Anda di halaman 1dari 9

SYAIKH AHMAD KHATIB SAMBAS

Pendiri Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah (1803-1875 M)

Oleh : Muhammad Abdullah

1. Pendahuluan

Proses globalisasi saat ini telah merambah ke seluruh urat nadi kehidupan umat manusia,
pengaruhnya sangat kompleks dan signifikan. Untuk membentengi diri dari pengaruh globalisasi
tersebut, setiap manusia agar memahami potensi dirinya baik secara lahiriah maupun spiritual.
Problem dalam kehidupan bermasyarakat seperti kesenjangan antara nilai-nilai yang bersifat
duniawi dan ukhrawi itu biasa terjadi. Dalam situasi demikian, tasawuf merupakan kendaraan
pilihan untuk mengatasi masalah sebagaimana yang telah dipaparkan di atas.1

Manusia modern yang rasional cenderung mengedepankan aspek akal (rasio) tanpa
memperhatikan potensi hati (qalb), padahal Islam tidak membuat dikotomi demikian. Hal itu
berakibat fatal, karena ketika akalnya sudah tidak lagi mampu untuk menyelesaikan
masalahmasalah kemungkinan yang akan mudah putus asa, depresi, stress, bahkan bunuh diri.
Untuk mengatasi berbagai masalah tersebut dengan baik diperlukan sebuah ketenangan dan
kesabaran. Tasawuf sebagai disiplin ilmu keislaman merupakan penawar untuk memberikan
keseimbangan antara fungsi akal dan hati. Konsep yang ada dalam tasawuf mengajarkan dengan
benar, rajin beribadah, berakhlak mulia merasakan indahnya hidup dan nikmatnya ibadah.2

Konsep tersebut jika sungguh-sungguh dilaksanakan oleh setiap warga negara


kemungkinan besar bisa memperbaiki ke arah yang lebih baik kondisi moral dan spiritual warga
negara.Tarekat merupakan lembaga yang mengajarkan kajian-kajian tasawuf, mengamalkan isi
yang terkandung didalamnya yang disertai oleh pembimbing yang mempunyai silsilah hingga
Rasul Muhammad saw. Dalam tarekat, seseorang akan mempelajari segala sesuatu tentang
tasawuf. Kajian-kajian yang dipelajari dalam dunia tasawuf merupakan kajian-kajian yang
dipelajari dalam dunia tarekat. Jadi, sekarang ini tidak salah kiranya disimpulkan bahwa tasawuf
sudah menjadi tarekat.3
Tarekat di dunia Islam bermacam-macam tidak terhitung jumlahnya, tidak ada angka
yang pasti berapa jumlah macam tarekat seluruhnya. Ada dua tarekat besar yang berkembang
dalam dunia Islam, yaitu Tarekat Qadiriyah dan Tarekat Naqshabandiyah. Kedua tarekat ini
mempunyai pendiri, teknik berzikir, dan bahkan latar belakang yang berbeda, bahkan bertolak
belakang. Akan tetapi, oleh ulama Indoneisa dari Sambas, Kalimantan Barat, dan dua macam
tarekat mempunyai teknik berzikir dan latar belakang justeru dipadukan dalam satu paket tarekat
tersendiri tanpa mengajarkannya secara terpisah, sehingga disebut tarekat Qadiriyah wa
Naqsyabandiyah.

2. Latar Belakang Keluarga Ahmad Khatib Sambas

Ahmad Khatib Sambas mempunyai nama lengkap Ahmad Khatib Al-Sambasi adalah
Syaikh Muhammad Khatib ibn ‘Abd. Al- Ghaffar al-Sambasi al-Jawi. Beliau berasal dari
kampung Dagang (sumber lain terdapat penjelasan bahwa beliau berasal dari kampung Asam,
Sambas), dan meninggal pada tahun 1878.7 Sementara itu, dalam litertaur lain dijelaskan bahwa
beliau lahir pada tahun 1803 M, di Sambas, Kalimantan Barat. Ayahnya bernama Abdul Ghaffar
bin Abdullah bin Muhammad bin Jalaluddin. Ahmad Khatib merupakan keluarga perantau dari
desa Kampung Sange.8

Ahmad Khatib sejak kecil memiliki keistimewaan sendiri, bila dibandingkan dengan
teman–teman sebayanya. Ahmad Khatib merupakan salah satu ulama besar dari Indonesia yang
tinggal di kota Makkah sampai di akhir hayatnya. Riwayat Pendidikan beliau banyak dihabiskan
di kota Makkah. Selama Ahmad Khatib berdomisili di kota Makkah banyak pelajar Indonesia
yang belajar mukim di kota Makkah belajar ilmu agama kepada Ahmad Khatib.

Ilmu agama Ahmad Khatib sangatlah dalam dan beliau mendirikan jamaah dzikir tarekat
Qadiriah Naqsyabandiah. Ahmad Khatib ahli dibidang tarekat, bahkan beliau lebih diakui
dibidang tarekat, sedangkan di bidang ilmu yang lain kurang diketahui. Ahmad Khatib
sebagaimana dinyatakan oleh Syaikh Ahmad ibn Muhammad Syaikh ibn Mustofa al-Fatani
dalam buku melacak pemikiran tasawuf dinyatakan, bahwa Ahmad Katib selain lebih dikenal
dan diakui dibidang tarekat, beliau juga sangat mengusai ilmu fiqih, hadis, dan hafal al-Quran..
3. Pendidikan

Ketika usia Ahmad Khatib 19 tahun/1820 M, ia menuju tanah suci Makkah disamping
menunaikan ibadah haji juga untuk menuntut ilmu agama dan menetap selama quartal kedua
pada abad 21. Dalam hal melanjutkan pendidikan agamanya di tanah suci, Ahmad Khatib
mengalami banyak kendala dalam menempuh pendidikannya. Di Makkah beliau belajar ilmu-
ilmu Islam termasuk ilmu tasawuf, dan mencapai posisi tertinggi diantara teman-teman
sejawatnya. Dan kemudian menjadi tokoh yang sangat berpengaruh di seluruh Indonesia.

Berbagai studi yang dipelajari mencakup berbagai ilmu pengetahuan Islam, termasuk
tasawuf, yang mana pencapaian spritualnya menjadikannya terhormat pada zamannya, dan
sangat berpengaruh di seluruh Indonesia. Di antara gurunya adalah Syakh Daud ibn Abdullah ibn
Idris al-Fatani (W. 1843), seorang guru besar yang juga pernah tinggal di Makkah, Syaikh
Syamsudin, Syaikh Muhammad Arsyad al-Banjari (w. 1812), dan Syaikh Abd. Al-Shamad al-
Palimbani (w.1800). Dari semua murid Syaikh Syamsuddin, Syaikh Ahmad Khatib Sambas
mencapai tingkat kesempurnaan dan wewenang tertinggi, dan ditetapkan sebagai mursyid Kamil
Mukammil.5

Syaikh Ahmad Khatib Sambas juga menghadiri pelajaran yang diberikan oleh Syaikh
Bisyri al-Jabarti, seorang pemberi fatwa dalam mazhab Maliki, Sayid Ahmad al-Marzuqi,
seorang pemberi fatwa dalam Mazhab maliki, Sayid Abd. Allah ibn Muhammad al-Mirghani dan
Utsman ibn Hasan al-Dimyati. Dari informasi ini satu hal yang dapat dilihat bahwa Syaikh
Ahmad Khatib Sambas mempelajari fiqh dengan seksama, mempelajarinya dari wakil empat
mazhab utama. Secara kebetulan, al-Attar, al-Ajami dan al-Rasy juga terdapat dalam daftar para
guru dari teman Syaikh Ahmad Khatib Sambas dari Makkah pada masa tersebut yaitu ibn Ali al-
Sanusi (pendiri tarekat Khatamiyah dan seorang saudara Syaikh Abd Allah al- Mirghani) dan
Syaikh Ahmad Khatib Sambas, keduanya di bai’at di sejumlah tarekat berbeda dan memilih
ajaran-ajarannya secara selektif sembari membentuk tarekat sendiri. Di dalam kasus Khatamiyah,
ia mempunyai komponen dari tarekat Naqsyabandiyah, Qadiriyyah, Khistiyyah, Kubarawiyyah
dan Suhrawardiyah.6

Sementara keterangan Syaikh Ahmad Khatib Sambas di dalam kitabnya Al-Fath al-
Arifin, dinyatakan bahwa unsur-unsur dari tarekatnya adalah Naqsyabandiyyah, Qadiriyyah,
Tarekat Al-Anfas, Tarekat al-Junaid dan tarekat al-Muwafaq, dan bahkan disebutkan bahwa
Tarekat samman telah mempersatukan semua tarekat-tarekat di atas.

Walhasil Tarekat Qadiriyyah wa Naqsyabandiyah, adalah diantara tarekat yang paling


progresif di Indonesia pada akhir abad kesembilan belas dan awal abad kedua puluh. Tarekat ini
meluas dengan cepat, dengan banyak dari khalifah-khalifah mereka menyertakan diri mereka
dalam isu politik lokal.8 Tidak asing lagi akan kealiman Syaikh Ahmad Khatib Sambas, jika
melihat latar belakang pendidikannya sangat luas sekali. Beliau menguasai ilmu pengetahuan
Islam dan menguasai hukum fiqih empat mazhab. Keahlian yang luas inilah yang menyebabkan
dia menggunakan pendekatan yang menyeluruh untuk memahami tarekat dan terutama pada
keputusannya untuk mendirikan Tarekat Qadiriyyah wa Naqsyabandiyyah.

4. Karir dan Karya

Menurut Zamakhsyari Dhofier, Syaikh Ahmad Khatib Sambas banyak melahirkan ulama-
ulama di tanah Jawa. Yang kemudian menyebarkan ajaran Islam di Indonesia dan Malaysia.13
Syaikh Ahmad Khatib Sambas adalah pendiri tarekat Qadiriyah wa Naqsabandiyah, yaitu
penggabungan antara dua tarekat yaitu tarekat Qadiriyah dan tarekat Naqsabandiyah. Syaikh
Ahmad Khatib Sambas sendiri adalah seorang mursyid (seorang guru agama) tarekat Qadiriyah,
di sisi lain beliau juga adalah mursyid tarekat Naqsabandiyah. Namun, Ahmad Khatib hanya
menyebutkan sanadnya (rentetan rawi yang sampai kepada Nabi Muhammad SAW) dari tarekat
Qadiriyah.14

Sampai sekarang belum diketahui, dari sanad mana beliau menerima bai’at (pengakatan
secara resmi) tarekat Naqsabandiyah. Sebagai seorang mursyid treat Qadiriyah wa
Naqsyabandiyah yang terkenal ‘alim dan ‘arif (orang yang bijaksana, cerdik dan pandai), Syaikh
Ahmad Khatib Sambas memiliki otoritas tersendiri untuk membuat modifikasi terhadap tarekat
yang dipimpinnya. Dalam tarekat Qadiriyah memang ada kebebasan untuk melakukan hal itu,
bagi yang telah mencapai derajat mursyid. Syaikh Ahmad Khatib Sambas mengajarkan tarekat
Qadiriyah wa Naqsabandiyah hanya kepada murid-muridnya yang berasal dari Indonesia.

Penggabungan inti ajaran kedua tarekat ini dimungkinkan atas dasar pertimbangan logis
dan strategis, bahwa kedua ajaran inti itu bersifat saling melengkapi. Tarekat Qadiriyah sendiri
menekankan ajarannya pada Dzikir jahr nafi isbat (dzikir yang diterapkan dalam tarekat
Qadiriyah, yang dilakukan dengan bersuara), sedangkan tarekat Naqsabandiyah menekankan
ajarannya pada Dzikir sir ismu dzat (dzikir yang diterapkan dalam tarekat Naqsyabandiyah, yang
dilakukan dengan tidak dengan bersuara). Dari penggabungan dua tarekat ini diharapkan para
muridnya dapat mencapai derajat kesufian yang lebih tinggi, dengan cara yang lebih efektif dan
efisien. 15

Syaikh Ahmad Khatib Sambas memiliki banyak murid (orang yang sedang berguru) yang
tersebar di seluruh kawasan Nusantara dan beberapa orang khalifah (wakil atau pengganti dalam
urusan agama, jika dalam negara adalah gelar yang diberikan pada negara yang menjalankan
syariat atau hukum Islam). Untuk menyebarluaskan ajaran tarekat Qadiriyah wa Naqsabandiyah
di Nusantara, sehingga menjadi besar seperti saat ini. Syaikh Ahmad Khatib Sambas tidak
menulis sebuah kitab pun, namun kedua muridnya yang setia merekam ajaran-ajarannya dalam
risalah pendek bahasa Melayu. Yang dengan jelas, menjelaskan teknik-teknik dari tarekat ini. 15
Kharisudin Aqib, Al-Hikmah Memahami Teosofi Tarekat Qadiriyah wa Naqsabandiyah Salah
satu kitab yang di tulis oleh muridnya adalah “Fathul ‘Arifin”, yang dianggap sebagai karya yang
paling dapat dipertanggung jawabkan mengenai tarekat. Karya ini menguraikan tentang bai’at,
dzikir, dan teknik-teknik peribadatan lain, baik dari tarekat Qadiriyah maupun dari tarekat
Naqsabandiyah.

Sementara risalah ini diakhiri dengan silsilah dari Ahmad Khatib Sambas.16 Akan tetapi
di dalam kitab “Fathul ‘Arifin”, sebagaimana di kutip oleh Haways dinyatakan bahwa tarekat
Qadiriyah wa Naqsabandiyah tidak hanya gabungan dari dua tarekat ini saja. Melainkan,
penggabungan dan modifikasi dari lima ajaran Tarekat lain yaitu, tarekat Qadiriyah,
Naqsabandiyah, Anfasiah, Junaidiyah dan Muwafaqad.17 Hanya saja yang lebih ditekankan
adalah ajaran Qadiriyah wa Naqsabandiyah, maka tarekat ini diberi nama dengan tarekat
Qadiriyah wa Naqsabandiyah. Penanaman tarekat ini tidak terlepas dari sikap tawadhu’ dan
ta’dzim Syaikh Ahmad Khatib Sambas yang sangat alim, kepada pendiri kedua tarekat Qadiriyah
wa Naqsabandiyah. Ia tidak menisbatkan nama tarekatnya dengan namanya sendiri, sehingga
menjadilah tarekat ini tarekat yang mandiri.

Kitab “Fathul ‘Arifin” ini yang sampai sekarang masih dijadikan sebagai panduan khusus
peribadatan para mursyid dan pengikut tarekat Qadiriyah wa Naqsabandiyah. Dengan demikian
nama Syeikh Ahmad Khatib Sambas masih dikenang dan dipanjatkan dalam setiap do’a
peribadatan pengikut tarekat nya.

Ada karya lain Syaikh Ahmad Khatib Sambas yang menjelaskan tentang ilmu fikih,
meskipun ia terkenal sebagai tokoh sufi. Adapun karya-karya yang berbentuk manuskrip yang
menjelaskan tentang fikih, seperti thaharah (kesucian badan yang diwajibkan bagi orang yang
beribadah), sholat, dan jenazah, ditemukan di Kampung Mendalok, Sungai Kunyit, Kabupaten
Pontianak, Kalimantan Barat pada 6 Syawal 1422 H/ 20 Desember 2001 M. Sementara,
manuskrip fikih risalah jum’at yang ditulis tangan pada tahun 1986. Bekas koleksi Haji Manshur,
yang berasal dari Pulau Subi, Kepulauan Riau. Manuskrip ini menjelaskan tentang jum’at dan
penyembelihan dalam hukum Islam. Tetapi, pada akhir manuskrip ini di akhiri dengan amalan-
amalan wirid Ahmad Khatib Sambas yang bukan termasuk dalam amalan tarekat Qadiriyah wa
Naqsabandiyah.

5. Toriqoh Qodiriah Naqsabandiah: Pokok Pendidikan dan EtikaBelajar Syaikh


Ahmad Khatib Al-Sambasi

Ahmad Khatib Al-Sambasi sebagai pendiri Toriqoh Qodiriah Naqsabandiah mempunyai


beberapa ajaran yang bercorak tasawuf. Toriqoh Qodiriah Naqsabandiah ini mempunyai corak
tasawuf yang berbeda dari aliran toriqoh lainnya. Adapun salah satu ciri khasnya adalah
meninggalkan keduniaan, merupakan salah satu ajaran tasawuf Ahmad Khatib As-Sambasi.
Hadirnya aliran–aliran toriqoh di Indonesia mempunyai peran besar dan memberikan
sumbangsih perubahan masyarakat yang agamis dan sosialis.

Maraknya aliran–aliran toriqoh di Indonesia yang mempunyai ciri khas masing–masing


disetiap aliran bukan hanya berdampak pada perubahan kehidupan masyarakat, tetapi selain
mengubah akidah pengikut salah satu aliran toriqoh, juga mengubah struktur pola fikir
masyarakat terutama pengikut aliran toriqoh tersebut. Tasawuf memang merupakan salah satu
jalan dalam mengatasi kebutuan persoalan duniawi. Dengan menekuni, mempelajari dan
mengamalkan toriqoh dapat mensucikan hati, mensucikan fikiran dan menumbuhkan kesadaran
tentang hakikat hidup adalah mendekatkan diri kepada-Nya serta mengharapkan ridhonya.
Kesucian hati, kesucian fikiran dan meninggalkan keduniaan dalam tasawuf merupakan syarat
utama yang harus ditempuh bagi seseorang yang ingin memperdalam tasawuf terlebih dalam
aliran–aliran toriqoh tertentu.

Mensucikan hati, fikiran dan meninggalkan hal-hal yang bersifat keduniaan memerlukan
latihan bathin secara kusus karena dalam tasawuf terdapat maqomat dan ahwal dalam mencapai
ma’rufatullah. Langkah awal dalam proses mensucikan hati, fikiran dan meninggkalkan hasrat
duniawi yang harus dilakukan bagi seorang yang hendak menekuni ilmu toriqoh adalah pertama,
niat, ikhlas, dan tulus. Kedua, Zuhud. Ketiga, Istiqomah. Keempat, sabar dan syukur. Kelima,
tawakal. Keenam, ridha.21 Keenam poin tersebut merupakan kunci utama dalam proses
pensucian hati dan awal dari kebahagiaan yang hakiki.

Adapun proses dalam mensucikan hati dan fikiran melalui beberapa tahapan yang dalam
tasawuf disebut dengan maqomat (tahap-tahap) dan ahwal (keadaan mental). Adapun tahapan
maqomat menurut al-Thusi; al-taubah, al-zuhud, al-wara, ’al-sabr, al-tawakkul, dan al-ridha.22
Dalam versi lain menjelaskan bahwa tingkat maqomat adalah tobat, zuhud, fakir, sabar, syukur,
rela/rida, tawakal.23 Maqomat dan ahwal ini merupakan suatu hal keniscayaan yang harus dilalui
bagi seseorang yang hendak menekuni dunia tasawuf maupun dunia toriqoh.

Bunga-bunga dari maqomat dan ahwal akan membentuk kepribadian yang baik dan
berfikiran baik serta bertindak sesuai dengan aturan agama Islam. Bangunan dari bersikap,
berikir dan bertindak baik bukanlah seperti membalik telapak tangan melainkan melalui usaha
bathin secara sungguh-sungguh. Baik dalam konteks tasawuf mempunyai arti sesuatu yang
mempunyai nilai kebenaran atau nilai yang diharapkan dan memberikan kepuasan serta
mendatangkan rahmat, memberikan perasaan senang dan bahagia.24 Kebahagian merupakan
bagian dari perbuatan baik karena salah satu letak kebahagiaan adalah mensyukuri nikmat Allah
SWT.

Meskipun hidup dalam keterbatasan fisik dan ekonomi jika kita mensyukuri apa yang
sudah merupakan anugrah pemberian Allah SWT maka kita akan sangat merasa bahagia.
Kebahagian yang terletak pada mensyukuri nikmat Allah SWT merupakan salah satu bentuk
keimanan kepada-Nya. Dalam penjelasan lain buah dari syukur nikmat Allah SWT ialah
seseroang salah satunya berkepribadian santun kepada Allah dan semua ciptaan-Nya.
Berkepribadian baik atau beretika baik merupakan salah satu ajaran toriqoh Qodiriah
Naqsabandiah, Ahmad Khatib Al-Sambasi. Adapun pemikiran atau ajaran tasawuf toriqoh
Qodiriah Naqsabandiah, Ahmad Khatib Al–Sambasi terdapat empat pokok utama yaitu Pertama,
tentang kesempurnaan suluk. Kedua, adab (etika). Ketiga, zikir. Keempat, muraqabah.

Adapun penjelasan secara detail tentang ajaran-ajaran toriqoh Qodiriah Naqsabandiah,


Ahmad Khatib Al–Sambasi sebagai berikut; Pertama, kesempurnaan suluk (perjalan rohani
seorang sufi) artinya adalah kesempurnaan suluk terdapat tiga dimensi yaitu Iman, Islam, dan
Ihsan. Adapun ketiga dimensi tersebut populer dengan sebutan syari’at, tariqat, dan haqiqat.
Syari’at adalah undang-undang dalam Islam. Tariqat, merupakan pengamalan dari syariat yang
didasarkan pada keimanan akan kebenaran syari’at. Haqiqat, penghayatan terhadap amalan
tariqat. Kedua, adab (etika) para murid. Adab bagian terpenting dalam perjalanan spritual
seorang sufi untuk mencapai ma’riat. Tanpa etika yang baik tidak mungkin menggapai tingkat
suluk-nya.

Secara garis besar suluk yang dipraktikkan seorang salik mempunyai empat adab yaitu
adab kepada Allah dan Rasul-Nya. Adab kepada syeikh atau mursid/gurunya, adab kepada
sesame makhluk Allah SWT terutama saudara sesama muslim dan seiman, dan adab kepada diri
sendiri. Ketiga, ajaran tentang zikir dalam ajara toriqoh Qodiriah Naqsabandiah mempunyai ciri
khas yang sendiri, berbeda dengan aliran toriqah yang lain. Zikir dalam tasawuf aliran toriqoh
Qodiriah, Ahmad Khatib Al-Sambasi adalah zikir bermakna aktivitas lidah, baik lidah fisik
maupun lidah batin dalam menyebut dan mengingat Allah SWT baik berupa jumlah (kalimat)
maupun mufrod (kata tunggal).

Dalam toriqoh Qodiriah Naqsabandiah terdapat dua jenis zikir yaitu zikir nafy itsbat dan
zikir ism al-dzat. Zikir nafy itsbat merupakan zikir kepada Allah SWT dengan menyebut kalimat
“La ilaha illa Allah”, Sedangkan zikir ism dzat yaitu zikir menyebut dan mengucapkan lafal
“Allah, Allah, Allah.” Keempat, muraqabah ialah kotemplasi kesadaran seorang hamba merasa
selalu diawasi dan diperhatikan Allah SWT. Muraqabah merupakan latihan yang bersifat latihan
psikis (riyadat al-nafs). Tujuan dari muraqabah adalah menjadi mukmin yang sesungguhnya.
Seorang hamba Allah yang muhsin.25 Keempat pilar tersebutlah yang menjadi inti ajaran
tasawuf tariqat Qodiriah Naqsabandiah, Ahmad Khatib Al-Sambasi.
6. Penutup

Tarekat merupakan salah satu solusi yang akan mampu memberikan pemahaman
terhadap ajaran-ajaran yang belum dapat di pahami oleh khalayak umum, Budidaya pendidikan
sufistik seyogyanya diarahkan pada proses pementukan kepribadian bangsa berdasar pada
kepribadian bangsa berdasar pada pancasila dan kemapanan beragama. Sedangkan pendidikan
sufistik adalah konteks pendidikan yang ditata dengan standar moral, tazkiyatu an-nafs
(pembersih hati) dan menjalankan nilai-nilai tersebut di tangah masyarkat.

Anda mungkin juga menyukai