semakin tinggi. Padahal orangtua tidak punya waktu yang cukup untuk memperhatikan,
mendampingi dan mengawasi anak. Anak lebih banyak menghabiskan waktu menonton
TV, bermain playstation,menonton video/DVD/VCD daripada melakukan hal lainnya.
Pola anak dalam mengkonsumsi media memang dapat mempengaruhi anak. Saat ini,
tampaknya sulit memisahkan anak-anak dari media. Bayangkan anak sehari-hari
menggunakan TV, menonton VCD/DVD, bermain video game, menggunakan internet,
membaca komik, memakai handphone dan sebagainya. Anak-anak masa kini adalah
anak-anak yang sejak lahir telah terbiasa dengan kehadiran media tersebut diatas,
media tersebut “mengepung” anak. Media telah menjadi bagian sehari-hari dari
kehidupan anak. Media menjangkau semua orang dimana-mana.
Media merupakan dua sisi mata uang yang tak terpisahkan satu dengan lainnya. Disatu
sisi, media, menampakkan wajah ‘prososial’. Disisi yang lain menampilkan wajahnya
yang ‘asosial’. Pada sisi prososial, media melakukan penyebaran informasi melalui
media seperti suratkabar, televisi, radio, film, dan internet telah membentuk
pengetahuan dan pendapat manusia mengenai berbagai peristiwa atau hal yang
menyangkut kehidupan. Pada wajahnya yang positif, media membawa muatan
prososial. Misalnya, acara pendidikan dan informasi di TV, buku cerita anak, situs-situs
pendidikan di internet, film-film yang menghibur dan sekaligus mendidik, atau
videogame yang sehat bagi anak.
Namun, pada saat media menampilkan sisi negatifnya, media menjadi destruktif. Media
menampilkan muatan yang tidak baik dikonsumsi, terutama anak-anak seperti misalnya
menampilkan sisi kekerasan, situs porno, komik porno, film atau game kekerasan.
Media dikatakan membawa muatan anti-sosial.
Bagi anak-anak, kegiatan menonton televisi bisa jadi merupakan keharusan. Bahkan,
ada anak-anak yang menghabiskan sebagian besar waktunya di depan televisi. Dengan
begitu, iklan, tayangan dan tampilan pada mediapun bisa menjadi salah satu model
bagi bayi dan anak-anak. Dari waktu ke waktu, banyak sekali kasus mengenai dampak
media terutama siaran televisi di Indonesia, misalnya “kasus Smackdown”. Kasus lain
adalah keluhan seorang ibu karena anaknya yang berusia 3.5 tahun, bicaranya cadel
dan tergagap-gagap. Ternyata anak tersebut meniru karakter dalam sinetron “Si Yoyo”.
Sinetron tersebut menampilkan sosok pemuda lugu, yang memiliki perilaku dan pola
pikir seperti anak kecil. Terbukti bahwa sinetron tersbut telah menjadi “sihir” bagi anak-
anak, sehingga banyak yang meniru karakter si Yoyo.
Media menjangkau semua orang dimana-mana. Yang menjadi pertanyaan adalah :
seperti apa sesungguhnya media yang digunakan anak-anak kita dan potensial untuk
mempengaruhi ? Jawabannya : Mengkhawatirkan !!!!!
Media massa, terutama televisi, merupakan sarana yang sangat efektif untuk
mentransfer nilai dan pesan yang dapat mempengaruhi khalayak secara luas. Bahkan
televisi dapat membuat orang kecanduan. Kini, media audio visual ini telah menjadi
narkotika sosial yang paling efisien dan paling bisa diterima. Interaksi masyarakat,
terutama anak, terhadap televisi, sangat tinggi. Idealnya seorang anak hanya menonton
tayangan televisi sebanyak dua jam sehari. Data pola menonton televisi pada anak-
anak menunjukkan bahwa jumlah jam menonton anak-anak melampaui batas jam
menonton ideal. Angka 35 jam per minggu, berarti sama dengan 1820 jam per tahun,
padahal jam belajar anak sekolah dasar menurut United Nations Education and Culture
Organization (UNESCO) tidak melebihi 1000 jam per tahun. Jika melihat perbandingan
jumlah jam menonton televisi dengan jumlah jam belajar di sekolah, maka dikuatirkan
proses pembentukan pola pikir, karakter, dan perilaku anak justru terbentuk melalui
tayangan televisi.
Penelitian Yayasan Pengembangan Media Anak (YPMA) tahun 2006 jumlah menonton
TV pada anak-anak SD berkisar antara 30-35 jam seminggu (sekitar 4.5 jam sehari).
Belum lagi, angka ini masih ditambah sekitar 10 jam untuk bermain video game. Ini
adalah jumlah waktu yang terlalu besar untuk hiburan yang kurang sehat bagi anak.
Padahal, batas maksimal yang diperbolehkan ahli adalah anak menonton TV atau
permainan media lainnya seperti play station, komputer dan lain-lain maksimal 2 jam
sehari. Data menunjukkan bahwa waktu menonton TV anak-anak saat libur akhir pekan
telah lama sekitra 3 jam dibandingkan waktu menonton TV di hari biasa. TV memang
menayangkan lebih banyak acara anak di hari libur dibandingkan hari lainnya.
Siapa yang paling gampang terpengaruh media ? Jawabannya : dua kelompok yaitu
anak dan remaja. Ada tiga hal yang menjadi penyebab utama :
1. Anak dan remaja biasanya belum kritis
2. Anak dan remaja umumnya senang meng-imitasi apa yang dilihat atau didengar
3. Pengaruh teman sebaya.
Apa masalahnya dengan menonton TV pada anak ? Banyak anak menonton TV bukan
hanya tayangan anak. Anak menonton segala acara, termasuk tayangan kehidupan
orang dewasa. Masalahnya, jika anak menonton acara anak pun, belum tentu anak
akan bebas dari virus buruk TV. Banuak acara TV bertema kekerasan dan mistik. Aksi
kekerasan semacam membunuh, menembak, memukul, menampar, menendang, dan
melukai sangat banyak tampil dalam acara anak-anak, baik animasi maupun sinetron.
Ini belum ditambah dengan kekerasan verbal dan kata-kata kasar.
Video Game
Tidak semua game itu sehat karena semakin lama makin banyak game yang
mengandung kekerasan. Misalnya seperti : Mortal Combat, Tomb Rider, Resident Evil,
Street Fighter, dan lain-lain. Video game ini merupakan game yang diperuntukkan bagi
orang dewasa, tetapi menjadi permainan populer di kalangan anak –anak. Video
semacam ini menyajikan darah dan kekejaman secara ekspresif dan menu utama.
Belakangan, game kekerasan juga banyak yang mengandung muatan seks.
Video game (baik yang muatannya sehat) dapat juga membawa dampak buruk karena
permainan ini sangat berpotensi mengucilkan anak-anak dari lingkungan sosialnya.
Permaianan elektronik ini sangat menghambat anak untuk berinteraksi dengan
lingkungan sosialnya. Mereka hanya bermain sendirian, interaksi dilakukan hanya
dengan tokoh-tokoh maya yang padaa tingkat tertentu dapat mereka kendalikan dan
mereka prediksi perilakunya.
Dengan demikian permainan elektronik ini menutup peluang anak untuk berlatih
menghadapi orang-orang lain dalam kehidupan sebenarnya. Permainan ini berpotensi
menghambat proses sosialisasi anak-anak. Permainan ini juga dapat membuat anak
kecanduan.
Riset dari Yayasan Pengembangan Anak (YPMA) tahun 2008, menunjukkan bahwa
anak bermain game rata-rata 1 jam sehari dan 3.5 jam sehari pada hari libur.
Permainan ini juga bisa dilakukan dengan komputer, TV atau Handphone (hp). Jika
mereka tidak punya permainan game sendiri, mereka dapat dengan mudahnya pergi ke
rental game yang harganya cukup terjangkau dan tersebar dimana-mana. Di tempat-
tempat seperti ini tidak ada pembatasan usia pemain yang datang dan jenis game yang
hendak dimainkan.
Internet
Internet menjadi media yang makin populer dan dekat dengan kehidupan manusia
modern sekarang ini, tak terkecuali anak dan remaja. Nilai guna dan sisi positif internet
adalah meningkatkan pengetahuan, meningkatkan ketrampilan membaca, sebagai alat
komunikasi, membantu untuk penelitian, sebagai alat hiburan dan membentuk jaringan.
Adapaun nilai destruktif atau sisi negatif internet yang paling banyak disebut adalah
pornografi. Anak menjadi korban pornografi di internet dengan dua cara : sebagai
konsumen dan sebagai komoditas. Anak sebagai komoditas internet dipakai oleh kaum
pedofilia untuk meng”akses’ anak.
Saat ini, situs yang paling populer adalah situs jaringan pertemanan, facebook. Selain
itu anak jugas mengenal situs twitter, plurk dan sebagainya. Selain menggunakan
internet untuk berkomunikasi, anak juga menggunakannya untuk bermain game on-line
atau untuk mengerjakan tugas sekolah.
Handphone/Ponsel
Anak-anak banyak menggunakan ponsel. Media yang satu ini punya kemampuan yang
banyak sekali, bukan sekedar untuk menelpon atau sms, dan lain-lain. Hp juga dapat
dipakai untuk mengakses internet. Survei YPMA tahun 2006 menunjukkan bahwa anak
umumnya menggunakan HP untuk meng-SMS, menelpon teman, memotret, bermain
game dan bertukar gambar melalui MMS. Hanya sebagian kecil, anak yang
menggunakan HP untuk menelpon orangtua mereka.
Film VCD/DVD
Anak-anak mudah mendapatkan film VCD/DVD di pasaran. Selain itu, harganya murah.
Rental film VCD/DVD bertebaran dimana-mana. Masalahnya adalah, film yang beredar
banyak sekali yang tidak sehat dikonsumsi anak, karena mengandung seks dan
kekerasan. Tambahan pula, orangtua banyak sekali yang tidak mengontrol konsumsi
film untuk anaknya.
Salah satu yang banyak dikeluhkan pada masa kini adalah rendahnya minat baca anak.
Kalau toh suka membaca, yang disukai anak adalah membaca komik. Dari anak
sampai remaja suka komik. Kebanyakan yang disukai adalah komik Jepang. Jenis
komik ini banyak berisi muatan kekerasan dan banyak mengandung seks.
Sebenarnya banyak di antara komik Jepang tersebut yang bukan diperuntukkan untuk
anak, tetapi untuk remaja bahkan dewasa (karena banyak unsur seks yang
ditampilkannya). Tetapi karena tampilannya komik, anak-anakpun banyak yang
mengkonsumsinya. Apalagi orangtua juga seringkali tidak mengontrol atau menyeleksi
komik yang dibaca anak. Banyak orang, mengira karena bentuknya komik maka itu
adalah bacaaan anak.
Dapat dikatakan, pada saat ini anak-anak “terkepung” media. Banyak judul komik yang
populer memiliki versi TV dan game. Kemudian timbul pula merchandise-nya (kartu,
boneka, pin, poster, stiker, kaus, tas, tempat pensil, dll) Misalnya Crayon Sinchan,
Tom & Jerry atauNaruto. Padahal kita tahu, banyak dari muatan itu negatif,
mengandung daya destruktif atau tidak sehat bagi anak.
Media adalah salah satu agen sosialisasi. Sosialisasi adalah proses penyampaian
(transmisi) nilai. Pada proses ini individu mengadopsi nila dan perilaku dari berbagai
sumber (yang disebut sebagai “agen sosialisasi”). Media adalah salah satu agen
sosialisasi, disamping sekolah, orangtua, saudara kandung dan teman.
Teori yang paling populer yang menjalaskan bahwa pada anak-anak terjadi
pembelajaran setelah melihat contoh (observational learning). Melalui agen-agen
sosialisasi ini, anak menerima informasi dan belajar tentang sikap dan perilaku, baik
melalui instruksi formal (misalnya : orangtua menyatakan apa yang harus dikerjakan
atau apa yang boleh dan tidak boleh, dsb), pengalaman langsung atau melalui
observasi terhadap tindakan orang lain. Observational learning dapat dijelaskan
melalui social learning (belajar sosial). Teori ini menyatakan, belajar terjadi karena
peniruan (limitation). Kemampuan meniru respons orang lain, adalah penyebab utama
belajar. Contoh-contoh social learning : orang belajar bagaimana memakai mode
pakaiana, bagaimana berkencan, bagaimana sebaiknya bersikap sebagai pria atau
wanita, dan tentu saja orang belajar perilaku-perilaku seksual dan agresi baru dari film
atau acara di TV, game atau internet. Orang dapat memperoleh pola-pola perilaku baru
melalui pengamatan terhadap orang-orang lain. Model yang ditiru tidak harus berupa
bentuk hidup. Penyajian simbolik atau piktorial (acara TV, game, atau internet misalnya)
juga berfungsi sebagai sumber peniruan.
Dalam hal ini, anak adalah seperti kertas putih (atau mesin photocopy) yang haus
belajar. Ia siap diisi oleh apa saja dan akan menjiplak apa saja yang masuk ke dalam
benaknya. Anak akan menyerap tawaran dari medai, karena ia belum memiliki
kemampuan untuk menentukan pilihan bagi dirinya sendiri. Itulah sebabnyha, anak
disebut sebagai “khalayak yang rentan”. Pertama, karena anak cendrung tidak
kritis. Kedua, anak memiliki kecendrungan tinggi untuk mencoba dan
mengimitasi. Ketiga, anak cenderung loyal pada sesuatu yang telah
disukainya. Apalagi, anak juga kerap tidak mampu membedakan antara fantasi dan
realita. Karena itu, jika misalnya ia kerap melihat adegan kekerasan di TV atau game
maka ia akan menyangka kekerasan itu nyata dan ketiak ia berada pada situasi yang
mirip dengan apa yang dilihatnya di media, ia akan mempraktekkan kekerasan yang
dilihatnya di acara TV atau game itu.
Media menjadi agen sosialisasi yang penting, karena anak-anak kita makin terbiasa
dengan media sejak usia yang masih dini. Anak-anak kita besar dengan media. Media
laksana babysitter bagi mereka. Sialnya, kualitas babysitter ini kebanyakan buruk.
Media mengenalkan anak-anak pada kehidupan dewasa. Itulah yang membuat anak-
anak tercerabut dari masa kanak-kanak yang seharusnya. Anak-anak sejak kecil sudah
mengenal banyak hal dari aspek kehidupan orang dewasa, sehingga ia terperangkap
dalam kedewasaan baik secara fisik, psikologis, ataupun sosial. Padahal anak-anak
belum siap untuk itu.
Dari media tertentu, lihatlah film kartun anak-anak. Banyak yang isinya terkait dengan
hubungan pria-wanita dan seks. Misalnya : Popeye dan Crayon Sinchan.
Kemudian iklan TV. Mari kita lihat iklan Irex, Rapet Wangi atau On-Clinic. Semuanya
menjual seks, padahal iklan-iklan itu bisa saja ditayangkan pada jam tayang keluarga.
Atau, lihatlah tabloid-tabloid porno yang dijajarkan di pinggir jalan. Anak-anak setiap
saat dapat melihatnya. Mereka sejal kecil sudah melihat gambar perempuan dewasa
nyaris telanjang. Dan itu seks, ada pula sinetron, telenovela atau film layar lebar yang
menampilakn hubungan pria-wanita atau seks secara eksplisit. Sekaligus, dari kisah-
kisahnya mereka menangkap tentang penyelewengan, perceraian, dan kirisis hubungan
pria-wanita lainnya. Ada pula videoklip yang menjual seks. Ada perempuan-perempuan
nyaris telanjang yang menari bergoyang sensual. Belum lagi, syar yang dinyanyikan
kadangkala mengandung muatan seks pula. Anak-anak juga mengenal seks, melalui
gambar atau video di internet atau videogame.
Kemudian, mereka juga belajar kekerasan dari media melalui film kartun, film dewasa,
sinetron, dan game. Dari sini kadang-kadang anak belajar bahwa kekerasan adalah
jalan keluar untuk menyelesaikan masalah. Mereka juga mengenal horor sedari mereka
sangat kecil. Kemungkinan karena di rumah para orang dewasa menonton acara
misteri di TV atau film yang menampilkan mak lampir, kuntilanak, tuyul, dsb. Sekaligus,
dengan menonton acara-acara demikian, anak-anak berkenalan dengan dunia klenik.
Daftar ini akan bertambah panjang jika kita juga berbicara tentang profanity, kata-kata
vulgar, kasar dan tidak sopan yang sering jadi langgam bicara para tokoh yang tampil di
sinetron atau film.
Lalu bagaimana ? Apakah kita harus menghindarkan diri anak-anak dari media ? Tidak
perlu !!!, karena : (1) pengaruh media seperti dua sisi mata uang dalam satu koin, (2)
kita sukar sekali mengisolasi dri dari media, dan (3) ada sisi media yang baik dan ada
sisi media yang buruk. Kita tetap dapat mengkonsumsi media, hanya harus disadari
bahwa perilaku tersebut sebaiknya dilengkapi dengan suatu ketrampilan atau
kemampuan mendasar. Kemampuan itu adalah yang disebut dengan Melek
Media (Media Literacy).
Upaya ini memang baru dan skala masih terbatas. Tetapi dengan dukungan berbagai
pihak, termasuk pihak sekolah yang akan menjadi ujung tombak pelaksanaan kegiatan
ini, ketrampilan melek media dapat diberikan kepada anak. Tujuannya tentu saja agar
anak menjadi melek media, suatu bekal yang diperlukan agar ia dapat menjadi
konsumen media yang bijak yang dapat membawa kemashalatan bagi dirinya dan
masyarakat.
Gambaran yang ditulis banyak dari tulisan ini menyebutkan bahwa media yang
mengepung anak kondisinya mengkhawatirkan, dalam arti muatannya banyak yang
tidak sehat dan tidak aman bagi anak. Kalau dimisalkan media dengan isi yang tidak
mendidik adalah sejenis virus, maka melek media dapat diibaratkan antivirus untuk
menangkap pengaruh buruk dari virus tersebut.
Our little steps will make BIG difference, So ACT now!! And make
the CHANGE.
Sumber Pustaka :
Bahan Ajar Pendidikan Media untuk Guru, 2010, Dikembangkan oleh Yayasan
Pengembangan Media Anak dengan dukungan UNICEF.
Pengaruh Media Terhadap Perkembangan Anak, Departemen Pendidikan
Nasional, Direktorat Jenderal Pendidikan Non Formal dan Informal, Direktorat
Pendidikan Anak Usia Dini, 2009