Anda di halaman 1dari 11

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Diabetes melitus merupakan salah satu masalah kesahatan yang besar dan

sedang berkembang dengan cepat. Diabetes melitus juga meupakan masalah epidemi

global yang bila tidak segera ditangani akan mengakibatkan peningkatan dampak

keugian ekonomi yang signifikan khususnya bagi negaa berkembang di Asia dan

Afrika (Kementrian kesehatan,2019). Menurut WHO Diabetes Melitus (DM)

didefinisikan sebagai suatu penyakit atau gangguan metabolisme kronis dengan multi

etiologi yang ditandai dengan tingginya kadar gula darah disertai dengan gangguan

metabolisme karbohidrat, lipid dan protein.

Diabetes Melitus setiap tahunnya selalu mengalami kenaikan jumlah

penderita. Diperkirakan pada tahun 2045 akan mencapai angka 629 juta kasus

penderita diabetes di dunia, dengan mayoritas berada dinegara-negara berkembang,

dimana Indonesia merupakan salah satu dari negara berkembang Indonesia

menempati peringkat ke-6 dunia dengan jumlah penderita diabetes terbanyak dengan

jumlah penyandang diabetes usia 20-79 tahun sekitar 10,3 juta orang (Perkumpulan

Endokrinologi Indonesia,2019). International Diabetes Federation (IDF) Atlas 2017

melaporkan bahwa epidemi diabetes di Indonesia masih menunjukkan kecenderungan

meningkat. Riset kesehatan dasar (Riskesdes) memperlihatkan terjadinya peningkatan


angka pevelensi diabetes yang cukup meningkat yaitu dari 6,9% ditahun 2013

menjadi 8,5% ditahun 2018.

Global Report on Diabetes (2016) juga melaporkan bahwa diabetes melitus

menyebabkan 1,5 juta orang meninggal pada tahun 2012. Diabetes melitus

bertanggung jawab dalam 2,2 juta kematian sebagai akibat dari peningkatan risiko

penyakit kardiovaskuler dan lainnya, dengan total 3,7 juta orang meninggal dimana

sebesar 43% meninggal sebelum usia 70 tahun. Presentase kematian yang disebabkan

oleh diabetes yang terjadi sebelum usia 70 tahun lebih tinggi di negara

berpenghasilan rendah dan menegah dibandingkan dengan negara-negara

berpenghasilan tinggi (WHO Global Report, 2016) . Pada tahun 2030 diperkirakan

diabetes menempati urutan ke-7 penyebab kematian di dunia (WHO,2010).

Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2018 secara nasional

menunjukkan bahwa prevalensi diabetes melitus adalah 2,0%. Prevalensi diabetes

melitus berdasarkan hasil pengukuran gula darah pada penduduk umur ≥15 tahun

yang bertempat tinggal di perkotaan adalah 10,6%. Dinas kesehatan kota Padang

2018 edisi 2019 melaporkan bahwa terdapat 60.854 orang penderita diabetes di kota

Padang. Terjadi peningkatan kunjungan kasus diabetes dikota Padang yang pada

tahun 2017 berada di peringkat 7 berjumlah 7.780 orang tetapi pada tahun 2018

menjadi peringkat 6 yang berjumlah 9.357 orang.

Banyak yang bisa melatarbelakangi tejadinya diabetes. Hasil Penelitian Yuni

(2014) dan Supnita (2016) mengatakan bahwa pola hidup mempengaruhi terjadinya
diabetes, pola hidup yang baik dapat mencegah terjadinya diabetes. Penelitan yang

juga dilakukan oleh Erris (2015) menyimpulkan bahwa faktor usia, faktor obesitas

dan faktor pola makan juga menjadi faktor resiko terjadinya diabetes. Diabtes di

Indonesia bisa meningkat dengan drastis, yang disebabkan leh beberapa faktor yaitu,

faktor keturunan, obesitas dan faktor demografi (Penatalaksanaan Diabetes Mellitus

Terpadu,2018). Faktor- faktor yang mempengaruhi terjadinya diabetes di Indonesia

adalah umur, status pekerjaan, Pendidikan, konsumsi sayur dan buah, aktivitas fisik,

indeks massa tubuh, hipertensi dan kodisi psikologis,serta interaksi indeks massa

tubuh dan aktivitas fisik. Resiko tingkat diabetes tertinggi terdapat pada kelompok

obesitas dibandingkan dengan kelompok kurus, pada aktivitas cukup aktif (Dita,

2012).

Gaya hidup yang juga menjadi faktor resiko terjadinya diabetes, seperti

aktivitas olahragayang kurang dari 3 kali seminggu. Serta berat badan berlebih

dengan BMI ≥25 kg/m2. Kelebihan berat badan 20% menongkatkan resiko dua kali

(Arisma.2010). Menurut WHO (2015) masalah kesehatan utama penyebab diabetes di

dunia dalah kelebihan berat badan, termamsuk obesitas dan kurangya aktivitas fisik.

Pola makan juga menjadi salah satu faktor resiko diabetes akibat pola makan

yang tidak seimbang dan pola hidup tidak sehat. Makanan yang dikonsumsi

masyarakat di Kota Padang sehari-hari umumnya mengandung kalori yang tinggi

seperti daging, baik itu berupa rendang, sate, bakso, dan lain sebagainya, makanan

yang digoreng, serta yang mengandung santan seperti gulai. Makanan yang
mengandung karbohidrat tinggi seperti nasi juga merupakan pemicu penyakit

diabetes, baik itu berupa nasi goreng, lontong, bahkan nasi yang dimakan bersama

mie instan. Selain itu, menurut data Dinkes Kota Padang pada survei Perilaku Hidup

Bersih dan Sehat (PHBS) 2014, 46% warga Padang merokok (Rahmi,dkk. 2018)

Peningkatan angka kejadian diabetes yang terjadi setiap tahun bisa sangat

berbahaya pleh karena itu dibutuhkan pencegahan untuk mengurangi angka kejadian

diabetes. Kemenkes Indonesia (2019) juga menekankan pentingnya pencegahan

diabetes terutama dengan menerapkan perilaku hidup sehat. Program pencegahan

diabetes berdampak ekonomis dan dapat meningkatkan stabilitas sistem kesehatan

nasional (Icks dkk., 2007; DPPRG, 2012).

Penelitian Omolafe dkk (2010) menyebutkan bahwa orang Amerika Afrika

dengan riwayat keluarga positif diabetes memiliki pengetahuan lebih besar tentang

faktor risiko terhadap diabetes, lebih memahami tentang pengaruh penyakit akibat

kebiasaan makan dan aktivitas fisik, dan secara signifikan lebih sering terlibat dalam

aktivitas fisik daripada yang tidak memiliki riwayat keluarga diabetes. Dan juga

dalam penelitian yang dilakukan oleh Fahrun dkk (2019) pada salah satu daerah di

Jawa Tengah diketahui bahwa yang menderita DM diperoleh informasi bahwa

mereka kurang mengetahui faktor risiko dan pencegahan terjadinya DM, sehingga

akan berdampak pada perilaku yang berisiko. Penelitian lain menunjukkan bahwa

tingkat pengetahuan dan tingkat pendidikan yang rendah merupakan salah satu

penyebab tingginya angka kasus penyakit termasuk DM tipe 2 (Zahtamal, Chandra


and Restuastuti, 2007). Karena pengetahuan merupakan komponen penting untuk

pengendalian maupun pencegahan, dengan pengetahuan seseorang dapat menentukan

manajemen diri dan perilaku apa yang harus digunakan untuk mengatasi penyakitnya,

termasuk diabetes (Hu, Jie dkk, 2012).

Berkaitan degan modifikasi perilaku, pengetahuan dan sikap merupakan

faktor tersebut sangat penting bagi perubahan perilaku seseorang. Dengan demikian,

pengetahuan dan perilaku yang baik tentang diabetes dan pencegahannya sangat

diperluka bagi terbentuknya sikap atau perilaku pencegahan yang bisa beresiko

terhadap diabetes (Notoatmodjo, 2010). Dalam penelitian yang dilakukan oleh

Limsah (2019) menyimpulkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara

pengetahuan tentang DM tipe 2 dengan tindakan pencegahan DM tipe 2 pada siswa-

siswi SMA Muhammadiyah 7 Surabaya. Berbeda dengan penelitisn yang dilskuksn

olrh Wiro (2013) bahwa tida ada hubungan pengetahuan tentang pencegahan diabetes

dengan aktivitas fisik pada PNS di wilayah kerja Puskesmas Sianta Hulu.

Dalam penelitian yang dilakukan oleh Capener dan Gallimore (2014)

menyatakan bahwa responden yang berusia dewasa muda cenderung tidak merasa

khawatir tentang kesehatannya. Sejalan degan penelitian yang dilakukan oleh Dong-

Chul, dkk (2008) diketahui bahwa para mahasiswa cenderung menganggap diabetes

sebagai masalah kesehatan yang muncul dikemudian hari. Dan juga kurangnya

perhatian mengenai pencegahan overweight, obesitas dan diabetes pada dewasa muda

(Bieda, 2009).
Penelitian yang dilakukan oleh Nuraliya, dkk (2014) menyimpulkan bahwa

mahasiswa cenderung melakukan ativitas fisik yang ringan. Kurangnya upaya

mahasiswa tehadap hambatan pencegahan diabetes karena mahasiswa beranggapan

bahwa mereka tidak memiliki waktu untuk olahraga karena jadwal kuliah yang padat

(Lestari. 2018). Aktivitas fisik juga menjadi faktor resiko munculnya diabetes karena

aktivitas fisik dapat meningktkan insulin sehingga kadar gula dalam darah juga akan

menurun. Orang yang melakukan aktivitas fisik yang rendah memiliki resiko untuk

mendapatkan diabetes mellitus 2,68 kali dibandingkan dengan orang yang melakukan

aktivitas fisik yang sedang dan berat (Fitriyani, 2012). Selain itu rendahnya aktivitas

fisik menjadi salah satu faktor obesitas dan dapat meningkatkan resiko dibetes

mellitus diklangan mahasiswa (Nuraliyah, 2014).

Sebanyak 1,6milyar orang dewasa didunia memiliki berat badan lebih

overweight dan 400 juta diantaranya mengalami obesitas (WHO, 2011). Obesitas

paling banyak terjadi pada dewasa, temasuk kepada mahasiswa yang sedang berada

pada dewasa muda karena semakin meningkatnya usia semakin meningkat resiko

obesitas disebabkan pada umur 20-30 diketahui terjadi penurunan massa jaringan

bebas lemak dan jaringan massa lemak (Tchernof, 2013). Mayoritas mahasiswa

program studi ilmu keperawatan di Universitas ‘Aisyiyah Yogyakarta mengalami

obesitas sedang (Fivin, 2017) Pada penelitian yang dilakukan oleh Evan (2017) juga

didapatkan bahwa sebagaian besar mahasiswa memiliki obesitas I dan mahasiswa

UNITRI Malang lebih mudah mengalami masalah dengan berat badan karena pola
makan yang tidak teratur dikarenakan padatnya jadwal kuliah dan tugas yang banyak

dan hal ini menyebabkan mahasiswa mengkonsumsi makanan cepat saji serta

mengalami kenaikan berat badan dan akhirnya menjadi obesitas. Sejalan dengan

penelitian Surjadi (2013) bahwa jadwal kuliah yang padat juga mengakibatkan

mahasiswa sulit menyediakan waktu untuk makan, dan lebih memilih makanan siap saji

karena waktu makan yang terbatas, hal tersebut juga dapat meningkatkan resiko Diabetes

Mellitus pada mahasiswa

Perilaku konsumsi makanan berisiko pada penduduk umur ≥16 tahun paling

banyak konsumsi bumbu penyedap yaitu sebesar 77,30% diikuti makanan dan

minuman manis 53,1% dan makanan berlemak 40,70%. Remaja usia sekolah dan

mahasiswa juga merupakan suatu kelompok masyarakat yang relatif rentan terhadap

iklan terutama iklan makanan cepat saji di televisi. Adanya iklan-iklan produk

makanan cepat saji di televisi dapatmeningkatkan pola konsumsi atau bahkan gaya

hidup masyarakat. Penyajian fast food yang cepat dan praktis tidak membutuhkan

waktu lama dan rasanya yang enak sangat mendukung remaja atau pun orang dewasa

untuk sering mengkonsumsinya. Selain itu dukungan teman dan promosi makanan

cepat saji juga sangat mempengaruhi dalam untuk mengkonsumsi fast food, karena

mahasiswa beranggapan dengan mengkonsumsi fast food dapat menaikkan status

social mereka, menaikkan gengsi dan tidak ketinggalan globalitas di antara teman

sebayanya dan dengan adanya promosi makanan cepat saji, berpengaruh terhadap

kebiasaan mengkonsumsi fast food (Evan, dkk, 2017). Sejalan dengan penelitian yang

dilakukan oleh Tjokorda (2014) bahwa mahasiswa yang mengalami obese I dan
obese II lebih banyak mengonsumsi makanan cepat saji hanya 1 kali/minggu

dibandingkan dengan mahasiswa yang mengonsumsi makanan cepat saji lebih dari 1

kali/minggu. Selain itu makanan cepat saji mengandung nutrisi yang rendah dan

kalori yang tinggi. Hal tersebut menyebabkan masyarakat mengalami status gizi yang

berlebihan.

Periode umur mahasiswa merupakan periode yang rentan terhadap

stress( Aguirre CE., 2013). Karena pada masa akhir menuju dewasa, individu akan

mengalami suatu kondisi yang disebut torm & stress yang merupakan suatu

perubahan fisiologis dan perkembangan berupa peningkatan kadar hormon. Hal ini

cenderung mengakibatkan individu cenderung labil dalam menghadapi permasalahan

dalam kehidupannya. Sumber stress pada mahasiswa meliputi: situasi yang monoton,

kebisingan, tugas yang terlalu banyak harapan yang mengada–ada,ketidakjelasan,

kurang adanya kontrol, keadaan bahaya dan kritis, tidak dihargai, diacuhkan,

kehilangan kesempatan, aturan yang ketat (Pratama, 2014).Kondisi kehidupan stres

akan mempengaruhi perilaku makan, yaitu lebih pada konsumsi berlebih dan

berkontribusi terhadap kejadian obesitas. Orang-orang dengan karakteristik tertentu

saat berada dalam kondisi stres akan mengkonsumsi makanan lebih banyak dan

mengalami peningkatan total konsumsi makan (Nadaek, 2015).Mayoritas mahasiswa

memiliki tingkat stres yang masuk dalam kategori sedang dan berat pada mahasiswa

program studi ilmu keperawatan di Universitas ‘Aisyiyah Yogyakarta dan juga

didapatkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara stress dengan obesitas.

(Fivin, 2017). Dan juga berdasarkan hasil analisa pada gejala stres yang paling banyak
muncul pada mahasiswa tahun ketiga fakultas keperawatan UNAND yaitu 51,8%

menyatakan tidak bisa berhenti memikirkan tentang beban kuliah pada malam hari atau

pada akhir pekan sehingga merasa sulit untuk bersantai (Suci, 2019).

Diabetes memiliki hubungan yang signifikan dengan kualitas tidur, gangguan

tidur atau tidur yang kurang secara fisiologi dapat mempengaruhi peningkatan kadar

glukosa darah. Kualitas tidur yang buruk seperti OSA (Obstruktive Sleep Apnea) juga

merupakan salah satu faktor resiko dari DM (Inry, 2016). Menurut National sleep

foundation, usia 18-64 tahun membutuhkan waktu tidur antara 7 dan 9 jam. Menurut

Marcio (2013) menyatakan bahwa mahasiswa cenderung memiliki pola tidur yang

tidak teratur ditandai dengan perubahan waktu tidur yang lebih panjang di akhir

pekan dan lebih singkat dihari kuliah karena di hari kuliah harus menyelesaikan

tugas-tugas kampus yang dapat mengurangi waktu tidur. Berdasarkan hasil penelitian

Olii Nindhy (2018) bahwa 60% dari 73 responden mahasiswa keperawatan

mengalami gangguan tidur ketika banyaknya tugas yang harus diselesaikan pada

deadline yang ditentukan, ujian yang akan dihadapi ditandai dengan kesulitan

memulai tidur, bangun ditengah malam, dan terbangun lebih awal. Madalena Silva

(2016) pada penelitiannya didapatkan bahwa 63,2% mahasiswa keperawatan

diportugal memiliki kualitas tidur yang buruk sehingga berakibat 24,3% diantaranya

mengantuk saat beraktivitas disiang hari. Sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh

Suci (2019) pada mahasiswa fakultas keperawatan UNAND memiliki masalah pada

kualitas tidur subjektif, efisiensi tidur, disfungsi tidur, dan disfungsi tidur. Pada kualitas
tidur subjektif 53,3% menyatakan memiliki kualitas tidur yang cukup buruk pada

mahasiwa tahun tiga.

Sebagai mahasiswa kesehatan tentunya menjadi sangat penting untuk memahami dan

menyadari faktor-faktor yang dapat mempengaruhi status kesehatannya. Hal ini menjadi

penting karena tentunya mahasiswa kesehatan lebih memahami mengenai masalah kesehatan,

serta mampu melakukan manajemen diri dalam upaya pencegahan penyakit, terutama pada

mahasiswa yang beresiko. Sebagai maha-siswa kesehatan yang nantinya akan menjadi

petugas kesehatan tentunya diharapkan mampu menjadi role model bagi masyarakat dalam

memberikan pelayanan kesehatan.

Fakultas Keperawatan Universitas Andalas merupakan satu-satunya fakultas

keperawatan negeri disumatera barat teraktreditasi A dengan program studi sarjana,

profesi dan pascasarjana. Mahasiswa di Fakultas Keperawatan juga cenderung dapat

meningkatkan resiko Diabetes Mellitus, seperti pola makan, aktivitas fisik dan kualitas tidur.

Kebanyakan mahasiswa jarang sarapan pagi karena tidak sempat, hal tersebut dapat meng-

ganggu pola makan mahasiswa dan akan berdampak pada kesehatan. Di Fakultas

Keperawatan terdapat aktivitas olah raga dan beberapa fasilitas yang memadai tetapi

biasanya hanya diikuti oleh mahasiswa laki- laki saja dan juga terdapat UKM yang juga

terdapat beberapa aktivitas olahraga seperti mendaki, olahraga sore dan lain- lain, namun

tidak semua mahasiswa melakukan aktivitas olah raga.

Anda mungkin juga menyukai