Anda di halaman 1dari 4

Nama : Wafiq Salsabela

Kelas : 2 Reg A

KEKERASAN PADA PEREMPUAN TERSEMBUNYI DI LACI MEJA KERJA


Versi terbaru per: 10/03/2020
Nurhadi Sucahyo

Aksi unjuk rasa di depan kantor Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan,


memprotes pelecehan seksual dan kekerasan terhadap perempuan di kampus-kampus,
Jakarta, 10 Februari 2020. (Foto: AFP)

Hari Sabtu, 7 Maret 2020 sore, Rektor Universitas Muhammadiyah Yogyakarta


mengundang jurnalis ke kantornya. Undangan itu muncul, karena pagi harinya, tersebar
salinan surat seputar pemeriksaan seorang dosen yang juga Kepala Lembaga Kerja Sama
(LKS) UMY. Surat itu berisi kronologis kasus kekerasan verbal kepala lembaga itu kepada
enam staf perempuan. Keenam staf itu terdiri dua staf mahasiswi magang dan empat staf
temporer.
Dalam salinan surat itu, enam staf perempuan di LKS UMY melapokan atasan
mereka, berinisial EPP. Menurut para staf itu, EEP kerap melakukan kekerasan verbal.
Kekerasan sudah terjadi lebih dari setahun namun tidak dilapokan karena staf berstatus
mahasiswi takut, laporan itu berpengaruh pada kelulusan mereka. Karena itulah, laporan
dilakukan setelah yudisium.

Rektor UMY Gunawan Budianto. (Foto:VOA/ Nurhadi)


Rektor UMY, Gunawan Budianto membenarkan peristiwa itu. “Mereka merasa
direndahkan, harga dirinya. Dikatakan idiot, goblok, kucluk, itu selalu. Kalau ada kesalahan.
Ya, biasalah kadang kala dalam berbahasa Inggris itu kan tidak selancar yang kita inginkan.
Kadangkala salah ketik itu dia enggak mau tolerir,” kata Gunawan.
Ada tiga staf laki-laki di kantor yang sama, tetapi menurut rektor, ketiganya tidak menerima
intimidasi serupa.
Tindakan lain yang meresahkan para staf perempuan ini, adalah karena atasan mereka
itu, sering melakukan pangggilan video melalui aplikasi di telepon, pada malam hari.
“Ternyata kesalahannya adalah, dia video call itu jam 9 malam. Itu yang bersangkutan
memang keberatan. Dengan apapun alasannya, itu melanggar kesusilaan,” tambah Gunawan.
Wakil Rektor Bidang Sumber Daya Manusia UMY, Nano Prawoto menyebut,
universitas tidak toleran terhadap pelanggaran kode etik.
“Setiap ada pelanggaran tentu ada proses. Kita menyatakan di UMY zero tolerance terhadap
pelangaran etik. EPP telah melakukan pelanggaran, dan telah diberi sanksi pencopotan dari
Kepala LKS,” kata Nano.
Relasi Kuasa Atasan
Aktivis dan advokat hak perempuan, Sukiratnasari kepada VOA menyebut, kasus ini
terkait dengan relasi kuasa. Kasus ini disimpan para staf karena posisi atasan mereka yang
juga dosen. Sesuai pengakuan, penyintas takut jika melapor justru dampaknya akan berbalik.
Perempuan yang akrab dipanggil Kiki ini menambahkan, status penyintas sebagai mahasiswi
membawa ketakutan terkait kelulusan. Sementara dalam status staf magang dan temporer,
lanjut penilaian atasan sangat berdampak bagi karir mereka selanjutnya.

Pimpinan UMY memberikan klarifikasi terkait kekerasan verbal pejabat kampus


kepada staf perempuan, Sabtu 7 Maret 2020. (Foto:VOA/Nurhadi)
"Nah, itu kan pertimbangan-pertimbangan yang cukup memberatkan penyintas untuk untuk
mengungkapkan kasus. Saya bisa bayangkan misalnya dia berkedudukan sebagai mahasiswi
saja, misalnya menerima perlakuan seperti itu sudah down banget," ujar Kiki.
Kiki juga meyakini, penyintas ketakutan beban sosial atau sanksi sosial jika membongkar
tindakan pelaku sejak awal. Dalam banyak kasus, penyintas justru disudutkan oleh rekan
kerja atau para pimpinan, karena dinilai mencemarkan nama baik lembaga. Dia takut,
laporannya akan berdampak pada kesempatan kerja yang mungkin didapatkan di lembaga
terkait.
"Artinya memang, perspektif terhadap penyintas ini kan memang belum terbangun. Budaya-
budaya semacam ini kan belum terbangun di instansi manapun. Yang dipikirkan lebih pada
harmonisasi di instansi itu sendiri," jelasnya.
Kiki mengingatkan, terbongkarnya satu kasus di sebuah lembaga justru akan
memperbaiki kualitas mereka. Apalagi, jika diikuti dengan perbaikan instrumen pencegahan
maupun pelaporan tindak pelanggaran. Jika sebuah lembaga bisa menyelesaikan kasus
kekerasan terhadap perempuan dengan tepat, nama baiknya akan terjaga dan masyarakat
memberikan apresiasi.
"Ini dengan sendirinya memperbaiki iklim kerja di situ, sehingga semuanya merasa
nyaman bekerja, kemudian ada penegakan etika atau penegakan aturan yang jelas, ketika ada
orang yang melakukan kekerasan," tambahnya.

Sukiratnasari, aktivis dan advokat hak perempuan di Yogyakarta. (Foto courtesy:


Kiki) Lepas dari kasus di UMY, Kiki mengatakan tindak kekerasan atasan pada staf
perempuan masih terus terjadi. Umumnya dalam kasus ini perempuan menjadi korban dan
posisi mereka lebih lemah. Pelaku biasanya memiliki pengaruh atau dianggap berjasa oleh
lembaga di mana dia bekerja, sehingga sanksi yang diberikan tidak maksimal.
Dalam kasus kekerasan seksual beberapa tahun lalu di sebuah universitas negeri
ternama di Yogyakarta, butuh waktu sangat panjang untuk proses penyelesaian. Ada alasan
bahwa pelaku, yang juga menjadi dosen ternama, dinilai cukup berjasa bagi lembaganya.
Akhir dari kasus ini bahkan belum jelas sampai sekarang.Kiki yang turut mengawal kasus itu
mengaku prihatin. Dengan memberi tempat pada pelaku, universitas itu membuka peluang
munculnya kasus serupa di masa depan.
Pendpat saya Umum di Dunia Kerja
Menurut saya dunia kerja secara umum memang belum ramah bagi perempuan. Dalam
berbagai kasus, pekerja perempuan masih menjadi obyek pelecehan dan diskriminasi. Mitra
Wacana WRC adalah lembaga berbasis di Yogyakarta yang memfokuskan advokasinya pada
isu perempuan dan anak. Apalagi misalnya saat mereka menggunakan make up yang
menyolok. Sangat mungkin dikomentari, baik sesama perempuan maupun laki-laki.
Kemudian body shaming. Berjalan di depan laki-laki dan mereka akan berkomentar.
Diskriminasi, pelabelan, kemudian perbedaan hak itu sangat besar di Indonesia, Perempuan
yang bekerja di perkantoran, kondisinya lebih baik dibanding mereka yang ada di sektor lain
seperti manufaktur.
Di lingkungan kerja tertentu, seperti pabrik dan karyawan toko, tindak-tindak yang
mengarah ke pelecehan relatif sering terjadi. Laki-laki sebagai pelaku, sering beralasan
bahwa hubungan akrab antarpekerja memungkinkan itu. Para pekerja perempuan cenderung
tidak bereaksi dengan semestinya, karena mereka kadang tidak sadar berhak melakukan
pembelaan.Seandainya terjadi pada perempuan yang sadar akan haknya tentu dia akan
mengatakan bahwa dia tidak suka diperlakukan seperti itu,
Kekerasan Pada Perempuan Tersembunyi di Laci Meja Kerja
Di lingkungan pekerja kantoran, menurut saya tingkat pelecehan lebih sedikit, tetapi
diskiminasi tetap tinggi. Dalam budaya patriarki, perempuan lebih sering mengasuh anak,
apalagi ketika sakit. Namun, ketika perempuan datang terlambat ke kantor karena kondisi itu,
lingkungan kerja tidak bisa menerima. Di lingkungan ini, perempuan juga masih menerima
diskiminasi, karena sering tidak dihargai prestasinya dengan cukup.
Faktor pendidikan juga memegang peranan dalam kasus semacam ini. Semakin tinggi
pendidikan dan semakin banyak infomasi dia peroleh tentang kesetaraan hak, perempuan
akan semakin berani melawan diskriminasi dan tindak pelecehan di tempat kerja.
Dari segmen pendidikan, iya. Di satu sisi budaya patriarki masih ada. Jadi, faktornya
budaya, pendidikan, kemudian bagaimana perempuan sendiri memandang dirinya sebagai
pribadi yang harus dihargai.
Hingga saat ini, banyak perempuan Indonesia di berbagai sektor profesi menyimpan
erat kekerasan yang menimpa mereka. Takut karir akan berakhir, dominasi atasan laki-laki
yang begitu kuat, hingga kurangnya pemahaman tentang hak membela diri menjadi sebagian
faktornya. Akibatnya, banyak kasus itu tersimpan rapat bertahun-tahun, bahkan selamanya, di
laci-laci meja kerja mereka. 

Anda mungkin juga menyukai