Anda di halaman 1dari 12

CEREBRAL TOXOPLASMOSIS

PENDAHULUAN
Human Immunodeficiency Virus atau yang lebih dikenal dengan HIV masih menjadi
masalah kesehatan utama didunia, selain dari belum tersedianya terapi yang adekuat untuk
menuntaskan HIV, angka penderita HIV yang terus meningkat merupakan salah satu masalah yang
tidak bisa lepas dari pandangan medis, di indonesia dalam waktu 25 menit terdapat satu orang baru
yang terinfeksi oleh HIV(Unichef, 2015). Satu dari setiap lima penderita HIV di indonesia
merupakan usia produktif (Unichef, 2015). Maka secara tidak langsung masalah penularan HIV di
indonesia haruslah dipandang secara serius. Hal yang dapat kita ketahui dari HIV adalah
penurunan antibodi (CD4) yang disebabkan oleh reaksi virus dari HIV (Murray, P. R., et. al. 2016).
Dari penurunan antibodi yang disebabkan oleh virus HIV, akan menyebabkan berbagai macam
komplikasi, salah satu komplikasi yang menarik untuk dibahas adalah komplikasi yang di
sebabkan oleh Toxoplasma Gondii.

Apa yang menyebabkan Toxoplasma Gondii menarik untuk dibahas?. Dewasa ini penyakit
yang disebabkan oleh toxoplasma gondii atau disebut dengan toxoplasmosis meningkat
penderitanya seiring dengan adanya meningkatan kasus HIV (Murray, P. R., 2016).
Toxoplasmosis merupakan kasus yang disebut dengan “late complication of HIV” atau komplikasi
akhir dari HIV, dimaksutkan dalam kalimat tersebut yang berarti bahwa toxoplasmosis akan timbul
jika perhitungan jumlah sel CD4 berada pada angka <200/μL (Aminoff, M. J., et. al. 2015). Jika
dilihat dari kondisi tersebut maka toxoplasmosis akan timbul pada kasus HIV yang berat, akan
tetapi dilapangan, kasus toxoplasmosis merupakan kasus tersering dengan jumlah prevalensi yang
mencapai 50% dari penderita HIV akan mengalami toxoplasmosis (Hausser, S. L., et. al. 2013).
Apakah hal ini berarti bahwa penyebaran ARV tidak efektif untuk mempertahankan nilai CD4
>200/μL? Ataukah paparan toxoplasma yang sangat mudah menyebar mengingat bahwa daur
hidup toxoplasma dapat bertahan dilingkungan luar hostnya dalam bentuk yang tidak aktif lalu
akan aktif ketika melekat pada pejamu, dalam hal ini adalah manusia dan kucing karena
toxoplasma gondii paling sering menular melalui kucing atau makanan yang tidak dimasak secara
matang (Murray, P. R., et. al. 2016).

Dalam kasus toxoplasmosis pada orang dengan AIDS (Acquired Immunodeficiency


Syndrome), toxoplasmosis akan menyerang pada bagian CNS (Central Nervous System) atau
bagian sistem saraf pusat terutama pada bagian otak, sistem saraf pusat merupakan suatu bagian
ATHA YUDHISTIRA 1
CEREBRAL TOXOPLASMOSIS

sistem saraf yang mengatuh sebagian besar persarafan dalam tubuh manusia (Hausser, S. L., et. al.
2013). Jika terdapat defisit yang di timbulkan oleh toxoplasma gondii di sana tidak menutup
kemungkinan bahwa pasien dapat mengalami kelumpuhan, karena salah satu tanda dan gejala dari
toxoplasmosis cerebral atau toxoplasmosis yang menyerang pada otak adalah kelumpuhan
(Aminoff, M. J., et. al. 2015). Sangat penting jika kita bisa lebih mawas diri dengan peyakit yang
dengan angka kejadian yang sangat tinggi. Oleh sebab itu dalam penulisan kali ini akan di bahas
secara menyeluruh tentang Cerebral Toxoplasmosis, di mulai dengan definisi hingga tatalaksana
secara umum.

TUJUAN PENULISAN
Mengenal lebih utuh tentang Cerebral Toxoplasmosis. Penyakit yang disebabkan oleh
toxoplasma gondii yang merupakan sporozoa bebas dengan host tersering adalah kucing rumah.
Pada kasus orang normal toxoplasma gondii tidak menyebabkan komplikasi karena adanya sistem
pertahan tubuh manusia. akan tetapi hal tersebut akan memberikan dampak yang buruk jika terjadi
pada orang dengan penurunan sitem kekebalan tubuh. Penulisan kali ini akan menyajikan cerebral
toxoplasmosis mulai dari definisi, Epidemiologi, Patogenesis, Manifestasi Klinis dan tata laksana.

ATHA YUDHISTIRA 2
CEREBRAL TOXOPLASMOSIS

CEREBRAL TOXOPLASMOSIS
Definisi
Cerebral toxoplasmosis, merupakan salah satu komplikasi yang disebabkan oleh
toxoplasma gondii sebuah sporozoa yang menyerang pada bagian CNS (Central Nervous System)
atau Sistem Saraf Pusat. Cerebral Toxoplasmosis sering timbul dalam kasus penurusan sistem
imun atau orang dengan AIDS dengan jumlah CD4 <200/µL (Aminoff, M. J., et. al. 2015).
Toxoplasma gondii merupakan parasit intraselullar, ditemukan pada banyak varietas hewan
termasuk burung, mamalia dan manusia, reservoir utama dari T. gondii adalah kucing rumahan
(Murray, P. R., et. al. 2016). Hal yang dapat dicegah sebagai langkah awal untuk memutus
penularan penyakit ini antara lain cuci tangan setelah kontak dengan tanah, memakan daging yang
dimasak secara matang dan jika memelihara kucing hendaklah mengganti tempat kotoran secara
teratur (Hausser, S. L., et. al. 2013).

Epidemiologi
Menurut Robert-Gangneux dan Dardé pada penelitiannya ditahun 2012, epidemiologi
dibagi menjadi epidemiologi pada hewan dan epidemiologi pada manusia. epidemiologi pada
hewan di bagi menjadi dua yaitu wildlife dan meat-producing animal, dimana pada wildlife
Robert-Gangneux dan Dardé membahas tentang prevalensi pada hewan di alam bebas, sedangkan
pada meat-producing prevalensi pada hewan ternak yang dagingnya akan diolah, mengingat bahwa
penyebaran T. gondii menyebar melalui daging dan hewan. Sedangkan prevalensi pada manusia
berdasarkan kejadian klinis yang terjadi pada negara negara di dunia (Robert-Gangneux, F., dan
Dardé, M., 2012).

Prevalensi Pada Hewan


Wildlife
Lebih dari 350 species teridentifikasi sebagai host mulai dari mamalia hingga burung yang
sebagian besar tinggal dalam kehidupan liar. Diduga kontaminasi pada lingkungan dipengaruhi
adanya oocyst yang tersebar luas dilungkungan oleh karena dukungan habitat oleh kucing terutama
pada kotorannya. Di habitat liar seroprevalensi dapat mencapai 100% akan tetapi memiliki sero
prevalensi tinggi sangat sedikit yang dapat melakukan infeksi hanya berkisar 1-5%. Hal ini diduga
dengan adanya interaksi fisika, biologi dan ecologi pada alam bebas seperti iklim yang tidak
ATHA YUDHISTIRA 3
CEREBRAL TOXOPLASMOSIS

memungkinkan untuk berkembangnya oocyst di habitat luas. Selain itu seroprevalensi yang tinggi
dipengaruhi oleh pola makan dari hewan yang dimana pada kasus omnivora dan karnivora
menyebabkan akumulasi dari siklus T. gondii (Robert-Gangneux, F., dan Dardé, M., 2012).

Meat- Processing
Pada prevalensi bagian ini dipengaruhi oleh management dari suatu pertenakan.
Pengontrolan mengenai makanan dan higeinisitas yang adekuat secara indor, terbebas dari tikus,
burung dan kucing menurunkan seroprevalensi yang cukup signifikan <5%. Akan tetapi ketika
hewan ternak di lepas bebas maka seroprevalensi meningkat menjadi 100% kembali. Dalam meat
– processing seroprevalensi berkaitan dengan umur pada hewan ternak 17% - 89% terhirung pada
saat hewan ternak masih anakan hingga dewasa. Akan tetapi masih sama dengan penelitian
sebelumnya bahwa serooprevalensi yang tinggi belum tentu terjadi infeksi (Robert-Gangneux, F.,
dan Dardé, M., 2012).

Prevalensi Pada manusia


Diperkirakan rerata 25% - 30% populasi dunia terinfeksi oleh toxoplasma. Pervalensi
tersebut sangat bervariasi antara 10 – 80% yang di observasi dari amerika, asia tenggara, eropa
dan afrika (Robert-Gangneux, F., dan Dardé, M., 2012). Di Asai lebih tepatnya korea dan cina
masing masing prevalensi adalah 6.7% dan 12.3% sedangkan di perancis jauh lebih besar 47%.
Hal ini deipengaruhi oleh kondisi lingkungan, kebiasaan makan dan kebersihan individu (Furtado,
M. J., et. al., 2011).

Sedangkan untuk prevalensi cerebral toxoplasmosis yang menyerang pada sebagian besar
kasus AIDS sebesar 50% dari penderita AID di negara tersebut. Hal ini dipengaruhi oleh adanya
penurunan sitem imun yang tidak bisa mengeleminasi T. gondii dalam darah. Penderita akan
mengalami gangguan klinis ketika CD4 <200/µL (Hausser, S. L., et. al. 2013; Aminoff, M. J., et.
al. 2015).

ATHA YUDHISTIRA 4
CEREBRAL TOXOPLASMOSIS

Patogenesis

Gambar 1: Daur hidup T.gondii (Murray, P. R., et. al. 2016).

T. gondii memiliki dua daur hidup. Daur hidup secara seksual yang terjadi dalam tubuh
kucing dan host definitif. Dan daur hidup aseksual yang terjadi dalam tubuh mamalia lainnya
(termasuk manusia) dan berbagai jenis macam burung. Dalam daur hidup aseksual, terdapat dua
bentuk yaitu takizoit (bentuk yang sering menyebabkan infeksi akut) dan bradyzoit (yang tumbuh
dalam kista sel) (Murray, P. R., et. al. 2016).

Kucing dapat terinfeksi T. gondii melalui burung, tikus atau daging mentah yang
mengandung kista, T. gondii berkembang secara seksual pada sistem pencernaan kucing.
Bradyzoit yang tertelan oleh kucing akan melakukan perkembang biakan secara seksial dan
menghasilkan oosit dengan dinding yang rigit terenkapsulasi. Ookist tersebut akan di keluarkan
melalui feses kucing, bersifat infeksius dalam waktu 24 jam atau lebih setelah feses dikeluarkan.
Ookist dapat berkembang secara baik di lingkungan yang lembab dan akan semakin infeksius
terkait dengan eksresi feses kucing di lingkungan manusia (Robert-Gangneux, F., dan Dardé, M.,
2012).

ATHA YUDHISTIRA 5
CEREBRAL TOXOPLASMOSIS

Bentuk infeksius yang sering terjadi pada manusia adalah bentuk, ookist, takizoit dan
bradyzoit. Infeksi dapat terjadi melalui feses kucing dalam bentuk ookist, atau makanan dan
minuman yang terkontaminasi oleh ookist tersebut. Transmisi juga dapat terjadi dalam bentuk
bradizoit atau kista, terkandung dalam daging hewan yang terinfeksi oleh T. gondii dan dimasak
secara tidak cukup matang, atau transpaltasi organ pada orang – orang yang menjalani transfusi
organ dengan kasus tersering adalah transpaltasi hati (Robert-Gangneux, F., dan Dardé, M., 2012;
Aminoff, M. J., et. al. 2015).

Invasi Seluler

Setelah ookist dari T. gondii yang terkandung dalam feses kucing yang terinfeksi
mengkontaminasi makanan yang kita makan, bentuk sporozoit dalam ookist akan berkembang
menjadi takizoit. Takizoit merupakan bentuk aktif dari oosit yang dinding cell nya hancur oleh
karena proses digesi dalam perut manusia yang di bantu oleh enzim pencernaan. Takizoit yang
akti fini akan melepaskan laminin, lectin dan SAG1 dalam reseptor pejamu untuk dapat
berpenetrasi. Takizoit akan berkembang dalam sel yang akan menyebabkan kista, kita akan
semakin besar dan menyebabkan ruptur sel, sel yang pecah akan menyebarkan takizoit melalui
aliran limfe dan juga melaui pembuluh darah yang terdapat dalam jaringan (Murray, P. R., et. al.
2016).

Hal yang menyebabkan T. gondii dapat melakukan penetrasi dan berhasil menginfeksi host
pejamu, dikarenakan kemampuan toxoplasma yang sangat cepat menginfeksi sel pejamu sebelum
adanya proses fagositosis Dalam proses invasinya, sel yang terinfeksi akan bersifat pasive dan
tidak mengalami perubahan membran dari sel semulanya (Murray, P. R., et. al. 2016). Akan tetapi
dalam kasus manusia dengan imun yang normal, toxoplasma akan terputus daur hidupnya setelah
7 hari dari masa infeksi. Pada kasus dengan immunodefisiensi tidak berlaku seperti keadaan
normal. Pasien Dengan CD4 <200/µL sangat rentan terinfeksi oleh toxoplasma, gejala klinis akan
timbul jika CD4 <100/µL salah satunya adalah Cerebral Toxoplasma (Hausser, S. L., et. al. 2013;
Aminoff, M. J., et. al. 2015).

ATHA YUDHISTIRA 6
CEREBRAL TOXOPLASMOSIS

Gambar 2: Susunan Sawar Darah Otak (Feustel, S. M., Meissner, M., and Liesfeld, O., 2012).

Dalam kasus cerebral toxoplasmosis pada orang AIDS, patogenesis dari toxoplasma
melalui teori tojan horse. Toxoplasma dengan sifatnya yg infeksius tanpa merubah sifat sel
inangnya akan menginfeksi dan menembus sawar darah otak. Penembusan toxoplasma menuju
sawar darah otak menggunakan sel limfosit. Dalam komplikasinya yang menimbulkan beberapa
manifestasi klinis, mengindikasikan bahwa pecahnya kista limfosit yang di gunakan toxoplasma
bergantung dimana toxoplasma ingin pecah. Contok pada kasus meningoenchepalitis, toxoplasma
dapat menembus hingga bagian terdalam otak dan kitsa pecah pada bagian koreteks serebri
(Feustel, S. M., Meissner, M., and Liesfeld, O., 2012) .

Gambar 3: Komponen Sawar Darah Otak (Feustel, S. M., Meissner, M., and Liesfeld, O., 2012).

ATHA YUDHISTIRA 7
CEREBRAL TOXOPLASMOSIS

Penembusan terjadi dengan menggunakan limfosit. Karena pada kasus inflamasi, limfosit
dapat menembus bagian terdalam terutama bagian tight junction yang akan mempertemukan
endothel dengan lamina basalis. Sedangkan infeksi pada CNS atau korteks terjadi setelah lamina
basalis berhasil di infeksi dan toxoplasma menginfeksi secara langsung sel sel saraf yag tidak
terlindungi oleh astrosit.

Gambar 4: Komponen Tight Junction (Feustel, S. M., Meissner, M., and Liesfeld, O., 2012).

Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis yang ditimbulkan akibat adanya inflamasi pada bagian CNS antara lain:

• Demam
• Pusing
• Penurunan Status Mental
• Kejang
• Kelainan abnormal focal neurologis seperti plasia pada saraf kranial
• Hemiparesis

Pada pemeriksaan MRI ata CT – Scan akan didapakan gambaran lesi multipel pada
supratentorial dengan adanya predileksi pada basal ganglia. Selain gambaran tersebut, bisa di

ATHA YUDHISTIRA 8
CEREBRAL TOXOPLASMOSIS

pastikan dengan biopsi pada otak atau pengecatan gram dan CD4 <100/µL. (Hausser, S. L., et. al.
2013; Aminoff, M. J., et. al. 2015; Murray, P. R., et. al. 2016).

Gambar 5: Gambaran MRI (Hausser, S. L., et. al. 2013).

Tatalaksana
Tata laksana diberikan jika keadaaan CD4 pasien CD4 <100/µL, dan dihentikan setelah
CD4 >200/µL dan membaik selama 3 bulan pasca pemberian ART

• Pyrimethamine 200 mg Per Oral sekali sehari, followed by dose based on body weight:

Body Weight ≤60 kg:

• Pyrimethamine 50 mg Per Oral sekali sehari + sulfadiazine 1000 mg Per Oral


setiap 6 jam + leucovorin 10–25 mg Per Oral sekali sehari (boleh ditingkatkan
hingga 50mg perhari atau duakali sehari)

ATHA YUDHISTIRA 9
CEREBRAL TOXOPLASMOSIS

Body Weight >60 kg:

• Pyrimethamine 75 mg Per Oral sekali sehari + sulfadiazine 1500 mg Per Oral


setiap 6 jam + leucovorin 10–25 mg Per Oral sekali sehari (boleh ditingkatkan
hingga 50mg perhari atau duakali sehari)

Pyrimethamine diberikan guna mengobati inflamasi. leucrovin diberikan untuk mengatasi


toxin. Sulfadiasin dapat diganti dengan clamidin jika terdapat alergi pada sulfadiazine.
Trimethoprim-sulfamethoxazole (TMP-SMZ) dapat diberikan sebagai lini kedua dengan dosisi
sekali sehari. (Aidsinfo.org, 2015 ;CDC, 2009)

ATHA YUDHISTIRA 10
CEREBRAL TOXOPLASMOSIS

Kesimpulan
Dewasa ini seiring dengan peningkatan angka penderita HIV, peningkatan penyakit yang
disebabkan penurunan sistem imun kian meningkat. Salah satunya adalah Cerebral
Toxoplasmosis. Cerebral Toxoplasmos merupakan sesuatu penyakit yang timbul akibat infeksi T.
gondii. Infeksi ini akan timbul pada keadaan immunodefisiensi. Penyakit yang timbul akibat
kontka dengan hewan mamlia yang terinfeksi oleh toxoplasma terutama kucing.

Toxoplasma berkembang dengan dua cara yaitu aseksual dan seksual. Fase seksual terjadi
didalam kucing dan menjadi infeksius pada saat dikeluarkan melalui feses kucing. Ketika
terkonsumsi manusia melalui makanan, minuman ataupun hwan ternak yg mengkonsumi bahan
pangan yg tercemar, akan terjadi perkembangan aseksual. Perkembangan askesual inilah yang
akan menyebabkan komplikasi. Komplikasi terjadi pada orang dengan penurunan sistem imun.
Yaitu cerebral toxoplasmosis.

Gambaran klinis yang nampak berupa, demam, pusing, kejang, dan kelainan focal
neurologis. Cerebral toxoplasmosis dapat dideteksi dengan MRI atau CT – Scan. Dengan
gambaran lesi multipel pada bagian korteks. Cerebral toxoplasmosis dapat diobati Dengan terapi
yang diiringi dengan arv dan terapi lini pertama. Terapi lini pertama berupa pyrimethamin,
sulfadoksin dan leucovorin.

ATHA YUDHISTIRA 11
CEREBRAL TOXOPLASMOSIS

DAFTAR PUSTAKA

Aidsinfo, Guidelines for the Prevention and Treatment of Opportunistic Infections in HIV-
Infected Adults and Adolescents. Available at: aidsinfo.nih.gov/guidelines.

Aminoff, M.J., Greenberg, D.A. & Simon, R.P., 2015. Clinical Neurology: Ninth Edition, Mc
Graw Hill.

Feustel, S.M., Meissner, M. & Liesenfeld, O., 2012. Toxoplasma gondii and the blood-brain
barrier. Virulence, 3(2), pp.182–92. Available at:
http://www.pubmedcentral.nih.gov/articlerender.fcgi?artid=3396697&tool=pmcentrez&ren
dertype=abstract.

Furtado, J.M. et al., 2011. Toxoplasmosis: a global threat. Journal of global infectious diseases,
3(3), pp.281–284.

Hauser, S. & Josephson, S., 2013. Harrison’s Neurology in Clinical Medicine, 3E, Mc Graw
Hill. Available at: http://www.amazon.com/Harrisons-Neurology-Clinical-Medicine-
3E/dp/0071815007.

Kaplan, J.E. et al., 2009. Guidelines for prevention and treatment of opportunistic infections in
HIV-infected adults and adolescents: recommendations from CDC, the National Institutes
of Health, and the HIV Medicine Association of the Infectious Diseases Society of
America. MMWR Recommendations and reports : Morbidity and mortality weekly report
Recommendations and reports / Centers for Disease Control, 58(RR-4), pp.1–4. Available
at: papers2://publication/uuid/EE0845D0-5E3D-4BDA-9E3C-27EC28FA2E91.

Murray, P.R., Rosenthal, K.S. & Pfaller, M.A., 2016. Medical Microbiology, 8E, ELSEVIER.

Robert-Gangneux, F. & Dard??, M.L., 2012. Epidemiology of and diagnostic strategies for
toxoplasmosis. Clinical Microbiology Reviews, 25(2), pp.264–296.

Unicef indonesia, 2012. Respon terhadap HIV & AIDS. , pp.1–6. Available at:
http://www.unicef.org/indonesia/id/A4_-_B_Ringkasan_Kajian_HIV.pdf.

ATHA YUDHISTIRA 12

Anda mungkin juga menyukai