Anda di halaman 1dari 13

outline buku tema karakter kebangsaan

Judul: Belajar Hidup Mandiri


Aspek
Spek buku:
1. Ukuran buku: B5
2. Segmentasi pembaca: SMP
3. Jumlah halaman : 64 hlm.

Outline:
Prakata
Daftar isi
Bab 1 Pendahuluan
Bab 2 Manfaat Hidup Mandiri
Bab 3 Berbagai Contoh Hidup Mandiri
A. Mandiri di rumah
B. Mandiri di Sekolah
C. Mandiri di tempat Umum
Bab 4 Akibat Tidak Hidup Mandiri
Bab 5 Kisah-Kisah Tokoh Sukses yang Hidup Mandiri
Daftar istilah
Indeks
Daftar pustaka
Synopsis di back cover

Catatan:
1. Outline tersebut bersifat tidak mengikat. Artinya, jika dipandang harus diperluas atau kurang
tepat, dapat diubah. Namun, tetap harus berkaitan erat dengan judul buku
2. Sertakan naskah dengan foto, keterangan gambarnya, dan sumber gambarnya
3. Penulisan naskah disesuaikan dengan segmentasi sasaran pembaca.
4. Tebal penulisan disesuaikan dengan ketebalan halaman yang diinginkan penerbit (lihat
keterangan spesifikasi buku yang ada di atas)
5. Waktu penulisan/pengerjaan kurang lebih 2 minggu.
Agar Anak Mandiri
Posted by Farid Ma'ruf pada Maret 3, 2007

Oleh: Ummu Nadzifah, S.Pd


Staf di Lembaga Bantuan Psikologi dan Manajemen (LBPM)

Dalam bahasa sehari-hari, istilah anak mandiri sering dikonotasikan dengan anak yang
mampu makan sendiri atau mandi sendiri. Sebaliknya, anak yang tidak mandiri berarti anak
yang segala aktivitasnya—makan, mandi, berpakaian, dan bermain—tidak mau sendiri;
semua harus dilayani oleh lingkunganya.
Dalam pandangan Islam, anak yang mandiri adalah anak yang mampu memenuhi
kebutuhannya, baik kebutuhan naluri (gharîzah) maupun kebutuhan fisik (hâjah
al-’udhawiyah), oleh dirinya sendiri secara bertanggung jawab tanpa bergantung pada orang
lain. Bertanggung jawab maksudnya adalah meletakkan segala tanggung jawab dalam
kaitannya dengan orang lain sebagai bagian yang tidak terpisahkan darinya, yakni sama-sama
mempunyai kebutuhan yang harus dipenuhi (Taqiyuddin An-Nabhani, Hakikat Berpikir
Tentang Hidup, hlm. 86-95).
Anak yang mandiri tidak berteriak minta diambilkan makan dan tidak rewel. Anak mandiri
akan melayani diri sendiri dengan mengambil makanan sendiri. Jika terdapat anggota
keluarga yang belum makan, anak mandiri tidak akan mengambil dan menghabiskan semua
makanan, tetapi hanya mengambil bagiannya saja. Demikian halnya jika anak mengetahui
bahwa ibunya sedang bekerja di dapur atau mengisi pengajian; ia akan beraktivitas sendiri
atau dengan temannya tanpa mengganggu ibunya.
Sebenarnya, naluri setiap bayi adalah berkembang untuk mandiri. Misalnya, mereka belajar
untuk tengkurap, merangkak, berjalan, makan, dan minum sendiri. Dalam belajar berjalan,
mereka berusaha sekuat tenaga untuk bisa walaupun sering jatuh dan menangis. Hal itu
merupakan upaya untuk menjadi manusia yang mandiri. Hanya saja, lingkungan sering
kurang tanggap dan kondusif terhadap proses kemandirian anak sehingga anak diperlakukan
secara salah. Akibatnya, anak justru menjadi tidak mandiri.

Dampak Perkembangan Anak


Anak-anak yang berkembang dengan kemandirian secara normal akan memiliki
kecenderungan positif pada masa depan. Dalam mengarungi kehidupan, anak mandiri
cenderung berprestasi karena dalam menyelesaikan tugas anak tersebut tidak bergantung pada
orang lain. Pada akhirnya anak merasa mampu menumbuhkan rasa percaya diri. Anak
mandiri yakin, seandainya ada risiko, ia mampu menyelesaikannya dengan baik. Dengan
begitu, kelak anak akan tumbuh menjadi orang yang mampu berpikir serius, yakni senantiasa
berusaha untuk merealisasikan sesuatu yang ditargetkan atau yang dimaksudkan (qashd,
purpose) (An-Nabhani, Ibid., hlm. 130-137). Selanjutnya, ia akan tumbuh menjadi anak yang
prestatif.
Demikian halnya di lingkungan keluarga dan sosial, anak yang mandiri akan mudah
menyesuaikan diri (environment adjustment). Ia akan mudah untuk diterima oleh anak-anak
dan teman-teman di sekitarnya. Jika demikian, kecerdasan anak—baik dalam bentuk
kecerdasan intelektual (intelligence quotion), kecerdasan emosional (emotion quotion),
maupun kecerdasan spiritual (spiritual quotion)—akan terus berkembang. Anak-anak seperti
inilah yang kelak akan memiliki keberanian untuk melakukan amar makruf nahi mungkar
sekaligus menjadi pemimpin di tengah-tengah kaum yang bertakwa.
Sebaliknya, anak-anak yang tidak mandiri akan berpengaruh negatif terhadap perkembangan
kepribadiannya sendiri. Jika hal ini tidak segera teratasi, anak akan mengalami kesulitan pada
perkembangan selanjutnya. Anak akan susah menyesuaikan diri dengan lingkungannya
sehingga ia memiliki kepribadian kaku. Anak yang tidak mandiri juga akan menyusahkan
orang lain.
Anak-anak yang tidak mandiri cenderung tidak percaya diri dan tidak mampu menyelesaikan
tugas hidupnya dengan baik. Akibatnya, prestasi belajarnya bisa mengkhawatirkan. Anak-
anak seperti ini senantiasa bergantung pada orang lain; misalnya mulai dari persiapan
berangkat sekolah, ketika di lingkungan sekolah, mengerjakan pekerjaan rumah, sampai
dalam pola belajarnya. Dalam persiapan berangkat sekolah, misalnya, anak selalu ingin
dimandikan orang lain, dibantu berpakaiannya, minta disuapi, buku dan peralatan sekolah
harus disiapkan orang lain, termasuk harus selalu diantar ke sekolah. Ketika belajar di rumah,
mereka mungkin mau, asalkan semua dilayani; misalnya anak akan menyuruh orang lain
untuk mengambilkan pensil, buku, serutan dan sebagainya.

Penyebab Anak Tidak Mandiri


Ada beberapa alasan yang menyebabkan anak tidak mandiri. Pertama: adanya kekhawatiran
yang berlebihan dari orangtua terhadap anaknya. Misalnya, orangtua melarang anaknya
mandi sendiri karena khawatir kurang bersih; melarang anak makan sendiri karena khawatir
makanan tumpah. Segala kehawatiran lingkungan yang berlebihan akan menyebabkan anak
tidak mandiri.
Kedua: orangtua sering membatasi dan melarang anaknya berbuat sesuatu secara berlebihan.
Setiap anak beraktivitas, orangtua sering mengatakan, “jangan” tanpa diikuti argumentasi
yang jelas. Pola doktrin seperti ini membuat anak ragu-ragu untuk mengembangkan
kreativitasnya. Kondisi seperti ini akan mendidik anak untuk tidak berani membuat keputusan
(decession making) dalam kehidupannya sehari-hari.
Ketiga: kasih-sayang orangtua yang berlebihan terhadap anak. Misalnya, karena sangat
sayang, apapun keinginan anak dipenuhi. Bahkan karena protektifnya, anak dibiarkan saja
“duduk manis”, sementara orangtua atau pembantunya sibuk melayaninya. Pendidikan
dengan model menjadikan anak sebagai raja kecil atau “the little king” dalam rumah
merupakan penyebab anak tidak mandiri.

Agar Anak Mandiri


Untuk mencegah ketidakmandirian anak, atau agar anak mandiri, ada beberapa hal yang perlu
dilakukan oleh orangtua sebagai berikut.
Pertama: memberikan pemahaman kepada anak sesuai dengan tingkat perkembangan
(kemampuan) akalnya. Rasulullah saw., sebagaimana dituturkan Ali bin Abi Thalib ra.,
pernah bersabda:

Berbicaralah kepada manusia dengan sesuatu yang mereka ketahui. Apakah engkau suka jika
Allah dan Rasul-Nya didustakan? (HR al-Bukhari).

Dengan demikian, pemberian pemahaman terhadap anak tentang arti pentingnya mandiri
harus didasarkan pada argumentasi yang bisa dipahami anak dan berlandaskan akidah Islam.
Tujuannya adalah agar anak menyadari pentingnya memenuhi kebutuhan sendiri secara
bertanggung jawab sesuai dengan perintah Allah Swt.; bukan melakukannya karena
kebiasaan saja, takut terhadap orangtua, atau takut gagal jika tidak mandiri. Penyadaran
dengan pemahaman tidak cukup dilakukan sekali. Orangtua harus sabar untuk terus
membimbingnya dan disertai praktik mandiri pada anak.
Kedua: berbuatlah secara bijaksana. Dalam hal tertentu, jangan memaksa anak untuk berbuat
sesuatu ataupun membiarkan anak berbuat sesuatu, kecuali sesuatu itu tidak membahayakan
dirinya dan tidak menyimpang dari tata aturan Islam. Rasulullah saw. bersabda, sebagaimana
dituturkan Abu Hurairah ra.:

Kamu semua disuruh untuk berlaku manis dan bijaksana, bukan berlaku kasar dan
mengundang kesulitan. (HR al-Bukhari).

Dengan cara demikian, naluri anak untuk berkembang dapat tersalurkan; pola intelektualitas,
emosionalitas dan kreativitas anak juga akan tumbuh. Berbeda halnya dengan anak yang
senantiasa dibatasi (restricted), naluri perkembangan psikologinya bisa menjadi tumpul.
Akibatnya, anak akan bergantung pada orang lain dan tidak berprestasi.
Ketiga: memberikan kasih sayang secara wajar; dalam perilaku, hadiah, maupun pujian.
Rasulullah saw., sebagaimana dituturkan Abu Musa ra., pernah mendengar seorang laki-laki
yang memuji seorang yang lain secara berlebihan. Lalu Beliau bersabda (yang artinya),
“Kamu telah mencelakakan orang itu!” (HR al-Bukhari).
Kasih-sayang yang kurang ataupun berlebihan sama-sama memiliki dampak negatif bagi
perkembangan anak. Jika kasih-sayang orangtua kurang, anak bisa menjadi “extrem kiri”:
bandel, kasar, jahat, dan sebagainya. Sebaliknya, jika anak ’kelebihan’ kasih sayang, pola
kepribadian anak akan menjadi “extrem kanan”: bersikap manja sehingga malas merawat
dirinya, selalu minta dituruti kemauannya, dan sering mengendalikan orangtuanya.
Keempat: memberikan cara pendidikan secara tegas kepada anak. Tidak dibenarkan jika
orangtua bersifat “plintat-plintut” (inkonsisten) dalam mendidik anak. Di sinilah juga
pentingnya ayah dan ibu seiring dan sejalan dalam mendidik anak. Ketidaksejalanan ayah dan
ibu dalam mendidik anak akan membuat anak bersikap tidak konsisten sehingga sikap
kemandirian anak tidak berkembang secara baik.

Melatih Kemandirian Anak

Orangtua memiliki kewajiban memenuhi kebutuhan anak, misalnya makanan, pakaian, tempat tinggal, juga kasih sayang. Akan tetapi, tidak
selamanya orangtua hadir sebagai penyedia kebutuhan anak. Oleh sebab itu tujuan utama membesarkan anak sesungguhnya adalah
menyiapkannya menuju kehidupan sebagai individu dewasa kelak.
Sedikit demi sedikit anak mengalami proses pendewasaan agar tidak bergantung kepada orangtua. Melatih kemandirian anak perlu dilakukan
sejak dini, tentunya dengan cara-cara yang sesuai usia dan perkembangan anak. Berikut ini beberapa cara yang dapat digunakan untuk melatih
kemandirian balita Anda:

1. Ciptakan suasana rumah yang aman untuk berpetualang dan eksplorasi. Untuk meningkatkan kemandirian anak, dia harus diberikan
kesempatan seluasnya dalam mengeksplorasi hal-hal baru. Agar tidak berbahaya, Anda perlu menciptakan suasana rumah yang
aman bagi petualangan balita Anda. Daripada Anda harus bolak-balik berkata ?jangan? setiap kali anak memegang sesuatu yang
dapat membahayakannya, letakkan objek yang berbahaya jauh dari jangkauan anak. Sebaliknya, letakkan berbagai macam objek
menarik dan aman di sekeliling anak dan berikan otoritas baginya untuk menggunakannya.
2. Jadilah pemandu bagi anak. Pandulah saat anak belajar melakukan sesuatu hal baru. Berikan contoh terlebih dahulu, baru kemudian
beri kesempatan bagi anak untuk melakukannya sendiri. Misalnya, belajar membereskan meja makan, tunjukkan cara mengambil
piring dan membawanya ke tempat cucian, baru kemudian gelas, dan seterusnya.
3. Tahan keinginan untuk selalu ikut campur. Memang wajar apabila Anda rasanya selalu ingin membantu anak, teruatama bila ia
mengalami kesulitan. Akan tetapi Anda perlu menahan sedikit keinginan tersebut, sebab banyak hal juga dapat dipelajari dari
kesalahan atau kegagalan. Tentunya Anda tetap dapat dan harus turun tangan jika ada hal yang membahayakan bagi anak. Dia pun
bisa jadi merasa tertekan bila terus menerus melakukan kesalahan, untuk itu Anda harus bijak menilai situasi saat Anda sebaiknya
menempati posisi penonton, motivator, atau penolong bagi anak.
4. Ijinkan anak untuk ikut campur. Saat Anda melakukan hal-hal yang menarik, seperti memasak, membersihkan atau merapikan meja,
anak mungkin akan tertarik untuk nimbrung. Berikan kesempatan bagi anak untuk ikut terlibat dalam aktivitas Anda. Cari tugas yang
cukup mudah yang kira-kira bisa ia kerjakan, serta bersabar dalam mengarahkan.
5. Latihan untuk meninggalkan balita Anda. Salah satu masalah umum dalam hal kemandirian balita ialah kesulitan untuk meninggalkan
anak. Apakah balita Anda selalu menangis dan merengek setiap Anda akan berangkat ke kantor atau pergi meninggalkannya?
Jangan biasakan menipu anak dengan cara pergi diam-diam. Sebelum Anda pergi meninggalkannya, pamitlah dan katakan dengan
yakin bahwa Anda akan segera kembali. Anda harus berusaha tetap kelihatan tenang dan percaya diri saat meninggalkan dia,
bahkan meski dia menangis dengan kencang.
6. Hindari perintah dan ultimatum. Perintah keras dan ultimatum membuat anak selalu merasa berada di bawah orangtua dan tidak
mempunyai otoritas pribadi. Disiplin dan rasa hormat tetap bisa dilatih tanpa Anda menjadi galak pada anak. Mengarahkan, mengajar
serta berdiskusi dengan anak akan lebih efektif daripada memerintah, apalagi bila perintah tidak didasari dengan alasan yang jelas.
Lama kelamaan anak akan bergantung pada perintah atau larangan Anda dalam melakukan segala sesuatu.
7. Senantiasa tunjukkan cinta Anda padanya. Katakan dan tunjukkan kasih sayang Anda serta dukungan pada balita secara konsisten,
hal ini akan meningkatkan rasa percaya dirinya. Dengan demikian dia akan lebih yakin pada dirinya, serta tidak ragu untuk mencoba
hal-hal yang baru.

Sebagai latihan kemandirian, sebaiknya kita tak membiarkan anak terus-menerus dilayani dan membebaskannya dari pekerjaan rumah tangga.
Kita perlu memberinya tugas karena banyak manfaat yang bisa didapat anak. Juga, kalau si Mbak pulang kampung, kita tidak kelimpungan
dibuatnya karena anak bisa terlibat mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Tentu saja, sesuaikan tugas dengan usia anak. Kalau terlalu
memberatkan, ia akan malas melakukannya.

USIA 6-8 TAHUN

 Menyapu

Menyapu dapat dilakukan dengan mudah, sehingga cocok untuk anak usia ini. Ajarkan bagaimana memegang dan menyapu secara benar.
Dengan memberikan contoh sedikit, umumnya anak dapat melakukannya. Harap maklum bila dia belum mampu melakukannya dengan baik
karena memang kemampuannya baru taraf segitu. Yang penting, anak sudah belajar untuk melakukan sesuatu yang positif bagi diri maupun
lingkungan rumahnya.
Menyapu dapat dilakukan di dalam rumah maupun di halaman. Namun karena arealnya berbeda, kita pun perlu mengajarkan kembali. Misal,
bagaimana supaya daun-daun kering yang jatuh di atas rumput bisa tersapu, anak harus menggunakan sapu lidi dan mendorongnya harus
sambil diangkat sedikit.

 Membereskan Kamar

Sejak usia prasekolah anak sudah bisa diajarkan bagaimana membereskan tempat tidur. Nah, di usia ini kita bisa mengajarkan hal yang lebih
rumit dari sebelumnya. Bukan hanya sekadar meletakkan bantal dan guling di posisi yang benar, tetapi juga membereskan seprai yang acak-
acakan. Kita pun dapat meminta anak untuk memasang sarung bantal dan guling.
Selain membereskan tempat tidur, tugas lain yang dapat dikerjakan anak usia ini adalah membereskan kamar secara keseluruhan. Dari
mengatur buku di meja belajar, membereskan peralatan kamarnya seperti tempat sampah, keset, dan pajangan-pajangan, hingga menyapu
lantai kamar.

 Membersihkan Kursi-Meja

Beri contoh bagaimana cara membersihkan meja-kursi yang terkena debu. Cara memegang kemoceng atau lap basah dan di bagian mana saja
anak harus membersihkannya. Tetapi, bila anak menderita alergi debu sebaiknya hindari pekerjaan ini karena akan membuat alerginya kumat.

 Membereskan Lemari Baju

Anak harus menjaga keteraturan letak baju, celana, pakaian dalam, kaus kaki, dan sebagainya. Meskipun banyak anak sulit melakukannya
namun inilah latihan yang penting diberikan supaya anak bisa bertanggung jawab terhadap apa yang dimilikinya.
Menyiram Tanaman
Tugas ini sangat mengasyikkan buat anak, terutama menyiram tanaman-tanaman mungil yang indah seperti tanaman bunga atau tanaman buah
di dalam pot. Sebab, ada unsur air yang sangat disenangi anak. Manfaatkan kesenangan anak ini untuk membantu kita mengerjakan pekerjaan
rumah. Tetapi ingatkan ia berapa takar air yang harus disiramkan ke pohon, tak berlebihan tapi juga tak terlalu sedikit.

 
USIA 9-12 TAHUN

 Mencuci Piring

Awalnya, minta anak mencuci barang-barang yang tak mudah pecah, seperti gelas dan piring dari melamin/plastik. Supaya, ketika barang
tersebut terlepas, tidak pecah dan tak membahayakan dirinya lantaran pecahan kacanya yang berserakan. Setelah anak sigap melakukannya,
barulah kita tugaskan dia mencuci barang pecah belah. Tentu harus dipantau sampai anak benar-benar mahir melakukannya.

 Membantu Memasak

Tugas utama memasak tetap berada pada kita atau pembantu karena berbahaya bila diserahkan ke anak. Tetapi bila ingin melibatkan anak,
mintalah ia melakukan tugas yang ringan, seperti mencuci sayuran, merendam tempe dalam racikan bumbu, atau meletakkan masakan yang
sudah siap saji di meja makan. Bagaimanapun, memasak termasuk pekerjaan yang butuh keterampilan penuh dan hal ini biasanya baru bisa
dilakukan setelah anak dewasa. Bila dipaksakan dikhawatirkan akan membahayakan anak, terciprat minyak panas atau masakan menjadi
gosong.

 Mengepel

Kita bisa minta anak usia ini mengepel lantai, karena kemampuan motorik dan daya keseimbangan anak mulai sempurna. Dia bisa mendorong
dan menarik tongkat kain pel dengan baik sambil menjaga keseimbangan tubuhnya supaya tidak terjatuh. Beri tahu cara mengepel yang benar,
misalnya bagaimana mendorong dan menarik dengan benar dan di mana posisi anak saat melakukannya supaya areal yang sudah dipel tak
diinjak lagi.

 Membantu Menyetrika

Menyetrika pun butuh keterampilan khusus supaya anak terhindar dari bahaya, seperti bahaya terkena panas setrikaan atau pakaian menjadi
rusak karena terlalu lama terpapar panas setrika. Bila kita meminta anak untuk membantu, mintalah ia melakukan hal-hal yang mudah seperti
melipat celana adik, menggantung pakaian di lemari, atau menyemprotkan pewangi/pelembut di baju sebelum disetrika. Untuk yang lainnya tetap
harus kita atau pembantu yang melakukannya.

 Membantu Mencuci Pakaian

Mencuci butuh ketelitian dan keterampilan lebih khusus. Mungkin saja ada kotoran yang membandel atau menempel di selipan-selipan baju.
Anak usia ini umumnya tak terlalu teliti untuk memeriksanya sehingga banyak kotoran yang terlewat. Belum lagi dengan pengaturan saat
mencuci, semisal memisahkan pakaian yang luntur dan tidak luntur, cara menyikat, berapa sendok sabun yang dibutuhkan, dan sebagainya.
Tetapi bila kita mencuci dengan mesin cuci, kita bisa melibatkannya karena biasanya hal ini bisa dilakukan lebih mudah. Asal kita arahkan
dahulu, berapa takar sabun yang harus dituang dalam sekali putar, cara menghidupkan dan mematikan mesin cuci, banyaknya air, dan
sebagainya. Tentu, ketika anak melakukannya, kita tetap memantau agar tak terjadi kesalahan.

SEJUTA MANFAAT

Nah berikut ini sejumlah manfaat yang dapat dipetik anak:

1. Melatih Motorik : Banyak gerakan yang harus dilakukan saat anak mengerjakan pekerjaan rumah. Gerakan-gerakan ini sangat baik
untuk melatih kemampuan motorik anak. Ibaratnya, anak sekaligus menstimulasi otak lewat gerakan-gerakan, disamping
melemaskan otot-otot tubuhnya. Bila dilakukan secara konsisten, juga akan membugarkan tubuhnya.
2. Mandiri : Kemandirian antara anak yang terbiasa dilayani dan anak yang melayani dirinya sendiri jelas berbeda. Anak yang terbiasa
dilayani selalu tergantung pada orang lain sedangkan anak yang melayani dirinya sendiri bisa memenuhi kebutuhan dirinya dengan
kemampuannya sendiri. Karenanya, mendidik kemandirian anak sangat penting. Selain lebih bisa menolong diri sendiri, anak juga
punya inisiatif jauh lebih baik untuk melakukan sesuatu.
3. Menjaga Kebersihan : Lingkungan yang bersih tentu sehat untuk tubuh. Sering kali kita tak bisa melakukannya sendiri tetapi harus
dibantu anak. Bila kita mengajari anak untuk menyapu, mengepel, membersihkan kamar, dan lainnya, berarti kita sudah mengajarkan
kebersihan kepadanya. Selain menjaga kebersihan, anak pun dididik untuk hidup rapi dan teratur.
4. Bertanggung Jawab : Saat kita memberi tugas ke anak untuk membereskan kamar setiap bangun tidur, misal, di situ akan tertanam
sikap tanggung jawab. Sikap ini penting dipupuk sejak kecil supaya melekat dalam di diri anak. Anak yang punya tanggung jawab
besar akan melakukan sesuatu hingga tuntas dan tidak akan lari dari tanggung jawabnya. Ini adalah sikap yang sangat positif.
5. Tolong-menolong : Di rumah, mama bertugas memasak, kakak paling besar menyetrika pakaian, dan dia menyapu. Pembagian
tugas ini menanamkan sikap gotong royong pada anak. Mereka saling bahu-membahu untuk melakukan banyak pekerjaan sehingga
dapat dikerjakan dengan mudah. Menumbuhkan sikap saling tolong-menolong ini sangat baik sehingga kelak anak menjadi orang
yang ringan tangan untuk menolong orang lain.
 

YANG PENTING DIPERHATIKAN

 Orangtua Menjadi Model

Pertama yang harus kita lakukan adalah menjadi model bagi anak, yakni dengan melakukan pekerjaan rumah sendiri. Bagaimana mungkin kita
meminta anak melakukannya tetapi kita sendiri malas? Tentu anak akan sulit diminta mengerjakan pekerjaan rumah.

 Pendekatan ke Anak

Saat meminta anak melakukan tugasnya, dekatilah ia dengan persuasif. Terangkan kenapa anak harus melakukan tugas tersebut, misalnya
dengan menjelaskan manfaat apa yang akan didapatnya. Lakukan hal ini secara intensif tanpa paksaan sampai anak mau melakukannya sendiri.

 Sesuai Kemampuan

Jangan minta anak melakukan tugas berat dan sulit, tetapi minta ia melakukan tugas yang ringan supaya bisa dilakukannya dengan mudah.
Perhatikan pula faktor kesehatan, anak penderita asma sebaiknya tidak disuruh menyapu karena debunya bisa membuat asmanya kumat.

 Dibiasakan

Setelah anak mau melakukannya, kita perlu membiasakannya. Yaitu dengan memberi tugas rutin, misal, setiap bangun tidur harus membereskan
kamarnya sendiri.
Anak-anak kita dipacu untuk menyongsong masa depan yang mapan, memiliki nilai lebih dan meyakinkan. Beberapa unsur yang sekarang ini
ada di seputar anak-anak kita (secara khusus dampaknya terasa di kota-kota besar) adalah:
·    perkembangan teknologi yang cepat berganti serta canggih,
·    jam aktivitas di luar rumah yang panjang antara ayah dan ibu,
·    tuntutan yang tinggi untuk mencapai masa depan yang mapan,
·    kekerasan yang makin meningkat dan beragam,
·    jauhnya jarak kegiatan anggota keluarga satu dengan yang lain.

Semua ini menimbulkan ketegangan dalam diri orangtua. Fungsi anak sebagai pengejar ilmu pengetahuan murni, membuat ia diperlengkapi
dengan sekian banyak les tambahan. Sebagai akibat kesibukan tersebut, anak menjadi dibebaskan dari tanggung jawab serta latihan sosialisasi
yang lain.
Jauhnya jarak dan kesempatan berkumpul yang makin terbatas antara suami dan istri, orangtua dan anak, sementara kekerasan ada di mana-
mana, menimbulkan tingginya tingkat kecemasan di hati orangtua.

Kita cenderung untuk memberikan proteksi lengkap kepada anak-anak -- kalau tidak bisa dikatakan berlebihan. Di pihak lain, anak-anak sendiri
pada akhirnya terbiasa dengan proteksi tersebut. Dengan dampingan "baby sitter" atau paling tidak para pembantu sebagai payung rasa aman
dari orangtua yang keduanya bekerja.
Anak-anak pada akhirnya mempunyai atau menciptakan banyak "excuse" dalam hidupnya. Sementara itu orangtua juga cenderung untuk
memberikan banyak toleransi terhadap kelalaian anak di banyak segi kehidupan (menaruh sepatu tidak pada tempatnya, tidak membantu
mencuci piring, malas membereskan kamar sendiri, dll.)

Untuk menjawab pertanyaan mendasar mengenai sebenarnya apa peran orangtua/para pendidik dalam membangun kemandirian anak,
berikut ini beberapa hal yang dapat menjadi perenungan kita bersama:

1.    Anak yang mandiri adalah anak yang diberi kesempatan untuk menerima dan menjadi dirinya sendiri. Orangtua yang memperlakukan anak-
anak menurut kekhasan mereka masing-masing adalah orangtua yang belajar bersikap positif menghadapi berbagai perbedaan karakter,
kepandaian, ataupun penampilan anak. Jangan memberi pembanding yang tidak adil di antara anak-anak. Ajarkan anak-anak untuk percaya
bahwa dirinya "istimewa" dalam kekhasan mereka masing-masing. Dalam hal ini latihan melalui setiap peristiwa dalam hidupnya merupakan
persiapan untuk membangun citra diri anak. Pembanding yang sehat di tengah kompetisi dengan teman- teman dan anggota keluarga yang lain
akan menolong anak menemukan dirinya. Masa depan anak akan bertumbuh bersama proses pembentukan kepribadiannya di samping semua
bekal fasilitas ilmu. Bimbingan rohani menjadi sangat penting dalam membekali anak untuk mampu mengaktualisasikan kemandiriannya.
2.    Membangun komunikasi pribadi anak dengan Tuhan. Orangtua yang mendidik anak dalam kehidupan rohani yang kuat sejak masa kanak-
kanak adalah orangtua yang dengan bijaksana mengantarkan anaknya pada suatu landasan yang teguh. Sebab di tengah pelbagai situasi ketika
anak jauh dari orangtuanya atau ketika ia harus menjawab sendiri perubahan-perubahan dalam hidup yang tidak selalu dapat segera diatasinya,
ia akan selalu menemukan rasa aman dalam hubungan spiritual yang kokoh dengan Tuhan. Kita belajar dari Samuel dan Timotius, kedua anak
yang sejak masa kecil menerima bimbingan rohani yang kokoh dari ibunya, pada saat menghadapi perbagai pengaruh lingkungan, mereka dapat
berdiri tangguh, mandiri, mampu menghadapi, dan melewati setiap pengaruh yang ada di sekitar hidupnya.

3.    Latihan ketrampilan praktis, disiplin, dan tangung jawab dalam berbagai sektor kehidupan akan menolong anak merasa aman dengan
dirinya. Dalam hal ini, orangtua yang pada umumnya lebih banyak memberi waktu dan perhatian awal kepada anak di masa pertumbuhan,
mempunyai andil yang cukup besar. Misalnya, biarkan anak-anak mengerjakan hal-hal yang menjadi tanggung jawab di rumah.

4.    Melatih anak untuk mengambil keputusan terhadap hal-hal tertentu dalam hidup dan melatih sikap menghadapi kekecewaan dan penolakan
yang bisa saja terjadi akibat keputusan tersebut.

5.    Jangan memindahkan kecemasan dan rasa bersalah orangtua dengan menutup kesempatan anak untuk bersosialisasi. Kadang-kadang
dalam ketakutan, orangtua menjadi berlebih-lebihan dalam memberi fasilitas perlindungan kepada anak sehingga membuat anak menjadi gugup
dan resah.
Menutup tulisan ini marilah kita bersama membangun karakter mandiri anak-anak melalui kesabaran, keteguhan hati, dan iman yang teguh
kepada Tuhan. Biarlah hikmat memperlengkapi setiap kebijakan yang diambil orangtua untuk anak-anaknya, seperti kata Amsal 22:6, "Didiklah
orang muda menurut jalan yang patut baginya, maka pada masa tuanyapun ia tidak akan menyimpang dari pada jalan itu

MENANAMKAN KEMANDIRIAN PADA ANAK SEJAK USIA DINI

Oleh: Dra.Lisbet Simanjuntak, M.Pd

Dewasa ini banyak anak yang sudah tamat sekolah tinggi (kuliah) masih belum
bisa mendapatkan pekerjaan yang layak, karena keterbatasan lapangan pekerjaan. Hal
ini dapat mempengaruhi tingginya tingkat pengangguran di negara kita. Selain itu pada
usia yang sudah dewasa, anak masih bergantung pada orangtua dalam hal ekonomi atau
bahkan anak tidak mampu mengambil keputusan ataupun menentukan pilihan.
Sebenarnya jika anak-anak tersebut memiliki ketrampilan untuk madiri, tentu ini bukan
menjadi suatu masalah, tetapi menjadi mandiri bukanlah sesuatu yang bisa diperoleh
dengan tiba-tiba. Hal ini memerlukan proses panjang yang harus dimulai sejak usia dini.

Seringkali orangtua atau pengasuh tidak tahu apa yang harus dilakukan ketika
anak mulai enggan berangkat ke kelompok bermain, bahkan kadang menjadi mogok Hal
itu seringkali disebabkan si anak tidak mampu mengungkapkan perasaannya secara
terus terang mengenai masalah yang dihadapi. Apalagi bagi anak usia dini yang masih
berusia 2 - 4 tahun. Tanpa alasan jelas anak usia dini sering mogok. Lalu apa yang
harus dilakukan oleh orang tua untuk menghadapi kondisi anak bila mogok tanpa
alasan? Ada banyak hal yang harus diperhatikan oleh orangtua terutama untuk anak
usia dini dalam mencari penyebab hal itu bisa terjadi, misalnya dengan bekerja sama
dengan pendidik untuk membujuk anak agar mau berangkat ke kelompok bermain.

Salah satu penyebab anak takut ke kelompok bermain adalah masalah


kemandirian. Di rumah anak selalu mendapatkan apa yang diinginkan dari orangtuanya
dan segala kebutuhannya selalu dilayani oleh orangtuanya, sedangkan di kelompok
bermain, anak diajarkan untuk mandiri dan melakukan segala sesuatunya sendiri
dengan sedikit bantuan dari pendidik. Hal ini dapat membuat anak menjadi tidak
nyaman di kelompok bermain, karena ia tidak begitu nyaman apabila mengerjakan
pekerjaannya sendiri.

Kemandirian anak usia dini berbeda dengan kemandirian remaja ataupun orang
dewasa. Jika definisi mandiri untuk remaja dan orang dewasa adalah kemampuan
seseorang untuk bertanggung jawab atas apa yang dilakukan tanpa membebani orang
lain, sedangkan untuk anak usia dini adalah kemampuan yang disesuaikan dengan tugas
perkembangan. Adapun tugas-tugas perkembangan untuk anak usia dini adalah belajar
berjalan, belajar makan, berlatih berbicara, koordinasi tubuh, kontak perasaan dengan
lingkungan, pembentukan pengertian, dan belajar moral. Apabila seorang anak usia dini
telah mampu melakukan tugas perkambangan, ia telah memenuhi syarat kemandirian.
Tetapi, untuk membentuk kemandirian anak usia dini itu gampang-gampang susah. Hal
ini tergantung dari orang tua anak dalam memperhatikan pertumbuhan dan
perkembangan psikologis anak. Tentu saja ini merupakan tugas orangtua untuk selalu
mendampingi anaknya, sebab orangtua adalah lingkungan yang paling dekat dan
bersentuhan langsung dengan anak. Peran orangtua atau lingkungan terhadap
tumbuhnya kemandirian pada anak sejak usia dini merupakan suatu hal yang penting.
Hal ini mengingat bahwa kemandirian pada anak tidak bisa terjadi dengan sendirinya.
Anak perlu dukungan, seperti sikap positif dari orangtua dan latihan-latihan ketrampilan
menuju kemandiriannya.

Dalam menanamkan kemandirian pada anak, hindarilah perintah dan ultimatum


Karena dapat membuat anak selalu merasa berada di bawah orangtua dan tidak
mempunyai otoritas pribadi. Disiplin dan rasa hormat tetap bisa dilatih tanpa Anda
menjadi galak pada anak. Mengarahkan, mengajar serta berdiskusi dengan anak akan
lebih efektif daripada memerintah, apalagi bila perintah tidak didasari dengan alasan
yang jelas. Lama kelamaan anak akan bergantung pada perintah atau larangan Anda
dalam melakukan segala sesuatu. Senantiasa katakan dan tunjukkan cinta, kasih sayang
serta dukungan pada balita secara konsisten, hal ini akan meningkatkan rasa percaya
dirinya. Dengan demikian dia akan lebih yakin pada dirinya, serta tidak ragu untuk
mencoba hal-hal yang baru.

Orangtua juga harus bersikap positif pada anak, seperti: memuji, memberi
semangat atau memberi pelukan hangat sebagai bentuk dukungan terhadap usaha
mandiri yang dilakukan anak. Adanya penghargaan atas usaha anak untuk menjadi
pribadi mandiri, terlepas dari apakah pada saat itu ia berhasil atau tidak. Dengan
tumbuhnya perasaan berharga, anak akan memiliki kepercayaan diri yang sangat
dibutuhkan dalam proses tumbuh kembang selanjutnya. Betapapun kotornya anak pada
saat ia mencoba makan sendiri, betapapun tidak rapinya anak pada saat ia mencoba
mandi sendiri, betapapun lamanya waktu yang dibutuhkan anak untuk memakai kaus
kaki dan memilih sepatu atau baju yang tepat, hendaknya orangtua tetap sabar untuk
tidak bereaksi negatif terhadap anak, seperti mencela atau meremehkan anak. Apabila
orangtua/lingkungan bereaksi negatif atau tidak menghargai usaha anak untuk mandiri,
maka hal ini akan berdampak negatif pada diri anak, seperti anak bisa tumbuh menjadi
seorang yang penakut, tidak berani memikul tanggung jawab, tidak termotivasi untuk
mandiri dan cenderung memiliki kepercayaan diri yang rendah.

Selain itu, untuk menjadi pribadi mandiri, seorang anak juga perlu mendapat
kesempatan berlatih secara konsisten mengerjakan sesuatu sendiri atau
membiasakannya melakukan sendiri tugas-tugas yang sesuai dengan tahapan usianya.
Orangtua atau lingkungan tidak perlu bersikap terlalu cemas, terlalu melindungi, terlalu
membantu atau bahkan selalu mengambil alih tugas-tugas yang seharusnya dilakukan
anak, karena hal ini dapat menghambat proses pencapaian kemandirian anak.
Kesempatan untuk belajar mandiri dapat diberikan orangtua atau lingkungan dengan
memberikan kebebasan dan kepercayaan pada anak untuk melakukan tugas-tugas
perkembangannya. Namun demikian peran orangtua atau lingkungan dalam mengawasi,
membimbing, mengarahkan dan memberi contoh teladan tetap sangat diperlukan, agar
anak tetap berada dalam kondisi atau situasi yang tidak membahayakan
keselamatannya. Bagi anak-anak usia dini, latihan kemandirian ini bisa dilakukan
dengan cara melibatkan anak dalam kegiatan praktis sehari-hari di rumah, seperti
melatih anak mengambil air minumnya sendiri, melatih anak untuk membersihkan
kamar tidurnya sendiri, melatih anak buang air kecil sendiri, melatih anak menyuap
makanannya sendiri, melatih anak untuk naik dan turun tangga sendiri, dan sebagainya.

Selain bersikap positif dan selalu mendukung anak, praktek kemandirian juga perlu
diajarkan kepada anak melalui materi ketrampilan hidup dengan konsep-konsep
sederhana. Seperti contoh: si anak diajarkan untuk mengerti bahwa semua barang
miliknya (sepatu, mainan, boneka, buku cerita dll) diperoleh karena orangtua bekerja
untuk mndapatkan penghasilan supaya mampu membeli semua yang dia butuhkan.
Karena itu, perlu adanya sikap tegas terhadap anak bahwa tidak semua yang dia
inginkan harus dipenuhi pada saat itu juga. Perlu ada waktu menunggu atau
mengajarkan si anak untuk menabung terlebih dahulu sebelum membeli sesuatu.
Dengan konsep seperti itu, dalam diri anak akan tertanam nilai untuk menghargai jerih
payah orang tua sekaligus belajar menjadi pribadi mandiri. Materi yang bersifat
akademis bisa dikatakan sebagai salah satu dari sekian banyak mata pelajaran yang
harus dipelajari anak. Yang utama adalah ketrampilan anak untuk menjadi seorang yang
mandiri. Banyak manfaatnya jika pelajaran mengenai kemandirian diberikan pada anak
usia dini. Tidak hanya teori, melainkan mengajak anak untuk mempraktekannya dengan
konsep-konsep sederhana tanpa harus menunggu lulus SMA atau lulus Perguruan Tinggi.
Tentu hasilnya akan lebih efektif dan maksimal jika hal itu diajarkan pada usia dini.

Semakin dini usia anak untuk berlatih mandiri dalam melakukan tugas-tugas
perkembangannya, diharapkan nilai-nilai serta ketrampilan mandiri akan lebih mudah
dikuasai dan dapat tertanam kuat dalam diri anak. Untuk menjadi pribadi mandiri,
memang diperlukan suatu proses atau usaha yang dimulai dari melakukan tugas-tugas
yang sederhana sampai akhirnya dapat menguasai ketrampilan-ketrampilan yang lebih
kompleks atau lebih menantang, yang membutuhkan tingkat penguasaan motorik dan
mental yang lebih tinggi. Dalam proses untuk membantu anak menjadi pribadi mandiri
itulah diperlukan sikap bijaksana orangtua atau lingkungan agar anak dapat terus
termotivasi dalam meningkatkan kemandiriannya.

Daftar Pustaka:

Sumber: Majalah Inspire Kids

Melatih Kemandirian anak


Mempunyai anak, berarti mempunyai kewajiban untuk melatih anak agar dapat mandiri sesuai tingkatan umur dan
kedewasaannya. Bagi orang tua, kita sering terjebak pada over protektive, terutama bagi ibu yang bekerja di luar rumah, yang
dapat berakibat kurang baik bagi kemandirian anak.
Apa yang dapat dilatih dalam meningkatkan kemandirian anak?
a. Melatih anak berani berjalan sendiri tanpa ditemani, dan atau orang tua melihat dari jauh.
Sesuai tingkatan umurnya, anak-anak menginginkan dapat mandiri, berkembang, dan bersosialisasi bersama teman-temannya.
Bila sekolah terdapat fasilitas antar jemput, anak bisa dititipkan dan berlangganan antar jemput sekolah. Selain mengurangi
kemacetan, anak dapat bersosialisasi dengan teman-temannya.
Anak juga perlu diperkenalkan dengan rute bis/angkutan umum. Saya tidak pernah menduga bahwa anak saya yang masih SD,
pada suatu malam hari dengan penuh antusias bercerita, bahwa dia berjalan-jalan naik bis, sampai ke Kalideres (rumah saya di
daerah Cipete, Jakarta Selatan). Saya mendengarkan kisah petualangannya dengan berdebar-debar, namun tak berani
memarahi. Saya cuma nanya…”Mas, membayarnya pakai apa?” Dia jawab;…”Ibu, pak sopirnya baik, saya tak ditarik uang
untuk membayar…” Bagaimana saya tak kawatir, karena saat dia masih SD, saya tak memberikan uang saku, karena SD nya
dekat rumah, serta agar dia tak jajan sembarangan.
Setiap kali saya dan anak-anak berlibur ke Bandung, maklum suami bekerja di Bandung dan saya beserta anak-anak di Jakarta.
Anak sulung saya tak bisa tinggal diam, dan selalu ingin mengamati, padahal rasanya saya sudah pengin istirahat di kereta api
Parahyangan. Akhirnya oleh suami, anak kami dilatih bagaimana cara berjalan dari gerbong ke gerbong, apa yang harus
diperhatikan, agar kaki tidak kejepit. Pada saat kereta api mau masuk setasiun Gambir, anak saya membawa sehelai kertas,
isinya adalah hasil wawancara dengan penumpang selama perjalanan Bandung-Jakarta, berapa jumlah penumpang, usianya,
pekerjaannya dll.
b. Membiasakan anak mempunyai catatan, atau hapal alamat dan nomor telepon yang mudah dihubungi
Sebaiknya anak dilatih mengingat nomor telepon dan alamat rumah, serta nama orangtuanya (nama ayah ibu), sehingga jika
terpisah dapat segera meminta pertolongan. Ada kejadian yang setiap kali membuat saya tersenyum. Saat anak-anak masih
kecil, saya melatihnya untuk menghapal nama lengkap ayah dan ibu, alamat dan nomor telepon rumah. Kemudian anak diajak
ke pasar Swalayan, dan dipesan, nanti ketemu di lokasi yang sudah disepakati. Suami mengawasi dari kejauhan sambil
membaca, dan saya berbelanja kebutuhan bulanan. Sepuluh menit kemudian, terdengar pengumuman, bahwa bapak dan ibu
(disebutkan namanya) ditunggu putranya di counter lantai dasar. Saya langsung meninggalkan belanjaan yang belum selesai,
demikian juga suami. Apa yang terjadi? Dengan tenangnya anak saya berkata…”Saya sudah mempraktekkan ajaran bapak ibu.
Nggak ada yang salah kan?”
c. Melatih anak mengenal lingkungan tempat tinggal
Sebaiknya anak dilatih untuk mengenal lingkungan terdekat dimana kita tinggal, serta siapa yang dapat dihubungi, selain si
Mbak yang sudah momong sejak kecil. Karena tinggal di kompleks, kami berasa seperti saudara, jadi di rumah ditempel catatan
siapa saja yang perlu dihubungi jika terjadi keadaan darurat. Dengan tetangga dekat, kita meninggalkan catatan nomor telepon
kantor, hand phone dan memberi tahu kalau harus tugas keluar kota.
Jika berada di luar rumah, anak diajari, agar selalu kembali kearah Blok M, kemudian bisa naik bajay yang dapat dibayar ke
rumah. Jika bingung, jangan tanya pada sembarang orang, tetapi tanya pada petugas: seperti polisi, petugas DLLAJR, Satpam
dan lain-lain.
d. Melatih anak agar tak mudah mempercayai orang yang baru dikenal.
Bukan hal baru, bahwa kadang-kadang ada orang yang mengajak anak hanya karena ingin mengambil anting emas yang
menempel ditelinga anak. Saat anak bungsu masih kecil, saya tidak membiasakan anak memakai anting, karena walaupun
emas imitasi, si penculik ada kemungkinan tak bisa membedakan. Namun ada risikonya, anak gadis saya sampai saat ini lebih
nyaman tak memakai anting.
Ada pengalaman menarik yang disampaikan oleh guru SMP, beliau menyarankan agar anak-anak sebaiknya jajan di kantin
sekolah dan jangan keluar dari lingkungan sekolah walaupun jam istirahat. Kalau ada kakak kelas, terutama alumni (yang
sudah lulus SMP) mengajak makan dan mentraktir, sebaiknya ditolak, karena mereka ada kemungkinan membuat anak kita
berhutang budi, serta bisa mempengaruhi untuk hal-hal yang kurang baik. Jika pulang sekolah, sebaiknya langsung pulang,
jangan nongkrong di warung-warung di luar sekolah, karena ada kemungkinan ditawari makanan atau minuman yang telah
mengandung obat.
e. Melatih anak mengerjakan Pekerjaan Rumah (PR)
Kadangkala orangtua tidak tega, dan berusaha mengontrol pembuatan PR yang dibebankan pada anak. Almarhum Ibu Kepala
SD, tempat anak saya sekolah, menasehati agar kami membiarkan dan melatih anak secara mandiri membuat PR, karena
dikawatirkan anak tergantung pada ayah ibu (harus ditunggu saat membuat PR), padahal ayah ibu bekerja. ” Bu, biarkan
mereka mendapat hukuman kalau lalai membuat PR, karena ini juga merupakan pendidikan bagi anak, agar mereka belajar
disiplin”, kata ibu Kepala Sekolah. Saya sangat berterima kasih atas anjuran Kepala Sekolah ini, dan memang kadang-kadang
anak harus mendapat hukuman akibat kelalaiannya.
Ada pengalaman menarik, saat anak sulung saya masih di SMP. Suatu ketika saya mendapat tugas keluar kota, dan si sulung
disuruh membuat kerajinan tangan berupa celana pendek. Apa yang terjadi? Taplak meja saya turun tahta, dipakai sebagai
bahan untuk membuat kerajinan tangan, dengan jahitan yang panjang-panjang, dan warna benangnya kontras dengan warna
kainnya. Saya cuma bisa mengelus dada, ternyata saat ada pertemuan orang tua, ada orang tua yang cerita sambil ketawa
(beliau juga bekerja di luar rumah), bahwa beliau kehilangan sprei yang dipakai untuk membuat kerajinan tangan.
Catatan:
Tulisan ini berdasarkan pengalaman pribadi, hasil pengamatan, diskusi dengan teman, psikolog dan guru, setiap ada
kesempatan untuk membahas perkembangan anak.

Orangtua memiliki kewajiban memenuhi kebutuhan anak, misalnya makanan, pakaian, tempat tinggal, juga kasih sayang. Akan tetapi, tidak
selamanya orangtua hadir sebagai penyedia kebutuhan anak. Oleh sebab itu tujuan utama membesarkan anak sesungguhnya adalah
menyiapkannya menuju kehidupan sebagai individu dewasa kelak.

Sedikit demi sedikit anak mengalami proses pendewasaan agar tidak bergantung kepada orangtua. Melatih kemandirian anak perlu dilakukan
sejak dini, tentunya dengan cara-cara yang sesuai usia dan perkembangan anak. Berikut ini beberapa cara yang dapat digunakan untuk melatih
kemandirian balita Anda:

1. Ciptakan suasana rumah yang aman untuk berpetualang dan eksplorasi. Untuk meningkatkan kemandirian anak, dia harus diberikan
kesempatan seluasnya dalam mengeksplorasi hal-hal baru. Agar tidak berbahaya, Anda perlu menciptakan suasana rumah yang aman bagi
petualangan balita Anda. Daripada Anda harus bolak-balik berkata? jangan? setiap kali anak memegang sesuatu yang dapat
membahayakannya, letakkan objek yang berbahaya jauh dari jangkauan anak. Sebaliknya, letakkan berbagai macam objek menarik dan
aman di sekeliling anak dan berikan otoritas baginya untuk menggunakannya.

2. Jadilah pemandu bagi anak. Pandulah saat anak belajar melakukan sesuatu hal baru. Berikan contoh terlebih dahulu, baru kemudian
beri kesempatan bagi anak untuk melakukannya sendiri. Misalnya, belajar membereskan meja makan, tunjukkan cara mengambil piring dan
membawanya ke tempat cucian, baru kemudian gelas, dan seterusnya.

3. Tahan keinginan untuk selalu ikut campur. Memang wajar apabila Anda rasanya selalu ingin membantu anak, teruatama bila ia
mengalami kesulitan. Akan tetapi Anda perlu menahan sedikit keinginan tersebut, sebab banyak hal juga dapat dipelajari dari kesalahan atau
kegagalan. Tentunya Anda tetap dapat dan harus turun tangan jika ada hal yang membahayakan bagi anak. Dia pun bisa jadi merasa
tertekan bila terus menerus melakukan kesalahan, untuk itu Anda harus bijak menilai situasi saat Anda sebaiknya menempati posisi
penonton, motivator, atau penolong bagi anak.

4. Ijinkan anak untuk ikut campur. Saat Anda melakukan hal-hal yang menarik, seperti memasak, membersihkan atau merapikan meja,
anak mungkin akan tertarik untuk nimbrung. Berikan kesempatan bagi anak untuk ikut terlibat dalam aktivitas Anda. Cari tugas yang cukup
mudah yang kira-kira bisa ia kerjakan, serta bersabar dalam mengarahkan.

5. Latihan untuk meninggalkan balita Anda. Salah satu masalah umum dalam hal kemandirian balita ialah kesulitan untuk meninggalkan
anak. Apakah balita Anda selalu menangis dan merengek setiap Anda akan berangkat ke kantor atau pergi meninggalkannya? Jangan
biasakan menipu anak dengan cara pergi diam-diam. Sebelum Anda pergi meninggalkannya, pamitlah dan katakan dengan yakin bahwa Anda
akan segera kembali. Anda harus berusaha tetap kelihatan tenang dan percaya diri saat meninggalkan dia, bahkan meski dia menangis
dengan kencang.

6. Hindari perintah dan ultimatum. Perintah keras dan ultimatum membuat anak selalu merasa berada di bawah orangtua dan tidak
mempunyai otoritas pribadi. Disiplin dan rasa hormat tetap bisa dilatih tanpa Anda menjadi galak pada anak. Mengarahkan, mengajar serta
berdiskusi dengan anak akan lebih efektif daripada memerintah, apalagi bila perintah tidak didasari dengan alasan yang jelas. Lama kelamaan
anak akan bergantung pada perintah atau larangan Anda dalam melakukan segala sesuatu.

7. Senantiasa tunjukkan cinta Anda padanya. Katakan dan tunjukkan kasih sayang Anda serta dukungan pada balita secara konsisten,
hal ini akan meningkatkan rasa percaya dirinya. Dengan demikian dia akan lebih yakin pada dirinya, serta tidak ragu untuk mencoba hal-hal
yang baru.

Sebagai latihan kemandirian, sebaiknya kita tak membiarkan anak terus-menerus dilayani dan membebaskannya dari pekerjaan rumah tangga.
Kita perlu memberinya tugas karena banyak manfaat yang bisa didapat anak. Juga, kalau si Mbak pulang kampung, kita tidak kelimpungan
dibuatnya karena anak bisa terlibat mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Tentu saja, sesuaikan tugas dengan usia anak. Kalau terlalu
memberatkan, ia akan malas melakukannya.

Anda mungkin juga menyukai