Anda di halaman 1dari 7

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

}128{ َ‫إِ َّن هللاَ َم َع الَّ ِذينَ اتَّقَوْ ا َوالَّ ِذينَ هُم ُّمحْ ِسنُون‬

“Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang bertakwa dan orang-orang yang berbuat ihsan.” (QS. An
Nahl: 128).

Dalam ayat ini Allah menunjukkan keutamaan seorang muhsin yang bertakwa kepada Allah, yang tidak
meninggalkan kewajibannya dan menjauhi segala yang haram. Kebersamaan Allah dalam ayat ini adalah
kebersamaan yang khusus. Kebersamaan khusus yakni dalam bentuk pertolongan, dukungan, dan petunjuk
jalan yang lurus sebagai tambahan dari kebersamaan Allah yang umum (yakni pengilmuan Allah). Makna
dari firman Allah َ‫ َوالَّ ِذينَ هُم ُّمحْ ِسنُون‬  ( dan orang-orang yang berbuat ihsan) adalah yang mentaati Rabbnya,
yakni dengan mengikhlaskan niat dan tujuan dalam beribadah serta melaksankanan syariat Allah dengan
petunjuk yang telah dijelasakan oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam.[6]

Dalam ayat lain Allah berfirman,

}195{ َ‫َوأَنفِقُوا فِي َسبِي ِل هللاِ َوالَ تُ ْلقُوا بِأ َ ْي ِدي ُك ْم ِإلَى التَّ ْهلُ َك ِة َوأَحْ ِسنُوا إِ َّن هللاَ يُ ِحبُّ ْال ُمحْ ِسنِين‬

“Dan belanjakanlah (harta bendamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke
dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat
ihsan.” (Al Baqarah:195)

Ketika menafsirkan ayat ini Syaikh As Sa’di menjelaskan bahwa ihsan pada ayat ini mencakup seluruh jenis
ihsan. Hal ini karena tidak ada pembatasan pada ayat ini. Maka termasuk di dalamnya ihsan dengan harta,
kemuliaan, pertolongan, perbuatan memerintahkan yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar,
mengajarkan ilmu yang bermanfaat, dan perbuatan ihsan lain yang diperintahkan oleh Allah. Termasuk di
dalamnya juga adalah ihsan dalam beribadah kepada Allah. Hal ini sebagaimnan sabda Nabi ‘Kamu
menyembah Allah seakan-akan kamu melihat-Nya, maka jika kamu tidak melihat-Nya maka sesungguhnya
Dia melihatmu.. Barangsiapa yang memiliki sifat ihsan tersebut, maka dia tergolong orang-orang yang Allah
َ ‫“ لِلَّ ِذينَ أَ ْح‬Bagi orang-orang yang berbuat ihsan, ada pahala
ْ ‫سنُوا ا ْل ُح‬
terangkan dalam firman-Nya  ٌ‫سنَى َو ِزيَا َدة‬
yang terbaik (surga) dan tambahannya (melihat wajah Allah ta’ala)” (QS Yunus: 26) Allah akan
bersamanya, memberinya petunjuk, membimbingnya, serta menolongnya dalam setiap urusannya.[7].

Allah Ta’ala juga berfirman,

}29{ ‫ت ِمن ُك َّن أَجْ رًا َع ِظي ًما‬


ِ ‫َوإِن ُكنتُ َّن تُ ِر ْدنَ هللاَ َو َرسُولَهُ َوال َّدا َر ْاألَ ِخ َرةَ فَإ ِ َّن هللاَ أَ َع َّد لِ ْل ُمحْ ِسنَا‬

“Dan jika kamu sekalian menghendaki (keridhaan) Allah dan Rasulnya-Nya serta (kesenangan) di negeri
akhirat, maka sesungguhnya Allah menyediakan bagi siapa yang berbuat ihsan (kebaikan) diantaramu
pahala yang besar.” (QS. Al Ahzab: 29)

Penerapan Makna Ihsan dalam Kehidupan

Pembaca yang dirahmati Allah, sikap ihsan ini harus berusaha kita terapkan dalam kehidupan sehari-hari.
Jika kita berbuat amalan kataatan, maka perbuatan itu selalu kita niatkan untuk Allah. Sebaliknya jika
terbesit niat di hati kita untuk berbuat keburukan, maka kita tidak mengerjakannya karena sikap ihsan yang
kita miliki. Seseorang yang sikap ihsannya kuat akan rajin berbuat kebaikan karena dia berusaha membuat
senang Allah yang selalu melihatnya. Sebaliknya dia malu berbuat kejahatan karena dia selalu yakin Allah
melihat perbuatannya. Ihsan adalah puncak prestasi dalam ibadah, muamalah, dan akhlak seorang hamba.
Oleh karena itu, semua orang yang menyadari akan hal ini tentu akan berusaha dengan seluruh potensi diri
yang dimilikinya agar sampai pada tingkat tersebut. Siapa pun kita, apa pun profesi kita, di mata Allah tidak
ada yang lebih mulia dari yang lain, kecuali mereka yang telah naik ke tingkat ihsan dalam seluruh
amalannya. Kalau kita cermati pembahasan di atas, untuk meraih  derajat ihsan, sangat erat kaitannya
dengan benarnya pengilmuan seseorang tentang nama-nama dan sifat-sifat Allah.

Semoga kita semua dapat mewujudkan ihsan dalam diri kita, sebelum Allah mengambil ruh ini dari jasad
kita. Semoga bermanfaat. Allahul musta’an..
Dalam Al-Qur`an, terdapat seratus enam puluh enam ayat yang berbicara tentang ihsan dan
implementasinya. Dari sini kita dapat menarik satu makna, betapa mulia dan agungnya perilaku dan sifat ini,
hingga mendapat porsi yang sangat istimewa dalam Al-Qur`an. Berikut ini beberapa ayat yang menjadi
landasan akan hal ini.

ۚ
َ ِ‫وا بِأ َ ۡي ِدي ُكمۡ إِلَى ٱلتَّ ۡهلُ َك ِة َوأَ ۡح ِسنُ ٓو ْا إِ َّن ٱهَّلل َ ي ُِحبُّ ۡٱل ُم ۡح ِسن‬
١٩٥ ‫ين‬ ْ ُ‫يل ٱهَّلل ِ َواَل تُ ۡلق‬ ْ ُ‫َوأَنفِق‬
ِ ِ‫وا فِي َسب‬
“…Dan berbuat baiklah kalian karena sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berbuat baik.” (al-
Baqarah:195)

ۡ‫‡ر َو ۡٱلبَ ۡغ ۚ ِي يَ ِعظُ ُكم‬ ۡ ۡ ۡ ‡ِِٕ َ‫۞إِ َّن ٱهَّلل َ يَ ۡأ ُم ُر بِ ۡٱل َع ۡد ِل َوٱإۡل ِ ۡح ٰ َس ِن َوإِيت‬
ِ ‡‫ٓإي ِذي ٱلقُ ۡربَ ٰى َويَ ۡنهَ ٰى َع ِن ٱلفَ ۡح َش‡ٓا ِ‡ء َوٱل ُمن َك‬
٩٠ ‫ُون‬ َ ‫لَ َعلَّ ُكمۡ تَ َذ َّكر‬
90. Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada
kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia
memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran

“Sesungguhnya Allah memerintahkanmu untuk berbuat adil dan kebaikan….” (an-Nahl: 90)

“…serta ucapkanlah kata-kata yang baik kepada manusia….” (al-Baqarah: 83)

“…Dan berbuat baiklah terhadap dua orang ibu bapak, kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin,
tetangga dekat maupun yang jauh, teman sejawat, ibnu sabil dan para hamba sahayamu….” (an-Nisaa`: 36)

Kedua; As-Sunnah.

Rasulullah saw. pun sangat memberi perhatian terhadap masalah ihsan ini. Sebab, ia merupakan puncak
harapan dan perjuangan seorang hamba. Bahkan, diantara hadist-hadist mengenai ihsan tersebut,  ada
beberapa yang menjadi landasan utama dalam memahami agama ini. Rasulullah saw. menerangkan
mengenai ihsan—ketika ia menjawab pertanyaan Malaikat Jibril tentang ihsan dimana jawaban tersebut
dibenarkan oleh Jibril, dengan mengatakan :

. ‫أَنْ تَ ْعبُ َد هللاَ َكأَنَّ َك تَ َراهُ فَإِنْ لَ ْم تَ ُكنْ تَ َراهُ فَإِنَّهُ يَ َرا َك‬

“Engkau menyembah Allah seakan-akan engkau melihat-Nya, dan apabila engkau tidak dapat melihat-Nya,
maka sesungguhnya Dia melihatmu.” (HR. Muslim)

Di kesempatan yang lain, Rasulullah bersabda:

َّ ‫سنُ ْو‬
َ‫الذ ْب َحة‬ ِ ‫سنُ ْو ا ْلقَ ْتلَةَ َو اِ َذا َذبَ ْحتُ ْم فَا َ ْح‬
ِ ‫ فَا ِ َذا قَتَ ْلتُ ْم فَا َ ْح‬, ‫سانَ َعلَى ُك ِّل ش َْي ٍء‬
َ ‫اِنَّ هللاَ َكت ََب َعلَ ْي ُك ُم ْااِل ْح‬

“Sesungguhnya Allah telah mewajibkan kebaikan pada segala sesuatu, maka jika kamu membunuh,
bunuhlah dengan baik, dan jika kamu menyembelih, sembelihlah dengan baik…” (HR. Muslim)

Tiga Aspek Pokok Dalam Ihsan

Ihsan meliputi tiga aspek yang fundamental. Ketiga hal tersebut adalah ibadah, muamalah, dan akhlak.
Ketiga hal ini lah yang menjadi pokok bahasan kita kali ini.

1. A. Ibadah

Kita berkewajiban ihsan dalam beribadah, yaitu dengan menunaikan semua jenis ibadah, seperti shalat,
puasa, haji, dan sebagainya dengan cara yang benar, yaitu menyempurnakan syarat, rukun, sunnah, dan
adab-adabnya. Hal ini tidak akan mungkin dapat ditunaikan oleh seorang hamba, kecuali jika saat
pelaksanaan ibadah-ibadah tersebut ia dipenuhi dengan cita rasa yang sangat kuat (menikmatinya), juga   
dengan kesadaran penuh bahwa Allah senantiasa memantaunya hingga ia merasa bahwa ia sedang dilihat
dan diperhatikan oleh-Nya. Minimal seorang hamba merasakan bahwa Allah senantiasa memantaunya,
karena dengan ini lah ia dapat menunaikan ibadah-ibadah tersebut dengan baik dan sempurna, sehingga hasil
dari ibadah tersebut akan seperti yang diharapkan. Inilah maksud dari perkataan  Rasulullah saw yang
berbunyi,  “Hendaklah kamu menyembah Allah seakan-akan engkau melihat-Nya, dan jika engkau tak
dapat melihat-Nya, maka sesungguhnya Dia melihatmu.”

Kini jelaslah bagi kita bahwa sesungguhnya arti dari ibadah itu sendiri sangatlah luas. Maka, selain jenis
ibadah yang kita sebutkan tadi, yang tidak kalah pentingnya adalah juga jenis ibadah lainnya seperti jihad,
hormat terhadap mukmin, mendidik anak, menyenangkan isteri, meniatkan setiap yang mubah untuk
mendapat ridha Allah, dan masih banyak lagi. Oleh karena itulah, Rasulullah saw. menghendaki umatnya
senantiasa dalam keadaan seperti itu, yaitu senantiasa sadar jika ia ingin mewujudkan ihsan dalam
ibadahnya.

Tingkatan Ibadah dan Derajatnya.

Berdasarkan nash-nash Al-Qur`an dan Sunnah, maka ibadah mempunyai tiga tingkatan, yang pada setiap
tingkatan derajatnya masing-masing seorang hamba tidak dapat mengukurnya. Karena itulah, kita berlomba
untuk meraihnya. Pada setiap derajat, ada tingkatan tersendiri dalam surga. Yang tertinggi adalah derajat
muhsinin, ia menempati jannatul firdaus, derajat tertinggi di dalam surga. Kelak, para penghuni surga
tingkat bawah akan saling memandang dengan penghuni surga  tingkat tertinggi, laksana penduduk bumi
memandang bintang-bintang di langit yang  menandakan jauhnya jarak antara mereka.
Adapun tiga tingkatan tersebut adalah sebagai berikut.
1.Tingkat at-Takwa, yaitu tingkatan paling bawah dengan derajat yang berbeda-beda.
2. Tingkat al-Bir, yaitu tingkatan menengah dengan derajat yang berbeda-beda.
3.Tingkat al-Ihsan, yaitu tingkatan tertinggi dengan derajat yang berbeda-beda pula.

Pertama,Tingkat Takwa.

Tingkat taqwa adalah tingkatan dimana seluruh derajatnya dihuni oleh mereka yang masuk katagori al-
Muttaqun, sesuai dengan derajat ketaqwaan masing-masing.
Takwa akan menjadi sempurna dengan menunaikan seluruh perintah Allah dan meninggalkan seluruh
larangan-Nya. Hal ini berarti meninggalkan salah satu perintah Allah dapat mengakibatkan sangsi dan
melakukan salah satu larangannya  adalah dosa. Dengan demikian, puncak takwa adalah melakukan seluruh
perintah Allah dan meninggalkansemualarangan-Nya.

Namun, ada satu hal yang harus kita fahami dengan baik, yaitu bahwa Allah SWT Maha Mengetahui
keadaan hamba-hamba-Nya yang memiliki berbagai kelemahan, yang dengan kelemahannya itu seorang
hamba melakukan dosa. Oleh karena itu, Allah membuat satu cara penghapusan dosa, yaitu dengan cara
tobat dan pengampunan. Melalui hal tersebut, Allah SWT akan mengampuni hamba-Nya yang berdosa
karena kelalaiannya dari menunaikan hak-hak takwa. Sementara itu, ketika seorang hamba naik pada
peringkat puncak takwa, boleh jadi ia akan naik pada peringkat bir atau ihsan.
Peringkat ini disebut martabat takwa, karena amalan-amalan yang ada pada derajat ini membebaskannya
dari siksaan atas kesalahan yang dilakukannya. Adapun derajat yang paling rendah dari peringkat ini adalah
derajat dimana seseorang menjaga dirinya dari kekalnya dalam neraka, yaitu dengan iman yang benar yang
diterima oleh Allah SWT.

Kedua,Tingkatal-Bir.

Peringkat ini akan dihuni oleh mereka yang masuk kategori al-Abrar. Hal ini  sesuai dengan amalan-amalan
kebaikan yang mereka lakukan dari ibadah-ibadah sunnah serta segala sesuatu yang dicintai dan diridhai
oleh Allah SWT. hal ini dilakukan setelah mereka menunaikan segala yang wajib, atau yang ada pada
peringkat sebelumnya, yaitu peringkat takwa.

Peringkat ini disebut martabat al-Bir (kebaikan), karena derajat ini merupakan perluasan pada hal-hal yang
sifatnya sunnah, sesuatu sifatnya semata-mata untuk mendekatkan diri kepada Allah dan merupakan
tambahan dari batasan-batasan yang wajib serta yang diharamkan-Nya. Amalan-amalan ini tidak diwajibkan
Allah kepada hamba-hamba-Nya, tetapi perintah itu bersifat anjuran, sekaligus  terdapat janji pahala
didalamnya.
Akan tetapi, mereka yang melakukan amalan tambahan ini tidak akan masuk kedalam kelompok al-bir,
kecuali telah menunaikan peringkat yang pertama, yaitu peringkat takwa. Karena, melakukan hal pertama
merupakan syarat mutlak untuk naik pada peringkat selanjutnya.
Dengan demikian, barangsiapa yang mengklaim dirinya telah melakukan kebaikan sedang dia tidak
mengimani unsur-unsur qaidah iman dalam Islam, serta tidak terhidar dari siksaan neraka, maka ia tidak
dapat masuk dalam peringkat ini (al-bir). Mengenai hal ini, Allah SWT berfirman dalam kitab-Nya.

“…Bukanlah kebaikan dengan memasuki rumah-rumah dari belakangnya, akan tetapi kebaikan itu adalah
takwa, dan datangilah rumah-rumah itu dari pintu-pintunya dan bertakwalah kepada Allah agar kalian
beruntung.” (al-Baqarah: 189)

”Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami mendengar seruan orang yang menyeru kepada iman, yaitu:
Berimanlah kamu kepada Tuhanmu, maka kamipun beriman. Ya Tuhan kami ampunilah bagi kami dosa-
dosa kami dan hapuskanlah dari kami kesahan-kesalahan kami dan wafatkanlah kami bersama orang-
orang yang banyak berbuat baik.” (Ali ‘Imran: 193)

Ketiga, Tingkatan Ihsan


Tingkatan ini akan dicapai oleh mereka yang masuk dalam kategori Muhsinun. Mereka adalah orang-orang
yang telah melalui peringkat pertama dan yang kedua (peringkat takwa dan al-bir).
Ketika kita mencermati pengertian ihsan dengan sempurna—seperti yang telah kita sebutkan sebelumnya,
maka kita akan mendapatkan suatu kesimpulan bahwa ihsan memiliki dua sisi: Pertama, ihsan adalah
kesempurnaan dalam beramal sambil menjaga keikhlasan dan jujur pada saat beramal. Ini adalah ihsan
dalam tata cara (metode). Kedua, ihsan adalah senantiasa memaksimalkan amalan-amalan sunnah yang
dapat mendekatkan diri kepada Allah, selama hal itu adalah sesuatu yang diridhai-Nya dan dianjurkan untuk
melakukannya.
Untuk dapat naik ke martabat ihsan dalam segala amal, hanya bisa dicapai melalui amalan-amalan wajib dan
amalan-amalan sunnah yang dicintai oleh Allah, serta dilakukan atas dasar mencari ridha Allah.

B. Muamalah
Dalam bab muamalah, ihsan dijelaskan Allah SWT pada surah an Nisaa’ ayat 36, yang berbunyi sebagai
berikut : “Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun dan berbuat
baiklah kepada dua orang ibu bapak, karib kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang
dekat maupun yang jauh, teman sejawat, ibnu sabil dan hamba sahayamu…”
Kita sebelumnya telah membahas bahwa ihsan adalah beribadah kepada Allah  dengan sikap seakan-akan
kita melihat-Nya, dan jika kita tidak dapat melihat-Nya, maka Allah melihat kita. Kini, kita akan membahas
ihsan dari muamalah dan siapa saja yang masuk dalam bahasannya. Berikut ini adalah mereka yang berhak
mendapatkan ihsan tersebut:

Pertama, Ihsan kepada kedua orang tua.


Allah SWT menjelaskan hal ini dalam kitab-Nya.

“Dan tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu tidak menyembah selain Dia dan hendaklah kamu
berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang diantara keduanya atau kedua-
duanya berumr lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada
keduanya perkataan “ah” dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka
perkataan yang mulia. Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan
ucapkanlah: “Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua mendidik aku
diwaktu kecil.” (al-Israa’: 23-24)

Ayat di atas mengatakan kepada kita bahwa ihsan kepada ibu-bapak adalah sejajar dengan ibadah kepada
Allah.
Dalam sebuah hadist riwayat Turmuzdi, dari Ibnu Amru bin Ash, Rasulullah saw. Bersabda :

ُ ‫س ْخطُ هللاِ فِى‬


‫س ْخ ِط ْال َواِل َد ْي ِن‬ َ ‫ضى ْا‬
ُ ‫لوالِ َد ْي ِن َو‬ َ ‫ضى هللاُ فِى ِر‬
َ ‫ِر‬

“Keridhaan Allah berada pada keridhaan orang tua, dan kemurkaan Allah berada pada kemurkaan orang
tua.”

Dalil di atas menjelaskan bahwa ibadah kita kepada Allah tidak akan diterima, jika tidak disertai dengan
berbuat baik kepada kedua orang tua. Apabila kita tidak memiliki kebaikan ini, maka bersamaan dengannya
akan hilang ketakwaan, keimanan, dan keislaman. Dan Akhlak kepada sesama manusia yang paling utama
kepada kedua orang tua, berakhlak kepada mereka adalah dengan berbakti kepada keduanya, baik ketika
hidup aupun setelah wafatnya, sebagimana hadits Nabi :
‫سو َل هَّللا ِ َه ْل‬ َ ‫سلَّ َم إِ ْذ َجا َءهُ َر ُج ٌل ِمنْ َبنِي‬
ُ ‫سلَ َمةَ فَقَا َل َيا َر‬ َ ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو‬
َ ِ ‫سو ِل هَّللا‬ ُ ‫ي َقا َل َب ْينَا نَ ْحنُ ِع ْن َد َر‬ ِّ ‫سا ِع ِد‬ َ ُ‫عَنْ أَبِي أ‬
َّ ‫س ْي ٍد َمالِ ِك ْب ِن َربِي َعةَ ال‬
َّ
َ ‫صلة ال َّر ِح ِم التِي اَل ت‬
‫ُوص ُل‬ ُ َ ُ َ ْ َ َ ْ
ِ ‫ستِغفا ُر ل ُه َما َوإِنفاذ َع ْه ِد ِه َما ِمنْ بَ ْع ِد ِه َما َو‬ َ ُ
ْ ‫صاَل ة َعل ْي ِه َما َوااِل‬ َ َ
َّ ‫ي ش َْي ٌء أبَ ُّر ُه َما بِ ِه بَ ْع َد َم ْوتِ ِه َما قا َل نَ َع ْم ال‬ َ
َّ ‫بَقِ َي ِمنْ بِ ِّر أبَ َو‬
)‫ص ِديقِ ِه َما(رواه ابو داود‬ َ ‫إِاَّل بِ ِه َما َوإِ ْك َرا ُم‬

Dari Abu Usaid Malik bin Rabi’ah As-Sa’idy berkata : “Tatkala kami sedngan bersama Rasulullah SAW,
tiba-tiba datang seseorang dari Bani Salamah seraya bertanya : “Ya Rasulallah apakah masih ada
kesempatan untuk saya berbakti kepada Ibu Bapak saya setekah keduanya wafat?” Nabi menjawab : “Ya,
dengan mendoakan keduanya, memohon ampun unyuknya, melaksanakan janjinya dan menyambung
silaturrahmi dari sanak saudarnya serta memuliakan teman-temannya

Kedua, Ihsan kepada kerabat karib.


Ihsan kepada kerabat adalah dengan jalan membangun hubungan yang baik dengan mereka, bahkan Allah
SWT menyamakan seseorang yang memutuskan hubungan silatuhrahmi dengan perusak dimuka bumi.
Allah berfirman :

”Maka apakah kiranya jika kamu berkuasa kamu akan membuat kerusakan dimuka bumi dan memutuskan
hubungan kekeluargaan.?” (Muhammad: 22)
Silaturahmi adalah kunci untuk mendapatkan keridhaan Allah. Hal ini dikarenakan sebab paling utama
terputusnya hubungan seorang hamba dengan Tuhannya adalah karena terputusnya hubungan silaturahmi.
Dalam sebuah hadits qudsi, Allah berfirman:

ُ‫ص ْلتُهُ َو َمنْ قَطَ َع َها بَتَتُّه‬ َ ‫س ِمي فَ َمنْ َو‬


َ ‫صلَ َها َو‬ َ ‫أَنَا هَّللا ُ َوأَنَا ال َّر ْح َمنُ َخلَ ْقتُ ال َّر ِح َم َو‬
ْ ‫شقَ ْقتُ لَ َها ِمنْ ا‬

“Aku adalah Allah, Aku adalah Rahman, dan Aku telah menciptakan rahim yang Kuberi nama bagian dari
nama-Ku. Maka, barangsiapa yang menyambungnya, akan Ku sambungkan pula baginya dan barangsiapa
yang memutuskannya, akan Ku putuskan hubunganku dengannya.” (HR. Turmuzdi)

Dalam hadits lain, Rasulullah bersabda, “Tidak akan masuk surga, orang yang memutuskan tali
silaturahmi.” (HR. Syaikahni dan Abu Dawud)

Ketiga, Ihsan kepada anak yatim dan fakir miskin.


Diriwayatkan oleh Bukhari, Abu Dawud, dan Turmuzdi, bahwa Rasulullah saw bersabda, “Aku dan orang
yang memelihara anak yatim di surga kelak akan seperti ini…(seraya menunjukkan jari telunjuk jari
tengahnya).”

Diriwayatkan oleh Turmuzdi, Nabi saw. Bersabda :

‫سلِ ِمينَ إِلَى طَ َعا ِم ِه َوش ََرابِ ِه أَد َْخلَهُ هَّللا ُ ا ْل َجنَّةَ إِاَّل أَنْ يَ ْع َم َل َذ ْنبًا اَل‬ َ َ‫سلَّ َم قَا َل َمنْ قَب‬
ْ ‫ض يَتِي ًما ِمنْ َب ْي ِن ا ْل ُم‬ َ ‫س أَنَّ النَّبِ َّي‬
َ ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو‬ ٍ ‫عَنْ ا ْب ِن َعبَّا‬
ُ‫يُ ْغفَ ُر لَه‬

Dari Ibnu Abbas bahwasanya Nabi SAW bersabda : “Barangsiapa—dari Kaum Muslimin—yang
memelihara anak yatim dengan memberi makan dan minumnya, maka Allah akan memasukkannya ke dalam
surga selamanya, selama ia tidak melakukan dosa yang tidak terampuni.”

Keempat, Ihsan kepada tetangga dekat,  tetangga jauh, serta teman sejawat.
Ihsan kepada tetangga dekat meliputi tetangga dekat dari kerabat atau tetangga yang berada di dekat rumah,
serta  tetangga jauh, baik jauh karena nasab maupun yang berada jauh dari rumah.
Adapun yang dimaksud teman sejawat adalah yang berkumpul dengan kita atas dasar pekerjaan,
pertemanan, teman sekolah atau kampus, perjalanan, ma’had,  dan sebagainya. Mereka semua masuk ke
dalam katagori tetangga. Seorang tetangga kafir mempunyai hak sebagai tetangga saja, tetapi tetangga
muslim mempunyai dua hak, yaitu sebagai tetangga dan sebagai muslim, sedang tetangga muslim dan
kerabat mempunyai tiga hak, yaitu sebagai tetangga, sebagai muslim dan sebagai kerabat. Rasulullah saw.
menjelaskan hal ini dalam sabdanya :

َ‫سانُهُ َواَل يُؤْ ِمنُ َحتَّى يَأْ َمن‬


َ ِ‫سلَ َم قَ ْلبُهُ َول‬ ِ ‫سلَّ َم َوالَّ ِذي نَ ْف‬
ْ ُ‫سي ِبيَ ِد ِه اَل ي‬
ْ َ‫سلِ ُم َع ْب ٌد َحتَّى ي‬ َ ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو‬ ُ ‫س ُعو ٍد قَا َل قَا َل َر‬
َ ِ ‫سو ُل هَّللا‬ ْ ‫عَنْ َع ْب ِد هَّللا ِ ْب ِن َم‬
ُ‫َجا ُرهُ بَ َوائِقَه‬

Dari Abdullah bin Mas’ud RA berkata, bersabda Rasulullah SAW : Demi Yang jiwaku berada di tangan-
NYA tidaklah selamat seorang hamba sampai hati dan lisannya selamat (tidak berbuat dosa) dan tidaklah
beriman (sempurna keimanannya) seorang hamba sehingga tetangganya merasa aman dari gangguannya.
(HR.Ahmad)
Pada hadits yang lain, Rasulullah bersabda :

ُ‫ش ْب َعانًا َو َجا ُرهُ َجا ِئ ٌع َوه َُو يَ ْع ِرفُه‬


َ َ‫الَ يُؤْ ِمنُ ِبي َمنْ باَت‬

“Tidak beriman kepadaku barangsiapa yang kenyang pada suatu malam, sedangkan tetangganya
kelaparan, padahal ia megetahuinya.”(HR. ath-Thabrani)

Kelima, Ihsan kepada ibnu sabil dan hamba sahaya.

Rasulullah saw. bersabda mengenai hal ini :

َ ‫َمنْ َكانَ يُؤْ ِمنُ بِاهَّلل ِ َوا ْليَ ْو ِم اآْل ِخ ِر فَ ْليُ ْك ِر ْم‬
َُ‫ض ْيفَه‬

“Barangsiapa beriman kepada Allah dan Hari Akhir, hendaklah memuliakan tamunya.” (HR. Jama’ah,
kecuali Nasa’i)

Selain itu, ihsan terhadap ibnu sabil adalah dengan cara memenuhi kebutuhannya, menjaga hartanya,
memelihara kehormatannya, menunjukinya jalan jika ia meminta, dan memberinya pelayanan.

ُ ‫سلَّ َم ثُ َّم قَا َل يَا َر‬


‫سو َل‬ َ ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو‬
َ ِ ‫سو ُل هَّللا‬ َ َ‫سو َل هَّللا ِ َك ْم أَ ْعفُو عَنْ ا ْل َخا ِد ِم ف‬
ُ ‫ص َمتَ َع ْنهُ َر‬ ُ ‫سلَّ َم فَقَا َل يَا َر‬َ ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو‬
َ ‫َجا َء َر ُج ٌل إِلَى النَّبِ ِّي‬
ً‫س ْب ِعينَ َم َّرة‬َ ‫هَّللا ِ َك ْم أَ ْعفُو عَنْ ا ْل َخا ِد ِم فقا َل ك َّل يَ ْو ٍم‬
ُ َ َ

Pada riwayat yang lain, dikatakan bahwa seorang laki-laki datang kepada Rasulullah saw. dan berkata,
“Ya, Rasulullah, berapa kali saya harus memaafkan hamba sahayaku?” Rasulullah diam tidak menjawab.
Orang itu berkata lagi, “Berapa kali ya, Rasulullah?” Rasul menjawab, “Maafkanlah ia tujuh puluh kali
dalam sehari.” (HR. Abu Daud dan at-Turmuzdi)

‫ض ْع ِفي َي ِد ِه ِم ْنهُ أُ ْكلَةً أَ ْو‬ ْ ‫صنَ َع أِل َ َح ِد ُك ْم َخا ِد ُمهُ طَ َعا َمهُ ثُ َّم َجا َءهُ بِ ِه َوقَ ْد َولِ َي َح َّرهُ َود َُخانَهُ فَ ْليُ ْق ِع ْدهُ َم َعهُ فَ ْليَأْ ُك ْل فَإِنْ َكانَ الطَّ َعا ُم َم‬
َ َ‫شفُوهًا قَلِياًل فَ ْلي‬ َ ‫إِ َذا‬
‫أُ ْكلَتَ ْي ِن‬

Dalam riwayat yang lain, Rasulullah saw bersabda, “Jika seorang hamba sahaya membuat makanan untuk
salah seorang diantara kamu, kemudian ia datang membawa makanan itu dan telah merasakan panas dan
asapnya, maka hendaklah kamu mempersilahkannya duduk dan makan bersamamu. Jika ia hanya makan
sedikit, maka hendaklah kamu mememberinya satu atau dua suapan.” (HR. Bukhari, Turmuzdi, dan Abi
Daud)
Adapun muamalah terhadap pembantu atau karyawan dilakukan dengan membayar gajinya sebelum
keringatnya kering, tidak membebaninya dengan sesuatu yang ia tidak sanggup melakukannya, menjaga
kehormatannya, dan menghargai pridainya. Jika ia pembantu rumah tangga, maka hendaklah ia diberi makan
dari apa yang kita makan, dan diberi pakaian dari apa yang kita pakai.
Pada akhir pembahasan mnegenai bab muamalah ini, Allah SWT  menutupnya firman-Nya yang berbunyi :

”Sesungguhnya Allah tidak menyukai tiap-tiap orang yang berkhianat lagi mengingkari nikmat.” (al-Hajj:
38)

Ayat di atas merupakan isyarat yang sangat jelas kepada siapa saja yang tidak berlaku ihsan. Bahkan, hal itu
adalah pertanda bahwa dalam dirinya ada kecongkakan dan kesombongan, dua sifat yang sangat dibenci
oleh Allah SWT.

Keenam, Ihsan dengan perlakuan dan ucapan yang baik kepada manusia.

ْ َ‫َمنْ َكانَ يُؤْ ِمنُ بِاهَّلل ِ َوا ْليَ ْو ِم اآْل ِخ ِر فَ ْليَقُ ْل َخ ْي ًرا اَ ْو لِي‬
ْ‫ص ُمت‬

Rasulullah saw. bersabda, “Barangsiapa beriman kepada Allah dan Hari Kiamat, hendaklah ia berkata yang
baik atau diam.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Masih riwayat dari Bukhari dan Muslim, Rasulullah bersabda   :

ٌ‫ص َدقَة‬ ِ ْ‫قَوْ ُل ْال َم ْعرُو‬


َ ‫ف‬

“Ucapan yang baik adalah sedekah.”


 Bagi manusia secara umum, hendaklah kita melembutkan ucapan, saling menghargai dalam
pergaulan, menyuruh kepada yang makruf dan mencegahnya dari kemungkaran, menunjukinya jalan
jika ia tersesat, mengajari mereka yang bodoh, mengakui hak-hak mereka, dan tidak mengganggu
mereka dengan tidak melakukan hal-hal dapat mengusik serta melukai mereka.Ketujuh, Ihsan
dengan berlaku baik kepada binatang.
Berbuat ihsan terhadap binatang adalah dengan memberinya makan jika  ia lapar, mengobatinya jika
ia sakit, tidak membebaninya diluar kemampuannya, tidak menyiksanya jika ia bekerja, dan
mengistirahatkannya jika ia lelah. Bahkan, pada saat menyembelih, hendaklah dengan
menyembelihnya dengan cara yang baik, tidak menyiksanya, serta menggunakan pisau yang tajam.
Inilah sisi-sisi  ihsan yang datang dari nash Al-Quran dan Sunnah Rasulullah saw.

·  Beberapa contoh ihsan dalam hal muamalah

Pada Perang Uhud, orang-orang Quraisy membunuh paman Rasulullah saw, yaitu Hamzah. Mereka
mencincang tubuhnya, membelah dadanya, serta memecahkan giginya, kemudian seorang sahabat meminta
Rasulullah saw.  berdoa agar mereka diazab oleh Allah. Akan tetapi, Rasulullah malah berkata   :

َ‫اَلَّل ُه َّم ا ْه ِد قَ ْو ِم ْي فَاِنَّ ُه ْم اَل َي ْعلَ ُم ْون‬

“Ya Allah, ampunilah mereka, karena mereka adalah kaum yang bodoh.”

Contoh kedua, suatu hari, Umar bin Abdul Aziz berkata kepada hamba sahaya perempuannya, “Kipasilah
aku sampai aku tertidur.” Lalu, hambanya pun  mengipasinya sampai ia tertidur. Karena sangat mengantuk,
sang hamba pun tertidur. Ketika Umar bangun,  beliau mengambil kipas tadi dan mengipasi hamba
sahayanya. Ketika hamba sahaya itu terbangun, maka ia pun berteriak  menyaksikan tuannya melakukan hal
tersebut. Umar kemudian berkata, “Engkau adalah manusia biasa seperti diriku dan mendapatkan kebaikan
seperti halnya aku, maka aku pun melakukan hal ini kepadamu,  sebagaimana engkau melakukannya
padaku”.

C.  Akhlak
Ihsan dalam akhlak sesungguhnya merupakan buah dari ibadah dan muamalah. Seseorang akan mencapai
tingkat ihsan dalam akhlaknya apabila ia telah melakukan ibadah seperti yang menjadi harapan Rasulullah
dalam hadits yang telah dikemukakan di awal tulisan ini, yaitu menyembah Allah seakan-akan melihat-Nya,
dan jika kita tidak dapat melihat-Nya, maka sesungguhnya Allah senantiasa melihat kita. Jika hal ini telah
dicapai oleh seorang hamba, maka sesungguhnya itulah puncak ihsan dalam ibadah. Pada akhirnya, ia akan
berbuah menjadi akhlak atau perilaku, sehingga mereka yang sampai pada tahap ihsan dalam ibadahnya
akan terlihat jelas dalam perilaku dan karakternya.
Jika kita ingin melihat nilai ihsan pada diri seseorang—yang diperoleh dari hasil maksimal ibadahnya, maka
kita akan menemukannya dalam muamalah kehidupannya. Bagaimana ia bermuamalah dengan sesama
manusia, lingkungannya,  pekerjaannya, keluarganya, dan bahkan terhadap dirinya sendiri. Berdasarkan ini
semua, maka Rasulullah saw. mengatakan dalam sebuah hadits   :

ِ ‫اِنَّ َما بُ ِع ْثتُ أِل ُتَ ِّم َم َم َكا ِر َم ْاألَ ْخاَل‬


‫ق‬

“Aku diutus hanyalah demi menyempurnakan akhlak yang mulia.”

Ihsan adalah puncak prestasi dalam ibadah, muamalah, dan akhlak. Oleh karena itu, semua orang yang
menyadari akan hal ini tentu akan berusaha dengan seluruh potensi diri yang dimilikinya agar sampai pada
tingkat tersebut. Siapa pun kita, apa pun profesi kita, dimata Allah tidak ada yang lebih mulia dari yang lain,
kecuali mereka yang telah naik ketingkat ihsan dalam seluruh sisi dan nilai hidupnya. Semoga kita semua
dapat mencapai hal ini, sebelum Allah SWT mengambil ruh ini dari kita. Wallahu a’lam bish-shawwab.

Sumber: https://www.dakwatuna.com/2009/10/20/4358/ihsan-berbuat-yang-terbaik/#ixzz54auUzrOV
Follow us: @dakwatuna on Twitter | dakwatunacom on Facebook

Anda mungkin juga menyukai