Nama :
A. Pendahuluan
Hak asasi manusia ( selanjutnya disingkat dengan HAM ) adalah seperangkat hak yang
melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan
merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara,
hukum, pemerintah dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat
manusia. Pemenuhan HAM sebagai pemenuhan hak dasar rakyat terungkap dalam Kovenan Hak
Ekonomi, Sosial dan Budaya ( UU Nomor 12 Tahun 2005).1 Dengan demikian, pemenuhan
terhadap hak ekosob yang notaben adalah indikator pencapaian cita-cita nasional bangsa
Indonesia.2
Hak asasi manusia (HAM) merupakan sesuatu yang sangat penting dalam kehidupan
umat manusia. Setiap manusia yang lahir sudah melekat hak asasinya. Orang lain tidak dapat
menggangu hak asasi masing-masing individu. Oleh karena itu, hak asasi harus dipahami oleh
setiap orang. Karena begitu pentingnya, hak asasi manusia (HAM) dijadikan sebagai salah satu
materi dalam perkuliahan Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan. Itu sebabnya untuk
menjadi warga negara yang baik harus memahami dan menyadari mengenai hak asasi manusia.
1
Akmal, “Pemenuhan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (EKOSOB) Bagi Masyarakat Nelayan di Kota Padang”,
Jurnal Demokrasi Vol X (2011) Hlm 103.
2
Hery Bertus Jaka Triyana & Aminoto, “Implementasi Standar Internasional Hak EKOSOB Oleh Pemerintah
Provinsi DIY”, Jurnal Mimbar Hukum Vol 21 No. 3 (2009), Hlm 610.
Dalam perkembangannya, hak asasi manusia terbagi menjadi tiga generasi hak asasi
manusia yaitu generasi pertama hak sipil dan politik, generasi kedua mencakup hak ekonomi,
sosial dan budaya, dan generasi ketiga mencakup hak dalam pembangunan. 3 Diantara ketiga
generasi tersebut tidak dapat saling dipisahkan, walaupun ketiga generasi tersebut mencakup hak
yang berbeda tetapi tetap dalam kesatuan hak asasi manusia yang tidak dapat dipisahkan dan
mempunyai keterkaitan antar generasi tersebut. Ada pandangan bahwa dalam pemenuhan hak
sipil dan politik tidak dapat berjalan dengan baik tanpa terpenuhinya hak ekonomi, sosial dan
budaya, begitu pula dengan hak atas pembangunan.
Pada prinsipnya persoalan perlindungan dan pemenuhan Hak Asasi Manusia (HAM)
dalam semua aspek termasuk hak ekonomi, sosial dan budaya (ekosob) merupakan bagian dari
tujuan pendirian suatu negara, bahkan dalam perspektif Teori Locke Perlindungan hak-hak
Kodrati (hak asasi manusia) merupakan dasar pendirian suatu negara. 4 Bersama-sama dengan
hak sipil, hak ekosob telah diakui secara internasional sebagai bagian dari The International Bill
Of Human Right. Kerangka hukumnya menjadi semakin jelas setelah hak-hak tersebut
dituangkan dalam perjanjian multilateral yang tertuang dalam CESCR yang disahkan oleh
majelis umum PBB pada tahun 1996 sebagai pelaksaan dari prinsip-prinsip yang dimuat dalam
DUHAM 1948.5
Terlepas dari konsep HAM yang bersifat universal, namun pada penerapannya harus
memperhitungkan budaya dan tradisi negara setempat, faktor ekonomi atau tingkat kesejahteraan
masyarakat dapat diangkat sebagai pemegang peran penting yang pada akhirnya ikut
menentukan kualitas penegakkan HAM di suatu negara. Sehingga dapat diartikan bahwa
semakin bagus kualitas kesejahteraan di suatu negara, maka semakin tinggi kemampuannya
untuk memajukan perlindungan terhadap HAM.
Hak ekonomi, sosial, dan budaya ( selanjutnya disebut hak ekosob ) merupakan bagian
yang esensial dalam hukum hak asasi manusia internasional yang tercantum dalam internasional
bill of human rights. 4 Kedudukan hak ekosob sangat penting dalam kedudukan sebagai hak
asasi manusia internasional, ia menjadi acuan pencapaian bersama dalam pemajuan ekonomi,
3
Jimly Asshidiqie, 2007, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia, Jakarta, PT Bhuana Ilmu Populer, Hlm.621
4
Yahya Ahmad Zein, 2012, Probelamtika Hak Asasi Manusia (HAM), Yogyakarta, Liberty Yogyakarta , Hlm 57
5
Robby Darwis Nasution, “Korupsi dan Pelanggaran Hak EKOSOB di Indonesia”, Jurnal Aristo Vol 1 No 21
(2013), Hlm 3.
sosial, dan budaya. Dengan demikian maka hak ekosob tidak dapat ditempatkan dibawah hak
sipil dan politik maupun hak lainnya. Karena pentingnya hak ekosob ini maka dunia
internasional pun membuat konvensi yang mengatur tentang hak-hak ini yaitu ICESCR
( International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights ) yang dibarengi juga dengan
konvensi yang mengatur hak-hak sipil dan politik yaitu ICCPR ( International Covenant on Civil
and Political Rights ) pada Tahun 1966.
Instrumen HAM yang memberikan jaminan terhadap pemenuhan hak ekonomi, sosial
dan budaya (Ekosob) adalah Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2005 tentang Pengesahan
Kovenan Internasional Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya. Sebagai hak positif (positive rights)
cara pemenuhannya diukur dengan seberapa jauh kehadiran tanggung jawab Negara dalam
pemenuhan hak-hak yang masuk dalam kategori Ekosob. 7
6
Harun, 2012, Kontruksi Perizinan Usaha Industri Indonesia Prospektif, Surakarta, Muhammadiyah University
Press, Hlm 21
7
Ismail Hasani, 2013, Dinamika Perlindungan Hak Konstitusional Warga: Mahkamah Konstitusi Sebagai
Mekanisme Nasional Baru Pemajuan dan Perlindungan Hak Asasi Manusia, Jakarta, Pustaka Masyarakat Setara,
Hlm 383
Pemerintah bertanggungjawab terhadap hak asasi dalam segala bidang. Sebagaimana
dalam Pasal 72 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia yaitu “Kewajiban dan tanggung jawab Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal
71, meliputi langkah implementasi yang efektif dalam bidang hukum, politik, ekonomi, sosial,
budaya, pertahanan keamanan negara, dan bidang lain”. Dengan kata lain, pemerintah harus
memenuhi dan menjamin hak sipil politik (sipol) dan hak ekonomi, sosial, budaya (ekosob).
Hak-hak pribadi tidak dapat dipenuhi jika hanya diusahakan oleh masing-masing individu
secara terpisah, sehingga untuk memenuhi kebutuhannya setiap orang memerlukan kerjasama
dengan orang lain. Kebutuhan bersama yang harus dipenuhi merupakan hak publik. Untuk
memenuhi hak publik diperlukan sarana atau fasilitas publik seperti :
1. layanan transportasi;
3. perumahan sehat;
4. layanan pendidikan;
Hak ekonomi, sosial dan budaya (ekosob) menekankan pada tuntutan agar negara, dalam
hal ini pemerintah dituntut untuk memberikan perlindungan dan bantuan kepada warga
negaranya. Di dalam UU RI Nomor 11 Tahun 2005 yang merupakan hasil ratifikasi dari
International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights (ICESCR) 1966, memaparkan
bentuk perlindungan pemerintah dalam pemenuhan hak ekosob antara lain hak untuk
memperoleh pekerjaan, hak untuk memperoleh pendidikan, hak atas jaminan sosial, dan lain-
lain. Apabila hak-hak tersebut dapat direalisasikan maksimal, dengan demikian pemerintah akan
memberikan kesejahteraan pada warga negaranya sehingga berdampak positif terhadap
pembangunan nasional.
Ratifikasi ini mempertegas tanggung jawab negara sebagai pengemban kewajiban (duty
bearer) untuk dapat memenuhi kebutuhan minimal hak-hak ekosob yaitu kemampuan negara
menyediakan prasarana dan keahlian yang minimal dalam fasilitas penyediaan pangan,
pendidikan, kesehatan, perumahan dan pekerjaan yang memungkinan bagi setiap individu
anggota komunitas di satu wiayah negara baik di tingkat pusat maupun di daerah-daerah untuk
hidup minimal dengan layak (right to livelihood). Ratifikasi ini memaksa negara untuk benar-
benar melaksanakan perintah konstitusi dalam mensejahterakan rakyatnya. Kewajiban ini
tercantumdalam Pasal 2 Konvensi Ekosob dan General comment dari Komite Pemantau Hak-hak
ekosob PBB, yang menegasakan bahwa setelah ratifikasi negara wajib merumuskan
langkahlangkah konkrit perbaikan kondisi pemenuhan dan perlindungan hak-hak ekosob yang
minimum kepada rakyatnya.
Hak ekosob pada kenyataannya belum banyak dipahami. Pemerintah sendiri seringkali
memandang hak ekosob lebih sebagai tujuan atau cita-cita yang hendak dicapai ketimbang
sebagai hak asasi yang harus dijamin pemenuhannya.8
Pentingnya kesetaraan hak politik dan hak ekonomi bagi suatu negara tercermin dalam
pelaksanaan kerjasama antar negara yang dilaksanakan atas dasar sama derajat tanpa terkait
syarat-syarat tertentu (conditionality). 9
Sesuai dengan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, cita-cita umat manusia yang
bebas untuk menikmati kebebasan dari rasa takut dan kekurangan hanya dapat dicapai apabila
diciptakan kondisi dimana setiap orang dapat menikmati baik hak hak ekonomi, sosial dan
budayanya, maupun hak sipil dan politiknya. Pelanggaran terhadap hak ekosob merupakan suatu
masalah negara yang sulit dipecahkan. Bila dibandingkan dengan pelanggaran hak sipil dan
politik yang telah memiliki mekanisme yang memadai, hak ekosob belum sepenuhnya memiliki
mekanisme dalam menangani pelanggaran atasnya.
8
Yahya Ahmad Zein, Op. Cit., hal. 59
9
Miriam Budiardjo, 2009, Dasar-dasar Ilmu Politik, Jakarta, PT Gramedia Pustaka Utama, Hlm. 237
Peran Pemerintah sebagai pihak yang terkait dengan jaminan perlindungan HAM
sangatlah penting. Pemerintah dalam kewenangannya telah mengusahakan untuk melaksanakan
program perlindungan, penegakan serta pemajuan HAM. Diantaranya adalah membangun suatu
Lembaga Nasional Komnas HAM pada Tahun 1993, membentuk dan menyempurnakan produk
hukum yaitu Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia, dan
membentuk peradilan HAM.
Bertitik tolak dari latar belakang di atas, maka penulis tertarik untuk mengadakan
penelitian dan mengangkat Judul : Pemenuhan Hak Ekosob Dibidang Pekerjaan, Pangan dan
Perumahan Bagi Masyarakat Miskin Kelurahan Pucangsawit Kota Surakarta.
B. Diskusi
Pemenuhan Hak Ekosob di Bidang Pekerjaan, Pangan dan Perumahan Bagi Masyarakat
Miskin di Kelurahan Pucang Sawit Kota Surakarta Hak Atas Pekerjaan.
Pemerintah bertanggungjawab dalam pemenuhan hak atas pekerjaan tidak hanya dalam
bentuk kewajiban atas hasil (obligation of result), tetapi sekaligus dalam bentuk kewajiban atas
tindakan (obligation of conduct).
Tanggung jawab pemerintah dalam bentuk kewajiban atas hasil meliputi beberapa aspek
sesuai dengan General Comment No. 8 paragraph 8 yang penerapannya akan tergantung pada
kondisi-kondisi di setiap Negara penandatangan. Aspek yang harus dipenuhi yaitu ketersediaan
(availability), aksesibilitas (accessability) dan akseptabilitas (acceptability).
Dari hasil penelitian pemenuhan terhadap aspek ketersediaan dan akseptabilitas belum
sepenuhnya terealisasi karena menurunnya ketersediaan kesempatan kerja bagi penduduk usia
kerja serta dengan naiknya proporsi tenaga kerja yang berusaha sendiri dan pekerja bebas
keluarga terhadap kesempatan kerja menunjukkan kondisi lapangan pekerjaan rentan bagi para
pekerja bebas, hal ini menyebabkan hubungannya menjadi dekat dengan kemiskinan.
Dalam hal kewajiban atas tindakan Pemerintah Daerah Kota Surakarta telah melakukan
kegiatan yang menjadi prioritas penanggulangan kemiskinan Bidang Ketenagakerjaan
diantaranya pembentukan Kelompok Usaha Bersama (KUBE) dan pelatihan ketrampilan bagi
perempuan, namun tidak semua Rukun Warga (RW) yang melakukan kegiatan pelatihan
tersebut.
10
Y Gunawan, Endyka Yovi Cajapa, 2017, The Protection of Small and Medium Enterprises in Yogyakarta: The
Challenges of ASEAN Economic Community, Pertanika J. Soc. Sci. & Hum. 25 (S): 199 - 206 (2017), ISSN: 0128-
7702, Kuala Lumpur, Universiti Putra Malaysia Press, Diakses juga pada laman:
http://www.pertanika.upm.edu.my/Pertanika%20PAPERS/JSSH%20Vol.%2025%20(S)%20Oct.%202017/JSSH(S)-
0550-2017.pdf pada tanggal 1 januari 2019 pukul 19.45 WIB
Alokasi anggaran pada tahun 2015 untuk penanggulangan kemiskinan bidang
ketenagakerjaan dan UKM menunjukkan penurunan menjadi sebesar 3,14 milyar rupiah.
Penurunan anggaran ini salah satunya adalah tidak terealisasnya penyediaan sarana maupun
prasarana klaster industri dalam bentuk bantuan peralatan usaha kepada pelaku usaha kecil
karena calon penerima harus berbadan hukum sesuai UU No.23 Tahun 2014.
Hak atas pangan merupakan hak yang melekat pada diri setiap manusia yang tidak dapat
dicabut oleh siapapun. Selanjutnya, United Nations Special Rapporteur on The Right to Food
mendefinisikan hak atas pangan “the right to have regular, permanent and unrestricted access,
either directly or by means of financial purchases, to qualitatively adequate and sufficient food
corresponding to the cultural traditions of the people to which the costumer belongs, and which
ensure a physical and mental, indiviual and collective, fulliling and dignified life free of fear”.
Pasal 11 Ayat (1) ICESCR menyatakan bahwa hak pangan merupakan hak asasi. Upaya-
upaya yang harus dilakukan oleh negara dalam menciptakan kebebasan dari kelaparan
ditegaskan dalam Pasal 11 Ayat (2) yang menyatakan bahwa “Negara Pihak pada Kovenan ini,
dengan mengakui hak mendasar dari setiap orang untuk bebas dari kelaparan, baik secara
individual maupun melalui kerjasama internasional, harus mengambil langkah-langkah termasuk
program- program khusus yang diperlukan untuk:
b. Memastikan distribusi pasokan pangan dunia yang adil yang sesuai kebutuhan, dengan
memperhitungkan masalah-masalah Negara-negara pengimpor dan pengekspor pangan.
Komite Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya beranggapan bahwa inti dari Hak atas
Bahan Pangan yang Layak adalah (a) Ketersediaan bahan pangan dalam kualitas dan kuantitas
yang memadai untuk memenuhi kebutuhan makanan individu, bebas dari substansi yang
merugikan, serta bisa diterima dalam budaya setempat; (b) Aksesibilitas bahan pangan itu
berkesinambungan dan tidak mengganggu pemenuhan Hak Asasi Manusia lainnya. Pemerintah
Daerah Kota Surakarta belum sepenuhnya memenuhi kedua aspek tersebut karena menurunnya
produksi beras di Kota Surakarta dan harga kebutuhan pokok kurang terjangkau bagi masyarakat
miskin.
Dari segi kewajiban atas tindakan Pemerintah Kota Surakarta melaksanakan kegiatan
pengembangan cadangan pangan daerah dalam rangka meningkatkan ketersediaan pangan
keluarga. Output dari kegiatan ini adalah bantuan raskinda untuk masyarakat berpenghasilan
rendah yang tidak tercover oleh Raskin dari pemerintah pusat, selain adanya bantuan pangan
beras, terdapat kegiatan pembagian sembako. Namun program raskin tersebut kurang tepat
sasaran yang mestinya diperuntukkan bagi warga yang benar-benar miskin. Banyak warga yang
benar-benar miskin akan tetapi tidak mendapatkan bantuan Raskin. Kualitas raskin bantuan dari
pemerintah sangat tidak layak untuk di konsumsi sehingga masyarakat menjual kembali raskin
tersebut agar bisa membeli beras dengan kualitas yang lebih baik. Baru pada bulan Maret 2016
kualitas raskin sudah lebih baik dan layak untuk dikonsumsi.
Hak atas perumahan adalah hak asasi manusa. Centre on housing Rights and Evictions
(COHRE) mendefinisikan “the right to housing means that a person who inhabited, who’s
staying in a city, should have a reasonable life, a reasonably good life to lead, and that
reasonably good life to lead means that, without a clean enviroment, without a healty
enviroment, he cannot survive, he cannot live”.11
Kebutuhan akan perumahan yang layak sebagai hak asasi dan hak dasar setiap manusia
diakui secara universal dan menjadi landasan hukum internasional yang dituangkan dalam Pasal
11
Majda El Muhtaj, 2013, “Dimensi-Dimensi HAM Mengurai Hak Ekonomi,Sosial, dan Budaya”, Jakarta, Rajawali
Press, hal. 141.
25 Ayat (1) DUHAM yang menyatakan bahwa : “Setiap orang mempunyai hak untuk
mendapatkan standar hidup yang layak atas kesehatan dan kehidupan serta keluarganya,
termasuk makanan, pakaian, perumahan dan perawatan kesehatan serta pelayanan sosial yang
diperlukan, dan hak atas keamanan pada masa menganggur, sakit dan tidak mampu bekerja,
menjanda, lanjut usia, atau kekurangan nafkah lainnya, dalam keadaan-keadaan yang berada di
luar kekuasaannya”.
Menurut pasal 11 ayat (1) ICESCR, Negara “mengakui hak setiap orang untuk
memperoleh standar hidup yang layak bagi dirinya sendiri dan keluarganya, termasuk pangan,
pakaian, dan tempat tinggal, juga peningkatan kondisi-kondisi hidup yang berkelanjutan.” Hak
asasi manusia atas tempat tinggal yang layak, yang dengan demikian ditarik dari standar hidup
yang layak, adalah sumber penikmatan hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya. Negara dalam hal
ini Pemerintah daerah Kota Surakarta bertanggung jawab melakukan pemenuhan terhadap hak
atas perumahan yang layak. Tanggung jawab negara berupa kewajiban atas hasil (obligation of
result) dan kewajiban atas tindakan (obligation of conduct).
Dari segi kewajiban atas hasil (obligation of result) Komite Hak-Hak Ekonomi, Sosial
dan Budaya telah menginterpretasikan beberapa aspek perumahan yang layak yang harus
dipenuhi agar dapat dikategorikan sebagai perumahan yang layak yaitu (a) jaminan hukum atas
hak huni, (b) ketersediaan pelayanan, material dan infrastruktur, (c) perumahan yang terjangkau
harganya, (d) perumahan yang layak huni, (e) perumahan yang dapat diakses, (f) lokasi, (g)
perumahan yang layak secara budaya. Pemerintah Daerah Kota Surakarta belum sepenuhnya
memenuhi ketujuh aspek tersebut karena harga jual maupun sewa perumahan sangat mahal
mengakibatkan masyarakat yang berpenghasilan rendah menempati lahan ilegal seperti di
sepanjang pinggiran jalur rel kereta api sehingga masyarakat tidak mempunyai jaminan hukum
atas hak huni. Kondisi tempat tinggal masyarakat miskin di Kelurahan Pucang Sawit cenderung
kumuh dengan fasilitas yang kurang memadai.
C. Kesimpulan
Pemenuhan Hak Ekosob di Bidang Pekerjaan, Pangan dan Perumahan Bagi Masyarakat
Miskin di Kelurahan Pucang Sawit Kota Surakarta Hak Atas Pekerjaan.
LAMPIRAN
DAFTAR PUSTAKA
Buku :
Jimly Asshidiqie, 2007, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia, Jakarta, PT Bhuana Ilmu
Populer.
Majda El Muhtaj, 2013, “Dimensi-Dimensi HAM Mengurai Hak Ekonomi,Sosial, dan Budaya”,
Jakarta, Rajawali Press.
Miriam Budiardjo, 2009, Dasar-dasar Ilmu Politik, Jakarta, PT Gramedia Pustaka Utama.
Yahya Ahmad Zein, 2012, Probelamtika Hak Asasi Manusia (HAM), Yogyakarta, Liberty
Yogyakarta.
Jurnal :
Akmal, “Pemenuhan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (EKOSOB) Bagi Masyarakat Nelayan di
Kota Padang”, Jurnal Demokrasi Vol X (2011).
Hery Bertus Jaka Triyana & Aminoto, “Implementasi Standar Internasional Hak EKOSOB Oleh
Pemerintah Provinsi DIY”, Jurnal Mimbar Hukum Vol 21 No. 3 (2009).
Robby Darwis Nasution, “Korupsi dan Pelanggaran Hak EKOSOB di Indonesia”, Jurnal Aristo
Vol 1 No 21 (2013).
Y Gunawan, Endyka Yovi Cajapa, 2017, The Protection of Small and Medium Enterprises in
Yogyakarta: The Challenges of ASEAN Economic Community, Pertanika J. Soc. Sci. &
Hum. 25 (S): 199 - 206 (2017), ISSN: 0128-7702, Kuala Lumpur, Universiti Putra
Malaysia Press, Diakses juga pada laman: http://www.pertanika.upm.edu.my/Pertanika
%20PAPERS/JSSH%20Vol.%2025%20(S)%20Oct.%202017/JSSH(S)-0550-2017. pdf
pada tanggal 1 januari 2019 pukul 19.45 WIB.