Anda di halaman 1dari 42

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pembangunan kesehatan di Indonesia, di arahkan pada peningkatan hidup manusia termasuk
lanjut usia, sesuai dengan terciptanya Undang – undang No. 13 tahun 1998, tentang
kesejahteraan lanjut usia merupakan salah satu indikasinya. Makin besarnya perhatian
pemerintah terhadap penduduk lanjut usia di dukung juga dengan Undang – undang No. 23 tahun
1992, tentang kesehatan pada pasal 19 menerangkan bahwa kesehatan manusia lanjut usia di
arahkan untuk memelihara, meningkatkan kesehatan dan kemampuannya agar tetap sehat dan
produktif (Depkes RI, 2017).
Salah satu hasil pembangunan kesehatan di Indonesia adalah meningkatnya angka harapan
hidup (life expectancy). Dilihat dari sisi ini, pembangunan kesehatan di Indonesia sudah cukup
berhasil karena angka harapan hidup bangsa kita telah meningkat secara bermakna. Namun disisi
lain dengan meningkatnya angka harapan hidup ini membawa beban bagi masyarakat karena
populasi penduduk lanjut usia (lansia) meningkat. Hal ini berarti kelompok resiko dalam
masyarakat kita menjadi lebih tinggi. Meningkatnya populasi lansia ini bukan hanya fenomena di
Indonesia saja, tetapi juga secara global (Notoatmodjo, 2015).
Jumlah lansia akan meningkat dengan peningkatan taraf kesehatan bangsa Indonesia.
Lansia bukan suatu penyakit, namun merupakan tahap lanjut dari suatu proses kehidupan yang
ditandai dengan menurunnya kemampuan tubuh untuk beradaptasi dengan stressor. Pada
umumnya tanda proses menua mulai tampak sejak usia 45 tahun dan akan menimbulkan masalah
pada usia sekitar 60 tahun (Pudjiastuti, 2013). Ada faktor-faktor risiko yang mempengaruhi
penuaan, yaitu faktor endogen dan faktor eksogen. Salah satu faktor endogennya adalah tipe
kepribadian, karena kepribadian seseorang akan sangat berpengaruh sejak muda hingga setelah
memasuki masa lansia. Sedangkan faktor eksogennya adalah dukungan sosial yang akan
menentukan ketentraman hidup lansia, dukungan social berasal dari sesorang yang mempunyai
ikatan emosi sangat mendalam, keluarga, teman, orang yang sangat dipercaya atau orang yang
sangat dicinta, sangat besar manfaatnya bagi seseorang yang apabila tidak terpenuhi akan
menyebabkan depresi. (Kuntjoro, 2014).
Kepribadian adalah segala corak dan perilaku manusia yang terhimpun dalam dirinya dan
yang digunakan untuk bereaksi serta menyesuaikan dirinya terhadap segala rangsangan, baik
yang datang dari lingkungannya (“dunia luar”-nya) maupun yang berasal dari dirinya sendiri
(“dunia dalam”-nya), sehingga corak perilakunya menjadi suatu kesatuan fungsional yang khas
bagi manusia itu (Maramis, 2015).
Jung mengatakan bahwa kepribadian ekstrovert-introvert terbentuk atas jiwa. Sikap jiwa
adalah arah bagi energi psikis umum atau libido, yang menjelma dari orientasi manusia terhadap
dunianya. Arah aktivitas psikis itu dapat keluar atau kedalam. Orang yang ekstrovert terutama
dipengaruhi oleh dunia objektif, yaitu dunia di luar dirinya. Orientasinya terutama tertuju keluar:
pikiran, perasaan, serta tindakan–tindakannya terutama ditentukan lingkungan positif terhadap
masyarakat: hatinya terbuka, mudah bergaul, berhubungan dengan orang lain lancar, jika orang
yang introvert trutama dipengaruhi oleh dunia subjektif, yaitu dunia di dalam dirinya sendiri.
Orientasinya tertuju kedalam pikiran, perasaan, serta tindakan–tindakannya terutama ditentukan
oleh faktor–faktor subjektif. Penyesuaian dengan dunia luar kurang baik, jiwanya tertutup, sukar
bergaul, sukar berhubungan dengan orang lain, kurang dapat menarik hati orang lain (Sujanto,
2017).
Menurut the national old people’s walfare council di Inggris yang dikutip oleh Nugroho
(2014) menyatakan bahwa depresi merupakan salah satu penyakit atau gangguan umum pada
lansia yang menduduki rangking atas. Pada usia lanjut, dimana stressor sering menyebabkan
depresi. Depresi bukan merupakan suatu keadaan yang disebabkan oleh patologi tunggal tetapi
bersifat multifaktorial (Darmodjo, 2014). Depresi merupakan suatu gangguan afektif yang
ditandai dengan hilangnya minat atau kesenangan dalam aktivitas-aktivitas yang biasa dilakukan
sehari-hari dan pada waktu yang lampau. Terjadinya depresi pada lansia merupakan interaksi
faktor biologis, psikologis dan sosial. Faktor sosial adalah berkurangnya dukungan sosial,
kesepian, berkabung, kemiskinan dapat mencetuskan depresi. Pada penelitian yang dilakukan
Sari (2012) dukungan keluarga mempunyai hubungan yang signifikan dengan tingkat depresi
pada lansia yang berarti semakin baik dukungan keluarga yang diterima lansia semakin kecil
kemungkinan untuk terjadi depresi pada lansia tersebut.
Penduduk lanjut usia mengalami peningkatan yang signifikan didunia, pada tahun 1950
sebanyak 130 juta ( 4% dari totall populasi ), tahun 2000 sebanyak 16 juta ( 7,2% dari total
populasi) dan terus bertambah berkisar 8 juta setiap tahunnya, diperkirakan pada tahun 2025
menjadi 41,5 juta (13,6%) dan pada tahun 2050 sebanyak 79,6 juta (23,7%) diharapkan keadaan
lansia bisa dalam kondisi sehat fisik maupun mental. Tapi pada kenyataannya tidak semua
penghuni panti dalam kondisi mental yang stabil. Didapatkan lansia yang mengalami depresi
dipanti jompo 21% dari 70 lansia. Perubahan-perubahan secara fisik maupun mental banyak
terjadi saat seseorang memasuki usia senja. Penyakit-penyakit mental akibat penuaan, seperti
depresi, hipokondriasis, demensia, delirium, ansietas, paranoid dan sebagainya. Pada lansia,
depresi merupakan salah satu problem yang sering ditemukan. . Tahun 2015 jumlah lanjut usia
diperkirakan mencapai 24,5 juta orang (Hadianto,2018).
Data prevalensi depresi di Indonesia tergolong tinggi. Prevalensi depresi pada lansia di
pelayanan kesehatan primer yaitu 5-17%, sedangkan yang mendapatkan pelayanan asuhan rumah
adalah 13,5%. Selain itu berdasarkan data terbaru tahun 2015 yang didapatkan dari Dinas Sosial
Mojokerto bahwa jumlah lanjut usia yang ada di Mojokerto kurang lebih sekitar 2000 jiwa.
Prevalensi depresi pada lansia 15 - 20% dari populasi usia lanjut di masyarakat menderita depresi
Pada tahun 2020 depresi akan menduduki urutan teratas dari negara berkembang termasuk
Indonesia (Darmodjo, 2014).
Pada penelitian yang dilakukan Sari (2012) dukungan keluarga mempunyai hubungan yang
signifikan dengan tingkat depresi pada lansia yang berarti semakin baik dukungan keluarga yang
diterima lansia semakin kecil kemungkinan untuk terjadi depresi pada lansia tersebut. Dukungan
sosial berasal dari seorang yang mempunyai ikatan emosi sangat mendalam, keluarga, teman,
petugas panti, orang yang sangat dipercaya atau orang yang sangat dicintai, sangat besar
manfaatnya bagi seseorang yang apabila tidak terpenuhi akan menyebabkan depresi (Kuntjoro,
2014). Sedangkan faktor psikologis yang berperan dalam timbulnya depresi adalah tipe
kepribadian introvert yang timbul rasa kurang percaya diri, kecenderungan perenung/pemikir,
suka menyendiri, dan kecenderungan membayangkan kesukaran dalam hidup yang seringkali
dapat menimbulkan depresi.
Depresi merupakan gangguan mental yang paling banyak menimbulkan beban disabilitas,
meningkatkan morbiditas, mortalitas, dan resiko bunuh diri. Depresi juga dikaitkan dengan
faktor sosiodemografi seseorang. Hal ini dijelaskan dalam Canadian Community Health Survey
yang menyatakan bahwa terdapat perbedaan tingkat depresi antara perempuan dan laki-laki,
umur, status perkawinan, tingkat pendidikan dan jenis pekerjaan. Gangguan depresi yang sering
dijumpai pada lansia merupakan masalah psikososiogeriatri dan perlu mendapat perhatian
khusus. Depresi pada lansia kadang – kadang tidak terdiagnosis dan tidak mendapatkan
penanganan yang semestinya karena gejala – gejala yang muncul seringkali dianggap sebagai
suatu bagian dari proses penuaan yang normal. Depresi adalah gangguan afek yang sering terjadi
pada lansia dan merupakan salah satu gangguan emosi. Gejala depresi pada lansia dapat terlihat
seperti lansia mejadi kurang bersemangat dalam menjalani hidupnya, mudah putus asa, aktivitas
menurun, kurang nafsu makan, cepat lelah dan susah tidur di malam hari (Nugroho, 2014).
Berdasarkan survei dan observasi pendahuluan yang dilakukan oleh peneliti di PSTW Sabai
Nan Aluih Sicincin pada tanggal ………. di dapatkan jumlah lansia sebanyak ….. orang. Hasil
wawancara yang dilakukan kepada … lansia diketahui … lansia cenderung pendiam, lebih suka
diam di dalam wisma dan kepribadiannya kurang terbuka, tidak mengikuti kegiatan di
lingkungan PSTW Sabai Nan Aluih Sicincin, serta … orang lansia cenderung lebih mudah
bergaul dan lebih banyak bicaranya, dan mengikuti kegiatan yang ada di PSTW Sabai Nan Aluih
Sicincin.
Berdasarkan uraian diatas peneliti tertarik untuk meneliti “Hubungan Tipe Kepribadian
Terhadap Depresi Pada Lansia di PSTW Sabai Nan Aluih Sicincin Tahun 2020”.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah diatas, maka dapat dirumuskan masalah penelitian
adalah “ Hubungan Tipe Kepribadian Terhadap Depresi Pada Lansia di PSTW Sabai Nan Aluih
Sicincin Tahun 2020”.
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui “ Hubungan Tipe Kepribadian Terhadap Depresi Pada Lansia di
PSTW Sabai Nan Aluih Sicincin Tahun 2020”.
2. Tujuan Khusus
a. Untuk mengetahui gambaran distribusi frekuensi tipe kepribadian terhadap depresi
pada lansia di PSTW Sabai Nan Aluih Sicincin Tahun 2020.
b. Untuk mengetahui gambaran distribusi frekuensi depresi pada lansia di PSTW
Sabai Nan Aluih Sicincin Tahun 2020.
c. Untuk mengetahui hubungan tipe kepribadian terhadap depresi pada lansia di
PSTW Sabai Nan Aluih Sicincin Tahun 2020.
D. Manfaat Penelitian
1. Bagi PSTW
Sebagai bahan pertimbangan bagi PSTW Sabai Nan Aluih Sicincin. Diharapkan kepada
petugas agar dapat meningkatkan pelayanan dan motivasi kepada lansia.
2. Bagi STIKes Nan Tongga
Sebagai sumber masukan bagi bidang ilmu keperawatan gerontik asuhan keperawatan
tentang depresi pada lansia baik kepada penderita,keluarga dan masyarakat.
3. Bagi Peneiti Selanjutnya
Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan perbandingan dan informasi untuk
penelitian lebih lanjut mengenai hubungan tipe kepribadian terhadap depresi pada lansia
dan pengembangan metodologi penelitiannya.
E. Ruang Lingkup
Penilitian ini dilakukan oleh mahasiswa program studi ilmu keperawatan, Sekolah
Tinggi Ilmu Keperawatan Nan Tongga Lubuk Alung untuk mengetahui hubungan tipe
kepribadian terhadap depresi pada lansia. Penelitian ini direncanakan akan dilakukan
pada ……. 2020. Teknik pengambilan sampel dilakukan dengan metode total sampling.
Sampel pada penelitian ini berjumlah 40 orang responden yang memiliki gejala depresi di
Panti Sosial Tresna Werdha Sabai Nan Aluih Sicincin Tahun 2019 dan bersedia menjadi
responden. Dengan menggunakan jenis penelitian survey analitik dengan design Cross
Sectional Studi. Data diambil dengan metode wawancara dan observasi.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Lanjut Usia
1. Defenisi Lansia
Usia lanjut adalah fase menurunnya kemampuan akal dan fisik, yang di mulai
dengan adanya beberapa perubahan dalam hidup. Sebagai mana di ketahui, ketika
manusia mencapai usia dewasa, ia mempunyai kemampuan reproduksi dan melahirkan
anak. Ketika kondisi hidup berubah, seseorang akan kehilangan tugas dan fungsi ini, dan
memasuki selanjutnya, yaitu usia lanjut, kemudian mati. Bagi manusia yang normal,
siapa orangnya, tentu telah siap menerima keadaan baru dalam setiap fase hidupnya dan
mencoba menyesuaikan diri dengan kondisi lingkunganya (Darmojo&Martono, 2014).
1. Batasan Lanjut Usia
Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO, 2018), Batasan lansia meliputi :
a. Usia pertengahan (middle age), ialah kelompok usia 45 sampai 59 tahun
b. Lanjut usia (elderly) usia antara 60 sampai 74 tahun
c. Lanjut usia tua (old) usia antara 75 sampai 90 tahun
d. Usia sangat tua (very old) usia di atas 90 tahun
Jadi lanjut usia dapat kita artikan sebagai kelompok penduduk yang berusia 60 tahun
keatas proses menghilangnya secara perlahanlahan kemampuan jaringan untuk
memperbaiki diri atau mengganti dan mempertahankan fungsi normalnya.
Menurut Kesehatan RI tahun 2015, umur lansia dibagi menjadi 3 tahapan, yaitu :
a. Usia pra adalah seseorang yang berusia 45 - 59 tahun.
b. Usia lanjut adalah seseorang yang berusia 60 – 70 tahun
c. Usia lanjut resiko tinggi adalah seseorang yang berusia ≥ 70 tahun atau dengan
masalah kesehatan.
2. Proses menua
Menurut Constantindes dalam (Nugroho,2014) mengatakan bahwa proses menua
adalah suatu proses menghilangnya secara perlahan-lahan kemampuan jaringan untuk
memperbaiki diri atau mengganti dan mempertahankan fungsi normalnya, sehingga tidak
dapat bertahan terhadap infeksi dan memperbaiki kerusakan yang diderita. Proses menua
merupakan proses yang terus-menerus secara alamiah dimulai sejak lahir dan setiap

9
individu tidak sama cepatnya. Menua bukan status penyakit tetapi merupakan proses
berkurangnya daya tahan tubuh dalam menghadapi rangsangan dari dalam maupun dari
luar tubuh.
Penuaan adalah konsekuensi yang tidak dapat dihindarkan. Menua (manjadi tua)
adalah suatu proses menghilangnya secara perlahan – lahan kemampuan jaringan untuk
memperbaiki diri atau mengganti atau mempertahankan fungsi normalnya sehingga tidak
dapat bertahan terhadap infeksi dan memperbaiki kerusakan yang diderita. Prose menua
sudah mulai berlangsung sejak seseorang mencapai usia dewasa, misalnya dengan
terjadinya kehilangan jaringan pada otot, susunan saraf dan jaringan lain sehingga tubuh
mati sedikit demi sedikit. Sebenarnya tidak ada batas yang tegas, pada usia berapa
penampilan seseorang mulai menurun. Pada setiap orang, fungsi fisiologis alat tubuhnya
sangat berbeda, baik dalam hal pencapaian puncak maupun menurun (Darmojo, 2014).
3. Perubahan – Perubahan Yang Terjadi Pada Lansia
a. Perubahan Fisik (Menurut Fatimah, 2015)
1) Sel
Perubahan sel dan ekstrasel pada lansia mengakibatkan penurunan tampilan dan
fungsi fisik. Lansia menjadi lebih pendek akibat adanya pengurangan lebar bahu
dan pelebaran lingkar dada dan perut, dan diameter pelvis. Kulit menjadi tipis
dan keriput, masa tubuh berkurang dan masa lemak bertambah. Didalam
jaringan ikat, terjadilah degradasi elastin dan kolagen yang mengakibatkan
jaringan menjadi lebih keras dan kurang elastis.
2) Sistem Kardiovaskuler
Perubahan struktur jaringan dan sistem vaskuler mengakibatkan penurunan
kemampuan untuk berfungsi secara efisien. Katup jantung menjadi lebih tebal
dan kaku, jantung serta arteri kehilangan elastisnya. Dalam kondisi stress, baik
curah jantung maksimum dan denyut jantung maksimum juga berkurang tiap
tahun.
3) Sistem Pernafasan
Perubahan sistem pernafasan berhubungan dengan usia yang mempengaruhi
kapasitas dan fungsi paru meliputi peningkatan diameter anterioposterior dada,
kolaps osteoporotic vertebra yang mengakibatkan kifosis, klasifikasi kartilago
kosta dan penurunan mobilitas kosta, penurunan efisiensi otot pernafasan,
peningkatan regiditas paru atau hilangnya recoil paru mengakibatkan
peningkatan volume residu paru dan penurunan kapasitas vital paru dan
penurunan luas permukaan alveoli.
4) Sistem Integumen
Bertambahnya usia mempengaruhi fungsi dan penampilan kulit, dimana
epidermis dan dermis menjadi lebih tipis, jumlah serat elastis berkurang dan
kolagen menjadi lebih kaku. Hilangnya kapiler dikulit mengakibatkan penurunan
suplai darah, kulit menjadi hilang kekenyalannya, keriput dan menggelambir.
Pigmentasi rambut menurun dan rambut menjadi beruban, distribusi figmen kulit
tidak rata dan tidak beraturan terutama pada bagian yang selalu terpapar sinar
matahari.
5) Sistem Reproduksi
Saat manopause produksi estrogen dan progesteron oleh ovarium menurun. Pada
wanita terjadi penipisan dindidng vagina dengan pengecilan ukuran dan
hilangnya elastisitas : penurunan sekresi vagina mengakibatkan kekeringan,
gatal dan menurunnya keasaman vagina.

6) Sistem Genito Urinaria


Sistem genitourinaria tetap berfungsi secara adekuat pada individu lansia,
meskipun terjadi penurunan masa ginjal akibat kehilangan bebrapa nefron.
Perubahan fungsi ginjal meliputi penurunan laju infiltrasi, penurunan fungsi
tubuler dengan penurunan efisiensi dalam resorbsi dan pemekatan urine dan
perlambatan restorasi keseimbangan asam basa terhadap stress.
7) Sistem Gastrointestinal
Saluran gastrointestinal masih tetap adekuat pada lansia, tetapi pada beberapa
lansia dapat terjadi ketidaknyamanan akibat melambatnya motilitas. Sekitar
setengah populasi telah habis giginya saat berusia 60 tahun, seringkali terjadi
penyakit periodantal yang menyebabkan gigi berlubang dan ompong. Aliran
ludah pun berkurang sehingga lansia mengalami mulut kering. Lansia biasanya
juga mengeluh adanya perasaan penuh, nyeri ulu hati dan gangguan pencernaan.
8) Sistem Muskuloskoletal
Pada wanita pasca manopause mengalami kehilangan densitas tulang yang akan
mengakibatkan osteoporosis dan berhubungan dengan kurang aktivitas, masukan
kalsium yang tidak adekuat dan kehilangan estrogen. Pengurangan dan
penyusutan tinggi tubuh akibat dari perubahan osteoporotic pada tulang
punggung, kifosi, fleksi pinggul serta lutut. Perubahan ini menyebabkan
penurunan mobilitas, keseimbangan dan fungsi organ internal.
9) Sistem Persarafan
Pada lansia terjadi perubahan struktur dan fungsi sistem saraf. Masa otak
berkurang secara progresif akibat dari berkurangnya sel saraf yang rusak dan
tidak dapat diganti. Terjadi penurunan sistensis dan metabolisme
neurotransmiter utama. Impuls saraf dihantar lebih lambat, sehingga lansia
memerlukan waktu yang lebih lama untuk merespon dan bereaksi.
10) Sistem Sensorik
Kehilangan sensorik akibat penuaan mengenai organ sensorik penglihatan,
pendengaran, pengecap, peraba dan penghidu serta dapat mengancam interaksi
dan komunikasi dengan lingkungan. Lansia membutuhkan kacamata baca untuk
memperbesar objek. Lansia memerlukan sinar yang lebih lama untuk
menyesuaikan diri dengan lingkungan gelap dan terang serta memerlukan sinar
yang lebih terang untuk melihat benda yang sangat dekat.
b. Perubahan Psikososial
Lansia yang sehat secara psikososial dapat dilihat dari kemampuannya
beradaptasi terhadap kehilangan fisik, sosial dan emosional serta mencapai
kebahagian, kedamaian dan kepuasan hidup. Ketakutan menjadi tua dan tidak
mampu produktif lagi memunculkan gambaran yang negatif tentang proses manua.
Perawat dapat memberikan dorongan ikut serta dalam membuat keputusan,
kemandirian, aktivitas sosial lansia.

c. Perkembangan Kognitif
Penurunan intelegensi lansia dan anggapan bahwa lansia sulit diberikan pelajaran
karena proses pikir yang mulai melambat, mudah lupa, bingung dan pikun.
Kemampuan belajar dan menerima keterampilan serta informasi baru akan menurun
pada individu yang telah melewati 70 tahun. Motivasi, kecepatan kinerja, kesehatan
yang buruk dan status fisik kesemuanya merupakan faktor penting yang
mempengaruhi kemampuan pembelajaran.

B. Depresi
1. Definisi
Depresi merupakan satu masa terganggunya fungsi manusia yang berkaitan dengan alam
perasaan yang sedih dan gejala penyertanya, termasuk perubahan pada pola tidur dan
nafsu makan, psikomotor, konsentrasi, anhedonia, kelelahan, rasa putus asa dan tidak
berdaya, serta bunuh diri (Kaplan, 2013)
2. Etiologi
Adapun beberapa teori menyatakan bahwa faktor penyebab depresi pada lansia dibagi
menjadi faktor biologi, faktor genetik, dan faktor psikososial.
a. Faktor biologi
Faktor biologis penyebab depresi dibedakan menjadi:
1) Kelainan amin biogenik.
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa terdapat kelainan pada amin biogenik,
seperti: 5 HIAA (5-Hidroksi indol asetic acid), HVA (Homovanilic acid),
MPGH (5 methoxy-0-hydroksi phenil glikol), di dalam darah, urin dan cairan
serebrospinal pada pasien gangguan mood. Neurotransmiter yang terkait dengan
patologi depresi adalah serotonin dan epineprin. Penurunan serotonin dapat
mencetuskan depresi, dan pada pasien bunuh diri, beberapa pasien memiliki
serotonin yang rendah. Terapi despiran mendukung teori bahwa norepineprin
berperan dalam patofisiologi depresi (Kaplan, 2013).
Selain itu aktivitas dopamin pada depresi adalah menurun. Hal tersebut tampak
pada pengobatan yang menurunkan konsentrasi dopamin seperti Respirin, dan
penyakit dimana konsentrasi dopamin menurun seperti parkinson, adalah disertai
gejala depresi. Obat yang meningkatkan konsentrasi dopamin, seperti tyrosin,
amphetamine, dan bupropion, menurunkan gejala depresi (Kaplan, 2013).
2) Disregulasi neuroendokrin
Hipotalamus merupakan pusat pengaturan aksis neuroendokrin, menerima input
neuron yang mengandung neurotransmiter amin biogenik. Pasien yang
mengalami depresi ditemukan adanya disregulasi neuroendokrin.Disregulasi ini
terjadi akibat kelainan fungsi neuron yang mengandung amin biogenik.
Sebaliknya, stres kronik yang mengaktivasi aksis Hypothalamic-Pituitary-
Adrenal (HPA) dapat menimbulkan perubahan pada amin biogenik sentral.
Aksis neuroendokrin yang paling sering terganggu yaitu adrenal, tiroid, dan
aksis hormon pertumbuhan.Aksis HPA merupakan aksis yang paling banyak
diteliti.Hipersekresi CRH merupakan gangguan aksis HPA yang sangat
fundamental pada pasien depresi.Hipersekresi yang terjadi diduga akibat adanya
defek pada sistem umpan balik kortisol di sistem limpik atau adanya kelainan
pada sistem monoaminogenik dan neuromodulator yang mengatur CRH.Sekresi
CRH dipengaruhi oleh emosi.Emosi seperti perasaan takut dan marah
berhubungan dengan Paraventriculer nucleus (PVN), yang merupakan organ
utama pada sistem endokrin dan fungsinya diatur oleh sistem limbik.Emosi
mempengaruhi CRH di PVN, yang menyebabkan peningkatan sekresi CRH.
Orang yang lanjut usia terjadi penurunan produksi hormon estrogen. Estrogen
berfungsi melindungi sistem dopaminergik negrostriatal terhadap neurotoksin
seperti MPTP, 6 OHDA dan methamphetamin. Estrogen bersama dengan
antioksidan juga merusak monoamine oxidase (Unutzer dkk, 2013).
3) Kehilangan saraf atau penurunan neurotransmiter
Sistem saraf pusat mengalami kehilangan secara selektif pada sel – sel saraf
selama proses menua. Walaupun ada kehilangan sel saraf yang konstan pada
seluruh otak selama rentang hidup, degenerasi neuronal korteks dan kehilangan
yang lebih besar pada sel-sel di dalam lokus seroleus, substansia nigra,
serebelum dan bulbus olfaktorius. Bukti menunjukkan bahwa ada
ketergantungan dengan umur tentang penurunan aktivitas dari noradrenergik,
serotonergik, dan dopaminergik di dalam otak. Khususnya untuk fungsi aktivitas
menurun menjadi setengah pada umur 80-an tahun dibandingkan dengan umur
60-an tahun. Penelitian genetik dan keluarga menunjukkan bahwa angka resiko
di antara anggota keluarga tingkat pertama dari individu yang menderita depresi
berat (unipolar) diperkirakan 2 sampai 3 kali dibandingkan dengan populasi
umum. Angka keselarasan sekitar 11% pada kembar dizigot dan 40% pada
kembar monozigot. Pengaruh genetik terhadap depresi tidak disebutkan secara
khusus, hanya disebutkan bahwa terdapat penurunan dalam ketahanan dan
kemampuan dalam menanggapi stres. Proses menua bersifat individual, sehingga
dipikirkan kepekaan seseorang terhadap penyakit adalah genetik(Kane dkk,
2012)
b. Faktor Psikososial
Dalam teori psikodinamikanya, penyebab depresi adalah kehilangan objek yang
dicintai. Ada sejumlah faktor psikososial yang diprediksi sebagai penyebab gangguan
mental pada lanjut usia yang pada umumnya berhubungan dengan kehilangan. Faktor
psikososial tersebut adalah hilangnya peranan sosial, hilangnya otonomi, kematian
teman atau sanak saudara, penurunan kesehatan, peningkatan isolasi diri,
keterbatasan finansial, dan penurunan fungsi kognitif (Kaplan, 2010), sedangkan
menurut Kane, faktor psikososial meliputi penurunan percaya diri, kemampuan untuk
mengadakan hubungan intim, penurunan jaringan sosial, kesepian, perpisahan,
kemiskinan dan penyakit fisik (Kane, 2012).
Faktor psikososial yang mempengaruhi depresi meliputi: peristiwa kehidupan
dan stressor lingkungan, kepribadian, psikodinamika, kegagalan yang berulang, teori
kognitif dan dukungan sosial (dukungan keluarga), (Kaplan, 2013).
Peristiwa kehidupan dan stresor lingkungan. Peristiwa kehidupan yang
menyebabkan stres, lebih sering mendahului episode pertama gangguan mood dari
episode selanjutnya. Para klinisi mempercayai bahwa peristiwa kehidupan
memegang peranan utama dalam depresi, klinisi lain menyatakan bahwa peristiwa
kehidupan hanya memiliki peranan terbatas dalam onset depresi. Stressor lingkungan
yang paling berhubungan dengan onset suatu episode depresi adalah kehilangan
pasangan (Kaplan, 2013). Stressor psikososial yang bersifat akut, seperti kehilangan
orang yang dicintai, atau stressor kronis misalnya kekurangan finansial yang
berlangsung lama, kesulitan hubungan interpersonal, ancaman keamanan dapat
menimbulkan depresi.
Penelitian yang dilakukan oleh Wulandari (2014) menemukan bahwa hubungan
partisipasi sosial kurang, partisipasi sosial cukup, dan gangguan fungsional sedang
dengan kejadian depresi pada lanjut usia di panti wreda mendapatkan nilai p<0,05,
sehingga dinyatakan semua faktor risiko yang diteliti ada hubungan dengan kejadian
depresi pada lansia. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa status perkawinan
orang tua, jumlah sanak saudara, status sosial keluarga, perpisahan orang tua,
perceraian, fungsi perkawinan atau struktur keluarga banyak berperan dalam
terjadinya gangguan.
Faktor psikososial yang mempengaruhi depresi lansia, telah ditunjukkan dalam
sebuah penelitian oleh Siti Yuliharni (2017), bahwa dukungan sosial memiliki
korelasi negatif yang tinggi dan bermakna terhadap timbulnya gejala-gejala depresi
lanjut usia. Depresi terjadi lebih banyak pada umur yang lebih tua dan dukungan
keluarga yang rendah. Faktor-faktor psikososial usia lanjut merupakan permasalahan
yang sangat rawan membebani kehidupannya yang pada gilirannya dapat
mempengaruhi gangguan fisik, sosial, dan mentalnya.
Penelitian lain yang dilakukan oleh Manabung (2013) juga menunjukkan bahwa
terjadinya stres pada psikososial adalah dapat disebabkan oleh takut akan datangnya
kematian namun dukungan sosial keluarga memiliki pengaruh yang lebih tinggi.
Terjadinya depresi pada lansia dapat disebabkan oleh beberapa faktor seperti
gangguan fisik, isolasi sosial dan kesepian, sikap dari lanjut usia, penyangkalan, dan
pengabaian terhadap proses penuaan normal.
Faktor kepribadian. Beberapa ciri kepribadian tertentu yang terdapat pada
individu, seperti kepribadian dependen, anankastik, histrionik, diduga mempunyai
resiko tinggi untuk terjadinya depresi. Sedangkan kepribadian antisosial dan paranoid
(kepribadian yang memakai proyeksi sebagai mekanisme defensif) mempunyai
resiko yang rendah. Kepribadian dasar seseorang amat ditentukan pada masa kanak-
kanak. Salah satunya adalah lingkungan sosial. Peristiwa tidak menyenangkan pada
masa kecil dapat mempengaruhi perilaku dan kepribadian seseorang ketika ia
dewasa. Faktor psikodinamika. Berdasarkan teori psikodinamika Freud, dinyatakan
bahwa kehilangan objek yang dicintai dapat menimbulkan depresi. Upaya untuk
mengerti depresi, Sigmud Freud sebagaimana dikutip Kaplan (2013) mendalilkan
suatu hubungan antara kehilangan objek dan melankolia.
Kaplan (2013) menyatakan bahwa kekerasan yang dilakukan pasien depresi
diarahkan secara internal karena identifikasi dengan objek yang hilang. Freud
percaya bahwa introjeksi mungkin merupakan cara satu-satunya bagi ego untuk
melepaskan suatu objek, ia membedakan melankolia atau depresi dari duka cita atas
dasar bahwa pasien terdepresi merasakan penurunan harga diri yang melanda dalam
hubungan dengan perasaan bersalah dan mencela diri sendiri, sedangkan orang yang
berkabung tidak demikian. Faktor kognitif. Adanya interpretasi yang keliru terhadap
sesuatu, menyebabkan distorsi pikiran menjadi negatif tentang pengalaman hidup,
penilaian diri yang negatif, pesimisme dan keputusasaan. Pandangan yang negatif
tersebut menyebabkan perasaan depresi.
3. Derajat Depresi dan Penegakan Diagnosis
Gangguan depresi pada usia lanjut ditegakkan berpedoman pada PPDGJ III (Pedoman
Penggolongan Diagnostik Gangguan Jiwa III) yang merujuk pada ICD 10 (International
ClassificationDiagnostic 10). Gangguan depresi dibedakan dalam depresi berat, sedang,
dan ringan sesuai dengan banyak dan beratnya gejala serta dampaknya terhadap fungsi
kehidupan seseorang(Soejono dkk, 2014).
Gejala Utama
a. Perasaan depresif
b. Hilangnya minat dan semangat
c. Mudah lelah dan tenaga hilang
Gejala Lain
a. Konsentrasi dan perhatian menurun
b. Harga diri dan kepercayaan diri menurun
c. Perasaan bersalah dan tidak berguna
d. Pesimis terhadap masa depan
e. Gagasan membahayakan diri atau bunuh diri
f. Gangguan tidur
g. Gangguan nafsu makan
h. Menurunnya libido
Tabel 2.1. Penggolongan Depresi Menurut ICD-10 (Soejono dkk, 2014)
Tingkat Gejala Gejala Lain Fungsi Keterangan
Depresi Utama
Ringan 2 2 Baik -
Sedang 2 3–4 Terganggu Nampak
distress
Berat 3 >4 Sangat Sangat distress
terganggu

4. Pengaruh Sosial Budaya Terhadap Depresi Pada Lansia


Berdasarkan undang-undang kesehatan No.23 Tahun 1992 disebutkan bahwa kesehatan
merupakan keadaan sejahtera dari badan, jiwa, dan sosial yang memungkinkan setiap
orang hidup produktif secara sosial dan ekonomi (Notoatmodjo, 2015). Berikut ada
beberapa faktor sosial yang mempengaruhi kejadian depresi pada lansia.
a. Pendidikan dan Pengetahuan
Umumnya lansia memiliki tingkat pendidikan yang rendah. Rendahnya tingkat
pendidikan ini berkorelasi positif dengan buruknya kondisi sosial ekonomi sebagian
besar lansia, rendahnya derajat kesehatan dan ketidakmandirian (bergantung pada
keluarga lain) lansia secara ekonomi. Tingkat pendidikan ini mempunyai hubungan
dengan tingkat pengetahuan, serta tingkat penghasilan seseorang. Orang yang
mempunyai pendidikan dan pengetahuan cenderung akan meningkat penghasilannya
sehingga jika mereka sakit akan memilih sarana kesehatan yang lebih baik. Oleh
karenanya semua ini akan berdampak terhadap adanya usia harapan Tingkat Depresi
Gejala Utama Gejala lain Fungsi Keterangan Ringan 2 2 Baik - Sedang 2 3-4
Terganggu Nampak distress Berat 3 > 4 Sangat Terganggu Sangat distress hidup yang
semakin meningkat. Pendidikan sangat berpengaruh terhadap terjadinya tingkat
depresi di karenakan tingkat pendidikan lansia baik dari tingkat SD, SMP, SMA,
hingga perguruan tinggi akan mempengaruhi kemampuan lansia dalam memahami
setiap permasalahan dan mempengaruhi kemampuannnya dalam mengambil
keputusan. Kondisi ini terkadang menjadi penyebab terjadinya depresi di pengaruhi
adanya pengetahuan dan ekonomi dari lansia tersebut (Notoatmodjo, 2015).
b. Dukungan Keluarga
Depresi pada lanjut usia dapat terjadi simptom yang kompleks yang disebabkan oleh
gangguan fisik maupun kognitif dan stresor dari luar Dukungan sosial sangat
dibutuhkan para lanjut usia dalam menyesuaikan diri menghadapi stresor psikososial
terutama stresor yang berhubungan dengan kehilangan. Populasi lanjut usia yang ada
yaitu sekitar 60-80%, diperkirakan dalam kondisi tidak berdaya dan membutuhkan
pertolongan keluarga, untuk keperluan sehari – hari yang bermakna. Hampir semua
populasi lanjut usia lebih membutuhkan dukungan emosional daripada finansial.
Dukungan sosial yang kurang sering dihubungkan dengan sindroma depresi. Pattern
menyebutkan bahwa subjek yang dilaporkan tidak mempunyai seseorang untuk
menceritakan masalah atau perasaan pribadinya, tidak mempunyai seseorang untuk
meminta pertolongan dalamm kondisi kritis, tidak ada seseorang untuk diminta
nasihat dalam mengambil keputusan penting, dan tidak ada seseorang dalam hidup
mereka yang membuat mereka merasa dicintai dan diperhatikan ternyata lebih mudah
menderita depresi .
c. Suku
Indonesia adalah bangsa yang memiliki keanekaragaman budaya yang terbentang dari
Sabang sampai Merauke dengan latar belakang etnis, suku dan tata kehidupan sosial
yang berbeda satu dengan yang lain. Hal ini telah memberikan suatu formulasi
struktur sosial masyarakat yang turut mempengaruhi tingkat terjadinya depresi pada
lansia. Banyak sekali penemuan para ahli sosiolog dan ahli gerontologi menyatakan
bahwa faktor sosial sangat berperan terhadap proses terjadinya tingkah laku atau
perbuatan seseorang yang mengakibatkan terjadinya depresi, sehingga Keragaman
dan keunikan budaya yang dimiliki oleh suatu etnitas masyarakat tertentu merupakan
wujud dari gagasan, rasa, tindakan dan karya sangat menjiwai aktivitas keseharian
baik itu dalam tatanan sosial, teknis maupun ekonomi telah turut membentuk karakter
fisik seseorang, seperti tingkah laku, sikap dan perbuatan (Beny, 2014).

C. Kepribadian
1. Pengertian Perkembangan Kepribadian
Perkembangan adalah proses atau tahapan pertumbuhan ke arah yang lebih baik.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia perkembangan adalah suatu perkembangan
menjadi lebih sempurna dalam hal akal, pengetahuan, dan lain-lain.
a. Dalam dictionary of psycology dan The Penguin Dictinary of psycology, arti
perkembangan pada prinsipnya adalah tahapan-tahapan perubahan yang progresif
yang terjadi dalam rentang kehidupan manusia dan organisme lainnya, tanpa
membedakan aspek-aspek yang terdapat dalam diri organisme-organisme tersebut.
b. Kepribadian dalam bahasa Inggris adalah personality.Istilah itu berasal dari bahasa
Yunani, yaitu persona, yang berarti topeng dan personare, yang artinya
menembus.Istilah topeng berkenaan dengan salah satu atribut yang dipakai oleh para
pemain sandiwara pada zaman Yunani Kuno.Dengan topeng yang dikenakan
diperkuat dengan gerak-gerik ucapannya, karekter tokoh yang diperankan tersebut
dapat menembus keluar, dalam arti dapat dipahami oleh para penonton.
Kemudian, kata persona yang semula berarti topeng, diartikan sebagai pemainnya, yang
memainkan peranan seperti digambarkan dalam topeng tersebut. Saat ini, istilah personality
oleh para ahli dipakai untuk menunjukan atribut tentang individu, atau menggambarkan apa,
mengapa, dan bagaimana tingkah laku manusia.
Banyak ahli yang telah merumuskan definisi kepribadian berdasarkan paradigama yang
mereka yakini dn focus analisis dari teori yang mereka berkembang.
Berikut ini adalah pendapat beberapa ahli yang definisinya dapat dipakai acuan dalam
mempelajari kepribadian:
a. Gordon W. W. Allport
Pada mulanya, Allport mendefinisikan kepribadian sebagai “What a man really is”,
tetapi definisi tersebut dipandang tidak memadai lalu dia merevisinya. Definisi yang
kemudian dirumuskan oleh Alport adalah “kepribadian adalah organisasi dinamis
dalam individu sebagai system psikofisis yang menentukan cara yang khas dalam
menyesuaikan diri terhadap lingkungan”

b. Krech dan Crutchfield


David Krech dan Richard S. Crutchfield 2012 dalam bukunya Elements of
Psychology merumuskan kepribadian, adalah integrasi dari semua karakteristik
individu ke dalam suatu kesatuan unik yang menentukan dan dimodifikasi oleh
usaha-usahanya dalam menyesuaikan diri terhadap lingkungan yang berubah terus-
menerus.
c. Adolf Heuken S.J
Kepribadian adalah pola menyeluruh semua kemampuan, perbuatan serta kebiasaan
seseorang, baik jasmani, mental, rohani, emosional maupun social.Semua ini telah
ditata dalam caranya yang khas di bawah berbagai pengaruh dari luar.Pola ini
terwujud dalam tingkah lakunya, dalam usaha menjadi manusia sebagaimana yang
dikhendakinya.
Berdasarkan semua definisi tersebut, dapat disimpulkan pokok-pokok pengertian
kepribadian sebagai berikut :
a. Kepribadian merupakan kesatuan yang kompleks, yang terdiri ats psikis, seperti
inteligensi, sifat, sikap, minat, cita-cita dan sebagainya, serta aspek fisik, seperti
bentuk tubuh, kesehatan jasmani, dan sebagainya.
b. Kesatuan dari kedua aspek tersebut berinteraksi dengan lingkungannya yang
mengalami perubahan secara terus menerus dan terwujudlah pola tingkah laku yang
khas atau unik.
c. Kepribadian bersifat dinamis, artinya selalu mengalami perubahan, tetapi dalam
perubahan tersebut terdapat pola-pola yang bersifat tetap.
d. Kepribadian terwujud berkenaan dengan tujuan-tujuan yang ingin dicapai.
2. Pembentukan Kepribadian
Mengenai pengalaman-pengalaman yang ikut membentuk kepribadian, kita dapat
membedakannya dalam dua golongan :
a. Pengalaman yang umum, yaitu yang dialami oleh tiap-tiap individu dalam
kebudayaan tertentu. Pengalaman ini erat hubungannya dengan fungsi dan peranan
seseorang dalam masyarakat. Misalnya, sebagai laki-laki atau wanita seseorang
mempunyai hak dan kewajiban tertentu. Beberapa dari peran itu dipilih sendiri oleh
orang yang bersangkutan tetapi masih tetap terikat pada norma-norma masyarakat,
misalnya jabatan atau pekerjaan. Meskipun demikian, kepribadian seseorang tidak
dapat sepenuhnya diramalkan atau dikenali hanya berdasarkan pengetahuan tentang
struktur kebudayaan dimana orang itu hidup. Hal ini disebabkan karena :
 Pengaruh kebudayaan terhadap seseorang tidaklah sama karena medianya (orang
tua, saudara, media massa dan lain-lain) tidaklah sama pula pada setiap orang.
Setiap orang tua atau media massa mempunyai pandangan dan pendapatnya
sendiri sehingga orang-orang yang menerima pandangan dan pendapat yang
berbeda-beda itu akan berbeda-beda pula pendiriannya.
 Tiap individu mempunyai pengalaman-pengalaman yang khusus, yang terjadi
pada dirinya sendiri.
b. Pengalaman yang khusus, yaitu yang khusus dialami individu sendiri. Pengalaman
ini tidak tergantung pada status dan peran orang yang bersangkutan dalam
masyarakat. Pengalaman-pengalaman yang umum maupun yang khusus di atas
memberi pengaruh yang berbeda-beda pada tiap individu-individu itu pun
merencanakan pengalaman-pengalaman tersebut secara berbeda-beda pula sampai
akhirnya ia membentuk dalam dirinya suatu stuktur kepribadian yang tetap
(permanen). Proses integrasi pengalaman-pengalaman ke dalam kepribadian yang
makin lama makin dewasa, disebut proses pembentukan identitas diri.
3. Tipe-Tipe Kepribadian
Pada dasarnya setisp orang memiliki kepribadian yang berbeda satu sama lain.
Penelitian tentang kepribadian manusia dilakukan para ahli sejak dulu kala. Kita
mengenal Hippocrates dan Galenus yang mengemukakan bahwa manusia bisa dibagi
menjadi empat golongan menurut keadaan zat cair yang ada dalam tubuhnya.
a. Melancholicus (melankolisi), yaitu orang-orang yang banyak empedu hitamnya,
sehingga orang-orang dengan tipe ini selalu bersikap murung atau muram, pesimistis
dan selalu menaruh rasa curiga.
b. Sanguinicus (sanguinisi), yakni orang-orang yang banyak darahnya, sehingga orang-
orang tipe ini selalu menunjukkan wajah berseri-seri, periang atau selalu gembira,
dan bersikap optimistis.
c. Flegmaticus (flegmatisi), yaitu orang-orang yang banyak lendirnya. Orang-orang
seperti ini sifatnya lamban dan pemalas, wajahnya selalu pucat, pesimis,
pembawaannya tenang, pendiriannya tidak mudah berubah.
d. Cholericus (kolerisi), yakni yang banyak empedu kuningnya. Orang bertipe ini
bertubuh besar dan kuat, namun penaik darah dan sukar mengendalikan diri, sifatnya
garang dan agresif.
C.G. Jung, seorang ahli penyakit jiwa dari Swiss, membuat pembagian tipe manusia
dengan cara lain lagi. Ia menyatakan bahwa perhaian manusia tertuju pada dua arah,
yakni keluar dirinya yang disebut extrovert, dan kedalam dirinya yang disebut introvert.
Jadi, menurut jung tipe manusia bisa dibagi menjadi dua golongan besar, yaitu :
a. Tipe extrovert, yaitu orang-orang yang perhatiannya lebih diarahkan keluar dirinya,
kepada orang-orang lain dan kepada masyarakat.
b. Tipe introvert, orang-orang yang perhatiannya lebih mengarah pada dirinya.
c. Orang yang tergolong tipe extrovert mempunyai sifat-sifat: berhati terbuka, lancar
dalam pergaulan, ramah, penggembira, kontak dengan lingkungan besar sekali.
Mereka mudah memegaruhi dan mudah pula dipengaruhi oleh lingkungannya.
Adapun orang-orang yang tergolong introvert memiliki sifat-sifat : kurang pandai
bergaul, pendiam, sukar diselami batinnya, suka mnyendiri, bahkan sering takut
kepada orang lain.
Kretschmer, ahli penyakit jiwa berkebangsaan Jerman, mengemukakan adanya
hubungan yang erat antara tipe tubuh dengan sifat dan wataknya. Ia memebagi manusia
dalam empat golongan menurut tipe atau bentuk tubuhnya masing-masing, yaitu berikut
ini :
a. Atletis, dengan ciri-ciri tubuh: besar, berotot kuat, kekar dan tegap, berdada lebar.
b. Astenis, dengan ciri-ciri: tinggi, kurus, tidak kuat, bahu sempit, lengan, dan kaki
kecil.
c. Piknis, dengan ciri-ciri: bulat, gemuk, pendek, muka bulat, leher pejal.
d. Displastis, merupakan bentuk tubuh campuran dari ketiga tipe diatas.
Tipe watak orang yang berbentuk atletis dan astenis adalah schizothim, yang menurut
Kretschmer mempunyai sifat-sifat, antara lain : sulit bergaul, mempunyai kebiasaan yang
tetap, sukar menyesuaikan diri dengan situasi baru, kelihatan sombong, egoistis dan
bersifat ingin berkuasa, kadang-kadang optimis, kadang pula pesimis, selalu berpikir
terlebih dahulu masak-masak sebelum bertindak.
Lain halnya dengan orang yang memiliki bentuk tubuh piknis, atau tipe wataknya
sering disebut siklithim. Sifat orang-orang ini adalah mudah bergaul, suka humor, mudah
berubah-ubah stemming-nya, mudah menyesuaikan diri dengan situasi yang baru, lekas
memaafkan kesalahan orang lain, tetapi kurang setia, dan tidak konsekuen.
4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Kepribadian
Kepribadian itu berkembang dan mengalami perubahan-perubahan, tetapi di dalam
perkembangan makin terbentuklah pola-pola yang tetap, sehingga merupakan ciri-ciri
yang khas dan unik bagi setiap individu. Menurut Singgih D. Gunarsa, factor-faktor
yang dapat mempengaruhi kepribadian seseorang adalah:
a. Factor Biologis, yaitu yang berhubungan dengan keadaan jasmani yang meliputi
keadaan pencernaan, pernafsan, peresaran darah. Kelenjar –kelenjar urat syaraf, dan
lain-lain.
b. Factor social, yaitu masyarakat yakni manusia-manusia lain disekitar individu, adat
istiadat, peraturan-peraturan, bahas, dan sebagainya yang berlaku dalam masyarakat
itu.
c. Factor kebudayaan, yaitu kebudayaan itu tumbuh dan berkembang didalam
masyarakat dan tentunya kebudayaan dari tiap-tiap tempat yang berbeda akan
berbeda pula kebudayaannya. Perkembangan dan pembentukan kepribadian dari
masing-masing orang tidak dapat dipisahkan dari kebudayaan masyarakat dimana
anak itu dibesarkan
Sedang menurut Husain Mazhari, factor-faktor yang membentuk kepribadian anak ada
empat, yaitu :
 Peranan cinta kasih dalam pembinaan kepribadian
 Tidak menghina dan mengurangi hak anak
 Perhatian pada perkembangan kepribadian
 Menghindari penggunaan kata kotor

5. Karakteristik Kepribadian yang Sehat (healthy personality) dan Karakteristik


Kepribadian yang Tidak Sehat.
Menurut E. B. Hurlock (2017) karakteristik kepribadian yang sehat ditandai dengan ciri-
ciri sebagai berikut :
a. Mampu menilai diri secara realistic. Individu yang kepribadiannya sehat mampu
menilai diri apa adanya, baik kelebihan maupun kelemahannya, menyangkut fisik
(postur tubuh, wajah, keutuhan dan kesehatan) dan kemampuan (kecerdasan dan
keterampilan).
b. Mampu menilai situasi realistic. Individu dapat menghadapi situasi atau kondisi
kehidupan yang dialaminya secara realistic dan mau menerima secara wajar. Dia
tidak mengharapkan kondisi kehidupan itu sebagai suatu yang harus sempurna.
c. Mampu menilai prestasi yang diperoleh secara realistic. Individu dapat menilai
prestasinya (keberhasilan yang diperolehnya) secara realistic dan mereaksinya secara
rasional. Dia tidak menjadi sombong, angkuh atu mengalami “Superiority complex”,
apabila memperoleh prestasi yang tinggi, atau kesuksesan dalam hidupnya. Apabila
mengalami kegagalan, dia tiak mereaksinya dengan frustasi, tetapi dengan sikap
optimistic (penuh harapan).
d. Menerima tanggung jawab. Individu yang sehat adalah individu yang bertanggung
jawab. Dia mempunyai keyakinan terhadap kemampuannya untuk mengatasi
masalah-masalah kehidupan yang dihadapinya.
e. Kemandirian (autonomy). Individu memiliki sifat mandiri dalam cara berfikir dan
bertindak, mampu mengambil keputusan, mengarahkan dan mengembangkan diri
serta menyesuaikan diri dengan norma yang berlaku di lingkungannya.
f. Dapat mengontrol emosi. Individu merasa nyaman dengan emosinya. Dia dapat
menghadapi situasi frustasi, depresi atau stress secara positif atau konstruktif, tidak
deskruptif (merusak)
g. Berorientasi tujuan. Setiap orang mempunyai tujuan yang ingin dicapainya. Namun,
merumuskan tujuan itu ada yang realistic dan ada yang tidak realistic. Individu yang
sehat kepribadiannya dapat merumuskan tujuannya berdasarkan pertimbangan secara
matang (rasional), tidak atas dasar paksaan dari luar. Dia berupaya untuk mencapai
tujuan tersebut dengan cara mengembangkan kepribadian (wawasan) dan
keterampilan.
h. Berorientasi keluar. Individu yang sehat memiliki orientasi keluar (ekstrovert). Dia
bersifat respek (hormat), empati terhadap orang lain mempunyai kepedulian terhadap
situasi atau masalah-masalah lingkungannya dengan sifat-sifat individu yang
berorientasi keluar, yaitu :
 Menghargai dan menilai orang lain seperti dirinya sendiri
 Merasa nyaman dan terbuka terhadap orang lain
 Tidak membiarkan dirinya dimanfaatkan untuk menjadi korban orang lain dan
tidak mengorbankan orang lain karena kekecewaan dirinya.
 Penerimaan social. Individu dinilai positif oleh orang lain, mau berpartisipasi
aktif dalam kegiatan social, dan memiliki sikap bersahabat dalam berhubungan
dengan orang lain.
 Memiliki filsafat hidup. Dia mengarahkan hidupnya berdasarkan filsafat hidup
yang berakar dari keyakinan agama yang dianutnya.
 Berbahagia. Individu yang sehat, situasi kehidupannya diwarnai kebahagiaan.
Kebahagiaan ini didukung oleh factor-faktor achievement (pencapaian prestasi),
acceptance (penerimaan dari orang lain), dan affection (perasaan dicintai atau
disayangi orang lain).
Adapun karakteristik kepribadian yang tidak sehat, ditandai dengan:
 Mudah marah (tersinggung)
 Menunjukan kekhawatiran dan kecemasan
 Sering merasa tertekan (stress atau depresi)
 Bersikap kejam atau senang mengganggu orang lain yang usianya lebih muda
atau terhadap binatang
 Ketidakmampuan untuk menghindar dari perilaku menyimpang meskipun sudah
diperingati atau dihukum
 Mempunyai kebiasaan berbohong
 Hiperaktif
 Bersikap memusuhi semua bentuk otoritas
 Senang mengkritik/mencemooh orang lain
 Sulit tidur
 Kurang memiliki tanggung jawab
 Sering mengalami pusing kepala (meskipun penyebabnya bukan bersifat
organis)
 Kurang memiliki kesadaran untuk mentaati ajaran agama
 Bersikap psimis dalam menghadapi kehidupan
 Kurang bergairah (bermuram durja) dalam menjalani kehidupan.
6. Teori-Teori Kepribadian
Ada empat teori kepribadian utama yang satu sama lain tentu saja berbeda, yakni
teori kepribadian psikoanalisis, teori-teori sifat (trait), teori kepribadian behaviorisme,
dan teori psikoligi kognitif.
a. Teori Kepribadian Psikoanalisis
Dalam mencoba mamahami sistem kepribadian manusia, Freud membangun model
kepribadian yang saling berhubungan dan menimbulkan ketegangan satu sama lain.
Konflik dasar dari tiga sistem kepribadian tersebut menciptakan energi psikis
individu. Energi dasar ini menjadi kebutuhan instink individu yang menuntut
pemuasan. Tiga sistem tersebut adalah id, ego, dan superego. Id bekerja
menggunakan prinsip kesenangan, mencari pemuasan segera impuls biologis; ego
mematuhi prinsip realita, menunda pemuasan sampai bisa dicapai dengan cara yang
diterima masyarakat, dan superego (hati nurani;suara hati) memiliki standar moral
pada individu. Jadi jelaslah bahwa dalam teori psikoanalisis Freud, ego harus
menghadapi konflik antara id ( yang berisi naluri seksual dan agresif yang selalu
minta disalurkan) dan super ego (yang berisi larangan yang menghambat naluri-
naluri itu). Selanjutnya ego masih harus mempertimbangkan realitas di dunia luar
sebelum menampilkan perilaku tertentu.
Namun, bagi Erikson meskipun ia mengakui adanya id, ego, dan superego,
menurutnya, yang terpenting bukannya dorongan seks dan bukan pula koflik antara
id dan superego. Bagi Erikson, manusia adalah makhluk rasional yang pikiran,
perasaan, dan perilakunya dikendalikan oleh ego. Jadi ego itu aktif, bukan pasif
seperti pada teori freud, dan merupakan unsur utama dari kepribadian yang lebih
banyak dipengarihi oleh faktor sosial daripada dorongan seksual :
 Teori-Teori Sifat (Trait Theories)
Teori sifat ini dikenal sebagai teori-teori tipe (type theories) yang menekankan
aspek kepribadian yang bersifat relatif stabil atau menetap. Tepatnya, teori-teori
ini menyatakan bahwa manusia memiliki sifat atau sifat-sifat tertentu, yakni pola
kecenderungan untuk bertingkah laku dengan cara tertentu. Sifat-sifat yang stabil
ini menyebabkan manusia bertingkah laku relatif tetap dari situasi ke situasi.
 Allport membedakan antara sifat umum (general trait) dan kecenderungan
pribadi (personal disposition). Sifat umum adalah dimensi sifat yang dapat
membandingkan individu satu sama lainnya. Kecenderungan pribadi
dimaksudkan sebagai pola atau konfigurasi unik sifat-sifat yang ada dalam diri
individu. Dua orang mungkin sama-sama jujur, namun berbeda dalam hal
kejujuran berkaitan dengan sifat lain. Orang pertama, karena peka terhadap
perasaan orang lain, kadang-kadang menceritakan “kebohongan putih” bagi
orang ini, kepekaan sensitivitas adalah lebih tinggi dari kejujuran. Adapun orang
orang kedua menilai kejujuran lebih tinggi, dan mengatakan apa adanya
walaupun hal itu melukai orang lain. Orang mungkin pula memilki sifat yang
sama, tetapi dengan motif berbeda. Seseorang mungkin berhati-hati karena ia
takut terhadap pendapat orang lain, dan orang lain mungkin hati-hati karena
mengekspresikan kebutuhannya untuk mempertahankan keteraturan hidup.
Menurut Sheldom ada tiga komponen atau dimensi temperamental adalah sebagai
berikut:
 Viscerotonia. Individu yang memiliki nilai viscerotonia yang tinggi, memiliki
sifat-sifat, antara lain suka makan enak, pengejar kenikmatan, tenang toleran,
lamban, santai, pandai bergaul.
 Somatotonia. Individu dengan sifat somatotonia yang tinggi memiliki sifat-sifat
seperti berpetualang dan berani mengambil resiko yang tinggi, membutuhkan
aktivitas fisik yang menantang, agresif, kurang peka dengan perasaan orang lain,
cenderung menguasai dan membuat gaduh.
 Cerebretonia. Pribadi yang mempunyai nilai cerebretonia dikatakan bersifat
tertutup dan senang menyendiri, tidak menyukai keramaian dan takut kepada
orang lain, serta memiliki kesadaran diri yang tinggi. Bila sedang di rundung
masalah, Ia memiliki reaksi yang cepat dan sulit tidur.
b. Teori Kepribadian Behaviorisme
Menurut Skinner, individu adalah organisme yang memperoleh perbendaharaan
tingkah lakunya melalui belajar. Dia bukanlah agen penyebab tingkah laku,
melainkan tempat kedudukan atau suatu poin yang faktor-faktor lingkungan dan
bawaan yang khas secara bersama-sama menghasilkan akibat (tingkah laku) yang
khas pula pada individu tersebut. Selanjutnya, Skinner telah menguraikan sejumlah
teknik yang digunakan untuk mengontrol perilaku. Tekhnik tersebut antara lain
adalah sebagai berikut :
 Pengekangan fisik (psycal restraints)
 Misalnya, beberapa dari kita menutup mulut untuk menghindari diri dari
menertawakan kesalahan orang lain. Orang kadang-kadang melakukannya
dengan bentuk lain, seperti berjalan menjauhi seseorang yang tealh menghina ita
agar tidak kehilangan kontrol dan menyerang orang tersebut secara fisik.
 Bantuan fisik (physical aids)
 Misalnya, pengendara truk meminum obat perangsang agar tidak mengatuk saat
menempuh perjalanan jauh. Bantuan fisik bisa juga digunakan untuk
memudahkan perilaku tertentu, yang bisa dilihat pada orang yang memiliki
masalah penglihatan dengan cara memakai kacamata.
 Mengubah kondisi stimulus (changing the stimulus conditions)
 Misalnya, orang yang berkelebihan berat badan menyisihkan sekotak permen
dari hadapannya sehingga dapat mengekang diri sendiri.
 Memanipulasi kondisi emosional (manipulating emotional conditions)
 Misalnya, beberapa orang menggunakan tekhnik meditasi untuk mengatasi stess.
 Melakukan respons-respons lain (performing alternativeresponses)
 Misalnya, untuk menahan diri agar tidak menyerang orang yang sangat tidak kita
sukai, kita mungkin melakukan tindakan yang tidak berhubungan dengan
pendapat kita tentang mereka.
 Menguatkan diri secara positif (positif self-reinforcement)
 Misalnya, seorang pelajar menghadiahi diri sendiri karena telah belajar keras dan
dapat mengerjakan ujian dengan baik, dengan menonton film yang bagus.
 Menghukum diri sendiri (self punishment)
 Misalnya, seorang mahasiswa menghukum dirinya sendiri karena gagal
melakukan ujian dengan baik dengan cara menyendiri dan belajar kembali
dengan giat.
c. Teori Psikologi Kognitif
Menurut para ahli, teori psikologi kognitif dapat dikatakan berawal dari
pandangan psikologi Gestalt. Mereka berpendapat bahwa dalam memersepsi
lingkungannya, manusia tidak sekadar mengandalkan diri pada apa yang diterima
dari penginderaannya, tetapi masukan dari pengindraan itu, diatur, saling
dihubungkan dan diorganisasikan untuk diberi makna, dan selanjutnya dijadikan
awal dari suatu perilaku. Pandangan teori kognitif menyatakan bahwa organisasi
kepribadian manusia tidak lain adalah elemen-elemen kesadaran yang satu sama lain
saling terkait dalam lapangan kesadaran (kognisi). Dalam teori ini, unsur psikis dan
fisik tidak dipisahkan lagi, karena keduanya termasuk dalam kognisi manusia.
Bahkan, dengan teori ini dimungkinkan juga faktor-faktor diluar diri dimasukkan
(diwakili) dalam lapangan psikologis atau lapangan kesadaran seseorang.
7. Pengukuran-Pengukuran Kepribadian
Sifat kepribadian biasa diukur melalui angka rata-rata pelaporan dari (self-
report)kuesioner kepribadian (untuk sifat khusus) atau penelusuran kepribadian
seutuhnya (personality inventory, serangkaian instrumen yang menyingkap sejumlah
sifat). Ada beberapa macam cara untuk mengukur atau menyelidiki kepribadian. Berikut
ini adalah beberapa diantaranya :
a. Observasi Direct
Observasi direk berbeda dengan observasi biasa. Observasi direk mempunyai
sasaran yang khusus , sedangkan observasi biasa mengamati seluruh tingkah laku
subjek. Observasi direk memilih situasi tertentu, yaitu saat dapat diperkirakan
munculnya indikator dari ciri-ciri yang hendak diteliti, sedangkan observasi biasa
mungkin tidak merencanakan untuk memilih waktu. Observasi direct diadakan dalam
situasi terkontrol, dapat diulang atau dapat dibuat replikasinya. Misalnya, pada saat
berpidato, sibuk bekerja, dan sebagainya.Ada tiga tipe metode dalam observasi direk
yaitu:
 Time Sampling Method
Dalam time sampling method, tiap-tiap subjek diselidiki pada periode waktu
tertentu. Hal yang diobservasi mungkin sekadar muncul tidaknya respons, atau
aspek tertentu.
 Incident Sampling Method
Dalam incident sampling method, sampling dipilih dari berbagai tingkah laku
dalam berbagai situasi. Laporan observasinya mungkin berupa catatan-catatan
dari Ibu tentang anaknya, khusus pada waktu menangis, pada waktu mogok
makan, dan sebgainya. Dalam pencatatan tersebut hal-hal yang menjadi
perhatian adalah tentang intensitasnya, lamanya, juga tentang efek-efek berikut
setelah respons.
 Metode Buku Harian Terkontrol
Metode ini dilakukan dengan cara mencatat dalam buku harian tentang tingkah
laku yang khusus hendak diselidiki oleh yang bersangkutan sendiri. Misalnya
mengadakan observasi sendiri pada waktu sedang marah. Syarat penggunaan
metode ini, antara lain, bahwa peneliti adalah orang dewasa yang cukup
inteligen dan lebih jauh lagi adalah benar-benar ada pengabdian pada
perkembangan ilmu pengetahuan.
b. Wawancara (Interview)
Menilai kepribadian dengan wawancara (interview) berarti mengadakan tatap
muka dan berbicara dari hati ke hati dengan orang yang dinilai. Dalam psikologi
kepribadian, orang mulai mengembangkan dua jenis wawancara, yakni:
 Stress interview
Stress interview digunakan untuk mengetahui sejauh mana seseorang dapat
bertahan terhadap hal-hal yang dapat mengganggu emosinya dan juga untuk
mengetahui seberapa lama seseorang dapat kembali menyeimbangkan emosinya
setelah tekanan-tekanan ditiadakan. Interviewer ditugaskan untuk mengerjakan
sesuatu yang mudah, kemudian dilanjutkan dengan sesuatu yang lebih sukar.
 Exhaustive Interview
Exhaustive Interview merupakan cara interview yang berlangsung sangat lama;
diselenggarakn non-stop. Cara ini biasa digunakan untuk meneliti para tersangka
dibidang kriminal dan sebagai pemeriksaan taraf ketiga.
c. Tes proyektif
Cara lain untuk mengatur atau menilai kepribadian adalah dengan menggunakan
tes proyektif. Orang yang dinilai akan memprediksikan dirinya melalui gambar atau
hal-hal lain yang dilakukannya. Tes proyektif pada dasarnya memberi peluang
kepada testee (orang yang dites) untuk memberikan makna atau arti atas hal yang
disajikan; tidak ada pemaknaan yang dianggap benar atau salah.
Jika kepada subjek diberikan tugas yang menunut penggunaan imajinasi, kita dapat
menganalisis hasil fantasinya untuk menguur cara dia merasa dan berpikir. Jika
melakukan kegiatan yang bebas, orang cenderung menunjukkan dirinya,
memantulkan (proyeksi) kepribadiannya untuk melakukan tugas yang kreatif. Jenis
yang termasuk tes proyektif adalah:
 Tes Rorschach
Tes yang dikembangkan oleh seorang dkter psikiatrik Swiss, Hermann
Rorschach, pada tahun 1920-an, terdiri atas sepuluh kartu yang masing-masing
menampilkan bercak tintan yang agak kompleks. Sebagian bercak itu berwarna;
sebagian lagi hitam putih. Kartu-kartu tersebut diperlihatkan kepada mereka
yang mengalami percobaan dalam urutan yang sama. Mereka ditugaskan untuk
menceritakan hal apa yang dilihatnya tergambar dalam noda-noda tinta itu.
Meskipun noda-noda itu secara objektif sama bagi semua peserta, jawaban yang
mereka berikan berbeda satu sama lain. Ini menunjukkan bahwa mereka yang
mengalami percobaan itu memproyeksikan sesuatu dalam noda-noda itu.
Analisis dari sifat jawaban yang diberikan peserta itu memberikan petunjuk
mengenai susunan kepribadiannya.
 Tes Apersepsi Tematik (Thematic Apperception Test/TAT)
Tes apersepsi tematik atau Thematic Apperception Test (TAT),
dikembangkan di Harvard University oleh Hendry Murray pada tahun 1930-an.
TAT mempergunakan suatu seri gambar-gambar. Sebagian adalah reproduksi
lukisan-lukisan, sebagian lagi kelihatan sebagai ilustrasi buku atau majalah. Para
peserta diminta mengarang sebuah cerita mengena tiap-tiap gambar yang
diperlihatkan kepadanya. Mereka diminta membuat sebuah cerita mengenai latar
belakang dari kejadian yang menghasilkan adegan pada setiap gambar, mengenai
pikiran dan perasaan yang dialami oleh orang-orang didalam gambar itu, dan
bagaimana episode itu akan berakhir. Dalam menganalisis respon terhadap kartu
TAT, ahli psikologi melihat tema yang berulang yang bisa mengungkapkan
kebutuhan, motif, atau karakteristik cara seseorang melakukan hubungan
antarpribadinya.
d. Inventori Kepribadian
Inventori kepribadian adalah kuesioner yang mendorong individu untuk
melaporkan reaksi atau perasaannya dalam situasi tertentu. Kuesioner ini mirip
wawancara terstruktur dan ia menanyakan pertanyaan yang sama untuk setiap orang,
dan jawaban biasanya diberikan dalam bentuk yang mudah dinilai, seringkali dengan
bantuan komputer. Menurut Atkinson dan kawan-kawan, investori kepribadian
mungkin dirancang untuk menilai dimensi tunggal kepribadian (misalnya, tingkat
kecemasan) atau beberapa sifat kepribadian secara keseluruhan. Investori
kepribadian yang terkenal dan banyak digunakan untuk menilai kepribadian
seseorang ialah:
 Minnesota Multiphasic Personality Inventory (MMPI)
MMPI terdiri atas kira-kira 550 pernyataan tentag sikap, reaksi emosional,
gejala fisik dan psikologis, serta pengalaman masa lalu. Subjek menjawab tiap
pertanyaan dengan menjawab “benar”, “salah”, atau “tidak dapat mengatakan”.
 Rorced-Choice Inventories
Rorced-Choice Inventories atau Inventori Pilihan-Paksa termasuk
klasifikasi tes yang volunter. Suatu tes dikatakan volunter bila subjek dapat
memilih pilihan yang lebih disukai, dan tahu bahwa semua pilihan itu benar,
tidak ada yang salah. Subjek, dalam hal ini, diminta memilih pilihan yang lebih
disukai, lebih sesuai, lebih cocok dengan minatnya, sikapnya, atau pandangan
hidupnya.
 Humm-Wadsworth Temperament Scale (H-W Temperament Scale)
H-W Temperament Scale dikembangkan dari teori kepribadian Rosanoff
(Muhadjir, 1992). Menurut teori ini, kepribadian memiliki enam komponen,
yang lebih banyak bertolak dari keragaman abnomal, yaitu:
8. Permasalahan Kepribadian dan Faktor penyebabnya
Gangguan kepribadian merupakan ciri kepribadian yang menetap, kronis, dapat
terjadi pada hamper semua keadaan, menyimpang secara jelas dari norma-norma budaya
dan maladaptive serta menyebabkan fungsi kehidupan yang buruk, tidak fleksibel, dan
biasanya terjadi pada akhir masa remaja atau awal masa dewasa.
Hal ini karena pada usia ini masalah-masalah kepribadaian sering bermunculan begitu
luas dan kompleks.
a. Gangguan Kepribadian Paranoid
Gangguan kepribadian paranoid ini ditandai oleh ketidak percayaan terhadap
orang lain dn kecurigaan yang terus-menerus bahwa orang disekitar anda memiliki
motif jahat. Orang dengan gangguan ini cenderung memiliki kepercayaan yang
berlebihan pada pengetahuan dan kemampuan mereka sendiri dan biasanya
menghindari hubungan dekat. Mereka mencari maksud tersembunyi dalam segala hal
dan membaca niat bermusuhan pada tindakan orang lain. Mereka mudah
mempertanyakan kesetiaan teman dan orang yang dicintai dan sering bersikap dingin
dan menjaga jarak dengan orang lain. Mereka biasanya mengalihkan tanggung jawab
kepada orang lain dan cenderung menyimpan dendam dalam waktu yang lama.
Gangguan kepribadian paranoid sulit diobati, karena seringkali sangat mencurigai
para personal medis.Kombinasi obat-obatan dan terapi bicara dapat efektif untuk
memerangi gejala yang lebig merusak akibat gangguan ini.
b. Gangguan Kepribadian Skizoid
Menurut David & Neale dalam Nida UI Hasanat, orange dengan ganguan
kepribadian skixoid tidak memiliki keinginman dan tidak dapat menikmati hubungan
social, serta tidak memiliki teman dekat. Oranng dengan gangguan ini tampak tidak
menarik karena tidak memiliki kehangatan terhadap orang lain dan cenderung untuk
menjauhkan diri. Jarang sekali memiliki emosi yang kuat, tidak tertarik pada seks
dan aktivitas-aktivitas yang menyenangkan. Mereka mungkin menjalani kehidupan
sendiri dengan kebutuhan atau harapan untuk ikatan dengan orang lain yang sangat
kecil. Riwayat kehidupannya mencerminkan minat sendirian pada keberhasilan
pekerjaan yang tidak kompetitif dan sepi yang sukar ditoleransi oleh orang lain.
Kehidupan seksual mereka semata-mata fantasi, dan mereka mungkin menunda
kematangan seksualitas tanpa batas waktu tertentu.Mampu menanamkan sejumlah
besar energy afektif dalam minat yang bukan manusia, seperti matematika dan
astronomi, dan mungkin mereka sangat tertarik pada binatang.Walaupun terlihat
mengucilkan diri, pada suatu waktu ada kemungkinan orang tersebut mampu
menyusun, mengembangkan dan memberikan gagasan yang asli dan kreatif.
c. Gangguan Kepribadian Scizotypal
Banyak yang percaya bahwa gangguan kepribadian schizotypal mewakili
skizofrenia ringan. Kelainan ini ditandai oleh cara berpikir dan memahami yang
aneh, dan individu dengan gangguan ini sering mencari isolasi dari orang lain. Merka
kadang-kadang percaya bahwa mereka memiliki kemampuan indra keenam atau
bahwa mereka terhubung melalui cara-cara tertentu dengan berbagai kejadian yang
(sebenarnya) tidak terhubung sama sekali dengan mereka. Mereka umumnya
berperilaku eksentrik dan mengalami kesulitan berkonsentrasi untuk jangka waktu
yang lama.Perkataan mereka biasanya rumit dan sulit untuk diikuti.
d. Gangguan Kepribadian Antisosial
Kesalah pahaman yang umum adalah gangguan kepribadian antisosial mengacu
kepada orang yang memiliki keterampilan social yang buruk.Namun seringkali yang
terjadi adalah hal sebaliknya.Alih-alih karena kurangnya keterampilan social,
gangguan ini ditandai oleh kurangnya hati nurani.Orang dengan gangguan ini rentan
terhadap perilaku criminal, percaya bahwa korban-korban mereka lemah dan pantas
dimanfaatkan.Antisosial cenderung untuk berbohong dan mencuri.Seringkali, mereka
ceroboh dengan uang dan mengambil tindakan tanpa berpikir tentang
konsekuensinya. Mereka sering agresif dan jauh lebih peduli dengan kebutuhan
mereka sendiri dari pada kebutuhan orang lain.
Sebagian besar penjahat dipenjara memiliki gangguan ini hingga derajat tertentu.
Pengobatan gangguan ini sangat sulit, meskipun gejala gannguan ini sering
berkurang seiring dengan bertambahnya usia.

e. Gangguan Kepribadian Borderline


Gangguan kepribadian borderline ditandai oleh ketidakstabilan suasana hati dan
perasaan rendah diri.Orang dengan gangguan ini rentan terhadap perubahan mood
yang terus-menerus dan kemunculan rasa marah. Sering kali, mereka kan marah pada
diri merka sendiri, menyebabkan luka pada tubuh mereka sendiri. Ancaman dan
tindakan bunuh diri biasa ditemui pada penderita borderline. Borderline berfikir
dengan cara yang sangat hitam-putih dan sering kali sarat konflik dan ketegangan
dalam berhubungan. Mereka juga cepat marah ketika harapan mereka tidak
terpenuhi. Gangguan kepribadian borderline dinamakan denikian karena pada
awalnya dianggap berada di “perbatasn” gangguan jiwa.Kelainan ini relative umum,
mempengaruhi 2% dari seluruh orang dewasa.Perempuan lebih mungkin untuk
menderita borderline dari pada pria. Hamper 20% pasien rawat inap psikiatri adalah
penderita borderline. Dengan pengobatan, pasien sering mendapati gejala mereka
membaik. Pengobatan borderline melibatkan terapi dimana saja pasien belajar untuk
mengekspresikan perasaannya alih-alih melampiaskan perasaan mereka dengan cara
yang merusak merugikan diri sendiri. Obat dapat membanntu, dan perlu disertai
dengan penanganan masalah penyalahgunaan alcohol atau obat terlarang.Rawat inap
singkat kadang-kadang diperlukan, terutama dalam kasus yang melibatkan episode
psikitik atau ancaman/upaya bunuh diri.
f. Gangguan Kepribadian Histrionik
Gangguan ini ditandai oleh perilaku yang bermacam-macam, yaitu dramatic,
ekstovert pada orang yang meluap-luap dan emosional, menyertai penampilan merka
yang falmboyan, pasien sering terdapat tidak mampu mempertahankan hubungan
yang mendalam dan berlangsung lama.Mereka menunjukan perilaku mencari
perhatian yang tinggi. Merka cenderung memperbesar pikiran dan perasaan,
membuat segalanya terdengar lebih penting dibandingkan kenyataan.Perilaku
menggoda sering ditemukan, baik pria maupun wanita.Pada kenyataannya, pasien
historic mungkin memiliki disfungsi psikoseksual.Wanita mungkin anorgasmik dan
pria cenderung mengalami impotensi. Merka mungkin melakukan impuls seksual
untuk menentramkan bahwa mereka menarik bagi jenis kelamin yang lain.
Kebutuhan terhadap ketentraman ini tidak ada habisnya.Akan tetapi, hubungan
mereka cenderung dangkal dan pasien dapat gagal, tetapi asyik dengan diri sendiri
dan berubah-ubah. Ditinjau dari teori psikonalisis, gangguan ini dapat muncul karena
adanya parental seductiveness, khususnya ayah terhadap anak perempuan.Orang tua
yang mengatakan bahwa seks adalah sesuatu yang kotor, tetapi tidak sesuai dengan
perilaku yang menunjukan bahwa seks adalah hal yang menyenangkan dan
diinginkan.
D. Kerangka Teori

Faktor – factor yang


mempengaruhi depresi :
Tanda dan gejala depresi :
 Tipe kepribadian
 Fungsi biokimia  Gejala fisik
 Genetik  Gejala psikis
 Gejala mental
 Pengaruh lingkungan :
- Konflik
- Kehilangan
Perubahan yang terjadi

Psikososial Mental

Depresi

BAB III

KERANGKA KONSEP

A. Kerangka Konsep
Kerangka konsep penelitian adalah suatu hubungan atau kaitan antara konsep satu
terhadap konsep yang lainnya atau antara variabel yang satu dengan variabel yang lain
dari masalah yang ingin diteliti (Notoatmodjo, 2015). Penelitian ini dilakukan untuk
mengetahui hubungan Dukungan Keluarga dengan Kejadian Depresi pada lansia.
Variabel independennya yaitu Dukungan Keluarga sedangkan variabel dependennya
yaitu Kejadian Depresi Pada Lansia. Hal ini dapat kita lihat dari skema berikut ini :

Bagan 3.1
Kerangka Konsep

VARIABEL INDEPENDEN VARIABEL DEPENDEN

Tipe Kepribadian Depresi Pada Lansia

B. Defenisi Operasional
Tabel 3.1
Defenisi Operasional

Variabel Defenisi Alat Ukur Cara Ukur Hasil Ukur Skala


Operasional Ukur
Independen pola Kuesioner Wawancara  Extrovert : Nomina
l
Tipe menyeluruh dengan cara jika nilai 15-
Kepribadian semua cheklist 28
kemampuan,  Introvert :
perbuatan serta jika nilai 1-
kebiasaan 14
seseorang, baik (notoatmodjo
jasmani, , 2015)
mental, rohani,
emosional
maupun social
Dependen Bentuk Kuesioner Wawancara  Ringan jika Ordinal
Depresi Lansia gangguan dengan cara memiliki
kejiwaan pada cheklist skor 18-24
alam  Sedang jika
perasaan yang memiliki
ditandai skor 25-34
dengan sedih,  Berat jika
kemurungan, memiliki
kelesuan, skor 35-51
ketiadaan  Berat sekali
gairah hidup, jika memiliki
perasaan tidak skor 52-68
berguna, (Dadang, 2015)
putus asa,
pesimis dan
lain
sebagainya

C. Hipotesis
Hipotesis adalah sebuah pernyataan tentang hubungan yang di harapkan antara dua
variabel atau lebih.
Ha : Adanya Hubungan antara Tipe Kepribadian dengan Depresi Pada Lansia di Panti Sosial
Tresna Werdha Sabai Nan Aluih Sicincin Tahun 2020.
Ho : Tidak ada Hubungan antara Tipe Kepribadian dengan Depresi Pada Lansia di Panti
Sosisal Tresna Werdha Sabai Nan Aluih Sicincin Tahun 2020.

BAB IV

METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah survey analitik menggunakan desain penelitian “Cros
Sectional Studi” yang merupakan suatu penelitian dimana variabel independent tipe
kepribadian dan variabel dependent kejadian depresi diobservasi sekaligus pada waktu
bersamaan (Notoatmodjo, 2015).
B. Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilakukan di Panti Sosial Tresna Werdha Sabai Nan Aluih Sicincin.
Waktu penelitian dilakukan pada bulan Juni sampai Agustus 2020.
C. Populasi dan Sampel
1. Populasi
Populasi adalah keseluruhan sumber data yang diperlukan dalam suatu penelitian
(Notoatmodjo, 2015). Yang menjadi populasi dalam penelitian ini adalah seluruh lansia
yang memiliki gejala depresi di Panti Sosial Tresna Werdha Sabai Nana Aluih Sicincin.
Jadi jumlah populasi dalam penelitian ini adalah sebanyak ….. orang.
2. Sampel
Sampel adalah sebagian dari jumlah populasi atau objek penelitian yang dianggap
mewakili seluruh populasi (Notoatmodjo, 2015). Pengambilan sampel dilakukan dengan
menggunakan teknik total sampling, yaitu sampel yang diambil dari keseluruhan
populasi. Jadi sampel dalam penelitian ini adalah sebanyak …… orang.
D. Kriteria Responden
1. Kriteria Inklusi
a. Lansia yang mengalami depresi
b. Berada di PSTW ketika penelitian
c. Bersedia menjadi responden
2. Kriteria Ekslusif
a. Lansia yang tidak mengalami depresi
b. Tidak bersedia menjadi responden
c. Tidak berada di PSTW

E. Instrumen Penelitian
Instrumen yang digunakan dalam penelitian hubungan tipe kepribadian dengan kejadian
depresi pada lansia adalah dengan menggunakan alat ukur kuesioner yang sesuai dengan
kebutuhan data yang diperlukan untuk variabel independen dan variabel dependen.
F. Teknik Pengumpulan Data
1. Data Primer
Pengumpulan data primer dilakukan dengan menggunakan kuesioner yang dibuat dan di
sesuaikan dengan kebutuhan data untuk penelitian dengan mengembangkan kerangka
konsep (variabel independen dan variabel dependen) sehingga diperoleh informasi yang
relevan dengan tujuan penelitian. Data primer diperoleh melalui wawancara terpimpin
yang dibantu oleh dua orang teman saya yang sebelumnya telah diberi pengarahan
sehingga mempunyai persepsi yang sama dengan penelitian.
2. Data Sekunder
Pengumpulan data sekunder diambil dari pencatat dan pelaporan dari Dinas Sosial dan
Panti Sosisal Tresna Werdha Sabai Nan Aluih Sicincin Tahun 2020. Jumlah lansia yang
mengalami kejadian depresi lansia di Panti Sosial Tresna Werdha Sabai Nan Aluih
Sicincin, data sekunder ini didapatkan dengan melihat data langsung di PSTW .
kemudian mencatat data – data yang diperlukan untuk penelitian ini, kegunaannya untuk
cross check data primer hasil wawancara dan kuesioner serta untuk melengkapi data –
data yang diperlukan.
G. Teknik Pengolahan dan Analisa Data

1. Teknik Pengolahan Data

a. Editing(edit)

Editing dilakukan untuk memeriksa ulang kelengkapan pengisian yang ada di lembar

observasi.

b. Coding (pengkodean)

Codingyaitu kegiatan merubah data berbentuk huruf menjadi data berbentuk angka.

Kegunaan coding dilakukan untuk memudahkan peneliti dalam mengolah data.

c. Entry (Memasukkan data)

Proses memasukkan data, data yang telah dikode dimasukkan kedalam program

komputerisasi.

d. Cleaning (Pembersihan data)

Pada tahap ini peneliti melakukan kembali untuk melihat kemungkinan adanya
kesalahan-kesalahan kode, ketidaklengkapan, kemudian dilakukan pembetulan atau

koreksi.

e. Tabulating (tabulasi)

Membuat tabel-tabel data untuk mempermudah analisa data dan pengolahan data

(Notoatmodjo, 2015).

2. Analisa Data

a. Analisa Univariat

Analisa univariat adalah analisa yang dilakukan pada setiap variabel yang

diteliti baik variabel independen maupun variabel dependen dari hasil penelitian

(Notoatmodjo, 2015).

b. Analisa Bivariat

Analisa bivariat dilakukan untuk melihat hubungan variabel independen dan

variabel dependen secara komputerisasi. Pembuktian dengan uji chi square ini batas

kemaknaan dipakai α=0,05 dan derajat kepercayaan 95%. Jika p value ≤ 0,05 berarti

Ho ditolak dan Ha diterima, ini berarti ada hubungan antara variabel independen dan

variabel dependen, tapi jika p value > 0,05 berarti Ha ditolak, tidak ada hubungan

antara variabel independen dan variabel dependen.

H. Etika Penelitian

Penelitian ini tidak boleh bertentangan dengan etika. Penelitian harus etis dalam artian hak
responden harus dilindungi. Etika penelitian yang dimaksud yang meliputi :
1. Informed concent (Lembar Persetujuan Responden)
Responden diberikan lembar persetujuan (informed concent) dimana sebelumnya
peneliti menjelaskan tentang maksud keikutsertaannya dalam penelitian ini tersebut.
Responden yang bersedia berpattisipasi diminta menandatangani lembar persetujuan
tersebut.
2. Anonimity (Kerahasiaan Identitas)
Peneliti menjaga kerahasiaan identitas responden sehingga hanya peneliti saja yang
mengetahui hasil jawaban dari masing-masing responden. Selanjutnya peneliti hanya
memberikan kode berupa nomor urut pada lembar koesioner yang urutannya hanya
diketahui oleh peneliti saja.
3. Confidentiality (Kerahasiaan Informasi)
Peneliti menjaga kerahasiaan semua informasi yang di dapat dari responden, dan itu
dijamin oleh peneliti.

Anda mungkin juga menyukai