Anda di halaman 1dari 27

BAB I

PENDAHULUAN

Gangguan somatoform adalah suatu kelompok gangguan yang memiliki


gejala fisik (sebagai contohnya, nyeri, mual, dan pusing) di mana tidak dapat
ditemukan penjelasan medis yang adekuat. Gejala dan keluhan somatik adalah cukup
serius untuk menyebabkan penderitaan emosional yang bermakna pada pasien atau
gangguan pada kemampuan pasien untuk berfungsi di dalam peranan sosial atau
pekerjaan. Suatu diagnosis gangguan somatoform mencerminkan penilaian klinisi
bahwa faktor psikologis adalah suatu penyumbang besar untuk onset, keparahan, dan
durasi gejala. Gangguan somatoform adalah tidak disebabkan oleh pura-pura yang
disadari atau gangguan buatan (Pardamean E,2007).
Gambaran yang penting dari gangguan somatoform adalah adanya gejala
fisik, dimana tidak ada kelainan organik atau mekanisme fisiologik. Dan untuk hal
tersebut terdapat bukti positif atau perkiraan yang kuat bahwa gejala tersebut terkait
dengan adanya faktor psikologis atau konflik. Karena gejala tak spesifik dari
beberapa sistem organ dapat terjadi pada penderita anxietas maupun penderita
somatoform disorder, diagnosis anxietas sering disalahdiagnosiskan menjadi
somatoform disorder, begitu pula sebaliknya. Adanya somatoform disorder, tidak
menyebabkan diagnosis anxietas menjadi hilang. Pada DSM-IV ada 4 kategori
penting dari somatoform disorder, yaitu hipokhondriasis, gangguan somatisasi,
gangguan konversi dan gangguan nyeri somatoform (Iskandar Y, 2009).
Pada gangguan ini sering kali terlihat adanya perilaku mencari perhatian
(histrionik), terutama pada pasien yang kesal karena tidak berhasil membujuk
dokternya untuk menerima bahwa keluhannya memang penyakit fisik dan bahwa
perlu adanya pemeriksaan fisik yang lebih lanjut. (PPDGJ III, 1993).

1
BAB II
ISI

A. Definisi

Gangguan somatoform (somatoform disorder) adalah suatu kelompok


gangguan, ditandai dengan keluhan tentang masalah atau simptom fisik yang
tidak dapat dijelaskan oleh penyebab kerusakan fisik (Nevid, dkk, 2005). Pada
gangguan somatoform, orang memiliki simptom fisik yang mengingatkan pada
gangguan fisik, namun tidak ada abnormalitas organik yang dapat ditemukan
sebagai penyebabnya. Gejala dan keluhan somatik menyebabkan penderitaan
emosional/gangguan pada kemampuan pasien untuk berfungsi di dalam peranan
sosial atau pekerjaan. Gangguan somatoform tidak disebabkan oleh pura-pura
yang disadari atau gangguan buatan.

B. Etiologi

Terdapat faktor psikososial berupa konflik psikologis di bawah sadar yang


mempunyai tujuan tertentu. Pada beberapa kasus ditemukan faktor genetik dalam
transmisi gangguan ini. Selain itu, dihubungkan pula dengan adanya penurunan
metabolisme (hipometabolisme) suatu zat tertentu di lobus frontalis dan hemisfer
non dominan (Kapita Selekta, 2001).
Secara garis besar, faktor-faktor penyebab dikelompokkan sebagai berikut
(Nevid, dkk, 2005):
1. Faktor-faktor Biologis
Faktor ini berhubungan dengan kemungkinan pengaruh genetis
(biasanya pada gangguan somatisasi).

2
2. Faktor Lingkungan Sosial
Sosialisasi terhadap wanita pada peran yang lebih bergantung, seperti
“peran sakit” yang dapat diekspresikan dalam bentuk gangguan somatoform.
3. Faktor Perilaku
Pada faktor perilaku ini, penyebab ganda yang terlibat adalah:
a. Terbebas dari tanggung jawab yang biasa atau lari atau menghindar dari
situasi yang tidak nyaman atau menyebabkan kecemasan (keuntungan
sekunder).
b. Adanya perhatian untuk menampilkan “peran sakit”.
c. Perilaku kompulsif yang diasosiasikan dengan hipokondriasis atau
gangguan dismorfik tubuh dapat secara sebagian membebaskan
kecemasan yang diasosiasikan dengan keterpakuan pada kekhawatiran
akan kesehatan atau kerusakan fisik yang dipersepsikan.
4. Faktor Emosi dan Kognitif
Pada faktor penyebab yang berhubungan dengan emosi dan kognitif,
penyebab ganda yang terlibat adalah sebagai berikut:
a. Salah interpretasi dari perubahan tubuh atau simptom fisik sebagai tanda
dari adanya penyakit serius (hipokondriasis).
b. Dalam teori Freudian tradisional, energi psikis yang terpotong dari
impuls-impuls yang tidak dapat diterima dikonversikan ke dalam
symptom fisik (gangguan konversi).
c. Menyalahkan kinerja buruk dari kesehatan yang menurun mungkin
merupakan suatu strategi self-handicaping (hipokondriasis).

C. Manifestasi Klinis

Manifestasi klinis gangguan ini adalah adanya keluhan-keluhan gejala


fisik yang berulang disertai permintaan pemeriksaan medik, meskipun sudah
berkali-kali terbukti hasilnya negatif dan juga telah dijelaskan dokternya bahwa

3
tidak ada kelainan yang mendasari keluhannya (Kapita Selekta, 2001). Beberapa
orang biasanya mengeluhkan masalah dalam bernafas atau menelan, atau ada
yang “menekan di dalam tenggorokan”. Masalah-masalah seperti ini dapat
merefleksikan aktivitas yang berlebihan dari cabang simpatis sistem saraf
otonomik, yang dapat dihubungkan dengan kecemasan. Kadang kala, sejumlah
simptom muncul dalam bentuk yang lebih tidak biasa, seperti “kelumpuhan” pada
tangan atau kaki yang tidak konsisten dengan kerja sistem saraf. Dalam kasus
lain, juga dapat ditemukan manifestasi dimana seseorang berfokus pada
keyakinan bahwa mereka menderita penyakit yang serius, namun tidak ada bukti
abnormalitas fisik yang dapat ditemukan (Nevid, dkk, 2005).
Pada gangguan ini sering kali terlihat adanya perilaku mencari perhatian
(histrionik), terutama pada pasien yang kesal karena tidak berhasil membujuk
dokternya untuk menerima bahwa keluhannya memang penyakit fisik dan bahwa
perlu adanya pemeriksaan fisik yang lebih lanjut (PPDGJ III, 1993). Dalam kasus
lain, orang berfokus pada keyakinan bahwa mereka menderita penyakit serius,
namun tidak ada bukti abnormalitas fisik yang dapat ditemukan.
Gambaran keluhan gejala somatoform:
1. Neuropsikiatri:
a. “Kedua bagian dari otak saya tidak dapat berfungsi dengan baik”
b. “Saya tidak dapat menyebutkan benda di sekitar rumah ketika ditanya”
2. Kardiopulmonal:
a. “ Jantung saya terasa berdebar debar…. Saya kira saya akan mati”
3. Gastrointestinal:
a. “Saya pernah dirawat karena sakit maag dan kandung empedu dan belum
ada dokter yang dapat menyembuhkannya”
4. Genitourinaria:
a. “Saya mengalami kesulitan dalam mengontrol BAK, sudah dilakukan
pemeriksaan namun tidak di temukan apa-apa”

4
5. Musculoskeletal
a. “Saya telah belajar untuk hidup dalam kelemahan dan kelelahan sepanjang
waktu”
6. Sensoris:
a. “Pandangan saya kabur seperti berkabut, tetapi dokter mengatakan
kacamata tidak akan membantu”
Beberapa tipe utama dari gangguan somatoform adalah gangguan
konversi, hipokondriasis, btubuh, dan gangguan somatisasi.

D. Klasifikasi dan Diagnosis

Gangguan Somatoform berdasarkan PPDGJ III dibagi menjadi :


1. F.45.0 gangguan somatisasi
2. F.45.1 gangguan somatoform tak terperinci
3. F.45.2 gangguan hipokondriasis
4. F.45.3 disfungsi otonomik somatoform
5. F.45.4 gangguan nyeri somatoform menetap
6. F.45.5 gangguan somatoform lainnya
7. F.45.6 gangguan somayoform YTT

DSM-IV, ada tujuh kelompok, lima sama dengan klasifikasi awal dari
PPDGJ ditambah dengan gangguan konversi, dan gangguan dismorfik tubuh.
Pada bagian psikiatri, gangguan yang sering ditemukan di klinik adalah gangguan
somatisasi dan hipokondriasis.

5
1. F 45.0 Gangguan Somatisasi

a. Definisi
Gangguan somatisasi (somatization disorder) dicirikan dengan
keluhan somatik yang beragam dan berulang yang bermula sebelum usia
30 tahun (namun biasanya pada usia remaja), bertahan paling tidak selama
beberapa tahun, dan berakibat antara menuntut perhatian medis atau
mengalami hendaya yang berarti dalam memenuhi peran sosial atau
pekerjaan. Keluhan-keluhan yang diutarakan biasanya mencakup sistim-
sistim organ yang berbeda seperti nyeri yang samar dan tidak dapat
didefinisikan, problem menstruasi/seksual, orgasme terhambat, penyakit-
penyakit neurologik, gastrointestinal, genitourinaria, kardiopulmonar,
pergantian status kesadaran yang sulit ditandai dan lain sebagainya. Jarang
dalam setahun berlalu tanpa munculnya beberapa keluhan fisik yang
mengawali kunjungan ke dokter. Orang dengan gangguan somatisasi
adalah orang yang sangat sering memanfaatkan pelayanan medis.
Keluhan-keluhannya tidak dapat dijelaskan oleh penyebab fisik atau
melebihi apa yang dapat diharapkan dari suatu masalah fisik yang
diketahui. Keluhan tersebut juga tampak meragukan atau dibesar-
besarkan, dan orang itu sering kali menerima perawatan medis dari
sejumlah dokter, terkadang pada saat yang sama.

b. Etiologi
Belum diketahui. Teori yang ada yaitu teori belajar, terjadi karena
individu belajar untuk mensomatisasikan dirinya untuk mengekspresikan
keinginan dan kebutuhan akan perhatian dari keluarga dan orang lain

c. Epidemiologi
1) Wanita : pria = 10 :1, bermula pada masa remaja atau dewasa muda

6
2) Rasio tertinggi usia 20- 30 tahun
3) Pasien dengan riwayat keluarga pernah menderita gangguan
somatoform (berisiko 10-20 kali lebih besar dibanding yang tidak ada
riwayat).

d. Kriteria diagnostik untuk Gangguan Somatisasi


Untuk gangguan somatisasi, diagnosis pasti memerlukan semua
hal berikut:
1) Adanya banyak keluhan-keluhan fisik yang bermacam-macam yang
tidak dapat dijelaskan atas dasar adanya kelainan fisik, yang sudah
berlangsung sedikitnya 2 tahun.
2) Tidak mau menerima nasehat atau penjelasan dari beberapa dokter
bahwa tidak ada kelainan fisik yang dapat menjelaskan keluhan-
keluhannya.
3) Terdapat disabilitas dalam fungsinya di masyarakat dan keluarga, yang
berkaitan dengan sifat keluhan-keluhannya dan dampak dari
perilakunya.
atau:
1) Keluhan fisik dimulai sebelum usia 30 tahun, terjadi selama periode
beberapa tahun
2) Tiap kriteria berikut ini harus ditemukan, yaitu:
a) 4 gejala nyeri: sekurangnya empat tempat atau fungsi yang
berlainan (misalnya kepala, perut, punggung, sendi, anggota gerak,
dada, rektum, selama menstruasi, selama hubungan seksual, atau
selama miksi)
b) 2 gejala gastrointestinal: sekurangnya dua gejala selain nyeri
(misalnya mual, kembung, muntah selain dari selama kehamilan,
diare, atau intoleransi terhadap beberapa jenis makanan)

7
c) 1 gejala seksual: sekurangnya satu gejala selain dari nyeri
(misalnya indiferensi seksual, disfungsi erektil atau ejakulasi,
menstruasi tidak teratur, perdarahan menstruasi berlebihan, muntah
sepanjang kehamilan).
d) 1 gejala pseudoneurologis: sekurangnya satu gejala atau defisit
yang mengarahkan pada kondisi neurologis yang tidak terbatas
pada nyeri (gangguan koordinasi atau keseimbangan, paralisis,
sulit menelan, retensi urin, halusinasi, hilangnya sensasi atau nyeri,
pandangan ganda, kebutaan, ketulian, kejang; gejala disosiatif
seperti amnesia; atau hilangnya kesadaran selain pingsan).
3) Salah satu 1) atau 2):
a) Setelah penelitian yang diperlukan, tiap gejala dalam kriteria 2)
tidak dapat dijelaskan sepenuhnya oleh sebuah kondisi medis
umum yang dikenal atau efek langsung dan suatu zat (misalnya
efek cedera, medikasi, obat, atau alkohol)
b) Jika terdapat kondisi medis umum, keluhan fisik atau gangguan
social atau pekerjaan yang ditimbulkannya adalah melebihi apa
yang diperkirakan dari riwayat penyakit, pemeriksaan fisik, atau
temuan laboratorium.
4) Gejala tidak ditimbulkan secara sengaja atau dibuat-buat (seperti
gangguan buatan atau pura-pura).

e. Tatalaksana
Pada gangguan somatisasi, tujuan pengobatannya antara lain:
1) Mencegah adopsi dari rasa sakit, invalidasi (tidak membenarkan
pemikiran/meyakinkan bahwa gejala hanya ada dalam pikiran tidak
untuk kehidupan nyata
2) Meminimalisir biaya dan komplikasi dengan menghindari tes-tes
diagnosis, treatment, dan obat-obatan yang tidak perlu

8
3) Melakukan kontrol farmakologis terhadap sindrom komorbid
(memperparah kondisi)
Strategi dan teknik psikoterapi dan psikososial
1) Pengobatan yang konsisten, ditangani oleh dokter yang sama
2) Buat jadwal regular ddengan interval waktu kedatangan yang memadai
3) Memfokuskan terapi secara gradual dari gejala ke personal dan
kemasalah sosial
Strategi dan teknik farmakologikal dan fisik
1) Diberikan hanya bila indikasinya jelas
2) Hindari obat-obatan yang bersifat adiksi
3) Anti anxietas dan antidepressant

f. Prognosis
Dubia et malam. Pasien susah sembuh walau sudah mengikuti
pedoman pengobatan. Sering kali pada pasien wanita berakhir pada
percobaan bunuh diri.

2. F.45.1 Gangguan Somatoform Tak Terperinci

a. Etiologi
Tidak diketahui

b. Epidemiologi
Bervariasi, di USA 10%-12% terjadi pada usia dewasa dan 20 %
menyerang wanita.

9
c. Kriteria Diagnostik untuk Gangguan Somatoform yang tak terperinci
1) Keluhan-keluhan fisik bersifat multipel, bervariasi dan menetap, akan
tetapi gambaran klinis yang khas dan lengkap dari gangguan
somatisasi tidak terpenuhi
2) Kemungkinan ada ataupun tidak faktor penyebab psikologis belum
jelas, akan tetapi tidak boleh ada penyebab fisik dari keluhan-
keluhannya.
atau :
1) Satu atau lebih keluhan fisik (misalnya kelelahan, hilangnya nafsu
makan, keluhan gastrointestinal atau saluran kemih)
2) Salah satu (1) atau (2)
a) Setelah pemeriksaan yang tepat, gejala tidak dapat dijelaskan
sepenuhnya oleh kondisi medis umum yang diketahui atau oleh
efek langsung dari suatu zat (misalnya efek cedera, medikasi, obat,
atau alkohol)
b) Jika terdapat kondisi medis umum yang berhubungan, keluhan
fisik atau gangguan sosial atau pekerjaan yang ditimbulkannya
adalah melebihi apa yang diperkirakan menurut riwayat penyakit,
pemeriksaan fisik, atau temuan laboratorium.
3) Gejala menyebabkan penderitaan yang bermakna secara klinis atau
gangguan dalam fungsi sosial, pekerjaan, atau fungsi penting lainnya.
Durasi gangguan sekurangnya enam bulan.
4) Gangguan tidak dapat diterangkan lebih baik oleh gangguan mental
lain (misalnya gangguan somatoform, disfungsi seksual, gangguan
mood, gangguan kecemasan, gangguan tidur, atau gangguan psikotik).
5) Gejala tidak ditimbulkan dengan sengaja atau dibuat-buat (seperti pada
gangguan buatan atau berpura-pura)

10
d. Tatalaksana
Tujuan pengobatan, yaitu:
1) Mencegah adopsi dari rasa sakit, invalidasi (tidak membenarkan
pemikiran/meyakinkan bahwa gejala hanya ada dalam pikiran tidak
untuk kehidupan nyata
2) Meminimalisir biaya dan komplikasi dengan menghindari tes-tes
diagnosis, treatment, dan obat-obatan yang tidak perlu
3) Melakukan kontrol farmakologis terhadap sindrom komorbid
(memperparah kondisi)
Strategi dan teknik psikoterapi dan psikososial, yaitu:
1) Pengobatan yang konsisten, ditangani oleh dokter yang sama
2) Buat jadwal regular dengan interval waktu kedatangan yang memadai
3) Memfokuskan terapi secara gradual dari gejala ke personal dan
kemasalah sosial
Strategi dan teknik farmakologikal dan fisik, yaitu:
1) Diberikan hanya bila indikasinya jelas
2) Hindari obat-obatan yang bersifat adiksi
3) Anti anxietas dan antidepressant (kalau perlu)

e. Prognosis
Bervariasi, sulit diprediksi karena prognosisnya bergantung pada
gejala yang lebih dominan.

3. F.45.2 Gangguan Hipokondriasis

a. Definisi
Hipokondriasis adalah keterpakuan (preokupasi) pada ketakutan
menderita, atau keyakinan bahwa seseorang memiliki penyakit medis yang
serius, meski tidak ada dasar medis untuk keluhan yang dapat ditemukan.

11
Berbeda dengan gangguan somatisasi dimana pasien biasanya meminta
pengobatan terhadap penyakitnya yang seringkali menyebabkan terjadinya
penyalahgunaan obat, maka pada gangguan hipokondrik pasien malah
takut untuk makan obat karena dikira dapat menambah keparahan dari
sakitnya.
Ciri utama dari hipokondriasis adalah fokus atau ketakutan bahwa
simptom fisik yang dialami seseorang merupakan akibat dari suatu
penyakit serius yang mendasarinya, seperti kanker atau masalah jantung.
Rasa takut tetap ada meskipun telah diyakinkan secara medis bahwa
ketakutan itu tidak berdasar. Gangguan ini paling sering muncul antara
usia 20 dan 30 tahun, meski dapat terjadi di usia berapapun.
Orang dengan hipokondriasis tidak secara sadar berpura-pura akan
simptom fisiknya. Mereka umumnya mengalami ketidaknyamanan fisik,
seringkali melibatkan sistem pencernaan atau campuran antara rasa sakit
dan nyeri. Berbeda dengan gangguan konversi yang biasanya ditemukan
sikap ketidakpedulian terhadap simptom yang muncul, orang dengan
hipokondriasis sangat peduli, bahkan benar-benar terlalu peduli pada
simptom dan hal-hal yang mungkin mewakili apa yang ia takutkan.
Pada gangguan ini, orang menjadi sangat sensitif terhadap
perubahan ringan dalam sensasi fisik, seperti sedikit perubahan dalam
detak jantung dan sedikit sakit serta nyeri. Padahal kecemasan akan
simptom fisik dapat menimbulkan sensasi fisik itu sendiri, misalnya
keringat berlebihan dan pusing, bahkan pingsan. Mereka memiliki lebih
lanjut kekhawatiran akan kesehatan, lebih banyak simptom psikiatrik, dan
mempersepsikan kesehatan yang lebih buruk daripada orang lain.
Sebagian besar juga memiliki gangguan psikologis lain, terutama depresi
mayor dan gangguan kecemasan.

12
b. Etiologi
Masih belum jelas

c. Epidemiologi
Biasanya terjadi pada usia dewasa, rasio antara wanita dan pria
sama.

d. Kriteria Diagnostik untuk Hipokondriasis


Untuk diagnosis pasti gangguan hipokondrik, kedua hal ini harus
ada:
1) Keyakinan yang menetap adanya sekurang-kurangnya satu penyakit
fisik yang serius yang melandasi keluhan-keluhannya, meskipun
pemeriksaan yang berulang-ulang tidak menunjang adanya alasan fisik
yang memadai, ataupun adanya preokupasi yang menetap
kemungkinan deformitas atau perubahan bentuk penampakan fisiknya
(tidak sampai waham)
2) Tidak mau menerima nasehat atau dukungan penjelasan dari beberapa
dokter bahwa tidak ditemukan penyakit atau abnormalitas fisik yang
melandasi keluhan-keluhannya
Ciri-ciri diagnostik dari hipokondriasis:
1) Perokupasi (keterpakuan) dengan ketakutan menderita, ide bahwa ia
menderita suatu penyakit serius didasarkan pada interpretasi keliru
orang tersebut terhadap gejala-gejala tubuh.
2) Perokupasi menetap walaupun telah dilakukan pemeriksaan medis
yang tepat.
3) Tidak disertai dengan waham dan tidak terbatas pada kekhawatiran
tentang penampilan (seperti pada gangguan dismorfik tubuh).

13
4) Preokupasi menyebabkan penderitaan yang bermakna secara klinis
atau gangguan dalam fungsi sosial, pekerjaan, atau fungsi penting lain.
Lama gangguan sekurangnya 6 bulan.
5) Preokupasi tidak dapat diterangkan lebih baik oleh gangguan
kecemasan umum, gangguan obsesif-kompulsif, gangguan panik,
gangguan depresif berat, cemas perpisahan, atau gangguan
somatoform lain.

e. Tatalaksana
Tujuan pengobatan
1) Mencegah adopsi dari rasa sakit, invalidasi (tidak membenarkan
pemikiran/meyakinkan bahwa gejala hanya ada dalam pikiran tidak
untuk kehidupan nyata.
2) Meminimalisir biaya dan komplikasi dengan menghindari tes-tes
diagnosis, treatment, dan obat-obatan yang tidak perlu
3) Melakukan kontrol farmakologis terhadap sindrom komorbid
(memperparah kondisi)
Strategi dan teknik psikoterapi dan psikososial
1) Pengobatan yang konsisten, ditangani oleh dokter yang sama
2) Buat jadwal regular dengan interval waktu kedatangan yang memadai
3) Memfokuskan terapi secara gradual dari gejala ke personal dan ke
masalah sosial
4) Terapi kognitif-behaviour
Strategi dan teknik farmakologikal dan fisik
1) Hindari obat-obatan yang bersifat adiksi
2) Usahakan untuk mengurangi gejala hipokondriasis dengan SSRI
(Fluoxetine 60-80 mg/ hari) dibandingkan dengan obat lain.

14
f. Prognosis
10 % pasien bisa sembuh, 65 % berlanjut menjadi kronik dengan
onset yang berfluktuasi, 25 % prognosisnya buruk.

4. F.45.3 Gangguan Disfungsi Otonomik Somatoform

Kriteria diagnostik yang diperlukan :


a. Ada gejala bangkitan otonomik seperti palpitasi, berkeringat, tremor,
muka panas, yang sifatnya menetap dan mengganggu
b. Gejala subjektif tambahan mengacu pada sistem atau organ tertentu (tidak
khas)
c. Preokupasi dengan penderitaan mengenai kemungkinan adanya gangguan
yang serius yang menimpanya, yang tidak terpengaruh oleh hasil
pemeriksaan maupun penjelasan dari dokter
d. Tidak terbukti adanya gangguan yang cukup berarti pada struktur/fungsi
dari sistem/organ yang dimaksud
e. Kriteria ke 5, ditambahkan :
1) F.45.30 = Jantung dan Sistem Kardiovaskular
2) F.45.31 = Saluran Pencernaan Bagian Atas
3) F.45.32 = Saluran Pencernaan Bagian Bawah
4) F.45.33 = Sistem Pernapasan
5) F.45.34 = Sistem Genito-Urinaria
6) F.45.38 = Sistem atau Organ Lainnya

5. F. 45.4 . Gangguan Nyeri Somatoform Menetap

a. Definisi
Gangguan nyeri ditandai oleh gejala nyeri yang semata-mata
berhubungan dengan faktor psikologis atau secara bermakna dieksaserbasi

15
oleh faktor psikologis. Pasien sering wanita yang merasa mengalami nyeri
yang penyebabnya tidak dapat ditemukan. Munculnya secara tiba-tiba,
biasanya setelah suatu stress dan dapat hilang dalam beberapa hari atau
berlangsung bertahun-tahun. Biasanya disertai penyakit organik yang
walaupun demikian tidak dapat menerangkan secara adekuat keparahan
nyerinya (Tomb, 2004).
Individu yang merasakan nyeri akibat gangguan fisik,
menunjukkan lokasi rasa nyeri yang dialaminya dengan lebih spesifik,
lebih detail dalam memberikan gambaran sensoris dari rasa nyeri yang
dialaminya, dan menjelaskan situasi dimana rasa nyeri yang dirasakan
menjadi lebih sakit atau lebih berkurang (Adler et al., dalam Davidson,
Neale, Kring, 2004). Sedangkan pada nyeri somatoform, pasien malah
bertindak sebaliknya.

b. Etiologi
Tidak diketahui

c. Epidemiologi
Terjadi pada semua tingkatan usia, di USA 10-15% pasien datang
dengan keluhan nyeri punggung.

d. Kriteria Diagnostik untuk Gangguan Nyeri Somatoform Menetap


1) Keluhan utama adalah nyeri berat, menyiksa dan menetap, yang tidak
dapat dijelaskan sepenuhnya atas dasar proses fisiologik maupun
adanya gangguan fisik.
2) Nyeri timbul dalam hubungan dengan adanya konflik emosional atau
problem psikososial yang cukup jelas untuk dapat dijadikan alasan
dalam mempengaruhi terjadinya gangguan tersebut.

16
3) Dampaknya adalah meningkatnya perhatian dan dukungan, baik
personal maupun medis, untuk yang bersangkutan.

e. Tatalaksana
Tujuan pengobatan
1) Mencegah adopsi dari rasa sakit, invalidasi (tidak membenarkan
2) pemikiran/meyakinkan bahwa gejala hanya ada dalam pikiran tidak
untuk kehidupan nyata
3) Meminimalisir biaya dan komplikasi dengan menghindari tes-tes
diagnosis, treatment, dan obat-obatan yang tidak perlu
4) Melakukan kontrol farmakologis terhadap sindrom komorbid
(memperparah kondisi)
a) Jika nyerinya akut (< 6 bulan), tambahkan obat simptomatik untuk
gejala yang timbul.
b) Jika nyeri bersifat kronik (>6 bulan ), fokus pada pertahankan
fungsi dan motilitas tubuh daripada fokus pada penyembuhan
nyeri.
Strategi dan teknik psikoterapi dan psikososial
1) Pengobatan yang konsisten, ditangani oleh dokter yang sama
2) Buat jadwal regular dengan interval waktu kedatangan yang memadai
3) Memfokuskan terapi secara gradual dari gejala ke personal dan
kemasalah sosial
4) Nyeri kronik: pertimbangkan terapi fisik dan pekerjaan, serta
terapikognitif-behavioural
Strategi dan teknik farmakologikal dan fisik
1) Diberikan hanya bila indikasinya jelas
2) Hindari obat-obatan yang bersifat adiksi
3) Akut: acetaminophen dan NSAIDS (tidak dicampur) atau sebagai
tambahan pada opioid

17
4) Kronik: Trisiklik anti depresan, acetaminophen dan NSAID
5) Pertimbangkan akupunktur

f. Prognosis
Jika gejala terjadi < 6 bulan, cenderung baik, dan jika gejala terjadi
> 6 bulan, cenderung buruk (cenderung menjadi kronik).

6. F.45.8 Gangguan Somatoform Lainnya

Pedoman Diagnostik :
a. Pada gangguan ini keluhan-keluhannya tidak melalui saraf otonom dan
terbatas secara spesifik pada bagian tubuh atau system tertentu. Ini sangat
berbeda dengan gangguan somatisasi (F45.0) dan Gangguan Somatoform
tak terinci (F45.1) yang menunjukkan keluhan yang banyak dan berganti-
ganti.
b. Tidak ada kaitan dengan adanya kerusakan jaringan.
c. Gangguan-gangguan berikut juga dimasukkan dalam kelompok ini:
1) “globus hystericus” (perasaan ada benjolan di kerongkongan yang
menyebabkan disfagia) dan bentuk disfagia lainnya.
2) Tortikolis psikogenik dan gangguan gerakan spasmodik lainnya
(kecuali sindrom Tourette)
3) Pruritus psikogenik
4) Dismenore psikogenik
5) “teeth grinding”

7. F.45.9 Gangguan Somatoform YTT

18
Sedangkan pada DSM-IV, ada tujuh kelompok, lima sama dengan
klasifikasi awal dari PPDGJ III ditambah dengan gangguan konversi, dan
gangguan dismorfik tubuh.

8. Gangguan Konversi

a. Definisi
Gangguan konversi adalah suatu tipe gangguan somatoform yang
ditandai oleh kehilangan atau kendala dalam fungsi fisik, namun tidak ada
penyebab organis yang jelas. Gangguan ini dinamakan konversi karena
adanya keyakinan psikodinamika bahwa gangguan tersebut mencerminkan
penyaluran, atau konversi, dari energy seksual atau agresif yang
direpresikan ke simptom fisik. Simptom-simptom itu tidak dibuat secara
sengaja atau yang disebut malingering. Simptom fisik biasanya muncul
tiba-tiba dalam situasi yang penuh tekanan. Tangan seorang tentara dapat
menjadi “lumpuh” saat pertempuran yang hebat, misalnya. Dinamakan
gangguan konversi karena adanya keyakinan psikodinamika bahwa
gangguan tersebut mencerminkan penyaluran, atau konversi, dari energi
seksual atau agresif yang direpresikan ke simptom fisik. Gangguan ini
sebelumnya disebut neurosis histerikal atau histeria dan memainkan
peranan penting dalam perkembangan psikoanalisis Freud.
Menurut DSM, simptom konversi menyerupai kondisi neurologis
atau medis umum yang melibatkan masalah dengan fungsi motorik
(gerakan) yang volunter atau fungsi sensoris. Beberapa pola simptom yang
klasik melibatkan kelumpuhan, epilepsi, masalah dalam koordinasi,
kebutaan, dan tunnel vision (hanya bisa melihat apa yang berada tepat di
depan mata), kehilangan indra pendengaran atau penciuman, atau
kehilangan rasa pada anggota badan (anastesi). Simptom-simptom tubuh
yang ditemukan dalam gangguan konversi sering kali tidak sesuai dengan

19
kondisi medis yang mengacu. Misalnya konversi epilepsi, tidak seperti
pasien epilepsi yang sebenarnya, dapat mempertahankan control
pembuangan saat kambuh; konversi kebutaan, orang yang penglihatannya
seharusnya mengalami hendaya dapat berjalan ke kantor dokter tanpa
membentur mebel; orang yang menjadi “tidak mampu” berdiri atau
berjalan di lain pihak dapat melakukan gerakan kaki lainnya secara
normal.

b. Etiologi
1) Teori psikoanalisis, (1895/1982), Breuer dan freud: disebabkan ketika
seseorang mengalami peristiwa yang menimbulkan peningkatan emosi
yang besar, namun afeknya tidak dapat diekspresikan dan ingatan
tentang peristiwa tersebut dihilangkan dari kesadaran.
2) Teori behavioral, Ullman & Krasner (dalam Davidson, Neale, Kring,
2004), terjadi karena individu mengadopsi simptom untuk mencapai
suatu tujuan. Individu berusaha untuk berperilaku sesuai dengan
pandangan mereka mengenai bagaimana seseorang dengan penyakit
yang mempengaruhi kemampuan motorik atau sensorik, akan bereaksi.

c. Epidemiologi
Terjadi pada 11-500 per 100.000 penduduk. Biasanya terjadi pada
usia anak-anak (akhir) hingga dewasa (awal). Jarang terjadi sebelum usia
10 tahun dan setelah 35 tahun.

d. Kriteria diagnostik untuk Gangguan Konversi


Ciri-ciri diagnostik dari gangguan konversi adalah sebagai berikut:
1) Paling tidak terdapat satu simptom atau defisit yang melibatkan fungsi
motorik volunternya atau fungsi sensoris yang menunjukkan adanya
gangguan fisik.

20
2) Faktor psikologis dinilai berhubungan dengan gangguan tersebut
karena onset atau kambuhnya simptom fisik terkait dengan munculnya
3) Orang tersebut tidak dengan sengaja menciptakan simptom fisik
tersebut atau berpura-pura memilikinya dengan tujuan tertentu.
4) Simptom tidak dapat dijelaskan sebagai suatu ritual budaya atau pola
respon, juga tidak dapat dijelaskan dengan gangguan fisik apa pun
melalui landasan pengujian yang tepat.
5) Simptom menyebabkan distres emosional yang berarti, hendaya dalam
satu atau lebih area fungsi, seperti fungsi sosial atau pekerjaan, atau
cukup untuk menjamin perhatian medis.
6) Simptom tidak terbatas pada keluhan nyeri atau masalah pada fungsi
seksual, juga tidak dapat disebabkan oleh gangguan mental lain. Akan
tetapi, beberapa orang dengan gangguan konversi menunjukkan
ketidakpedulian yang mengejutkan terhadap simptom-simptom yang
muncul, suatu fenomena yang diistilahkan sebagai la belle indifference
(“ketidakpedulian yang indah”).

e. Tatalaksana
Tujuan pengobatan
1) Mencegah adopsi dari rasa sakit, invalidasi (tidak membenarkan
pemikiran/meyakinkan bahwa gejala hanya ada dalam pikiran tidak
untuk kehidupan nyata
2) Meminimalisir biaya dan komplikasi dengan menghindari tes-tes
diagnosis, treatment, dan obat-obatan yang tidak perlu
3) Melakukan kontrol farmakologis terhadap sindrom komorbid
(memperparah kondisi)
Strategi dan teknik psikoterapi dan psikososial
1) Pengobatan yang konsisten, ditangani oleh dokter yang sama
2) Buat jadwal regular dengan interval waktu kedatangan yang memadai

21
3) Memfokuskan terapi secara gradual dari gejala ke personal dan ke
masalah sosial
4) Akut: yakinkan, sugesti pasien untuk mengurangi gejala
5) Pertimbangkan narcoanalisis (sedatif hipnotik), hipnoterapi,
behavioural terapi
6) Kronik: Eksplorasi lebih lanjut mengenai konflik yang bersifat
interpersonal pada pasien
Strategi dan teknik farmakologikal dan fisik
1) Diberikan hanya bila indikasinya jelas
2) Hindari obat-obatan yang bersifat adiksi
3) Pertimbangkan narcoanalisis (sedatif hipnotik)

f. Prognosis
Baik, jika onset awal ada faktor presipitasi yang jelas, intelegensia
masih baik, segera dilakukan treatment. Prognosis buruk jika terjadi hal
sebaliknya.

9. Gangguan Dismorfik Tubuh

a. Definisi
Gangguan dismorfik tubuh (body dismorphic disorder) ditandai
oleh kepercayaan palsu atau persepsi yang berlebihan bahwa suatu bagian
tubuh mengalami cacat. Orang dengan gangguan ini terpaku pada
kerusakan fisik yang dibayangkan atau dibesar-besarkan dalam hal
penampilan mereka. Mereka dapat menghabiskan waktu berjam-jam untuk
memeriksakan diri di depan cermin dan mengambil tindakan yang ekstrem
untuk mencoba memperbaiki kerusakan yang dipersepsikan, seperti
menjalani operasi plastik yang tidak dibutuhkan, menarik diri secara sosial
atau bahkan diam di rumah saja, sampai pada pikiran-pikiran untuk bunuh

22
diri. Orang dengan gangguan dismorfik tubuh sering menunjukkan pola
berdandan atau mencuci, atau menata rambut secara kompulsif, dalam
rangka mengoreksi kerusakan yang dipersepsikan. Contoh lain, seseorang
merasa wajahnya seperti piringan, terlalu rata, sehingga tidak mau difoto.
Mereka dapat melakukan apa saja untuk memperbaiki keadaan yang
“rusak” tersebut. Pada gangguan dismorfik tubuh, individu diliputi dengan
bayangan mengenai kekurangan dalam penampilan fisik mereka.
Membuatnya bisa berlama-lama berkaca di depan cermin memandang
bentuk tubuh yang dianggapnya kurang, sering pasien mendatangi
spesialis bedah dan kecantikan.

b. Etiologi
Tidak Diketahui

c. Epidemiologi
Muncul kebanyakan pada wanita, biasanya dimulai pada akhir
masa remaja, dan biasanya berkaitan dengan depresi, fobia sosial,
gangguan kepribadian (Phillips & McElroy, 2000; Veale et al.,1996 dalam
Davidson, Neale, Kring, 2004).

d. Kriteria Diagnostik untuk Gangguan Dismorfik Tubuh


1) Preokupasi dengan bayangan cacat dalam penampilan. Jika ditemukan
sedikit anomali tubuh, kekhawatiran orang tersebut menjadi
berlebihan.
2) Preokupasi menyebabkan penderitaan yang bermakna secara klinis
atau gangguan dalam fungsi sosial, pekerjaan, atau fungsi penting
lainnya.

23
3) Preokupasi tidak dapat diterangkan lebih baik oleh gangguan mental
lain (misalnya, ketidakpuasan dengan bentuk dan ukuran tubuh pada
anorexia nervosa).

e. Tatalaksana
Tujuan pengobatan
1) Mencegah adopsi dari rasa sakit, invalidasi (tidak membenarkan
pemikiran/meyakinkan bahwa gejala hanya ada dalam pikiran tidak
untuk kehidupan nyata
2) Meminimalisir biaya dan komplikasi dengan menghindari tes-tes
diagnosis, treatment, dan obat-obatan yang tidak perlu
3) Melakukan kontrol farmakologis terhadap sindrom komorbid
(memperparah kondisi)
Strategi dan teknik psikoterapi dan psikososial
1) Pengobatan yang konsisten, ditangani oleh dokter yang sama
2) Buat jadwal regular dengan interval waktu kedatangan yang memadai
3) Memfokuskan terapi secara gradual dari gejala ke personal dan ke
masalah sosial
4) Terapi kognitif-behavioural
Strategi dan teknik farmakologikal dan fisik
1) Diberikan hanya bila indikasinya jelas
2) Hindari obat-obatan yang bersifat adiksi
3) Usahakan untuk mengurangi gejala hipokondriacal dengan SSRI
(Fluoxetine 60-80 mg/ hari) dibandingkan dengan obat lain

f. Prognosis
Bervariasi

24
E. Pendekatan Penanganan

Beberapa pendekatan yang digunakan untuk menangani gangguan


somatoform adalah sebagai berikut:
1. Penanganan Biomedis
Pada penanganan biomedis dapat digunakan antidepresan yang
terbatas dalam menangani hipokondriasis yang biasanya disertai dengan
depresi.
2. Terapi Kognitif-Behavioral
Terapi ini dapat berfokus pada menghilangkan sumber-sumber
reinforcement sekunder (keuntungan sekunder), memperbaiki perkembangan
keterampilan coping untuk mengatasi stres, dan memperbaiki keyakinan yang
berlebihan atau terdistorsi mengenai kesehatan atau penampilan seseorang.
Terapi ini berusaha untuk mengintegrasikan teknik-teknik terapeutik yang
berfokus untuk membantu individu melakukan perubahan-perubahan, tidak
hanya pada perilaku nyata tetapi juga dalam pemikiran, keyakinan dan sikap
yang mendasarinya.
Terapi kognitif-behavioural, untuk mengurangi pemikiran atau sifat
pesimis pada pasien. Teknik behavioral, terapis bekerja secara lebih langsung
dengan si penderita gangguan somatoform, membantu orang tersebut belajar
dalam menangani stress atau kecemasan dengan cara yang lebih adaptif.
Terapi kognitif, terapis menantang keyakinan klien yang terdistorsi mengenai
penampilan fisiknya dengan cara meyemangati mereka untuk mengevaluasi
keyakinan mereka dengan bukti yang jelas.

BAB III
PENUTUP

25
Gangguan somatoform adalah suatu kelompok gangguan yang memiliki
gejala fisik (sebagai contohnya, nyeri, mual, dan pusing) di mana tidak dapat
ditemukan penjelasan medis yang adekuat. Gambaran yang penting dari gangguan
somatoform adalah adanya gejala fisik, dimana tidak ada kelainan organik atau
mekanisme fisiologik. Dan untuk hal tersebut terdapat bukti positif atau perkiraan
yang kuat bahwa gejala tersebut terkait dengan adanya faktor psikologis atau konflik.
Manifestasi klinis gangguan ini adalah adanya keluhan-keluhan gejala fisik yang
berulang disertai permintaan pemeriksaan medik, meskipun sudah berkali-kali
terbukti hasilnya negatif dan juga telah dijelaskan dokternya bahwa tidak ada
kelainan yang mendasari keluhannya.
Gangguan Somatoform berdasarkan PPDGJ III dibagi menjadi: gangguan
somatisasi, gangguan somatoform tak terperinci, gangguan hipokondriasis, disfungsi
otonomik somatoform, gangguan nyeri somatoform menetap, gangguan somatoform
lainnya, dan gangguan somayoform YTT. Sedangkan pada DSM-IV, ada tujuh
kelompok, lima sama dengan klasifikasi awal dari PPDGJ ditambah dengan gangguan
konversi, dan gangguan dismorfik tubuh.

DAFTAR PUSTAKA

26
1. Kaplan, H.l dan Saddock B.J. 1993. Comprehensive Textbook of Psychiatry vol.2
6th edition. USA: Williams and Wilikins Baltimore.
2. Wiguna, Imade (editor). 1997. Sinopsis Psikiatri jilid 2. Jakarta:BinanupaAksara.
3. Kapita Selekta Kedokteran Jilid I. 2001. Media Aesculapicus : Fakultas
Kedokteran Universitas Tanjungpura.
4. Departemen Kesehatan R.I. 1993.Pedoman Penggolongan dan Diagnosis
Gangguan Jiwa di Indonesia III cetakan pertama. Direktorat Jenderal Pelayanan
Medik Departemen Kesehatan RI : Jakarta
5. Maramis, W.F. 2005. Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa cetakan kesembilan.
Airlangga University Press : Surabaya
6. Nevid, J.S., dkk. 2005. Psikologi Abnormal Jilid I.Edisi 5. PenerbitErlangga :
Jakarta
7. Pardamean E. 2007. Simposium Sehari Kesehatan Jiwa Dalam Rangka
Menyambut Hari Kesehatan Jiwa Sedunia : Gangguan Somatoform. Ikatan
Dokter Indonesia Cabang Jakarta Barat.
8. Tomb, D. A. 2004.Buku Saku Psikiatri. Edisi 6. EGC : Jakarta

27

Anda mungkin juga menyukai