkan
kebenaran realitas. Kebenaran yang dianut positivisme dalam mencari kebenaran adalah
teori korespondensi. Teori korespondensi menyebutkan bahwa suatu pernyataan adalah
benar jika terdapat fakta-fakta empiris yang mendukung pernyataan tersebut. Atau
dengan kata lain, suatu pernyataan dianggap benar apabila materi yang terkandung dalam
pernyataan tersebut bersesuaian (korespodensi) dengan obyek faktual yang ditunjuk oleh
pernyataan tersebut.[12]
Setelah positivisme ini berjasa dalam waktu yang cukup lama (± 400 tahun),
kemudian berkembang sejumlah ‘aliran’ paradigma baru yang menjadi landasan
pengembangan ilmu dalam berbagai bidang kehidupan.
2.     Postpositivisme
Post Positivisme lawan dari positivisme: cara berpikir yg subjektif Asumsi terhadap
realitas: there are multiple realities (realitas jamak), Kebenaran subjektif dan tergantung
pada konteks value, kultur, tradisi, kebiasaan, dan keyakinan. Natural dan lebih
manusiawi.[13]
Munculnya gugatan terhadap positivisme di mulai tahun 1970-1980an. Pemikirannya
dinamai “post-positivisme”.  Tokohnya; Karl R.  Popper, Thomas Kuhn, para filsuf
mazhab Frankfurt (Feyerabend, Richard Rotry). Paham ini menentang positivisme,
alasannya tidak mungkin menyamaratakan ilmu-ilmu tentang manusia dengan ilmu alam,
karena tindakan manusia tidak bisa di prediksi dengan satu penjelasan yang mutlak pasti,
sebab manusia selalu berubah.
Salah satu pendiri postpositivisme adalah Karl Popper. Karl Popper lahir
di   Vienna, Austria,  28 Juli 1902 dan meninggal di London, Inggris, 17
September  1994 (umur 92 tahun). Popper merupakan salah satu dari sekian
banyak filsuf ilmu dan pakar dalam bidang psikologi belajar. Popper dikenal dengan
gagasan falsifikasi, sebagai lawan dari verifikasi terhadap ilmu. Falsifikasi adalah
gagasan melihat suatu teori dari sudut pandang kesalahan. Dengan menganggap teori itu
salah, dan dengan segala upaya dibuktikan kesalahan tersebut hingga mutlak salah,
dibuatlah teori baru yang menggantikannya.
Post-positivisme merupakan perbaikan positivisme yang dianggap memiliki
kelemahan-kelemahan, dan dianggap hanya mengandalkan kemampuan pengamatan
langsung terhadap objek yang diteliti. Secara ontologis aliran post-positivisme bersifat
critical realism dan menganggap bahwa realitas memang ada dan sesuai dengan
kenyataan dan hukum alam tapi mustahil realitas tersebut dapat dilihat secara benar oleh
peneliti. Secara epistomologis: Modified dualist/objectivist, hubungan peneliti dengan
realitas yang diteliti tidak bisa dipisahkan tapi harus interaktif dengan subjektivitas
seminimal mungkin. Secara metodologis adalah modified experimental/ manipulatif.[14]
Observasi yang didewakan positivisme dipertanyakan netralitasnya, karena observasi
dianggap bisa saja dipengaruhi oleh persepsi masing-masing orang. Proses dari
positivisme ke post-positivisme melalui kritikan dari tiga hal yaitu:
a.    Observasi sebagai unsur utama metode penelitian,
b.    Hubungan yang kaku antara teori dan bukti. Pengamat memiliki sudut pandang yang berbeda
dan teori harus mengalah pada perbedaan waktu,
c.    Tradisi keilmuan yang terus berkembang dan dinamis (Salim, 2001).
Post positivisme merupakan sebuah aliran yang datang setelah positivisme dan
memang amat dekat dengan paradigma positivisme. Salah satu indikator yang
membedakan antara keduanya bahwa post positivisme lebih mempercayai
proses verifikasi terhadap suatu temuan hasil observasi melalui berbagai macam metode.
Dengan demikian suatu ilmu memang betul mencapai objektivitas apabila telah
diverifikasi oleh berbagai kalangan dengan berbagai cara.[15]
Asumsi Dasar Post Positivisme:
a.    Fakta tidak bebas nilai, melainkan bermuatan teori.
b.    Falibilitas Teori, tidak satupun teori yang dapat sepenuhnya dijelaskan dengan bukti-bukti
empiris, bukti empiris memiliki kemungkinan untuk menunjukkan fakta anomali.
c.    Fakta tidak bebas melainkan penuh dengan nilai.
d.   Interaksi antara subjek dan objek penelitian. Hasil penelitian bukanlah  reportase  objektif
melainkan  hasil  interaksi  manusia  dan  semesta  yang  penuh  dengan  persoalan  dan senantias
a berubah.
e.    Asumsi dasar post-positivisme tentang realitas adalah jamak individual.
f.     Hal itu berarti bahwa realitas (perilaku manusia) tidak tunggal melainkan hanya bisa
menjelaskan dirinya sendiri menurut unit tindakan yang bersangkutan.
g.    Fokus kajian post-positivis adalah tindakan-tindakan (actions) manusia sebagai ekspresi dari
sebuah keputusan.
Dalam bukunya John W. Creswell “Research Desigh Qualitative, Quantitatif, and
Mixed Methods Approaches Second edition” bahwa seseorang dapat mencapai asumsi
utama dari posisi ini, seperti berikut ini:
1.     That knowledge is conjectural (and anti-foundational)- absolute truth can never be found. Thus,
evidence established in research is always imperfect and fallible. It is for this reason that
researchers do not prove hypotheses and instead indicate a failure to reject.
2.     Research is the prosess of making claims and them refining or abandoning some of them for
other claims more stroungly warranted. Most quantitative research, for example starts whith the
test of a theory.
3.     Data, evidence, and rational considerations shape knowledge. In practice, the researcher
collects information on instruments based on measures completed by the participants or by
observations recorded by the researcher.
4.     Research seeks to develop relevant true statements, ones that can serve to explain the situation
that is of concern or that describes the causal relationships of interest. In quantitative studies,
researchers advance the relationship among variables and pose this in terms of questions or
hypotheses.
5.     Being objective is an essential aspect of competent inquiry, and for this reason researchers
must examine methods and conclusions for bias. For example, standards of validity and reability
and important in quantitative research.[16]
Paradigma ini merupakan aliran yang ingin memperbaiki kelemahan-kelemahan
positivisme, yang hanya mengandalkan kemampuan pengamatan langsung terhadap
objek yang diteliti.
Secara ontologis aliran ini bersifat critical realism yang memandang bahwa realitas
memang ada dalam kenyataan sesuai dengan hukum alam, tetapi satu hal yang mustahil
bila suatu realitas dapat dilihat secara benar oleh manusia (peneliti). Oleh karena itu,
secara metodologis pendekatan eksperimental melalui observasi tidaklah cukup, tetapi
harus menggunakan metode triangulation yaitu penggunaan bermacam-macam metode,
sumber data, peneliti dan teori.
Secara epistemologis, hubungan antara pengamat atau peneliti dengan objek atau
realitas yang diteliti tidaklah bisa dipisahkan, seperti yang diusulkan oleh aliran
positivisme. Aliran ini menyatakan suatu hal yang tidak mungkin mencapai atau melihat
kebenaran apabila pengamat berdiri di belakang layar tanpa ikut terlibat dengan objek
secara langsung.
Untuk mengetahui lebih jauh tentang postpositivisme empat pertanyaan dasar
berikut, akan memberikan gambaran tentang posisi aliran ini dalam kancah paradigma
ilmu pengetahuan.
Pertama, Bagaimana sebenarnya posisi postpositivisme di antara paradigma-
paradigma ilmu yang lain? Apakah ini merupakan bentuk lain dari positivisme yang
posisinya lebih lemah? Atau karena aliran ini datang setelah positivisme sehingga
dinamakan postpositivisme? Harus diakui bahwa aliran ini bukan suatu filsafat baru
dalam bidang keilmuan, tetapi memang amat dekat dengan paradigma positivisme. Salah
satu indikator yang membedakan antara keduanya bahwa postpositivisme lebih
mempercayai proses verifikasi terhadap suatu temuan hasil observasi melalui berbagai
macam metode. Dengan demikian suatu ilmu memang betul mencapai objektifitas
apabila telah diverifikasi oleh berbagai kalangan dengan berbagai cara. [17]
Kedua, Bukankah postpositivisme bergantung pada paradigma realisme yang sudah
sangat tua dan usang? Dugaan ini tidak seluruhnya benar. Pandangan awal aliran
positivisme (old-positivism) adalah anti realis, yang menolak adanya realitas dari suatu
teori. Realisme modern bukanlah kelanjutan atau luncuran dari aliran positivisme, tetapi
merupakan perkembangan akhir dari pandangan postpositivisme.[18]
Ketiga, banyak postpositivisme yang berpengaruh yang merupakan penganut
realisme. Bukankah ini menunjukkan bahwa mereka tidak mengakui adanya sebuah
kenyataan (multiple realities) dan setiap masyarakat membentuk realitas mereka sendiri?
Pandangan ini tidak benar karena relativisme tidak sesuai dengan pengalaman sehari-hari
dalam dunia ilmu. Yang pastipostpositivisme mengakui bahwa paradigma hanyalah
berfungsi sebagai lensa bukan sebagai kacamata. Selanjutnya, relativisme mengungkap
bahwa semua pandangan itu benar, sedangkan realis hanya berkepentingan terhadap
pandangan yang dianggap terbaik dan benar. Postpositivisme menolak pandangan bahwa
masyarakat dapat menentukan banyak hal sebagai hal yang nyata dan benar tentang suatu
objek oleh anggotanya.
Keempat, karena pandangan bahwa persepsi orang berbeda, maka tidak ada sesuatu
yang benar-benar pasti. Bukankah postpositivisme menolak kriteria objektivitas?
Pandangan ini sama sekali tidak bisa diterima. Objektivitas merupakan indikator
kebenaran yang melandasi semua penyelidikan. Jika kita menolak prinsip ini, maka tidak
ada yang namanya penyelidikan. Yang ingin ditekankan di sini bahwa objektivitas tidak
menjamin untuk mencapai kebenaran.[19]
3.    Perbedaan Paradigma Positivisme dan Postpositivisme
Untuk dapat membedakan paradigma  Positivistik  dan  paradigm
postpositivitik  maka  penulis merumuskan dalam bentuk tabel berikut:

AS POSITIVISTIK POST POSITIVISTIK


UM
SI
Ont Bersifat nyata, artinya realita Realis kritis-artinya realitas itumemang ada, tetapi
olog itumempunyai keberadaan sendiri tidak akanpernah dapat dipahami sepenuhnya.
y dan diatur oleh hukum-hukum
alam dan mekanisme yang
bersifat tetap.
Epis     Dualis/objektif, adalah mungkin - Objektivis  modifikasi  -  artinya
tem dan esensial bagi peneliti untuk objektivitas  tetap  merupakan
olog mengambil jarak dan bersikap pengaturan  (regulator)  yang ideal, namun  objektiv
i tidak melakukan interaksi  denga itas  hanya dapat diperkirakan  dengan penekanan k
n  objek yang diteliti. husus  pada  penjaga eksternal, seperti tradisi dan
      Nilai, faktor bias dan faktor komunitas yang kritis.”
yang mempengaruhi
lainnya secara otomatis tidak
mempengaruhi hasil studi.
Met bersifat  eksperimental /manipulat Eksperimental / manipulatif  yang
odol if : pertanyaan- dimodifikasi, maksudnyamenekankan sifat  ganda
ogi pertanyaan  dan/atau hipotesis- yang kritis.
hipotesis dinyatakan dalambentuk Memperbaiki ketidakseimbangan
proposisi sebelum dengan melakukan penelitian dalam latar yang
penelitian dilakukan  dan  diuji se alamiah, yang lebih banyak menggunakan metode-
cara  empiris (falsifikasi) dengan   metode kualitatif, lebih tergantung pada teori-
kondisi  yang terkontrol secara grounded (grounded -
cermat theory) danmemperlihatkan upaya(reintroducing) pe
nemuan dalamproses penelitian.”

C.  ANALISIS
1.    Positivisme
Kita ketahui paradigma penelitian merupakan salah satu bagian yang tidak bisa
dilepaskan dari proses penelitian. Paradigma penelitian merupakan kerangka berpikir
yang menjelaskan bagaimana cara pandang peneliti terhadap fakta kehidupan sosial dan
perlakuan peneliti terhadap ilmu atau teori. 
Dalam proses keilmuan, paradigm keilmuan memegang peranan penting. Fungsi
paradigm ilmu adalah memberikan kerangka, mengarahkan, bahkan menguji konsistensi
dari proses keilmuan.
Secara umum, paradigma diartikan sebagai seperangkat kepercayaan atau keyakinan
dasar yang menentukan seseorang dalam bertindak pada kehidupan sehari-hari.
Paradigma menggariskan apa yang harus dipelajari, pernyataan-pernyataan apa yang
seharusnya dikemukakan dan kaidah-kaidah apa yang seharusnya diikuti dalam
menafsirkan jawaban yang diperolehnya.
Harus diakui bahwa aliran ini merupakan filsafat baru dalam bidang keilmuan, tetapi
memang sangat dekat dengan paradigma positivisme. Salah satu indikator yang
membedakan antara keduanya bahwa positivisme lebih mempercayai proses verifikasi
terhadap suatu temuan hasil observasi melalui berbagai macam metode.
Pandangan aliran posotivisme bukan suatu realitas yang menolak adany realitas dari
suatu teori, realisme modern bukanlah kelanjutan atau luncuran dari aliran positivisme,
tetapi merupakan perkembangan akhir dari pandangan pospositisme.
Banyak pospositisme yang berpengaruh yang merupakan  penganut realisme, dan ini
menunjukkan bahwa mereka tidak mengakui adanya sebuah kenyataan. Realisme
mengungkap bahwa semua pandangan itu benar sedangkan realis hanya berkepentingan
terhadap pandangan yang dianggap terbaik dan benar. Pospositivisme menolak
pandangan bahwa masyarakat dapat menentukan banyak hal sebagai hal yang nyata dan
benar tentang suatu obyek oleh anggotanya.
Karena pandangan bahwa persepsi orang berbeda, maka tidak ada sesuatu yang
benar-benar pasti. Pandangan ini tidak bisa diterima karena aktivitas merupakan indikator
kebenaran yang melandasi penyelidikan yang ingin ditekankan bahwa obyektivitas tidak
menjamin untuk mencapai kebenaran.
2.    Post Positivisme
Banyak postpositisme yang berpengaruh yang merupakan  penganut realisme,
dan  ini menunjukkan bahwa mereka tidak mengakui adanya sebuah
kenyataan. Realismemengungkap bahwa semua pandangan itu benar sedangkan realis
hanya berkepentingan terhadap pandangan yang dianggap terbaik dan benar. Post-
positivisme merupakan perbaikan positivisme. Secara ontologis  aliran postpositivisme
bersifat critical realism artinya realitas itu memang ada, tetapi tidak akan pernah dapat
dipahami sepenuhnya
artinya post positivisme  bergantung  pada  konteks  value,  kultur,  tradisi, kebiasaan,
keyakinan, natural dan lebih manusiawi. Indikator yang membedakan antara Paradigma
positivisme dan postpositivism adalah post positivisme lebih mempercayai proses
verifikasi terhadap suatu temuan hasil observasi melalui berbagai macam metode.
3.    Perbedaan Paradigma Positivisme dan Postpositivisme
Menekankan analisis parsial dan dekontekstualisasikan  (decontextualization) VS
Menekankan analisis menyeluruh dan kontekstualisasi (contextualization)  Menekankan
pemisahan VS Menekankan integrasi  Menekankan generalisasi VS Menekankan
spesifikasi  Pertimbangan hanya pada objektivitas dan kuantifikasi VS Pertimbangan juga
pada subjektifitas dan non-kuantifikasi  Ketergantungan pada keahlian dan pengetahuan
orang lain, peneliti sebagai orang luar VS Pertimbangan juga diambil dari partisipan dan
pengetahuan lokal; peneliti sebagai orang dalam.  Memberikan fokus perhatian pada
controlling VS Memberi fokus pada understanding.
D.  PENUTUP
Kesimpulan
1. Positivisme merupakan aliran pemikiran yang membatasi pikiran pada segala hal yang
dapat dibuktikan  dengan  pengamatan  atau  pada  analisis  definisi  dan  relasi  antara  istilah-
istilah. Positifisme sekarang merupakan istilah umum untuk posisi filosofis yang menekanakan
aspek faktual pengetahuan, khususnya pengetahuan ilmiah dan umumnya positivisme berupaya
menjabarkan pernyataan-pernyataan faktual pada suatu landasan pencerapan (sensasi). Atau
dengan kata lain, positivime merupakan suatu aliran filsafat yang menyatakan ilmu-ilmu alam
(empiris) sebagai satu-satunya sumber pengetahuan yang benar dan menolak nilai kognitif dari
studi filosofi satau metafisik.
2. Post Positivisme lawan dari positivisme: cara berpikir yang subjektif Asumsi terhadap
realitas. Munculnya gugatan terhadap positivisme di mulai tahun 1970-
1980an. Salah satu pendiri pospositivisme adalah Karl Popper. Paham ini menentang
positivisme, alasannya tidak mungkin menyamaratakan ilmu-ilmu tentang manusia dengan ilmu
alam.
3. Untuk dapat membedakan paradigma  Positivistik  dan  paradigm postpositivitik  di lihat
dari segi asumsi ontology, asumsi epistemology dan asumsi aksiologi.

DAFTAR PUSTAKA
Bakhtiar, Amsal. 2009. Filsafat Agama. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Berling, Kwee, Mooij Van Peursen. 2003. Pengantar Filsafat lmu. Yogyakarta: PT Tiara Wacana. Cet
ke-V.

John W. Creswell. 2003. Research Desigh. Amerika: Sage Plubication.

Muhadjir, Noeng Prof. 2001. Filsafat Ilmu. Yogyakarta: Rake Sarasin.

Muslih, Mohammad. 2006. Filsafat Ilmu. Yogyakarta: Belukar.


Poedjawijatna. 1997. Pembimbing Ke Arah Alam Filsafat. Jakarta: PT. Rineka Cipta.
Wiramihardja, Sutardjo A. 2009. Pengantar Filsafat. Bandung. PT. Refika Aditama.

Tim Dosen Filsafat Ilmu. 2003. Filsafat Ilmu: Liberty Yogyakarta.

             Paradigm positivism dan postposivisme. Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu


Politik Universitas Muhammadiyah Tangerang.

“Prespektif Positivisme Postpositivisme”, artikel diakses pada 17 April 2014 http://catatan-


anakfikom.blogspot.com/2014/17/

Filsafat Modern ((Positivisme Dan Evolusionisme)), (online), http://maktabah


stid.blogspot.com/20014/18/filsafat-modern-positivisme-dan.html diakses pada tanggal 18
September 2014

[1]. Berling, Kwee, Mooij Van Peursen, Pengantar filsafat lmu. PT Tiara Wacana:


Yogyakarta. Cet ke-V, 2003. Hlm 1.
[2]. Tim Dosen Filsafat Ilmu, Filsafat Ilmu: Liberty Yogyakarta. 2003. Hlm.6
[3]. Prof. Dr. Amsal Bakhtiar, M.A. Filsafat Agama. 2009. Rajawali Pers: Jakarta. Hlm.
114
[4]. Muhammad Muslih, Filsafat Ilmu. 2006. Yogyakarta: Belukar. hlm.76-77
[5]. Muhammad Muslih, Filsafat Ilmu. 2006. Yogyakarta: Belukar. hlm.76.
[6]. Filsafat Modern ((Positivisme Dan Evolusionisme)), (online), http://maktabah
stid.blogspot.com/20014/18/filsafat-modern-positivisme-dan.html diakses pada
tanggal 18November 2014
[7]. Prof. I.R. Poedjaeijatna. Pembimbing ke Arah alam dan filsafat. 1997. PT. Rineka
Cipta: Jakarta. Hlm. 121.
[8]. Prof. Dr. Amsal Bakhtiar, M.A. Filsafat Agama. 2009. Rajawali Pers: Jakarta. hlm.
115.
[9]. Paradigm positivism dan postposivisme. Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Muhammadiyah Tangerang. hlm.7.
[10]. Muhammad Muslih, Filsafat Ilmu. 2006. Yogyakarta: Belukar. hlm. 78-79
[11]. Prof. Dr. Amsal Bakhtiar, M.A. Filsafat Agama. 2009. Rajawali Pers: Jakarta. hlm
121.
[12]. “Prespektif Positivisme Postpositivisme”, artikel diakses pada 17 Oktober
2014http://catatan-anakfikom.blogspot.com/2014/17/
[13]. Muhammad Muslih, Filsafat Ilmu. 2006. Yogyakarta: Belukar. hlm.79
[14]. Muhammad Muslih, Filsafat Ilmu. 2006. Yogyakarta: Belukar. hlm.80
[15]. Muhammad Muslih, Filsafat Ilmu. 2006. Yogyakarta: Belukar. hlm.80
[16]. John W. Creswell. Research Desigh. 2003. Sage Plubication: Amerika. Hlm. 7-8.
[17]. Muhammad Muslih, Filsafat Ilmu. 2006. Yogyakarta: Belukar. hlm.80
[18]. Muhammad Muslih, Filsafat Ilmu. 2006. Yogyakarta: Belukar. hlm.80
[19]. Muhammad Muslih, Filsafat Ilmu. 2006. Yogyakarta: Belukar. hlm.81.

Anda mungkin juga menyukai