Anda di halaman 1dari 8

MAKALAH INDIVIDU

ANALISA UU ITE

BAIHAQI MUHAMMAD
1416100077

DOSEN:
NIKEN PRASETYAWATI, SH., MH.

WAWASAN KEBANGSAAN 22
INSTITUT TEKNOLOGI SEPULUH NOPEMBER
BAB I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik atau yang biasa disingkat UU
ITE merupakan Undang-Undang (UU) yang didalamnya mengatur segala hal tentang
teknologi informasi yang berlaku di Indonesia. UU ini mulai dirancang pada tahun 2003
oleh Kementrian Komunikasi dan Informasi (Kominfo) yang saat itu dijabat oleh
Syamsul Mu’arif. Kemudian UU ITE terus digodog hingga akhirnya lahirlah Undang-
undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik yang diresmikan secara langsung oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Panjang sekali perjalanan UU ITE hingga akhirnya dapat bergulir sebagai konstitusi yang
mengatur arus internet yang ada di Indonesia ini.
Awal mula dirumuskan undang-undang ini adalah demi menjaga stabilitas arus
internet Indonesia dari hal-hal yang dapat merusak serta melindungi hak-hak para
pengguna Internet. Namun dalam berbagai kajian yang membahas UU ITE secara
mendalam, telah ditemukan beberapa kejanggalan yang ada dalam UU ITE serta dirasa
perlu dilakukan sebuah revisi. Banyak sekali kasus-kasus yang terjadi akibat imbas dari
UU ITE yang banyak dipertanyakan oleh para ahli. Sehingga akhirnya terjadilah revisi
UU ITE pada bulan oktober 2016 dengan terdapat setidaknya 4 hal yang berubah. Namun
dari revisi tersebut pun dirasa para ahli masih belum dapat menjaga stabilitas internet
Indonesia serta perlu diadakan kajian lebih lanjut. Oleh karena itu sebagai rakyat
Indonesia hendaknya ikut aktif mengawal jalannya konstitusi yang ada ini sehingga tidak
terjadi yang namanya kesewenang-wenangan dari para pemangku jabatan.

1.2 Perumusan Masalah


Perumusan masalah dalam penelitian ini adalah :
a) Apa yang dimaksud dengan UU ITE
b) Bagaimanakah sejarah ternemtuknya UU ITE
c) Bagaimanakah UU ITE dapat berjalan di Negara Indonesia
d) Analisa dampak UU ITE terhadap arus cyber di Indonesia

1.3 Tujuan Penelitian


Berdasarkan perumusan masalah diatas, maka tujuan dari penilitian ini adalah :
a) Mengetahui UU ITE secara komperhensif
b) Mengetahui berjalannya UU ITE di Indonesia
c) Mengetahui dampak yang ditimbulkan oleh UU ITE terhadap internet di Indonesia

1.4 Manfaat Penelitian


Adapun manfaat dari penelitian ini adalah :
a) Menambah wawasan akan konstitusi yang ada di Indonesia
b) Mengetahui sikap yang harus diambil dalam menghadapi UU ITE
c) Mengawal pemerintahan dalam menjalankan konstitusi yang ada
BAB II. ISI
2.1. Sejarah UU ITE
UU ITE mulai dirancang pada bulan maret 2003 oleh kementerian Negara komunikasi
dan informasi (Kominfo), pada mulanya RUU ITE diberi nama Undang-Undang Informasi
Komunikasi Dan Transaksi Elektronik oleh Departemen Perhubungan, Departemen
Perindustrian, Departemen Perdagangan, serta bekerja sama dengan Tim dari universitas
yang ada di Indonesia yaitu Universitas Padjajaran (Unpad), Institut Teknologi Bandung
(ITB) dan Universitas Indonesia (UI). Pada tanggal 5 september 2005 secara resmi Presiden
Susilo Bamgbang Yudhoyono menyampaikan RUU ITE kepada DPR melalui surat
No.R/70/Pres/9/2005. Dan menunjuk Dr.Sofyan A Djalil (Menteri Komunikasi dan
Informatika) dan Mohammad Andi Mattalata (Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia)
sebagai wakil pemerintah dalam pembahasan bersama dengan DPR RI. Dalam rangka
pembahasan RUU ITE Departerment Komunikasi dan Informasi membentuk Tim Antar
Departemen (TAD). Melalui Keputusan Menteri Komunikasi dan Informatika No.
83/KEP/M.KOMINFO/10/2005 tanggal 24 Oktober 2005 yang kemudian disempurnakan
dengan Keputusan Menteri No.: 10/KEP/M.Kominfo/01/2007 tanggal 23 Januari 2007. Bank
Indonesia masuk dalam Tim Antar Departemen (TAD) sebagai Pengarah (Gubernur Bank
Indonesia), Nara Sumber (Deputi Gubernur yang membidangi Sistem Pembayaran),
sekaligus merangkap sebagai anggota bersama-sama dengan instansi/departemen terkait.
Tugas Tim Antar Departemen antara lain adalah menyiapkan bahan, referensi, dan tanggapan
dalam pelaksanaan pembahasan RUU ITE, dan mengikuti pembahasan RUU ITE di DPR RI.
Dewan Perwakilam Rakyat (DPR) merespon surat Presiden No.R/70/Pres/9/2005. Dan
membentuk Panitia Khusus (Pansus) RUU ITE yang beranggotakan 50 orang dari 10
(sepuluh) Fraksi di DPR RI.
Dalam rangka menyusun Daftar Inventaris Masalah (DIM) atas draft RUU ITE yang
disampaikan Pemerintah tersebut, Pansus RUU ITE menyelenggarakan 13 kali Rapat Dengar
Pendapat Umum (RDPU) dengan berbagai pihak, antara lain perbankan,Lembaga Sandi
Negara, operator telekomunikasi,aparat penegak hukum dan kalangan akademisi.Akhirnya
pada bulan Desember 2006 Pansus DPR RI menetapkan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM)
sebanyak 287 DIM RUU ITE yang berasal dari 10 Fraksi yang tergabung dalam Pansus RUU
ITE DPR RI. Tanggal 24 Januari 2007 sampai dengan 6 Juni 2007 pansus DPR RI dengan
pemerintah yang diwakili oleh Dr.Sofyan A Djalil (Menteri Komunikasi dan Informatika)
dan Mohammad Andi Mattalata (Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia) membahas DIM
RUU ITE.Tanggal 29 Juni 2007 sampai dengan 31 Januari 2008 pembahasan RUU ITE
dalam tahapan pembentukan dunia kerja (panja). Sedangkan pembahasan RUU ITE tahap
Tim Perumus (Timus) dan Tim Sinkronisasi (Timsin) yang berlangsung sejak tanggal 13
Februari 2008 sampai dengan 13 Maret 2008. 18 Maret 2008 merupakan naskah akhir UU
ITE dibawa ke tingkat II sebagai pengambilan keputusan.25 Maret 2008, 10 Fraksi
menyetujui RUU ITE ditetapkan menjadi Undang-Undang. Selanjutnya Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono menandatangani naskah UU ITE menjadi Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, dan dimuat
dalam Lembaran Negara Nomor 58 Tahun 2008. UU ITE atau Undang-Undang Informasi
dan Transaksi Elektronik akhirnya resmi dilakukan revisi pada tanggal 27 oktober 2016 serta
langsung berlaku 30 hari setelah kesepakatan tersebut, yaitu pada tanggal 28 November 2016.
Hal ini sendiri disebabkan karena seluruh fraksi di Komisi I DPR telah menyatakan
persetujuannya untuk membahas revisi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tersebut.
Dari persetujuan ini nantinya DPR akan membentuk Panitia Kerja untuk membahas secara
rinci isi revisi tersebut.

2.2. Konten UU ITE


Secara umum, materi Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE)
dibagi menjadi dua bagian besar, yaitu pengaturan mengenai informasi dan transaksi
elektronik dan pengaturan mengenai perbuatan yang dilarang. Pengaturan mengenai
informasi dan transaksi elektronik mengacu pada beberapa instrumen internasional, seperti
UNCITRAL Model Law on eCommerce dan UNCITRAL Model Law on eSignature. Bagian
ini dimaksudkan untuk mengakomodir kebutuhan para pelaku bisnis di internet dan
masyarakat umumnya guna mendapatkan kepastian hukum dalam melakukan transaksi
elektronik. Berikut beberapa materi yang diatur, antara lain:
1. Pengakuan informasi/dokumen elektronik sebagai alat bukti hukum yang sah (Pasal
5 dan Pasal 6 UU ITE);
2. Tanda tangan elektronik (Pasal 11 dan Pasal 12 UU ITE);

3. Penyelenggaraan sertifikasi elektronik (certification authority, Pasal 13 dan Pasal 14


UU ITE); dan

4. Penyelenggaraan sistem elektronik (Pasal 15 dan Pasal 16 UU ITE)

5. Perbuatan yang dilarang (cybercrimes). Beberapa cybercrimes yang diatur dalam


UU ITE, antara lain:

a. Konten ilegal, yang terdiri dari, antara lain: kesusilaan, perjudian,


penghinaan/pencemaran nama baik, pengancaman dan pemerasan (Pasal 27,
Pasal 28, dan Pasal 29 UU ITE);
b. Akses ilegal (Pasal 30);

c. Intersepsi ilegal (Pasal 31);

d. Gangguan terhadap data (data interference, Pasal 32 UU ITE);

e. Gangguan terhadap sistem (system interference, Pasal 33 UU ITE);

f. Penyalahgunaan alat dan perangkat (misuse of device, Pasal 34 UU ITE)

Penyusunan materi UU ITE tidak terlepas dari dua naskah akademis yang disusun
oleh dua institusi pendidikan yakni Universitas Padjadjaran (Unpad) dan Universitas
Indonesia (UI). Tim Unpad ditunjuk oleh Departemen Komunikasi dan Informasi sedangkan
Tim UI oleh Departemen Perindustrian dan Perdagangan. Pada penyusunannya, Tim Unpad
bekerjasama dengan para pakar di Institut Teknologi Bandung yang kemudian menamai
naskah akademisnya dengan RUU Pemanfaatan Teknologi Informasi (RUU PTI). Sedangkan
tim UI menamai naskah akademisnya dengan RUU Informasi Elektronik dan Transaksi
Elektronik. Kedua naskah akademis tersebut pada akhirnya digabung dan disesuaikan
kembali oleh tim yang dipimpin Prof. Ahmad M Ramli SH (atas nama pemerintah Susilo
Bambang Yudhoyono), sehingga namanya menjadi Undang-Undang Informasi dan Transaksi
Elektronik sebagaimana disahkan oleh DPR di tahun 2008.
Seiring dengan berjalannya waktu banyak sekali kasus-kasus yang terjadi akibat imbas
UU ITE yang dirasa para ahli perlu banyak perbaikan. Sehingga akhirnya pada tanggal 27
Oktober 2016 yang lalu, pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) telah
menyepakati revisi terhadap Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik (UU ITE). Revisi tersebut pun langsung berlaku tiga puluh hari setelah
kesepakatan tersebut, yaitu pada tanggal 28 November 2016 kemari. Setidaknya ada 4
perubahan yang terjadi pada revisi UU ITE kali ini, yaitu :
1. Penambahan pasal hak untuk dilupakan, yakni pasal 26. Pasal itu menjelaskan
seseorang boleh mengajukan penghapusan berita terkait dirinya pada masa lalu yang
sudah selesai, namun diangkat kembali. Salah satunya seorang tersangka yang
terbukti tidak bersalah di pengadilan, maka dia berhak mengajukan ke pengadilan
agar pemberitaan tersangka dirinya agar dihapus.
2. Durasi hukuman penjara terkait pencemaran nama baik, penghinaan dan sebagainya
dikurangi menjadi di bawah lima tahun. Dengan demikian, berdasarkan Pasal 21
KUHAP, tersangka selama masa penyidikan tak boleh ditahan karena hanya disangka
melakukan tindak pidana ringan yang ancaman hukumannya penjara di bawah lima
tahun.
3. Tafsir atas Pasal 5 terkait dokumen elektronik sebagai bukti hukum yang sah di
pengadilan. UU ITE yang baru mengikuti putusan Mahkamah Konstitusi yang
menyatakan dokumen elektronik yang diperoleh melalui penyadapan (intersepsi)
tanpa seizin pengadilan tidak sah sebagai bukti.
4. Penambahan ayat baru dalam Pasal 40. Pada ayat tersebut, pemerintah berhak
menghapus dokumen elektronik yang terbukti menyebarkan informasi yang
melanggar undang-undang. Informasi yang dimaksud terkait pornografi, SARA,
terorisme, pencemaran nama baik, dan lainnya. Jika situs yang menyediakan
informasi melanggar undang-undang merupakan perusahaan media, maka akan
mengikuti mekanisme di Dewan Pers. Namun, bila situs yang menyediakan
informasi tersebut tak berbadan hukum dan tak terdaftar sebagai perusahaan media
(nonpers), pemerintah dapat langsung memblokirnya.

BAB III. ANALISA


3.1. Analisa Dampak UU ITE
Dalam era globalisasi ini arus informasi yang mengalir melalui internet sangatlah
deras. Bahkan dapat dibilang segala hal yang ada di dunia ini dapat dengan mudah
didapatkan melalui internet. Begitupun dengan maraknya gadget yang sekarang menjadi
barang yang lumrah dibawa khalayak umum. Orang-orang pun menjadi melek informasi
berkat gadget, bahkan terkadang dengan gadget seseorang dapat terlihat sangat pintar.
Melalui gadget seseorang dapat dengen mudah menyalurkan aspirasi mereka ke khalayak
umum. Namun tentu ada batasan-batasan yang harus dipatuhi sesuai dengan UU ITE yang
berlaku di Negara Indonesia ini apalagi setelah terjadi revisi terbaru.
Revisi Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik atau UU ITE, yang akan
mulai berlaku pada Senin 28 November 2016, tampaknya masih mengundang kontroversi
terutama pasal pencemaran nama baik. Juru bicara Kementerian Komunikasi dan Informasi,
Noor Iza, menegaskan bahwa revisi UU ITE bertujuan untuk memberikan kepastian hukum
dan perlakuan yang adil bagi para pengguna internet. Setidaknya ada beberapa analisa
singkat atas revisi UU ITE, yaitu :
1. Pasal Pencemaran Nama Baik
Salah satu revisi adalah mengatur pasal pencemaran nama baik menjadi delik aduan,
yang berarti hanya dapat diproses secara hukum jika dilaporkan oleh korban atau
sesorang yang merasa menjadi sasaran. Apabila ditilik lebih dalam dapat diambil
contoh bahwa ketika ada oarng lain diluar yang bersangkutan hendak melaporkan
delik aduan, maka hal tersebut secara UU tidak dibenarkan. Padahal dalam
menyampaikan/mengadukan tindak pidana cybercrime tentu semua orang memiliki
hal yang sama, tidak melulu harus orang yang bersangkutan atau disebut sebagai
korban. Oleh karena itu pada pasal pencemaran nama baik ini masih banyak
diperdebatkan oleh para ahli hokum, banyak yang menyangkal bahwa revisi UU
tersebut masih terbilang belum matang. Akan tetapi apabila dilihat dari contoh kasus
diatas sepertinya masih butuh kajian yang lebih mendalam terkait pencemaran nama
baik. Hal terpenting yang harus dipatuhi adalah tetap berpedoman pada KUHP yang
telah dirancang sedemikian rupa sehingga tidak menimbulkan hal yang kontradiktif
terhadap konstitusi yang telah ada sejak awal.

2. Hukuman diringankan
Perubahan lain adalah ancaman hukuman pencemaran nama baik diturunkan dari
maksimal enam tahun menjadi empat tahun sehingga tersangka pelaku pencemaran
nama baik tidak akan ditahan. Alasannya dalam KUHP disebutkan bahwa penahanan
perlu dilakukan jika ancaman penjara di atas lima tahun.
UU ITE yang mulai diberlakukan pada 2008 telah mengundang banyak kecaman
karena dianggap membatasi publik untuk memberikan kritik. Salah satu yang
menjadi korban adalah Prita Mulyasari, yang mengkritik salah satu rumah sakit
swasta melalui email pribadi yang kemudian tersebar di dunia maya. Prita kemudian
ditahan walau Pengadilan Tangerang akhirnya membebaskannya dari pencemaran
nama baik.

3. Blokir pemerintah
Lewat revisi ini, pemerintah juga diberikan kewenangan untuk memutus akses
informasi elektronik yang dianggap melanggar hukum. Berbagai ahli berpendapat
bahwa ketentuan tersebut sebenarnya sudah lama diatur dalam Peraturan Menteri
Kominfo walau belum ada undang-undang sebagai payung hukum yang menegaskan
pemerintah wajib memblokir konten negatif.
Hal-hal yang dapat diblokir itu mengacu lagi pada UU lain. Misal jikalau konten
yang diblokir terkait terorisme maka hal tersebut akan diatur dalam UU Terorisme
dan yang diperbolehkan meminta pemblokiran misalnya BNPT. Serta apabila konten
yang ada terkait dengan obat-obatan terlarang, maka akan diatur lewat UU kesehatan
dan hanya BPOM serta badan sejenisnya yang diperbolehkan meminta pemblokiran.
Oleh karena itu pihak Kominfo memiliki pekerjaan berat untuk menerapkan blokir
yang tepat sasaran, adil, cepat dan transparan. Karena apabila blokir tidak tepat
sasaran tentu dapat merugikan beberapa pihak dan menimbulkan perpecahan antar
golongan.

4. Right to Be Forgotten
Selain perubahan pencemaran nama baik, revisi juga menambahkan
ketentuan mengenai right to be forgotten atau hak untuk dilupakan dengan
menghapus konten informasi elektronik yang tidak benar, berdasarkan keputusan
pengadilan. Penghapusan konten ini dilakukan untuk semua data di internet setelah
dibuktikan di pengadilan karena bertujuan untuk membersihkan nama baik
seseorang. Agar konten-konten itu tidak dapat diakses, dikeluarkan dari sistem yang
terbuka atau konten-konten itu dihapus. Tidak lagi dapat di-search jadi search
engine harus menghilangkan dan juga server-server harus menutup konten-konten itu
agar tidak dapat diakses. Indonesia adalah negara pertama di Asia yang menerapkan
ketentuan right to be forgotten, namun sudah banyak diterapkan di negara-negara
lain khususnya di belahan barat.
Dengan adanya right to be forgotten ini dapat memberikan efek positif bagi
korban yang mengalami pencemaran nama baik. Karena sebelum adanya UU yang
mengatur ini banyak korban pencemaran nama baik yang citra nya tidak bisa
dikembalikan seperti awal mula. Sehingga dapat menimbulkan kerugian secara non
materiil bagi korban yang terkena dampak. Maka dari itu revisi UU yang satu ini
banyak didukung oleh para ahli yang bergerak di bidang IT. Harapannya tentu dapat
membantu memperbaiki nama seseorang yang telah tercemar namanya.

BAB IV. PENUTUP


4.1. Kesimpulan
Dari pemaparan analisa diatas dapat diambil sebuah kesimpulan bahwasannya pekerjaan
rumah dari Kominfo sangatlah berat. Hal ini sejalan dengan semakin banyaknya pengguna
internet di Indonesia sekarang. Apabila undang-undang yang diterapkan tidak berjalan seperti
seharusnya tentu akan berdampak negatif bagi banyak pihak. Sudah banyak sekali kasus
cybercrime yang terjadi di Indonesia ini. Harapannya dengan revisi UU ITE ini dapat
mengurangi tingkat kejahatan cybercrime yang terus melanda pengguna internet Indonesia.
Tentu juga dengan adanya UU ITE ini semoga tidak membatasi kebebasan berekspresi dari
rakyat Indonesia. Karena pada hakikatnya menyampaikan pendapat merupakan hak dari
seseorang. Namun perlu kita cermati bahwa Kominfo tidak akan bisa bekerja dengan sendiri
dan tentu butuh bantuan serta pengawasan dari masyarakat Indonesia. Oleh karena itu mari
kita tumbuhkan rasa peduli dalam diri kita sehingga dapat ikut mengawal berjalannya
pemerintahan yang ada secara maksimal.

4.2. Daftar Pustaka


1. Undang-Undang Republik Indonesia
2. Wikipedia : Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik
https://id.wikipedia.org/wiki/Undang-undang_Informasi_dan_Transaksi_Elektronik
3. Kitab Undang-undang Hukum Pidana
4. Sejarah Undang – Undang ITE
http://ghanchou.blogspot.co.id/2010/07/sejarah-undang-undang-ite.html
5. Revisi UU ITE membatasi kebebasan berekspresi?
http://www.bbc.com/indonesia/indonesia-38124294
6. ‘Tidak ada perbaikan’ kebebasan berekspresi di Indonesia
http://www.bbc.com/indonesia/berita_indonesia/2016/02/160224_indonesia_internet
_kebebasanekspresi
7. Setumpuk PR pasca revisi UU ITE dijalankan
http://www.indotelko.com/kanal?c=ed&it=setumpuk-pr-pasca-revisi-uu

Anda mungkin juga menyukai