Anda di halaman 1dari 3

PEMBAHASAN

Toxoplasma gondii (T. gondii) adalah protozoa intraseluler yang biasa menetap
dan menyebabkan infeksi kronis seumur hidup di dalam tubuh inang. T. gondii
terdistribusi luas dengan variasi signifikan pada prevalensinya dalam regional
geografik yang berbeda. Peranan toxoplasmosis terhadap penyakit autoimun
belum mendapat banyak perhatian dibandingkan agen pathogen mikrobial
lainnya. Ini disebabkan oleh gejala asimtomatik pada toxoplasmosis akut, dan
kurangnya signifikansi gejala pada inang dengan kondisi immune-competent.
Meskipun begitu, beberapa studi selama tiga dekade terakhir menemukan ada
bukti tentang kemungkinan hubungan antara infeksi T. gondii dengan penyakit
autoimun.

Seroprevalensi anti-T. gondii antibodi (ATXAb) tinggi didokumentasikan


pertama kali pada pasien Juvenile Rheumatoid Arthritis (JRA) dan Rheumatoid
Arthritis (RA). RA adalah penyakit autoimun dengan etiologi yang belum jelas
dan kemungkinan besar memiliki hubungan erat dengan faktor genetik dan
lingkungan. Seroprevalensi anti-T. gondii IgG pada pasien RA sebesar 63% di
Eropa. Pada penelitian tersebut, untuk membuktikan teori adanya hubungan
antara toxoplasmosis dan RA, maka diadakan pengukuran disease activity score
(DAS) yang meliputi jumlah otot yang lemah saat disentuh, jumlah sendi yang
bengkak, erythrocyte sedimentation rate (ESR), dan penilaian pasien terhadap
aktivitas penyakit. Ditemukan adanya peningkatan skor DAS pada pasien RA
dengan ATXAb-seropositive dibandingkan dengan pasien RA dengan ATXAb-
seronegative.

T. gondii terlibat dalam penyakit autoimun dengan meyebabkan inflamasi dan


berperan sebagai ligan untuk toll-like receptors (TLRs). Saat ini diketahui ada
tiga belas jenis TLRs pada mamalia, yang mengidentifikasi kelas-kelas dari
patoge dan menginduksi tipe respon imun yang berbeda. Studi terakhir
menunjukkan bahwa beberapa fenotip berbeda dapat diamati pada infeksi T.
gondii yang dijelaskan dengan perbedaan strain-dependent dalam aktivasi
sinyal TLR. Meskipun TLRs secara luas diketahui memiliki kapasitas untuk
mengaktifkan respon imun pathogen-specific,studi terakhir menyatakan reseptor
bawaan ini juga menyebabkan kondisi autoimun dengan menginisiasi
autoinflamasi tanpa kontrol sebagai hasil mengenali dirinya sendiri.

Hubungan antara TLRs spesifik dan penyakit autoimun yang berbeda salah satu
contohnya yaitu sinyal TLR-2, TLR-3, dan TLR-4 yang terlalu reaktif dapat
menyebabkan munculnya inflamasi yang berkembang menjadi RA. Sehingga,
dapat ditarik hipotesis bahwa paparan terhadap infeksi T. gondii dapat
menyebabkan aktivasi dari TLRs, dengan potensi untuk memodulasi respon
imun menjadi autoimun. Infeksi Toxoplasma dapat juga menyebabkan
perubahan perpendulum imun yang akhirnya berubah menjadi inflamasi
autoimun pada pasien RA. Oleh karena itu, seroprevalensi ATXAb yang tinggi
dapat ditemukan pada populasi pasien RA.

Ditemukan juga tingkat seroprevalensi ATXAb yang tinggi pada pasien RA


degan usia tua, yang menimbulkan dugaan bahwa resiko terpapar infeksi T.
gondii meningkat seiring bertambahnya usia. Sistem imun pada orang tua lebih
lemah, terutama jika menyangkut autoimunitas dan penyimpangan pensinyalan
TLR. Lebih jauh lagi, gaya hidup seseorang atau jenis makanan yang dipilih
(contohnya konsumsi daging mentah) dapat meningkatkan resiko memperoleh
infeksi kronis T. gondii.

Pada literature yang kami dapatkan, masih diperlukan penelitian yang lebih
lanjut untuk menentukan patogenesis lain yang mejelaskan hubungan antara T.
gondii dengan penyakit autoimun RA. Studi ini juga dapat menjadi pandangan
baru untuk pencegahan penyakit autoimun khususnya RA agar tidak terpapar
infeksi T. gondii.’

Anda mungkin juga menyukai