Anda di halaman 1dari 17

LAPORAN

“Komunikasi Dan Konflik Dalam Keluarga”


Disusun dalam rangka memenuhi tugas mata kuliah Perilaku Dan Budaya Organisasi.
Dosen Pengampu : Metha Djuwita Supriatna

Oleh
1. Alya Rahma Putri (19110314)
2. Dinda Aqilla Fadya Haya (19110319)
3. Elfara Akmalia Zahra (19110320)
4. Gina Septiani (19110322)
5. Putri Lili Stevany Girsang (19110334)

(Program Studi Sarjana Terapan


Manajemen Sumber Daya Manusia Aparatur)

POLITEKNIK SEKOLAH TINGGI ILMU ADMINISTRASI


LEMBAGA ADMINISTRASI NEGARA
BANDUNG
2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karna atas rahmatnya dapat
menyusun sebuah laporan yang bertema “Komunikasi dan Konflik Dalam Organisasi” dengan
tepat waktu. Tidak lupa mengucapkan begitu banyak terima kasih atas berbagai sumber
pengetahuan yang didapat untuk menyusun makalah ini.

Besar harapan semoga makalah ini dapat berguna dan mampu menambah sumber
pengetahuan bagi para pembaca sekalian. Sehingga kedepannya sanggup memperbaiki dan
meningkatkan kualitas dan keakuratan dari pembahasan laporan.

Kerena keterbatasan ilmu dan pengalaman, diyakini masih banyak kekurangan dalam laporan
ini, untuk itu diharapkan kritik dan saran yang membangun untuk memperbaiki laporan ini
kedepannya.

Bandung, Mei 2020

Penulis.

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR…………………….………………................................…….……i
DAFTAR ISI ……….……………………….……………...…………………….…….....ii
BAB 1Pendahuluan.....……………………………………...………………….……....…1
1.1 Latarbelakang……………….......………..…………………………………….1
1.2 Tujuanpenulisan………………………………………..............………............2
Bab 2 Kajianliteratur………..……………….…...……...……………………….…..…..3
Bab 3Metode Penulisan.......................................................................................................6

Bab 4Pembahasan.............................................................................................................13

Bab 5 Penutup..................................................................................................................

5.1 Simpulan............................................................................................................13

5.2 Saran...................................................................................................................13

DAFTAR PUSTAKA ………………....…..……..............………………….………......14

3
Bab 1

Pendahuluan

1.1 Latar Belakang


Komunikasi merupakan hal pertama yang dipelajari setiap orang sejak masih bayi.
Namun meski demikian tidak menjamin bahwa setiap orang mempunyai kemampuan
komunikasi yang baik dan efektif. Dalam penyampaian suatu informasi ke satu orang dan
orang lainnya diperlukan keahlian dan konsentrasi untuk memahami setiap informasi yang
didapatkan, untuk meminimalisirkan terjadinya kesalahpahaman atau misscomunication.
Memiliki kemampuan komunikasi yang efektif juga berguna untuk menjalin hubungan
baik dengan manusia lainnya.
Menurut Goldhaber (1993), komunikasi organisasi adalah proses menciptakan dan
bertukar pesan di dalam jaringan hubungan interdependen untuk mengatasi ketidakpastian
lingkungan. Tidak ada organisasi maupun individu sekalipun yang dapat bertahan tidak
memberikan informasi atau sekedar mengutarakan perasaan yang sedang dirasa, karena
pada hakikatnya manusia adlah makhluk sosial yang membutuhkan orang lain untuk
menjalani hidupnya.

Tetapi pada kenyataannya penyampaian sebuah informasi melalui sebuah komunikasi


tidak semudah seperti yang dibayangkan bahwa komunikasi hanya sekedar berbicara
dengan menggunakan gaya bahasa yang kita kehendaki saja tanpa memikirkan apakah
responden mengerti maksut kita paa tidak. Komunikasi yang baik dan efektif memiliki
pola yang cukup kompleks dan karena terdapat pola yang kompleks tersebut tidak jarang
dalam berkomunikasi orang sering menemukan kendala dalam pelaksanaanya yang
akhirnya menyebabkan konflik.

Konflik memang salah satu hal yang tidak bisa dihindari dalam melakukan
komunikasi, tetapi dengan adanya komunikasi yang baik dan efektif setiap individu atau
bahkan organisasi dipastikan dapat menyelesaikan hal tersebut. Untuk itu seperti yang
sudah dikatakan sebelumnya, bahwa komunikasi yang efektif dan baik dalam sebuah
organisasi akan menjadi jembatan terjadinya hubungan yang baik antar sesama individu
dalam lingkup tersebut.

4
Bab 2

Kajian Literatur

2.1 Pengertian Komunikasi

Komunikasi melibatkan dua atau lebih manusia, sebab ketika berkomunikasi terjadi
proses pengiriman dan penerimaan pesan dari komunikator kepada komunikan.
Komunikator dapat menyampaikan pesan kepada komunikan melalui berbagai media,
bergantung tujuan serta target yang ditentukan. Setelah pesan tersampaikan, feedback dari
komunikan yang menerima pesan diperlukan. Sebab melalui feedback yang diberikan
komunikan, komunikator dapat mengetahui apakan komunikasi berjalan dengan efekti
atau tidak, atau apakah pesan berhasil tersampaikan dengan baik atau tidak.

Secara harafiah komunikasi yang berasal dari bahasa Latin yaitu ‘Communis’ berarti
‘sama’; ‘Communicatio’ yang berarti ‘membuat sama’. Dapat dikatakan bahwa
komunikasi merupakan suatu proses upaya membangun pengertian antara yang satu
dengan yang lainnya, agar terjadi kesamaan pemahaman mengenai suatu hal. Cukup
banyak para ahli yang mendefinikan secara lebih jelas dan detail mengenai pengertian
komunikasi.

Berikut ini beberapa pengertian Komunikasi menurut para ahli.

1. Achmad S. Ruky

Menurut Achmad S. Ruky, komunikasi merupakan proses pemindahan dan


pertukaran pesan, dimana pesan ini dapat berbentuk fakta, gagasan, perasaan, data atau
informasi dari seseorang kepada orang lain. Proses ini dilakukan dengan tujuan untuk
mempengaruhi dan/ atau mengubah informasi yang dimiliki serta tingkah laku orang
yang menerima pesan tersebut.

2. Anderson

Mernurut Anderson, komunikasi merupakan proses yang dinamis. Proses ini


secara konstan berubah sesuai dengan situasi yang berlaku.

5
3. Anwar Arifin

Komunikasi menurut Anwar Arifin merupakan sebuah konsep multi makna.


Dalam makna sosial, komunikasi merupakan proses sosial yang berkaitan dengan
kegiatan manusia dan kaitannya dengan pesan dan prilaku.

4. Skinner

Menurut BF. Skinner komunikasi dapat didefinisikan sebagai prilaku verbal


atau simbolik dimana pengirimnya berusaha mendapatkan efek yang dikehendakinya
dari penerima.

5. Everett M. Rogers

Dalam buku ‘Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar’, Everett M. Rogers


mendefinisikan komunikasi sebagai proses pengalihan ide dari sumber ke penerima,
dengan tujuan untuk mengubah tingkah laku penerima tersebut.

6. Forsdale

Menurut Frosdale, komunikasi merupakan suatu proses dimana sebuah sistem


dibentuk, dipelihara, dan diubah dengan sutu tujuan, yaitu agar sinyal-sinyal yang
dikirim dapat diterima dan dilakukan sesuai aturan yang berlaku.

2.2 Pengertian Konflik

Menurut Taquiri dalam Newstorm dan Davis (1977), konflik adalah warisan
kehidupan sosial yang boleh berlaku dalam berbagai keadaan akibat daripada
berbangkitnya keadaan ketidaksetujuan, kontroversi dan pertentangan di antara dua pihak
atau lebih pihak secara berterusan.

Pace & Faules, dalam bukunya Organizational Communication (1994:249)


menyatakan konflik adalah ekspresi pertikaian antara individu dengan individu lain,
kelompok dengan kelompok lain karena beberapa alasan.

Dalam pandangan ini, pertikaian menunjukkan adanya perbedaan antara dua atau lebih
individu yang diekspresikan, diingat, dan dialami

Robbin TW (1996: 431) menyatakan konflik dalam International Journal of Conflict


Management, organisasi disebut sebagai The Conflict Paradoks, yaitu konflik adalah
pandangan bahwa di sisi konflik dianggap dapat meningkatkan kinerja kelompok, tetapi di
sisi lain kebanyakan kelompok dan organisasi berusaha untuk meminimalisasikan konflik.

6
Pandangan ini dibagi menjadi tiga bagian, antara lain:

1. Pandangan tradisional (The Traditional View). Pandangan ini menyatakan bahwa


konflik adalah hal yang buruk, sesuatu yang negatif, merugikan, dan harus
dihindari.
2. Pandangan hubungan manusia (The Human Relation View. Pandangan ini
menyatakan bahwa konflik adalah suatu peristiwa yang wajar terjadi di dalam
kelompok atau organisasi.
3. Pandangan interaksionis (The Interactionist View). Pandangan ini cenderung
mendorong suatu kelompok atau organisasi terjadinya konflik.

Dapat disimpulkan bahwa konflik adalah reaksi yang terjadi atas perbedaan pendapat
atau pandangan mengenai suatu hal yang diekspresikan dengan cara saling menyingkirkan
pihak lain untuk mencapai tujuan masing-masing.

2.2.1 Penyebab konflik

1. Perbedaan individu, yang meliputi perbedaan pendirian dan perasaan.

Setiap manusia adalah individu yang unik. Artinya, setiap orang


memiliki pendirian dan perasaan yang berbeda-beda satu dengan lainnya.
Perbedaan pendirian dan perasaan akan sesuatu hal atau lingkungan yang nyata
ini dapat menjadi faktor penyebab konflik sosial, sebab dalam menjalani
hubungan sosial, seseorang tidak selalu sejalan dengan kelompoknya.
Misalnya, ketika berlangsung pentas musik di lingkungan pemukiman, tentu
perasaan setiap warganya akan berbeda-beda. Ada yang merasa terganggu
karena berisik, tetapi ada pula yang merasa terhibur.

2. Perbedaan latar belakang kebudayaan sehingga membentuk pribadi-pribadi


yang berbeda.

Seseorang akan terpengaruh dengan pola-pola pemikiran dan pendirian


kelompoknya. Pemikiran dan pendirian yang berbeda pada akhirnya akan
menghasilkan perbedaan yang dapat memicu konflik.

3. Perbedaan kepentingan antara individu atau kelompok.

Manusia memiliki perasaan, pendirian maupun latar belakang


kebudayaan yang berbeda. Oleh sebab itu, dalam waktu yang bersamaan,

7
masing-masing orang atau kelompok memiliki kepentingan yang berbeda-
beda.

4. Perubahan-perubahan nilai yang cepat dan mendadak dalam masyarakat.

Perubahan adalah sesuatu yang lazim dan wajar terjadi, tetapi jika
perubahan itu berlangsung cepat atau bahkan mendadak, perubahan tersebut
dapat memicu terjadinya konflik sosial karena ketidaksiapan masyarakat dalam
menghadapi perubahan.

2.2.2 Pendekatan penyelesaian konflik

1. Competing Style

Pendekatan ini termasuk win-lose solution yang dicirikan oleh tingkat asertif yang
tinggi dan kooperatif (kerjasama) yang rendah. Pendekatan ini cenderung
menggunakan power untuk menyelesaikan konflik dengan pihak lawan. Pendekatan
ini mengandalkan cara berkomunikasi yang agresif pada pihak lawan, cenderung
menggunakan coercive power dan tidak terlalu mementingkan kualitas hubungan di
masa depan.

2.Accomodating Style

Pendekatan ini merupakan kebalikan dari competing style. Lebih dicirikan oleh tingkat
kerjasama yang relatif lebih tinggi. Kedua pihak saling terbuka untuk koreksi.
Pendekatan ini umumnya digunakan jika kedua pihak peduli akan kualitas hubungan
mereka di masa depan.

3. Avoiding Style

Pendekatan ini umumnya digunakan jika suatu masalah menguntungkan bagi satu
pihak. Karena menguntungkan, maka lebih baik untuk menghindari diskusi mengenai
masalah tersebut. Pendekatan ini juga digunakan ketika satu pihak berpikir masalah
tidak terlalu penting ataupun tidak mungkin akan menang.

4. Compromising Style

Pendekatan ini terletak di tengah-tengah antara competing dan accommodating style.


Pendekatan ini meletakkan tingkat asertif dan kooperatif di tengah-tengah. Tujuan
utamanya adalah untuk menemukan solusi yang menguntungkan dan memuaskan bagi
kedua pihak.

8
5. Collaborating Style

Ini adalah pendekatan win-win solution dalam penyelesaian konflik. Pendekatan ini
dicirikan oleh tingkat asertif dan kooperatif yang tinggi. Kolaborasi memberikan
peluang adanya consensus dan hasil yang optimal.

Model ini sangatlah dinamis. Dalam negosiasi, pendekatan yang digunakan bisa jadi
selalu berubah setiap pertemuan. Negosiasi bisnis hamper selalu mencoba untuk
menggunakan collaborating style. Kunci dari pendekatan ini adalah saling menumbuhkan rasa
percaya dan saling ketergantungan (interdependence). Jika salah satu pihak memiliki power
lebih besar, maka sebaiknya ia tidak memperlihatkan power tersebut secara eksplisit untuk
mempengaruhi pihak lain (seperti pada competing style). Kemudian, tunjukkan bahwa Anda
juga menaruh perhatian terhadap kepentingan pihak lawan. Dengan begitu, maka negosiasi
Anda dapat berujung pada win-win solution.

2.3 Pengertian Keluarga

Pengertian keluarga berdasarkan asal-usul kata yang dikemukakan oleh Ki Hajar


Dewantara (Abu&Nur, 2001: 176), bahwa keluarga berasal dari bahasa Jawa yang
terbentuk dari dua kata yaitu kawula dan warga. Didalam bahasa Jawa kuno kawula berarti
hamba dan warga artinya anggota. Secara bebas dapat diartikan bahwa keluarga adalah
anggota hamba atau warga saya. Artinya setiap anggota dari kawula merasakan sebagai
satu kesatuan yang utuh sebagai bagian dari dirinya dan dirinya juga merupakan bagian
dari warga yang lainnya secara keseluruhan.

Keluarga adalah lingkungan dimana beberapa orang yang masih memiliki hubungan
darah dan bersatu. Keluarga didefinisikan sebagai sekumpulan orang yang tinggal dalam
satu rumah yang masih mempunyai hubungan kekerabatan/hubungan darah karena
perkawinan, kelahiran, adopsi dan lain sebagainya. Keluarga yang terdiri dari ayah, ibu dan
anakanak yang belum menikah disebut keluarga batih. Sebagai unit pergaulan terkecil yang
hidup dalam masyarakat, keluarga batih mempunyai peranan-peranan tertentu, yaitu
(Soerjono, 2004: 23):

1) Keluarga batih berperan sebagi pelindung bagi pribadi-pribadi yang menjadi anggota,
dimana ketentraman dan ketertiban diperoleh dalam wadah tersebut.
2) Keluarga batih merupakan unit sosial-ekonomis yang secara materil memenuhi
kebutuhan anggotanya.
3) Keluarga batih menumbuhkan dasar-dasar bagi kaidah-kaidah pergaulan hidup.

9
4) Keluarga batih merupakan wadah dimana manusia mengalami proses sosialisasi awal,
yakni suatu proses dimana manusia mempelajari dan mematuhi kaidah-kaidah dan
nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat.

Keluarga pada dasarnya merupakan suatu kelompok yang terbentuk dari suatu hubungan
seks yang tetap, untuk menyelenggarakan hal-hal yang berkenaan dengan keorangtuaan dan
pemeliharaan anak. Adapun ciri-ciri umum keluarga yang dikemukakan oleh Mac Iver and
Page (Khairuddin, 1985: 12), yaitu:

1) Keluarga merupakan hubungan perkawinan.

2) Susunan kelembagaan yang berkenaan dengan hubungan perkawinan yang sengaja

dibentuk dan dipelihara.

3) Suatu sistim tata nama, termasuk perhitungan garis keturunan.

4) Ketentuan-ketentuan ekonomi yang dibentuk oleh anggotaanggota kelompok yang


mempunyai ketentuan khusus terhadap kebutuhan-kebutuhan ekonomi yang berkaitan
dengan kemampuan untuk mempunyai keturunan dan membesarkan anak.

2.3.1 Hubungan Keluarga

Hubungan keluarga merupakan suatu ikatan dalam keluarga yang terbentuk


melalui masyarakat. Ada tiga jenis hubungan keluarga yang dikemukakan oleh Robert
R. Bell (Ihromi, 2004: 91), yaitu:

1) Kerabat dekat (conventional kin) yaitu terdiri dari individu yang terikat
dalam keluarga melalui hubungan darah, adopsi dan atau perkawinan,
seperti suami istri, orang tua-anak, dan antar-saudara (siblings).
2) Kerabat jauh, yaitu terdiri dari individu yang terikat dalam keluarga
melalui hubungan darah, adopsi dan atau perkawinan, tetapi ikatan
keluarganya lebih lemah daripada keluarga dekat. Anggota kerabat jauh
kadang-kadang tidak menyadari adanya hubungan keluarga tersebut.
Hubungan yang terjadi di antara mereka biasanya karena kepentingan
pribadi dan bukan karena adanya kewajiban sebagai anggota keluarga.
Biasanya mereka terdiri atas paman dan bibi, keponakan dan sepupu.
3) Orang yang dianggap kerabat (fictive kin) yaitu seseorang dianggap
anggota kerabat karena ada hubungan yang khusus, misalnya hubungan
antar teman akrab.

10
Erat-tidaknya hubungan dengan anggota kerabat tergantung dari jenis
kerabatnya dan lebih lanjut dikatakan Adams, bahwa hubungan dengan anggota
kerabat juga dapat dibedakan menurut kelas sosial (Ihromi, 2004: 99).

Hubungan dalam keluarga bisa dilihat dari Pertama, hubungan suami-istri.


Hubungan antar suami-istri pada keluarga yang institusional ditentukan oleh faktor-
faktor di luar keluarga seperti: adat, pendapat umum, dan hukum. Kedua, Hubungan
orangtua-anak. Secara umum kehadiran anak dalam keluarga dapat dilihat sebagai
faktor yang menguntungkan orangtua dari segi psikologis, ekonomis dan sosial.
Ketiga, Hubungan antar-saudara (siblings). hubungan antar-saudara bisa dipengaruhi
oleh jenis kelamin, umur, jumlah anggota keluarga, jarak kelahiran, rasio saudara laki-
laki terhadap saudara perempuan, umur orang tua pada saat mempunyai anak pertama,
dan umur anak pada saat mereka ke luar dari rumah.

Hubungan keluarga yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah hubungan


orang tua dan anaknya. Secara umum kehadiran anak dalam keluarga dapat dilihat
sebagai faktor yang menguntungkan orang tua dari segi psikologis, ekonomis dan
sosial. Secara psikologis orang tua akan bangga dengan prestasi yang di miliki
anaknya, secara ekonomis, orangtua menganggap anak adalah masa depan bagi
mereka, dan secara sosial mereka telah dapat 14 dikatakan sebagai orang tua.

11
Bab 3

Metode Penelitian

3.1 Penulisan tugas ini menggunakan metode penelitian:


1) Penelitian Lapangan (Field Research) Berupa peninjauan ke lokasi dengan pihak-
pihak yang terkait (keluarga masing2 pengamat) untuk mendapatkan data yang
dibutuhkan dalam penulisan tugas ini. Penyusunan Tugas ini setelah dilakukan
pengujian, data-data dan analisa yang diperoleh dan disusun dalam sebuah laporan
tertulis.
2) Wawancara langsung dan tersusun.

3.2 Waktu dan Tempat Pelaksanaan


Waktu yang dibutuhkan untuk merampungkan penelitian ini adalah 2 minggu.
Kegiatan wawancara dilakukan di masing-masing rumah pengamat,yaitu :
1) Rumah Putri
2) Rumah Elfara
3) Rumah Qilla
4) Rumah Alya
5) Rumah Gina

3.3 Alat dan bahan pendukung


1) Media elektronik
2) Daftar pertanyaan wawancara
3) Literatur yang mendukung hasil pengamatan.

3.4 Data hasil pengamatan


Penelitian yang kami lakukan adalah penelitian kualitatif yang berupa skema
atau uraian data pengamatan secara rinci. 

12
Bab 4
Pembahasan
Data hasil wawancara
Berikut adalah pertanyaan yang akan diajukan dan sebagai bahan dalam menganalisis
1. Bagaimana komunikasi sehari-hari antara remaja dan orang tua ?
2. Bagaimana/ apa pola sosialisasi yang terjalin didalam keluarga?
3. Apakah anda pernah mengalami konflik dalam keluarga,mengapa?
4. Jika pernah, bagaimana cara penyelesaiannya bila dikaitkan dengan pendekatan
penyelesaian konflik?

Berdasarkan pertanyaan diatas maka terdapat beberapa data dari beberapa narasumber yang
berbeda, yaitu:
A. Narasumber 1 (keluarga Putri)
1. Komunikasi antara orang tua dan anak paling banyak dihabiskan pada sore
menjelang malam, dikarnakan kedua orang tua bekerja di pagi hari dan pulang
ketika hari sudah petang. Komunikasinya pun bersifat sangat ringan seperti
menanyakan menu makan malam, dan membicarakan mengenai acara tv yang
biasanya kita tonton.
2. Pola sosialisasi yang berjalan di keluarga Putri (responden) adalah pola
partisipatoris, karena terjadi komunikasi 2 arah antara orang tua dan anak dalam
menentukan suatu keputusan. Misalnya dalam menentukan menu makan, orang tua
bertanya kepada anak-anaknya mau makan apa. Jadi disini kesimpulannya anak
ikut andil dalam menentukan keputusan.
3. Tentu saja pernah. Biasanya konflik sering terjadi karena adanya kesalahpahaman
antara orang tua ke anak ataupun antara anak yang satu ke yang lainnya.
Responden memberikan satu contoh konflik yang terjadi yaitu saat orang tua
membeli makanan hanya satu porsi yang dimana hanya untuk satu anak karena
berpikir bahwa anaknya yang satu lagi baru makan jadi tidak dibelikan, oleh
karena itu sering terjadi sebuah konflik sederhana antara orang tua dan anak.
4. Cara penyelesaian yang biasanya diambil dari contoh konflik yang dipaparkan
responden adalah compromising style dimana menguntungkan bagi kedua pihak
yang berkonflik. Seperti orang tua membelikan satu lagi porsi makanan untuk anak
yang satunya sehingga orang tua tidak lagi merasa bersalah dan si anakpun dapat
makan seperti yang saudaranya makan.

13
Bab 5
Kesimpulan

14
Daftar Pustaka

Ivony,2017,https://pakarkomunikasi.com/pengertian-komunikasi-menurut-para-ahli,29 april
2020
Liputan6,2019,https://www.liputan6.com/global/read/3873214/konflik-adalah-masalah-
dalam-masyarakat-yang-sering-terjadi-pahami-definisi-sebenarnya#,29 april 2020
Samhis,2020,https://www.gurupendidikan.co.id/pengertian-konflik/, 29 april 2020
Arum,2013,https://www.blj.co.id/2013/02/25/pendekatan-penyelesaian-konflik-1/,2 juni 2020

15
(just in case we need)
4.1. Komunikasi Sehari-hari Antara Remaja dan Orang Tua
Dari hasil wawancara diketahui bahwa waktu yang paling sering digunakan orang tua
berkomunikasi dengan anak adalah pada malam hari. Bagi remaja yang kedua orang tuanya
bekerja, umumnya orangtua pulang bekerja pada malam hari, dan melewati waktu magrib
sehingga waktu berkomunikasi bahkan dilakukan sambil menyaksikan tayangan televisi.
Sedangkan bagi remaja yang ibunya tidak bekerja, maka remaja memiliki waktu lebih banyak
untuk berkomunikasi dengan ibu daripada ayah, dan komunikasi dilakukan lebih banyak pada
siang atau sore hari sepulang dari sekolah. Hampir semua informan beranggapan bahwa ibu
lebih sering melakukan percakapan dibandingkan ayah. Komunikasi antara remaja dan orang
tua, biasanya bukan saja membicarakan tentang aktivitas remaja saja, namun sebaliknya orang
tua membicarakan tentang kegiatan atau permasalahan orang tua. Dalam hal ini peneliti
menanyakan apakan orangtua sering atau pernah melakukan komunikasi yang terkait dengan
aktivitas atau permasalahan orang tua. Remaja juga memiliki teman-teman bermain diluar
waktu bersama temanteman disekolah.
4.2. Jenis Konflik Remaja Dengan Orang Tua
Dari hasil wawancara diperoleh hasil bahwa hampir semua konflik yang dihadapi remaja
dengan orang tua seputar masalah aktivitas remaja sehari hari seperti tentang kegiatan belajar
remaja, disiplin sekolah, hubungan dengan saudara kandung, aktivitas remaja bersama teman
yang ingin keluar malam. Bagi remaja sendiri banyak yang menyadari bahwa konflik tersebut
timbul akibat ulah mereka yang tidak patuh, tidak disiplin, salah memilih teman bergaul,
konflik remaja dengan sudara kandung dan sebagainya. Remaja menyadari hal ini sebagai
bentuk ketidak disiplinan mereka atau penegakan peraturan di keluarga. Tidak ditemukan
konflik yang sangat berarti antara informan remaja dan orangtua, karena remaja memahami
bahwa konflik yang muncul lebih benyak karena kesalahan remaja. Hanya satu informan yang
menganggap bahwa konflik yang timbul akibat pemaknaan orangtua yang kurang tepat
terhadap komunikasi yang disampaikan oleh remaja. Persoalan remaja terkait dengan teman
dekat atau pacar cenderung jarang dibahas dengan orangtua, karena sebagian besar orang tua
tidak memberikan pernyataan setuju jika anak-anaknya berpacaran. Orangtua hanya
menanyakan hal-hal yang standar seperti tentang pacar-pacar mereka atau bahkan tidak
menanyakan sama sekali. Disisi lain remaja juga merasa segan mengangkat topik tentang
pacar atau teman dekat dengan orang tua.
4.3. Penyelesaian Konflik Dengan Orientasi Percakapan
Keempat informan remaja umumnya memiliki hubungan yang cukup baik dengan
orangtuanya, baik ibu maupun ayah. Meskipun dalam prakteknya komunikasi lebih banyak
dilakukan dengan ibu daripada ayah. Untuk percakapan sehari-hari anakanak selain memiliki
waktu yang lebih banyak dengan ibu, bagi yang ibunya bekerjapun pada waktu senggang
mereka cenderung melakukan percakapan dengan ibu. Karena Ibu dianggap sebagai tempat
mencurahkan masalah dan tempat bertanya.Ibu dianggap lebih cerewet, perhatian dan lebih
banyak bertanya kepada remaja. Ketika orang tua terutama Ibu melontarkan ketidaksetujuan
atau kemarahan remaja dapat memahami, bahkan ketika hal ini terjadi berulangkali
terjadi.Namun demikian tidak semua hal remaja menyampaikan masalahnya, mereka
umumnya juga memiliki orang terdekat selain orang tua, seperti suadara kandung , teman

16
dekat (sering disebut pacar), atau sahabat dalam permainan. Pada keluarga yang
menggunakan pendekatan percakapan remaja cenderung menyatakan kepuasan terhadap cara
orang tua menyelesaikan konflik. Orangtua memberikan kesempatan remaja untuk
mengemukakan pendapat dan berargumentasi. Remaja merasa kesempatan untuk
mengemukakan pendapat juga berarti sebuah bentuk penerimaan orangtua terhadap anak.
Meskipun remaja memahami bahwa kondisi percakapan yang mengandung unsur argumentasi
akan sering terulang antara orangtua dan remaja, namun remaja cukup menyadari bahwa
orangtua melakukan hal yang benar dan bagi kepentingan anak. Pada keluarga dimana remaja
merasakan bahwa orangtuanya menyelesaikan konflik dengan pendekatan percakapan remaja
merasa puas dengan penyelesaian konflik yang dilakukan. Remaja memahami pada batas
mana orangtua akan menerima pendapat mereka dan pada batas mana orangtuanya akan tidak
setuju dengan tindakan yang dilakukan oleh remaja selaku anak. Tidak semua pasangan
orangtua menggunakan orientasi percakapan. Jika anak merasa salah satu dari orangtuanya
lebih dominan dan menggunakan orientasi kepatuhan maka anak akan memilih orangtua yang
satu (bisa ayah atau ibu) yang dianggap lebih berorientasi pada percakapan. Remaja sangat
memperhatikan hal ini dan mereka akan mencari solusi atau mendekati orangtua yang
menggunakan orientasi percakapan. Dengan orangtua yang menggunakan orientasi
percakapan anak lebih merasa mudah untuk diterima, dipahami, diberi kesempatan untuk
mengemukakan pendapat dan memiliki argument yang berbeda dengan orangtua. Disisi lain
remaja juga memahami jika pada hal-hal tertentu orangtuanya tidak dapat mentolerir tindakan
mereka misalnya untuk tindakan kriminal. Pada orientasi percakapan remaja juga dapat
memahami bahwa terdapat jenis konflik yang ringan maupun yang lebih berat sehingga
bentuk penyelesaiannya juga berbedabeda. Jika pada konflik yang ringan maka orangtua tidak
akan membahas terlalu dalam datau konflik dianggap selesai begitu saja. Dalam hal ini remaja
juga dapat memahami ketika konflik tidak pernah disinggung lagi atau diperpanjang oleh
orangtuanya.

17

Anda mungkin juga menyukai