Anda di halaman 1dari 16

MALPRAKTEK YANG TERKAIT DENGAN

INFORMED CONSENT

Disusun Oleh:

Sul Fadly

7060116022

Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar

Fakultas kedokteran dan Ilmu Kesehatan

Tahun 2019
Kata Pengantar

Alhamdulillahirabbil ‘alamin, rasa syukur kami panjatkan ke hadirat Allah yang


Maha Esa yang telah melimpahkan rahmat-Nya berupa kesehatan, kesempatan
serta pengetahuan sehingga makalah tentang ‘Malpraktek yang Terkait Dengan
Informed Consent’ ini bisa selesai sesuai dengan waktu yang telah ditentukan.

Kami berharap agar makalah ini bisa bermanfaat untuk menambah pengetahuan
rekan-rekan mahasiswa kedokeran pada khususnya dan para pembaca umumnya
tentang Malpraktek yang paling sering terjadi di kedokteran.

Mudah-mudahan makalah sederhana yang telah berhasil kami susun ini bisa
dengan mudah dipahami oleh siapapun yang membacanya. Sebelumnya kami
meminta maaf bilamana terdapat kesalahan kata atau kalimat yang kurang
berkenan. Serta tak lupa kami juga berharap adanya masukan serta kritikan yang
membangun dari Anda demi terciptanya makalah yang lebih baik lagi.

Makassar, 27 September 2019

Penulis
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Mengamati pemberitaan media massa akhir-akhir ini, terlihat peningkatan
dugaan kasus malpraktek dan kelalaian medik di Indonesia, terutama yang
berkenaan dengan kesalahan diagnosis bidan yang berdampak buruk terhadap
pasiennya. Media massa marak memberitahukan tentang kasus gugatan/
tuntutan hukum (perdata dan/ atau pidana) kepada bidan, dokter dan tenaga
medis lain, dan/ atau manajemen rumah sakit yang diajukan masyarakat
konsumen jasa medis yang menjadi korban dari tindakan malpraktik
(malpractice) atau kelalaian medis.
Seperti yang terjadi di Batu, -Linda Handayani- sosok bidan yang
berpengalaman dan senior. Dia sudah praktik puluhan tahun umurnya sudah
60 tahun lebih yang tersebut melakukan malpraktik atas kelahiran istri dari
Wiji Muhaimin. Bayi sungsang yang ditolong lahir dengan leher putus. Badan
bayi keluar duluan, sedangkan kepalanya tertinggal di dalam rahim. Kasus ini
sampai mendapat perhatian serius dari pemerintah setempat. Menurut ketua
Fraksi Gabungan Sugeng Minto Basuki atas kasus ini dia meminta dinas
kesehatan melakukan recovery lagi terhadap para bidan yang ada di Batu.
Lepas dari fenomena tersebut, ada yang mempertanyakan apakah kasus-
kasus itu terkategori malpraktik medik ataukah sekedar kelalaian (human
error) dari sang bidan/dokter. Untuk diketahui, sejauh ini di negara kita
belum ada ketentuan hukum tentang standar profesi kebidanan yang bisa
mengatur kesalahan profesi. Melihat fenomena di atas, maka kami melalui
makalah ini akan membahas tentang salah satu kasus malpraktik di Indonesia.
B. Rumusan Masalah
1. Jelaskan pengertian malpraktek?
2. Jelaskan jenis-jenis malpraktek?
3. Jelaskan pengertian informed consent?
4. Jelaskan medikolegal terkait malpraktek dan informed consent?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian dari malpraktek
2. Untuk mengetahui jenis-jenis malpraktek
3. Untuk mengetahui pengertian informed consent
4. Untuk mngertahui medikolegal dari malpraktek
BAB II

ISI DAN PEMBAHASAN

A. Malpraktek

Black’s Law Dictionary mendefinisikan malpraktik


sebagai “professional misconduct or unreasonable lack of skill” atau
“failure of one rendering proffesional services to exercise that degree of skill
and learning commonly applied under all the circumstances in the
community by the average prudent reputable member of the proffesion with
the result of injury, loss or damage to the recipient of those services or to
those entitled to rely upon them”.
Menurut Gunadi, J dapat dibedakan antara resiko pasien dengan
kelalaian dokter (negligence) yang dapat dimintakan pertanggungjawaban
pada dokter, resiko yang ditanggung pasien ada tiga macam yaitu :

1. Kecelakaan
2. Resiko tindakan medik (risk of treatment)
3. Kesalahan penilaian (error of judgement)

Masih menurut Gunadi, J masalah hukum sekitar 80% berkisar pada


penilaian atau penafsiran. Resiko dalam tindakan medik selalu ada dan jika
dokter atau penyedia layanan kesehatan telah melakukan tindakan sesuai
dengan standar profesi medik dalam arti bekerja dengan teliti, hati-hati, penuh
keseriusan dan juga ada informed consent (persetujuan) dari pasien maka
resiko tersebut menjadi tanggungjawab pasien. Dalam undang-undang hukum
perdata disana disebutkan dalam hal tuntutan melanggar hukum harus
terpenuhi syarat sebagai berikut :
1. Adanya perbuatan (berbuat atau tidak berbuat)
2. Perbuatan itu melanggara hukum
3. Ada kerugian yang ditanggung pasien
4. Ada hubungan kausal antara kerugian dan kesalahan
5. Adanya unsur kesalahan atau kelalaian

Menurut Guwandi malpraktik adalah (Guwandi, J. 1994, 18):

1. Melakukan suatu hal yang seharusnya tidak boleh dilakukan oleh


dokter atau dokter gigi;
2. Tidak melakukan apa yang seharusnya dilakukan atau melalaikan
kewajiban (negligence).
3. Melanggar suatu ketentuan menurut atau berdasarkan peraturan
perundang-undangan.

Sedangkan menurut Nugroho Kampono, Ketua Komite Medis RSCM


untuk mengurangi adverse events dan kelalaian medik dapat dilakukan
dengan manajemen risiko klinis.

Dari segi hukum, di dalam definisi di atas dapat ditarik pemahaman


bahwa malpraktik dapat terjadi karena suatu tindakan yang disengaja
(intentional) seperti pada misconduct tertentu, tindakan kelalaian
(negligence), ataupun suatu kekurang-mahiran/ketidakkompetenan yang tidak
beralasan.

Kelalaian dapat terjadi dalam 3 bentuk, yaitu malfeasance, misfeasance


dan nonfeasance.

1.   Malfeasance berarti melakukan tindakan yang melanggar hukum


atau tidak tepat/layak (unlawful atau improper), misalnya melakukan
tindakan medis tanpa indikasi yang memadai, pilihan tindakan medis
tersebut sudah improper. 
2. Misfeasance berarti melakukan pilihan tindakan medis yang tepat
tetapi dilaksanakan dengan tidak tepat (improper performance), yaitu
misalnya melakukan tindakan medis dengan menyalahi prosedur. 
3. Nonfeasance adalah tidak melakukan tindakan medis yang
merupakan kewajiban baginya. Bentuk-bentuk kelalaian di atas
sejalan dengan bentuk-bentuk error (mistakes, slips and lapses),
namun pada kelalaian harus memenuhi keempat unsur kelalaian dalam
hukum khususnya adanya kerugian, sedangkan error tidak selalu
mengakibatkan kerugian. Demikian pula adanya latent error yang
tidak secara langsung menimbulkan dampak buruk .

Kelalaian medis adalah salah satu bentuk dari malpraktik medis,


sekaligus merupakan bentuk malpraktik medis yang paling sering terjadi.
Pada dasarnya kelalaian terjadi apabila seseorang dengan tidak sengaja,
melakukan sesuatu (komisi) yang seharusnya tidak dilakukan atau tidak
melakukan sesuatu (omisi) yang seharusnya dilakukan oleh orang lain yang
memiliki kualifikasi yang sama pada suatu keadaan dan situasi yang sama.
Perlu diingat bahwa pada umumnya kelalaian yang dilakukan orang per-orang
bukanlah merupakan perbuatan yang dapat dihukum, kecuali apabila
dilakukan oleh orang yang seharusnya berdasarkan sifat profesinya bertindak
hati-hati dan telah mengakibatkan kerugian atau cedera bagi orang lain.

Suatu perbuatan atau sikap dokter atau dokter gigi dianggap lalai apabila
memenuhi empat unsur di bawah ini, yaitu:
1. Duty atau kewajiban dokter dan dokter gigi untuk melakukan sesuatu
tindakan atau untuk tidak melakukan sesuatu tindakan tertentu
terhadap pasien tertentu pada situasi dan kondisi yang tertentu.
2. Dereliction of the duty atau penyimpangan kewajiban tersebut.
3. Damage atau kerugian, yaitu segala sesuatu yang dirasakan oleh
pasien sebagai kerugian akibat dari layanan kesehatan/kedokteran
yang diberikan oleh pemberi layanan.
4. Direct causal relationship atau hubungan sebab akibat yang nyata.

Dalam hal ini harus terdapat hubungan sebab-akibat antara


penyimpangan kewajiban dengan kerugian yang setidaknya merupakan
“proximate cause”

B. Jenis-Jenis Malpraktek
1. Malpraktek Kriminal
Malpraktek kriminal terjadi ketika seorang dokter yang menangani
sebuah kasus telah melanggar undang-undang hukum pidana.
Malpraktik dianggap sebagai tindakan kriminal dan termasuk
perbuatan yang dapat diancam hukuman. Hal ini dilakukan oleh
Pemerintah untuk melindungi masyarakat secara umum. Perbuatan ini
termasuk ketidakjujuran, kesalahan dalam rekam medis, penggunaan
ilegal obat – obat narkotika, pelanggaran dalam sumpah dokter,
perawatan yang lalai, dan tindakan pelecehan seksual pada pasien
yang sakit secara mental maupun pasien yang dirawat di bangsal
psikiatri atau pasien yang tidak sadar karena efek obat
anestesi.Peraturan hukum mengenai tindak kriminal memang tidak
memiliki batasan antara tenaga profesional dan anggota masyarakat
lain. Jika perawatan dan tata laksana yang dilakukan dokter dianggap
mengabaikan atau tidak bertanggung jawab, tidak baik, tidak dapat
dipercaya dan keadaan – keadaan yang tidak menghargai nyawa dan
keselamatan pasien maka hal itu pantas untuk menerima hukuman.
Dan jika kematian menjadi akibat dari tindak malpraktik yang
dilakukan, dokter tersebut dapat dikenakan tuduhan tindak kriminal
pembunuhan. Tujuannya memiliki maksud yang baik namun secara
tidak langsung hal ini menjadi berlebihan. Seorang dokter dilatih
untuk membuat keputusan medis yang sesuai dan tidak boleh
mengenyampingkan pendidikan dan latihan yang telah dilaluinya serta
tidak boleh membuat keputusan yang tidak bertanggung jawab tanpa
mempertimbangkan dampaknya. Ia juga tidak boleh melakukan
tindakan buruk atau ilegal yang tidak bertanggung jawab dan tidak
boleh mengabaikan tugas profesionalnya kepada pasien. Dia juga
harus selalu peduli terhadap kesehatan pasien. Criminal malpractice
sebenarnya tidak banyak dijumpai. Misalnya melakukan pembedahan
dengan niat membunuh pasiennya atau adanya dokter yang sengaja
melakukan pembedahan pada pasiennya tanpa indikasi medik,
(appendektomi, histerektomi dan sebagainya), yang sebenarnya tidak
perlu dilakukan, jadi semata-mata untuk mengeruk keuntungan
pribadi. Memang dalam masyarakat yang menjadi materialistis,
hedonistis dan konsumtif, dimana kalangan dokter turut terimbas,
malpraktek diatas dapat meluas.
2. Civil Malpractice
Adalah tipe malpraktek dimana dokter karena pengobatannya dapat
mengakibatkan pasien meninggal atau luka tetapi dalam waktu yang
sama tidak melanggar hukum pidana. Sementara Negara tidak dapat
menuntut secara pidana, tetapi pasien atau keluarganya dapat
menggugat dokter secara perdata untuk mendapatkan uang sebagai
ganti rugi. Tanggung jawab dokter tersebut tidak berkurang meskipun
pasien tersebut kaya atau tidak mampu membayar. Misalnya seorang
dokter yang menyebabkan pasien luka atau meningggal akibat
pemakaian metode pengobatan yang sama sekali tidak benar dan
berbahaya tetapi sulit dibuktikan pelangggaran pidananya, maka
pasien atau keluarganya dapat menggugat perdata. Pada civil
malpractice, tanggung gugat dapat bersifat individual atau korporasi.
Dengan prinsip ini maka rumah sakit dapat bertanggung gugat atas
kesalahan yang dilakukan oleh dokter-dokternya asalkan dapat
dibuktikan bahwa tindakan dokter itu dalam rangka melaksanakan
kewajiban rumah sakit.
3. Malpraktik secara Etik
Kombinasi antara interaksi profesional dan aktivitas tenaga
pendukungnya serta hal yang sama akan mempengaruhi anggota
komunitas profesional lain dan menjadi perhatian penting dalam
lingkup etika medis. Panduan dan standar etika yang ada terkait
dengan profesi yang dijalaninya itu sendiri. Panduan dan standar
profesi tersebut mengarah pada terjadinya inklusi atau eksklusi orang
– orang yang terlibat dalam profesi tersebut. Kelalaian dalam
menjalani panduan dan standar etika yang ada secara umum tidak
memiliki dampak terhadap dokter dalam hubungannya dengan pasien.
Namun, hal ini akan mempengaruhi keputusan dokter dalam
memberikan tata laksana yang baik. Hal tersebut dapat menghasilkan
reaksi yang kontroversial dan menimbulkan kerugian baik kepada
dokter, maupun kepada pasien karena dokter telah melalaikan standar
etika yang ada. Tindakan tidak profesional yang dilakukan dengan
mengabaikan standar etika yang ada umumnya hanya berurusan
dengan komite disiplin dari profesi tersebut. Hukuman yang diberikan
termasuk pelarangan tindakan praktik untuk sementara dan pada kasus
yang tertentu dapat dilakukan tindakan pencabutan izin praktek.

C. Informed Consent
Menurut PerMenKes no 290/MenKes/Per/III/2008 dan UU no 29 th 2004
Pasal 45 serta Manual Persetujuan Tindakan Kedokteran KKI tahun 2008,
maka Informed Consent adalah persetujuan tindakan kedokteran yang
diberikan oleh pasien atau keluarga terdekatnya setelah mendapatkan
penjelasan secara lengkap mengenai tindakan kedokteran yang akan
dilakukan terhadap pasien tersebut. Menurut Lampiran SKB IDI No.
319/P/BA./88 dan Permenkes no 585/Men.Kes/Per/IX/1989 tentang
Persetujuan Tindakan Medis Pasal 4 ayat 2 menyebutkan dalam memberikan
informasi kepada pasien / keluarganya, kehadiran seorang perawat /
paramedik lainnya sebagai saksi adalah penting.
Dalam hubungan hukum, pelaksana dan pengguna jasa tindakan medis
(dokter, dan pasien) bertindak sebagai “subyek hukum ” yakni orang yang
mempunyai hak dan kewajiban, sedangkan “jasa tindakan medis” sebagai
“obyek hukum” yakni sesuatu yang bernilai dan bermanfaat bagi orang
sebagai subyek hukum, dan akan terjadi perbuatan hukum yaitu perbuatan
yang akibatnya diatur oleh hukum, baik yang dilakukan satu pihak saja
maupun oleh dua pihak.

Dalam masalah “informed consent” dokter sebagai pelaksana jasa


tindakan medis, disamping terikat oleh KODEKI (Kode Etik Kedokteran
Indonesia) bagi dokter, juga tetap tidak dapat melepaskan diri dari ketentuan-
ketentuan hukun perdata, hukum pidana maupun hukum administrasi,
sepanjang hal itu dapat diterapkan. Untuk itu, sebagai calon dokter gigi, perlu
untuk mengetahui tentang aspek hukum informed consent. Selain itu perlu
pula mengetahui isi dari informed consent serta format informed consent
yang sah secara hukum.

Di Indonesia perkembangan “informed consent” secara yuridis formal,


ditandai dengan munculnya pernyataan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) tentang
“informed consent” melalui SK PB-IDI No. 319/PB/A.4/88 pada tahun 1988.
Kemudian dipertegas lagi dengan PerMenKes No. 585 tahun 1989 tentang
“Persetujuan Tindakan Medik atau Informed Consent”.

Baru sekitar tahun 1988 di Indonesia ada peraturan dan pedoman bagi
para dokter untuk melaksanakan konsep informed consent dalam praktek
sehari-hari yaki berupa fatwa PB. IDI No. 319/PB/A.4/88 tentang informed
consent, yang kemudian diadopsi isinya hampir sebagian besar oleh
Permenkes No. 585 Tahun 1989 tentang persetujuan tindakan medik.

Dengan adanya peraturan Permenkes No.585 Tahun 1989 tentang


persetujuan tindakan medik, maka peraturan tersebut menjadi aturan
pelaksanaan dalam setiap tindakan medis yang berhubungan dengan
persetujuan dan pemberian informasi terhadap setiap tindakan medik.
Peraturan tersebut menyebutkan bahwa setiap tindakan medik harus ada
persetujuan dari pasien yang diatur dalam Pasal 2 ayat (1) Permenkes No.585
Tahun 1989, yang berbunyi “semua tindakan medik yang akan dilakukan
terhadap pasien harus mendapat persetujuan”.

Adanya pengaturan mengenai informed consent yang terdapat dalam


Permenkes No.585 Tahun 1989 tersebut juga diperkuat dengan adanya
Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran yang
terdapat pada Pasal 45 ayat (1) sampai (6) yang berbunyi:

1. Ayat (1): Setiap tindakan kedokteran atau kedokteran gig iyang akan
dilakukan oleh dokter atau dokter gigi terhadap pasien harus mendapat
persetujuan.
2. Ayat (2) : Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan
setelah pasien mendapat penjelasan secara lengkap.
3. Ayat (3) : Penjelasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sekurang-
kurangnya mencakup:
a. Diagnosis dan tata cara tindakan medis;
b. Tujuan tindakan medis yang dilakukan;
c. Alternatif tindakan lain dan risikonya;
d. Risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi; dan
e. Prognosis terhadap tindakan yang dilakukan.
4. Ayat (4) : Persetujuan sebagaimana dimaksud padaf ayat (2) dapat
diberikan baik secara tertulis maupun lisan.
5. Ayat (5) : Setiap tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang
mengandung risiko tinggi harus diberikan dengan persetujuan tertulis
yang ditandatangani oleh yang berhak memberikan persetujuan.
6. Ayat (6) : Ketentuan mengenai tata cara persetujuan tindakan kedokteran
atau kedokteran gigi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat
(30), ayat (4) dan ayat (5) diatur dengan Peraturan Menteri
Dari Ketentuan Undang Undang Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik
Kedokteran tersebut terutama pada pasal 45 ayat (6) menyebutkan bahwa
pengaturan mengenai tata cara persetujuan tindakan kedokteran
(informend consent) diatur oleh peraturan menteri yaitu Permenkes
No.585 Tahun 1989.

D. Medikolegal
Akhir-akhir ini, karena maraknya kasus dugaan malpraktek medik atau
kelalaian medik di Indonesia, ditambah “keberanian” pasien yang menjadi
korban untuk menuntut hak-haknya, para dokter seakan baru mulai ‘sibuk’
berbenah diri. Terutama dalam menghadapi kasus malpraktek. ‘Kesibukan’
ini terjadi sejalan dengan makin baiknya tingkat pendidikan dan keadaan
sosial ekonomi masyarakat, dan meningkatnya.
Demikian saktinya media, hingga berbagai pengadilan dirancang untuk
mengadili dokter yang melakukan malapraktik. Selain sudah mempunyai
Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK) dan Pengadilan Negeri, ada
yang mengusulkan pembentukan Majelis Kehormatan Profesi Dokter
(MKPD) dan peradilan ad hoc.
Dalam hal seorang dokter diduga melakukan pelanggaran etika
kedokteran (tanpa melanggar norma hukum), maka ia akan dipanggil dan
disidang oleh Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK) IDI untuk
dimintai pertanggung-jawaban (etik dan disiplin profesi)nya. Persidangan
MKEK bertujuan untuk mempertahankan akuntabilitas, profesionalisme dan
keluhuran profesi. Saat ini MKEK menjadi satu-satunya majelis profesi yang
menyidangkan kasus dugaan pelanggaran etik dan/atau disiplin profesi di
kalangan kedokteran.
Di kemudian hari Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia
(MKDKI), lembaga yang dimandatkan untuk didirikan oleh UU No 29 /
2004, akan menjadi majelis yang menyidangkan dugaan pelanggaran disiplin
profesi kedokteran Di dalam praktek kedokteran terdapat aspek etik dan
aspek hukum yang sangat luas, yang sering tumpang-tindih pada suatu issue
tertentu, seperti pada informed consent, wajib simpan rahasia kedokteran,
profesionalisme, dll. Bahkan di dalam praktek kedokteran, aspek etik
seringkali tidak dapat dipisahkan dari aspek hukumnya, oleh karena
banyaknya norma etik yang telah diangkat menjadi norma hukum, atau
sebaliknya norma hukum yang mengandung nilai-nilai etika. Aspek etik
kedokteran yang mencantumkan juga kewajiban memenuhi standar profesi
mengakibatkan penilaian perilaku etik seseorang dokter yang diadukan tidak
dapat dipisahkan dengan penilaian perilaku profesinya. Etik yang memiliki
sanksi moral dipaksa berbaur dengan keprofesian yang memiliki sanksi
disiplin profesi yang bersifat administratif. Keadaan menjadi semakin sulit
sejak para ahli hukum menganggap bahwa standar prosedur dan standar
pelayanan medis dianggap sebagai domain hukum, padahal selama ini profesi
menganggap bahwa memenuhi standar profesi adalah bagian dari sikap etis
dan sikap profesional. Dengan demikian pelanggaran standar profesi dapat
dinilai sebagai pelanggaran etik dan juga sekaligus pelanggaran hukum.
World Medical Association dalam Deklarasi Geneva pada tahun 1968
menelorkan sumpah dokter (dunia) dan Kode Etik Kedokteran Internasional.
Kode Etik Kedokteran Internasional berisikan tentang kewajiban umum,
kewajiban terhadap pasien, kewajiban terhadap sesama dan kewajiban
terhadap diri sendiri.
Selanjutnya, Kode Etik Kedokteran Indonesia dibuat dengan mengacu
kepada Kode Etik Kedokteran Internasional. Selain Kode Etik Profesi di atas,
praktek kedokteran juga berpegang kepada prinsip-prinsip moral kedokteran,
prinsip-prinsip moral yang dijadikan arahan dalam membuat keputusan dan
bertindak, arahan dalam menilai baik-buruknya atau benar-salahnya suatu
keputusan atau tindakan medis dilihat dari segi moral. Pengetahuan etika ini
dalam perkembangannya kemudian disebut sebagai etika biomedis. Etika
biomedis memberi pedoman bagi para tenaga medis dalam membuat
keputusan klinis yang etis (clinical ethics) dan pedoman dalam melakukan
penelitian di bidang medis.
Pada banyak kasus medikolegal kompleks yang sampai ke pengadilan,
banyak yang memerlukan pendapat saksi ahli karena metodologi dan tata
laksana standar kedokteran ada di luar pengetahuan juri. Jika terdapat tuduhan
tindakan malpraktik maka orang yang mengajukan tuduhan tersebut
disyaratkan untuk memberikan bukti adanya penyimpangan tersebut. Bukti
tersebut harus datang dari ahli yang memiliki kualifikasi yang sesuai dengan
subjek yang dipermasalahkan. Karena itu, umumnya banyak didapatkan
dokter enggan bersaksi melawan teman sejawatnya. Alasan keengganannya
tersebut bervariasi mulai dari stigma tuduhan malpraktik, nama buruk yang
didapat setelah bersaksi, ancaman pengeluaran dari komunitas tempat dia
bernaung, ancaman dari perusahaan asuransi dokter tersebut, ancaman
pengadilan profesi, dan adanya konspirasi untuk tutup mulut.
Pembelaan yang lebih relevan dan dapat diterapkan dalam praktik
kedokteran sehari-hari termasuk :
1. Asumsi pasien mengenai resiko berdasarkan surat persetujuan yang telah
dibuat,
2. Faktor penyebab kelalaian terletak di tangan pasien,
3. Kelalaian terletak pada pihak ke tiga.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Sebagai salah satu pelaksana jasa tindakan medis dokter harus menyadari
bahwa “informed consent” benar-benar dapat menjamin terlaksananya
hubungan hukum antara pihak pasien dengan dokter, atas dasar saling
memenuhi hak dan kewajiban masing-masing pihak yang seimbang dan dapat
dipertanggungjawabkan. Oleh karena itu ketika seorang dokter tidak
melakukan “informed consent” dengan pasien, maka dokter tersebut telah
melakukan pelanggaran hukum.

B. Saran
Saya mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
membantu sehingga makalah ini dapat diselesaikan sesuai dengan waktunya.
Dan sebagai Penulis saya menyadari bahwa makalah ini masih banyak
kekurangannya, untuk itu mohon maaf, sekaligus saya berharap saran dan
kritik yang membangun dari para pembaca semua. Semoga makalah ini
nantinya bermanfaat untuk kita semua. 

Anda mungkin juga menyukai