Anda di halaman 1dari 11

Tugas Das Pus Ring & Rat Pidana

NAMA : ANDI ALFIN P. S. J


KELAS :
NPM : 14 - 041
DAFTAR ISI
1.1. Latar Belakang

1.2. Rumusan masalah

1 Apa dasar pemberatan tindak pidana? kemudian jelaskan !


2 Jelaskan segi pemberatan hukum, apabila seseorang melakukan
tindak pidana !

1.3. Kesimpulan

Bab I
Pendahuluan
Latar Belakang

 
Dasar Pemberat Pidana pengertian dari dasar pemberat pidana adalah
dasar/alasan yang menyebabkan pidana yang diancamkan terhadap
seseorang menjadi lebih berat dibandingkan dengan pidana yang
diancamkan pada umumnya. Dalam KUHP , dasar pemberat pidana
dibagi atas kategori umum dan khusus.

Bab II
Pembahasan

Pemberatan pidana
Dasar-dasar yang menyebabkan pemberatan pidana, didalam Undang-
undang dibedakan antara dasar-dasar pemberatan pidana umum dan
dasar-dasar pemberatan pidana khusus.
A Dasar pemberatan pidana umum
Dasar-dasar pemberatan pidana umum ialah dasar pemberatan pidana
yang berlaku untuk segala macam tindak pidana, baik yang ada
didalam kodifikasi maupun tindak pidana diluar KUHP. Undang-
undang mengatur tentang 3 (tiga) dasar yang menyebabkan
diperberatkannya pidana umum, ialah:
1.     Dasar pemberatan karena jabatan
2.      Dasar pemberatan karena menggunakan bendera kebangsaan
3.      Dasar pemberatan karena pengulangan (recidive)

a.       Dasar pemberatan pidana karena jabatan


Pemberatan karena jabatan ditentukan dalam pasal 52 KUHP yang
rumusan lengkapnya adalah: “Bilamana seorang pejabat, karena
melakukan perbuatan pidana, melanggar suatu kewajiban khusus dari
jabatannya, atau pada waktu melakukan tindak pidana memakai
kekuasaan, kesempatan atau sarana yang diberikan kepadanya karena
jabatannya, pidananya dapat ditambah sepertiga”.
Dasar pemberatan pidana tersebut dalam pasal 52 ini adalah terletak
pada keadaan jabatan dari kualitas si pembuat (pejabat atau pegawai
negeri) mengenai 4 (empat) hal, ialah dalam melakukan tindak pidana
dengan:
a Melanggar suatu kewajiban khusus dari pejabatnya.
b Memakai kekuasaan jabatannya;
c Menggunakan kesempatan karena jabatannya;
d Menggunakan sarana yang diberikan karena jabatannya.
Subjek hukum yang diperberat pidananya dengan dapat ditambah
sepertiga, adalah bagi seorang pejabat atau pegawai negeri
(ambtenaar) yang melakukan tindak pidana dengan melanggar dan
atau menggunakan 4 keadaan tersebut diatas.
Perihal pegawai negeri hanya berlaku sebagaimana pengertian
menurut praktik hukum (yurisprudensi) dan  perluasan arti menurut
pasal 92 saja.
1 Melanggar suatu kewajiban khusus jabatan
Dalam hal ini, yang dilanggar oleh pegawai negeri dalam melakukan
tindak pidana itu adalah kewajiban khusus dari jabatan,  dan bukan
kewajiban umum jabatan. Suatu kewajiban khusus adalah suatu
kewajiban yang berhubungan erat dengan tugas pekerjaan tertentu
dari suatu jabatan.

Contoh Kasus: seorang polisi yang diperintah bertugas di pos


keamanan sebuah bank, maka ia membeban kewajiban khusus yaitu
untuk menjaga keamanan dan keselamatan bank beserta seluruh orang
yang berhubungan dan berkepentingan dengan bank tersebut dimana
dia bertugas. Akan tetapi, kewajibannya khusus itu dapat pula
dilanggarnya dengan melakukan  tindak pidana yang justru
menyerang keselamatan dan keamanan bank itu sendiri, seperti ia
berkomplotan dengan orang lain untuk merampok bank tersebut, ia
memberi informasi dan merancang kejahatan itu serta berlaku pasif
(tidak berbuat sesuatu pencegahan) untuk memberi kesempatan pada
teman-temannya tadi dalam menjalankan aksi perampokan tersebut.
Pada contoh ini sang polisi tadi dapat diperberat pidananya dengan
sepertiga dari ancaman maksimum kejahatan (365 ayat 2 butir 2 ; 12
tahun penjara) karena ikut serta atau terlibat dalam aksi perampokan
tersebut. Tetai pada teman-temannya yang merampok tidak berlaku
pemberatan karena jabatan, berhubungan teman-temannya tidak
memangku jabatan itu.
b Melakukan tindak pidana dengan menggunakan kekuasaan jabatan
Suatu jabatan in casu jabatan public disamping membebankan
kewajiban khusus dan kewajiban umum dari jabatannya, juga
memiliki suatu kekuasaan jabatan, suatu kekuasaan yang melekat dan
timbul dari jabatan yang dipangku. Kekuasaan yang dimilikinya ini
dapat disalah gunakan pemangkunya untuk melakukan suatu
kejahatan tertentu yang berhubungan dengan kekuasaan itu.
Misalnya seorang penyidik, karena jabatannya itu dia memiliki
kekuasaan untuk menangkap dan menahan seorang tersangka. Dengan
kekuasaannya ini dia menangkap seorang musuh pribadi yang
dibencinya dan menahannya tanpa memperdulikan ada tidaknya
alasan penahanannya atau meekayasan alasan dari tindakannya itu.
Oknum polisi itu dapat dipemberat pidananya dengan ditambah
sepertiga dari 8 tahun penjara (333 ayat 1)
c Melakukan tindak pidana dengan menggunakan kesempatan dari
jabatan
Pegawai negeri dalam melakukan tugas pekerjaan berdasarkan hak
dan kewajiban jabatan yang dipangkunya kadangkala memuiliki suatu
waktu (timing) yang tepat untuk melakukan  perbuatan yang
melanggar undang-undang apabila kesempatan ini disalah
gunakannya untuk melakukan tindak pidana itu, maka dia dipidana
dengan dapat diperberat seertigannya dari ancaman pidana maksimum
yang ditentukan dalam tindak pidana yang dilakukan pidana yang
dilakukannya tadi.
Misalnya, seorang penyidik pembantu dalam melaksanakan penyitaan
barang-barang perhiasan di toko perhiasan, ketika itu dia mempunyai
kesempatan untuk mengambil dengan melawan hukum sebagian dari
perhiasan yang disita, maka pada kesempatan yang demikian dia
melakukan perbuatan terlarang itu, atau seorang polisi yang bertugas
mengamankan barang-barang penumpang dari suatu kecelakaan bis,
mengambil dengan maksud memiliki (mencuri) segebok uang dari tas
seorang korban (penumpang).
d Melakukan tindak pidana dengan menggunakan sarana jabatan
Seorang pegawai negeri dalam menjalankan kewajiban jabatannya
diberikan sarana-sarana tertentu, dan sarana mana dapat digunakan
untuk melakukan tindak pidana tertentu. Disini dapat diartikan
menyalah gunakan sarana jabatannya untuk melakukan suatu tindak
pidana.
Misanya, seorang polisi yang diberi hak menguasai senjata api, dan
dengan senjata api itu ia menembak mati musuh pribadi yang
dibencinya. Maka dapat diperberat pidana penjara yang dijatuhkan
kepadanya dengan ditambah sepertiga dari 15 tahun (338) atau sampai
maksimum 20 tahun.

2 Dasar pemberatan pidana dengan menggunakan sarana bendera


kebangsaan
Hal ini dirumuskan dalam pasal 52 a, KUHP yang bunyi lengkapnya
adalah:
“Bilamana pada waktu melakukan kejahatan digunakan bendera
kebangsaan republic indoesia, pidana untuk kejahatan tersebut dapat
ditambah sepertiga”.
Ketentuan ini detambahkan ke dalam KUHP berdasarkan undang-
undang No.73 tahun 1958 (LN No. 127 tahun 1958). Alasan
pemberatan pidana yang diletakkan pada penggunaaan bendera
kebangsaan ini, dari sudut objektif dapat mengelabui orang-orang
dapat memperlancar atau mempermudah si pembuat dalam urusannya
melakukan kejahatan.
Pasal 52a ini disebut tegas penggunaan bendera kebangsaan itu adalah
waktu melakukan kejahatan, disini berlaku pada kejahatan manapun.
3 Dasar pemberatan pidana karena pengulangan (Recidive)
Ada 2 (dua) arti pengulangan, Pertama menurut masyarakat (sosial)
yaitu masyarakat menganggap bahwa setiap orang yang setelah
dipidana, menjalaninya yang kemudian melakukan tindak pidana lagi,
disini ada pengulangan, tanpa memperhatikan syarat-syarat lainnya.
Kedua dalam arti hukum pidana, yang merupakan dasar pemberat
pidana ini, tidaklah cukup hanya melihat berulangnya melakukan
tindak pidana, tetapi dikaitkan pada syarat-syarat tertentu yang
ditetapkan undang-undang.
Undang-undang sendiri tidak mengatur mengenai pengulangan umum
(general recidive) dalam artian menentukan pengulangan berlaku
untuk dan terhadap semua tindak pidana. Akan tetapi mengenai
pengulangan ini KUHP kita mengatur sebagai berikut:
a Pertama, menyebutkan dengan mengelompokkan tindak-tindak
pidana tertentu dengan syarat-syarat  tertentu yang dapat terjadi
pengulangannya. Pengulangan hanya terbatas pada tindak
pidana-tindak pidana tertentu yang disebutkan dalam pasal
486,487,488 KUHP; dan
b Diluar kelompok kejahatan dalam pasal 386 ,387, 388 itu, KUHP
juga menentukan beberapa tindak pidana khusus tertentu yang
dapat terjadi pengulangan, misalnya pasal 216 ayat (3), 489 ayat
(2), 495 ayat (2), 501 ayat (2), 512 ayat (3).
Pemberatan pidana dengan dapat ditambah sepertiga dari ancaman
maksimum dari tindak pidana yang dilakukan senagaimana telah
diatur dalam pasal 486, 487, dan 488. Sebagaimana pemberatan
tersebut memenuhi 2(dua) syarat esensial, yaitu:
a Orang itu harus telah menjalani seluruh atau sebagian pidana yang
telah dijatuhkan hakim, atau ia dibebaskan dari menjalani
pidana, atau ketika ia melakukan kejahatan kedua kalinya itu,
hak Negara untk menjalankan pidananya belum kadaluwarsa.
b Melakukan kejahatan pengulangannya adalah dalam waktu belum
lewat 5 (lima) tahun sejak terpidana menjalani sebagian atau
seluruh pidana yang dijatuhkan.
Pemberatan tindak pidana juga yang menjadi dasar yaitu apabila dari
segi doktrin pidana dikenal adanya bentuk pengulangan kebetulan
(accidentally recidive) dan pengulangan kebiasaan (habitual recidive).
Pengulangan kebetulan maksudnya pembuat melakukan tindak pidana
yang kedua kalinya itu disebabkan oleh hal-hal yang bukan karena
sifat yang buruk, akan tetapi oleh sebab-sebab lain yang memang dia
tidak mampu mengatasinya. Misalnya karena akibat dari kehilangan
pekerjaan dari sebab masuk Lembaga Pemasyarakatan (LP) karena
mencuri uang majikannya, setelah keluar LP dia mencuri sepotong
roti karena kelaparan, dalam hal seperti ini sepatutnya tidak dijadikan
alasan pemberatan pidana. Berbeda dengan pengulangan karena
kebiasaan, yang menunjukkan perangai yang buruk. Tidak jarang
narapidana yang setelah keluar LP tidak menjadikan perangai yang
lebih baik, justru pengaruh pengulangan didalam LP menambah sifat
buruknya, kemudian melakukan kejahatan lagi, dan disini memang
wajar pidananya diperberat.

B Dasar pemberatan pidana khusus


Dasar pemberatan pidana khusus adalah dirumuskan dan berlaku pada
tindak pidana tertentu saja, dan tidak berlaku untuk tindak pidana
yang lain. Dasar pemberatan pidana khusus ini ialah pada si pembuat
dapat dipidana melampaui atau diatas ancaman maksimum ada tindak
pidana yang bersangkutan, hal diperberatkannya dimana dicantumkan
secara tegas dan mengenai tindak pidana tertentu tersebut.
• Segi-segi alasan pemberatan itu terletak dari 2 (dua) segi saja, yaitu:
segi objektif dan segi subyektif:
1 Pada segi objektif terletak pada macam-macam sebab, antara lain
a.      Pada akibat perbuatan, misalnya akibat luka berat atau kematian
pada ayat (2 dan 3) pasal 170; pada pencurian dengan kekerasan (365
ayat 3) ; pada penganiayaan biasa (351 ayat 3); pada pemerasan (368
ayat 2).
b.      Pada cara melakukan perbuatan, misalnya: dengan tulisan pada
pencemaran (310 ayat 2); dengan memberikan bahan yang berbahaya
bagi nyawa dan kesehatan pada penganiayaan (356 ayat 3); dengan
tipu muslihat, kekerasan atau ancaman kekerasan (332 ayat 2);
c.       Pada berulangnya suatu perbuatan, misalnya pencarian atau
kebiasaan (282 ayat 3; 299 ayat 2);
d.      Pada objek tindak pidana, misalnya: ternak (363 ayat 1); akta-akta
otentik, surat hutang dan sertifikat hutang dari suatu Negara (264 ayat
1); terhadap ibunya, bapaknya, istri atau anaknya atau pejabat ketika
atau karena menjalankan tugas yang sah (356 ke-1 dan 2)
e.       Pada subyek tindak pidana (si pembuat), misalnya: dokter/tabib,
bidan atau juru obat (349);
2 Segi subyektif, misalnya dengan membuat rencana lebih dahulu
(340,353 ayat 1).
Bab III
Kesimpulan

Pemberatan pidana, didalam Undang-undang dibedakan antara


dasar-dasar pemberatan pidana umum dan dasar-dasar pemberatan
pidana khusus.
Pertama, (3) tiga dasar yang menyebabkan diperberatkannya pidana
umum, ialah:

1.      Dasar pemberatan karena jabatan


2.      Dasar pemberatan karena menggunakan bendera kebangsaan

3.      Dasar pemberatan karena pengulangan (recidive)

Kedua, ialah pada si pembuat dapat dipidana melampaui atau diatas


ancaman maksimum ada tindak pidana yang bersangkutan, hal
diperberatkannya dimana dicantumkan secara tegas dan mengenai
tindak pidana tertentu tersebut. Kemudian segi-segi alasan
pemberatan itu terletak dari 2 (dua) segi saja, yaitu: segi objektif dan
segi subyektif.
DAFTAR PUSTAKA

Moeljatno. Asas-Asas Hukum Pidana Indonesia, Jakarta : Bina


Aksara, 1987, hlm. 139-200
R. Soesilo, Kitab Undang – Undang Hukum Pidana serta Komentar –
Komentarnja Lengkap Pasal Demi Pasal, Bogor, Politeia, 1973, hlm.
68-69
Kanter, E.Y. dan S.R. Sianturi. Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia
dan Penerapannya. Jakarta: Penerbit Storia Grafika, 2002.
Pelajaran hukum pidana bagian 2 karya: Drs. Adami chazawi, S.H. hal 73
Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), karya Prof. Moeljatno,
S.H.
http://www.academia.edu/12762201/II._Dasar_Pemberat_Pida
na
http://sinar-hukum.blogspot.co.id/2013/11/penggabungan-dan-
pemberatan-tindak.html

Anda mungkin juga menyukai