Anda di halaman 1dari 34

II - 1

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS

2.1 Kepuasan Kerja

Menurut Locke (Fred Luthan :243) definisi komprehensif dari kepuasan kerja yang

meliputi reaksi atau sikap kognitif, efektif, dan evaluatif dan menyatakan bahwa kepuasan

kerja adalah “keadaan emosi yang senang atau emosi positif yang berasal dari penilaian

pekerjaan atau pengalaman kerja seseorang. ” Kepuasan kerja adalah “hasil dari persepsi

karyawan mengenai seberapa baik pekerjaan mereka mamberikan hal yang dinilai

penting.“ Secara umum dalam bidang perilaku organisasi, kepuasan kerja adalah sikap

yang paling penting dan sering dipelajari.

Terdapat tiga dimensi yang diterima secara umum dalam kepuasan kerja.

Pertama, kepuasan kerja merupakan respon emosional terhadap situasi kerja. Dengan

demikian, kepuasan kerja dapat dilihat dan dapat diduga. Kedua, kepuasan kerja sering

ditentukan menurut seberapa baik hasil yang dicapai memenuhi atau melampaui harapan.

Ketiga, kepuasan kerja mewakili beberapa sikap yang berhubungan.

Manusia bekerja dalam organisasi tidak dapat melepaskan kepribadian,

kepentingannya dan tujuan pribadi yang bersifat organisasional. Untuk itu mereka

berusaha agar dapat memenuhi harapan organisasi sehingga tercapai kepuasan kedua

belah pihak. Kepuasan kerja karyawan harus diciptakan sebaik-baiknya agar moral kerja ,

dedikasi, kecintaan dan disiplin karyawan meningkat.


II - 2

Beberapa ahli mengemukakan definisi dari kepuasan kerja antara lain :

 Wexley & Yukl (1984)

Job satisfaction is the way an employee feels about his/her job. It is generalized

attitudes toward the job based on evaluation of different aspect of the job.

Kepuasan kerja adalah perasaan pekerja terhadap pekerjaannya. Hal ini merupakan

sikap terhadap pekerjaannya berdasarkan hasil evaluasi terhadap aspek – aspek

pekerjaan tersebut.

 Keith Davis & John W. Newstorm (1985)

Job satisfaction is a set of favorable or unfavorable with which employees view their

work. It expresses the amount of agreement between ones expectation.

Kepuasan kerja merupakan suatu perasaan senang atau tidak senang yang dimiliki

karyawan terhadap pekerjaannya, serta menyatakan kesesuaian harapan yang dimiliki

karyawan terhadap pekerjaannya.

Berdasarkan definisi – definisi diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa kepuasan

kerja merupakan sikap atau perasaan pekerja terhadap pekerjaannya didasari pada

evaluasi terhadap aspek – aspek pekerjaan tersebut, baik menyenangkan ataupun tidak

menyenangkan.

Sedangkan pengertian kepuasan kerja menurut Howell dan Dipboye (1986) dalam

Ashar Sunyoto (2001, hal. 350) adalah hasil keseluruhan dari derajat rasa suka atau tidak

sukanya tenaga kerja terhadap berbagai aspek dari pekerjaannya. Dengan kata lain

kepuasan kerja mencerminkan sikap tenaga kerja terhadap pekerjaannya. Rasa kepuasan

kerja diperoleh jika terdapat kesesuaian antara karakteristik pekerjaan dan keinginan dari

pekerja itu sendiri. Kepuasan kerja tersebut menunjukkan adanya kesesuaian antara
II - 3

harapan pekerjaan dengan pekerjaannya. Tercakup keseluruhan sikap yang yang

ditujukan terhadap pekerjaan berdasarkan berbagai evaluasi dari pekerja yang

dipertimbangkan seperti aspek gaji, kondisi kerja, supervisi, kualitas kerja dan keamanan

kerja. Jadi determinasi kepuasan kerja menurut batasan ini meliputi perbedaan individu

maupun lingkungan situasi pekerjaan.

Dengan kepuasan kerja dimaksudkan bahwa keadaan emosional karyawan

dimana terjadi atau tidak terjadi titik temu antara nilai balas jasa kerja karyawan dari

perusahaan atau organisasi dengan tingkat nilai balas jasa yang memang diinginkan oleh

karyawan yang bersangkutan. Balas jasa karyawan ini, baik berupa finansial mauapun non

finansial. Bila kepuasan kerja terjadi, maka pada umumnya tercermin pada perasaan

karyawan terhadap pekerjaannya yang sering diwujudkan dalam sikap positif karyawan

terhadap pekerjaannya dan segala sesuatu yang dihadapi atau ditugaskan kepadanya di

lingkungan kerja. Monitoring yang cermat dan kontinyu dari kepuasan kerja karyawan

tersebut sangat penting untuk mendapatkan perhatian pimpinan organisasi, terutama

bagian personalia. Terdapat sejumlah faktor yang mempengaruhi kepuasan kerja, yaitu :

1. Pekerjaan itu sendiri

Kepuasan pekerjaan itu sendiri merupakan sumber utama kepuasan. Penelitian

terbaru menemukan bahwa karakteristik pekerjaan dan kompleksitas pekerjaan

menghubungkan antara kepribadian dan kepuasan kerja, dan jika persyaratan

kreatif pekerjaan karyawan terpenuhi, maka mereka cenderung akan puas.

2. Gaji

Upah dan gaji merupakan faktor multidimensi dalam kepuasan kerja. Uang tidak

hanya membantu orang memperoleh kebutuhan dasar, tetapi juga alat untuk
II - 4

memberikan kebutuhan kepuasan pada tingkat yang lebih tinggi. Karyawan

melihat gaji sebagai refleksi dari bagaimna manajemen memandang kontribusi

mereka terhadap perusahaan.

3. Promosi

Kesempatan promosi sepertinya memiliki pengaruh yang berbeda pada kepuasan

kerja. Hal ini dikarenakan promosi memiliki sejumlah bentuk yang berbeda dan

memiliki berbagai penghargaan.

4. Pengawasan

Pengawasan (supervisi) merupakan sumber penting lain dari kepuasan kerja. Ada

dua dimensi gaya pengawasan yang mempengaruhi kepuasan kerja. Yang

pertama adalah berpusat pada karyawan, diukur menurut tingkat di mana penyelia

menggunakan ketertarikan personal dan peduli pada karyawan, memberikan

nasihat dan bantuan pada individu, dan berkomunikasi dengan rekan kerja secara

personal maupun dalam konteks pekerjaan. Dimensi lain adalah partisipasi atau

pengaruh, seperti diilustrasikan oleh seorang manajer yang memungkinkan orang

untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan yang mempengaruhi pekerjaan

mereka.

5. Kelompok kerja

Sifat alami dari kelompok atau tim kerja akan mempengaruhi kepuasan kerja.

Pada umumnya, rekan kerja atau anggota tim yang kooperatif merupakan sumber

kepuasan kerja yang paling sederhana pada karyawan secara individu. Kelompok

kerja, terutama tim yang “kuat,” bertindak sebagai sumber dukungan,

kenyamanan, nasihat dan bantuan pada anggota individu. Penelitian terbaru


II - 5

mengindikasikan bahwa kelompok yang memerlukan kesalingtergantungan

antaranggota dalam menyelesaikan pekerjaan, akan memiliki, kepuasan kerja

yang lebih tinggi.

6. Kondisi kerja

Kondisi kerja memiliki kecil pengaruhnya terhadap kepuasan kerja. Jika kondisi

kerja bagus (misalnya bersih, lingkungannya menarik), individu akan lebih mudah

menyelesaikan pekerjaan mereka. Jika kondisi kerja buruk (misalnya udara panas,

lingkungan bising), individu akan lebih sulit menyelesaikan pekerjaan. Dengan

kata lain, efek lingkungan kerja pada kepuasan kerja sama dengan efek kelompok

kerja. Jika segalanya berjalan baik, tidak ada masalah kepuasan kerja;jika

segalanya berjalan buruk, masalah ketidakpuasan kerja akan muncul.

2.1.1 Teori Kepuasan Kerja

2.1.1.1 Teori pertentangan (Discrepancy Theory)

Teori pertentangan dari Locke menyatakan bahwa kepuasan atau ketidak puasan

terhadap beberapa aspek dari pekerjaan mencerminkan penimbangan dua nilai :

1. Pertentangan yang dipersepsikan antara apa yang diinginkan seseorang

individu dengan apa yang ia terima, dan

2. Pentingnya apa yang diinginkan bagi individu.Kepuasan kerja secara

keseluruhan bagi seorang individu adalah jumlah dari kepuasan kerja dari

setiap aspek perkerjaan di kalikan dengan derajat pentingnya aspek

pekerjaan bagi individu. Misalnya untuk seseorang tenaga kerja. satu aspek

dari pekerjaanya (misalnya : perluang untuk maju) sangat penting, lebih


II - 6

penting dari aspek – aspek pekerjaan lain (misalnya : penghargaan), maka

untuk tenaga kerja tersebut kemajuan harus dibobot lebih tinggi dari

penghargaan.

Menurut Locke seseorang individu akan merasa puas atau tidak puas merupakan

sesuatu yang pribadi, tergantung bagaiman ia mempersepsikan adanya kesesuaian atau

pertentangan antara keinginan – keinginannya dan hasil – keluarnya. Tambahan waktu

libur akan menunjang kepuasan tenaga kerja yang menikmati waktu luang setelah bekerja,

tetapi tidak akan menunjang kepuasan seorang tenaga kerja lain yang merasa waktu

luangnya tidak dapat dinikmati. Contohnya, seorang yang berkepribadian type A atau

seorang yang kecanduan kerja (workaholic) tidak akan senang jika mendapat waktu libur

tambahan.

2.2.1.2 Model dari Kepuasan Bidang/Bagian ( Facet Satisfaction)

Model Lawler dari kepuasan bidang berkaitan erat dengan teori keadilan dari

Adams. Menurut model Lawler orang akan puas dengan bidang tertentu dari pekerjaan

mereka (misalnya dengan rekan kerja, atasan, gaji) jika jumlah dari bidang mereka

persepsikan harus mereka terima untuk melaksanakan kerja mereka sama dengan jumlah

yang mereka persepsikan dari yang secara aktual mereka terima.

Misalnya persepsi seorang tenaga kerja terhadap jumlah honorarium yang

seharusnya ia terima berdasarkan unjuk-kerjanya dengan persepsinya tentang honorarium

yang secara aktual ia terima. Jika individu mempersepsikan jumlah yang ia terima sebagai

lebih besar daripada yang sepatutunya ia terima, ia akan meras salah dan tidak adil.
II - 7

Sebaliknya jika ia terima mempersepsikan bahwa yang ia terima kurang dari yang

sepatutnya ia terima, ia akan merasa tidak puas.

Menurut Lawler, julah dari bidang yang dipersepsikan orang sebagai sesuai

tergantung dari bagaimana orang mempersepsikan masukan pekerjaan, ciri-ciri

pekerjaanya dan bagaimana mereka mempersepsikan masukan dan keluaran dari orang

lain yang dijadikan pembanding bagi mereka. Tambahan lagi, jumlah dari bidang yang

dipersepsikanorang dari apa yang secara aktual mereka terima da hasil-keluaran yang

dipersepsikan dari orang dengan siapa mereka bandingkan diri mereka sendiri. Untuk

menentukan tingkat kepuasa kerja tenaga kerja, Lawler memberikan nilai bobot kepada

setiap bidang sesuai dengan nilai pentingnya bagi individu, ia kemudian

mengkombinasikan semua skor kepuasan bidang yang dibobot ke dalam satu skor total.

2.2.1.3 Teori Proses Bertentangan (Opponent Process Theory)

Teori proses bertentangan dari Landy memandang kepuasan kerja dari perspektif

yang berbeda secara mendasar daripada pendekatan yang lain. Teori ini menekankan

bahwa orang ingin mempertahankan suatu keseimbangan emosional ( emotional

equilibrium).

teori proses bertentangan mangasumsikan bahwa kondisi emisional yang ekstrim

tidak memberikan kemasalahan. Kepuasan atau ketidakpuasan kerja (dengan emosi yang

berhubungan) memacu mekanisme fisiologikal dalam sistem pusat saraf yang membuat

aktif emosi yang bertentangan atau berlawanan. Di hipotesiskan bahwa emosi yang

berlawanan, meskipun lebih lemah dari emosi yang asli, akan terus ada dalam jangka

waktu yang lebih lama.


II - 8

Teori ini menyatakan bahwa jika orang memperoleh ganjaran pada pekerjaan

mereka merasa senang, sekaligus ada rasa tidak senang (yang lebih lemah). Setelah

beberapa saat rasa senang menurun dan dapat menurun sedemikian rupa sehingga

orang merasa agak sedih sebelum kembali ke normal. Ini demikian karena emosi tidak

senang (emosi yang berlawanan) berlangsung lebih lama.

Berdasarkan asmsi bahwa kepuasan kerja bevariasi secara mendasar dari waktu

ke waktu, akibatnya adalah bahwa pengukuran kepuasan kerja perlu dilakukan secara

periodik dengan interval waktu yang sesuai.

2.2.2 Faktor-Faktor Kepuasan Kerja

Banyak faktor-faktor yang mempengaruhi kepuasan kerja karyawan. Peranan

faktor-faktor itu sendiri dalam memberikan kepuasan kerja pada karyawan bergantung

pada pribadi masing-masing. Faktor-faktor yang mempengaruhi kepuasan kerja terdiri dari:

a. Faktor Psikologi, yang merupakan faktor yang berhubungan dengan kejiwaan

karyawan, meliputi minat, ketentraman dalam bekerja, bakat dan keterampilan.

b. Faktor sosial, merupakan faktor yang berhubungan dengan interaksi sosial baik

antar sesama karyawan atau karyawan dengan atasan.

c. Faktor fisik, merupakan faktor yang berhubungan dengan kondisi fisik karyawan,

meliputi jenis pekerjaan, pengaturan waktu kerja dan waktu istirahat, perlengkapan

kerja, keadaan ruangan, suhu, penerangan, pertukaran udara, kondisi kesehatan

karyawan dan umum.


II - 9

d. Faktor finansial, merupakan faktor yang berhubungan dengan jaminan serta

kesejahteraan karyawan, meliputi sistem dan besarnya gaji, jaminan sosial,

macam-macam tunjangan fasilitas yang diberikan serta promosi,

Dari berbagai pendapat di atas dapat ditarik kesimpulan mengenai faktor-faktor

yang mempengaruhi kepuasan kerja, yaitu :

a. Faktor intrinsik, seperti sikap kerja, penghargaan, promosi, prestasi serta

pekerjaan itu sendiri.

Faktor ekstrinsik, seperti administrasi dan kebijaksanaan perusahaan supervisi, gaji,

kondisi kerja, hubungan antar rekan sekerja, hubungan dengan atasan, kondisi fisik dan

lingkungan kerja umumnya serta jaminan sosial.

2.2.3 Hasil Kepuasan Kerja

Dari sudut pandang masyarakat dan karyawan individu, kepuasan kerja

merupakan hasil yang diinginkan akan tetapi. Akan tetapi, dari perspektif keefektifan

organisasi dan managerial yang pragmatis, penting untuk mengetahui bagaimana

kepuasan kerja berhubungan dengan variabel hasil. Misalnya, jika kepuasan kerja tinggi,

akankah karyawan berkinerja lebih baik dan organisasi menjadi lebih efektif? Jika

kepuasan kerja rendah, apakah akan ada masalah kinerja dan ketidakefektifan?

Pertanyaan tersebut diajukkan pada peneliti dan prakis selama bertahun-bertahun. Tidak

ada jawaban yang sederhana, dan hasilnya berkisar dari yang kuat sampai yang lemah.

Bagian ini merupakan rangkaian hasil yang paling penting.


II - 10

1. Kepuasan dan Kinerja

Kesimpulan terbaik mengenai kepuasan dan kinerja adalah karena terdap hubungan

yang pasti didalamnya, tetapi mungkin tidak sebesar kebijakan konvensional yang

mengasumsikan karyawan yang merasa senag sebagai karyawan yang produktif.

Meskipun terdapat bukti penelitian terbaru yang mendukung adanya hubungan sebab

akibat kepuasan lebih mempengaruhi kinerja daripada kinerja mempengaruhi

kepuasan. Hubungan ini mungkin akan lebih kompleks daripada hubungan lain dalam

perilaku organisasi. Misalnya, tampaknya adanya banyak variabel yang

menghubungkan, tetapi yan ng paling penting adalah penghargaan. Jika orang yang

menerima penghargaan mersa pantas mendapatkannya, dan puas, mungkin ia

menghasilkan kinerja yang lebih besar. Bukti penelitian ini juga mengindikasikan

bahwa kepuasan mungkin tidakperlu menghasilkan perkembangan kinerja individu,

tetapi menyebabkan perkembangan level departemen dan organisasi. Meta-analisis

terbaru mengenai unit bisnis tersebut menemukan bahwa ketika kepuasan

didefinisikan dan diukur menurut keterlibatan karyawan, maka terdapat hubungan

yang signifikan antara kepuasan dan kinerja berupa produktivitas, kepuasan

pelanggan, dan bahkan profit. Secara keseluruhan, kepuasan kerja kerja sebaiknya

tidak dianggap sebagai titik akhir dalam kinerja individu. Akan tetapi, terdapat bukti

bahwa kepuasan kerja, bersama dengan dimensi lain memaikna peranan penting

dalam studi dan aplikasi perilaku organisasi.

2. Kepuasan dan Pergantian Karyawan

Kepuasan kerja yang tinggi tidak akan membuat pergantian karyawan menjadi

rendah, tetapi hal tersebut mungkin membantu. Sebaliknya, jika terdapat ketidak
II - 11

puasan kerja, maka pergantian karyawan mungkin tinggi. Secara jelas usia,

kedudukan dalam organisasi, komitmen pada organisasi, mungkin memainkan

peranan. Faktor lain adalah ekonomi secara umum. Saat segala hal dalam ekonomi

berjalan baik dan terdapat sedikit pengangguran, pergantian karyawan akan

meningkat karena orang akan mulai mencari kesempatan yang lebih baik dengan

organisasi lain. Sekalipun mereka merasa puas, banyak orang ingin keluar jika ada

kesempatan lain yang lebih menjanjikan. Penelitian terbaru menjelaskan bahwa

tingkat pengangguran secara langsung mempengaruhi pergantian karyawan. Akan

tetapi, pada dasarnya tepat untuk mengatakan bahwa kepuasan kerja merupakan hal

penting dalam pergantian karyawan. Tingkat pergantian yang rendah lebih dinginkan

mengigat biaya pelatihan dan kerugian karena tidak adanya pengalaman kerja.

3. Kepuasan dan ketidakhadiran

Penelitian hanya menunjukkan hubungan negatif yang lemah antara kepuasan dan

ketidakhadiran. Seperti halnya dengan pergantian karyawan, banyak variabel lain

yang menjadi pertimbangan untuk menetap selain kepuasan kerja. Seperti tingkat

dimana orang merasa bahwa pekerjaan mereka penting. Penelitian terhadap

karyawan pemerintah menunjukkan bahwa orang yang yakin bahwa pekerjaanya

penting memiliki ketidakhadiran rendah daripada orang yangtidak merasa

pekerjaanya penting. Selain itu, penting untuk diingat bahwa kepuasan kerja tinggi

belum tentu menghasilkan ketidakhadiri yang rendah, tetapi kepuasan kerja yang

rendah mungkin menyebabkan ketidakhadiran.


II - 12

2.2.4 Pengaruh Lain dan Cara untuk Meningkatkan Kepuasan

Berdasarkan pengetahuan terbaru, pedoman berikut ini mungkin membantu

meningkatkan kepuasan kerja :

1. Membuat pekerja menjadi menyenangkan. Perusahaan kelas dunia seperti

Southwest Airlines memiliki budaya fun bagi para karyawannya. Manajemen

menjelaskan bahwa ketidaksopanan itu sah-sah saja;adalah baik menjadi diri

sendiri;dan bersaing seara serius. Memiliki budaya fun membuat pekerjaan lebih

menyenangkan, tetapi tidak menghilangkan kebosanan dan mengurangi

kesempatan bagi ketidakpuasan.

2. Memiliki gaji, benefit,dan kesempatan promosi yang adil. Terdapat berbagai cara

di mana organisasi secra khusus mencoba membuat karyawan merasa puas.

Cara penting untuk membuat benefit menjadi lebih efektif adalah membuat cara

fleksibel yang disebut kafetaria. Cara ini memungkinkan karyawan untuk memilih

distribusi benefit mereka sendiri dalam jumlah yang sudah dianggarkan. Dengan

demikian, tidak perlu adanya penyesuaian dengan apa yang mereka inginkan

karena semuanya merupakan pilihan mereka sendiri.

3. Menyesuaikan orang dangan pekerjaan yang sesuai dengan minat dan keahlian

mereka. Memberikan pekerjaaan yang sesuai merupakan hal yang paling penting

untuk memuaskan karyawan, tetapi sering diabaikan. Tentu saja, ini

mengasumsikan bahwa organisasi mengetahui minat dan keahlian seseorang.

4. Mendesain pekerjaan agar menarik dan menyenangkan. Selain menemukan

orang yang tepat dalam suatu pekerjaan, pedoman ini menyarankan desain
II - 13

pekerjaan yang sesuai dengan orangnya. Kebanyakan orang tidak akan bosan,

pekerjaan yang diulang-ulang tetap menyenangkan. Sayangnya, terlalu banyak

pekerjaan saat ini yang membosankan dan perlu diubah atau dieliminasi sebanyak

mungkin. Contohnya adalah dengan memberikan tanggung jawab lebih dan

membentuk lebih banyak variasi, arti, identitas, otonomi, dan umpan bailk.

2.2 Gaya Kepemimpinan

Kata gaya sangatlah tidak jelas. Sebelumnya, kata tersebut digunakan secara luas

untuk mendeskripsikan pemimpin yang sukses. Gaya juga berbeda dari kebudayaan yang

satu dengan lainnya. Bagian berikut akan mendeskripsikan bagaimana gaya

kepemimpinan telah dipelajari dan dianalisis selama bertahun-tahun. Gaya kepemimpinan

karismatik dari Nadler dan Tushman (Fred Luthan Edisi 10, 2005;681).

Tabel 2.1 Gaya kepemimpinan karismatik dari Nadler dan Tushman


JENIS KARISMATIK
Gaya Kepemimpinan Arti Contoh
Menciptakan sebuah gambaran masa Mengatakan dengan jelas visi yang
depan atau keadaan masa depan yang memaksakan
Envisioning diinginkan yang dapat diidentifikasi oleh Menetapkan ekspektasi yang tinggi
orang-orang serta dapat membangkitkan
gairah/semangat
Mengarahkan pembangkitan energi, Mendemostrasikan gairah/semangat
motivasi untuk bertindak, diantara para dan kepercayaan diri
Energizing
anggota organisasi Mencari, menemukan dan
menggunakan sukses
Secara psikologis membantu orang- Mengekspresikan dukungan personel
Enabling orang untuk bertindak atau melakukan Berempati
untuk mencapai tujuan yang menantang
Riset terbaru, mengindikasikan bahwa beberapa pemimpin efektif dirasakan

sebagai pemimpin yang memiliki perhatian dan empati, dan yang lainnya sebagai
II - 14

pemimpin yang memiliki kepandaian dan kemampuan untuk melakukan tugas yang

kompleks.

Tabel 2.2 Rangkuman Kontinum Gaya Kepemimpinan dari studi klasik dan Teori Kepemimpinan

Berpusat pada Bos Berpusat pada Karyawan


Teori X Teori Y
Otokratik Demokratik
Berpusat pada Produksi Berpusat pada Karyawan
Tertutup Umum
Mengawali struktur Konsiderasi
Dikendalikan tugas Hubungan manusia
Direktif Suportif
Direktif Partisipatif

Menurut William H.Newman (1968) dalam Miftah Thoha (2003;262) kepemimpinan

adalah kegiatan untuk mempengaruhi perilaku orang lain atau seni mempengaruhi perilaku

manusia baik perorangan maupun kelompok. Dan satu hal yang perlu diingat bahwa

kepemimpinan tidak harus dibatasi oleh aturan-aturan atau tata karma birokrasi.

Kepemimpinan bisa terjadi dimana saja, asalkan seseorang menunjukkan kemampuannya

mempengaruhi perilaku orang lain kearah tercapainya suatu tujuan tertentu.

2.2.1 Teori Situasional dan Model Kontijensi

Pada tahun sekitar 1940-an para ahli-ahli psikologi sosial mulai mulai

mengadakan penelitian terhadap beberapa variabel-variabel Situasional yang mempunyai

pengaruh terhadap peranan kepemimpinan, kecakapan, dan prilakunya, inklusif


II - 15

pelaksanaan pekerjaan dan kepuasan para pengikutnya. Berbagai variabel Situasional

diidentifikasikan, tapi tidak semua mampu ditarik oleh Teori Situasional ini.

Pedekatan klasik terhadap pelatihan dan pengembangan gaya manajemen adalah

pendekatan kepemimpinan siklus hidup (yang selanjutnya disebut situasional) pendekatan

ini merupakan perluasan dari pendekatan jaringan manjerial. Mengikuti kajian asli Ohio

State dan pendekatan jaringan, pendekatan Hersey dan Blanchard. Mengidentifikasi dua

gaya utama berikut ini :

1. Task Style. Pemimpin mengorganisasi dan menentukan peran bagi para anggota

kelompok kerja; pemimpin menjelaskan tugas-tugas yang harus dikerjakan anggota,

kapan, dimana, serta bagaimana mereka mengerjakannya.

2. Relationship style. Pemimpin memiliki hubungan yang dekat dengan anggota

kelompok, ada keterbukaan komunikasi serta dukungan psikologis dan emosional.

Pada tahun ± 1967 Fred Fiedler mengusulkan suatu model berdasarkan situasi

untuk efektifitas kepemimpinan. Konsep ini dituangkan dalam bukunya yang terkenal "A

Theory of Leadership Effectiveness ". Fiedler mengembangkan suatu teknik yang unik

untuk mengukur gaya kepemimpinan dengan memberikan skor yang dapat menunjukan

Dugaan Kesamaan di antara keberlawanan ( Assumed Similarity between Oppsites - ASO)

dan Teman Kerja yang Paling Sedikit Disukai ( Least Preferred Coworker - LPC). ASO

memperhitungkan derajat kesamaan diantara persepsi-persepsi pemimpin menganai

kesukaan yang paling banyak dan paling sedikit tentang kawan-kawan kerjanya.

Dua pengukuran yang dipergunakan saling bergantian dan ada hubungannya dengan

kepemimpinan tersebut, dengan penjelasan sebagai berikut :


II - 16

1. Hubungan Kemanusiaan atau gaya yang lunak dihubungkan pada pemimpin yang

tidak mempertimbangkan perbedaan yang besar diantara teman-teman kerja yang

paling banyak atau yang paling sedikit disukai (ASO) atau memberikan gambaran

yang relatif mengenakan kepada teman kerja yang paling sedikit disenangi (LPC).

2. Gaya Kepemimpinan yang berorientasi pada tugas atau hard nosed dihubungkan

pada pemimpin yang memandang suatu perbedaan besar diantara teman kerja yang

paling banyak atau yang paling sedikit disukai (ASO) dan memberikan suatu

gambaran yang tidak menyenangkan kepada teman kerja yang paling sedikit disukai

(LPC).

Similarity between Oppsites –ASO : Memperhitungkan derajat kesamaan diantara

persepsi-persepsi pemimpin mengenai kesukaan

yang paling banyak dan paling sedilit tentang

kawan-kawan kerjanya.

Dua tolak ukur yang dipergunakan berikut ini adalah saling bergantian dan saling

berhubungan dengan gaya kepemimpinan tersebut diatas, berikut ini adalah

penjelasannya:

1. Hubungan kemanusiaan atau gaya yang lunak, dihubungkan pada pemimpin yang

tidak mempertimbangkan perbedaan yang besar diantara para anggotanya atau

teman-teman sekerja yang paling banyak atau yang paling sedikit disukai (ASO)

atau memberikan gambaran yang relatif menyenangkan kepada onggota atau

teman sekerja yang paling sedikit disenangi (LPC).

2. Gaya kepemimpinan yang berorientasi pada tugas atau ( Hard Nosed)

dihubungkan pada pemimpin yang berpandangan pada suatu perbedaan besar


II - 17

diantara para anggotanya atau teman-teman sekerja yang paling banyak atau

yang paling sedikit disukai (ASO ) dan memberikan suatu gambaran yang tidak

menyenangkan pada teman kerja yang paling sedikit disukai ( LPC ).

Kunci efektivitas kepemimpinan pada model tersebut adalah menyesuaikan situasi

dengan gaya yang sesuai. Berikut ringkasan dari empat gaya dasar :

1. Telling style. Gaya ini merupakan gaya tugas-tinggi hubungan-rendah dan efektif

bila pengikutnya berada ditingkat kedewasaan sangat rendah.

2. Selling style. Gaya ini adalah gaya tugas-tinggi hubungan-tinggi dan efektif bila

kedewasaan pengikutnya rendah.

3. Participating style. Gaya ini merupakan gaya tugas-rendah hubungan-tinggi dan

efektif bila kedewasaan pengikutnya tinggi.

4. Delegating style. Gaya ini merupakan gaya tugas-rendah hubungan-rendah dan

efektif bila tingkat kedewasaan pengikutnya sangat tinggi.

2.2.2 Teori Jalan Kecil - Tujuan (Path-Goal Theory)

Seperti telah diketahui secara luas pengembangan teori kepemimpinan selain

berdasarkan pendekatan kontijensi, dapat pula didekati dari teori path-goal yang

mempergunakan kerangka teori motivasi Hal ini merupakan pengembangan yang sehat

karena kepemimpinan disatu pihak sangat dekat berhubungan dengan motivasi kerja, dan

pihak lain berhubungan dengan kekuasaan. Setiap teori yang berusaha mensintesakan

bermacarn-macam konsep kelihatannya merupakan suatu langkah yang mempunyai arah

yang benar.
II - 18

Usaha pengembangan teori path-goal ini sebenarnya telah dimulai oleh

Georgepoulos dan kawan-kawannya di Institut Penelitian Sosial Universitas Michigan. Dan

istilah path-goal tersebut telah dipergunakan hampir 25 tahun untuk menganalisa

pengaruh kepemimpinan dalam pelaksanaan kerja.

Dalam pengembangannya yang modern Martin Evans dan Robert House secara

terpisah telah menulis karangan dalam subyek yang sama. Secara pokok teori path-goal

berUsaha untuk menjelaskan pengaruh perilaku pemimpin terhadap motivasi, kepuasan,

dan pelaksanaan pekerjaan bawahannya.

Teori path goal terdiri dari beberapa tipe, yaitu :

1) Kepemimpinan Direktif.

Tipe ini sama dengan model kepemimpinan yang otokratis dari Lippitt dan White.

Bawahan tahu senyatanya apa yang diharapkan darinya dan pengarahan yang

khusus diberikan oleh pemimpin. Dalam model ini tidak ada partisipasi dari

bawahan.

2) Kepemimpinan yang Mendukung (Supportive Leadership).

Kepemimpinan model ini mempunyai kesediaan untuk menjelaskan sendiri,

bersahabat, mudah didekati, dan mempunyai perhatian kemanusiaan yang murni

terhadap para bawahannya.

3) Kepemimpinan Partisipatif.
II - 19

Gaya kepemimpinan ini, pemimpin berusaha meminta dan mempergunakan saran-

saran dari para bawahannya. Namun pengambilan keputusan masih tetap berada

padanya.

4) Kepemimpinan yang Berorientasi pada Prestasi.

Gaya kepemimpinan ini menetapkan serangkaian tujuan yang menantang para

bawahannya untuk berprestasi. Demikian pula pemimpin memberikan keyakinan

kepada mereka bahwa mereka mampu melaksanakan tugas pekerjaan mencapai

tujuan secara baik.

Menurut teori path-goal ini macam-macam gaya kepemimpinan tersebut dapat

terjadi dan dipergunakan senyatanya oleh pemimpin yang sama dalam situasi yang

berbeda.

Perilaku pernimpinan akan bisa menjadi faktor motivasi (misalnya menaikkan usaha-

usaha para bawahan) terhadap para bawahan, jika:

a. Perilaku tersebut dapat memuaskan kebutuhan-kebutuhan bawahan sehingga

memungkinkan tercapainya efektivitas dalam pelaksanaan kerja.

b. Perilaku tersebut merupakan komplimen dari lingkungan para bawahan yang berupa

memberikan latihan, dukungan, dan penghargaan yang diperlukan untuk

mengefektifkan pelaksanaan kerja. Dan jika tidak dengan cara demikian maka para

bawahan dan lingkungannya akan rnerasa kekurangan.

Teori – teori kepemimipinan/Manajer yang menjadi landasan untuk berpijak yaitu

seorang harus berbuat, pada dasarnya adalah berpangkal kepada berdasarkan latar

belakang kebudayan dari orang itulah yang menentukannya LANE (1980 : 62).
II - 20

Pertanyaan apakah tidak akan lebih baik daripada mengambil alih secara

keseluruhan dari pola perilaku pimpinan (pemimpin) dari negara lain dengan falsafahnya,

yang belum tentu sesuai (cocok). nilai-nilai budaya kita sendiri yang serasi dengan orang

Indonesia dan dengan lingkungannya.?

Pernah juga dicoba oleh beberapa peneliti mengemukakan konsep atau gaya

kepemimpinan yang kira-kira sesuai untuk Indonesia, antara lain:

1. Djunaidi Hadi Soemarsono (1978;7)

Mengatakan bahwa gaya manajemen yang berlaku di Indonesia dewasa ini lebih

cenderung kepada gaya “OTOKRETIK” dan katanya mungkin gaya seperti ini untuk

masa ini sangat cocok di Indonesia.

2. Koentjaraningrat (1982;Bab I-VI)

Dalam salah satu bukunya masalah pembangunan dan mengenai ikhtisar sejarah

pendidikan di Indonesia dan perubahan orientas nilai budaya Indonesia menyatakan

bahwa nilai budaya yang dimiliki oleh Bangsa Indonesia atara lain adalah nilai

budaya “GOTONG ROYONG” dan aspek yang lebih rinci seperti tenggang rasa,

kepekaan terhadap orang lain, ketergantungan kepada lingkungan social dan

pemerataan dalam prestasi, keselarasan dengan alam, adanya kecendrungan

orientasi pada masa lampau, dan adanya orientasi vertikal.

3. A.S Munandar (1981;4)

menggunakan beberapa peneliti, masing-masing dilakukan oleh Arianti

Panchadewa terhadap para penyelia (supervisor) dan menejer sebuah perusahaan

swasta nasional, oleh Inanda Murni terhadap para manajer media sebuah

perusahaan asing, dan oleh A.S Munandar sendiri terhadap hampir seluruh
II - 21

karyawan sebuah perusahaan (BUMN) Pemerintah dengan menggunakan

kuesioner dari Likert dan ditemui bahwa sistem manajemen yang dirasakan berlaku

pada perusahaan-perusahaan tersebut ialah berada diantara sistem manajemen

Benevolent, Autoritative dan Consultative, sedang manajemen yang diharapkan

oleh para responden ialah sistem manajemen Consultative ( bukan Partisipatif ).

Sedangkan A.S Munandar, menyatakan bahwa lingkungan yang bercorak

Benevolent, Autoritative dan Consultative perlu dikembangkan menjadi lingkungan

yang bercorak Partisipatif..

Istilah manajer mempunyai arti sebagai seseorang yang berwenang dan

bertanggung jawab membuat rencana, mengatur, memimpin dan mengendalikan

pelaksanaan untuk mencapai sasaran organisasi.

Dalam menyikapi Gaya Kepemimpinan perlu rasanya dikembangkan pembahasan

Koentjaraningrat (1974;44-47) mengenai mentalitas sebelum revolusi 1945 manusia

Indonesia dengan menggunakan kerangka Kluckhohn adalah sebagai berikut :

1 Nilai budaya mengenai hakekat dari hidup dan karya manusia :

 Mentalitas Petani :

Tidak bisa berspekulasi mengenai hal-hal yang tidak terlintas baginya.

 Mentalitas Priyayi (Jawa)

Lebih menghargai amal dari pada karya dan kurang berorientasi pada

keberhasilan karya itu sendiri atau secara lebih jelas diibaratkan seorang yang

sekolah bukan untuk keterampilan tapi untuk mendapatkan ijazah.

2. Nilai budaya persepsi waktu

 Mentalitas Petani :
II - 22

Persepsi waktu yang terbatas dan lebih ditentukan oleh lingkungan siklus kegiatan

pertanian lebih masa kini.

 Mentalitas Priyayi (Jawa)

orientasi pada masa lampau sehingga mempunyai sentimen agak berlebihan

terhadap segala sesuatu dari zaman dahulu dan upacara-upacara yang tetap

dapat dihidupkan sentimen-sentimen tersebut.

3. Hubungan Manusia dengan alam :

 Mentalitas Petani :

orang harus hidup selaras dengan alam, tidak dapat menguasai alam tapi tidak

tunduk pada alam “ini mengenai nasib yang mempengaruhinya”.

 Mentalitas Priyayi (Jawa)

terlau banyak menggantungkan diri kepada nasib, karena menganggap dirinya

sebagai bagian kecil saja dari alam semesta serta sepenuhnya terbawa oleh

pengaruhnya.

4. Nilai budaya mengenai hubungan manusia dengan sesamanya :

 Mentalitas Petani :

sama rata sama rasa hal ini member rasa aman yang besar tapi sekaligus

membawa kewajiban untuk selalu memperhatikan kepentingan sesame dan

menimbulkan kompromi yang besar.

 Mentalitas Priyayi (Jawa)

adat sopan santun yang berorientasi kepada atasan, hal ini menyebabkan hasrat

untuk berdiri sendiri serta disiplin pribadi yang murni (tanpa pengawasan) menjadi

lemah.
II - 23

Koentjaraningrat mengemukakan lima macam yang penting :

1. Mentalitas yang meremehkan mutu sebagai dari akibat dari keadaan yang sangat

kurang setelah revolusi karena yang ada saja sudah kurang.

2. Mentalitas yang suka menerobos :

ada hubungannya dengan kurang mementingkan mutu, karena ada kemungkinan

menanjak secara vertikal dengan cepat dalam jenjang sosial setelah revolusi, maka

orang tidak lagi sabar mengikuti garis panjang kemajuan hidup seperti yang

dijunjung tinggi oleh nenek moyang kita.

3. Kecendrungan terlalu banyak berorientasi pada vertikal

seperti kepada atasan, orang yang berpangkat tinggi, orang tua, senior, menurut

Koentjaraningrat (1974;54-58) memburuk setelah revolusi. sifat tidak percaya

kepada diri sendiri, mental ini sebabnya banyak dijumpai kegagalan-kegagalan pada

post revolusi yaitu sejak tercapainya kemerdekaan.

4. Sifat tidak berdisiplin murni

Mental ini sudah terbawa sejak sebelum revolusi, dimana orang bersikap disiplin

karena takut kepada penjajah Belanda , tampak memburuk karena pengawas pada

zaman revolusi berkurang bahkan boleh dikatakan menghilang.

5. Sifat tidak bertanggung jawab

Sifat bertanggung jawab zaman kolonial Belanda ditanamkan dengan pengawasan

yang sangat ketat dan diikuti dengan sangsi yang berat. hingga setelah revolusi

dimana pengawasan berkurang, maka orang cenderung menjadi kurang

bertanggung jawab. Koentjaraningrat juga melihatnya sebagai ada hubungan


II - 24

dengan pola perasaan yang berdasarkan hilang muka dan unsure merasa tidak

menyesal kalau bersalah.

2.2.3 Peran dan Aktivitas Kepemimpinan

Sebagai jawaban atas pertanyaan apa yang sebenarnya dikerjakan oleh para

pemimpin, telah dilakukan beberapa studi observasional secara terpisah oleh Henry

Mintzberg (tentang peran) dan Luthan (tentang aktivitas) para pemimpinan atau manajer.

2.2.3.1 Peran Pemimpin atau Manajer

Sebagai dasar studi observasional langsung (bukan penelitian menggunakan

kuesioner atau wawancara), Mintzberg mengajukan tiga jenis peran manajerial, atau lebih

dikenal dengan peran interpersonal yang muncul secara langsung dari otoritas resmi dan

mangacu kepada hubungan antara manajer dengan yang lainnya.

 Peran pemimpin bayangan. Sebagian besar waktu dipakai sebagai pemimpin

bayangan dalam tugas-tugas seremonial seprti menyambut tur kelas pelajar atau

mengajak pelanggan penting untuk makan siang.

 Peran pemimpin. Manajer menggunakan pengaruhnya untuk memotivasi dan

mendorong bawahan untuk mencapai tujuan-tujuan organisasional.

 Peran kepehubungan. Mengakui bahwa manajer sering menghabiskan lebih

banyak waktu untuk berinteraksi dengan orang lain di luar unit mereka daripada

bekerja dengan para pemimpin dan bawahan mereka sendiri.

Selain peran interpersonal manajer juga memiliki peran informasional yang penting.

Manajer menghabiskan banyak waktu untuk member dan menerima informasi.


II - 25

 Sebagai monitor. Manajer secara terus-menerus mengamati lingkungan dan

menyelidiki bawahan, bos, dan kontak luar sebagai informasi.

 Sebagai disseminator. Manajer mendistribusikan informasi untuk mencocokannya

dengan orang-orang dalam, dan

 Sebagai pembicara. Manajer memberikan informasi kepada pihak luar.

Dan terdapat juga peran manajer dalam pengambil keputusan, manajer bertindak

berdasarkan informasi. Terbagi dalam :

 Sebagai kewirausahaan, manajer memulai perkembangan proyek dan

menempatkan sumber yang diperlukan.

 Sebagai pengendali gangguan , pada sisi yang lain, daripada proaktif seperti

pengusaha, manajer rekatif terhadap permasalahan dan memaksakan situasi. Dan

manajer memiliki jenis peran manajemen krisis, contohnya pada para karyawan

akan memberontak.

 Sebagai alokator sumber daya , manajer memutuskan siapa mendapatka apa di

departemennya.

 Sebagai negosiator, manajer menghabiskan waktu pada semua tingkat negosiasi

member dan menerima bawahan, bos, dan pihak luar.

Para pemimpin masa kini sesungguhnya memiliki tanggung jawab interpersonal dan

informasional sekalipun ada argumen bahwa tanggung jawan informasional telah

beralih keposisi primer. Dan para pemmpin tetap memiliki tanggung jawab

pengambilan keputusan , namun tanggung jawab ini meningkat dan dibagi dengan

beberapa pemegang saham dan mitra jaringan. Sifat dasar kepemimpinan, seperti

yang didefinisikan oleh Mintzberg, mungkin sesuai untuk saat ini, tetapi ekonomi
II - 26

berjaringan mengirim berbagai permintaanbaru kepada para pemimpin di semua

tingkat.

2.2.3.2 Aktivitas Pemimpin atau Manajer

Secara ringkas, aktivitas-aktivitas seorang manajer adalah sebagai berikut :

1. Komunikasi. Aktivitas ini mencakup informasi yang berubah secara rutin dan

pengolahan paper work. Perilaku yang diobservasi mencakup menjawab pertanyaan-

pertanyaan procedural, menerima dan menyebarkan informasi yang diinginkan,

menyampaikan hasil rapat, memebri dan menerima informasi rutin melalui telepon.

2. Manajemen tradisional. Aktivitas ini mencakup informasi perencanaan, pengambilan

keputusan, dan pengawasan. Perilaku yang diobservasi mencakup penetapan tujuan

dan sasaran, menentukantugas yang dioerlukan untuk mencapai tujuan, penjadwalan

karyawan, menetapkan tugas, member instruksi rutin, menentuka masalah,

manangani krisis operasional harian.

3. Manajemen sumber daya manusia. Aktivitas ini mencakup sebagian besar kategori

perilaku : memotivasi/menguatkan, mendisiplin/menghukum, mengelola konflik,

staffing, dan memebrikan pelatihan/mengembangkan, tetapi kategori

pendisiplinan/pemberian hukuman dihilangkan karena tidak boleh diobservasi.

Perilaku yang diobservasi mencakup mengalokasikan perhargaan formal, meminta

masukan, menyampaikan apresiasi, memberikan kredit sebagaimana mestinya,

mendengarkan saran, memberikan umpan balik, memberikan dukungan kelompok,

menyelesaikan konflik antar anggota, naik banding ke otoritas yang lebih tinggi atau

pihak ketiga untuk menyelesaikan perselisihan, mengembangkan deskripsi pekerjaan.


II - 27

4. Jaringan. Aktivitas ini mencakup bersosialisasi/berpolitik, dan berinteraksi dengan

pihak luar. Perilaku yang diobservasiberasosiasi dengan aktivitas ini, termasuk

perbincanganyang tidak berhubungan dengan pekerjaan,;lelucon informal, gossip,

kabar angin, menghadapi para pelanggan, melakukan/menghadiri event-event

pelayanan masyarakat.

2.2.3.3 Perilaku Pemimpin

Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Universitas Ohio dan Michigan sekitar

pada tahun 40 dan 50-an, menyimpulkan dua kelompok perilaku kepemimpin yang disaring

dari 1.800 tingkah laku kepemimpinan.

Pertama : Memberikan Perhatian kepada Manusia

Dalam kelompok perilaku ini, seorang pemimpin memfokuskan perhatiannya

kepada hubungan-hubungan sosial yang terwujud dalam beberapa sifat yang mendasar.

1. Benar-benar memberikan perhatian kepada kebutuhan-kebutuhan bawahannya

2. Kemauan yang keras untuk memperbaiki keadaan bawahan

3. Mendengar usulan dan koreksi-koreksi bawahan

4. Memberikan bantuan pribadi kepada bawahan

5. Memberikan dukungan terhadap cita-cita dan ambisi bawahan

6. Menjadikan dirinya sebagai bagian dari bawahan

7. Berinteraksi dengan baik dan adil

8. Memperhatikan kondisi keluarga bawahan

9. Memberikan ketenangan dan menjelaskan ketika terjadi problem dan musibah

10. Mengikutsertakan bawahan dalam pengambilan keputusan


II - 28

Kedua : Memeberikan perhatian kepada Pekerjaan

Pemimpin lebih memfokuskan kepada hasil dan pelaksanaan kerja dengan teliti

dan sempurna dalam batas waktu yang telah ditentukan. Hal ini terwujud dalam beberapa

sifat.

1. Menentukan tugas dengan cermat

2. Membagikan peran dengan orang yang melaksanakannya dengan jelas

3. Menentukan hal-hal yang wajib, dibolehkan dan dilarang (prosedur dan kebijakan-

kebijakan)

4. Tegas dalam menerapkan perintah

5. Mengoptimalkan kerja pegawai.

Sebagian orang menggunakan perilaku ini secara terus-menerus, sementara

sebagian lainnya menggunakannya pada waktu-waktu tertentu ketika terjadi krisis.

Beberapa penelitian pada tahun 70-an membuktikan adanya hubungan yang erat

antara perilaku yang pertama, yaitu “memberikan perhatian kepda manusia”dengan

naiknya tingkat kepuasan. Hal ini terwujud dengan sedikitnya jumlah ketidakhadiran, tidak

adanya keluhan, serta meningkatnya loyalitas terhadap organisasi.

Penelitian ini juga menunjukkan bahwa perilaku kedua, yaitu “memberikan

perhatian kepada kerja”membawa hasil produksi yang lebih tinggi daripada perilaku

pemimpin yang “memberikan perhatian kepada manusia”. Perilaku ini juga membawa

kepada kekompakkan dan kesolodan dalam tim.

Pada awalnya, sebagian orang menyangkal bahwa pemimpin adakalanya hanya

memberikan perhatian kepada manusia dan adakalanya hanya memberikan perhatian

terhadap pekerjaan dan tidak bisa menggabungkan keduanya. Akan tetapi, penelitian-
II - 29

penelitian selanjutnya membuktikan kesalahan asumsi ini. Balack dan Adams memebrikan

pendapat bahwa ada lima macam perilaku yang dijalankan oleh seorang pemimpin, yaitu :

1. Perhatian kepada manusia tinggi sedangkan perhatian terhadap kerja rendah

2. Perhatian kepada manusia rendah sedangkan perhatian terhadap kerja tinggi

3. Perhatian kepada manusia rendah sedangkan perhatian terhadap kerja rendah

4. Perhatian kepada manusia sedang sedangkan perhatian terhadap kerja sedang

5. Perhatian kepada manusia tinggi sedangkan perhatian terhadap kerja tinggi

Apabila seorang pemimpin mampu menjalankan dua hal ini secara bersamaan

dengan efektivitas yang tinggi, maka hal itu akan membawa hasil yang istimewa.

Pemimpin yang efektif menurut teori ini adalah pemimpin yang tahu bagaimna

menjalankan dua model ini bersamaan dengan menjaga loyalitas, kesolidan tim,

serta produktivitas yang tinggi secara kontinu.

2.2.3.4 Perbandingan Kepemimpinan Wanita Dan Pria

Wanita memiliki sifat-sifat alamiah yang diberikan oleh Allah SWT., yang

membedakannya dengan pria. Kajian kontemporer menujukkan adanya beberapa sifat

yang dapat dimanfaatkan oleh wanita untuk melaksanakan kepemimpinan dalam kondisi

yang sesuai baginya. Berikut ini beberapa sifat tersebut.

Sifat pertama : Partisipasi

Wanita menyenangi musyawarah, mengungkapkan perasaan, dan partisipasi. Ini

merupakan sifat yang baik dan dianjurkan oleh para pakar manajemen kepada semua

pemimpin masa kini. Bukankah Ratu Saba’pernah berkata, “Berkatalah dia (Balqis), ‘Hai
II - 30

para pembesar berilah aku pertimbangan dalam urusanku ini aku tidak pernah

memutuskan sesuatu persoalan sebelum kamu berada dalam majelisku.’( an-Naml: 32)

Sifat Kedua : Kelembutan

Perasaan kasih sayang dan memahami kebutuhan-kebutuhan orang lain dan kondisi

mereka akan membantu wanita dalam membangun hubungan-hubungan yang sejati dan

tulus, sehingga membuat para pengikut mencintainya dan bergerak bersamanya menuju

tujuan-tujuan bersama dengan penuh kesadaran.

Zubaidah binti Ja’far melihat para jamaah haji membeli air minum dengan satu dinar, maka

hatinya tersentuh dan ia menangis lalu bersumpah bahwa ia akan membelanjakan

hartanya untuk menyediakan air bagi para jamaah haji.

Sifat Ketiga : Kreatif

Hasil-hasil penelitian menunjukkan bahwa wanita 25% lebih kreatif daripada pria. Wanita

berperan serta dalam manajemen perusahaan maerupakan hal baru, semua ini

memberikan kesempatan kepada wanita untuk menunjukkan kemampuannya menemukan

solusi-solusi yang belum pernah ada dan menyumbangkan ide-ide pemikiran yang

membantu perusahaan untuk mengubah cara kerja mereka untuk menyesuaikan denan

perkembangan dunia.

Asma binti Umais radhiyallahuánhuma, sekembalinya dari hijrah ke Habasyah, membawa

pemikiran-pemikiran masyarakat Habasyah yang ia lihat di sana dan menerapkannya

dilingkungan masyarakat Hijjaz. Ia mengambil manfaat dari pengalamannya dan

menggunakannya untuk kemaslahatan masyarakat Islam.


II - 31

Sifat keempat : Memahami kebutuhan-kebutuhan wanita

Wanita lebih mampu memahami kebutuhan-kebutuhan wanita daripadapria karena wanita

memiliki peran yang lebih besar dalam ekonomi. Oleh karena itu, menjadi sangat penting

bagi semua perusahaan untuk memahami cara wanita berfikir dan mengambil keputusan.

Umar ibnu Khaththab r.a. menunjuk seorang wanita untuk mengawasi pasar dan harga

barang. Jadi, baik dalam permasalahan-permasalahan ekonomi yang bersifat pribadi

maupun urusan-urusan yang khusus berhubungan dengan wanita, wanitalah yang lebih

tahu dibanding pria.

Sifat kelima : Pelimpahan dan Pemberian wewenang

Wanita lebih memberikan kebebasan dalam mengambil keputusan, sehinggga menjadikan

tim lebih bersemangat dan solid.

Seperti dalam kisah Ratu Saba’, “Berkatalah dia (Balqis),’Hai para pembesar berilah aku

pertimbangan dalam urusanku ini, aku tidak pernah memutuskan sesuatu persoalan

sebelum kalian berada dalam majelisku.’mereka menjawab,’Kita adalah orang-orang yang

memiliki keberanian yang besar dalam peperangan, dan keputusan berada ditanganmu;

maka pertimbangkalah apa yang akan kamu perintahkan.” (an-Naml: 32-33).

Sifat keenam : Komunikatif

Wanita lebih siap untuk berdialog daripada pria dalam kondisi yang sama. Komunikasi dan

dialogmerupakan fondasi dalam manajemen kerja. Pria menjalankan komunikasi tanpa

keyakinan, sementara wanita lebih terbuka dalam membicarakan perasaan-perasaan serta


II - 32

pendapat-pendapatnya. Wanita lebih siap untuk berbica dan berdialog hingga tercapai

solusi terhadap persoalan-persoalannya.

Inilah Ratu Saba’, ia tidak memilih perang namun memulai dengan perundingan dan

negosiasi dengan mengirimkan hadiah, “ Dan sesungguhnya aku akan mengirim utusan

kepada mereka dengan membawa hadiah, dan aku akan menunggu apa yang akan

dibawa kembali oleh utusan-utusan itu.” (an-Naml:35).

Demikian pula Khaulah binti Tsa’labah, ia memiliki kemampuan yang bagus dalam

berbicara dan berani berdebat dengan nabi Muhammad saw beberapa kali, kemudian

berbicara dengan sangat jelas mengenai perasaan-perasaan yang tersimpan, “Ya, Allah!

Aku mengadukan kepadamu kesediahanku dan betapa beratnya perpisahan dengannya.

Ya, Allah! Turunkanlah kepada lisan Nabi-Mu yang bisa mendatangkan kelapangan pada

kami”. Hal ini juga menunjukkan kemahirannya dalam berkomunikasi.

Berdasarkan buku yang menjelaskan metode kepemimpinan dan manajemen

pada pria yang ditulis terkenal, Henry Mentzeregh dengan judul The Nature of Managerial

Work ‘Karakter Managerial Kerja’dan kedua dari buku yang berjudul The Female

Advantage ‘Keutamaan Feminis’karya Sally Helgusen dan Judith Rziner, mengenai sifat

kepemimpinan pada kaum wanita.

Tabel berikut membicarakan kepemimpinan pria dan wanita pada umumnya yang

menjadi sampel penelitian (dengan beberapa pengecualian).


II - 33

Tabel 2.2 Perbandingan Kepemimpinan Wanita dan Pria

Pemimpin Pria Pemimpin Wanita


Bekerja dengan performa yang turun-naik Bekerja dengan performa yang stabil, namun
namun tanpa terputus. mengambil waktu-waktu istirahat yang rutin.
Interupsi-interupsi dan kunjungan-kunjungan Kunjungan-kunjungan dan interupsi-interupsi
akan mengacaukannya, mempengaruhi merupakan kesempatan untuk membangun
produktivitas dan kinerjanya. hubungan yang kuat dan untuk memahami
kebutuhan-kebutuhan pengikut dan membantu
mereka.
Semangat dalam bekerja dan pada umumnya Mengkhususkan waktu untuk urusan yang lain di
tidak diselingi dengan urusan-urusan lain. antaranya yang terpenting adalah memantau
urusan rumah tangga.
Memiliki hubngan yang luas dengan orang- Memiliki hubngan yang luas dengan orang-orang
orang di luar perusahaan atau organisasi. di luar perusahaan atau organisasi.
Mengikuti perkembangan tugas demi tugas Menilai semua pekerjaaan dan berkeinginan
tanpa memfokuskan pada penilaian untuk mempelajari pengaruh-pengaruh masa
pelaksanaan kerja atau mempertimbangkan depan dan pengaruh-pengaruh umum pada
pengaruh-pengaruh yang ditimbulkan pada keluarga, lingkungan, pendidikan dan semisalnya.
masa depan.
Sangat terikat dengan pekerjaannya. Terikat dengan pekerjaannya, namun juga terikat
dengan urusan-urusan yang lain.
Suka menyimpan informasi. Suka tukar informasi.
Menjaga hirarki struktural organisasi. Bekerja melalui jaringan relasi dan bukan melalui
hubungan struktural organisasi.
II - 34

2.3 Kerangka Pemikiran

2.3.1 Pengaruh Gaya Kepemimpinan (X) terhadap Kepuasan Pekerja (Y)

Howell dan Dipboye (1986;349) memandang bahwa gaya kepemimpinan

merupakan salah satu aspek dari sekian banyak aspek yang menjadi kepuasan kerja yang

merupakan hasil keseluruhan dari derajat rasa suka atau tidak sukanya tenaga kerja .

Komunikasi yang baik dan lancar antara atasan dan bawahan merupakan salah

bentuk kepuasan pekerja. Steers dan Rhodes (1978;365)

2.4 Hipotesis Penelitian

1. Hipotesis 1 : Terdapat hubungan yang positif antara variabel Gaya

Kepemimpinan (X) dengan Kepuasan Kerja (Y)

Anda mungkin juga menyukai